BAB IV KESIMPULAN Budaya Jepang sudah mulai masuk ke Indonesia jauh sebelum JKT48 muncul pada September 2011. Kemunculan JKT48 di Indonesia berhasil menciptkan sebuah penetrasi budaya Jepang secara masif dalam waktu yang cukup singkat. JKT48 adalah bentuk transnasionalisasi yang dilakukan oleh sebuah kelompok dari Jepang bernama AKB48. Transnasionalisasi dan glokalisasi ini yang membuat budaya Jepang bisa melakukan penetrasi dengan cepat di Indonesia. Berawal dari adanya AKB48 yang ingin melakukan ekspansi bisnis ke luar Jepang dan didukung oleh program pemerintah Jepang “Cool Japan” AKB48 bisa mewujudkan hal tersebut. Transnasionalisasi yang dilakukan oleh AKB48 adalah dengan cara membangun afiliasi bisnis dengan MNC media, yang dibantu oleh Dentsu Media. Didukung dengan adanya pasar yang mendukung untuk menjual produk budaya Jepang di Indonesia serta kejelian melihat celah bisnis yang belum ada di Indonesia. Cool Japan sendiri adalah sebuah program dari Ministry of Economy, Trade and Industry yang bertujuan untuk menyebarkan dan menjual produk budaya Jepang untuk memenuhi kepentingan ekonomi Jepang dan menguatkan Softpower Jepang di dunia. Di Indonesia AKB48 berhasil membawa sesuatu yang baru melalui JKT48 dan menjadi angin segar yang disukai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia terutama remaja berusia 10 sampai 20 tahun. JKT48 yang beranggotakan perempuan muda Indonesia, dilatih dengan resep Jepang untuk menjadi seorang idola yang bisa dijadikan panutan bagi banyak orang. Hal ini menjadi menarik karena dengan melihat kebelakang, masyarakat Indonesia bisa menerima produk-produk Jepang dengan mudah seperti anime (kartun Jepang) dan Manga (komik Jepang) yang sudah sangat populer di Indonesia mulai dari tahun 1990an. Dengan 47 adanya budaya populer Jepang yang sebelumnya sudah ada di Indonesia, masyarakat Indonesia bisa dengan mudah menerima budaya pop Jepang yang lain salah satunya adalah produk budaya pop Jepang yang bernama “idol” yang di wujudkan melalui JKT48. Dalam tulisan ini, penetrasi budaya populer Jepang diuraikan kedalam 3 bagian yang dibagi berdasarkan siapa aja yang terlibat dalam industri hiburan yaitu JKT48 sendiri sebagai Produsen, audiens yang dikhususkan pada fans JKT48 atau yang biasa disebut wota sebagai konsumen, dan media sebagai distributor. Dalam melakukan transnasionalisai AKB48 tidak bisa menerapkan budaya-budaya Jepang di JKT48 karena akan terjadi benturan dengan budaya Indonesia. Untuk mengakali ini pihak AKB48 melakuakan usaha yang disebut glokalisasi, sebuah jargon dalam dunia bisnis untuk penyesuaian agar sebuah produk bisa diterima. Glokalisasi sendiri adalah gabungan dari kata global dan lokal dimana sebuah budaya yang mengglobal masuk kesebuah wilayah dan melakukan penyesuaian dengan budaya lokal. Glokalisasi dalam JKT48 bisa dilihat dengan pihak AKB48 yang mengkhususkan hanya remaja perempuan yang tinggal di Indonesia yang bisa mengikuti audisi JKT48. JKT48 juga menerapkan sebuah standar kecantikan Jepang yaitu Kawaii dan menjadikannya sebagai sebuah daya tarik utama dari penampilan JKT48. Lagu yang dinyanyikan oleh JKT48 adalah lagu-lagu yang AKB48 yang diterjemahkan agar target audiens yang merupakan masyarakat Indonesia bisa mengerti dan menerima lagu-lagu yang dinyanyikan. JKT48 juga melakukan penyesuain dari segi kostum yang disesuaikan dengan norma kesopanan berpakaian di Indonesia. Dalam dunia media JKT48 telah membuat media melakukan hal yang hampir sama dengan di Jepang. Proses JKT48 agar bisa menuju ke media juga sama dengan di Jepang yaitu menggunakan Agensi. Agensi yang menaungi JKT48 di Indonesia adalah Dentsu Media. Kesuksesan sebuah idol di Jepang bergantung pada kekuatan relasi yang dimiliki oleh Agensi. Di Indonesia pun Dentsu memengang suatu peranan penting dengan relasinya 48 yang membuat JKT48 menjadi populer melalui media. Di Jepang sendiri media menempatkan Idol sebagai pusat dalam media. Dengan banyaknya idol dan idol group di Jepang mereka menempatkan idol dalam berbagai bentuk media seperti acara musik, film, iklan, talk show dan variety show. Disini terjadi sebuah pencampuran konten dalam media karena idol yang memang diciptkan dari awal sebagai sebuah selebriti multitalenta agar bisa melakukan cross-genre. Di Indonesia sendiri JKT48 yang berkonsep idol group juga menimbulkan sebuah pencampuran konten dalam media hal ini disebabkan karena JKT48 yang digandeng untuk melakukan cross-genre seperti muncul dalam berbagai acara musik di tv dan di radio, film, iklan produk, program televisi dan di media cetak. Dari sisi konsumen, yaitu pada pendengar yang dalam tulisan ini dikhususkan pada fans atau yang biasa disebut wota, JKT48 telah melakukan sebuah penetrasi budaya Jepang yang besar. Wota yang merupakan sebuah subkultur dari budaya Jepang di adopsi oleh para penggemar JKT48 dengan sangat baik. Budaya pengidolaan di Jepang sendiri sudah ada sejak lama di Jepang yaitu pemujaan terhadap kaisar. Menurut riset yang dilakukan Akita, fanatisme fans terhadap idol juga berkaitan dengan ritual agama Shinto, agama asli Jepang, dimana fans melihat idol sebagai sesuatu entitas yang pure (suci) dan innocent sama dengan entitas kami-sama atau tuhan dalam agama Shinto. Fans di Jepang juga seringkali melakukan sebuah tarian yang dimaksudkan untuk menyemangati idol yang sedang tampil di panggung, tarian ini dikenal dengan nama wotagei. Fans JKT48 atau wota di Indonesia juga melakukan hal yang sama dengan fans yang ada di Jepang, yaitu melakukan wotagei. Hal ini di dukung dengan adanya kepopuleran AKB48 dan JKT48 yang setiap hari semakin meningkat dan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Adanya internet bisa membuat orang dengan ketertarikan yang sama bergabung dan berdiskusi atau bertukar informasi dengan sangat cepat meski berada di tempat yang terpisah jauh. Hal 49 ini juga berlaku untuk fans AKB48 dan JKT48 yang berada di Jepang dan di Indonesia. Adanya penetrasi globalisasi budaya Jepang di Indonesia menimbulkan sebuah heterogenisasi budaya Jepang dan Budaya Indonesia. Terlihat ada beberapa hambatan dalam proses ini, seperti bagi sebagian orang budaya-budaya Jepang yang masuk tidak cocok apabila berada di Indonesia yang cenderung menganut budaya ketimuran. Budaya Jepang yang ditolak seperti kostum dengan rok pendek, perilaku wota yang kurang bisa diterima dalam kehidupan bermasyarakt di Indonesia yang dianggap hanya menghabiskan uang dan waktu serta fanatisme berlebihan yang dilakukan para wota juga menibulkan tanggapan-tanggap negatif terhadap JKT48 dan budaya Jepang baik di dalam JKT48 sendiri atau di sekitar JKT48. Selain itu tanggapan positif yang kuat seperti adanya warna baru dalam industri musik dan industri hiburan di Indonesia. JKT48 sendiri juga meingkatkan kualitas hubungan baik antara Indonesia dan Jepang yang diwujudkan dengan seringnya JKT48 mengisi acara-acara budaya baik di Jepang maupun di Indonesia yang dilaksanakan dengan hubungan kerjasama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Jepang. Dengan adanya JKT48, acara-acara budaya tersebut menjadi ramai akan pengunjung sehingga misi untuk menjaga, memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan kedua negara bisa berjalan dengan sukses. Hambatan dan tanggapan negatif terhadap proses penetrasi globalisasi budaya Jepang di Indonesia melalui JKT48 ini tidak terlalu berpengaruh pada proses penetrasi karena budaya-budaya ini adalah budaya populer yang bisa diterima oleh banyak masyarakat Indonesia. Adanya AKB48 yang melakukan transasionalisasi di Indonesia dengan membentuk JKT48 merupakan sebuah fenomena globalisasi budaya Jepang di Indonesia karena terjadi peningkatan intensitas hubungan sosial antara Jepang dan Indonesia dimana sebuah lokalitas (budaya Jepang) mengakibatkan munculnya sebuah peristiwa sosial di Indonesia. 50