dengan wilayah mangrove terlua

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago country) dengan wilayah
mangrove terluas di dunia. Potensi ini didukung oleh panjang garis pantainya yang
mencapai + 81.000 km dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Susilo, 1997). Luas mangrove di Indonesia
mencapai 4,25 juta hektar yang merupakan 25% dari total luas mangrove dunia.
Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir
pantai terus mengalami tekanan di seluruh dunia. FAO mencatat bahwa luas
mangrove dunia pada tahun 1980 mencapai 19,8 jt ha, turun menjadi 16,4 juta ha
pada tahun 1990, dan menjadi 14,6 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan di Indonesia,
luas mangrove mencapai 4,25 juta hektar pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta
hektar pada tahun 199,0 dan tersisa 2,93 juta hektar pada tahun 2000. Apabila tidak
diimbangi dengan kebijakan pengelolaan yang tepat, fenomena degradasi mangrove
akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya kebutuhan ruang untuk pembangunan
sarana dan prasarana ekonomi. Ancaman degradasi mangrove akan semakin besar
potensi terjadinya pada daerah yang dekat dengan pusat kegiatan ekonomi.
Nur (2002) menyebutkan bahwa kerusakan ekosistem mangrove terjadi
karena pengaruh dua faktor, yakni faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang
menyebabkan kerusakan mangrove yaitu terjadinya badai, pemanasan global dan
kenaikan muka air laut. Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor manusia antara lain
adanya penebangan yang tidak bertanggung jawab, konversi lahan yang tidak
terkendali serta pemanfaatan wilayah pesisir yang tidak sinkron antar satu wilayah
dengan wilayah yang lain.
Oleh karena itu, penting kiranya dilakukan studi tentang keberadaan
mangrove guna menggali informasi yang nantinya dapatdigunakan sebagai acuan
pembelajaran atau penelitian. Hal tersebut juga menjadi latar belakang dibuatnya
1
makalah ini, setidaknya makalah ini dapat menjadi acuan dini untuk pembelajaran
selanjutnya.
1.2.Tujuan

Mengetahui ekosistem mangrove dan karakteristiknya.

Mengetahui tipe komunitas mangrove dan zonasi ekosistem mangrove.

Mengetahui factor-faktor pembatas ekosistem mangrove.

Mengetahui produktivitas dan biodiversitas ekosistem mangrove.

Mengetahui interaksi dan peranan ekosistem mangrove.
1.3. Manfaat

Dapat mengetahui ekosistem mangrove dan karakteristiknya.

Dapat mengetahui tipe komunitas mangrove dan zonasi ekosistem
mangrove.

Dapat mengetahui factor-faktor pembatas ekosistem mangrove.

Dapat mengetahui produktivitas dan biodiversitas ekosistem mangrove.

Dapat mengetahui interaksi dan peranan ekosistem mangrove.
2
BAB 2
ISI
2.1. Mangrove dan Karakteristiknya
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup
diantara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang-surut. Ekosistem mangrove
seringkali ditemukan ditempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang
kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai
mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove
dikelilingi oleh air garam atau payau (Murdiyanto, 2003).
Hutan mangrove biasa ditemukan disepanjang pantai daerah tropis dan
subtropis, antara 32o Lintang Utara dan 38o Lintang Selatan. Hutan mangrove
merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup
sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Hutan
mangrove tumbuh subur dan luas didaerah delta dan aliran sungai yang besar dengan
muara sungai yang lebar.
Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan
klasifikasi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang
bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di
tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman
tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang
bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya (Murdiyanto,
2003).
Mangrove memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh topografi pantai baik
estuari atau muara sungai, dan daerah delta yang terlindung. Daerah tropis dan sub
tropis mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan.
Pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan
produktif. Secara karakteristik hutan mangrove mempunyai habitat dekat pantai.
Sebagaimana menurut FAO bahwa hutan mangrove merupakan jenis maupun
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove mempunyai
3
kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan
sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan
biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan
sebagai penyangga antara laut dan daratan. Disamping itu memiliki kapasitasnya
sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan.
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi
mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah
yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil)
yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan
kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan
ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada
bagian arah daratan (Kusmana, 2002). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat
tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan
tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk
pulih kembali seperti sediakala.
Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik,
karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental,
yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis
yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat
sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 1992). Ciri-ciri terpenting dari penampakan
hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah: memiliki jenis pohon yang
relatif sedikit; memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar
melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat
vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya
pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul ; memiliki banyak lentisel
pada bagian kulit pohon. Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan
4
habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah: tanahnya
tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat
pasang pertama; tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya
berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin.
2.2. Faktor Pembatas
Faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi satu sama lain secara kompleks
akan menghasilkan asosiasi jenis yang juga kompleks. Dimana distribusi individu
jenis tumbuhan mangrove sangat dikontrol oleh variasi faktor-faktor lingkungan
seperti tinggi rata-rata air, salinitas, pH, dan pengendapan (Hasmawati, 2001).
1. Suhu
Pada perairan tropik suhu permukaan air laut pada umumnya 27°C - 29°C.
Pada perairan yang dangkal dapat mencapai 34°C. Di dalam hutan bakau sendiri
suhunya lebih rendah dan variasinya hampir sama dengan daerah-daerah pesisir lain
yang ternaung.
2. Pasang Surut
Pasang surut adalah naik turunnya air laut (mean sea level) sebagai gaya tarik
bulan dan matahari. Untuk daerah pantai fenomena seperti ini merupakan proses yang
sangat penting, yang tidak dapat diabaikan oleh manusia dalam usahanya untuk
memanfaatkan, mengelola maupun melestarikan daerah pesisir.
Pengaruh aktifitas pasang surut di daerah muara sungai sangat besar karena
pasut bukan hanya merubah paras laut dengan merubah kedalamannya, melainkan
dapat pula sebagai pembangkit arus yang dapat mentranspor sedimen. Selain itu pasut
juga berperan terhadap proses-proses di pantai, seperti penyebaran sedimen dan
abrasi pantai. Pasang naik akan menimbulkan gelombang laut dimana sedimen akan
menyebar di dekat pantai, sedangkan bila air laut surut akan menyebabkan majunya
sedimentasi ke arah laut lepas (Kaharuddin, 1994).
Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan
sebagai berikut:
5
Lama pasang :

Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi
perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan
sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut

Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang
merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara
horizontal.

Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi
distribusi vertikal organisme
Durasi pasang :

Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis
pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.

Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi
pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang
waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis
Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.
Rentang pasang (tinggi pasang):
 Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada
lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
 Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi
yang memiliki pasang yang tinggi.
3.
Gelombang dan Arus

Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar
biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan
luasan hutan.
6

Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies
misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai
menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.

Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai
dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya
sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik
untuk menunjang pertumbuhan mangrove.

Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui
transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien
yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff
daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan
gelombang ke laut pada saat surut.
4.
Substrat (sedimen).
Sedangkan Anwar dkk. (1984), menyatakan bahwa lahan yang terdekat dengan
air pada areal hutan mangrove biasanya terdiri dari lumpur dimana lumpur
diendapkan. Tanah ini biasanya terdiri dari kira-kira 75% pasir halus, sedangkan
kebanyakan dari sisanya terdiri dari pasir lempung yang lebih halus lagi. Lumpur
tersebut melebar dari ketinggian rata-rata pasang surut sewaktu pasang berkisar
terendah dan tergenangi air setiap kali terjadi pasang sepanjang tahun. Klasifikasi
sedimen pantai disajikan pada Tabel 1.
Diameter Butiran
Kelas Ukuran Butiran
Mm
Skala Phi
Boulder (Berangkal)
>256
<-8
Cobbe (kerikil kasar)
45 -256
(-6) – (-8)
Pebble (kerikil sedang)
4 – 64
(-2) – (-6)
Granule (kerikil halus)
2–4
(-1) – (-2)
Very Coarse Sand (Pasir sangat halus)
1–2
0 – (-1)
Coarse Sand (pasir sedang)
0,5 – 1
1–0
7
Medium Sand (Pasir sedang)
0,23 – 1
2- 1
Fine Sand (pasir halus)
0,125 – 0,25
3–2
Very Fine Sand (pasir sangat halus)
0,062 – 0,125
4–3
Silt (debu)
0,0039 – 0,062
8–4
Clay (lumpur)
< 0,0039
>8
Tabel 1. Klasifikasi Sedimen Pantai Berdasarkan Skala Wentworth
Sumber : Hutabarat dan Evans, 1985
5. Salinitas
Pohon mangrove tahan terhadap air tanah dengan kadar garam tinggi,
tetapi pohon-pohon mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di air tawar
(Anwar,dkk,.1984).
mengendalikan
Ketersediaan
efesiensi
matabolik
air
tawar
(metabolic
dan
konsentrasi
efficiency)
vegetasi
salinitas
hutan
mangrove. Walaupun spesies vegetasi mangrove memiliki mekanisme adaptasi
yang tinggi terhadap salinitas, namun kekurangan air tawar menyebabkan kadar
garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam kelangsungan
hidupnya (Dahuri, 2003).
.
6. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman untuk perairan alami berkisar antara 4-9 penyimpangan
yang cukup besar dari pH yang semestinya, dapat dipakai sebagai petunjuk akan
adanya buangan industri yang bersifat asam atau basa yaitu berkisar antara 5-8 untuk
air dan untuk tanah 6 - 8,5 dan kondisi pH di perairan mangrove biasanya bersifat
asam, karena banyak bahan-bahan organik di kawasan tersebut. Nilai pH ini
mempunyai batasan toleransi yang sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas dan stadia organisme (Hasmawati,
2001).
8
7. Angin
Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen
polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi
tumbuhan mangrove.
8. Cahaya
Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan
struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long
day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk
hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Laju
pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih
kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Cahaya berpengaruh terhadap
perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok
(gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari
lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
9. Curah hujan
Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan
mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas
air dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun.
2.3. Biodiversitas
Hutan mangrove tersusun dari berbagai jenis tumbuhan mangrove. Pada suatu
kawasan hutan mangrove mungkin ada spesies-spesies yang dominan sementara
spesies lain jarang bahkan tidak ada. Jenis jenis ini terkadang membentuk asosiasi
dan memiliki karakter yang spesifik. Vegetasi mangrove memiliki bentuk dan ukuran
yang beragam dari bentuk pohon yang menjulang tinggi samapi bentuk epifit yang
menjalar.
9
Jenis Avicennia lanata yaitu pohon yang tumbuh tegak atau menyebar,
dengan ciri morfologi yaitu akar pasak. Berkayu, kulit batang bergaris-garis tidak
beraturan, berwarna gelap, coklat hingga hitam. Bagian Sisi atas daun hijau
kekuningan, sisi bawah daun putih kekuningan, Elips, ujung membulat, memiliki
pilus di bagian sisi bawah daun. Panjang daun 7-9 cm dan lebar 4,5 cm. Jenis ini
ditemukan pada habitat lumpur sedikit berpasir dan tanah gundukan, daerah yang
kering dan toleran terhadap kadar garam yang rendah. Pada jenis ini ditemukan
kehadiran biota meliputi; Cerithium zonatus, Nerita polita, Nerita axuvia.
Jenis Bruguiera parviflora yaitu berbentuk pohon dengan karakteristik
morfologi yaitu akar lulut dan akar tunjang kecil, kulit batang kasar, kulit pohon
berwarna abu-abu dan coklat tua. Daun tunggal, bentuk elips, permukaan atas daun
halus, panjang 8-11cm lebar 5,5 cm. Permukaan atas daun hijau tua permukaan
bawah hijau muda. Jenis ini ditemukan hidup bersama spesies lain seperti Brugueira
gymnnorhiza dan Avicennia lanata. dengan kehadiran biota meliputi; Morula
margariticola, Cerithium zonatus ,Nerita polita ,Littorina scabra ,Monodanta labio
,Chypeomorus subrevecula.
Jenis Brugueira gymnorrhiza yaitu berbentuk pohon dengan memiliki
karakteristik morfologi yaitu kulit kayu kasar berwarna abu-abu kehitaman. Daun
tunggal, permukaan atas daun hijau tua, permukaan bawah hijau kekuningan, daun
tebal, ujung runcing, bentuk elip sampai bulat panjang, ukuran panjang 8-15 cm,
lebar 4-6 cm. memiliki akar lutut dan akar tunjang kecil dengan Kemampuan
toleransi terhadap salinitas rendah.
Jenis Sonneratia caseolaris yaitu berbentuk pohon dengan karakteristik
morfologi yaitu memilkiki akar pasak, permukaan kulit batang kasar berwarna krem
sampai dengan coklat, permukaan atas dan bawah daun berwarna hijau, bentuk daun
bulat dengan ujung membundar, panjang daun 5-7,5 cm dan lebar 2-5 cm dan
menyukai salinitas rendah.
Jenis Acrostichum aureum yaitu berbentuk semak dengan karakteristik
morfologi akar tunggang dan berserabut, batang berkayu, bulat, licin, berwarna hijau
10
mudah sampai dengan coklat. Daun paku, majemuk menyirip, ujung membulat.
Panjang 1,5-4 cm, lebar 2 cm. Daun muda hijau kecoklatan, sporangia hijau
kecoklatan. Dengan habitat substrat dengan karakteristik lumpur berupa lumpur
gundukan sedikit berpasir. Terdapat di bagian belakang hutan mangrove.
2.4. Interaksi
Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai
makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove rantai
makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus
diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami
penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme
seperti bakteri dan jamur. Keberhasilan dari pengaturan menggabungkan dari
mangrove berupa sumber penghasil kayu dan bukan kayu, bergantung dari
pemahaman kepada; satu parameter dari ekologi dan budaya untuk pengelolaan
kawasan hutan (produksi primer) dan yang kedua secara biologi dimana produksi
primer dari hutan mangrove merupakan sumber makanan bagi organisme air
(produksi sekunder). Pemahaman aturan tersebut merupakan kunci dalam memelihara
keseimbangan spesies yang merupakan bagian dari ekosistem yang penting.Rantai ini
dimulai dengan produksi karbohidrat dan karbon oleh tumbuhan melalui proses
Fotosintesis. Sampah daun kemudian dihancurkan oleh amphipoda dan kepiting.
(Head, 1971; Sasekumar, 1984). Proses dekomposisi berlanjut melalui pembusukan
daun detritus secara mikrobial dan jamur penggunaan ulang partikel detrital (dalam
wujud feses) oleh bermacam-macam detritivor (Odum dan Heald, 1975), diawali
dengan invertebrata meiofauna dan diakhiri dengan suatu spesies semacam cacing,
moluska, udang-udangan dan kepiting yang selanjutnya dalam siklus dimangsa oleh
karnivora tingkat rendah. Rantai makanan diakhiri dengan karnivora tingkat tinggi
seperti ikan besar, burung pemangsa, kucing liar atau manusia.
Sumber energi lain yang juga diketahui adalah karbon yang di konsumsi
ekosistem mangrove. Dalam siklus ini dimasukan input fitoplankton, alga bentik dan
11
padang lamun, dan epifit akar. Sebagai contoh fitoplankton mungkin berguna sebagai
sebuah sumber energi dalam mangrove dengan ukuran yang besar dari perairan dalam
yang relatif bersih. Akar mangrove penyangga epifit juga memiliki produksi yang
tinggi. Nilai produksi perifiton pada akar penyangga adalah 1,4 dan 1,1 gcal/m2/d
telah dilaporkan.
2.5. Produktivitas
Ekosistem mangrove secara ekologis memiliki produktivitas yang tinggi
untuk mendukung lingkungan sekitar. Tingginya produktivitas ekosistem mangrove
disebabkan oleh produksi serasah yang dihasilkan dari vegetasi mangrove.
Produksi serasah daun setiap jenis mangrove berbeda, hal ini dapat
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal yang saling berkaitan. Perbedaan jumlah
serasah ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan, musim
dan tegakan.
Produktivitas primer kotor dari hutan mangrove sangat tinggi, yaitu 100 mt C/
ha/ tahun, meskipun demikian laju produktivitas bersih dari hutan mangrove adalah
mirip dengan ekosistem perairan dangkal lainnya, yaitu 18 mt C/ha/tahun. Hal ini
terutama berkaitan dengan tingginya kebutuhan respirasi dan metabolisme dari
ekosistem mangrove itu sendiri yang mengkonsumsi sekitar 80% dari produktivitas
kotor. Biomassa organik umumnya terdiri dari vegetasi mangrove itu sendiri dan
kotoran daun atau akar mangrove yang utuh atau bagian-bagian yang telah
mengalami dekomposisi. Kotoran-kotoran mangrove tersebut yang membentuk dasar
jaring-jaring makanan yang mencakup berbagai invertebrata, ikan, reptil, burung dan
mamalia. Kira-kira 10% produksi daun mangrove dikonsumsi dalam bentuk daun
segar oleh hewan herbivora, sisanya masuk kedalam ekosistem dalam bentuk detritus,
sebagai misal adalah hutan mangrove di Prapat agung Bali Barat yang menggugurkan
daunnya dimusim kering tapi lantai hutannya tidak tertutup daun karena serasah yang
12
jatuh kelantai hutan dimakan dan dibawah masuk kedalam liang oleh kepiting yang
sangat banyak dijumpai. Lebih dari 90% daun mangrove dimakan atau ditimbun oleh
kepiting dalam waktu 3 minggu sejak gugur dan memasuki sistem lagi sebagai
eksresi detritus yang diperkaya dengan fungi, bakteri dan dengan yang tumbuh
didalamnya. Jika kepiting ditiadakan maka proses dekomposisi daun dapat memakan
waktu 6 minggu.
Daun tersusun dari 61% berat kering bebas abu sebagai protein, daun gugur
proteinnya sekitar 3,1%, sedangkan yang terdekomposisi menjadi partikulat detritus
mengalami peningkatan kandungan protein mencapai 22%. Detritus inilah yang
menjadi sumber makanan bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis satwa. kemudian
serasah terurai menjadi bagian yang lebih kecil (detritus) menurut penelitian daun
yang telah terurai ini mengandung vitamin B12, detritus ini kemudian dimakan oleh
jasad renik seperti zooplankton, udang, kepiting,ikan kecil (kebanyakan hewan ini
memiliki nilai ekonomis tinggi seperti fase juvenil udang, kepiting) yang selanjutnya
hewan kecil ini akan dimakan oleh karnivora terutama ikan.
Daun-daun mangrove yang jatuh didefenisikan sebagai berat materi tumbuhan
mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu.
Guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan,
stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), ataupun kombinasi dari keduanya dan
kematian serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin).
Produksi serasah diketahui dengan memperkirakan komponen – komponen dari
produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada dasar hutan yang selanjutnya
mengalami remineralisasi melalui tahap – tahap dekomposisi (Chapman, V.J.C.
1984).
2.6. Zonasi
Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi
mangrove, yaitu :
13

Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur
horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan
pionir (Avicennia sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba,
Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan
akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan
berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang
komunitas campuran yang terakhir

Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai.
Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur,
diikuti komunitas campuran Rhizophora – Bruguiera dan diakhiri komunitas
murni N. fructicans

Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut,
dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis
mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.
Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove,
umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya
dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :

Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)
Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur
agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan
kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia
spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau
(Rhizophora spp).

Zona Bakau (Rhizophora)
Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur
lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp) dan di beberapa
tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang ( Bruguiera spp )

Zona Tanjang (Bruguiera)
14
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.
Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya
ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan
jenis lain.

Zona Nipah (N fruticans)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini
mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya
keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai
dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (N fruticans) dan beberapa spesies
palem lainnya.
Bentuk vegetasi dan komunitas mangrove terdiri dari 3 zone mangrove
berdasarkan
distribusi,
karakteristik
biologi,
kadar
garam
dan
intensitas
penggenangan lahan yaitu:

Vegetasi Inti
Jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang mampu
bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta.
Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk
tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan
berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan
terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatophore atau akar napas,
bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam.

Vegetasi marginal
Jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di
rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian
vegetasi ini tetap tergolong mangrove.

Vegetasi fakultatif marginal
Carapa guianensis (Meliaceae) tumbuh berkembang di daerah dengan kadar
garam sekitar 10 promil. Jenis lain adalah Elaeis oleifera dan Raphia taedigera.
15
2.7. Tipe Komunitas Mangrove

Overwash mangrove forest
Mangrove merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering
dibanjiri dan dibilas oleh pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat
yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 m.

Fringe mangrove forest
Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang
garis pantai yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove
maksimum adalah sekitar 10 m.

Riverine mangrove forest
Kelompok ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah
pasang surut sungai dan teluk, merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis
bakau, yaitu putih (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia germinans) dan
mangrove merah (Rhizophora mangle) adalah terdapat di dalamnya. Tingginya ratarata dapat mencapai 18-20 m.

Basin mangrove forest
Kelompok ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam rawa
Karena tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan atau
terusan ke arah pantai. Bakau merah terdapat dimana ada pasang surut yang
membilas tetapi ke arah yang lebih dekat pulau, mangrove putih dan hitam lebih
mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 m.

Hammock forest
Biasanya serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada lokasi
sedikit lebih tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi tingginya
jarang lebih dari 5 m.

Scrub or dwarf forest
16
Jenis komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah. Semua dari
tiga jenis ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan
faktor pembatas.
2.8. Peranan secara Umum
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir
memiliki peranan yang besar dalam mempertahankan wilayah pesisir. Beberapa
fungsi hutan mangrove antara lain, secara fisik hutan mangrove dapat mencegah
terjadinya abrasi pantai dan meredam gelombang dan angin laut serta sebagai
perangkap sedimen (Pramudji, 2004). Keberadaan hutan mangrove dapat sebagai
penahan angin (win breaker) sehingga kecepatan dan kekuatan angin dapat berkurang
atau dibelokkan sebelum sampai ke permukiman penduduk. Pada pohon yang
ditanam cukup rapat dapat mengurangi kecepatan angin hingga 75-85 % dari
kecepatan awal (Fandeli, 2004). Tingkat efektifitas perlindungan tiupan angin oleh
hutan mangrove sangat ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya oleh tinggi, strata
tajuk dan kerapatan pohon. Semakin tinggi pohon mangrove maka semakin luas
kawasan dibelakangnya yang dapat terlindungi. Selain itu hutan mangrove yang rapat
dan tajuk yang lebat dapat berperan sebagai filter sehingga partikel garam yang
dibawa oleh angin laut dapat berkurang.
Hutan mangrove secara umum mampu mempertahankan keberadaan daratan
di tepi pantai. Batang mangrove yang rapat dengan banyak akar nafas disekitarnya
mampu menahan tanah di daerah pantai dari kikisan air laut. Pada tegakan yang
sudah mapan sistem perakaran bakau memperlambat arus air yang mengandung
lumpur dan memungkinkan pengendapan partikel lumpur dalam suatu proses
pembentukan endapan di sisi daratan. Pembentukan endapan ini memungkinkan bagi
jenis perintis untuk tumbuh maju ke arah laut, mempercepat pembentukan pantai dan
menjamin kemantapan daerah pesisir. Penambahan daratan atau pantai tersebut bisa
mencapai lebih dari 100 m/th (MacKinnon et al., 1996) atau + 120 m/th (Nontji,
2002). Kerapatan pohon mangrove mampu meredam atau menetralisir peningkatan
17
salinitas, karena perakaran yang rapat akan menyerap unsur-unsur yang
mengakibatkan meningkatnya salinitas tersebut (Arief, 2003).
Secara kimia hutan mangrove berperan dalam penyerapan bahan pencemar
(polutan), sumber energi serta pensuplai bahan organik bagi lingkungan di sekitarnya
(Pramudji, 2002). Kesuburan kawasan mangrove dapat dilihat melalui pasokan bahan
organik, terutama dari guguran daun yang bisa mencapai 7-8 ton/ha/tahun (Nontji,
2002). Guguran daun dan ranting akan membusuk dan dimanfaatkan oleh jamur dan
bakteri sebagai pengurai utama, selanjutnya bakteri dan jamur dimakan oleh sebagian
protozoa dan makrobentos.
Sedangkan secara biologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah
pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pencarian
makan (feeding ground) serta sebagai habitat bagi berbagai jenis organisme. Hutan
mangrove juga merupakan habitat bagi 2 berbagai organisme baik darat maupun laut
seperti kepiting, udang, ikan, reptilia, monyet dan lain sebagainya (Anwar dkk,
1984).
2.9. Peran Ekologis Mangrove
Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis yang sangat penting terutama bagi
wilayah pesisir. Salah satu fungsi ekologis mangrove yang saat ini tengah
diperbincangkan adalah mangrove sebagai penyimpan karbon. Mangrove menyimpan
karbon lebih dari hampir semua hutan lainnya di bumi, sebuah penelitian yang
dilakukan tim peneliti dari US Forest Service Pasifik Barat Daya dan stasiun
penelitian Utara, Universitas Helsinki dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional
meneliti kandungan karbon dari 25 hutan mangrove di wilayah Indo-Pasifik dan
menemukan bahwa hutan mangrove per hektar menyimpan sampai empat kali lebih
banyak karbon daripada kebanyakan hutan tropis lainnya di seluruh dunia. Penelitian
lain yang dilakukan oleh ilmuan Gail Chmura ahli pembersih karbon dari Universitas
McGill menyatakan bahwa hutan mangrove memiliki tingkat penyerapan lima kali
lebih cepat terhadap nunsur karbon di udara jika dibandingkan dengan hutan di
daratan. Tiap tahun hutan mangrove dapat menyerap 42 juta ton karbon di udara atau
18
setara dengan emisi gas karbon dari 25 juta mobil. Karbon yang diserap tumbuhan
selama fotosintesis, bersama-sama dengan nutrient yang diambil dari tanah,
menghasilkan bahan baku untuk pertumbuhan. Dalam proses fotosintesis, CO2 dari
atmosfer diikat oleh vegetasi dan disimpan dalam bentuk biomassa. Carbon sink
berhubungan erat dengan biomassa tegakan. Jumlah biomassa suatu kawasan
diperoleh dari produksi dan kerapatan biomassa yang diduga dari pengukuran
diameter, tinggi, dan berat jenis pohon. Biomassa dan carbon sink pada hutan tropis
merupakan jasa hutan diluar potensi biofisik lainnya, dimana potensi biomassa hutan
yang besar adalah menyerap dan menyimpan karbon guna pengurangan CO2 di
udara. Manfaat langsung dari pengolahan hutan berupa hasil kayu hanya 4,1%,
sedangkan fungsi optimal hutan dalam penyerapan karbon mencapai 77,9%
(Darusman, 2006). Stok karbon diestimasi dari biomassanya dengan mengikuti aturan
46% biomassa adalah karbon (Pramudji, 2002).
19
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mangrove merupakan tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang
hidup diantara laut dan daratan yang keberadaannya dipengaruhi oleh beberapa
factor, diantaranya yaitu suhu, pasang surut, gelombang dan arus, substrat (sedimen),
salinitas, derajat keasaman (pH), angin, cahaya, dan curah hujan. Vegetasi mangrove
memiliki bentuk dan ukuran yang beragam dari bentuk pohon yang menjulang tinggi
sampai bentuk epifit yang menjalar. Ekosistem mangrove secara ekologis memiliki
produktivitas yang tinggi untuk mendukung lingkungan sekitar. Tingginya
produktivitas ekosistem mangrove disebabkan oleh produksi serasah yang dihasilkan
dari vegetasi mangrove. Mangrove memiliki tiga tipe formasi, yaitu mangrove pantai,
mangrove muara, dan mangrove sungai. Beberapa fungsi hutan mangrove antara lain,
secara fisik hutan mangrove dapat mencegah terjadinya abrasi pantai dan meredam
gelombang dan angin laut serta sebagai perangkap sedimen, penahan angin (win
breaker) sehingga kecepatan dan kekuatan angin dapat berkurang atau dibelokkan
sebelum sampai ke permukiman penduduk, dapat mengurangi kecepatan angin hingga
75-85 % dari kecepatan awal, mampu mempertahankan keberadaan daratan di tepi
pantai, menahan tanah di daerah pantai dari kikisan air laut, meredam atau,
menetralisir peningkatan salinitas dalam penyerapan bahan pencemar (polutan),
sumber energi serta pensuplai bahan organik bagi lingkungan di sekitarnya.
20
Download