II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Maskoki Ikan Maskoki seperti yang dikutip dari situs http://www.wikipedia.org/wiki/Goldfish (19 Juli 2009) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Carassius Spesies : Carassius auratus Ikan Maskoki (Carassius auratus) yang mempunyai nama dagang gold fish berasal dari Cina. Ikan ini sudah digunakan sebagai ikan hias sejak abad ke-7. Ikan yang bersifat omnivora ini hidup baik pada suhu 19-28oC dengan suhu optimal 24-28oC, kisaran pH yang diinginkan antara 7,0-7,5 (Lesmana, 2001). Berdasarkan kromosomnya, secara genetik ikan Maskoki berhubungan dekat dengan karper Crucian yang tersebar luas di Jepang dan Cina (Kafuku dan Ikenoue, 1983 dalam Arista, 2001). Namun demikian, secara fenotip keduanya dapat dibedakan karena ikan Maskoki memiliki sisik yang lebih sedikit (29-30) dibandingkan dengan ikan Crucian (32-33) (Huet, 1994 dalam Arista, 2001). Ikan Maskoki mutiara ini bentuk badannya bulat seperti bola sisiknya menyerupai biji jagung (Anonim, 2007). Gerakan ikan Maskoki sangat lambat. Sifat yang menonjol adalah kebiasaannya yang suka mengaduk-ngaduk dasar akuarium untuk mencari makanan sehingga air menjadi keruh dan tumbuhan air kadang tercabut. Perilakunya itu dikenal dengan bottom feeder (Daelami, 2001). 2.2 Respon Ikan Terhadap Medan Listrik Menurut Suharyanto (2003), otot dan cairan tubuh ikan adalah media yang dapat dialiri arus listrik sehingga ikan bersifat konduktor listrik. Perbedaan daya hantar listrik atau konduktivitas di antara tubuh ikan (yf) dan air (yw) sangat menentukan biota air tersebut mudah atau sukar dalam merespon medan listrik. Jika yf lebih kecil atau sama dengan yw maka biota air sulit merespon medan listrik, sebaliknya yf lebih besar daripada yw maka ikan akan lebih mudah merespon medan listrik. Nilai konduktivitas yf dan yw mempengaruhi body voltage (antara kepala dan ekor). Pada air dengan konduktivitas yang rendah maka ikan akan lebih mudah merespon medan listrik yang ada disekitarnya, selama ini konduktivitas biota lebih rendah dari konduktivitas air (Holzer, 1957 dalam Suharyanto, 2003) 2.3 Elektroreseptor Pada Ikan Ikan dapat merespon arus listrik karena memiliki organ electroreceptor. Secara umum, electroreceptor merupakan pengembangan dan modifikasi gurat sisi atau Lateral line (Hoar dan Randall, 1971). Menurut Albert dan Crampton (2006), Electroreceptor merupakan sensor. Pada indera pendengaran, informasi dari elektrosensori diatur menggunakan waktu dan frekuensi isyarat. Pada indera penglihatan, informasi dari elektrosensori ditransmisikan hampir secara langsung. Pada indera penciuman, rasa, dan pendengaran intensitas yang dirasakan dari rangsangan elektrik meningkat dengan semakin dekatnya jarak dengan sumber rangsangan. Sedangkan pada indera peraba, input dari elektrosensori menyampaikan informasi tentang bentuk dan tekstur elektrik dari objek pada lingkungan sekitar. Electroreceptor dikelompokkan kedalam dua jenis: tonic receptor dan phasic receptor. Tonic receptor aktif bekerja dan terus-menerus membentuk ritme tertentu, memberikan respon terhadap frekuensi rendah, dan memiliki saluran yang jelas menuju permukaan kulit. Phasic receptor hanya bekerja dalam waktu singkat secara spontan sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak normal, sensitif terhadap frekuensi yang relatif tinggi, dan tidak memiliki saluran yang jelas menuju permukaan kulit (Hoar dan Randall, 1971). 2.4 Sifat Listrik dalam Air Medan listrik alami terdapat pada banyak lingkungan perairan berasal dari faktor abiotik dan biotik. Medan listrik alami yang berasal dari faktor abiotik, sebagian besar merupakan Direct Current (DC) atau dalam frekuensi yang rendah jenis Alternating Current (AC), dalam selang kurang dari satu atau beberapa putaran per sekon (Hz). Medan listrik yang terbentuk, berasal dari proses-proses geochemical dan aliran air menuju medan magnet bumi. Medan listrik alami yang berasal dari faktor biotik berada dalam Direct Current (DC) berasal dari kumpulan oscillator, dimana semua sel-sel mengalami kebocoran atau kehilangan ion-ion dan itulah yang menjadi sumber dari arus DC. Hal yang menjadi sumber paling penting secara ekologi dari kutub medan oscilasi adalah diproduksi oleh ritme dari kontraksi otot sepanjang ventilasi insang dan pergerakan undulatori. Lebih dari 60 spesies hewan, 9 filum yang telah diketahui memiliki frekuensi rendah dari medan listrik di seluruh permukaan tubuhnya (Albert dan Crampton, 2006). Menurut Suharyanto (2003), bila elektroda logam dicelupkan ke dalam air, maka voltase maupun arus listrik akan menyebar dengan pola garis-garis lengkung yang menghubungkan katoda dan anoda. Sedangkan garis-garis equiptential digambarkan memotong garis-garis arus secara tegak lurus sehingga membentuk garis berpola melingkar dan bertitik pusat pada kedua elektroda. Pada air yang bersalinitas lebih tinggi memiliki konduktivitas yang lebih tinggi pula, sehingga garis-garis equiptential cenderung lebih melebar. Hal ini disebabkan air yang bersalinitas mengandung garam-garam elektrolit yang bermuatan negatif lebih tinggi sehingga daya hantar listriknya meningkat. Sebaliknya pada air yang bersalinitas rendah, garis-garis ini cenderung lebih mengumpul (Nyabakken, 1988 dalam Rasmawan, 2009). Di dalam air, semakin jauh jarak antar elektroda antara elektroda akan menyebabkan arus listrik semakin lemah dan gradient voltase semakin rendah. Berdasarkan kekuatan arus dan gradien tersebut, terbentuklah zona atau area efektif dan area berbahaya (Cowx dan Lamarque, 1990 dalam Suharyanto, 2003). Bagi ikan-ikan yang berada disekitar elektroda dalam air akan mendapatkan area berbahaya (danger zone) yang terletak dekat pusat elektroda dan area efektif yang terletak disebelah luar area berbahaya. Artinya pada area berbahaya ikan akan mengalami kekejangan (tetanus) dan pada area efektif akan mengalami hilangnya keseimbangan (Suharyanto, 2003) Semua garis potensial di air tawar didistorsi dengan arah mengumpul pada tubuh ikan sehingga ikan terpengaruh dengan baik oleh medan listrik (Halsband, 1959 dalam Aryana, 1980). 2.5 Efek medan Listrik terhadap Jaringan Hidup Menurut Fathony (2004), medan dan arus listrik pada frekuensi rendah apabila berinteraksi dengan jaringan biologik dapat menyebabkan efek fisiologik maupun psikologik. Menurut Nair (1989) dalam Rasmawan (2009), mekanisme interaksi medan listrik dengan benda hidup berupa induksi medan dan juga arus listrik pada jaringan biologi. Induksi pada benda hidup disebabkan adanya muatan-muatan listrik bebas yang terdapat pada ion kaya cairan seperti darah, getah bening, syaraf, dan otot yang dapat terpengaruh gaya yang dihasilkan oleh muatan-muatan dan aliran arus listrik. Jika tubuh menyerap intensitas medan listrik dan magnetik yang relatif cukup, maka hal ini akan merangsang sistem syaraf dan otot-otot dalam tubuh. Bahkan pada intensitas yang rendah pun, akan berpengaruh pada aktivitas modulasi di dalam otak maupun sifat syaraf (Fathony, 2004). Pemberian medan listrik memberikan pengaruh pada amplitude dan frekuensi kontraksi otot polos pada usus halus kelinci (Nurhandayani, 2005). Otot polos pada usus halus merupakan unit tunggal dimana sekelompok otot polos saling berhubungan melalui gap junction (Hill dan Wyse,1989 dalam Rasmawan, 2009) ketika sejumlah kecil otot polos terstimulasi secara elektrik, kontraksi menyebar ke sel-sel tetangga melalui gap junction, memungkinkan sel yang berbatasan untuk berkomunikasi dan mengkoordinasi aktivitasnya (Schmidt dan Nielsen, 1997 dalam Rasmawan, 2009). Salah satu perubahan fisis selama terjadi kontraksi pada usus adalah perubahan tegangan dan panjang (Goenarso, 2003 dalam Suarga, 2006). 2.6 Salinitas dan Osmoregulasi Menurut Boyd (1989) dalam Aini (2008), Salinitas didefinisikan sebagai konsentrasi total dari ion-ion yang terlarut dalam air. Salinitas digambarkan dalam miligram per liter (mg/L), tapi dalam akuakultur, salinitas biasa digambarkan dalam satuan part per thousand (ppt atau ‰). Tujuh ion utama yang berkontribusi terhadap salinitas sodium, pottasium, kalsium, magnesium, chloride, sulphate, dan bicarbonate. Air biasanya hanya mengandung sedikit unsur phosphorus, inorganik nitrogen, besi, mangan, zinc, copper, boron, dan unsur lain. Pada daerah estuari, salinitas air diestimasi berdasarkan konsentrasi chloride (Swingel, 1969 dalam Boyd, 1982). Hewan-hewan vertebrata air, di dalam mengandung konsentrasi garam yang berbeda dari media lingkungannya (Stickney, 1979). Proses fisiologis dalam tubuh akan berjalan normal apabila keseimbangan konsentrasi garam cairan tubuh dengan lingkungannya dapat dipelihara dan dijaga. Untuk mempertahankan keseimbangan tersebut, maka ikan melakukan proses pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak dan disebut dengan sistem osmoregulasi (Rahardjo, 1980 dalam Rasmawan, 2009). Menurut Watanabe (1988) dalam Aini (2008), secara signifikan, sejumlah mineral dapat diabsorbsi dari air secara langsung. Lebih jauh lagi, sebagian besar vertebrata hanya mampu mengekskresikan regulasi minimal dari mineral yang terabsorbsi melalui makanan. Walaupun demikian, sebagian besar spesies dapat melakukan regulasi apabila konsentrasi ion-ion dalam cairan tubuhnya demikian dijaga, agar lingkungan internalnya tetap konstan. Hal ini dicapai oleh ikan melalui pengaturan ion dan osmotik pada ginjal dan insang. Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik air. Semakin tinggi salinitas, semakin tinggi tekanan osmotik air (Boyd, 1982). Tekanan osmotik air akan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas. Darah ikan air tawar memiliki tekanan osmotik sekitar 6 atm atau setara dengan 7000 mg/l sodium klorida (NaCl) (Mackee dan Wolf, 1963 dalam Boyd, 1982). Ikan air tawar dapat hidup baik pada air laut dengan level salinitas tersebut. Menurut Stickney (1979), salah satu cara penyesuaian ikan terhadap lingkungan ialah pengaturan keseimbangan air dan garam dalam jaringan tubuhnya, karena sebagian hewan vertebrata air mengandung garam dengan konsentrasi yang berbeda dari media lingkungannya. Ikan harus mengatur tekanan osmotiknya untuk memelihara keseimbangan cairan tubuhnya setiap waktu. Salinitas juga meningkatkan status kesehatan ikan dan meningkatkan daya tahan ikan terhadap penyakit maupun stres akibat kondisi lingkungan (Wedemeyer, 1996). Hal ini didukung oleh Parjito (1998) yang menunjukkan bahwa peningkatan salinitas sebesar 3 ppt dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan nilem Osteochillus hasselti. Salinitas juga dapat digunakan sebagai kontrol penyakit saat toleransi ikan yang dibudidayakan lebih tinggi daripada parasit (Watanabe, 2000). Misalnya pada budidaya ikan channel catfish yang diberi garam 2 ppt dapat menurunkan parasit Ichthyophthirius multifilis (Johnson, 1976 dalam Arista, 2001). 2.7 Pencernaan Saluran pencernaan ikan terdiri dari segmen mulut, rongga mulut, faring, esofagus, lambung, piloric cecae, usus, rektum, dan anus. Proses pencernaan melibatkan komponen: bahan yang dicerna (pakan); struktur alat/saluran pencernaan (usus) sebagai tempat pencernaan dan penyerapan nutrien; cairan digestif yang diskeresikan oleh kelenjar pencernaan (hati dan pankreas) serta dinding usus (Yandes, 2003). Usus sebagai salah satu segmen saluran pencernaan ikan yang berfungsi sebagai tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan makanan. Menurut Opuszynki dan Shireman (1995) dalam Aini (2008), rasio panjang usus terhadap panjang tubuh (PU/PT ) ikan herbivora adalah 3.7-6, ikan omnivora 1.3-4.2 dan ikan karnivora adalah 0.5-2,4. Menurut Affandi (1993), rasio PU/PT pada jenis ikan air tawar lainnya seperti ikan gurame berbeda tiap ukuran, rasio PU/PT pada panjang tubuh 3.8-5 cm sebesar 0.62-1.02, rasio PU/PT pada panjang tubuh 8.911.9 cm sebesar 1.11-1.64 dan rasio PU/PT pada panjang tubuh 13.5-15 cm sebesar 1.31-2.31. Oleh karena itu, semakin panjang usus benih ikan, semakin lama pula pakan berada didalam usus. Sehingga proses pencernaan dan penyerapan zat-zat yang terkandung dalam pakan akan semakin baik (Natsir, 2002 dalam Aini, 2008). Sama halnya dengan ikan Maskoki yang hanya mengandalkan usus sebagai alat untuk menyerap makanan. Hal ini dikarenakan ikan Maskoki tidak memiliki lambung seperti hewan lain, melainkan langsung melalui usus untuk menyerap gizi yang diperlukan, maka ditilik dengan teliti, dapat ditemukan bahwa ikan Maskoki sering makan sambil membuang kotoran juga (Anonim, 2007). 2.8 Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan ukuran panjang, berat dan volume dalam jangka waktu tertentu (Effendi, 1979). Menurut Watanabe (1988) dalam Aini (2008), pertumbuhan pada hewan didefinisikan sebagai korelasi antara pertambahan bobot tubuh pada waktu tertentu, bergantung pada spesies. Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal seperti spesies, genetic strain, jenis kelamin dan faktor eksternal seperti kualitas pakan, serta lingkungan yaitu suhu, ketersediaan oksigen, zat-zat terlarut, dan faktor lingkungan lainnya. Laju pertumbuhan adalah karakteristik setiap spesies dan termasuk kedalam tahap perkembangan. Mortalitas menunjukkan banyak ikan yang mati atau hilang selama percobaan, biasanya besarnya mortalitas dinyatakan dalam persen (Winberg et al. dalam Edmonson dan Winberg, 1971). Mortalitas yang terjadi dapat digunakan sebagai parameter bagi kelangsungan hidup suatu organisme dalam hubungannya dengan ketahanan terhadap lingkungan, penyakit, dan daya adaptasi. Jika keadaan lingkungan ada pada tingkat di luar batas tertentu terhadap daya tahan, maka pertumbuhan akan terhambat dan bahkan dapat menyebabkan kematian secara perlahan -lahan atau kematian mendadak. Kelangsungan hidup secara langsung dipengaruhi oleh lingkungan perairan (Dewi, 2006). Salinitas merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup dan metabolisme ikan, Selain itu pada konsentrasi tertentu, garam juga berfungsi mematikan bakteri air tawar, parasit, dan jamur ikan tertentu. Kelangsungan hidup ikan air tawar di dalam lingkungan bergantung pada: jaringan insang, laju konsentrasi oksigen, daya tahan atau toleransi jaringan terhadap garam-garam, dan kontrol permeabilitas. 2.9 Kualitas Air Air merupakan media yang berfungsi sebagai tempat hidup organisme perairan yang harus mampu memenuhi persyaratan secara kualitas dan kuantitas sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme tersebut. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan antra lain suhu, pH, oksigen terlarut, amonia dan nitrit (Weatherley, 1972 dalam Sitio, 2008). 2.9.1 Suhu Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air. Kenaikan suhu pada air akan menimbulkan menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air, meningkatkan reaksi kimia, dan bersifat mematikan jika nilainya melebihi batas toleransi ikan. Suhu normal air adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakuakan metabolisme dan berkembang biak (Hardjodjo, 2005 dalam Aini, 2008). Ikan yang bersifat omnivora ini hidup baik pada suhu 19-28oC dengan suhu optimal 24-28oC (Lesmana, 2001). 2.9.2 pH Nilai pH didefinisikan sebagai log negative dari konsentrasi ion hydrogen (Boyd, 1990). Nilai pH perairan 5-9 tidak bersifat toksik akut bagi kebanyakan spesies ikan, walaupun beberapa kontaminan air seperti logam berat dapat merubah kualitas air pada selang pH ini (Alabaster dan Iloyd, 1980 dalam Aini, 2008). Nilai pH juga berkaitan dengan karbondioksida (CO2) dan alkalinitas (Mackereth et al, 1989 dalam Sitio, 2008). Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah nilai kadar karbondioksida bebas. Nilai pH juga mempengaruhi suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Amonium tidak bersifat toksik, namun pada suasana pH yang tinggi, lebih banyak ditemukan ammonia yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Nilai pH merupakan parameter lingkungan yang bersifat mengontrol laju metabolisme melalui control terhadap aktivitas enzim (Aini, 2008). Swingel (1969) dalam Boyd (1982) menjelaskan pengaruh pH terhadap pertumbuhan ikan, pada pH 4-6,5 dan pH 9-11 pertumbuhan ikan lambat, pada pH 6,5-9 pertumbuhan ikan optimum, sedangkan pada pH<4 dan pH>11 akan menyebabkan kematian pada ikan. Kisaran pH yang diinginkan ikan maskoki antara 7,0-7,5 (Lesmana, 2001). 2.9.3 Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan faktor kritis pada kegiatan budidaya intensif. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu. Kelarutan oksigen dalam air terbaik pada suhu 0oC dan semakin menurun kelarutannya seiring dengan peningkatan suhu. Kelarutan oksigen menurun dengan menigkatnya kadar salinitas air. Kelarutan oksigen di air juga digambarkan sebagai tekanan oksigen. Pada lamela-lamela insang tekanan oksigen lebih tinggi dibandingkan di dalam air dan dibandingkan di dalam darah, sehingga oksigen bisa terikat oleh haemoglobin (oxyhaemoglobin) (Boyd, 1982). Konsentrasi oksigen yang terlalu rendah dapat menimbulkan anoreksia, stress dan kematian pada ikan. Jumlah oksigen maksimum yang terlarut dalam air tergantung pada suhu, salinitas dan altitude (Goddard, 1996; Wedemeyer, 1996). Konsentrasi oksigen yang dapat mendukung kehidupan organisme akuatik adalah mendekati atau diatas 3 ppm (Pescod, 1973 dalam Sitio, 2008). 2.9.4 Daya Hantar Listrik Daya hantar listrik (DHL) adalah gambaran kemampuan air dalam menghantarkan listrik (Effendi, 2000). Kemampuan air dipengaruhi oleh ion-ion terlarut yang terkandung didalam suatu perairan. Menurut Boyd (1982), nilai daya hantar listrik mengindikasikan derajat relatif dari salinitas. Air tawar lebih bervariasi dalam hal proporsi ion-ion utamanya, sehingga nilai konduktivitas biasanya tidak berbanding lurus dengan nilai salinitasnya. Nilai konduktivitas digunakan untuk mengestimasi nilai kadar salinitas pada air tawar (Swingel, 1969 dalam Boyd, 1982). Faktor yang mempengaruhi daya hantar listrk air tawar adalah suhu, partikel-partikel tersuspensi dan terlarut (Sternin et al., 1972 dalam Sitio, 2008). Satuan dari konduktivias adalah µmhos/cm atau µSiemens/cm. Kedua satuan tersebut setara (Mackereth et al., 1989 dalam Effendi, 2000). Nilai DHL air suling sekitar 1 µmhos/cm, sedangkan nilai DHL perairan alami sekitar 201500 µmhos/cm (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2000). Perairan laut memiliki nilai DHL yang sangat tinggi karena banyaknya garam-garam terlarut didalamnya. (APHA, 1976 dalam Effendi, 2000). APHA (1976); Mackereth et al. (1989) dalam Effendi (2000), menyebutkan bahwa reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh terhadap nilai DHL. Asam, basa, dan garam merupakan penghantar listrik atau konduktor yang baik. 2.9.5 Alkalinitas Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan asam, atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas kation hidrogen (Sitio, 2008). Menurut Wedemeyer (1996) alkalinitas adalah jumlah total dari konsentrasi bahan yang bersifat alkali (basa) yang larut dalam air. Alkalinitas total menunjukkan total konsentrasi basa dalam air yang digambarkan sebagai miligram per liter kalsium karbonat (Boyd, 1982). Kadar alamiah air mengandung 40 mg/L CaCO3 atau lebih total alkalinitas yang dianggap produktif dibandingkan air yang mengandung nilai alkalinitas yang lebih rendah (Moyle, 1945; Mairs, 1966 dalam Boyd, 1982). Menurut Stickney (1979), alkalinitas perairan dalam budidaya diupayakan berada pada kisaran 30200 mg/L walaupun pada perairan dengan alkalinitas yang lebih tinggi atau lebih rendah masih sering digunakan untuk budidaya. 2.9.6 Kesadahan Kesadahan total adalah konsentrasi logam berion divalen dalam air (Boyd, 1982). Kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks dengan logam berat tersebut. Kesadahan yang baik untuk perikanan adalah lebih besar dari 20 mg/L CaCO3 (Boyd, 1982), dan Stickney (1979) memberikan kisaran antara 20-150 mg/L CaCO3, sedangkan untuk keperluan budidaya intensif sebaiknya kesadahan ada pada kisaran 50-200 mg/L CaCO3 (Wedemeyer, 1996). Menurut Peavy et al. (1985) dalam Effendi (2003), klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan ditunjukkan dalam tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Perairan Berdasarkan Nilai Kesadahan Kesadahan (mg/l CaCO3) Klasifikasi Perairan <50 50 – 150 150 – 300 >300 lunak (soft) menengah (moderately hard) sadah (hard) sangat sadah (very hard) Air dengan kesadahan yang rendah mengandung sedikit kalsium dan mineral yang dibutuhkan utuk kesehatan ikan. Air yang lebih sadah akan lebih baik bagi kesehatan ikan karena dapat menyediakan kalsium dan mengurangi kerja osmotik yang dibutuhkan untuk mengganti elektrolit darah yang terus keluar melalui urin yang diproduksi ikan air tawar. Selain itu, ion sodium, magnesium, dan kalsium yang ditambah ke air akan meningkatkan daya tahan tubuh ikan air tawar terhadap suhu yang tinggi (Wedemeyer, 1996). 2.7.7 Amonia Amonia merupakan zat yang bersifat toksik bagi ikan. Amonia dalam air berasal dari buangan metabolit ikan, pemupukan, dan busukan hasil aktivitas bakteri pengurai komponen nitrogen (Boyd, 1982). Amonia di perairan ada dalam dua bentuk, yaitu bentuk ion yang tidak bersifat toksik (NH4+) dan bentuk gas (non ionik) yang bersifat toksik (NH3). Amonia dalam air mengalami hidrolisis dan membentuk kesetimbangan: NH3 + H2O NH4 + OH- Reaksi tersebut tergantung pada pH. Bila pH perairan tinggi maka reaksi akan begeser ke kiri (Poernomo, 1989 dalam Sitio, 2008). Konsentrasi perairan tergantung pH, suhu air, salinitas, konsentrasi oksigen, konsetrasi natrium dan kesadahan (Wedemeyer, 1996). Menurut Sawyer dan Mc Carty (1978) dalam Effendi (2000) kadar NH3 diperairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0,02 mg/L. 2.9.8 Nitrit Nitrit merupakan jumlah kadar nitrogen yang telah teroksidasi. Nitrogen ini berasal dari sisa metabolisme ikan dan dekomposisi dari feses dan pakan yang tidak termakan oleh ikan. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediet) antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi) yang berlangsung pada kondisi anaerob (Effendi, 2000). Nitrit bersifat toksik terhadap organisme karena mengoksidasi Fe+ dalam haemoglobin yang menyebabkan kemampuan darah dalam mengikat oksigen menurun dan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh (Boyd, 1990). Nitrit dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi methemoglobin sehingga darah tidak dapat mengikat oksigen (Boyd, 1990). Konsentrasi methemoglobin yang normal dalam darah menurut Wedemeyer (1996) adalah 1-3 %. Apabila konsentrasi methemoglobin dalam darah mencapai 50 %, ikan akan mengalami hypoxia yang dapat menyebabkan kematian terutama apabila konsentrasi oksigen terlalu rendah. Sawyer dan McCarty (1978) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa diperairan, kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/l. 2.10 Sistem Resirkulasi Sistem resirkulasi adalah suatu wadah pemeliharaan ikan yang menggunakan sistem perputaran air, yaitu air dialirkan dari wadah pemeliharaan ikan ke wadah filter, lalu dialirkan lagi ke wadah pemeliharaan (Timmons dan Losordo, 1994 dalam Gemawaty, 2006). Secara umum sistem resirkulasi mempunyai dua komponen utama, yaitu wadah pemeliharaan ikan dan filter. Filter merupakan suatu alat yang berfungsi untuk menyaring material tertentu yang dikehendaki (amonia, bahan padatan, residu organik dan bahan kimia lainnya) dan meloloskan material lain yang dikendaki. Filter yang digunakan juga ada 2 komponen utama yaitu filter fisik dan filter biologis. Dengan kedua filter ini, air resirkulasi akan terhindar dari kekeruhan dan zat racun yang larut yang berasal dari sisa pakan, urine, dan kotoran ikan. Sistem resirkulasi membutuhkan prosedur khusus pada saat pertama kali diterapkan guna mempersiapkan filter biologis dalam keadaan baik, Filter biologis dapat menjernihkan sisa amoniak dan nitrogen hanya setelah berkembangnya nitro-bakteri (Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp.). Proses ini memerlukan waktu sekitar 10-15 hari setelah sistem diisi dengan air dan mulai beroperasi (Slembrouck et al, 2005). Pemanfaatan sistem resirkulasi cukup terbatas karena biaya yang dikeluarkan relatif tinggi (Stickney, 1979). 2.10.1 Filter Mekanik Filter mekanik yaitu suatu alat untuk memisahkan padatan air secara fisika dengan cara menangkap atau menyaring sehingga kandungan bahan tersebut menjadi berkurang (Anonim, 2002 dalam Gemawaty, 2006). Fungsi filter mekanik pada system resirkulasi adalah untuk mengurangi turbiditas air, menurunkan kadar bahan organik yang berbentuk koloid dan membuang detritus dari filter biologi (Spote, 1970 dalam Gemawaty, 2006). Filter mekanik dapat disusun dari beberapa material tertentu, seperti kerikil, pasir, batu zeolit ataupun batu koral. Penggunaan media yang terlalu rapat (misalnya: kerikil dan pasir) pada filter mekanik akan menyebabkan penyumbatan aliran air sehingga akan menimbulkan kondisi anaerobik dan hal ini berbahaya bagi ikan. Meskipun filter mekanik dapat memisahkan kotoran berupa partikelpartikel secara efisien, namun tidak efektif untuk memisahkan partikel-partikel yang terlarut. Untuk itu dibutuhkan filter biologi/ biofilter (Stickney, 1979). 2.10.2 Filter Biologi Filter biologi berfungsi mengubah amoniak menjadi nitrat (proses nitrifikasi). Proses tersebut bekerja dengan bantuan bakteri aerob dari golongan pengurai amoniak (Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp.) (Anonim, 2002 dalam Solehudin, 2006). Nitrosomonas sp. berguna dalam pengubahan amoniak menjadi nitrit sedangkan Nitrobacter sp. mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Kemudian bakteri tertentu mengubah nitrat menjadi nitrogen (N2). Reaksi tersebut dapat ditemukan dalam biofilter yang berfungsi untuk menjaga konsentrasi amoniak agar tetap berada dalam ambang batas untuk budidaya ikan (Meade, 1976 dalam Solehudin, 2006). Agar kerja filter biologi efektif dalam mereduksi buangan metabolit yang berasal dari hasil ekskresi organisme perairan, maka kondisi aerobic harus dipertahankan, karena proses nitrifikasi melibatkan bakteri aerob. Jika filter biologi menjadi anerobik, maka amoniak akan tinggi sehingga air menjadi beracun bagi ikan. Kadar oksigen yang diperlukan untuk proses nitrifikasi adalah sebesar 2 mg/l. kondisi aerobik dalam filter dapat dilakukan dengan cara aerasi (Stickney, 1979).