BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago country) dengan wilayah mangrove terluas di dunia. Potensi ini didukung oleh panjang garis pantainya yang mencapai + 81.000 km dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Susilo, 1997). Luas mangrove di Indonesia mencapai 4,25 juta hektar yang merupakan 25% dari total luas mangrove dunia. Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir pantai terus mengalami tekanan di seluruh dunia. FAO mencatat bahwa luas mangrove dunia pada tahun 1980 mencapai 19,8 jt ha, turun menjadi 16,4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi 14,6 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan di Indonesia, luas mangrove mencapai 4,25 juta hektar pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta hektar pada tahun 199,0 dan tersisa 2,93 juta hektar pada tahun 2000. Apabila tidak diimbangi dengan kebijakan pengelolaan yang tepat, fenomena degradasi mangrove akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya kebutuhan ruang untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi. Ancaman degradasi mangrove akan semakin besar potensi terjadinya pada daerah yang dekat dengan pusat kegiatan ekonomi. Nur (2002) menyebutkan bahwa kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yakni faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang menyebabkan kerusakan mangrove yaitu terjadinya badai, pemanasan global dan kenaikan muka air laut. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor manusia antara lain adanya penebangan yang tidak bertanggung jawab, konversi lahan yang tidak terkendali serta pemanfaatan wilayah pesisir yang tidak sinkron antar satu wilayah dengan wilayah yang lain. Oleh karena itu, penting kiranya dilakukan studi tentang keberadaan mangrove guna menggali informasi yang nantinya dapatdigunakan sebagai acuan pembelajaran atau penelitian. Hal tersebut juga menjadi latar belakang dibuatnya 1 makalah ini, setidaknya makalah ini dapat menjadi acuan dini untuk pembelajaran selanjutnya. 1.2.Tujuan Mengetahui ekosistem mangrove dan karakteristiknya. Mengetahui tipe komunitas mangrove dan zonasi ekosistem mangrove. Mengetahui factor-faktor pembatas ekosistem mangrove. Mengetahui produktivitas dan biodiversitas ekosistem mangrove. Mengetahui interaksi dan peranan ekosistem mangrove. 1.3. Manfaat Dapat mengetahui ekosistem mangrove dan karakteristiknya. Dapat mengetahui tipe komunitas mangrove dan zonasi ekosistem mangrove. Dapat mengetahui factor-faktor pembatas ekosistem mangrove. Dapat mengetahui produktivitas dan biodiversitas ekosistem mangrove. Dapat mengetahui interaksi dan peranan ekosistem mangrove. 2 BAB 2 ISI 2.1. Mangrove dan Karakteristiknya Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup diantara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang-surut. Ekosistem mangrove seringkali ditemukan ditempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau payau (Murdiyanto, 2003). Hutan mangrove biasa ditemukan disepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32o Lintang Utara dan 38o Lintang Selatan. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas didaerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara sungai yang lebar. Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya (Murdiyanto, 2003). Mangrove memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh topografi pantai baik estuari atau muara sungai, dan daerah delta yang terlindung. Daerah tropis dan sub tropis mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Secara karakteristik hutan mangrove mempunyai habitat dekat pantai. Sebagaimana menurut FAO bahwa hutan mangrove merupakan jenis maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove mempunyai 3 kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan. Disamping itu memiliki kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 2002). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 1992). Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah: memiliki jenis pohon yang relatif sedikit; memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.; memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul ; memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan 4 habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah: tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama; tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin. 2.2. Faktor Pembatas Faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi satu sama lain secara kompleks akan menghasilkan asosiasi jenis yang juga kompleks. Dimana distribusi individu jenis tumbuhan mangrove sangat dikontrol oleh variasi faktor-faktor lingkungan seperti tinggi rata-rata air, salinitas, pH, dan pengendapan (Hasmawati, 2001). 1. Suhu Pada perairan tropik suhu permukaan air laut pada umumnya 27°C - 29°C. Pada perairan yang dangkal dapat mencapai 34°C. Di dalam hutan bakau sendiri suhunya lebih rendah dan variasinya hampir sama dengan daerah-daerah pesisir lain yang ternaung. 2. Pasang Surut Pasang surut adalah naik turunnya air laut (mean sea level) sebagai gaya tarik bulan dan matahari. Untuk daerah pantai fenomena seperti ini merupakan proses yang sangat penting, yang tidak dapat diabaikan oleh manusia dalam usahanya untuk memanfaatkan, mengelola maupun melestarikan daerah pesisir. Pengaruh aktifitas pasang surut di daerah muara sungai sangat besar karena pasut bukan hanya merubah paras laut dengan merubah kedalamannya, melainkan dapat pula sebagai pembangkit arus yang dapat mentranspor sedimen. Selain itu pasut juga berperan terhadap proses-proses di pantai, seperti penyebaran sedimen dan abrasi pantai. Pasang naik akan menimbulkan gelombang laut dimana sedimen akan menyebar di dekat pantai, sedangkan bila air laut surut akan menyebabkan majunya sedimentasi ke arah laut lepas (Kaharuddin, 1994). Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut: 5 Lama pasang : Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme Durasi pasang : Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada. Rentang pasang (tinggi pasang): Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi. 3. Gelombang dan Arus Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. 6 Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut. 4. Substrat (sedimen). Sedangkan Anwar dkk. (1984), menyatakan bahwa lahan yang terdekat dengan air pada areal hutan mangrove biasanya terdiri dari lumpur dimana lumpur diendapkan. Tanah ini biasanya terdiri dari kira-kira 75% pasir halus, sedangkan kebanyakan dari sisanya terdiri dari pasir lempung yang lebih halus lagi. Lumpur tersebut melebar dari ketinggian rata-rata pasang surut sewaktu pasang berkisar terendah dan tergenangi air setiap kali terjadi pasang sepanjang tahun. Klasifikasi sedimen pantai disajikan pada Tabel 1. Diameter Butiran Kelas Ukuran Butiran Mm Skala Phi Boulder (Berangkal) >256 <-8 Cobbe (kerikil kasar) 45 -256 (-6) – (-8) Pebble (kerikil sedang) 4 – 64 (-2) – (-6) Granule (kerikil halus) 2–4 (-1) – (-2) Very Coarse Sand (Pasir sangat halus) 1–2 0 – (-1) Coarse Sand (pasir sedang) 0,5 – 1 1–0 7 Medium Sand (Pasir sedang) 0,23 – 1 2- 1 Fine Sand (pasir halus) 0,125 – 0,25 3–2 Very Fine Sand (pasir sangat halus) 0,062 – 0,125 4–3 Silt (debu) 0,0039 – 0,062 8–4 Clay (lumpur) < 0,0039 >8 Tabel 1. Klasifikasi Sedimen Pantai Berdasarkan Skala Wentworth Sumber : Hutabarat dan Evans, 1985 5. Salinitas Pohon mangrove tahan terhadap air tanah dengan kadar garam tinggi, tetapi pohon-pohon mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di air tawar (Anwar,dkk,.1984). mengendalikan Ketersediaan efesiensi matabolik air tawar (metabolic dan konsentrasi efficiency) vegetasi salinitas hutan mangrove. Walaupun spesies vegetasi mangrove memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, namun kekurangan air tawar menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam kelangsungan hidupnya (Dahuri, 2003). . 6. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman untuk perairan alami berkisar antara 4-9 penyimpangan yang cukup besar dari pH yang semestinya, dapat dipakai sebagai petunjuk akan adanya buangan industri yang bersifat asam atau basa yaitu berkisar antara 5-8 untuk air dan untuk tanah 6 - 8,5 dan kondisi pH di perairan mangrove biasanya bersifat asam, karena banyak bahan-bahan organik di kawasan tersebut. Nilai pH ini mempunyai batasan toleransi yang sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas dan stadia organisme (Hasmawati, 2001). 8 7. Angin Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove. 8. Cahaya Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol. 9. Curah hujan Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun. 2.3. Biodiversitas Hutan mangrove tersusun dari berbagai jenis tumbuhan mangrove. Pada suatu kawasan hutan mangrove mungkin ada spesies-spesies yang dominan sementara spesies lain jarang bahkan tidak ada. Jenis jenis ini terkadang membentuk asosiasi dan memiliki karakter yang spesifik. Vegetasi mangrove memiliki bentuk dan ukuran yang beragam dari bentuk pohon yang menjulang tinggi samapi bentuk epifit yang menjalar. 9 Jenis Avicennia lanata yaitu pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dengan ciri morfologi yaitu akar pasak. Berkayu, kulit batang bergaris-garis tidak beraturan, berwarna gelap, coklat hingga hitam. Bagian Sisi atas daun hijau kekuningan, sisi bawah daun putih kekuningan, Elips, ujung membulat, memiliki pilus di bagian sisi bawah daun. Panjang daun 7-9 cm dan lebar 4,5 cm. Jenis ini ditemukan pada habitat lumpur sedikit berpasir dan tanah gundukan, daerah yang kering dan toleran terhadap kadar garam yang rendah. Pada jenis ini ditemukan kehadiran biota meliputi; Cerithium zonatus, Nerita polita, Nerita axuvia. Jenis Bruguiera parviflora yaitu berbentuk pohon dengan karakteristik morfologi yaitu akar lulut dan akar tunjang kecil, kulit batang kasar, kulit pohon berwarna abu-abu dan coklat tua. Daun tunggal, bentuk elips, permukaan atas daun halus, panjang 8-11cm lebar 5,5 cm. Permukaan atas daun hijau tua permukaan bawah hijau muda. Jenis ini ditemukan hidup bersama spesies lain seperti Brugueira gymnnorhiza dan Avicennia lanata. dengan kehadiran biota meliputi; Morula margariticola, Cerithium zonatus ,Nerita polita ,Littorina scabra ,Monodanta labio ,Chypeomorus subrevecula. Jenis Brugueira gymnorrhiza yaitu berbentuk pohon dengan memiliki karakteristik morfologi yaitu kulit kayu kasar berwarna abu-abu kehitaman. Daun tunggal, permukaan atas daun hijau tua, permukaan bawah hijau kekuningan, daun tebal, ujung runcing, bentuk elip sampai bulat panjang, ukuran panjang 8-15 cm, lebar 4-6 cm. memiliki akar lutut dan akar tunjang kecil dengan Kemampuan toleransi terhadap salinitas rendah. Jenis Sonneratia caseolaris yaitu berbentuk pohon dengan karakteristik morfologi yaitu memilkiki akar pasak, permukaan kulit batang kasar berwarna krem sampai dengan coklat, permukaan atas dan bawah daun berwarna hijau, bentuk daun bulat dengan ujung membundar, panjang daun 5-7,5 cm dan lebar 2-5 cm dan menyukai salinitas rendah. Jenis Acrostichum aureum yaitu berbentuk semak dengan karakteristik morfologi akar tunggang dan berserabut, batang berkayu, bulat, licin, berwarna hijau 10 mudah sampai dengan coklat. Daun paku, majemuk menyirip, ujung membulat. Panjang 1,5-4 cm, lebar 2 cm. Daun muda hijau kecoklatan, sporangia hijau kecoklatan. Dengan habitat substrat dengan karakteristik lumpur berupa lumpur gundukan sedikit berpasir. Terdapat di bagian belakang hutan mangrove. 2.4. Interaksi Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove rantai makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Keberhasilan dari pengaturan menggabungkan dari mangrove berupa sumber penghasil kayu dan bukan kayu, bergantung dari pemahaman kepada; satu parameter dari ekologi dan budaya untuk pengelolaan kawasan hutan (produksi primer) dan yang kedua secara biologi dimana produksi primer dari hutan mangrove merupakan sumber makanan bagi organisme air (produksi sekunder). Pemahaman aturan tersebut merupakan kunci dalam memelihara keseimbangan spesies yang merupakan bagian dari ekosistem yang penting.Rantai ini dimulai dengan produksi karbohidrat dan karbon oleh tumbuhan melalui proses Fotosintesis. Sampah daun kemudian dihancurkan oleh amphipoda dan kepiting. (Head, 1971; Sasekumar, 1984). Proses dekomposisi berlanjut melalui pembusukan daun detritus secara mikrobial dan jamur penggunaan ulang partikel detrital (dalam wujud feses) oleh bermacam-macam detritivor (Odum dan Heald, 1975), diawali dengan invertebrata meiofauna dan diakhiri dengan suatu spesies semacam cacing, moluska, udang-udangan dan kepiting yang selanjutnya dalam siklus dimangsa oleh karnivora tingkat rendah. Rantai makanan diakhiri dengan karnivora tingkat tinggi seperti ikan besar, burung pemangsa, kucing liar atau manusia. Sumber energi lain yang juga diketahui adalah karbon yang di konsumsi ekosistem mangrove. Dalam siklus ini dimasukan input fitoplankton, alga bentik dan 11 padang lamun, dan epifit akar. Sebagai contoh fitoplankton mungkin berguna sebagai sebuah sumber energi dalam mangrove dengan ukuran yang besar dari perairan dalam yang relatif bersih. Akar mangrove penyangga epifit juga memiliki produksi yang tinggi. Nilai produksi perifiton pada akar penyangga adalah 1,4 dan 1,1 gcal/m2/d telah dilaporkan. 2.5. Produktivitas Ekosistem mangrove secara ekologis memiliki produktivitas yang tinggi untuk mendukung lingkungan sekitar. Tingginya produktivitas ekosistem mangrove disebabkan oleh produksi serasah yang dihasilkan dari vegetasi mangrove. Produksi serasah daun setiap jenis mangrove berbeda, hal ini dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal yang saling berkaitan. Perbedaan jumlah serasah ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Produktivitas primer kotor dari hutan mangrove sangat tinggi, yaitu 100 mt C/ ha/ tahun, meskipun demikian laju produktivitas bersih dari hutan mangrove adalah mirip dengan ekosistem perairan dangkal lainnya, yaitu 18 mt C/ha/tahun. Hal ini terutama berkaitan dengan tingginya kebutuhan respirasi dan metabolisme dari ekosistem mangrove itu sendiri yang mengkonsumsi sekitar 80% dari produktivitas kotor. Biomassa organik umumnya terdiri dari vegetasi mangrove itu sendiri dan kotoran daun atau akar mangrove yang utuh atau bagian-bagian yang telah mengalami dekomposisi. Kotoran-kotoran mangrove tersebut yang membentuk dasar jaring-jaring makanan yang mencakup berbagai invertebrata, ikan, reptil, burung dan mamalia. Kira-kira 10% produksi daun mangrove dikonsumsi dalam bentuk daun segar oleh hewan herbivora, sisanya masuk kedalam ekosistem dalam bentuk detritus, sebagai misal adalah hutan mangrove di Prapat agung Bali Barat yang menggugurkan daunnya dimusim kering tapi lantai hutannya tidak tertutup daun karena serasah yang 12 jatuh kelantai hutan dimakan dan dibawah masuk kedalam liang oleh kepiting yang sangat banyak dijumpai. Lebih dari 90% daun mangrove dimakan atau ditimbun oleh kepiting dalam waktu 3 minggu sejak gugur dan memasuki sistem lagi sebagai eksresi detritus yang diperkaya dengan fungi, bakteri dan dengan yang tumbuh didalamnya. Jika kepiting ditiadakan maka proses dekomposisi daun dapat memakan waktu 6 minggu. Daun tersusun dari 61% berat kering bebas abu sebagai protein, daun gugur proteinnya sekitar 3,1%, sedangkan yang terdekomposisi menjadi partikulat detritus mengalami peningkatan kandungan protein mencapai 22%. Detritus inilah yang menjadi sumber makanan bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis satwa. kemudian serasah terurai menjadi bagian yang lebih kecil (detritus) menurut penelitian daun yang telah terurai ini mengandung vitamin B12, detritus ini kemudian dimakan oleh jasad renik seperti zooplankton, udang, kepiting,ikan kecil (kebanyakan hewan ini memiliki nilai ekonomis tinggi seperti fase juvenil udang, kepiting) yang selanjutnya hewan kecil ini akan dimakan oleh karnivora terutama ikan. Daun-daun mangrove yang jatuh didefenisikan sebagai berat materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu. Guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan, stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), ataupun kombinasi dari keduanya dan kematian serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin). Produksi serasah diketahui dengan memperkirakan komponen – komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada dasar hutan yang selanjutnya mengalami remineralisasi melalui tahap – tahap dekomposisi (Chapman, V.J.C. 1984). 2.6. Zonasi Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi mangrove, yaitu : 13 Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Avicennia sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba, Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang terakhir Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora – Bruguiera dan diakhiri komunitas murni N. fructicans Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan. Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut : Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia) Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora spp). Zona Bakau (Rhizophora) Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang ( Bruguiera spp ) Zona Tanjang (Bruguiera) 14 Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain. Zona Nipah (N fruticans) Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (N fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya. Bentuk vegetasi dan komunitas mangrove terdiri dari 3 zone mangrove berdasarkan distribusi, karakteristik biologi, kadar garam dan intensitas penggenangan lahan yaitu: Vegetasi Inti Jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatophore atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam. Vegetasi marginal Jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian vegetasi ini tetap tergolong mangrove. Vegetasi fakultatif marginal Carapa guianensis (Meliaceae) tumbuh berkembang di daerah dengan kadar garam sekitar 10 promil. Jenis lain adalah Elaeis oleifera dan Raphia taedigera. 15 2.7. Tipe Komunitas Mangrove Overwash mangrove forest Mangrove merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering dibanjiri dan dibilas oleh pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 m. Fringe mangrove forest Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis pantai yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum adalah sekitar 10 m. Riverine mangrove forest Kelompok ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah pasang surut sungai dan teluk, merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis bakau, yaitu putih (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia germinans) dan mangrove merah (Rhizophora mangle) adalah terdapat di dalamnya. Tingginya ratarata dapat mencapai 18-20 m. Basin mangrove forest Kelompok ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam rawa Karena tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan atau terusan ke arah pantai. Bakau merah terdapat dimana ada pasang surut yang membilas tetapi ke arah yang lebih dekat pulau, mangrove putih dan hitam lebih mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 m. Hammock forest Biasanya serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada lokasi sedikit lebih tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi tingginya jarang lebih dari 5 m. Scrub or dwarf forest 16 Jenis komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah. Semua dari tiga jenis ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan faktor pembatas. 2.8. Peranan secara Umum Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir memiliki peranan yang besar dalam mempertahankan wilayah pesisir. Beberapa fungsi hutan mangrove antara lain, secara fisik hutan mangrove dapat mencegah terjadinya abrasi pantai dan meredam gelombang dan angin laut serta sebagai perangkap sedimen (Pramudji, 2004). Keberadaan hutan mangrove dapat sebagai penahan angin (win breaker) sehingga kecepatan dan kekuatan angin dapat berkurang atau dibelokkan sebelum sampai ke permukiman penduduk. Pada pohon yang ditanam cukup rapat dapat mengurangi kecepatan angin hingga 75-85 % dari kecepatan awal (Fandeli, 2004). Tingkat efektifitas perlindungan tiupan angin oleh hutan mangrove sangat ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya oleh tinggi, strata tajuk dan kerapatan pohon. Semakin tinggi pohon mangrove maka semakin luas kawasan dibelakangnya yang dapat terlindungi. Selain itu hutan mangrove yang rapat dan tajuk yang lebat dapat berperan sebagai filter sehingga partikel garam yang dibawa oleh angin laut dapat berkurang. Hutan mangrove secara umum mampu mempertahankan keberadaan daratan di tepi pantai. Batang mangrove yang rapat dengan banyak akar nafas disekitarnya mampu menahan tanah di daerah pantai dari kikisan air laut. Pada tegakan yang sudah mapan sistem perakaran bakau memperlambat arus air yang mengandung lumpur dan memungkinkan pengendapan partikel lumpur dalam suatu proses pembentukan endapan di sisi daratan. Pembentukan endapan ini memungkinkan bagi jenis perintis untuk tumbuh maju ke arah laut, mempercepat pembentukan pantai dan menjamin kemantapan daerah pesisir. Penambahan daratan atau pantai tersebut bisa mencapai lebih dari 100 m/th (MacKinnon et al., 1996) atau + 120 m/th (Nontji, 2002). Kerapatan pohon mangrove mampu meredam atau menetralisir peningkatan 17 salinitas, karena perakaran yang rapat akan menyerap unsur-unsur yang mengakibatkan meningkatnya salinitas tersebut (Arief, 2003). Secara kimia hutan mangrove berperan dalam penyerapan bahan pencemar (polutan), sumber energi serta pensuplai bahan organik bagi lingkungan di sekitarnya (Pramudji, 2002). Kesuburan kawasan mangrove dapat dilihat melalui pasokan bahan organik, terutama dari guguran daun yang bisa mencapai 7-8 ton/ha/tahun (Nontji, 2002). Guguran daun dan ranting akan membusuk dan dimanfaatkan oleh jamur dan bakteri sebagai pengurai utama, selanjutnya bakteri dan jamur dimakan oleh sebagian protozoa dan makrobentos. Sedangkan secara biologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pencarian makan (feeding ground) serta sebagai habitat bagi berbagai jenis organisme. Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi 2 berbagai organisme baik darat maupun laut seperti kepiting, udang, ikan, reptilia, monyet dan lain sebagainya (Anwar dkk, 1984). 2.9. Peran Ekologis Mangrove Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis yang sangat penting terutama bagi wilayah pesisir. Salah satu fungsi ekologis mangrove yang saat ini tengah diperbincangkan adalah mangrove sebagai penyimpan karbon. Mangrove menyimpan karbon lebih dari hampir semua hutan lainnya di bumi, sebuah penelitian yang dilakukan tim peneliti dari US Forest Service Pasifik Barat Daya dan stasiun penelitian Utara, Universitas Helsinki dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional meneliti kandungan karbon dari 25 hutan mangrove di wilayah Indo-Pasifik dan menemukan bahwa hutan mangrove per hektar menyimpan sampai empat kali lebih banyak karbon daripada kebanyakan hutan tropis lainnya di seluruh dunia. Penelitian lain yang dilakukan oleh ilmuan Gail Chmura ahli pembersih karbon dari Universitas McGill menyatakan bahwa hutan mangrove memiliki tingkat penyerapan lima kali lebih cepat terhadap nunsur karbon di udara jika dibandingkan dengan hutan di daratan. Tiap tahun hutan mangrove dapat menyerap 42 juta ton karbon di udara atau 18 setara dengan emisi gas karbon dari 25 juta mobil. Karbon yang diserap tumbuhan selama fotosintesis, bersama-sama dengan nutrient yang diambil dari tanah, menghasilkan bahan baku untuk pertumbuhan. Dalam proses fotosintesis, CO2 dari atmosfer diikat oleh vegetasi dan disimpan dalam bentuk biomassa. Carbon sink berhubungan erat dengan biomassa tegakan. Jumlah biomassa suatu kawasan diperoleh dari produksi dan kerapatan biomassa yang diduga dari pengukuran diameter, tinggi, dan berat jenis pohon. Biomassa dan carbon sink pada hutan tropis merupakan jasa hutan diluar potensi biofisik lainnya, dimana potensi biomassa hutan yang besar adalah menyerap dan menyimpan karbon guna pengurangan CO2 di udara. Manfaat langsung dari pengolahan hutan berupa hasil kayu hanya 4,1%, sedangkan fungsi optimal hutan dalam penyerapan karbon mencapai 77,9% (Darusman, 2006). Stok karbon diestimasi dari biomassanya dengan mengikuti aturan 46% biomassa adalah karbon (Pramudji, 2002). 19 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Mangrove merupakan tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup diantara laut dan daratan yang keberadaannya dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya yaitu suhu, pasang surut, gelombang dan arus, substrat (sedimen), salinitas, derajat keasaman (pH), angin, cahaya, dan curah hujan. Vegetasi mangrove memiliki bentuk dan ukuran yang beragam dari bentuk pohon yang menjulang tinggi sampai bentuk epifit yang menjalar. Ekosistem mangrove secara ekologis memiliki produktivitas yang tinggi untuk mendukung lingkungan sekitar. Tingginya produktivitas ekosistem mangrove disebabkan oleh produksi serasah yang dihasilkan dari vegetasi mangrove. Mangrove memiliki tiga tipe formasi, yaitu mangrove pantai, mangrove muara, dan mangrove sungai. Beberapa fungsi hutan mangrove antara lain, secara fisik hutan mangrove dapat mencegah terjadinya abrasi pantai dan meredam gelombang dan angin laut serta sebagai perangkap sedimen, penahan angin (win breaker) sehingga kecepatan dan kekuatan angin dapat berkurang atau dibelokkan sebelum sampai ke permukiman penduduk, dapat mengurangi kecepatan angin hingga 75-85 % dari kecepatan awal, mampu mempertahankan keberadaan daratan di tepi pantai, menahan tanah di daerah pantai dari kikisan air laut, meredam atau, menetralisir peningkatan salinitas dalam penyerapan bahan pencemar (polutan), sumber energi serta pensuplai bahan organik bagi lingkungan di sekitarnya. 20