BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia kesehatan dari tahun ke tahun terus berkembang seiring dengan semakin kompleksnya penyakit yang juga terus bermunculan. Usaha penemuan obat baru, baik yang berasal dari alam maupun sintetik terus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memperoleh obat dengan aktivitas terapi paling optimum dan memiliki efek samping paling minimum. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengetahui potensi aktivitas farmakologi, mekanisme aksi, dan spesifitas tempat kerja suatu senyawa obat sehingga ke depannya dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal. Penggunaan bahan alam untuk mengobati penyakit sudah ribuan tahun diterapkan oleh masyarakat luas, baik di Indonesia maupun di negara lain. Salah satu tanaman obat yang sering digunakan yaitu tanaman kunyit. Di dalam rimpang kunyit terkandung antara lain kurkuminoid sebanyak 3-4% (terdiri dari kurkumin, demetoksi kurkumin dan bisdemetoksi kurkumin) (Sudarsono et al., 1996). Kurkumin dengan nama IUPAC 1,7-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,6-heptadien3,5-dion telah banyak diteliti dan dipublikasikan memiliki aktivitas farmakologis antara lain antihepatotoksik, antiinflamasi (Van der Goot, 1997; Sardjiman et al., 1 2 1997), antioksidan (Majeed et al., 1995), antiinfeksi (Sajithlal et al., 1998), dan antikolesterol (Bourne et al., 1999). Selain kurkumin, senyawa analog kurkumin yaitu pentagamavunon-0 (PGV-0) dilaporkan memiliki beberapa macam aktivitas farmakologi antara lain sebagai antiinflamasi (Sardjiman, 2000), antikanker (Nurulita dan Meiyanto, 2000), dan antioksidan yang lebih baik daripada kurkumin (Sardjiman et al., 1997). Namun, potensi kurkumin dan PGV-0 sebagai obat untuk brain disorder treatment belum pernah digali dikarenakan dua senyawa ini memiliki kelarutan yang kurang baik di dalam cairan biologis dan tidak dapat menembus blood brain barrier (BBB). Sejauh ini penelitian tentang efek kurkumin di otak adalah mengurangi kerusakan oksidatif dan defisit memori yang terkait dengan penuaan (Frautschy et al., 2001), meningkatkan fungsi kognitif, penurunan plak beta-amyloid, penurunan pembentukan mikroglia, penundaan degradasi neuron, memperbaiki keseluruhan memori pada pasien Alzheimer Disease (AD) (Mishra, 2008), epilepsi, stroke, dan cedera otak (Vajragupta, 2003). Kurkumin dan PGV-0 sangat sukar larut dalam air, sehingga mengakibatkan kecepatan disolusinya dan ketersediaan hayatinya rendah (Hakim et al., 2006). Hal ini mengakibatkan penurunan absorbsi pada saluran cerna sehingga obat sulit mencapai kadar terapi dan berakibat pada efek farmakologi yang tidak maksimal (Hu dan Li, 2011), dan membutuhkan dosis tinggi untuk mencapai efek terapi seperti penelitian yang dilakukan oleh Prasetya dan Yuliani (2014) bahwa 3 pemberian ekstrak etanol rimpang temulawak yang mengandung kurkumin dengan dosis 120, 240, 480 mg/kgBB dapat mencegah penurunan fungsi memori tikus. Oleh karena itu, perlu dilakukan formulasi menggunakan sistem penghantaran yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk meningkatkan kelarutan dan bioavailibilitas kurkumin dan PGV-0 yang selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan aktivitas farmakologi, maka dikembangkan teknologi formulasinya di Fakultas Farmasi UGM melalui pembuatan formulasi nanoemulsi kurkumin dan PGV-0 dengan metode Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS). Beberapa keuntungan formula SNEDDS, diantaranya melindungi obat yang sensitif, meningkatkan bioavailabiltas obat oral, dan dapat meningkatkan ketersediaan hayati obat di dalam plasma darah (Gupta et al., 2011). Dengan diformulasikannya kurkumin dan PGV-0, diharapkan mampu menembus BBB. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap penemuan dan pengembangan obat baru berbasis struktur kurkumin yaitu sebagai brain disorder treatment agent baru, yaitu kontribusi yang berupa ketersediaan data uji praklinik senyawa kurkumin dan PGV-0 sebagai brain disorder treatment agent model uji: penurunan fungsi memori kognitif dan kecemasan. 4 B. Rumusan Masalah 1. Apakah pemberian nanoemulsi kurkumin dan PGV-0 mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku fungsi memori kognitif dan kecemasan pada mencit? 2. Bagaimana pengaruh pemberian nanoemulsi kurkumin dan PGV-0 dengan variasi dosis 5, 10, 20, dan 40 mg/kgBB terhadap perubahan perilaku fungsi memori kognitif dan kecemasan pada mencit? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian nanoemulsi kurkumin dan PGV-0 terhadap perubahan perilaku fungsi memori kognitif dan kecemasan pada mencit. 2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian nanoemulsi kurkumin dan PGV-0 dengan variasi dosis 5, 10, 20, dan 40 mg/kgBB terhadap perubahan perilaku fungsi memori kognitif dan kecemasan pada mencit sebagai model uji praklinik. D. Tinjauan Pustaka 1. Kurkumin Kurkumin dengan nama IUPAC 1,7-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,6- heptadien-3,5-dion telah banyak diteliti dan dipublikasikan memiliki aktivitas farmakologis antara lain antihepatotoksik, antiinflamasi (Van der Goot, 1997; Sardjiman et al., 1997), antioksidan (Majeed et al., 1995), antiinfeksi (Sajithlal et al., 1998), antikolesterol (Bourne et al., 1999). Akan tetapi, kurkumin sangat sukar larut 5 dalam air, sehingga mengakibatkan kecepatan disolusinya dan ketersediaan hayatinya rendah (Hakim et al., 2006). Hal ini mengakibatkan penurunan absorbsi pada saluran cerna sehingga obat sulit mencapai kadar terapi dan berakibat pada efek farmakologi yang tidak maksimal (Hu dan Li, 2011). Kelarutan obat dapat ditingkatkan misalnya dengan modifikasi molekul obat penambahan enhancer ataupun dengan sistem nanopartikel (Bernkop-Schnurch, 2009). Sun et al., (2010) melakukan pengembangan peningkatan transport kurkumin dalam tubuh makhluk hidup yaitu ke otak mencit menggunakan nanopartikel poli(n-butilsianoakrilat) yang menunjukkan 14 kali lebih efektif dibandingkan dengan larutan kontrol yang ada dalam plasma. Sethi et al (2009) mengemukkan bahwa kurkumin dalam bentuk nanopartikel dapat melewati BBB ke jaringan otak dengan difusi pasif. Gambar 1. Struktur Kurkumin Kurkumin merupakan serbuk berwarna kuning yang tidak larut dalam air dan eter, tetapi larut dalam etanol, dimetilsulfoksida, dan aseton. Kurkumin memiliki titik cair pada 183oC, struktur molekular kurkumin yaitu C21H20O6 dengan berat molekul 368,37 g/mol. Senyawa ini berwarna merah kecoklatan di dalam kondisi alkali dan kuning muda di dalam kondisi asam. Degradasi kurkumin tergantung pada pH dan berlangsung lebih cepat pada kondisi netral-basa (Aggarwal et al., 2005). Telah diketahui bahwa kurkumin hanya stabil pada pH di bawah 6,5. Aktivitas kurkumin 6 sebagai antioksidan dikarenakan kurkumin mempunyai gugus fenolik dan 1,3-diketon yang ditunjukkan pada Gambar 1. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini berfungsi sebagai peredam terbentuknya radikal bebas (Majeed et al., 1995). Sejauh ini penelitian tentang efek kurkumin di otak adalah mengurangi kerusakan oksidatif dan defisit memori yang terkait dengan penuaan (Frautschy et al., 2001), meningkatkan fungsi kognitif, penurunan plak beta-amyloid, penurunan pembentukan mikroglia, penundaan degradasi neuron, memperbaiki keseluruhan memori pada pasien Alzheimer Disease (AD) (Mishra, 2008), epilepsi, stroke, cedera otak (Vajragupta, 2003). Selain itu, kurkumin dapat mencegah penurunan fungsi memori tikus dengan pemberian ekstrak etanol rimpang temulawak yang mengandung kurkumin dengan dosis 120, 240, dan 480 mg/kgBB pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetya dan Yuliani (2014). Kurkumin dapat memperbaiki defisit memori yang berkaitan dengan usia terkait aktivitasnya pada stres oksidatif, jalur BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor), ERK/P38 signaling kinase dan peningkatan asetilasi histon (Mancuso et al., 2011; Liu et al., 2005). Lu et al (2015) melaporkan bahwa kurkumin dapat meningkatkan kadar BDNF di hipokampus. Selain itu, Deng et al (2010) melaporkan bahwa peningkatan asetilasi histon di hipokampus dapat menginduksi neurogenesis yang berperan dalam learning dan memori. Penelitian toksikologi menunjukkan bahwa kurkumin memiliki efek toksik yang sangat rendah, LD50 pada mencit lebih dari 2 g/kgBB (Shibo dan Xiaoli, 1991). 7 Penelitian pada hewan uji yang dilakukan oleh Shankar et al., (1980) dan pada manusia yang dilakukan oleh Lao et al., (2006) membuktikan bahwa kurkumin sangat aman bahkan pada dosis yang sangat tinggi. Keamanan dan efikasi dari kurkumin membuat senyawa tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk mengobati dan mencegah berbagai penyakit. 2. Pentagamavunon-0 PGV-0 dengan nama IUPAC (2,5-bis-(4’-hidroksi-3’-metoksi)-benzilidin siklopentanon) merupakan salah satu modifikasi struktur senyawa kurkumin pada rantai tengah yaitu modifikasi gugus β-diketon diganti dengan siklopentanon yang ditunjukkan pada Gambar 2 (Sardjiman, 1993). PGV-0 memiliki sifat lipofilisitas yang lebih tinggi dari kurkumin (Sardjiman, 2000). Sardijman (2000) melaporkan aktivitas biologis PGV-0 sebagai anti-siklooksigenase (COX) lebih unggul daripada kurkumin hingga 7 kalinya pada dosis yang sama. ED50 pada pemberian PGV-0 peroral sebagai antiinflamasi sebesar 25 mg/kg. Hakim (2007) menyatakan bahwa nilai LD50 PGV-0 (10,16 g/kg) lebih besar dari zat antiinflamasi lain termasuk kurkumin (5 g/kg). Hal ini menunjukkan PGV-0 memiliki tingkat keamanan yang baik bahkan lebih baik dari senyawa kurkumin. Gambar 2. Struktur Pentagamavunon-0 (Sardjiman, 1993) 8 PGV-0 memiliki berat molekul (BM) 352,13 dengan jarak titik lebur 212214oC. Kelarutan PGV-0 di dalam etanol 3,8 mg/5 ml dan dalam metanol 14,9 mg/5 ml (Wahyuni, 1999). Akan tetapi, PGV-0 memiliki kelarutan dalam air yang rendah sehingga pada penggunaan oral, PGV-0 hanya diabsorbsi dalam jumlah yang sedikit (Hakim et al., 2006). Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh laboratorium Molekul Nasional (MOLNAS) Fakultas Farmasi UGM menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan (Da’i, 1998; Rianto, 1998), aktivitas antiinflamasi melalui penghambatan siklooksigenase (Tim MOLNAS Fakultas Farmasi UGM, 2001) dan aktivitas sitotoksik (Nurrochmad, 2001) PGV-0 lebih baik dibandingkan dengan kurkumin (Da’i, 1998). Akan tetapi, penelitian mengenai pengaruh PGV-0 pada otak belum pernah dilakukan. Salah satu aktifitas farmakologi dari PGV-0 adalah antioksidan. Secara umum, antioksidan mempunyai peran dalam proses neurogenesis di hipokampus melalui regulasi keseimbangan aktivitas mitosis, cell cycle arrest, diferensiasi dan apoptosis sel. (Casadesus et al., 2004). 3. Nanoemulsi Nanoemulsi merupakan cairan atau dispersi air dan minyak yang distabilkan oleh surfaktan. Nanoemulsi memiliki karakteristik campuran yang stabil dengan ukuran partikel diantara 20-200 nm (Chen et al., 2010). Pengembangan terkini sistem nanoemulsi untuk aplikasi oral melalui saluran gastrointestinal adalah dengan SelfNanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS). Sistem ini selanjutnya akan 9 masuk ke saluran cerna dan bercampur dengan cairan usus yang mengandung air (Date dan Nagarsenker, 2007). SNEDDS adalah sistem yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan dan ko-surfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan, kemudian akan mengalami proses emulsifikasi spontan di dalam cairan cerna saat mengalami pencampuran dengan cairan usus. Nanoemulsi selanjutnya mengalami proses absorpsi (Martien et al., 2008). Beberapa keuntungan formula SNEDDS, diantaranya melindungi obat yang sensitif, meningkatkan bioavailabiltas obat oral, dan dapat meningkatkan ketersediaan hayati obat di dalam plasma darah (Gupta et al., 2011). 4. Otak dan Sawar Darah Otak Otak adalah organ yang mengkonsumsi 20% oksigen dari tubuh meskipun porsinya hanya 2% dari berat badan tubuh. Dalam penuaan normal, otak mengakumulasi ion-ion seperti besi (Fe), tembaga (Cu) dan zink (Zn). Akibatnya, otak membutuhkan antioksidan yang mengontrol dan mencegah pembentukan reactive oxygen species (ROS) (Smith et al., 2007). Di dalam otak terdapat jutaan neuron atau saraf-saraf. Neuron dalam sistem saraf pusat (SSP) berkomunikasi menggunakan kombinasi sinyal kimia dan listrik. Neuron berfungsi menghantarkan impuls atau sinyal dari reseptor ke pusat saraf dan meneruskannya ke efektor. Neuron tersusun atas badan sel saraf, dendrit, dan akson. Akson berfungsi menghantarkan impuls dari badan sel saraf menuju neuron lain. Agar impuls dapat disampaikan ke SSP dan efektor, sel-sel saraf akan saling berhubungan melalui sinapsis. Sinapsis adalah titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain. 10 Regulasi yang tepat dari sinapsis dan akson ini penting untuk penghantaran sinyal saraf yang efektif (Abbott, 1992). Sawar darah otak atau yang lebih dikenal dengan BBB adalah struktur membran yang secara primer berfungsi untuk melindungi otak dari bahan-bahan kimia dalam sirkulasi darah dan mencegah masuknya makromolekul masuk ke otak, di mana fungsi metabolik masih dapat dilakukan. Sawar darah otak ini terdiri dari selsel endotelial, yang tersusun sangat rapat di kapiler otak. Kepadatan yang tinggi ini membatasi lewatnya substansi-substansi melalui aliran darah (Wolburg et al., 2009). Dinding-dinding kapiler dibuat dari sel-sel endotel yang memiliki celah-celah kecil. Bahan kimia yang larut dapat melewati celah ini, dari darah ke jaringan atau dari jaringan ke darah. Di otak, sel-sel endotel ini tersusun rapat dan disebut dengan tight junction. Adanya tight junction membuat gerakan molekul-molekul yang menuju dan dari otak terhambat. Masuknya molekul-molekul obat ke dalam otak dapat melalui mekanisme difusi pasif, ABC Transporter Efflux, Solute LinkedCarriers (SLC), Transitosis dan migrasi sel mononuklear. Difusi pasif dapat terjadi apabila molekul obat bersifat non-polar dan larut dalam lipid. Pada ABC Transporter Efflux, melibatkan transporter seperti MRP1 atau MRP2 dalam menembus tight junction. SLC terjadi apabila molekul obat berikatan dengan carrier misalnya glukosa, peptida kecil atau asam amino. Carrier tersebut akan mempermudah masuknya obat ke dalam otak. Transitosis adalah mekanisme transport obat melewati BBB dengan di perantarai reseptor yang sesuai. Sedangkan migrasi sel mononuklear adalah mekanisme transport obat melewati BBB tanpa perantara, menyerupai difusi 11 pasif namun melibatkan migrasi sel mononuklear yang mengandung molekul obat (Wolburg et al., 2009). 5. Etanol sebagai Agen Stres Oksidatif Perusak Otak Etanol (ethyl alcohol) disebut juga alkohol, memiliki rumus kimia C2H5OH (William dan Reilly, 2000). Etanol yang masuk ke dalam tubuh akan dioksidasi menjadi asam asetat. Proses oksidasi etanol utamanya terjadi di hepar. Selain itu, oksidasi etanol juga terjadi di otak (Zakhari et al., 2006). Di hepar, etanol akan dimetabolisme menjadi asetaldehid dengan bantuan enzim alkohol dehirogenase (ADH) dan koenzim nikotinamid-adenin-dinukleotida (NAD). Asetaldehid akan diubah menjadi asam asetat oleh enzim aldehid dehidrogenase (ALDH) seperti yang terlihat pada Gambar 3 (Deitrich et al., 2006). Gambar 3. Metabolisme etanol melalui alcohol dehydrogenase pathway Kerusakan akibat etanol pada otak dewasa menyebabkan defisit kognitif seperti gangguan belajar dan memori (Butterfield et al., 2009), hal ini disebabkan karena etanol merupakan inducer stres oksidatif yang akan memicu apoptosis sel piramidal CA1 hipokampus (Adiningsih, 2011). Stres oksidatif lebih banyak menyebabkan kematian sel pada daerah CA1 hipokampus. Pengurangan jumlah sel 12 piramidal di CA1 dan CA3 hipokampus mengakibatkan gangguan pembentukan memori baru dan konsolidasi memori (memori kerja spasial mengalami gangguan) (Brailowsky dan Garcia, 1998; Harper dan Matsumoto, 2005; Wang et al., 2000). Pada penelitian Bouayed et al (2009) menyatakan bahwa peningkatan reactive oxygen species (ROS) pada hipokampus juga berperan dalam kecemasan pada mencit. Selain Bouayed et al (2009), Kushner et al (2000) menyatakan bahwa konsumsi akut etanol konsumsi akut etanol dapat menyebabkan abnormalitas fungsi reseptor γ-aminobutyric acid (GABA) yang berperan dalam kecemasan. Sedangkan pemberian kronis kronis etanol dapat menurunkan asetilasi di korteks frontal, striatum, dan hipokampus pada tikus Wild Type (Pascual, 2011). Kecemasan dapat diatasi dengan obat sintetik anti cemas, yaitu golongan benzodiazepin. Contoh dari obat golongan benzodiapin adalah diazepam. Otak merupakan organ yang lebih rentan terhadap stres oksidatif (Zakhari, 2006). Kerusakan akibat etanol pada otak dewasa menyebabkan defisit kognitif seperti gangguan belajar dan memori (Butterfield et al., 1999). Hal ini disebabkan adanya stres oksidatif yang menginduksi terbentuknya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel (Heaton et al., 2000). Blanco (2005) melaporkan bahwa pemberian etanol 10% v/v pada mencit secara kronis dapat mengaktivasi astroglia dan mikroglia pada korteks serebral dan memacu aktivitas sinyal TLR4 sehingga menyebabkan neuroinflamasi. Pemberian etanol akut selama 7 hari menyebabkan kerusakan hipokampus CA1 pada mencit (Adiningsih, 2006). Hipokampus merupakan bagian dari otak yang terletak di bagian 13 medial lobus temporal yang berhubungan langsung dengan proses belajar dan memori dan mood dan anxiety disorder (Gruart et al., 2006; Saladin, 2006; Onksen, 2011). 6. Natrium Butirat Natrium butirat adalah senyawa dengan rumus kimia C4H7NaO2 yang ditunjukkan pada Gambar 4 dikenal sebagai senyawa histon deasetilasi inhibitor (HDACI). Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa natrium butirat mempunyai efek antiinflamasi, dan proteksi saraf pada gangguan neurodegenerative (Chuang et al., 2009). HDCAI berperan dalam pembentukan asetilasi histon pada penyakit skizoprenia dan Huntington’s disease (HD) (Ferrante et al., 2003; Kumar et al., 2005). Peningkatan asetilasi histon juga berperan dalam pembentuk dendrit pada hipokampus dan mengembalikan learning behaviours pada model hewan uji tikus (Fischer et al., 2007) dan ekspresi gen yang terlibat dalam fungsi kognitif (Cohen et al., 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Govindarajan et al (2011) menunjukkan bahwa pemberian natrium butirat 1,2 g/kgBB selama 21 hari mampu meningkatkan contextual learning dan memori. Kim et al (2009) melaporkan natrium butirat menginduksi neurogenesis di otak tikus setelah iskemia serebral dan meningkatkan asetilasi histon pada penelitian in vivo (Simonini et al., 2006). Peningkatan asetilasi histon dan peningkatan ekspresi gen di hipokampus berhubungan dengan pemulihan fungsi memori dan kognitif (Cohen et al., 2013). Selain itu, menurut Pandey et al (2008) bahwa natrium butirat menunjukkan peningkatan asetilasi histon yang disebabkan oleh paparan kokain serta mengurangi gejala kecemasan seperti terkait dengan alhocol withdrawal. Mekanisme peningkatan 14 asetilasi histon yang berhubungan dengan kecemasan tidak dijelaskan lebih lanjut. Akan tetapi, pada penelitian yang dilakukan oleh Fukuchi et al (2009) dan MachadoVieira et al (2011) menunjukkan bahwa HDACI efektif untuk mengobati gangguan neurodegeneratif dan modulasi stres dan kecemasan dengan meningkatkan keseimbangan excitatory dan inhibitory neural pathways di otak. Gambar 4. Struktur natrium butirat Natrium butirat merupakan asam lemak rantai pendek yang dapat menembus BBB (Simonini et al., 2006). Natrium butirat dimetabolisme di liver menjadi asam butirat. Natrium butirat mempunyai nilai koefsien partisi 0,92 sehingga untuk dapat berdifusi menuju BBB membutuhkan bantuan transporter yaitu, monocarboxylate transport (MCT) (Al-Asmakh dan Hedin, 2015; Oldendolf, 1973; Thanaset et al., 2013). Syarat senyawa dapat melalui BBB dengan difusi pasif diantaranya bersifat lipofil atau memiliki nilai koefisien partisi lebih dari 1 dan memiliki ukuran partikel antara 0,1-100 nm (Malhotra dan Prakash, 2011). Asetilasi histon merupakan salah satu mekanisme epigenetik. Terdapat 3 jenis mekanisme epigenetik yaitu: metilasi DNA, modifikasi protein histon yang berupa asetilasi, metilasi, fosforilasi, sumoilasi, ubikuitinasi, dan pengaturan via non-coding RNA. Salah satu mekanisme epigenetik yang menentukan apakah suatu gen aktif atau nonaktif adalah keseimbangan antara asetilasi dan deasetilasi protein histon. 15 Deasetilasi histon merupakan keadaan dimana gugus asetil lepas dari protein histon. Hal ini menyebabkan kromatin menutup sehingga faktor transkripsi sulit menempel pada DNA. Apabila faktor transkripsi sulit menempel pada DNA, maka pada gen tersebut tidak terjadi transkripsi dan gen menjadi tidak aktif (Juliandi et al, 2010; Hsieh dan Gage, 2004). Dengan adanya HDACI, maka menjaga agar gugus asetil tetap menempel pada DNA sehingga kromatin membuka dan membuat gen tersebut menjadi aktif (Parsons et al., 1997). 7. Radial 8-arm Maze Test Radial 8-arm maze test yang ditunjukkan pada Gambar 5 digunakan untuk mengetahui adanya brain disorder yang berupa deficit in learning and memory atau penurunan fungsi kognitif (Tarantino dan Bucan, 2000). Memori merupakan kemampuan seseorang untuk menyimpan dan menggunakan kembali pengetahuan yang telah dipelajari (Jared, 2010). Belajar (learning) dan memori spasial pada binatang berperan membantu binatang menemukan lokasi yang dapat menyediakan, diantaranya makanan dan keselamatan, untuk mempertahankan hidup (Dogru et al., 2003). Parameter-parameter yang diamati adalah menghitung frekuensi kesalahan berulang memasuki lengan dan frekuensi kesalahan memasuki lengan kosong (Seo et al., 2013). Kesalahan memasuki lengan berulang ini disebut spatial working memory errors dan kesalahan memasuki lengan kosong disebut spatial reference memory errors (Jarrard, 1983). 16 Gambar 5. Radial 8-arm maze test Memori kerja (working memory) adalah kemampuan untuk menyimpan sementara dan menggunakan informasi yang berhubungan dengan tujuannya sebagai petunjuk kegiatan yang akan datang, sedangkan memori spasial yaitu bentuk memori mengenai ruang dan tempat yang dihubungkan dengan kemampuan individu dan spesies untuk bertahan hidup. Memori spasial berperan penting dalam foraging behaviour (perilaku mencari makan) pada hewan rodensia (hewan pengerat). Memori spasial berkaitan dengan kemampuan mengingat ruang bidang, mengenali bentuk, jarak, dan luas, serta mengetahui arah atau posisi seseorang. Tanpa adanya memori spasial maka individu akan mengalami kesulitan dalam memahami posisi diri, melihat bentuk dan ruang bidang, tidak dapat mengingat arah atau letak suatu benda, serta tidak dapat memperkirakan jarak suatu tempat (Mastrangelo et al., 2009). Bagian otak yang terlibat dalam memori kerja utamanya hipokampus (Durstewitz et al., 2000). 17 Mencit yang akan diuji ditempatkan pada tengah alat lalu selama 6 menit mencit dibiarkan untuk mengekplorasi ruang untuk mencari makanan atau minuman yang terdapat pada ujung ke delapan lengan menurut pola yang ditetapkan (Seo et al., 2013). Terdapat 4 pola, yaitu: a. N-R-N-R-N-R-N-R N (No reward) adalah lengan yang tidak berisi makanan, sedangkan R (reward) adalah lengan yang terdapat makanan. Pola ini berupa peletakan makanan (sebagai reward) yang berseling satu pada tiap lengan. Lengan yang tidak berisi makanan ditutup pada pintunya. b. RR-NN-RR-NN Pola ini berupa peletakan makanan (sebagai reward) berseling 2 pada tiap lengan di mana lengan yang tidak berisi makanan ditutup pada pintunya. c. NN-RRRR-NN Pola peletakan makanan (sebagai reward) yang mana 4 lengan berisi makanan diapit oleh 2 lengan tanpa makanan dengan pintu yang ditutup. d. RR-NNNN-RR Pola peletakan (sebagai reward) yang mana 4 lengan tanpa makanan dengan pintu ditutup diapit oleh 2 lengan yang msing-masing berisi makanan (Wathen dan Robert, 1994). Pada setiap lengan diletakkan makanan dengan pola berbeda yang akan dimakan mencit bila tiba di lengan tersebut. Dengan demikian tikus dapat 18 mengembangkan suatu peta kognitif berupa hubungan spasial tentang jalur mana yang telah dikunjunginya. 8. Open Field Test Open field test digunakan untuk mengetahui phenotype brain disorder yang berupa kecemasan (anxiety) yang merupakan gejala panic disorder, specific dan social phobias, obsessive-compulsive disorder, depression dan post-traumatic stress disorder (Kathleen dan Crawley, 2009; Tarantino dan Bucan, 2000). Kecamasan merupakan tanda adanya suatu ancaman yang masih tidak diketahui. Alat uji yang ditunjukkan pada Gambar 6 berbentuk kotak yang terdapat gambar kotak-kotak pada alasnya dengan ukuran tertentu (Seo et al., 2013). Gambar 6. Open Field Test Mencit yang akan diuji ditempatkan pada kotak tengah sebelum uji dimulai. Mencit dibiarkan mengeksplorasi ruangan selama 5 menit (Seo et al., 2013). Prinsip uji ini adalah mengukur beberapa parameter yang menandakan perilaku kecemasan yaitu: 19 a. line crossing Line crossing adalah banyaknya garis yang dilewati oleh keempat kaki mencit. b. center square entries Center square entries adalah frekuensi mencit memasuki kotak tengah. c. center square duration Center square duration adalah durasi mencit berada di kotak tengah. d. rearing Rearing adalah posisi mencit berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Pada parameter ini dihitung frekuensi mencit melakukan rearing. e. stretch attend posture Stretch attend posture adalah posisi mencit memanjangkan badannya lalu kembali ke bentuk semula. Pada parameter ini dihitung frekuensi mencit melakukan stretch attend postures. f. grooming Grooming adalah perilau mencit menggaruk dan mengusap-usap wajahnya menggunakan kedua kaki depannya dan menjilat-jilat badannya. Pada parameter ini diukur durasi mencit melakukan grooming. 20 g. freezing Freezing adalah perilaku mencit dalam kondisi diam tidak melakukan gerakan apapun. Pada parameter ini diamati durasi mencit dalam posisi freezing. Line crossing dan rearing digunakan mengukur aktivitas lokomotor, eksplorasi ruang, serta kecemasan. Semakin tinggi frekuensi parameter tersebut menandakan semakin meningkatnya aktivitas lokomotor dan eksplorasi, serta menurunnya rasa kecemasan. Centre square entries dan centre square duration digunakan untuk mengukur perilaku eksplorasi dan rasa kecemasan. Semakin tinggi frekuensi dari parameter tersebut menandakan semakin meningkatnya perilaku eksplorasi ruang dan menurunnya rasa kecemasan. Stretch attend posture mengindikasikan bahwa mencit ragu-ragu bergerak dari lokasi sekarang ke lokasi baru. Semakin tinggi frekuensi parameter tersebut menandakan semakin meningkatnya rasa kecemasan. Semakin tinggi frekuensi freezing dan grooming mengindikasikan semakin meningkatnya rasa kecemasan (Brown et al., 1999). E. Landasan Teori Etanol merupakan salah satu senyawa yang telah banyak dikenal dapat menimbulkan efek neurotoksik. Kerusakan akibat etanol pada otak dewasa menyebabkan defisit kognitif seperti gangguan belajar dan memori. Hal ini disebabkan adanya stres oksidatif yang menginduksi terbentuknya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel. Radikal bebas dapat menyebabkan 21 peroksidasi lipid, oksidasi protein, perubahan reactive oxygen species (ROS), dan akhirnya menyebabkan kematian neuron otak. Dampak dari peningkatan ROS pada hipokampus juga berperan dalam kecemasan pada mencit. Selain itu, pemberian etanol akut selama 7 hari menyebabkan kerusakan hipokampus CA1 pada mencit. Kurkumin dapat memperbaiki defisit memori yang berkaitan dengan usia terkait aktivitasnya pada stres oksidatif, jalur BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor), ERK/P38 signaling kinase dan peningkatan asetilasi histon. Selain itu, kurkumin dapat meningkatkan kadar BDNF di hipokampus. Peningkatan asetilasi histon di hipokampus dapat menginduksi neurogenesis yang berperan dalam learning dan memori dan mengurangi kecemasan melalui peningkatan keseimbangan excitatory dan inhibitory neural pathways di otak. Pentagamavunon-0 yang merupakan analog dari kurkumin mempunyai aktivitas antikanker, antioksidan, dan antiinflamasi lebih baik daripada kurkumin. Namun, potensi kurkumin dan PGV-0 sebagai obat untuk brain disorder treatment belum pernah digali dikarenakan dua senyawa ini memiliki kelarutan yang kurang baik di dalam cairan biologis dan tidak dapat menembus BBB. Untuk meningkatkan kelarutan dan bioavailibilitas kurkumin dan PGV-0 yang selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan aktivitas farmakologi, maka dikembangkan teknologi formulasinya di Fakultas Farmasi UGM melalui pembuatan formulasi nanoemulsi kurkumin dan PGV-0 dengan metode Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS). 22 Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap penemuan dan pengembangan obat baru berbasis struktur kurkumin yaitu sebagai brain disorder treatment agent baru, yaitu kontribusi yang berupa ketersediaan data uji praklinik senyawa turunan kurkumin PGV-0 sebagai brain disorder treatment agent model uji: penurunan fungsi memori kognitif dan kecemasan. J. Hipotesis 1. Pemberian nanoemulsi kurkumin dan PGV-0 berpengaruh terhadap perubahan perilaku fungsi memori kognitif dan kecemasan pada mencit. 2. Perubahan perilaku fungsi memori kognitif dan kecemasan pada mencit dipengaruhi oleh dosis pemberian nanoemulsi kurkumin dan PGV-0.