2.1 Komitmen Organisasi

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini membahas tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait
dengan penelitian yang dilakukan, sehingga dapat menjadi landasan teoritis dalam
mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat dalam bab ini diantaranya
komitmen organisasi, selfefficacy, guru dan SMK. Diakhir bab ini, juga
dipaparkan hubungan antara komitmen organisasi dan self efficacy serta kerangka
berpikir.
2.1 Komitmen Organisasi
2.1.1 Pengertian komitmen organisasi
Komitmen organisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang
karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut (Robbins & Judge,
2007).
Komitmen
organisasi
merupakan
sejauh
manaseorang
individumengidentifikasidan terlibatdengan organisasinya atautidak bersediauntuk
meninggalkannya (Greenberg& Baron, 2003). Sementara Spector (2000)
menyatakan bahwa komitmen organisasi menggambarkan sejauh mana individu
mengidentifikasikan dirinya dan dilibatkan dengan organisasinya dan tidak ingin
meninggalkan organisasinya.
Luthans (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai (1) keinginan
yang kuat untuk tetap menjadi anggota dari bagian organisasi (2) kesediaan untuk
mengerahkan tingkat usaha yang tinggi atas nama organisasi (3) keyakinan yang
dalam dan penerimaan nilai-nilai serta tujuan organisasi. Menurut Schultz
&Schultz (2006) komitmen organisasi dipengaruhi oleh persepsi karyawan
tentang bagaimana komitmen organisasi itu sendiri. Semakin besar komitmen
yang dirasakan oleh karyawan, semakin tinggi harapan karyawan bahwa jika
mereka bekerja untuk memenuhi tujuan organisasi maka mereka akan dihargai
secara adil (Schultz & Schultz, 2006). Sedangkan Mowday, Steers, dan Porter
(1979, dalam Spector : 2000) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai tiga
komponen, yaitu :
a. Menerima tujuan/goal dan value yang dimiliki oleh organisasi
b. Kesediaan untuk berusaha dengan sungguh – sungguh demi organisasi
c. Mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Meyer dan Allen (1997) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki
komitmen organisasi akan bekerja dengan penuh dedikasi karena karyawan yang
memiliki komitmen tinggi menganggap bahwa hal yang penting yang harus
dicapai adalah pencapaian tugas dalam organisasi. Karyawan yang memiliki
komitmen organisasi yang tinggi juga memiliki pandangan yang positif dan akan
melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Hal ini membuat karyawan
memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih
menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Komitmen organisasi mencerminkan sejauh mana seorang individu
mengidentifikasi dengan organisasi dan tujuannya. (Kreitner & Kinicki, 2008).
Hal tersebut merupakan sikap kerja yang penting karena orang yang berkomitmen
diharapkan untuk menampilkan kemauan bekerja lebih keras untuk mencapai
tujuan organisasi dan keinginan yang lebih besar untuk tetap dipekerjakan di
dalam organisasi.
Berdasarkan uraian teori dari para tokoh diatas, penulis menyimpulkan
komitmen organisasi sebagai kesediaan karyawan untuk meyakini dan
menunjukkan nilai-nilai yang ada pada perusahaan dalam dirinya dengan kemauan
yang kuat untuk memberikan sesuatu yang dapat mencapai tujuan organisasi.
2.1.2 Komponen komitmen organisasi
Menurut Meyer dan Allen (1997, dalam Kreitner & Kinicki, 2008) terdapat tiga
komponen dalam komitmen organisasi, yaitu:
1) Komponen affective
Komponen ini
Berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat
dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang
sama. Menurut Meyer & Allen (1991, dalam Rhoades, Eisenberger, & Armeli,
2001)
ikatan
emosionalkaryawan
dalam
komitmen
afektifdianggap
sebagaipenentu yang penting daridedikasi dan loyalitas. Komitmen afektif
karyawan dianggap memilikirasadanidentifikasiyang meningkatkanketerlibatan
merekadalam
kegiatanorganisasi,
kesediaan
merekauntuk
mengejartujuan
organisasidan keinginanmereka untuk tetapdengan organisasi.
2) Komponen continuance
Komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya-biaya yang akan ditanggung
jika tidak bergabung dengan organisasi. Seorang karyawan mungkin berkomitmen
terhadap seorang yang memberi pekerjaan karena ia dibayar tinggi dan merasa
bahwa pengunduran diri dari organisasi akan menghancurkan keluarganya.
3) Komponen normative
Komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai anggota/karyawan untuk
tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini terjadi juga internalisasi normanorma.
2.1.3 Penyebab (antecendent) Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi disebabkan oleh beberapa faktor menurut Meyer dan
Allen (1997, dalam Kreitner & Kinicki, 2008). Masing-masing dimensi dari
komitmen organisasi memiliki faktor-faktor ynag berpengaruh. Berikut ini uraian
mengenai faktor-faktor yang menyebabkan komitmen afektif, komitmen rasional,
dan komitmen normatif.
2.1.3.1 Faktor yang menyebabkan komitmen afektif(affective commitment)
Beberapa faktor yang menyebabkan komitmen afektif, antara lain
karakteristik organisasi, karakteristik pribadi, dan pengalaman kerja. Pertama,
karakteristik organisasi yang mempengaruhhi komitmen afektif adalah cara
pengambilan
kebijakan
perusahaan.
Kedua,
karakteristik
pribadi
yang
mempengaruhi komitmen afektif, antara lain variabel demografis, seperti gender,
usia, tingkat pendidikan, dan masa kerja, serta variabel seperti kepribadian, dan
nilai (value) yang dianut. Secara keseluruhan hubungan antara variabel
demografis dan komitmen afektif tidak konsisten dan kurang kuat. Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa wanita memiliki komitmen
organisasi yang lebih tinggi daripada pria (Meyer & Allen, 1997).
2.1.3.2 Faktor yang menyebabkan komitmen Rasional (continuance
commitment)
Menurut Meyer dan Allen (1997), faktor yang menyebabkan komitmen
rasional adalah investasi yang diberikan pada organisasi dan alternatif pekerjaan
lain. Komitmen rasional (continuance commitment) berkorelasi negatif dengan
jumlah alternatif pekerjaan lain serta menariknya pekerjaan lain tersebut (Meyer
dan Allen, 1997). Investasi maupun alternatif pekerjaan ini tidak akan berdampak
apapun terhadap komitmen rasional apabila karyawan tidak menyadari dan tidak
mengetahui akibatnya.
2.1.3.3. Faktor yang menyebabkan komitmen Normatif
Menurut Meyer dan Allen (1997), faktor-faktor yang menyebabkan
kokmitmen normatif antara lain proses sosialisasi dan investasi yang diberikan
organisasi pada karyawannya. Proses sosialisasi terjadi di lingkungan keluarga
maupun lingkungan kerja.
2.2 Self-efficacy
2.2.1 Pengertian self-efficacy
Menurut Kreitner & Knicki (2008) self efficacy adalah keyakinan
seseorang mengenai kesempatannya untuk sukses dalam mengerjakan tugas yang
spesifik. Menurut Bandura (1982, dalam Lahey, 2009) self efficacy didefinisikan
sebagai persepsi bahwa seseorang mampu melakukan apa yang diperlukan untuk
mencapai tujuan. Maksudnya mampu mengetahui apa yang harus dilakukan dan
secara emosional mampu melakukannya. Orang yang memiliki self efficacy yang
tinggi dapat menerima tantangan yang lebih besar, mengeluarkan usaha lebih, dan
mungkin lebih berhasil dalam mencapai tujuan sebagai hasil. Orang yang
memiliki self efficacy rendah tidak mendapat promosi ditempat kerja karena tidak
melibatkan dirinya untuk memberikan kontribusi yang baik kepada organisasi.
Menurut Schultz dan Schultz (2006) self efficacy adalah keyakinan
seseorang akan kemampuannya dalam mengerjakan tugas tertentu. Orang yang
memiliki self efficacy tinggi tidak terganggu oleh stress dibandingkan dengan
orang yang memiliki self efficacy rendah. Sementara Bandura (2001, dalam Feist
& Feist : 2008) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan manusia pada
kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi
diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya. Bandura (1997) menyatakan
bahwa self efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai
situasi dan memperoleh hasil yang positif. Selain itu Bandura (1997, dalam
Luszczynska & Schwarzer, 2005) menjelaskan self efficacy merupakan keyakinan
seseorang untuk dapat menggunakan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menahan godaan, mengatasi stress, dan mengerahkan sumber daya yang
diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasional.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa self efficacy
merupakan keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya dirinya
dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dihadapi, sehingga mampu
mencapai tujuan yang diharapkannya
2.2.2 Klasifikasi Self Efficacy
Self efficacy terbagi menjadi dua bentuk yaitu self efficacy yang tinggi
danself efficacy yang rendah. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi
akan cenderung memilih untuk terlibat langsung dalam mengerjakan suatu tugas,
sementara individu yang memiliki self efficacy rendah cenderung menghindari
tugas tersebut.
Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan
suatu tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit.
Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka
hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat instrinsik dan ketertarikan
mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan berkomitmen
dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga mencegah kegagalan yang mungkin
akan terjadi. Mereka yang gagal dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat
mendapatkan self efficacy mereka kembali setelah mengalami kegagalan tersebut
(Bandura, 1997).
Individu yang memiliki self efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai
akibat dari kurangnya usaha keras, pengetahuan, dan keterampilan. Sedangkan
individu yang memiliki self efficacy rendah, ragu akan kemampuan yang mereka
miliki sehingga menjauh dari tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut
dianggap sebagai suatu ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki
komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau yang
ditetapkan. Individu yang memiliki self efficacy rendah tidak berpikir tentang
bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat
menghadapi tugas yang sulit mereka mengurangi usaha-usaha mereka dan cepat
menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi ataupun mendapatkan kembali
self efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).
2.2.3 Sumber Self Efficacy
1) Mastery experience
Sumber yang paling kuat atau berpengaruh bagi self efficacy adalah
pengalaman-pengalaman tentang penguasaan (mastery experience), menurut
Bandura (dalam Feist & Feist, 2008)yaitu kinerja yang sudah kita lakukan di masa
lalu. Biasanya, kesuksesan suatu kinerja akan membangkitkan harapan terhadap
kemampuan diri untuk mempengaruhi hasil yang diharapkan. Sedangkan
kegagalan cenderung merendahkannya (Feist & Feist, 2008).
Dalam pekerjaan, menurut Gist & Mitchell (dalam Avey, Luthans &
Jensen, 2009) keberhasilan dalam melakukan suatu tugas (performa/kinerja)
sebelumnya akan meningkatkan selfefficacy mengenai tugas tersebut, dan
kesalahan yang berulang saat melakukan suatu tugas maka membuat harapannya
menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, selfefficacy sangat mempengaruhi kinerja
seseorang dalam melakukan tugas.
2) Social modelling
Social modelling yaitu berbicara mengenai pengalaman-pengalaman tidak
terduga (vicarious experiences) yang disediakan atau dilakukan oleh orang lain.
Selfefficacy akan meningkat ketika seseorang mengamati pencapaian orang lain
yang setara kompetensinya, tetapi akan menurun ketika melihat kegagalan
seorang rekan kerja (Feist & Feist, 2008).
Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2008 ), social modelling adalah
pemodelan perilaku orang lain yang telah berhasil menyelesaikan suatu tugas.
Dengan mengamati dan mengobservasi orang lain yang berhasil menyelesaikan
tugasnya, observer dapat meningkatkan atau memperbaiki.
3) Social persuasion
Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2008), Self Efficacy dapat juga
diraihatau dilemahkan melalui persuasi sosial. Efek persuasi sosial agak terbatas,
namun apabila dalam kondisi yang tepat akan sangat berdampak dalam
meningkatkan atau menurunkan selfefficacy. Kondisi yang dimaksud ialah
seseorang harus percaya kepada sang ‘pembicara’ (persuader). Bandura (1986,
dalam Feist & Feist, 2008)berhipotesis bahwa efek sebuah nasihat bagi self
efficacy berkaitan erat dengan status dan otoritas dari pemberi nasihat.
Social persuasion terjadi ketika seseorang memberitahu kepada seorang
individu bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil. Bentuk
umum dari social persuasion yaitu; dorongan verbal, coaching dan menyediakan
performance feedback (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009).
4) Physical and emotion States
Sumber terakhir dari selfefficacy adalah kondisi fisik dan emosi
(Bandura,1997). Emosi yang kuat biasanya menurunkan tingkat performa/kinerja
seseorang. Ketika mengalami rasa takut yang besar, kecemasan yang kuat dan
tingkat stres yang tinggi, seseorang akan memiliki selfefficacy yang rendah.
(dalam Feist & Feist, 2008).
2.2.4 Aspek-aspek self efficacy
Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self efficacy pada
individu, yaitu :
1. Tingkatan (level)
Adanya perbedaan self efficacy yang dihayati oleh masing-masing individu
mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi. Tuntutan tugas
merepresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk
mencapai perfomansi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit,
maka aktivitas lebih mudah dilakukan, sehingga kemudian individu akan
memiliki self efficacy yang tinggi. Jadi, individu memiliki persepsi yang berbeda
terhadap tuntutan dari setiap tugas yang akan dihadapi sehingga dapat
menentukan tingkat kesulitan untuk mencapai kinerja yang optimal. Tingkatan
(level) bisa dikatakan sebagai suatu tingkat ketika seseorang meyakini usaha atau
tindakan yang dapat ia lakukan.
2. Kekuatan (Strength)
Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self efficacy yang diyakini
seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula.
Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh
dalam berusaha untuk mengeyampingkan kesulitan yang dihadapi dan tidak
mudah kewalahan dalam menghadapi kesulitan. Dengan pengalaman tersebut
akan timbul suatu kepercayaan diri yang ada dalam diri seseorang yang dapat ia
wujudkan dalam meraih performa tertentu.
3. Keadaan umum (Generality)
Sejauh mana individu yakin dengan kemampuannya dalam berbagai
situasi tugas, mulai dari aktivitas yang biasa dilakukan sampai pada aktivitas
yang belum pernah dilakukan dalam serangkaian tugas atau situasi yang sulit dan
bervariasi. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbedabeda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana kemampuan
ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), ciri kualitatif situasi, dan
karakteristik individu menuju kepada siapa perilaku itu ditujukan. Pengukuran
berhubungan dengan daerah aktivitas dan konteks situasi yang menampakkan
pola dan tingkat generality yang paling mendasar berkisar tentang apa yang
individu susun pada kehidupan mereka.
2.2
Hubungan antara self efficacy dengan komitmen organisasi
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan Bandura (2001, dalam Feist &
Feist, 2008) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan manusia pada
kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi
diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya.Self efficacy merupakan
keyakinan individu akan kemampuannya untuk dapat mengerjakan tugas tertentu
agar mendapatkan hasil yang optimal. Terdapat sumber-sumber yang membentuk
self efficacy, antara lain mastery experience, social modelling, social persuasion
dan Physical and Emotion States.
Sedangkan komitmen organisasi mencerminkan sejauh mana seorang
individu mengidentifikasi dengan organisasi dan tujuannya. (Kreinter & Kinicki,
2008). Komitmen organisasi memiliki tiga aspek penting yaitu affective,
continuance, dan normative. Individu yang memiliki komitmen organisasi akan
terlihat memiliki nilai-nilai yang sama dengan organisasi di tempatnya bekerja.
Guru yang kurang memiliki rasa keyakinan terhadap keberhasilan
pembelajaran menunjukkan komitmen yang lemah untuk mengajar, kurang dalam
menghabiskan waktu untuk mata pelajaran, mereka merasa tidak yakin, dan
kurang mencurahkan waktu untuk keseluruhan hal-hal akademis (Bandura, 1995).
Sebaliknya guru-guru yang tidak percaya dengan keyakinan mereka untuk
berhasil akan mencoba untuk menghindari masalah yang berurusan dengan
akademik dan tidak mengubah usaha mereka untuk meringankan emosional
mereka.
Hasil penelitian sebelumnya menyatakan peningkatan self efficacy guru
akan diikuti dengan peningkatan komitmen guru, dan sebaliknya penurunan self
efficacy guru akan diikuti dengan penurunan komitmen guru pula (Wulandari &
Mardhani, 2009). Reyes dan Coladarci (1992, dalam Wulandari & Mardhani,
2009) menemukan bahwa self efficacy berhubungan dengan komitmen guru
disekolah, baik itu komitmen guru terhadap organisasi ataupun komitmen guru
terhadap profesinya.Beberapa penelitian sebelumnya mengenai self efficacy dan
komitmen organisasi menghasilkan hubungan yang positif signifikan.
2.3
Pengertian Guru
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2008), guru adalah orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Menurut Yelon dan
Weinstein (1997, dalam Mulyasa, 2011) dapat diidentifikasikan sedikitnya 19
peran guru, yakni guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih,
penasehat, pembaharu (innovator), model dan teladan, pribadi, peneliti,
pendorong kreativiitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pembawa cerita,
aktor, emansipator, evaluator, pengawet dan sebagai kulminator.
2.4
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 74 tahun 2008
tentang guru, Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK
adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan kejuruan pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai lanjutan dari
SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang
diakui sama atau setara SMP atau MTs.
Sekolah menengah atas (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan
yang bertanggung jawab untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan, keterampilan dan keahlian dalam bidang tertentu (Mulyadi, 2010)
SMK dalam proses pendidikannya bekerja sama dengan dunia industri dan
perdagangan melalui program praktek kerja industri yang biasa disebut prakerin.
Pelaksanaan praktek kerja ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas lulusan
SMK sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan profesional.
2.5.1 Tujuan SMK
Menurut
Direktorat
Pembinaan
Sekolah
Menengah
Kejuruan
(2011)tujuan SMK antara lain :
1.
Mewujudkan Lembaga Pendidikan Kejuruan yang akuntabel sebagai
Pusar Pembudayaan Kompetensi Berstandar Nasional
2.
Mendidik Sumber Daya Manusia yang mempunyai etos kerja dan
kompetensi berstandar internasional
3.
Memberikan berbagai layanan Pendidikan Kejuruan yang permeabel dan
flesibel secara terintegrasi antara jalur dan jenjang pendidikan
4.
Memperluas layanan dan pemerataan mutu pendidikan kejuruan
5.
2.6
-
Mengangkat keunggulan lokal sebagai modal daya saing bangsa
Kerangka Berpikir
Absensi
Keterlambatan datang ke
sekolah
Menunda masuk ke dalam
kelas
Kekosongan jam pelajaran
(tidak ada yang menggantikan)
-
Komitmen Organisasi, memiliki
3 dimensi :
Self Efficacy, memiliki 3
dimensi :
-
-
-
Guru SMK
Level
Tingkat kesulitan dalam
menghadapi kewajiban
sebagai seorang guuru
Strength
Tingkat kekuatan diri
dalam menjalankan
kewajiban sebagai
soerang guru
Generality
Tingkat keyakinan guru
dalam menjalankan
Efektivitas belajar mengajar
-
-
-
Afektif
Keinginan secara
emosional untuk terikat
dengan organisasi
Continuance
Kesadaran akan biaya atau
keuntungan jika tidak
bergabung dengan
orgnisasi
Normative
Perasaan wajib untuk tetap
tinggal di organisasi karena
perasaan hutang budi
Keterangan Bagan
Seorang guru dalam pekerjaannya diminta untuk dapat berkomitmen
terhadap sekolah dan hendaknya dapat menginternalisasikan nilai-nilai yang ada
pada organisasi kedalam dirinya. Hal tersebut penting untuk mencapai tujuan
bersama dalam dunia pendidikan maupun organisasi dimana tempat guru tersebut
mengajar. Dalam perjalanannya banyak dijumpai pelanggaran yang dilakukan
oleh guru tersebut sehingga menghambat proses belajar mengajar, antara lain
absensi yang tinggi, keterlambatan datang ke sekolah, menunda-nunda untuk
masuk ke dalam kelas saat pergantian jam pelajaran, dan jam pelajaran kosong
(tidak ada yang menggantikan).
Upaya peningkatan hendaknya dilakukan oleh kepala sekolah dengan
adanya pembinaan kepada guru yang bersangkutan agar membentuk suatu kondisi
yang mendukung keyakinan diri guru tersebut dalam melakukan pekerjaanya.
Peneliti akhirnya menduga bahwa dengan self efficacy yang tinggi yang
dimiliki seorang guru mampu membuat guru tersebut memiliki komitmen yang
tinggi pula kepada sekolah sebagai organisasi sehingga dapat menghasilkan
kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Download