Anak Hiperaktif Tidak Berarti Kurang Pintar Sabtu, 09 Juli 2011 WIB, Oleh: Gusti YOGYAKARTA – Sekitar 10 persen anak usia sekolah dasar di Indonesia mengalami perilaku hiperaktif. Anak hiperaktif menunjuk pada ketidakmampuan untuk mengontrol perilaku sehingga aktivitas melebihi rata-rata anak pada umumnya. Perilaku hiperaktif ini dapat merugikan diri sendiri dan orang lain sebab kadangkala anak tidak bisa memperkirakan dampak dari perilakunya. “Anak yang hiperaktif tidak selalu identik dengan bodoh atau kurang pintar. Namun, karena dia tidak memusatkan perhatiannya dengan baik,†kata Dr. M.G. Adiyanti, M.S., psikolog anak dari Fakultas Psikologi UGM, yang ditemui di sela-sela Seminar 'Apakah Anak Saya Hiperaktif?', di Fakultas Psikologi UGM, Sabtu (9/7). Menurut Adiyanti, anak hiperaktif berisiko tinggi untuk mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas-tugas yang terstruktur sehingga ia membutuhkan keteraturan dan ketekunan berkesinambungan. Di sekolah, hal yang banyak ditemui adalah kegagalan dalam mengikuti proses belajar mengajar, baik di dalam maupun di luar kelas. “Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, anak hiperaktif sering mengalami kesulitan, terutama dalam mempertahankan pertemanan,†tuturnya. Lebih lanjut Adiyanti menjelaskan hiperaktivitas memiliki tiga gejala utama, yakni in atensi -tidak dapat memusatkan perhatian-, impulsivitas -mereaksi dengan cepat tanpa harus berpikir panjang-, dan hiperaktivitas -aktivitas fisik yang berlebihan di atas rata-rata anak seusianya-. Selain faktor fisiologis dan neurologis, dampak pola konsumsi obat tertentu menjadi faktor terjadinya hiperaktivitas. Jika penyebab keduanya tidak ditemukan, menurut Adiyanti, kemungkinan anak tersebut tidak mendapatkan cara pendidikan norma perilaku secara tepat. Oleh karena itu, orang tua dan guru di sekolah harus mampu mengatur pola komunikasi dengan anak secara baik. Kebiasaan bertindak kasar dan bersuara keras pada anak sebaiknya dihindari. Pendapat yang sama disampaikan oleh dokter spesialis anak, dr. Ratih, Sp.A. Menurutnya, anak hiperaktif terjadi akibat gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, terjadi pada 4-6% anak usia sekolah dan 2-4 % pada usia dewasa. “Lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita, umumnya pada anak sebelum usia 7 tahun,†tutur lulusan FK UGM tahun 1983 ini. Ratih menyebutkan tujuh faktor yang menjadi penyebab anak hiperaktif ialah faktor genetik, diet gula dan zat pengawet, pola asuh yang buruk, masalah keluarga, sekolah yang tidak efektif, adanya pengaruh rokok dan alkohol saat kehamilan, serta adanya perlukaan di otak. Untuk mengetahui anak hiperaktif atau tidak, orang tua harus mengetahui gejala anak hiperaktif ditandai dengan perilaku mudah frustasi, mudah menangis, overaksi, dan cepat marah. Selanjutnya, tampak pula pada rasa percaya diri yang rendah, sulit berteman, sulit beradaptasi, dan kurang matang secara sosial. “Selain perlu terapi konseling dan obat-obatan, perlu ada peran orang tua dan sekolah dalam memberi pendidikan yang baik pada anak,†katanya. Khusus bagi orang tua, untuk mencegah anak menjadi hiperaktif Ratih menyarankan untuk selalu menghargai anak apa adanya, menghabiskan waktu lebih banyak dengan meraka, selalu berbicara lembut dan menggunakan bahasa yang positif, namun tidak menolerir perilaku yang tidak sesuai. Menurut Ratih, anak hiperaktif tidak dapat sembuh hanya dengan cara diobati. Namun, dibutuhkan terapi dari psikolog, dokter anak, tim tumbuh kembang anak, serta dukungan keluarga dan guru sekolah yang baik. Lebih dari itu, anak yang hiperaktif dapat menjadi anak yang tidak kalah sukses jika hiperaktif dapat terkontrol, juga bersosialisasi yang baik dan berdisiplin. (Humas UGM/Gusti Grehenson) Berita Terkait ● ● ● ● ● Fakultas Biologi UGM dan Taman Pintar Yogyakarta Jajaki Kerja Sama Pengembangan Museum Mahasiswa FK UGM Juara 1 Kompetisi Ilmiah Nasional 2017 SIKIB-UGM Menambah Rumah dan Motor Pintar di DIY Mahasiswa UGM Inisiasi “Angkringan Pintar†Literasi di Rumah Berpengaruh Kuat Pemahaman Anak Dalam Membaca