1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan kaya akan sumber daya alam. Luas laut Indonesia kurang lebih 3,1 juta km 2 (perairan laut teritorial 0,3 juta km2 dan perairan nusantara 2,8 juta km2) dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) seluas lebih kurang 2,7 juta km 2, menyimpan banyak jenis ikan dan hasil perairan laut lainnya yang memiliki nilai ekonomis yang sangat penting. Sebagian besar produksi perikanan laut, dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat terutama dalam pemenuhan peningkatan gizi yang berasal dari protein hewani. Namun, ikan merupakan bahan makanan yang sangat mudah rusak dibandingkan dengan daging hewan lainnya. Di daerah tropis pada lingkungan suhu tinggi ikan mulai membusuk 12 jam setelah penangkapan (Berkel dkk. 2004), sedangkan ikan segar diperoleh masyarakat secara tidak langsung baik melalui pasar tradisional maupun pasar modern. Selanjutya penangkapan ikan di laut oleh nelayan, memerlukan waktu untuk transportasi ke tempat pelelangan ikan (TPI) sebelum didistribusikan ke pasar-pasar dalam hal ini memerlukan waktu untuk sampai ke konsumen atau masyarakat. Disamping itu juga produksi perikanan laut ini sangat dipengaruhi oleh keadaan musim dimana suatu saat jumlah produksi ikan tinggi, tetapi di saat lain produksinya rendah atau tidak ada sama sekali. Pada saat produksi ikan melimpah belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal karena pemanfaatannya masih terbatas dalam bentuk konsumsi segar dan olahan tradisional. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat bagi nelayan untuk menghindari agar ikan tidak cepat membusuk. Beberapa pengolahan atau pengawetan ikan misalnya dengan pemberian es yang pada prinsipnya menurunkan aktivitas bakteri dan enzim (Irianti, 2007), sedangkan dengan pengasapan prinsipnya yaitu proses masuknya senyawa volatil dari sumber pengasapan ke dalam daging ikan (Palm dkk. 2011) dan penggaraman 1 2 yang prinsipnya adalah menyerap air dalam daging ikan sehingga sulit bagi mikroorganisme untuk bertahan hidup ataupun dengan pemberian formalin (namun hal ini tidak dianjurkan karena berbahaya bagi tubuh manusia). kesegaran ikan merupakan tolok ukur untuk membedakan ikan yang berkualitas baik dan yang tidak baik. Ehira dan Uchiyama (1987) menyatakan bahwa tingkat kesegaran ikan ditentukan pada tahap autolisis sebelum ikan mulai membusuk. Disamping itu juga waktu dan temperatur merupakan faktor yang paling penting untuk mengontrol dan mempertahankan kualitas kesegaran ikan (Adams dan Moss, 2008). Tanda-tanda ikan mengalami penurunan kualitas secara fisik dapat diamati seperti berlendir, berbau, berubah warna, tekstur dan rasa dengan menghasilkan gas. Indikator penurunan kualitas ini mengacu pada berbagai reaksi biokimia, mikroba, enzim dan mekanisme fisik (Connel, 1990; Daczkowska-Kozon, 1993) juga bergantung pada spesies ikan, kondisi penyimpanan (Chotimarkorn, 2011) dan terhadap perubahan akibat reaksi kimia dan pembusukan secara bakterial (Sharifian, dkk. 2011). Kerusakan ikan mengikuti tahap-tahap rigor mortis, autolisis (hilangnya kesegaran) dan pembusukan oleh bakteri. Bremner (2002) menyatakan bahwa pH daging ikan ketika masih hidup adalah 7,0 dan setelah mati pH daging ikan menurun sekitar 6,6-5,5 tergantung pada spesies. Hal ini disebabkan karena sisa glikogen dipecah melalui proses glikolisis menjadi asam piruvat dan asam laktat sehingga pada kondisi ini, daging ikan menjadi lebih asam. Meskipun keasaman daging ikan dapat menghambat pertumbuhan bakteri namun kondisi ini dapat mengubah tekstur normal daging ikan. Selanjutnya pH daging ikan akan meningkat karena terjadinya akumulasi senyawa alkali seperti ammonia dan trimetilamina (TMA) yang berasal dari aktivitas mikroba selama daging ikan membusuk (Ruiz-Capillas dan Moral, 2005; Özyurt, dkk. 2009). Trimetilamin oksida (TMAO) merupakan komponen senyawa yang normal terdapat pada ikan laut. Ikan yang masih segar konsentrasi TMA ditemukan dalam jumlah sangat rendah atau tidak ada. Lindsay dkk. (1994) menyatakan bahwa TMA tidak diproduksi dalam jumlah yang signifikan pada tahap awal penyimpanan tetapi akan nampak 3 atau 4 hari dan setelah itu tingkat 2 3 produksi TMA sejajar dengan proliferasi pola bakteri. Produksi TMA mungkin dilakukan oleh mikroorganisme namun tidak semua bakteri mempunyai kemampuan yang sama dalam mereduksi TMAO menjadi TMA karena reduksi ini tergantung juga dari pH dan daging ikan yang mengandung enzim untuk mereduksi TMAO. TMA merupakan basa nitrogen yang mudah terprotonasi menjadi kation trimetilammonium. Davidek dan Davidek, (1995) menyatakan bahwa TMA termasuk dalam kelompok amina biogenik yang terbentuk dalam produk makanan non-fermentasi selama penyimpanan. Jika pertumbuhan bakterinya dihambat maka TMAO akan terdegradasi oleh aktivitas enzim intrinsik ikan yaitu direduksi menjadi TMA. Ikan Cod segar memiliki TMA yang sangat rendah konsentrasinya di bawah 1,5 mg TMAN/100 g, tetapi nilai ini meningkat terus selama terjadi pembusukan. Ikan yang konsentrasi TMA kurang dari 1,5 mg TMAN/100 g dianggap ikan yang berkualitas baik sedangkan yang mempunyai konsentrasi antara 10-15 mg TMAN/100 g dianggap sebagai batas yang dapat diterima (Huss,1988) dan ikan dianggap busuk apabila konsentrasi berada diatas 30 mg/100 g (Bonnel, 1994). Penggunaan parameter TMA sebagai indeks kesegaran ikan diusulkan pertama kali oleh Beatty dan Gibbons (1936). Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa produksi TMA tergantung pada aktivitas bakteri serta enzim endogen. Daging ikan teleost terbangun dari berkas otot yang berdekatan yang disebut miotom, dipisahkan oleh lembaran kolagen yang disebut myocommata (Nursall, 1956). Menurut Cheret dkk. (2005) otot ikan memiliki suatu organisasi yang khusus, karena terdiri dari lembaran-lembaran otot yang terpisah yang disebut miotom dan diorganisir oleh suatu jaringan ikat. Disamping itu juga, miotom terdiri dari sejumlah besar serat otot individual dalam matriks kolagen. Ketika ikan mati maka kekenyalan otot ikan akan berkurang dengan cepat karena kekenyalan otot ikan terkait dengan kandungan kolagen. Hansen dkk. (1996) menyatakan bahwa enzim autolitik yang menyebabkan kualitas tekstur pada tahap awal kemunduran ikan, meskipun belum mengeluarkan bau dan rasa yang khas. Sriket (2014) menyatakan bahwa pelunakan daging terjadi akibat hidrolisis secara 3 4 terus menerus dari protein otot oleh kolagenolitik seperti protease-serin endogen selama penyimpanan postmortem. Asap cair merupakan campuran larutan dari penyebaran asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil dari pirolisis pembakaran kayu. Menurut Budijanto dkk. (2008), terdapat 40 komponen senyawa dalam asap cair dengan 7 komponen yang dominan yaitu 2-metoksifenol (guaiakol); 3,4-di metoksifenol; fenol; 2-metoksi-4-metilfenol; 4-etil-2-metoksifenol; 3-metil fenol dan 5-metil-1,2,3-trimetoksibenzene. Selain itu tidak ditemukan adanya senyawasenyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang bersifat karsino genik termasuk benzo[α]pirene dalam asap cair tempurung kelapa. Pirolisis tempurung kelapa dilaporkan menghasilkan asap cair dengan kadar fenolik sebesar 9,36%, karbonil 8,34% dan asam organik 6,38%. Asap cair yang didistilasi lebih rendah dari 100°C menghasilkan jumlah fenolik 3,90% dan tar 0,29% lebih rendah dibanding dengan produk asap cair yang disuling pada suhu tinggi (Darmadji, 2002). Semakin tinggi kandungan total fenol dalam asap cair semakin asam produk asap cair yang dihasilkan (Yuniningsih dan Anggraini, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asap cair mengandung komponen aktif antimikroba yang berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet alami. Lombok dkk. (2014) melaporkan bahwa senyawa aktif antibakteri yang terkandung di dalam asap cair tempurung kelapa adalah asam asetat disamping itu terdapat juga senyawa fenol/fenolik dan 1- hidroksi-propanon yang mampu meningkatkan aktivitas antibakteri. Dilaporkan juga bahwa asap cair tempurung kelapa pada konsentrasi 5%, 10% dan 20% memberikan aktivitas antibakteri terhadap P. fluorecens dan S. aurus sedangkan pada konsentrasi 1% tidak menunjukan aktivitas antibakteri terhadap keduanya. Asap cair tempurung kelapa dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen S. aureus dan P. aeruginosa. dan komponen fenolat (fenol, metilfenol dan guaiakol) serta komponen asam (turunan asam benzoat) yaitu komponen yang teridentifikasi dalam asap cair tempurung kelapa yang berperan sebagai antibakteri (Zuraida, 2009). Sedangkan menurut Swastawati dkk. (2007) asap cair tempurung kelapa mempunyai aktivitas antioksidan paling tinggi diantara asap cair kayu jati, kamper, bangkerai dan mahoni. 4 5 Pengolahan dengan menggunakan pengasapan tradisional, komponen kimia berbahaya yang terkandung di dalamnya kadang tidak dapat terkontrol dengan baik namun dengan asap cair (liquid smoke) hal ini dapat di minimalisir disamping itu juga akan diperoleh rasa, aroma dan tekstur yang diinginkan. Asap cair telah digunakan secara luas dalam sistem pangan untuk memberikan rasa karakteristik yang mirip dengan produk makanan asap (Varlet dkk. 2010). Berdasarkan kajian pustaka diketahui bahwa penelitian tentang pengawetan ikan dengan asap cair telah banyak dilakukan diantaranya, Sérot (2004) meneliti pengaruh proses pengasapan terhadap senyawa fenolik pada filet ikan (Cuplea harengus) menggunakan proses pengasapan tradisional dan asap cair. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan senyawa fenolik dalam sampel sangat dipengaruhi oleh proses yang diterapkan. Menurut Siskos dkk. (2007) bahwa aktivitas antimikroba asap cair terutama disebabkan karena adanya senyawa kimia yang terkandung dalam asap seperti fenol, formaldehid, asam asetat dan kreosat yang menempel pada bagian permukaan bahan yang menghambat pembentukan spora dan pertumbuhan beberapa jenis jamur dan bakteri. Bower dkk. (2009) menyatakan bahwa fenol adalah salah satu komponen yang bertindak sebagai antioksidan dan komponen lainnya adalah asam-asam organik, alkohol, karbonil, hidrokarbon dan senyawa nitrogen seperti nitrooksida. Disamping itu juga komponen yang ditemukan pada permukaan dalam daging ikan adalah aldehida, keton, ester dan eter (Gόmez-Guillén dkk. 2009). Arnin dkk. (2012) meneliti pengaruh asap cair sebagai pengawet pada bakso dengan menggunakan dua faktor yaitu faktor konsentrasi 0%, 3%, 5%, 7% dan faktor lama penyimpanan 0 hari, 5 hari, 10 hari, 15 hari. Kesimpulannya interaksi konsentrasi asap cair dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar protein dan aplikasi asap cair 7% meningkatkan masa simpan bakso sampai 15 hari. Martinez dkk. (2012) meneliti kaitan asap cair dan lamanya penyimpanan terhadap sifat fisiko kimia, sensorik serta karakteristik tekstur dari filet salmon. Hasilnya bahwa filet yang direndam dalam campuran garam dan gula lebih cepat memproduksi TMA dari pada filet yang hanya direndam dengan air garam. Studi lain menunjukkan bahwa proses pengasapan filet ikan dengan asap cair dan larutan garam 70% akan memberikan 5 6 ikan lebih awet (Alcicek dan Hasan, 2010). Menurut Yuwono dkk. (2006) dengan meningkatkan konsentrasi asap cair yang digunakan menyebabkan rasa dan aroma asap meningkat serta warna ikan lele menjadi lebih gelap. Selanjutnya, Chatziky riakidou dan Katsanidis (2012) meneliti filet chub mackerel menggunakan air garam dengan atau tanpa asap cair dan dikemas dalam hampa udara kemudian disimpan pada suhu 40C. Kesimpulannya sampel filet yang direndam air garam dan dengan asap cair menunjukan nilai pH yang sama. Menurut Howgate (2009), mengukur nilai pH untuk kerusakan ikan dapat dilakukan melalui jaringan otot. Swastawati (2012), meneliti tentang kualitas ikan pari (Dasyatis blekery) yang direndam dengan menggunakan asap cair tongkol jagung (CCLS) dan tempurung kelapa (CSLS). Hasilnya menunjukan bahwa asap cair yang berbeda dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap lisin (p <0,05). Kedua asap cair memberikan pengaruh yang signifikan (p <0,05) terhadap PV (CSLS = 2.816 mek / kg & CCLS = 2,195meq / kg) dan TBA (CSLS = 109.685 mg malonaldehide / kg & CCLS =45.169 mg malonaldehide / kg) namun selama penyimpanan nilai ini menurun sebagai akibat dari aktifitas antioksidan fenolik dalam asap cair. Sebaliknya terjadi peningkatan nilai pH pada sampel. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: bagaimana profil nilai pH sampel filet kakap putih (L calcarifer) tanpa dan dengan direndam asap cair tempurung kelapa selama penyimpanan? bagaimana profil konsentrasi TMA sampel filet kakap putih (L calcarifer) tanpa dan dengan direndam asap cair tempurung kelapa selama penyimpanan ? dan bagaimana gambaran struktur mikro sampel filet kakap putih (L calcarifer) tanpa dan dengan direndam asap cair tempurung kelapa selama penyimpanan?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang asap cair tempurung kelapa yaitu dengan menganalisis komponen senyawa yang terkandung di dalamnya serta membandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Kemudian perlu menentukan kondisi terbaik dari asap cair tempurung kelapa yaitu melalui penentuan konsentrasi optimum dan lama perendaman optimum, selanjutnya 6 7 menganalisis parameter kesegaran ikan yang direndam ataupun tanpa direndam asap cair tempurung kelapa yaitu nilai pH dan konsentrasi TMA, serta menganalisis struktur mikro sampel filet kakap putih (L calcarifer) yang masingmasing menggunakan pH meter, spektrofotometer (UV-vis) dan scanning electron microscope (SEM). 1.2 Kebaruan Penelitian Penelitian mengenai asap cair dan penggunaannya sebagai bahan pengawet ikan telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu, namun hasil dan kesimpulannya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena situasi dan kondisi serta karakteristik ikan yang berbeda juga tahapan pengolahan yang berbeda dapat mengubah sifat fisikokimia ikan (Fuentes dkk. 2010). Penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan terdapat beberapa kesamaan misalnya permasalahan tentang pengawetan ikan dan parameterparameter yang diteliti serta, alat analisis yang digunakan. Namun yang membedakan dengan penelitian terdahulu adalah menggunakan asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa (grade-2) tanpa bahan tambahan lainnya sehingga benar-benar sampel yang diteliti adalah ikan yang diberi asap cair tempurung kelapa yang diduga memiliki potensi sebagai bahan pengawet serta data yang dipergunakan adalah data primer yang langsung dari hasil analisis sampel. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data dari hasil analisis sampel berkaitan dengan pemberian asap cair tempurung kelapa sebagai hasil pirolisis tempurung kelapa pada filet ikan kakap putih (L calcarifer ) terhadap parameter kimiawinya dalam hubungannya dengan kesegaran ikan. Secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1) Mempelajari perbedaan antara profil nilai pH sampel filet ikan kakap putih (L calcarifer) tanpa direndam dan yang direndam asap cair tempurung kelapa selama penyimpanan. 7 8 2) Mempelajari perbedaan antara profil konsentrasi TMA sampel filet ikan kakap putih (L calcarifer) tanpa direndam dan yang direndam asap cair tempurung kelapa selama penyimpanan. 3) Mempelajari gambaran struktur mikro sampel filet ikan kakap putih (L calcarifer) tanpa direndam dan yang direndam asap cair tempurung kelapa. 1.4 Manfaat penelitian 1) Mendapatkan data nilai pH dan data konsentrasi TMA sampel filet ikan kakap putih (L calcarifer) tanpa direndam dan yang direndam asap cair tempurung kelapa selama penyimpanan. 2) Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi dalam industri perikanan maupun masyarakat umum dan akademik sehubungan dengan kualitas kontrol ikan laut. 8