PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak ruminansia secara fisiologis membutuhkan pakan sumber serat yang berasal dari hijauan seperti rumput dan leguminosa agar fungsi normal pencernaanya dapat berlangsung. Kendala yang belakangan ini dihadapi dalam penyediaan pakan hijauan adalah keterbatasan lahan tanam hijauan. Selain itu pada musim kemarau sering selain masalah keterbatasan hijauan, kuantitas dan kualitas nutrien yang terdapat pada hijauan umumnya lebih rendah. Dibutuhkan sumber hijauan alternatif yang dapat dimanfaatkan pada musim kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki kualitas dan kandungan nutrien yang tinggi. Daun rami merupakan hasil sampingan dari tanaman rami yang batangnya digunakan sebagai bahan baku industri kapas dan tekstil. Daun rami memiliki potensi sebagai pakan ternak karena kandungan nutriennya yang cukup baik. Kandungan protein kasar daun rami mencapai 21%, lemak kasar 4%, serat kasar 20%, bahan ekstrak tanpa nitrogen 46% dan mineral Ca 5,74% (Duarte., et al., 1997). Kandungan protein kasar daun rami yang terdapat di Indonesia lebih rendah yaitu 16,35% (Despal et al., 2007). Hingga saat ini pemanfaatan daun rami sebagai pakan ternak ruminansia belum terlalu optimal. Pemanenan daun rami umumnya dilakukan pada musim hujan, dimana pada saat itu produksi hijauan dan leguminosa cukup tinggi, sehingga peternak lebih memilih mengoptimalkan penggunaan hijauan dan leguminosa sebagai pakan ternaknya. Daun rami saat setelah dipanen akan cepat mengalami pembusukan sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai pakan. Untuk dapat memanfaatkan daun rami sebagai pakan alternatif pada musim kemarau perlu adanya metode pengawetan hijauan. Pengawetan hijauan yang umum dilakukan adalah pengawetan kering (hay) dan pengawetan basah (silase). Pengawetan kering dapat dilakukan di Indonesia karena intensitas sinar matahari yang tinggi. Namun pemanenan rami biasanya dilakukan pada musim penghujan dimana intensitas sinar matahari berkurang dan intervensi hujan yang dapat memicu timbulnya jamur. Metode pengawetan lain yang dapat digunakan adalah pengawetan basah berupa silase. Dalam membuat silase dibutuhkan kadar air ideal yaitu berkisar pada 60-70%. Kadar air daun rami berkisar pada 80%. Selain kadar air yang terlalu tinggi, 1 kadar gula terlarut (WSC = water soluble carbohydrate) daun rami sangat rendah, menyebabkan bakteri asam laktat tidak mendapat substrat yang cukup untuk membuat suasana asam dalam proses ensilasi. Oleh karena itu diperlukan penambahan zat-zat yang dapat menyerap air daun rami serta meningkatkan kadar WSC untuk mengoptimalkan pertumbuhan bakteri asam laktat. Pada penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa gaplek, jagung, dan pollard dapat digunakan sebagai aditif dalam pembuatan silase rami. Semua silase yang dihasilkan tergolong pakan yang mudah difermentasi dalam rumen dan memiliki kecernaan yang tinggi pada ternak (Tatra, 2009). Tanaman rami dapat menghasilkan produk sampingan berupa hijauan hingga 300 ton bahan segar/ha/tahun (FAO) atau setara dengan 42 ton bahan kering (BK). Jumlah produksi hijauan yang cukup tinggi per luasan lahan, perlu silo yang cukup untuk dapat mengawetkan daun rami tersebut menjadi silase. Silo yang umum dikenal dalam pembuatan silase antara lain trench silo, tower silo, dan portable silo. Masing-masing silo memiliki bentuk yang berbeda dan dapat disesuaikan dengan kondisi lahan untuk membuat silo. Upaya untuk mengoptimalkan pengawetan daun rami ini dapat dilakukan melalui berbagai silo dengan memaksimalkan kapasitas tampungnya. Salah satu silo yang sering digunakan adalah trench silo. Bentuk trench dinilai lebih ekonomis dalam pembuatan, selain itu dengan kondisi lantai silo miring dapat menghindarkan terjadinya genangan air pada saat musim hujan (Siregar, 1996). Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain, membandingkan kualitas silase daun rami beraditif jagung halus yang menggunakan silo trench dan silo portabel terhadap karakter fisik, karakter fermentatif dan utilitas pada ternak ruminansia secara in vitro. 2