5 pembahasan umum

advertisement
43
5 PEMBAHASAN UMUM
Mekanisme interaksi tanaman dengan F. solani pada tiga tahun setelah
inokulasi dilihat dari aspek morfologi, belum dapat memberikan informasi yang
jelas mengenai perbedaan tanaman yang diinokulasi dengan tanaman yang tidak
diinokulasi. Ciri morfologi seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan
menguning, batang dan kulit mengering atau patah, tidak menjamin kandungan
gaharu yang dimiliki A.microcarpa secara pasti.
Di habitat alami, diperkirakan hanya satu dari sepuluh pohon dewasa
dengan diameter di atas 20 cm yang menghasilkan gaharu (Barden et al. 2000)
disebutkan juga bahwa hasil gaharu yang terbaik diperoleh pada pohon berumur
50 tahun atau lebih. Isnaini (2004) mengungkapkan tanaman A. crassna asal
Kamboja pernah ditanam pada kebun percobaan SEAMEO BIOTROP Bogor dan
telah dilakukan inokulasi dengan jamur sebelum ditanam di lapangan, tetapi
semua pohon mengalami penyembuhan tanpa menghasilkan gaharu.
Mekanisme pembentukan gaharu merupakan bagian dari mekanisme
pertahanan tanaman terhadap rangkaian patogenesis (Keeling dan Bohlmann
2006). Patogenesis pada tumbuhan merupakan pertarungan antara inang dengan
patogen yang kompatibel. Agrios (1997), menyatakan bahwa keberhasilan proses
infeksi suatu patogen sangat dipengaruhi oleh inang yang rentan, patogen yang
virulen, lingkungan yang mendukung dan peranan manusia dalam memodifikasi
lingkungan. Pendapat lain menyatakan bahwa pelukaan dan perlakuan mekanis
pada pohon merupakan pemicu terbentuknya gaharu, yang kemudian diikuti
aktivitas mikroba (Van Beek diacu dalam Barden et al. 2000), sementara beberapa
peneliti lain berpendapat bahwa asosiasi mikroorganisme dengan tanaman
dilakukan dengan menstimulasi senyawa pertahanan (Prema dan Bhattacharrya
1962; Burfield 2005; Sumarna 2005).
Patogen yang berhasil menginfeksi inang kemudian tumbuh dan
berkembang dalam tubuh inang sehingga menyebabkan gangguan fisiologis yang
dapat mengakibatkan penyakit pada tanaman. Namun, terkadang patogen tidak
mampu menginfeksi tumbuhan karena adanya hambatan mekanis dan kimiawi
yang diproduksi tanaman. Kemampuan tanaman untuk mencegah masuknya atau
menghambat perkembangan dan aktivitas patogen dalam jaringan tanaman
merupakan ketahanan tanaman (Agrios 1997).
Respon tanaman pada tingkat anakan yang teramati setelah dilakukan
inokulasi menunjukkan perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning
(klorosis) di sekitar lokasi inokulasi dan akhirnya gugur, diduga berkaitan dengan
gejala patologis yang terjadi beberapa hari setelah inokulasi dilakukan. Reaksi ini
merupakan respon tanaman yang diakibatkan terganggunya ketersediaan hara dan
juga pengaktifan mekanisme pertahanan tanaman. Perubahan morfologi seperti
klorosis daun, pengguguran daun sangat mudah teramati terutama pada tanaman
muda, karena terjadinya proses ini sangat cepat yakni beberapa hari setelah
dilakukannya inokulasi. Namun hal ini tidak terlepas dari kondisi ketahanan
tanaman, tingkat virulensi F. solani serta kondisi lingkungan.
Pengenalan tanaman menggunakan marka morfologi pada tanaman yang
telah diinokulasi tiga tahun, masih sangat sulit dilakukan. Beberapa karakter
pohon seperti tinggi total, tinggi bebas cabang diameter, jumlah cabang, persen
44
penutupan tajuk maupun karakter daun belum dapat direkomendasikan sebagai
karakter penentu terjadinya interaksi tanaman dengan F. solani. Keragaman
proses dalam individu tanaman terhadap tingkat virulensi patogen juga sangat
berpengaruh.
Tanaman yang dinokulasi patogen akan mempertahankan diri dengan
mengaktifkan mekanisme ketahanan biokimia di dalam jaringan, sehingga
mengakibatkan perubahan sel tanaman. Perubahan sel berupa pengendapan
senyawa terpenoid pada jaringan tanaman diduga merupakan metabolit sekunder
yang dihasilkan A. microcarpa sebagai respon terhadap inokulasi F. solani.
Menurut Kumeta & Ito (2010) seskuiterpenoid (golongan terpenoid) dibentuk
pada sel hidup. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nobuchi dan Siripatanadilok
(1991) bahwa parenkima merupakan tempat terjadinya biosintesis senyawa
gaharu. Kandungan pati dalam parenkima akan menurun setelah pelukaan atau
inokulasi cendawan. Sedangkan senyawa terpenoid yang ditemukan pada unsur
trakea xilem diduga hanya tempat deposit tapi bukan tempat sintesis senyawa
terpenoid.
Pada tanaman A. microcarpa yang sehat tidak dijumpai endapan dalam sel
yang mengandung sesquiterpenoid yang merupakan metabolit sekunder yang
beraroma harum. Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit
sekunder apabila terinfeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi, maupun
keadaan cekaman (Goodman et al 1986). Faktor-faktor lain seperti umur pohon,
perbedaan antar pohon, pengaruh musim, variasi lingkungan, dan variasi genetik
juga berperan penting dalam proses interaksi dan pembentukan gaharu.
Perbedaan hasil A.microcarpa yang bergaharu dan tidak melalui karakter
pengamatan anatomi, menunjukkan warna kayu yang berbeda antara tanaman
bergaharu dan tidak. Hal ini disebabkan karena resin yang terbentuk pada tanaman
yang diinokulasi tidak dikeluarkan dari pohon, melainkan disimpan dalam
jaringan kayu, sehingga jaringan kayu yang putih dan bertekstur halus berubah
menjadi gelap dan keras (Anonimous 2002). Oldfield et al. (1998) dalam Barden
et al. (2000) menyatakan bahwa sintesis resin pada pohon gaharu merupakan
respon terhadap infeksi jamur. Produksi resin, cenderung merupakan respon
terhadap pelukaan sehingga infeksi dan pertumbuhan jamur dalam jaringan
tumbuhan yang terluka lebih berperan pada peningkatan resin tersebut.
Senyawa yang terkandung dalam resin tersebut merupakan senyawa
terpenoid yang disintesis dalam jaringan hidup (Parenkima jejari, included phloem
dan empulur) yang akan merusak akumulasi pati ketika proses infeksi dan
pelukaan terjadi Nagy et al. (2005). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nobuchi
dan Siripatanadilok (1991) bahwa jaringan parenkim merupakan tempat terjadinya
biosontesis senyawa gaharu.
Kandungan senyawa pada tanaman yang telah tiga tahun terinokulasi oleh
F. solani memperlihatkan hasil yang berbeda antara yang bergaharu dan tidak
bahkan tidak ditemukan satu senyawapun yang sama antara keduanya, sekalipun
dianalisis dengan kondisi yang sama. Tamuli (2005) mempelajari perbedaan
komposisi minyak gaharu yang diperoleh dari pohon sehat, terinfeksi alami, dan
diinfeksi dengan perlakuan inokulasi melalui analisis GC MS menunjukkan
perbedaan komposisi yang dikaitkan dengan kualitasnya. Valerianol, asam
pentadesenoat, dan asam tetradekanoat tercatat lebih tinggi pada minyak dari
gaharu hasil infeksi alami dibandingkan pohon sehat.
45
Cowan (1999) menerangkan bahwa tanaman memiliki kemampuan yang
tidak terbatas dalam mensintesis substansi aromatis, yang kebanyakan merupakan
senyawa fenol atau turunan oksigen tersubstitusinya. Pada umumnya senyawasenyawa tersebut merupakan metabolit sekunder, yang seringkali berperan dalam
mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, serangga,
ataupun herbivora.
Metabolit sekunder, meskipun tidak sangat penting bagi eksistensi suatu
individu, namun sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies, dalam
perjuangan menghadapi spesies-spesies lain (Manitto 1981). Metabolit sekunder
tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki berbagai fungsi dalam tanaman,
diantaranya sebagai minyak esensial (monoterpenoid); atraktan serangga;
fitoaleksin (sesqui-, di-, dan triterpena) sebagai agen antimikrobial. Berdasarkan
berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda.
Terdapat jalur biosintesis yang terpicu pada level senyawa, dimana senyawa yang
telah ada secara enzimatis dirubah menjadi senyawa aktif ketika pelukaan, dan
ada yang terjadi pada level gen setelah pelukaan atau infeksi. Kumeta dan Ito
(2010) setelah mengisolasi RNA tanaman A. crassna yang diinokulasikan dengan
methyl jasmonate mengungkapkan bahwa seskuiterpena yang paling melimpah
dari kultur sel tersebut adalah -guaiene.
Tanaman memiliki protein yang disebut protein reseptor (plant receptors
proteins) yang dapat mengenali suatu senyawa yang dikeluarkan oleh patogen
yang disebut elisitor. Interaksi inilah yang selanjutnya akan mendorong
diaktifkannya mekanisme pertahanan tanaman. Menurut Prell dan Day (2001)
mekanisme ketahanan tanaman dapat berupa hiper sensitifitas sel dengan cara
pembentukan lignin atau protein struktural, senyawa fitoaleksin dan sintesis
protein PR (pathogenesis related proteins) seperti kitinase dan -1,3 glukanase.
Produksi kitinase pada beberapa tanaman dapat bersifat konstitutif, namun pada
beberapa tanaman lain bersifat inducible (Graham dan Sticklen 1993).
Kemungkinan mekanisme pertahanan konstitutif yang utama dari tanaman hanya
untuk menghambat perkembangan patogen dan memberi kesempatan mekanisme
pertahanan inducible (mekanisme pertahanan terinduksi) terekspresi. Pertahanan
terinduksi ini termasuk pembentukan dinding sel tambahan dan menginduksi
senyawa-senyawa toksik yang dapat mematikan sel tanaman dan patogen,
sehingga perkembangan patogen dapat dilokalisir. Hasil dari respon ini dapat
berupa reaksi hipersensitif (hypersensitive response, HR) yaitu suatu respon yang
menginduksi kematian sel secara cepat mengelilingi patogen sehingga
terlokalisasi (apoptosis). Selama respon ini berlangsung, terjadi pengiriman signal
ke bagian tanaman yang tidak terinfeksi untuk mengaktifkan mekanisme
pertahanan inducible dan selanjutnya akan timbul resistensi yang sistemik
(Systemic Acquired Resistance, SAR) untuk mengurangi tingkat keparahan
serangan (Agrios 1997). Respon ketahanan lokal ini menyebabkan bagian yang
terinfeksi mengembangkan ketahanan sekunder pada patogen yang sama atau
lainnya.
Perkembangan penelitian dalam bidang molekuler yang berbasiskan DNA,
memiliki keuntungan karena keakuratan identifikasi, dimana hal ini tidak
tergantung pada kondisi lingkungan maupun umur tanaman.
Tanaman
menyimpan informasi genetik dalam genom inti yakni dalam kloroplas dan
mitokondria. Beberapa mekanisme seperti delesi, insersi, translokasi dan
46
transposisi yang dapat terjadi secara alami maupun diinduksi, dapat menyebabkan
terjadinya penggantian atau perubahan basa nukleotida pada sekuen DNA.
Mekanisme perubahan tersebut tidak selalu mengubah fenotipe tanaman sehingga
penggunaan penanda morfologi menjadi terbatas pemanfaatannya, sedangkan
penanda DNA yang langsung berintegrasi dengan system genetik lebih
mencerminkan keadaan genom sesungguhnya. Pemanfaatan penanda DNA
memberikan alternatif analisis keragaman genetik (DNA fingerprinting) yang
lebih baik terutama untuk mengkarakterisasi populasi tanaman karena mampu
menyediakan polimorfisme pita DNA dalam jumlah yang banyak, konsisten dan
tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Keragaman genetik tidak hanya terjadi antar individu dalam populasi,
tetapi juga dapat terjadi perbedaan antar populasi pada suatu jenis. Perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan frekwensi alel dan polimorfisme dalam suatu populasi.
Perbedaan susunan genetik antar populasi dapat muncul pada saat beradaptasi
dengan lingkungannya. Variasi yang muncul pada fenotipe dipengaruhi oleh
komponen genetik dan lingkungan (Futuyma 1998).
Informasi variasi genetik pada tanaman yang berinteraksi dengan F. solani
memungkinkan proses seleksi tanaman yang berpotensi menghasilkan gaharu.
Jumlah dan macam variasi genetik dalam suatu populasi dapat berubah, hal ini
disebabkan karena perubahan struktur genetik populasi atau terjadinya evolusi
yang diakibatkan oleh faktor evolusioner seperti seleksi, mutasi, migrasi, aliran
gen dan sistim perkawinan. Mutasi selalu meningkatkan jumlah variasi.
Kombinasi dua atau lebih faktor dapat menyebabkan sejumlah pola variasi
genetik. Penanda genetik merupakan alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu
individu dan juga untuk mempelajari sistim genetik tanaman hutan yang
digunakan dalam kegiatan program pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik
(Finkeldey 2005).
Penanda mikrosatelit merupakan salah satu penanda molekuler yang
sangat baik digunakan untuk mengetahui penciri genotipe tanaman A.microcarpa
yang berinteraksi dengan F. solani. Kelebihan mikrosatelit antara lain memiliki
tingkat polimorfisme tinggi, penanda yang kodominan dan spesifik lokus serta
tersebar pada genom tanaman, sehingga penanda ini menjadi pilihan yang baik
untuk studi interaksi tanaman dengan F. solani. Powel et al 1996 menyatakan
bahwa marka inipun mampu membedakan genotipe diantara individu dengan
tingkat akurasi yang tinggi, baik pada inter dan intra spesies maupun kerabat
jauhnya.
Penanda mikrosatelit telah banyak digunakan untuk mengetahui interaksi
tanaman dengan Fusarium sp diantaranya adalah pada tanaman Psidium guajava
L (Gupta dan Misra 2011), kultivar pisang (Pushpakumari et al 2009), Pinus
oocarpa (Dvorak et al 2009). Namun marka ini belum banyak digunakan untuk
mengetahui interaksi F. solani dengan tanaman penghasil gaharu. Penggunaan
marka mikrosatelit pada tanaman penghasil gaharu telah digunakan diantaranya
pada tanaman A.crassna (Eurlings et al 2010), pada tanaman Gyrinops verstegii
(Siburian 2009), bahkan Irmayanti (2011) mengujikan marka mikrosatelit ini
pada lima jenis tanaman penghasil gaharu, dengan merujuk pada primer yang
telah didesain oleh Eurling et al. (2010). Perkembangan terbaru dalam
penggunaan marka ini, Lee et al (2012) telah mengkarakteristik 17 mikrosatelit
untuk mendeteksi tanaman A. malaccensis.
47
Sekuen mikrosatelit DNA yang pendek dengan sekuen DNA pengapit
bersifat conserved, memungkinkan mendesain primer untuk mengamplifikasi
situs-situs spesifik menggunakan PCR. Jika primer-primer tersebut digunakan
mengamplifikasi lokus-lokus SSR tertentu, maka setiap primer akan
menghasilkan polimorfisme dalam bentuk perbedaan panjang hasil amplifikasi
Setiap panjang akan mewakili satu alel dari suatu lokus. Perbedaan panjang terjadi
karena perbedaan jumlah unit pengulangan pada lokus-lokus SSR tertentu
(Morgante dan Olivieri 1993, Gupta et al. 1996, Karp et al. 1997).
Keanekaragaman jumlah ulangan pada mikrosatelit dapat dideteksi dengan
mengelektroforesis produk DNA yang sudah diamplifikasi di dalam sekuen gel
standar, yang dapat memisahkan fragmen-fragmen yang membedakan tiap-tiap
nukleotida.
Primer mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini mampu
mengamplifikasi sekuen mikrosatelit dan menghasilkan variasi pada setiap
karakter individu. Fragmen-fragmen yang muncul sebagai hasil dari amplifikasi
DNA dan yang memberikan variasi yang konsisten, hal ini diharapkan dapat
dijadikan karakter penanda bagi pembentukan gaharu. Mikrosatelit DNA terdapat
dalam jumlah banyak dan menyebar di dalam genom. Bentuk umum pengulangan
Mikrosatelit DNA (SSR) adalah pengulangan dua basa secara sederhana seperti
(CA)n; (AC)n; (GT)n; (GA)n; (CT)n; (CG)n; (GC)n; (AT)n; dan (TA)n, dalam
hal ini n adalah jumlah pengulangan. Mikrosatelit dengan pengulangan 3-basa dan
4-basa ditemukan juga tetapi frekuensinya lebih rendah dibandingkan
pengulangan 2-basa (Preston et al. 1999). Brown et al. (1996) melaporkan
bahwa pengulangan SSR paling banyak adalah (AT)n diikuti oleh (A)n, (AG)n,
(AAT)n, (AAC)n, (AGC)n, (AAG)n, (AATC)n, (AC)n bergantung pada jenis
tanaman.
Pada A.crassna (Eurling et al 2010), sekuensing yang dilakukan pada 207
klon pustaka genom menunjukkan 18 klon (8%) memiliki pengulangan dua basa
yang khas yakni CA/GT antara 6 hingga 20 ulangan, sedang pada lokus 6Pa18
untuk sampel yang berasal dari Cina dan Vietnam alel yang ditemukan tidak
memiliki alel yang spesifik. Pada tanaman A.microcarpa yang diujikan dengan
lokus 6Pa18 juga tidak ditemukan pengulangan mikrosatelit yang spesifik,
sekalipun primer yang diujikan menempel pada DNA.
Lokasi dari sekuen berulang sederhana seperti mikrosatelit yang terletak di
antara gen atau yang berdekatan dengan suatu gen sangat penting, agar dapat
digunakan sebagai penanda dari sifat yang disandi oleh gen tersebut. Beberapa
fragmen sekuen berulang (SSR) yang terletak di dalam atau berdekatan dengan
gen fungsional sudah ditemukan. Kirkpatrick (1992) melaporkan menggunakan
keberadaan ulangan mikrosatelit (AC) n di dalam gen Insulin-like Growth Factor1 (IGF-1) manusia (Rotwein et al. 1990) dan tikus (Shimatsu dan Rotwein, 1987),
untuk mengembangkan primer-primer guna mengamplifikasi genom mikrosatelit
bovine dan porcine pada babi. Hal ini menunjukkan bahwa penanda mikrosatelit
pada satu spesies mungkin saja dapat dimanfaatkan untuk menentukan informasi
sekuen dari spesies lain.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengujian marka mikrosatelit
dengan lokus 6PA18 dan 17Pa71 pada tanaman A.microcarpa memiliki alel-alel
spesifik yang dapat digunakan sebagai kriteria bagi tanaman bergaharu. Hal ini
pun terlihat dari genotipe populasi anakan yang memiliki susunan basa yang
48
mirip dengan populasi inokulasi. Dengan demikian maka marka ini dapat
digunakan sebagai marka bagi tanaman A.microcarpa yang berinteraksi dengan
F. solani terutama F. solani FORDA 512.
Metode identifikasi spesies makhluk hidup telah berkembang dari
identifikasi morfologi sampai pada identifikasi molekuler berdasarkan potongan
DNA pendek yang disebut “barcode DNA” (Hebert et al. 2003). Barcode DNA
memiliki fungsi-fungsi aplikatif misalnya untuk survei ekologi (Dick dan Kress
2009), identifikasi takson-takson (Lahaye et al. 2008), dan konfirmasi sampelsampel tanaman obat (Xue dan Li 2011) dan fungsi legalitas tanaman. The
Consortium for the Barcode of Life (CBOL) merekomendasikan penggunaan dua
gen plastida yaitu rbcL dan matK sebagai barcode standar (Hollingsworth et al.
2009).
Sebagai salah satu instrumen penting dalam penelitian-penelitian yang
multidisiplin, barcode DNA perlu didukung oleh ketersediaan database untuk
identifikasi. Berdasarkan penelusuran singkat dalam BOLD (Barcode of Life
Database) yang terhubung dengan database sekuens dari beberapa negara, data
sekuens DNA barcode standar (rbcL dan matK) masih banyak spesies yang belum
tersedia atau belum lengkap untuk kedua gen barcode, termasuk informasi data
base A.microcarpa.
Hasil penelitian ini merupakan informasi awal yang dibutuhkan untuk
melengkapi bank data DNA yang dibutuhkan bagi kepentingan konservasi
maupun legalitas tanaman. informasi tersebut diperoleh dari pencatatan DNA
pada spesimen daun yang secara genetika memiliki persamaan DNA dengan
kayunya. Meskipun dengan marka DNA mikrosatelit yang digunakan baru dapat
memberikan informasi dengan dua lokus dan tingkat keberhasilan amplifikasi
yang tinggi pada spesies ini, namun informasi lain yang mendukung seperti
informasi anatomi dan kandungan senyawa pembeda antara yang diinokulasi dan
tidak diinokulasi dapat dijadikan acuan sebagai dasar informasi mengenai
tanaman A. microcarpa bergaharu.
Download