An Analysis of the Practical Utilization of Industrial Relations

advertisement
An
Analysis
of the Practical Utilization of
Industrial
Relations Mechanisms
in
Indonesia
Suwarto
inuones an and English Versions
101B09/494
e. i • ^-P • ^
I. INTRODUCTION
1
II. TRADE UNION DEVELOPMENT
4
A.
Legal Basis and Practices of Trade Unions
B. Basic Statistics on Workers' / Trade Unions
III. COLLECTIVE BARGAINING AND TRIPARTISM
4
5
7
A. Bipartite Cooperative Body
7
B. Tripartite Cooperative Body
9
C. Collective Labour Agreements
IV. SETTLEMENT OF INDUSTRIAL DISPUTES
13
17
A. Legal Basis and System of Dispute Settlement
17
B. Basic Statistics
19
C. Industrial Disputes
20
D. Strikes
21
E. Termination of Employment
22
V. CONCLUSIONS AND RECCOMENDATIONS
23
A. Conclusions
23
B. Recommendations
26
Pre C E I V E D
1 5 OCT 200tt
international
Labour Office
^n
INFORM
BMJ
no/UM Dioinnnnon Project
11th Floor, Surya Building
Jl. M.H. Thamrln Kav. 9, Jakarta Pusat 10350
INDONESIA - Tel. 62-21-3141308/Fax. 62-21-3902488
INS/00/M51AJSA
Kata Pengantar
Preface
Proyek DEKLARASI ILO/USA di Indonesia ditugasi untuk mempersiapkan
sejumlah laporan bagi diskusi dan bahan pertimbangan dalam sebuah lokakarya
tripartit nasional untuk merumuskan rencana tindakan guna pengembangan suatu
sistim hubungan industrial yang baru di Indonesia, selain juga untuk
mensosialisasikannya kepada para unsur tripartit dan masyarakat secara umum.
Salah satu laporan penting yang dicanangkan pada awal Proyek adalah
sebuah analisa kuantitatif dan kualitatif dari penggunaan praktis akan mekanisme
hubungan industrial yang hams mencakup kesepakatan kolektif, isinya dan
santunan bagi pekerja; pencegahan perselisihan industrial serta penyelesaiannya,
caranya, isinya dan jangka waktunya; pertemuan badan-badan bipartit dan tripartit,
agenda komposisinya, keefektifan dsb.
Laporan ini telah dipersiapkan untuk Proyek oleh Bpk. Soewarto, seorang
pakar terkemuka mengenai hubungan industrial, mantan Direktur Jendral
Hubungan Industrial dan Standar Perburuhan serta Sekretaris Jendral di
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigras!.
Disiapkannya laporan ¡ni adalah sejalan dengan tujuan Proyek untuk
membantu para unsur tripartit Indonesia dan organisas! relevan lainnya agar
mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik akan hak-hak dan
kewajiban yang terkandung dalam perundangan baru dibawah program
pembaruan hukum perburuhan, serta kemampuan melaksanakan hak dan
tanggung jawab tersebut.
The ILO/USA DECLARATION Project in Indonesia is tasked to
prepare a number of reports for discussion and consideration in a national
tripartite workshop to formulate action plans for the development of a new
industrial relations system in Indonesia as well as for dissemination to the
tripartite constituents and the public at large.
One of the important reports envisioned at the start of the Project is
a quantitative and qualitative analysis of the practical utilization of
industrial relations mechanisms which should include collective bargaining
agreements, their contents and coverage of workers; industrial disputes
prevention and settlement, their methods, contents and time-frames;
meetings of bipartite and tripartite bodies, their composition agendas,
effectiveness, etc.
The present report has been prepared for the Project by Mr.
Soewarto, a respected expert on industrial relations and former Director
General of Industrial Relations and Labor Standards and Secretary
General of the Ministry of Manpower and Transmigration.
The preparation of the report is in line with the Project objective of
assisting the Indonesian tripartite constituents and other relevant
organizations in having a better knowledge and understanding of the
rights and responsibilities contained in the new legislation passed under
the labor law reform program, as well as the ability to exercise these rights
and responsibilities.
ANALISIS KUANTITATIF DAN KUALITATIF
TENTANG PRAKTEK MEKANISME
HUBUNGAN INDUSTRIAL
I.
PENDAHULUAN
1.
Informas! Latar Belakang Hubungan Industrial Indonesia
Sejarah perkembangan hubungan industrial di Indonesia mengalami berbagai
perubahan sejalan dengan perubahan politik yang terjadi. Pada awal kemerdekaan
sampai awal tahun tujuh puluhan diwamai dengan sistem hubungan industrial yang
liberalistis.
Pada kurun waktu tersebut pekerja/buruh memperoleh
kebebasan
berserikat yang seluas-luasnya, bahkan sebagian besar serikat buruh merupakan
bagian partai politik yang ada.
Pada era Orde Baru, demi menjaga stabilitas politik,
seluruh sistem
kemasyarakatan di bawah kendali pemerintah, termasuk sistem hubungan industrial.
Mulai saat itu hubungan industrial berlandaskan pada falsafah negara Pancasila
dimana inti pelaksanaan hubungan industrial bersemangatkan prinsip-prinsip non
konflik
(cooperative
industrial
relations)
diantara
para
pelakunya,
yang
diterjemahkan ke dalam kaidah-kaidah kekeluargaan, gotong royong dan musyawarah
untuk mencapai mufakat. Sistem ini juga dilandasi oleh filosofi sosial seperti : kerja
juga merupakan bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan buruh bukan
sekedar faktor produksi, tetapi
juga manusia dengan harkat dan martabatnya.
1
Gerakan serikat pekerja yang ada digiring untuk bergabung menjadi satu dalam
bentuk federasi yang kemudian merupakan satu-satunya yang diakui oleh pemerintah.
Sayangnya prinsip yang baik tersebut dimanipulasi sebagai sarana menekan
buruh untuk mengikuti kehendak pengusaha dan penguasa, melalui pengebirian hakhak dasar mereka, seperti hak berserikat, hak bemegoisasi dan hak mogok.
Sejak tahun 1998 dengan adanya gerakan reformasi
terjadi perubahan
mendasar dalam sikap po.litik bangsa Indonesia. Gerakan tersebut mengedepankan
semangat demokrasi dan penghargaan terhadap hak azasi manusia. Sejalan dengan itu,
Pemerintah juga menegaskan tentang kebebasan berserikat bagi masyarakat, termasuk
bagi pekeija / buruh yang dibuktikan dengan meratifíkasi konvensi ILO no.87 th 1948
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisai, yang diikuti
dengan dikeluarkannya UU No.21 th 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.
Undang-undang
tersebut
memberikan
kebebasan
yang
seluas-luasnya
bagi
pekerja/buruh untuk berserikat, sebagai penjabaran pasal 8 ayat 1 dan 2 dan konvensi
ILO No.87/1948.
Sejalan dengan perubahan kebijakan tersebut, maka serikat buruh/serikat
pekeija tumbuh dengan pesat, terutama di tingkat nasional.Pertumbuhan ini belum
diikuti dengan perkembangan serikat buruh/serikat pekerja di tingkat perusahaan.
Pada dasamya sistem hubungan industrial yang diterapkan di Indonesia
menganut prinsip tripartisme. Kerja sama dan konsultasi tripartit merupakan inti dari
berbagai penetapan kebijakaan ketenagakerjaan, termasuk dalam bidang hubungan
industrial. Dalam bidang ini Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS Tripartit) baik
tingkat nasional
maupun tingkat daerah (propinsi dan kabupaten) telah lama
terbentuk dan pada umumnya telah melaksanakan fungsinya sebagai lembaga
konsultasi.
Dalam bidang lain, prinsip tripartisme juga diterapkan, misalnya lembaga
penyelesaian perselisihan (P-4D dan P-4P) keanggotaannya juga mencerminkan unsur
tripartit ini. Demikian pula berbagai badan ketenagakerjaan yang lain, seperti Dewan
2
Penelitian Pengupahan Nasional, Dewan Produktivitas Nasional, Dewan Latihan
Kerja
Nasional,
dan
Dewan
Ketenagakerajaan
Daerah
keanggotaannya juga
mencerminkan tripartisme.
Dengan perkembangan serikat buruh/serikat pekerja yang pesat akhir-akhir
ini, tripartisme di semua kelembagaan tersebut juga sedang dalam proses perubahan.
Perubahan ini menyangkut
keanggotaan khususnya unsur yang mewakili serikat
pekerja/serikat buruh, sebagai akibat perkembangan serikat pekerja/serikat buruh
yang terjadi.
2. Ruang Lingkup
Data yang dikumpulkan yang kemudian dianalisis adalah data sekunder untuk
hal-hal tertentu dari 6 propinsi, ialah Sumatra Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Bidang yang dianalisis meliputi perkembangan
serikat
pekerja/serikat
buruh,
lembaga
kerja
sama
Bipartit
dan
Tripartit,
perkembangan perselisihan hubungan industrial dan penyelesaiannya, pemogokan dan
PKB.
3. Keterbatasan dan Hambatan
Dengan adanya berbagai keterbatasan, maka hanya melakukan análisis
terhadap data sekunder yang terkumpul di Depnaker Pusat dan P-4 Pusat. Namun
demikian untuk melakukan cek silang (cross check) dilakukan pula pengolahan data
tertentu yang dilakukan dengan sampel pada kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten
Tangerang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Jakarta Selatan, dan Kota
Jakarta
Utara,
yang
masing-masing
50
perusahaan
sehingga jumlah
sampel
seluruhnya 250 perusahaan atau sekitar 3% dari jumlah populasi 7.870 perusahaan. Di
samping itu juga diolah data dari Kantor Dinas Tenaga Kerja Propinsi DKI Jakarta.
3
Hambatan pokok yang dihadapi dalam pengumpulan data adalah dipecahnya
Kandep Tenaga Kerja menjadi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten dan Kota, terutama di
Tangerang, Bogor dan Bekasi. Di samping itu dengan kebijakan otonomi daerah,
laporan dari daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Secara umum disetiap tingkatan kator tidak melakukan pengolahan data secara
baik dan akurat, sehingga tidak mudah untuk melakukan análisis. Sehingga análisis
yang dilakukan juga tidak sepenuhnya akurat.
Data yang terkumpul kemudian diolah, yang hasilnya diwujudkan dalam
tabulasi dasar. Analisis
dilakukan oleh sebuah tim yang didahului dengan diskusi
intensif yang membahas masalah-masalah tersebut sehingga menghasilkan laporan
ini.
IL
PERKEMBANGAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
A. Landasan Hukum dan Praktek Keserikatpekerjaan / Keserikatburuhan
Selama lebih kurang 30 tahun, Indonesia menganut serikat pekerja tunggal,
baik di tingkat nasional maupun di tingkat perusahaan. Sejak diratifikasinya konvensi
ILO no.
87
th.
1948
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi dengan Keputusan Presiden no. 83 th
1998, maka Pemerintah
memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pekerja / buruh untuk berserikat.
Implikasi ratifikasi tersebut telah dirasakan terutama dengan pesatnya
petumbuhan serikat pekerja / serikat buruh, khususnya di tingkat nasional. Pada saat
ini tercatat 58 serikat pekerja / serikat buruh yang menyatakan diri sebagai federasi
nasional. Jumlah serikat pekerja / serikat buruh tingkat perusahaan sekitar 11.000
dengan jumlah anggota lebih kurang 10 juta orang. Namun demikian belum
4
seluruhnya tercatat di instansi pemerintah ybs, sehingga belum sepenuhnya dapat
melakukan fungsinya termasuk pembuatan PKB.
Dengan terbitnya UU no.21 th 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
maka hak pekerja / buruh untuk berserikat lebih kuat lagi. Kesulitan pembentukan
serikat pekerja di masa lalu sudah tidak lagi terjadi. Kesulitan yang mungkin timbul
adalah persaingan di antara serikat pekerja / serikat buruh baik di tingkat perusahaan
maupun tingkat yang lebih tinggi.
B.
Data Statistik Serikat Pekerja / Serikat Buruh
Dengan reformasi hukum keserikatpekerjaan / keserikatburuhan, maka terjadi
pertumbuhan serikat pekerja tingkat nasional yang cukup besar. Tabel di bawah
menunjukkan angka-angka perkembangan tersebut.
Tabel 1
DATA SERIKAT PEKERJA DARI TH 1997 - JUNI 2001
SECARA NASIONAL
TK PERUSAHAAN
FEDERASI
TAHUN
JUMLAH
JUMLAH
%
%
1997
1
-
12.839
-
1998
11
1000
2.836
-77,91
1999
21
90,91
6.309
122,46
2000
32
52,38
11.647
84,61
81,25
15.725
35,01
2001
58
Sumber: Ditjen Binawas Depnakertrans.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa perkembangan federasi nasional
serikat pekerja / serikat buruh mulai
terjadi
pada
tahun
1998,
ialah
tahun
diratifikasinya konvensi ILO no.87 th.1948. Hal ini menunjukkan bahwa para pekerja
benar-benar memanfaatkan hak berserikat dengan diratifikasinya konvensi tersebut.
5
Selama 4 dari tahun 1997 - Juni th. 2001 federasi serikat pekerja / serikat buruh
nasional berkembang dari 1 (pada saat itu FSPSI) menjadi 58 atau 5.800%.
Di lain pihak serikat pekerja / serikat buruh di tingkat perusahaan pada tahun
1998 sepertinya terjadi penurunan yang sangat drastis. Hal ini disebabkan terbitnya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja no.05/1998 tentang Pendaftaran Serikat Pekerja,
sehingga angka 2.836 adalah jumlah serikat pekerja tingkat perusahaan yang terdaftar
pada tahun tersebut, demikian pula pada tahun 1999 menunjukkan angka 6.360,
dimana angka tersebut tidak menggambarkan angka yang sebenarnya. Pada tahun
2000 serikat pekerja / serikat buruh yang mendaftarkan telah mulai meningkat ialah
menjadi 11.647 banyak dan tahun 2001 tercatat 15.725 yang merupakan angka yang
realistis. Dengan demikian, pertumbuhan serikat pekerja / serikat buruh tingkat
perusahaan selama 4 tahun dari tahun 1997 adalah 12.839 (pada saat itu hanya
anggota FSPSI) menjadi 15.725 (22,48%). Perkembangan ini sangat jauh dari
pertumbuhan serikat pekerja / serikat buruh nasional.
Tabel 2
PERKEMBANGAN SERIKAT PEKERJA
DI DKI JAKARTA TH 1998 - JUNI 2001
1998
1999
Tambah
Jml
(%)
2000
Jml
Tambah
(%)
200 (Juni)
Jml
Tambah
(%)
501
777
937
1.409
55,08
20,59
50,37
Kcterangan
Tahun 1998
adalah SPSI
Sumber: Dinas Tenaga Kerja DKI
Perkembangan serikat pekerja / serikat buruh di wilayah DKI Jakarta dalam 3
tahun terakhir cukup besar, ialah dari 501 pada tahun 1998 menjadi 1.409 pada Juni
2001, atau naik 181,24%. Sebagai perbandingan, disajikan pula perkembangan serikat
pekerja / serikat buruh yang terjadi di Kabupaten Tangerang.
6
label 3
PERKEMBANGAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DI
KABUPATEN TANGERANG TH 2000 - JUNI 2001
1998
240
1999
TAMBAH
JUMLAH
(%)
384
60
2000
TAMBAH
JUMLAH
(%)
484
26,04
JUNI 2001
TAMBAH
JUMLAH
(%)
602
24,38
Sumber: Dinas Te naga Kerja Kabupaten Tangerang
Dari data tersebut menunjukkan bahwa perkembangan serikat pekerja / serikat
buruh di Tangerang juga cukup pesat, ialah 240 pada tahun 1998 menjadi 602 pada
Juni 2001 atau bertambah 150,83%.
III.
PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DAN
TRIPARTISME
A.
Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit
1. Tugas dan Fungsi
Tugas dan fungsi Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit adaiah melakukan
konsultasi dan komunikasi membahas tentang permasalahan dan mengantisipasi
keluhan-keluhan dari para pekerja dan keinginan perusahaan. Tingginya jumlah kasus
pemogokan dan perselisihan industrial menunjukkan belum atau kurang berfungsinya
LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi menyebabkan pekerja atau
serikat pekerja cenderung menuntut daripada merundingkannya dengan pcngusaha
apabila ingin meningkatkan kcscjahteraan.
7
2. Data Statistik dan Analisis
Tabel 4
LKS BIPARTIT DI ENAM PROPINSI
NO.
PROPINSI
JUMLAH
PERUSAHAAN
1.414
LEMBAGA
BIPARTIT
370
26,17
940
268
28,51
%
1
Sumut
2
Riau
3
DKi Jakarta
4.604
913
19,83
4
Jabar
6.894
1.001
14,52
5
Jatim
5.980
1.248
20,87
6
Kaltim
720
239
33,19
20.522
4.039
19,68
JUMLAH
Sumber: Ditjen Binawas Depnakertrans
Saat ini jumlah perusahaan yang mempunyai LKS Bipartit masih relatif
rendah, tidak terkecuali di 6 propinsi yang menjadi target sasaran dari survey ini.
Dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang ada di 6 propinsi tersebut, rata-rata
belum mencapai 20% yang memiliki LKS Bipartit.
Sementara LKS Bipartit yang telah terbentuk di perusahaan belum berfungsi
sebagaimana yang diharapkan. Hai ini menunjukkan bahwa para pengusaha dan
pekerja belum menyadari dan memahami tentang pentingnya peran LK Bipartit dalam
rangka menumbuhkembangkan komunikasi antara pengusaha dan pekerja.
Dari data tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa jumlah LKS Bipartit telah
terbentuk di 6 propinsi sebanyak 4.039 (atau 19,68%) dari 20.522 perusahaan. Tetapi
tidak diketahui apakah lembaga tersebut melaksanakan fungsi dan tugasnya secara
efektif. Tidak terdapat laporan kegiatan dari masing-masing propinsi. Data yang
diperoleh di kantor pusat Depnakertrans hanya sekedar data kuantitatif. Secara
presentase dari jumlah perusahaan, LKS Bipartit paling banyak di daerah Kaltim
(33,19%), dan yang paling sedikit terdapat di daerah Jabar (14,52%).
8
Data yang terhimpun di Kabupaten Tangerang dari 50 sampel perusahaan,
telah terbentuk lembaga Bipartit di 14 perusahaan (28%). Namun demikian hanya 3
perusahaan (21,43%) dari LKS Bipartit dan 6% dari jumlah perusahaan sampel yang
cukup aktif melakukan pertemuan ialah 4 sampai 5 kali selama VA tahun terakhir.
Materi yang dibahas juga cukup relevan dengan fungsinya, ialah deteksi dini masalah,
produktifitas dan efisiensi, kualitas tempat kerja,, dan disiplin kerja.
«
B.
Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit
Secara nasional di Indonesia terdapat dua jenis LKS Tripartit yaitu Tripartit
(Umum) dan Tripartit Sektoral. Kedua lembaga tersebut seharusnya juga dibentuk di
tingkat propinsi, tingkat kabupaten dan tingkat kota.
1. LKS Tripartit (Umum)
Lembaga ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No.258 tahun 1984 yang keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil pemerintah, pekerja,
dan pengusaha. Pada awalnya wakil dari unsur pekerja dan pengusaha adalah masingmasing dari FSPSI dan APINDO. Dengan adanya perkembangan serikat pekerja sejak
tahun 1999, ada pemikiran untuk menyempurnakan keanggotaan yang mewakili unsur
pekerja, namum sampai saat ini belum dapat terlaksana.
Tugas LKS Tripartit adalah sebagai forum komunikasi dan konsultasi untuk
meaimuskan kebijakan dibidang ketenagakerjaan. Hasil perumusan diajukan kepada
pemerintah sebagai suatu masukan/saran untuk menetapkan kebijakan dibidang
ketenagakerjaan.
Di 6 propinsi sampel LKS Tripartit (Umum) tclah tcrbcntuk di 98 kabupaten/
kota. Hasii-hasil kcgiatan konsultasi diajukan kepada kcpala dacrah masing-masing
sebagai masukan/saran dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang ketenagakerjaan.
9
Tabel 5
DATA LKS TRIPARTI! DI ENAM WILAYAH
PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA
PROPINSI
NO.
LK TRIPARTIT
PROPINSI
LK TRI PARTIT
KAB/KOTA
1
Sunuit
1
16
2
Riau
1
7
3
DKI Jakarta
1
5
4
Jabar
1
26
5
Jatim
1
37
6
Kaltim
1
7
6
98
JUMLAH
Sumber: Ditjen Binawas Depnakertrans
Dengan adanya otonomi daerah maka kegiatan LKS Tripartit tidak dapat
dipantau oleh pusat karena masing-masing daerah telah memiliki kewenangan sendiri.
2. LKS Tripartit (Umum) Tingkat Kabupaten/Kota
Menurut data Direktorat BLHI Depnakertrans di tiap Kabupaten/Kota yang
telah ada Kantor Departemen Tenaga kerja (lama) telah terbentuk LKS Tripartit
(Umum), sehingga di seluruh Indonesia telah terbentuk sebanyak 98 LKS Tripartit
(Umum). Untuk melengkapi informasi mengenai LKS Tripartit (Umum) ini telah
dilakukan penelitian di 5 Kabupaten/Kota dengan hasil sebagai berikut:
a). Keanggotaan:
Jumlah keanggotaan di tiap Kabupaten/Kota bervariasi namum tetap mewakili
unsur-unsur pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Di Kabupaten Bekasi yang mewakili
pekerja, pengusaha, dan pemerintah masing-masing sebanyak 7 orang, ditambah 1
orang dari unsur lain-lain, sehingga seluruhnya berjumlah 22 orang. Di Kabupaten
Tangerang, unsur pekerja dan pengusaha masing-masing 4 orang, dan unsur
pemerintah 8 orang, sehingga jumlahnya 16 orang. Di Jakarta Selatan tidak diperoleh
data mengenai keanggotaan ini. Di Jakarta Utara, keanggotaan LKS Tripartit masing10
masing 5 orang dari pekerja dan pengusaha, dan 10 orang dari pemerintah. Sedang di
Kabupaten Bogor belum terbentuk LKS Tripartit karena merupakan pemerintahan
bam dalam otoda.
Tabel 6
KEANGGOTAAN LKS TRIPARTIT (UMUM)
DI KABUPATEN/KOTA JAKARTA UTARA, JAKARTA SELATAN,
BEKASI, BOGOR, DAN TANGERANG
KABUPATEN
WAKIL
WAKIL
WAKIL
/
DARI
DARI
DARI
KOTA
PEKERJA
PENGUSAHA
PEMERINTAH
Jak. Utara
5
5
10
-
20
Jak.Selatan
-
-
-
-
-
Bekasi
7
7
7
1
22
Bogor
-
-
-
-
-
Tangerang
4
4
8
-
16
WAKIL DARI
LAIN-LAIN
JUMLAH
Suniber: Kantor Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Bogor, dan Kabupaten Tangerang
b). Kegiatan:
Dalam tahun 2000, di Kabupaten Bekasi melaksanakan persidangan lebih dari
5 (lima) kali, di Kabupaten Tangerang hanya 2(dua) kali dalam setahun, dan Jakarta
Utara lebih dari 5 kali.
c). Materiyang Dibahas:
Materi yang dibahas dalam persidangan LKS Tripartit, pada umumnya
meliputi kebijakan membina ketenangan bekerja, inventasi dan perluasan kesempatan
kerja, peningkatan produktifitas dan kualitas SDM, upah minimum serta antisipasi
dan menyelesaikan unjuk rasa. Dengan demikian maka LKS Tipartit pada daerahdaerah tsb cukup aktif dan efektif.
11
3. LKS Tripartit Sektoral
a). Latar Belakang :
Lembaga ini dibentuk berdasarkan surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
09 tahun 1994, sebagai suatu forum komunikasi dan konsultasi antara pemerintah,
pekerja dan pengusaha sesuai dengan sektor masing-masing, baik di tingkat nasional,
propinsi maupun kabupaten dan kota.
Berbeda dengan LKS Tripartit (umum) keanggotaan serikat pekerja dalam
lembaga ini lebih beragam, bukan hanya diwakili oleh FSPSI saja, tetapi juga diwakili
oleh serikat pekerja / serikat buruh yang sudah terbentuk di masing-masing sektor
yang bersangkutan. Demikian pula dengan pengusaha, selain APINDO diwakili juga
oleh asosiasi perusahaan lain dari sektor yang bersangkutan atas pengajuan dari
Kadin.
b). Pembentukan LKS Tripartit Sektoral :
Walaupun Keputusan Menteri Tenaga Kerja yang mengatur lembaga ini
berlaku sejak 1994, namun kenyataannya LKS Tripartit Sektoral baru terbentuk pada
tahun 2000 di tingkat pusat pada 7 sektor yaitu
1. perindustrian dan perdagangan,
2. perhubungan,
3. pemukiman dan prasarana wilayah keuangan,
4. pariwisata dan budaya,
5. pertambangan dan sumber daya energi,
6. pertanian,
7. perkebunan.
C.
Perianiian Keria Bersama
12
1. Latar Belakang Pemikiran
Hak dan kewajiban yang timbul dalam setiap hubungan kerja, antara lain
meliputi masalah perlindungan dan syarat-syarat kerja. Secara umum, perlindungan
tenaga kerja telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang harus
dilaksanakan oleh perusahaan. Hak dan kewajiban dalam lingkup syarat-syarat kerja
diatur dan ditetapkan sendiri oleh masing-masing perusahaan.
Undang-undang No.21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan mengatur
bahwa syarat-syarat kerja dituangkan dalam bentuk Perjanjian Perburuhan yang
dirundingkan oleh serikat buruh dengan pengusaha yang berlaku paling lama 2 tahun.
Pada perusahaan yang belum berdiri serikat buruh, pengaturan syarat-syarat kerja
dituangkan dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP), sesuai dengan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Per-02/Men/1993.
2.
Data Statistik dan Analisis
Tabel 7
PERATURAN PERUSAHAAN DAN PKB
DI 6 PROPINSI Tahun 2000
No
Propinsi
Jumlah
Perusahaan
(pekerja
>25 orang)
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
PP +
KKB
Peraturan
Perusahaan
KKB
1.
Sumut
2.490
1.020
40,96
648
26,02
66,98
2.
Riau
1.623
907
55,88
326
20,09
75,97
3.
DKI Jakarta
8.530
2.791
32,72
303
3,55
36,27
4.
Jabar
10.208
5.193
50,87
1.369
13,41
64,28
5.
Jatim
9.486
6.524
68,78
1.511
15,93
84,71
6.
Kaltim
1.118
588
52,59
471
42,13
94,72
33.455
17.023
50,88
4.628
13,83
64,71
Jumlali
Sumber: Ditjen Binawas Depnaker.
13
Secara
rata-rata di 6 propinsi baru 64,71% dari 33.455 perusahaan yang
memiliki pekerja lebih dari 25 orang mengatur syarat-syarat kerja baik dengan PKB
maupun peraturan perusahaan. Sebagian besar (50,88%) diatur dengan peraturan
perusahaan, sedang sebagian kecil (13,83) dengan PKB. Hal ini menunjukkan bahwa
perundingan PKB masih sangat sedikit, yang disebabkan serikat pekerja belum cukup
mampu dan manajemen juga kurang menaruh perhatian.
Sebagai perbandingan disajikan data perkembangan PP dan PKB di wilayah
DKI Jakarta.
Tabel 8
PERKEMBANGAN PP & PKB DKI JAKARTA
TH 1998-JUNI 2001
Jml
Tahun
Perusahaan
Peraturan
Perusahaan
% dari
(Pekerja
>25 orang)
Jml
perusaha
Kenaikan
KKB
KKB
dan
% dari
Jml
an
perusah
Jml PP
KKB
Jml
%
(%)
aan
1998
25.867
8.911
34,45
1.113
4,30
-
-
38,75
1999
25.349
9.589
37,83
1.143
4,51
30
2,70
42,34
2000
25.349
10.208
40,27
1.191
4,70
48
4,20
44,97
2001
25.349
10.678
42,12
1.221
4,82
30
2,52
46,94
Sumber: Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang mengatur syarat kerja
dengan PP maupun KKB masih sangat rendah ialah di bawah 50% dari jumlah
perusahaan yang memiliki lebih dari 25 orang pekerja, walaupun dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Pengaturan syarat kerja dengan PKB sangat rendah ialah
masih di bawah 5%. Hal ini juga menunjukkan bahwa serikat pekerja belum dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik.
Berdasarkan data sampel sejumlah 250 perusahaan dalam 5 wilayah kota
Jakarta Selatan, Jakarta Utara, kabupaten Tangerang, Bekasi dan Bogor, pembentukan
14
PKB/PP terlihat lambat. Di perusahaan sampel tersebut telah terbentuk serikat
pekerja / serikat buruh di 105 perusahaan dan dari jumlah tersebut baru terbentuk
PKB 34 buah (32,38% dari jumlah SP). Sedang perusahaan yang baru membuat
peraturan perusahaan sejumlah 45 buah (18% dari jumlah perusahaan).
Tabel 9
DATA PEMBENTUKAN PKB/PP PADA
LIMA WILAYAH KOTA/KABUPATEN
WILAYAH
NO.
JUMLAH PERUSAHAAN
SAMPLE
JUMLAH
PKB
JUMLAH
PP
1.
Bogor
50
10
12
2.
Bekasi
50
1
-
3.
Tangerang
50
17
33
4.
Jakarta Utara
50
-
-
5.
Jakarta Selatan
50
6
-
JUMLAH
250
34
45
Sumber: Departemen Te naga Kerja setempat
Dari data pembentukan PKB tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa serikat
pekerja / serikat buruh belum sepenuhnya melaksanakan fungsi utamanya ialah
merundingkan PKB. Sejumlah 171 perusahaan (68,4%) belum mengatur syarat-syarat
kerja sehingga pekerja pada perusahaan tersebut belum memperoleh kepastian syarat
kerjanya.
Sebagian besar perusahaan belum menyadari pelaksanaan peraturan
perundangan khususnya pembuatan peraturan perusahaan dan penegakan hukum juga
lemah.
3. Proses Perundingan Pembuatan PKB
Dari 34 PKB di perusahaan sampel wilayah Jabotabek, secara keseluruhan
terbentuk dengan melalui perundingan secara Bipartit dan tercapai kata sepakat tanpa
bantuan perantara. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa antara pihak perusahaan
15
dengan serikat pekerja/serikat buruh telah terjalin komunikasi timbal balik dengan
cukup baik. Secara rinci tergambar sebagai berikut:
Tabel 10
PROSES PERUNDINGAN PKB
DI 5 KABUPATEN / KOTA
NO.
KABUPATEN/
KOTA
PROSES PERUNDINGAN/
TINGKAT PENYELESAIAN
BIPARTIT
DIBANTU
PERANTARA
1.
Bogor
10
-
2.
Bekasi
1
-
3.
Tangerang
17
-
4.
Jakarta Utara
Tdk Termonitor
-
5.
Jakarta Selatan
6
-
34
-
JUMLAH
BILA DIBANTU
MASALAH YG
DIPERANTARAI
-
Sumber: Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor, Bekasi, Tangerang, Kota Jakarta Utara, dan Kola
Jakarta Selatan
Demikian pula 24 sampel dari 4 propinsi juga menunjukkan bal yang sama.
Tabel 11
PROSES PERUNDINGAN PENYELESAIN PKB
DI 4 PROPINSI
NO.
PROPINSI
JUMLAH PKB
BIPARTIT
BANTUAN
PERANTARA
1.
DKI Jakarta
16
16
-
2.
Jawa Barat
3
3
-
3.
Jawa Timur
3
3
-
4.
Kalimantan Timur
2
2
-
24
24
-
JUMLAH
Sumber: Ditjen Binawas, Depnakertrans
Dari propinsi Riau dan Sumut tidak diperoleh data.
16
4. Kualitas dan Isi PKB
Dari sejumlah 34 PKB pada 5 (lima) Kota / Kabupaten di wilayah Jabotabek
bila diteliti secara mendalam kualitasnya sudah cukup memadai karena hampir
seluruhnya telah memuat barbagai syarat-syarat kerja yang tidak normatif, antara lain
skala upah, peninjauan upah, upah sundulan, bonus, jaminan hari tua dan berbagai
fasilitas kerja serta program pelatihan. Masih terdapat sebagian kecil yang memuat
ketentuan peraturan perundangan-undangan, hal tersebut dimaksudkan sebagai
penegasan, antara lain: waktu kerja, upah lembur, masa percobaan, THR, Jamsostek,
dan lain-lain.
IV. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
A. Peraturan Perundang-Undangan dan Sistem Penyelesaian Perselisihan
Walaupun hubungan industrial di tingkat perusahaan sudah secara maksimum
diusahakan sebaik-baiknya, tetapi harus dianggap wajar apabila masih terjadi
perselisihan atau adanya ketidaksepahaman terhadap sesuatu. Untuk itu maka telah
dibuat aturan penyelesaian, agar perselisihan tidak berkembang.
UU no.
22 th.
1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan
Perburuhan
memberikan gads tentang bagaimana menyelesaikan perselisihan yang timbul. Pada
intinya, apabila timbul perselisihan harus diselesaikan oleh pihak yang berselisih,
ialah serikat buruh dan majikan (pengusaha ybs) atau penyelesaian secara bipartit.
Apabila dengan cara demikian tidak berhasil, maka penyelesaiannya dibantu oleh
pagawai perantara atau melalui proses mediasi. Pegawai perantara hanya benvenang
sebatas memberikan saran jalan penyelesaian, keputusan tetap berada pada pihakpihak yang berselisih.
17
Apabila satu atau kedua belah pihak yang berselisih tidak menerima keputusan
tersebut, maka pegawai perantara meneruskan perselisihan ini ke Panitia Penyelesaian
Perselisihan dan Perburuhan Dacrah (P-4D). Apabila keputusan P-4D tidak diterima
maka mereka atau salah satu pihak dapat mengajukan
banding
ke Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P-4P) untuk diambil keputusan. Menurut
undang-undang ini keputusan P-4P adalah final kecuali memperoleh veto dari Menteri
Perburuhan untuk dibatalkan atau ditunda dengan diberikan alasan yang kuat. Apabila
tidak diveto, maka keputusan harus dilaksankan, apabila perlu dengan eksekusi
pengadilan negeri.
Dengan berlakunya UU No.05 th 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, maka keputusan P-4P tidak lagi final karena dianggap sebagai keputusan tata
usaha negara, sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berselisih dapat
megajukan gugatan ke Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Keputusan
PTTUN juga masih terbuka untuk diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Di samping itu, untuk menyelesaikan kasus khusus tentang pemutusan
hubungan kerja dilakukan dengan menggunakan UU no. 12 th
1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
B. Data Statistik dan Analisis
Penyelesaian kasus banding perselisihan hubungan industrial (PHI), kasus
banding pemutusan hubungan kerja (PHK) perorangan, dan kasus pemutusan
hubungan kerja (PHK) masal yang dilakukan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P-4P) dapat digambarkan sebagai berikut:
18
Tabel 12
PENYELESAIAN KASUS DARI 6 PROPINSI
O LEH P-4P TH 2000 - JUNI 2001
JENIS
KASUS
PROPINSI
JML
KASUS
DIGUGAT KE
JUMLAH
YANG
OLEH
SUDAH
VETO
PEDIPUTUS MENTERI JML
KERJA
PTTUN
OLEH
PENGUSAHA
PHK yg
1. Sumut
3
3
-
-
-
banding
2. Riau
8
3
-
-
-
dari
3. DKI Jkt
20
19
2
1
1
P-4D
4. Jabar
25
23
5
3
2
5. Jatim
27
25
4
1
3
6. Kaltim
2
2
-
-
-
85
75
11
5
6
1. Sumut
250
247
9
1
8
2. Riau
147
147
9
3
6
3. DKI Jkt
503
488
121
30
91
4. Jabar
345
340
48
13
35
5. Jatim
181
179
27
6
21
6. Kaltim
42
42
3
1
2
1468
1443
217
54
163
1. Sumut
59
56
-
-
-
2. Riau
41
32
-
-
-
191
160
22
8
14
4. Jabar
193
177
8
2
6
5. Jatim
111
105
6
2
4
6. Kaltim
95
95
-
-
-
Jumlah
690
625
36
12
24
JUMLAH KESELURUHAN
2243
2143
264
71
193
I
Jumlah
II 3HK
5
erorangan
banding
c lari P-4D
Jumlah
III PHK
Massai
(oleh P-4P) 3. DKI Jkt
Sumber: P-4P
Data tersebut menunjukkan bahwa selama 1 Zi tahun dari Januari 2000 s/d
Juni 2001 terjadi 2243 kasus yang masuk ke P-4P, terdiri dari 85 kasus (3,79%)
banding tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHI) dari P-4D 6
propinsi (Sumut, Riau, DKÍ Jakarta, Jabar, Jatim, dan Kaltim), dan 1468 kasus
19
(65,45%) banding tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) perorangan dari 6
propinsi tersebut. Sebanyak 690 kasus (30,76%) adalah kasus PHK massai (meliputi
10 orang atau lebih). Dengan demikian maka sebagian besar atau 2.158 kasus
(96,21%) kasus yang masuk ke P-4P adalah tentang PHK sehingga P-4P praktis
bertugas menyelesaikan kasus PHK.
Dari 2243 kasus, sampai akhir Juni 2001 telah diputus 2143 (95,54%), dan
sisanya 100 kasus (4,46%) masih dalam proses, dan tidak ada satupun yang diveto
oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Hal ini menunjukkan bahwa menteri
sepenuhnya
menyerahkan keputusan
pemerintah
tidak
ikut
kepada
campur tangan
P-4P,
dalam
yang berarti
keputusan
P-4P,
pula
atau
bahwa
menteri
menganggap bahwa keputusan P-4P sudah dianggap wajar. Namun demikian, 264
(12,32%) keputusan P-4P digugat ke Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Dengan kata lain masih ada sebagian kecil yang tidak puas atas keputusan P-4P.
Dari jumlah yang digugat ke PTTUN, 71 kasus (26,89%) diajukan oleh
pekerja, sisanya
193 kasus (73,11%) diajukan oleh pihak pengusaha. Dengan
demikian maka yang paling tidak puas terhadap keputusan P-4P adalah pihak
V
pengusaha.
C. Perselisihan Hubungan Industrial
Data perselisihan di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang adalah sbb:
Tabel 13
PERSELISIHAN INDUSTRIAL DI KABUPATEN BEKASI DAN
KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2000 - JUNI 2001
PEMERANTARAAN
DAERAH
DIAJUKAN KE P-4D
OLEH
%
PEKERJA
PENGUSAHA
JUMLAH
SELESAI
%
JUMLAH
Bekasi
156
115
73,72
41
26,28
Tangerang
20
16
80
4
20
JUMLAH
176
131
74,43
15
26
Tidak tercatat
45
25,57
15
26
Sumber: Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang
20
Dari 2.935 perusahaan tingkat menengah dan besar di kabupaten Bekasi dan
kabupaten Tangerang, selama tahun 2000 - Juni 2001 terjadi 176 kaus perselisihan
atau 5,99%. Secara keseluruhan dari jumlah kasus tersebut, 131 (74,43%) dapat
diselesaikan oleh pegawai perantara. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan
bahwa pegawai perantara cukup efektif dalam menyelesaikan kasus perselisihan yang
terjadi.
Sisa 41 kasus dari Kabupaten Bekasi (26,28%) tidak selesai di tingkat
perantara dan diteruskan ke P-4D untuk mendapatkan keputusan. Dari 41 kasus yang
tidak selesai tersebut 15 kasus (36,56%) tidak diterima oleh pekerja, sisanya 26 kasus
(63,44%) tidak diterima oleh pengusaha. Dengan data tersebut menunjukkan bahwa
saran yang diberikan oleh pegawai perantara,
pengusaha lebih banyak menolak
dibandingkan dengan pekerja (15 dibanding dengan 26).
D. Pemogokan
Data pemogokan di 3 Kabupaten Bekasi, Tangerang dan Bogor adalah sbb:
Tabel 14
PEMOGOKAN DI KABUPATEN BEKASI, KABUPATEN TANGERANG,
DAN BOGOR TAHUN 2000 - JUNI 2001
DAERAH
JUMLAH
KASUS
DISELESAIKAN OLEH
KE P-4D
PERANTARA
JUMLAH
%
JUMLAH
%
Bekasi
22
22
100
-
-
Tangerang
74
74
100
-
-
Bogor
62
59
95
3
5
JUMLAH
158
155
98,10
3
1,90
Sumber: Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, dan Bogor
Selama th 2000 - Juni 2001 di tiga daerah Bekasi, Tangerang, dan Bogor
terjadi 158 kali pemogokan dimana 155 kasus (98,10%) dapat diselesaikan melalui
21
perundingan yang dibantu oleh pegawai perantara. Hal ini menunjukkan bahwa
pegawai perantara sangat efektif membantu menyelesaikan pemogokan.
Data dari 3 kabupaten tersebut menunjukkan bahwa penyebab dominan
terjadinya kasus pemogokan adalah hak-hak normatif pekerja, seperti: UMR,
pembentukan SP, pembuatan PKB, upah lembur, Jamsostek, dan cuti, dan hal-hal
non-normatif seperti: kenaikan upah, tunjangan makan, dan tunjangan transport.
Dapat diambil
kesimpulan bahwa para pengusaha masih
belum
sepenuhnya
melaksanakan peraturan perundang-undangan.
E. Pemutusan Hubungan Keria
Data yang diperoleh dari Kabupaten Bekasi dan Tangerang tcntang pemutusan
hubungan kerja adalah sebagai berikut:
label 15
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
DI KABUPATEN BEKASI DAN TANGERANG
JANUARI-JULI 2001
PEMERANDAERAH
JUMLAH
KASUS
P-4D
TARAAN
P-4P
Dalam
SELESAI
%
SELESAI
%
SELESAI
%
proses
Bekasi
536
285
53,17
119
22,20
9
1,68
123
Tangerang
406
255
62,81
60
14,78
6
1,48
85
Jumlah
942
540
57,32
179
19,00
15
1,59
208
Sumber : Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang
Selama Januari - Juli 2001 terjadi 942 kasus pemutusan hubungan kerja di
kabupaten Bekasi dan Tangerang, dimana 540 kasus (57,32%) dapat diselesaikan oleh
pegawai perantara. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pegawai perantara masih
cukup
besar,
walaupun
tidak
seefektif penyelesaian
kasus
perselisihan
dan
pemogokan. Sedangkan P-4D memiliki peranan cukup, karena dapat menyelesaiakn
179 kasus (19,00%). Sisanya 15 kasus (1,59%) diselesaikan oleh P-4P dan 208 kasus
masih dalam proses penyelesaian.
22
y.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sistem hubungan industrial di Indonesia senantiasa berubah, sebagaimana di
negara lain tergantung antara lain dari sistem politik yang merupakan subsistem
penyelenggaraan
ketatanegaraan.
Hal
ini juga
membawa
pengaruh
terhadap
keserikatpekerjaan. Pada era reformasi di mana kebebasan berserikat memperoleh
kesempatan yang seluas-luasnya, terutama setelah diratifikasinya konvensi ILO no.87
th. 1948, maka serikat pekerja tumbuh dengan sangat pesât, terutama di tingkat
nasional. Pertumbuhan serikat pekerja semakin didorong dengan terbitnya Undangundang no. 21 th. 2000. Dari tahun 1998 - Agustus 2001 federasi serikat pekerja
nasional atau yang menyatakan diri sebagai federasi berkembang dari 1 menjadi 58
atau 5.800%.Namun demikian pertumbuhan serikat pekerja di tingkat perusahaan
sangat jauh tertinggal dibanding dengan pertumbuhan serikat pekerja di tingkat
nasional atau federasi. Serikat pekerja tingkat perusahaan justru menurun dari
±12.000 menjadi ±11.000 (-8,33%) pada période yang sama.
Lembaga kerja sama Bipartit yang dibentuk ditingkat perusahaan seharusnya
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan komunikasi antara pekerja dan pengusaha
dalam rangka membina hubungan yang serasi serta untuk mengantisipasi dan
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul temyata belum dapat berfungsi dengan
baik. Lembaga ini telah terbentuk sebanyak 4.039 (19,68%) dari sejumlah 20.522
perusahaan di 6 propinsi (Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Kalimantan Timur). Tidak diperoleh informasi tentang efektivitas
lembaga tersebut.
Diperoleh informasi bahwa LKS Tripartit tingkat propinsi yang besar
umumnya telah berfungsi. Demikian pula LKS Tripartit kabupaten besar, seperti
Bekasi dan Jakarta Utara dengan masing-masing melakukan sidang 5 kali, dan
kabupaten Tangerang 2 kali dalam tahun 2000.
23
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) jauh di bawah jumlah serikat pekerja. Pada
tahun terakhir di wilayah Jabotabek dari 250 perusahaan sampel, telah berdiri serikat
pekeija / serikat buruh di 105 perusahaan, tetapi jumlah PKB hanya 34 (32,38%) dari
jumlah serikat pekerja / serikat buruh. Hal ini disebabkan serikat pekerja / serikat
buruh belum memiliki kemampuan yang cukup untuk berunding membuat PKB.
Kualitas PKB yang ada temyata cukup baik, terbukti dari data yang diolah dikawasan
Jabotabek isi pasal-pasal yang ada cukup luas memuat syarat kerja, seperti: skala
upah, peninjauan upah, upah sundulan, bonus, jaminan hari tua, dan lain-lain, dan
hanya sebagian kecil yang memuat peraturan perundang-undangan. Perundingan PKB
dapat diselesaikan secara bipartit,
dan tidak menimbulkan perselisihan yang
memerlukan bantuan pegawai perantara.
Sebagian besar perselisihan yang dibantu penyelesaiannya oleh pegawai
perantara dapat diselesaikan. Dari 176 kasus perselisihan di Tangerang dan Bekasi
%
dapat diselesaikan oleh pegawai perantara sejumlah 131 kasus atau 74,43%.
Mengenai pemogokan dari 158 kasus di Bekasi, Tangerang, dan Bogor pegawai
perantara
dapat
menyelesaikan
155
kasus
atau
98,10%.
Sedangkan
dalam
menyelesaikan kasus pemutusan hubungan kerja relatif peranan pegawai perantara
lebih kecil, di Bekasi dan Tangerang dengan 942 kasus hanya dapat diselesaikan oleh
pegawai perantara sebanyak 540 kasus atau 57,32%.
Kasus yang masuk ke Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P-4P) temyata
sebagian besar mengenai penyelesaian PHK. Dari 2243 kasus yang masuk tahun 2000
- Juni 2001, diantaranya 690 (30,76%)) adalah kasus PHK massai. Sedangkan kasus
banding dari P-4D mengenai pemutusan hubungan kerja perorangan adalah 1468
kasus (65,45%)). Sehingga seluruh kasus PHK yang masuk ke P-4P berjumlah 2158
kasus (96,21%)). Sisanya 85 kasus (3,79%) adalah banding perselisihan industrial dari
P-4D.
Dengan berlakunya Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
maka keputusan P-4P dapat digugat ke PTTUN. Dari 2143 kasus yang diputus oleh
P-4P, 264 kasus (12,32%) digugat ke PTTUN. Sebagaian besar dari gugatan yang
24
meliputi 193 kasus (73,12%) dilakukan oleh pengusaha yang merasa dirugikan oleh
keputusan P-4P, dan sisanya yang 71 kasus (26,88%) dilakukan oleh pekerja.
Sementara ini tidak ada keputusan P-4P yang diveto oleh menteri.
Pemogokan dan perselisihan hubungan industrial masih sering terjadi, di
Bekasi, Tangerang dan Bogor, dengan penyebab dominan adalah UMR, pembentukan
SP, pembuatan PKB, upah lembur, Jamsostek, dan cuti, dan hal-hal non-normatif
seperti: kenaikan upah, tunjangan makan, dan tunjangan transport. Dapat diambil
kesimpulan bahwa para pengusaha masih belum sepenuhnya melaksanakan peraturan
perundang-undangan, dan pekerja menuntut perbaikan kesejahteraan.
B.
Saran
1.
Melakukan pembenahan sistem pencatatan, pengolahan dan análisis data di
setiap tingkat kantor yang menangani ketenagakerjaan.
2. Melakukan program pendidikan bagi pembekalan mereka yang terkait dengan
masalah perburuhan, khususnya para pimpinan serikat pekerja tentang
berbagai
subjek
keserikatburuhan,
terutama
tentang
PKB.
Pendidikan
semacam ini juga diperlukan bagi kalangan pimpinan perusahaan dan aparat
pemerintah yang menangani masalah ini.
3. Menerbitkan buku pegangan dan petunjuk tentang Lembaga Kerja Sama
Bipartit untuk dimanfaatkan oleh pekerja dan pengusaha.
4. Meningkatkan penegakan hukum untuk mencegah terjadinya pelanggaran
peraturan perundang-undangan.
5. Mendorong pembentukan lembaga tripartit sektoral di tingkat Propinsi dan
Kabupaten/Kota
dengan
melakukan
sosialisasi
untuk
mengantisipasi
permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi oleh sektor-sektor tertentu.
oOo-
-
25
AN ANALYSIS OF THE PRACTICAL UTILIZATION OF
INDUSTRIAL RELATIONS MECHANISM
I.
INTRODUCTION
1. Background Information on Industrial Relations
The history of industrial relations in Indonesia is illustrated by many
changes from time to time. The influences of political and economical
environment are so closely inter-related. Since the early of independence
period of this country up to the early of 1970's, industrial relations system in
Indonesia was coloured by liberal approach. During this period, workers
enjoyed their freedom of association in wide term; moreover most labour
unions belonged to the existing political parties.
During the new order period, in order to maintain political stability,
all community system, including industrial relations system was under
control of the government. Since then industrial relations was based on the
state philosophy, Pancasila (Five Principles) in which implementation of
industrial
industrial
relations
relations)
is
inspired
by
transformed
non-conflict principles
into
brotherhood
(cooperative
norms,
mutual
cooperation, and deliberation to reach a consensus. This system was also
based on social philosophy that work is form of dedication to the God
Almighty, and workers are not merely production factors but human being
with their sovereignty and dignity. The existing trade union movement was
»
to be unionized into federation that was the only union acknowledged by the
government.
1
Unfortunately these good principles were manipulated to depress
workers so as meet interests of employers and the executive executors by
ignoring their basic rights such as right to negotiate and to strike.
Since 1998, in line with reformation movement, basic changes of
Indonesian political approach are transpired. This movement situates spirits
of democracy and respect to basic right of human being into priority. In line
with this condition, the government emphasizes right to organize of the
people, including workers/labour. This is proved by ratification of ILO
Convention
No.
87/1948
concerning
Freedom
Of
Association
And
Protection Of The Right To Organize and issuance of Act No. 21 of 2000 on
Workers' Union/Trade Union. The Act secures freedom of association in
wide term for workers/labour, as transformation of Article 8, paragraph (1)
and (2) of he ILO Convention No. 87/1948.
In line with the mentioned changes of policy, workers' union/trade
union is growing fast, particularly at national level. The growth of workers'
union/trade union is not accompanied yet by development of workers'
union/trade union at company level.
Basically, industrial relations system implemented in Indonesia is
based
on
tripartite
mechanism
principle.
Tripartite
cooperative
and
consultative mechanism is the main principle of various manpower policies,
including policies on industrial relations.
In this respect, Cooperative
Tripartite Body (LKS Tripartit) at national and regional levels (provinces and
districts) has been established long time ago and in general speaking, has
carried out its function as consultative body.
Tripartite mechanism principle is also implemented in other aspects
or by existing manpower institutions such as by Central/Regional Committee
for Industrial Dispute Settlement (P4P/P4D), National Council for Wages
2
Research (DPPN), National Council for Job Training (DLKN) and Regional
Council for Manpower Matters (DKD)
in which the membership is
represented by tripartite constituents.
Tripartite mechanism principle in all institutions is changing in line
with the fast growing of workers' union/trade union recently, particularly in
respect with membership representing their interests.
2. Scope
The analyzed data in this study are based on secondary source that
collected from 6 provinces namely Riau, North Sumatra, Jakarta, West
Java, East Java, and East Kalimantan. The analysis is focused on certain
fields covering development of workers' union/trade"union; Bipartite and
Tripartite Cooperative Body; industrial dispute settlement; strikes; and
Collective Labour Agreement.
3. Limitation and Hindrance
Due to various constraints, this survey analysis the secondary data
compiled
in
the
Head
Quarter
of the
Ministry
of
Manpower
Transmigration and in the Central Committee for Industrial
and
Disputes
Settlement (P4P). However, for the purpose of cross check, this survey
analysis sampling data collected from the Manpower District Offices of
Tangerang, Bogor, Bekasi, Manpower Municipality Offices of South Jakarta,
and North Jakarta. The sample is 250 companies consisting of 50
companies of each district or totally 3% of the population of 7,870
companies. This survey also analysis data collected from Manpower District
Office of DKI Jakarta.
3
The District hindrance in collecting data is expanded Manpower
District Office into Manpower Office at District and at Municipality levels,
particularly in Tangerang, Bekasi, and Bogor. Furthermore, in line with
implementation of regional autonomy, report by each region does not run as
expected.
In general, each office does not carry out well data compilation and
analysis, so as analysis carried out in this project seems to find difficulties.
Analysis on the collected data in this project is presented in basic
data tabulation carried out by a team prior to intensive discussion on the
related matters.
II.
TRADE UNION DEVELOPMENT
A. Legal Basis and Practices of Trade Unions
For more than 30 years, Indonesia had been experienced with
single trade union at both national and plant levels. After ratification of ILO
Convention No. 87 of 1948 on Freedom of Association and Protection of
Right to
Organize
under Presidential
Decree
No.
83
of 1998,
the
government secures freedom of association in wide term to workers.
Implication of the ratification can be seen from the fast growing of
trade union, particularly at national level. Recently, it is recorded that a
number of 58 federations of trade union and exist at national level.
Meanwhile, there is a number of 15,725 plant level trade unions with about
10 millions members. However, since the number of plant level trade unions
is not completely recorded yet at the government institutions concerned,
4
they are not fully able to carry out their functions, including function to
establish Collective Labour Agreement.
Issuance of Act No. 21 of 2000 on Workers' Union/Trade Union
strengthens the workers' right to organize. There is no more constraint to
establish trade union as before. However, problem that might arise is high
competitive atmosphere among trade unions themselves at plant or higher
level.
B. Basic Statistics on Workers' / Trade Unions
In line with legal reform of trade unionism, trade union at national
level is growing noticeably. The table below shows figure of trade union
growth.
Table 1
Trade Union at National Level
1997-June 2001
Federation
Plant Level TU
Year
Total
%
Total
%
1997
1
—
12,839
--
1998
11
1,000
2,836
-77.91
1999
21
90.91
6,309
122,46
2000
32
52.38
11,647
84,61
2001
58
81.25
15,725
Source: Directorate General of Binawas-Depnakertrans (2001)
35.01
The figure shows that development of national federation of trade
union began in 1998, the year of ratification of ILO Convention No. 87 of
1948. This illustrates that workers fully utilized their right to organize as after
ratification of the convention. Within 4 years period of 1997 - June 2001
trade union has been developed significantly from only 1 trade union (only
FSPSI at the time) to a number of 58 trade unions or increased by 5,800 %.
5
On the other side, number of workers' union/trade union at plant
level in 1998 decreased drastically caused by issuance of manpower
Ministerial Regulation No. 05 of 1998 on Registration of Workers' Union that
resulted only number of 2,836 trade unions at plant level registered in this
year as well as a number of 6,360 trade unions at plant level registered in
the year of 1999, these numbers are not realistic. In 2000, number of
workers' union/trade union registered increased remarkably to 11,647 and in
2001 the number increased to 15,725, these are realistic numbers.
The figure shows that number of workers' union/trade union at plant
level within 4 years increased from 12,839 in 1997 (only members of FSPSI
at the time) to 15,725 in 2001 or by 22,48%.
Table 2
Development of Trade Union in Jakarta
1998 - June 2001
1998
Total
501
777
2001(June)
2000
1999
Growth
Total
(%)
55.08
973
Growth
Total
(%)
20.59
1,409
Growth
Remarks
(%)
50.37
In 1998
was SPSI
Source : Dinas Tenaga Kerja Jakarta (2001)
Number of workers' union/trade union in Jakarta within the last 3
years increased significantly from 501 in 1998 to 1,409 in 2001 or 181.24%.
The data of workers' union/trade union in District of Tangerang the table
below is presented for comparative purpose.
Table 3
Development of Trade Union in the District of Tangerang
1998-June 2001
1999
1998
Total
2000
Growth
Total
(%)
240
384
60
JUNI 2001
Growth
Total
(%)
484
26.04
Growth
(%)
602
24.38
Source : Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang (2001)
6
The above data shows that number of workers' union/trade union in
Tangerang also increased noticeably from 240 in 1998 to 602 in 2001 or by
150,83 %.
III.
COLLECTIVE BARGAINING AND TRIPARTISM
A. BIPARTITE COOPERATIVE BODY
1.
Duties and Functions
Duties and functions of Bipartite Cooperative Body is to carry out
consultation and communication; discussion on related matters; and to
anticipate complaints of workers as well as interests of the companies. High
number of strikes and industrial disputes shows that ^his body does not yet
function as a forum of communication and consultation. This condition
caused workers or trade union tends to demand their right rather than to
discuss their interests with employers.
2.
Statistics and Analysis
Table 4
Bipartite Cooperative Body
In Six Selected Provinces
No.
1
2
3
4
5
6
Provinces
North Sumatra
Ri a u
Jakarta
West Java
East Java
East Kalimantan
Total
Source : Depnakertrans (2001)
Number of
Companies
Bipartite
Cooperative
Body
1,414
940
4,604
6,894
5,980
720
20,522
370
268
913
1,001
1,248
239
4,039
%
26.17
28.51
19.83
14.52
20.87
33.19
19.68
7
Number of Bipartite Cooperative Body established in companies
recently is relatively small, including those are in six provinces as the target
group of this survey. Compared to number of companies in those provinces,
number of Bipartite Cooperative Body established is less than 20%.
Meanwhile, the existing Bipartite Cooperative Body do not yet
function
as
expected.
This
condition
shows that both workers
and
employers do not fully realize and understand the important role of Bipartite
Cooperative Body in extending and developing communication between
employers and workers.
The above data shows that a number of 4,039 Bipartite Cooperative
Bodies (or 19.68%) of a number of 20,522 companies at 6 provinces has
been
established.
However,
do
they
function
effectively
is
still
a
questionable. There is no record available on their activities in each
province. The data compiled in the head quarter of Department of
Manpower and Transmigration
is
merely quantitative
in
sense.
The
percentage shows that the biggest number of Bipartite Cooperative Body
exists in East Kalimantan (33.19%) and the smallest number exists in West
Java (14.52%)
Data
available
in
district of Tangerang
shows
that Bipartite
Cooperative Body established in 14 companies (28%) among 50 sampling
companies. However, only 3 or 21.4% of the existing number of Bipartite
Cooperative Body and 6% of number of the sampling companies those
actively conduct 4 to 5 meetings during the last one and half years.
Meanwhile issues of discussion are considerable relevant to their functions,
those are relating with early detection of problems,
productivity and
efficiency, working place quality/condition, and working discipline.
8
B. Tripartite Cooperative Body
In Indonesia Tripartite Cooperative Body is classified into two
different types those are Tripartite Cooperative Body (in General term) and
Sectoral Tripartite Cooperative Body. By ideal concept, this body should
also be established at the levels of province, district and municipality.
1. Tripartite Cooperative Body (in General term)
This
body
of
which
the
membership
consists
of
tripartite
constituents, the government, workers, and employers is established on the
base of Manpower Ministerial Decision No. 258 of 1984. At the beginning,
representative of workers derived from FSPSI and representative of
employers derived from APINDO. In line with development of trade union
since 1999, development of membership representing workers side comes
into re-consideration, however, this idea is not materialized yet.
Tripartite Cooperative Body is a forum of communication and
consultation on employment issues that provides inputs to the government
for further policy formulation on manpower.
A number of 98 Tripartite Cooperative Bodies (in General term) has
been
established
in
6
sampling
provinces.
Inputs
resulted
through
consultation in each province were submitted to the head of region
concerned for further manpower policy formulation.
9
Table 5
Tripartite Cooperative Body
In Six Selected Provinces and Districts/Cities
Province
No.
1
2
3
4
5
6
Tripartite
Cooperative Body
(Province)
Tripartite
Cooperative Body
(District/Municipality)
1
1
1
1
1
1
16
7
5
26
37
7
6
98
North Sumatra
R i a u
Jakarta
West Java
East Java
East Kalimantan
Total
Source: Directorate General of Binawas-Depnakertrans (2001)
The existence of regional autonomy in which each region has its
own
authority
makes
inability
monitoring
on
activities
of
Tripartite
at
District/
Cooperative Body by the central government.
2.
Tripartite
Cooperative
Body
(in
General
term)
Municipality level
Based on available data at Directorate of Industrial Relations,
Department of Manpower and
Transmigration,
where
Office
of the
Department of Manpower exists in each District/Municipality (at previous
time), a number of 98 Tripartite Cooperative Body (in General term) has
been
established
Tripartite
throughout
Cooperative
Body
Indonesia.
(in
Following
General
term)
is
information
in
5
on
selected
Districts/Municipalities produced by a research of this survey.
a)
Membership
Number of member is varied from one District/Municipality to
another, but the composition remains representing tripartite constituents, the
government, workers, and employers. Number of member of this body in the
District of Bekasi is 22 people consist of each 7 representatives from the
10
government, workers, and employers and 1
representative from other
constituent. In the district of Tangerang, a number of 16 members consist of
8 representatives from the government and, 4 representatives from each
constituent of workers and employers. Meanwhile the membership of this
body in North Jakarta consists of 5 members from each constituent of
workers and employers, and 10 members from the government. Tripartite
Cooperative Body in the districts of Bogor and Tangerang is not established
yet as these two districts are in new regional autonomy.
Table 6
Membership of Tripartite Cooperative Body (General)
In the Municipility/District of
North Jakarta, South Jakarta, Bogor, Tangerang and Bekasi
Municipility/
District
Representative
Of
Workers
Representative
Of
Employers
Representative
Of
Government
5
5
10
Representative
V
Of
Others
Total
North
Jakarta
South
Jakarta
Bekasi
-
-
-
-
-
7
7
7
1
22
Bogor
-
-
-
-
-
20
Tangerang
4
4
8
Source: Manpower Offices of North Jakarta, South Jakarta, Bekasi, Bogor, and Tangerang (2001)
b)
16
Activities
Within the year of 2000, it is noted that this body in the district of
Bekasi and in North Jakarta conducted more than 5 meetings; meanwhile
the District of Tangerang only held 2 meetings.
c)
Issues of Discussion
Issues of discussion in the Tripartite Cooperative Body meetings in
general include policies on industrial peace, investment, and extension of
employment opportunity,
improvement of productivity and
of human
resources quality, minimum wage and anticipation as well as settlement of
strikes.
It can be concluded that Tripartite Cooperative Body in the
11
mentioned regions is active and effective in carrying out its function and
activity.
3. Sectoral Tripartite Cooperative Body
a)
Background
This body is established on the base of Manpower Ministerial
Decision No. 09 of 1994 as forum of communication and consultation
among government, workers and employers of each sector, at the levels of
national, province, and district and municipality.
This body is different from Tripartite Cooperative Body (in General
term); membership of this body is more various, not represented by only
FSPSI, but also by trade union/workers' union of each sector concerned.
The same goes for membership of employer's constituent, other
than represented by APINDO, this body is also represented by companies'
association of the concerned sector on prior application of KADIN (Chamber
of Commerce and Industry).
b)
Establishment of Sectoral Tripartite Cooperative Body.
Although
the
Manpower
Ministerial
Decision
regulating
the
existence of this body has come into force since 1994, however, Sectoral
Tripartite Cooperative Body has just been established in 7 sectors at central
level in 2000, namely:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
sector of industry and trade;
sector of communication;
sector of regional development and financial facilities;
sector of tourism and culture;
sector of mining and energy resources;
sector of agriculture;
sector of plantation.
12
C. Collective Labour Agreements
1. Basic Idea
Right and obligation/duty arisen by existence of industrial
relations among others are concerning with protection of workers and
working conditions. In general, protection of workers is regulated under
various pertaining legislations to be complied by companies. Right and
obligation / duty concerning working conditions is regulated by the
company concerned.
Act No. 21 of 1954 on Labour Agreement regulates that
working conditions shall be stipulated under Labour Agreement prior to
negotiation
between
trade
union
and
the »company
concerned
(Collective Labour Agreement) that comes into force for 2 years. In the
company where trade union is not established yet, working conditions
shall be stipulated under Company Regulation as regulated under
Manpower Ministerial Regulation No. Per-02/Men/1993.
2. Statistics and Analysis
Table 7
Company Regulation (CR) and Collective Labour Agreement (CLA)
In 6 Selected Provinces 2000
Company
Collective Labour
Number of
%
No.
Regulation
Agreement
Provinces
Companies
CR +
( >25 workers)
CLA
Total
%
Total
%
1
North Sumatra
2,490
1,020
40.96
648
26.02
66.98
2
Riau
1,623
907
55.88
326
20.09
75.97
3
Jakarta
8,530
2,791
32.72
303
3.55
36.27
4
West Java
10,208
5,193
50.87
1,369
13.41
64.28
5
East Java
9,486
6,524
68.78
1,511
15.93
84.71
6
East Kalimantan
1,118
588
52.59
471
42.13
94.72
Total
33,455
17,023
50.88
Source: Directorate General of Binawas-Depnakertrans
4,628
13.83
64.71
13
In average of 6 provinces, only 64.71% of 33,455 companies
employing more than 25 workers those have stipulated their working
conditions
under
Regulation.
Collective
Labour
Agreement
or
under
Company
Most of working conditions (50.88%) is regulated
under
Company Regulation, and few of them (13.83%) are regulated under
Collective Labour Agreement.
This
figures
that
negotiation
to
establish
Collective
Labour
Agreement is still small by number caused of insufficient capability of
workers and less concern of employers in this respect.
Statistics below show development of Company Regulation and
Collective Labour Agreement in Jakarta for comparative purpose.
Table 8
Development of Company Regulation (CR)
& Collective Labour Agreement (CLA)
in Jakarta 1998 - June 2001
Year
Number of
Companies
(>25
workers)
Company
Regulation
%
Number of
Total
Companies
Codec;tive Labour
Acireement
%
Number of
Total
Companies
Development
of CLA
Total
%
Number
of
CR& CLA
(%)
1998
25,867
8,911
34.45
1,113
4.30
-
-
38.75
1999
25,349
9,589
37.83
1,143
4.51
30
2.70
42.34
2000
25,349
10,208
40.27
1,191
4.70
48
4.20
44.97
25,349
2001
42.12
1,221
10,678
Source: Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta (2001)
4.82
30
2.52
46.94
The above statistics show that although number of companies
regulating their working conditions under Company Regulation and
Collective Labour Agreement is increasing almost every year, however, it
is still very small, less than 50% of number of companies employing more
than 25 workers. Meanwhile, regulation of working conditions under
Collective Labour Agreement is also very small, less than 5%. This gives a
figure that trade union is not able yet to fully carry out its function.
14
Based
on
sampling
data
of
5
companies
in
5
selected
municipalities/districts: South Jakarta, North Jakarta, Tangerang, Bekasl,
and Bogor, the development of Company Regulation/Collective Labour
Agreement seems still slow.
Number of Collective Labour Agreement established are only 34
(32.38%) out of 105 sampling companies those have established workers'
union/trade union. Meanwhile, those have established Company Regulation
is only 45 companies or 18% of number of sampling companies.
Table 9
Establishment of
Collective Labour Agreement (CLA)/Company Regulation (CR)
in Five Selected Municipality/Districts
No.
Municipality/
District
Number of
Sampling
Companies
Number of
CLA
Number of
CR
1.
Bogor
50
10
12
2.
Bekasi
50
1
-
3.
Tangerang
50
17
33
4.
North Jakarta
50
-
-
5.
South Jakarta
50
6
-
Total :
250
34
45
Source: Local "Dinas Tenaga Kerja" (2001)
The above data describes that workers' unions/trade unions have
not fully carry out their main function as a forum of negotiation to establish
Collective Labour Agreement. A number of 171 companies (68.4%) do not
regulate their working conditions so as workers of the companies concerned
are not yet obviously secured. Most of companies are not yet aware on
implementation of the existing legislation, particularly on establishment of
Company Regulation and enforcement of this regulation is weak.
15
3. Negotiation
Agreement
Process
of
Establishment
of
Collective
Labour
All of 34 Collective Labour Agreements of the sampling companies
in the regions of Jakarta, Bogor, Tangerang and Bekasi are established
through Bipartite negotiation/consultation to reach a consensus without any
assistance by mediator. This condition shows that two-way communication
between employers and trade unions is sufficiently effective. Further detail
description is as presented in the Table 10 and Table 11 below.
Table 10
Negotiation Process of Collective Labour Agreement (CLA)
In 5 Selected Districts/Cities
The Case Settled
Negotiation Process/Level of
Through
Settlement
Majors/Cities
NO.
Mediation
Mediation
Bipartite
Assistance
Assistance
Mechanism
10
Bogor
1.
1
2.
Bekasi
17
Tangerang
3.
Unmonitored
4.
North Jakarta
South Jakarta
6
5.
34
Total :
Source : "Dinas Tenaga Kerja" at Districts of Bogor, Bekasi, Tangerang, Cities of
North Jakarta and North Jakarta (2001)
Table 11
Negotiation Process of Settlement of Collective Labor Agreement (CLA)
In 4 Selected Provinces
NO.
Districts/Cities
Number of
CLA
Bipartite
Mechanism
Mediation
Assitance
16
16
-
1.
Jakarta
2.
North Java
3
3
-
3.
East Java
3
3
-
4.
East Kalimantan
2
2
-
24
-
Total :
24
Source: Ditjen Bina was, Depnakertrans (2001)
16
There is no available data in the provinces of Riau and North
Sumatera. The above data also shows that establishment of 24 Collective
Labour Agreements in the sampling provinces done without assistance by
mediators.
4. Quality and Content of Collective Labour Agreement
Based on deep assessment, quality of 34 Collective Labour
Agreements
in
5
sampling
districts/municipalities
of Jakarta,
Bogor,
Tangerang, and Bekasi is considered sufficient as they contain various
working conditions, which among others are wage scale, wage review,
wage level, higher than the minimum wage, bonus, old-age benefit, and
other working facilities as well as training programmes. A few of them
include certain provisions of legislation that is intended as accentuation to
their regulations such as working hours, overtime payment, probation
period, feast-day allowance, social security, and so forth.
SETTLEMENT OF INDUSTRIAL DISPUTE
A.
Legal Basis and System of Dispute Settlement
Although
industrial
relations
at
plant
level
have
been
well
implemented, but it has to be recognized that dispute may be occurred
due to miss-understanding on a certain subject. For this reason, there
should be regulation on dispute settlement to avoid dispute become
expanded or serious.
Act no. 22 of 1957 on Settlement of Labour Dispute gives
guidance on how to settle labour dispute. The essential content is, if
dispute happens it has to be settled by the disputing parties, that is trade
union and employer concerned, or called as settlement through bipartite
17
mechanism. If this kind of settlement is failed, the next step is helped by
mediator. The function of mediator is only limited in giving advice for the
settlement of dispute, and the decision has to be made by both disputing
parties.
In the case of one or both disputing parties could not accept the
advice given by the mediator, the mediator has to submit the dispute to the
Regional Committee for the Settlement of Labour Dispute (P-4D). If the
decision made by the P-4D is not acceptable, one or both disputing parties
could appeal to the Central Committee for the Settlement of Labour
Dispute (P-4P) for decision. According to this law, the decision of P-4P is
final, provided it is vetoed by the Minister of Labour for being cancelled or
postponed with strong justification. In case the Minister does not veto, the
P-4P decision has to be implemented,
if it is felt necessary, the
implementation of this decision can be brought to Civil Court for execution.
Since the time when
the
law
no.05
year
1986
on
Public
Administration Court came into effect, the decision of P-4P is not final
any more, it is due to the consideration that the decision is the decision of
administration authority. There fore, one party or both parties could charge
the decision to the Administration High Court (PTTUN). The decision of
PTTUN is still possible to be appealed to the Supreme Court.
Beside
that,
for the
settlement
of case
on
termination
of
employment, act no. 12 of 1964 on The termination of Employment in
Private Company has to be implemented.
18
B.
Basic Statistics
Settlement of appeal cases on labor disputes, appeal cases on
individual
termination
of
employment,
and
mass
termination
of
employment which are conducted by P-4P can be explain as follows:
Table 12
Settlement of Cases by
Central Committee for Industrial Dispute Settlement (P4P)
In 6 Selected Provinces 2000 - June 2001
Provinces
Cases
1. Appealed
Employment
Termination
from P4D
North
Sumatra
Riau
Jakarta
West Java
East Java
East
Kalimantan
Total :
North
Sumatra
II. Appealed
Riau
Individual
Jakarta
Employment
Termination West Java
East Java
from P4D
East
Kalimantan
Total :
III. Mass
Employment
Termination
by P4P
North
Sumatra
Riau
Jakarta
West Java
East Java
East
Kalimantan
Total :
Grand Total:
Number
of
Cases
Settled
Number
Of
Veto by
The
Minister
Accused to the Public
Administrative Court
Number
By
Workers
By
Employers
3
3
-
-
-
8
20
25
27
3
19
23
25
2
5
4
1
3
1
1
2
3
2
2
-
-
-
85
75
11
5
6
250
247
9
1
8
147
503
345
181
147
488
340
179
9
121
48
27
3
30
13
6
6
91
35
21
42
42
3
1
2
1,468
1,443
217
54
163
59
56
-
-
-
41
191
193
111
32
160
177
105
22
8
6
8
2
2
14
6
4
95
95
-
-
-
690
625
36
12
24
2,243
2,143
264
71
193
Source: P4P (2001)
19
This data shows that during 1 V* years from January 2000 - June
2001 there were 2,243 cases which had to be solved by P-4P, consisting
of 85
(3.79%) cases
of appeal on labor disputes from P-4D of 6
provinces (North Sumatra, Riau, Jakarta, West Java, East Java, and East
Kalimantan), and 1,468 (65.45%) cases of appeal on individual termination
of employment from the said 6 provinces. There fore, most of cases (2,158
cases or 96.21%)
brought to the P-4P were cases on termination of
employment, and practically, the major function of P-4P is to settle cases
on termination of employment.
Out of 2,243 cases in P-4P up to the end of June 2001, 2,143
cases (95.54%) has been decided and the remaining of 100 cases
(4.46%) are still in process, and there is no decision made by P-4P is
vetoed by the Minister. It shows that the Minister fully rely on the P-4P in
making decision, and it is meant that there is no intervention from the
government, or the Minister recognizes that the decision made by the P4P has been fair enough. But in reality, there are still 264 (12.32%) of P4P decision are charged to the PTTUN. In other words, there are minor
parts of those decision did not satisfy the disputing parties.
Out of the 264 total cases which were charged to the
PTTUN, 71 cases (26.89%) were charged by workers and the rest 193
cases (73.11%) by employers. It means that the disputing party who were
more unsatisfied with the decision made by P-4P were the employers.
C. Industrial Disputes
Data of labour disputes in District of Bekasi and Tangerang is as follows:
20
Table 13
Mediation
Brought to P4D
Regions
Number
Settled
%
Number
156
115
73.72
Tangerang
20
16
80
4
Total :
176
131
74.43
45
Bekasi
41
By
%
26.28
20
25.57
Workers
Employers
15
26
Not recorded
15
26
Source : Dinas Tenaga Kerja, Districts of Bekasi and Tangerang (2001)
Out of the total 2,935 medium and big companies in District of
Bekasi and District of Tangerang there were 176 cases (5.99%) of labour
disputes in the year of 2000 up to June 2001. Out of those cases, 131
cases (74.43%) were able to be solved through mediation process. The
conclusion is that the role of mediators were effective enough in helping
the settlement of labour disputes.
The remaining 41 cases in District of Bekasi (26.28%) can not be
settled through mediation process and then be brought to P-4D for
decision. Out of 41 cases above, 15 cases (36.56%) were unacceptable
by workers, and the other 26 cases (63.44%) were rejected by employers.
The data shows that advice given by mediator were mostly unacceptable
by employers instead of workers (26 compared to 15).
C.
Strikes
Data on labour strike in 3 Districts of Bekasi, Tangerang, and Bogor
is as follows :
21
Table 14
Strikes in Districts of Bekasi; Tangerang; and Bogor
2000-June 2001
Number of
Settled by Mediator
Brought to P4D
Regions
Cases
Number
%
Number
%
Bekasi
22
22
100
-
-
Tangerang
74
74
100
-
-
Bogor
62
59
95
3
5
98.10
3
1.90
Total :
158
1,455
Source : Dinas Tenaga Kerja, Districts of Bekasi; Tangerang; and Bogor (2001)
During the year 2000 - June 2001 in three districts of Bekasi,
Tangerang, and Bogor happened 158 cases of strikes, out of them 155
cases (98.10%) were able to be solved through negotiation which were
assisted by mediators. It shows that the mediator functioned effectively in
helping solve cases of labour strikes.
Data from the 3 districts proved that labour strikes were caused
mainly on violation of labour legislation and regulations, such as :
minimum wage, establishment of trade union, formation / negotiation of
collective agreement, over time payment, social security, and leave, and
other condition of employment, such as : wage increase, meal allowance,
and transportation allowance. The conclusion is that the employers did not
fully
implement labour laws and regulations.
E. Termination of Employment
Data collected from District of Bekasi and District of Tangerang
concerning termination of employment can be tabled as follows:
22
Table 15
Termination of Employment
Districts of Bekasi and Tangerang Januari - Juli 2001
Number
of cases
District
P4D
Mediation
P4P
Settled
%
Settled
%
Settled
%
Under
process
Bekasi
536
285
53.17
119
22.20
9
1.68
123
Tangerang
406
255
62.81
60
14.78
6
1.48
85
Total :
942
540
57.32
179
19.00
15
1.59
208
Source : Dinas Tenaga Kerja Districts of Bekasi and Tangerang (2001)
From January - July 2001 there were 942 cases on termination of
employment in District of Bekasi and District of Tangerang, out of them
540 cases (57.32%) can be solved through mediation process. It also the
other evidence that the role of mediators still significant although they
were not as effective as their role in the case of labour disputes and labour
strikes. The role of P-4D still important, it could settle 179 cases (19.00%),
and the other 15 cases (1.59%) were solved by P-4P. The remaining 208
cases were still in process of settlement.
V. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS
A.
Conclusions
The industrial relations system in Indonesia is always changed, as
in other countries depends on the practice of political system, which is the
subsystem of the state policy. This condition also influences the labour
union movement. In the era of reformation, freedom of association is fully
guaranteed and respected especially after the- ILO Convention no.87 of
1948 was ratified, the labour union grows rapidly at the national level. The
growth of labour unions have also been encouraged by the Law No.21 of
23
2000 on Trade Union. Since 1997 until August 2001, the national
federation of trade unions have grown
from 1 become 58 or 5,800%.
However, the growth of trade unions at company level is left behind
compare to the labour union at national or federation level. The number of
labour union at company level grows from 12,839 became 15,725
(22,48%) during the period.
Ideally, Bipartite body, which is established at company level, can
be used as a means for effective communication between workers and
employers for developing
and
maintaining
good
relation
and
also
anticipating and solving problems. But in reality, this body is unable to
function well. This bodies have already been established in 4,039
(19.68%) out of 20,522 companies in 6 provinces (North Sumatra, Riau,
Jakarta, West Java, East Java, and East Kalimantan). There is no
information about the activity of those bodies.
On the other hand, the Tripartite body in big provinces
have
already functioned well. This well functioning of this body also happened in
certain big districts and municipal level, such as Bekasi, and North
Jakarta, which respectively conducted five times meetings, and this body
of Tangerang carried out two times of meeting in the year of 2000.
The number of collective labour agreements is far bellow the
number of trade
unions. During the last year in the area of Jabotabek
there had been formed 105 plant level unions out of 250 companies of
sample, but there were only 34 collective labour agreements (32.38%) out
of the total
105 trade unions. It is due to the lack of capability of trade
unions in negotiation for collective labour agreement. The quality of the
collective labour agreements contents were good enough, it is evident that
according to the processed data of
Jabotabek, most of the articles of
collective labour agreements stipulate a wide range of condition of
24
employment, such as : wage scale, wage review, amount of wage above
the minimum wage, bonus, old age benefit, etc. and only a minor part of
collective labour agreements mention about labour legislation. All of the
collective labour agreements could be accomplished through bipartite
negotiation, without creating dispute which need to be helped by mediator.
Most of the settlement of labour disputes
which were helped by
mediators could be well solved. Out of 176 dispute cases happened in
Tangerang and Bekasi, 131 cases (74.43%) were able to be settled by
mediators. In the case of labour strikes, out of 158 cases in Bekasi,
Tangerang and Bogor, 155 cases (98.10%) could be settled by mediators.
In the case of termination of employment the role of mediators were
relatively smaller, in Bekasi and Tangerang out of 942 cases mediators
could only help solving 540 cases (57.32%).
Most of cases brought to the P-4P were on termination of
employment. Out of 2,243 cases in the year of 2000 - June 2001, 690
cases (30.76%) were cases on mass termination of employment. Cases of
appeal from P-4D on individual termination of employment were 1,468
(65.45%). The total number of cases on termination of employment were
2,158 (96.21%), and the rest of 85 cases (3.79%) were appeal cases from
P-4D's on industrial disputes.
Under the Law no.05 of 1986 on the Court of Public Administration,
decision of the P-4P can be charged to the High Court of Public
Administration (PTTUN). Out of 2,143 cases which had been decided by
the P-4P, 264 cases (12.32%) were charged to the PTTUN. Most of the
charges, 193 cases (73.12%) were done by employers, and the remaining
of 71 cases (26.88%) were conducted by workers. On the other side there
was no case vetoed by the Minister.
25
Labour strikes and industrial disputes were frequently happened,
the dominant cause of those cases in Bekasi, Tangerang, and Bogor were
minimum wage, establishing of trade union, forming of CLA, over time
payment,
social
security,
and
leave,
and some other condition of
employment such as wage Increase, meal allowance, and transportation
allowance. The conclusion is that employers did not implement labour
legislation well, and workers demanding better welfare.
B. Recommendations
1. System of recording, processing, and analyzing of data has to be
improved in all levels of offices which are concern in the field of
labour.
2. Conducting education programs on all aspect of trade unionism
particularly on CLA for whom whose functions relate to labour
subject, especially trade union leaders. This kind of education has
also to be conducted for employers and government officials.
3. Publishing manual and guidance book on Bipartite Co-operation
Body for being used by workers and employers.
4. Improving of law enforcement to avoid violation of law and
regulation.
5. Encouraging the formation of Sectoral Tripartite Body at provincial,
district and municipality level through socialization of this subject for
the anticipation labour problems faced by the respective industrial
sector concern.
26
Download