1 Pendahuluan Seluruh praksis pendidikan di Indonesia harus

advertisement
1
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PEMIKIRAN PLURALISME KEBANGSAAN
H. Mursalim
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember
Abstrak
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikenal oleh dunia sebagai bangsa yang
sangat plural atau majemuk. Semboyan konstruktif Bhinneka Tunggal Ika yang
terdapat dalam lambang negara Pancasila memberikan isyarat penting dan nyata
bahwa bangsa Indonesia dibangun di atas pondasi perbedaan atau keragaman. Aneka
ragam budaya, seni, etnis, adat-istiadat, agama, bahasa, ideologi, dan lain sebagainya
merupakan fakta dan realitas tak terbantahkan yang meneguhkan bahwa dalam hal
kemajemukan bangsa Indonesia memang berbeda dengan kebanyakan bangsa-bangsa
di dunia. Namun uniknya bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan justru karena
kemajemukannya.
Sedemikian pentingnya menyikapi kemajemukan sebagai salah satu modal
pembangunan, maka di Indonesia banyak dijumpai para pejuang dan penggiat
eksistensi kemajemukan. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai kesadaran
dan kepedulian lebih dalam memberikan atensi serius terhadap eksistensi
kemajemukan yang harus dipelihara. Salah satu di antaranya adalah KH.
Abdurrahman Wahid, salah seorang putra bangsa yang terus-menerus tanpa bosan
dan lelah menyalakan wacana, sikap dan laku akan pentingnya memelihara
kemajemukan bangsa Indonesia.
Kata Kunci: Pendidikan karakter, Pemikiran Pluralisme
Pendahuluan
Seluruh praksis pendidikan di Indonesia harus merujuk kepada Undang-undang
Republik Indonesia N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Merujuk pada
Pasal 3 Bab II, fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.1 Hal ini berarti bahwa tujuan pendidikan nasional berorientasi kepada
kualitas-kualitas manusia Indonesia yang harus diwujudkan oleh penyelenggaraan
pendidikan yang baik. Dengan demikian rumusan tujuan pendidikan nasional harus
dijadikan pijakan dasar oleh setiap penyelenggara pendidikan dalam upaya mengembangan
pendidikan berkarakter kebangsaan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikenal oleh dunia sebagai bangsa yang sangat
plural atau majemuk. Semboyan konstruktif Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat dalam
lambang negara Pancasila memberikan isyarat penting dan nyata bahwa bangsa Indonesia
dibangun di atas pondasi perbedaan atau keragaman. Aneka ragam budaya, seni, etnis, adatistiadat, agama, bahasa, ideologi, dan lain sebagainya merupakan fakta dan realitas tak
1Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung:
Citra Umbara, 2003) hal. 7.
2
terbantahkan yang meneguhkan bahwa dalam hal kemajemukan bangsa Indonesia memang
berbeda dengan kebanyakan bangsa-bangsa di dunia. Namun uniknya bangsa Indonesia
menjadi satu kesatuan justru karena kemajemukannya. Dalam kaitan ini Harry Tjan Silalahi
menyatakan:
Kebangsaan Indonesia itu mengakui adanya pluralisme secara sadar. Kenyataan menunjukkan bahwa
warga negara Republik Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa, golongan, dan keturunan,
yang memiliki ciri-ciri lahiriah, kepribadian, dan kebudayaan (bahasa, adat-istiadat, dan kepercayaan)
yang berbeda-beda.2
Pada sisi lain dewasa ini gejala-gejala truth claim (klaim kebenaran) atas agama atau
keyakinan madzhab dalam agama yang sama tertentu sehingga interpretasi kebenaran
agama dimonopoli oleh sebagian golongan, telah melahirkan tindak kekerasan dan juga
kejahatan kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, kasus peledakan bom di tempat-tempat
ibadah, paket bom buku, pembakaran dan pengusiran komunitas berbeda pandangan
keagamaan, dan lain-lain merupakan contoh-contoh peristiwa yang masih sering terjadi.
Disamping itu, diskriminasi budaya sebagai aktualisasi makhluk berbudaya dan
berperadaban juga masih dijumpai dalam banyak peristiwa.
Pluralitas atau kemajemukan sebagai sebuah keniscayaan yang terjadi atas bangsa
Indonesia adalah ibarat dua sisi mata pedang yang tajam tajam. Jika potensi kemajemukan
mampu dikelola dengan baik dan benar niscaya ia bisa bermanfaat bagi kemajuan bangsa.
Sebaliknya jika negara salah urus terhadap kemajemukan maka ia juga bisa menimbulkan
malapetaka dan bencana sosial yang tidak terelakkan. Kemajemukan bisa menjadi aset
berharga untuk percepatan (acceleration) pembangunan suatu bangsa. Tetapi ia juga bisa
menjadi sebuah potensi ancaman serius bila kemajemukan suatu bangsa tidak mampu
dikelola dengan baik oleh penyelenggara negara.
Sedemikian pentingnya menyikapi kemajemukan sebagai salah satu modal
pembangunan, maka di Indonesia banyak dijumpai para pejuang dan penggiat eksistensi
kemajemukan. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai kesadaran dan kepedulian
lebih dalam memberikan atensi serius terhadap eksistensi kemajemukan yang harus
dipelihara. Salah satu di antaranya adalah KH. Abdurrahman Wahid, salah seorang putra
bangsa yang terus-menerus tanpa bosan dan lelah menyalakan wacana, sikap dan laku akan
pentingnya memelihara kemajemukan bangsa Indonesia.
Prof. Nur Syam, salah seorang guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya menyatakan
bahwa sebagai sebuah realitas, KH. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh pluralisme tentu
tidak ada yang menolak.Semua tokoh nasional maupun internasional sependapat dengan
pernyataan ini. Ketokohan KH. Abdurrahman Wahid dalam perbincangan dunia
pluralisme dan multikulturalisme tentu saja tidak terlepas dari peran KH. Abdurrahman
Wahiddi dalam dialog dan praksis relasi antar umat beragama, relasi antar suku, dan etnis di
dalam kehidupan masyarakat secara umum.3 Bahkan, pada saat pemakaman almarhum
KH. Abdurrahman Wahid, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa,
KH. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh Islam telah memberikan inspirasi besar bagi
bangsa Indonesia. Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid mengenai keadilan, keadamaian
Lihat Harry Tjan Silalahi, "Kebangkitan Nasional I: Menemukan, Menumbuhkan, dan
Mengaktualisasikan Kebangsaan" dalam Bantarto Bandoro, J. Kristiadi, Mari Pangestu dan Onny S. Prijono
(Penyunting), Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies-CSIS, 1995) hal. 14.
3Nur Syam, “KH. Abdurrahman KH. Abdurrahman Wahid dan Pluralisme” dalam http://nursyam.
sunan-ampel.ac.id/?p=683.
2
3
dan toleransi sangat dihormati oleh bangsa Indonesia, bahkan seluruh dunia. KH.
Abdurrahman Wahid telah mengajarkan kemajemukan. KH. Abdurrahman Wahid
menurut Susilo Bambang Yudhoyono adalah Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme. KH.
Abdurrahman Wahid menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kepada
kemajemukan ide dan identitas yang bersumber dari perbedaan agama, kepercayaan, etnik,
dan kedaerahan.4 Gelar KH. Abdurrahman Wahid sebagai Bapak Tionghoa Indonesia
menambah kualitas ketokohannya dan menambah daftar pengakuan bangsa Indonesia atas
kiprah pemikiran dan praksis ide pluralisme yang diembannya.
Selayang Pandang KH. Abdurrahman Wahid
1. Latar Belakang Keluarga
Menurut catatan resmi KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil
dengan sebutan Gus Dur dilahirkan pada tahun 1940. Mengenai tanggal dan bulan
kelahirannya terdapat dua versi yang berbeda. Versi pertama tanggal 4 Agustus dan versi
kedua tanggal 7 September.5 Perbedaan versi tanggal dan bulan tersebut disebabkan
misunderstanding terhadap penanggalan Hijriah. Dalam catatan keluarga, KH.
Abdurrahman Wahid dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan kalender Islam
tahun 1940. Hari keempat bulan kedelapan menurut kalender Islam berarti sama dengan
tanggal 4 bulan Sya’ban. Sedangkan tahun 1940 (penanda tahun Miladiah atau Masehi)
adalah sama dengan tahun 1359 Hijriah. Dengan demikian, tanggal dan bulan yang
benar kelahiran KH. Abdurrahman Wahid berdasarkan kalender Hijriah, yaitu 4 Sya’ban,
maka jika dikonversi ke dalam penanggalan Masehi adalah 7 September.
Sedangkan versi kedua tanggal dan bulan kelahiran KH. Abdurrahman Wahid,
yaitu 4 Agustus berdasarkan kisah KH. Abdurrahman Wahid sewaktu ia sekolah di
Sekolah Dasar di Jakarta. Saat itu KH. Abdurrahman Wahid ditanya nama, tempat, dan
tanggal lahir oleh gurunya. Saat itu KH. Abdurrahman Wahid menjawab namanya
adalah Abdurrahman, tempat lahirnya adalah Jombang, dan tanggal lahirnya adalah 4
bulan 8 tahun 1940. Dalam benak KH. Abdurrahman Wahid tanggal 4 bulan 8 adalah
berdasarkan kalender Hijriah. Akan tetapi oleh gurunya tanggal dan bulan tersebut
dipahami sebagai tanggal 4 bulan 8 menurut kalender Masehi. Hal ini barangkali karena
KH. Abdurrahman Wahid menyebut tahun 1940, yang tidak lain adalah tahun Masehi.
Maka sejak saat itulah KH. Abdurrahman Wahid ditetapkan lahir pada 4 Agustus 1940.
Meskipun sebenarnya KH. Abdurrahman Wahid dilahirkan pada tanggal 7 September
1940.6
Syamsul Bakri dan Mudhofir dalam buku Jombang-Kairo, Jombang- Chicago:Sintesis
Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia
menuliskan bahwa nama lengkap KH. Abdurrahman Wahid adalah Abdurrahman
Addakhil. Secara leksikal, Addakhil berarti Sang Penakluk, sebuah nama yang diambil KH.
Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah
menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata Addakhil tidak cukup
dikenal dan diganti nama Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan
4Abdul
Aziz MMM, resensi buku novel Sejuta Hati Untuk KH. Abdurrahman KH. Abdurrahman
Wahid, Sebuah Novel dan Memorial karangan Damien Dematra (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010)
dalam http://gp-ansor.org/30278-23102011.html
5Lihat M. Hamid, Gus Gerr: Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010) hal. 13.
6M. Hamid, Gus Gerr: Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa, hal. 14.
4
panggilan Gus Dur. Julukan Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada
seorang anak kyai yang berati abang atau mas.7
KH. Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara yang
dilahirkan di Denanyar Jombang, Jawa Timur. Ia dilahirkan dalam lingkungan keluarga
muslim Jawa terkemuka. Secara genetik KH. Abdurrahman Wahid adalah keturunan
darah biru. Ayahnya, KH. Wahid Hasyim adalah putra KH. Hasyim Asy’ari, pendiri
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar di Indonesia
dan
pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri
pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH. Bisri Syamsuri. Baik KH. Hasyim Asy’ari
maupun KH. Bisri Syamsuri adalah adalah 2 tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU). 8
Dengan demikian, KH. Abdurrahman Wahid merupakan cucu dari dua ulama NU
sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Al-Zastrauw Ng., dalam buku KH. Abdurrahman Wahid, Siapakah Sampean?: Tafsir
Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan KH. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa ibunya
Ny. Hj. Sholehah sejak KH. Abdurrahman Wahid masih usia muda selalu menanamkan
rasa tanggung jawabnya kepada NU. Pada bulan April 1953, ayahnya KH. Wahid
Hasyim mengalami kecelakaan mobil dalam perjalanan peresmian madrasah baru di Jawa
Barat. Akhirnya ayahnya wafat dalam usia 38 tahun.9
Pada saat bocah, tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, KH.
Abdurrahman Wahid lebih memilih ikut kakeknya dari pada tinggal bersama orang
tuanya. Di saat serumah dengan kakeknya itulah, KH. Abdurrahman Wahid mulai
mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir-mudik dirumah
kakeknya.10Ayahnya K.H. Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama yang
membuat keluarganya harus menetap di Jakarta, karena kedudukan sang ayah ini pula,
untuk kesekian kalinya KH. Abdurrahman Wahid kecil lebih akrab dengan dunia politik
yang di dengar dari rekan ayahnya yang sering mangkal dirumah mereka. Selain itu, KH.
Abdurrahman Wahid sendiri tergolong bocah yang amat peka mengamati sekitarnya.
Berdasarkan pengakuan ibunya, Ny. KH. Abdurrahman Wahid Hasyim, Sejak usia lima
tahun , dia sudah lancar membaca. Gurunya, waktu itu, adalah ayahnya sendiri.11
2. Latar Belakang Pendidikan
Pertama kali belajar, KH. Abdurrahman Wahid kecil belajar pada sang kakek,
K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca alQur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah
pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, KH. Abdurrahman Wahid
masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl,
seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar.
Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik
klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan KH.
Bakri dan Mudhofir dalam buku Jombang-Kairo, Jombang- Chicago:Sintesis Pemikiran KH.
Abdurrahman KH. Abdurrahman Wahid dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai,
2004) hal. 23.
8Syamsul Bakri dan Mudhofir dalam buku Jombang-Kairo, Jombang- Chicago, hal. 24.
9Al-Zastrauw Ng., dalam buku KH. Abdurrahman KH. Abdurrahman Wahid, Siapakah Sampean?: Tafsir
Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan KH. Abdurrahman KH. Abdurrahman Wahid(Jakarta: Erlangga, 1999) hal.
14.
10Dedy D. Malik, Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik (Jakarta: Zaman
Wacana Mulia, 1998) hal. 79.
11Dedy D. Malik, Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal. 79.
7Syamsul
5
Abdurrahman Wahid dengan dunia Barat dan dari sini pula KH. Abdurrahman Wahid
mulai tertarik dan mencintai musik klasik.12
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, KH. Abdurrahman Wahid
memenangkan lomba karya tulis (mengarang) sewilayah kota Jakarta dan menerima
hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa KH. Abdurrahman Wahid
telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar
jika pada masa kemudian tulisan-tulisan KH. Abdurrahman Wahid menghiasai berbagai
media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, KH. Abdurrahman Wahid dikirim orang tuanya
untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah
Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak.13 Sekolah ini
meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan
kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali KH. Abdurrahman Wahid belajar
Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia
minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal
Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP.
Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang
hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi
dan anggota Muhammadiyah lainnya. Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama
tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. KH. Abdurrahman Wahid,
misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu
satu-dua tahun KH. Abdurrahman Wahid menghabiskan beberapa buku dalam bahasa
Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John
Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa
karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia,
seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. KH. Abdurrahman Wahid
juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’.
Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan
kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, KH. Abdurrahman
Wahid aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika
mengetahui bahwa KH. Abdurrahman Wahid pandai dalam bahasa Inggris, Pak Sumatriseorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is
To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah
mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya.
Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan
KH. Abdurrahman Wahid. Setamat dari SMEP KH. Abdurrahman Wahid melanjutkan
belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah.14 Pesantren ini diasuh oleh K.H.
Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang
memperkenalkan KH. Abdurrahman Wahid dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan
praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, KH. Abdurrahman Wahid
mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk
ke pesantren ini, KH. Abdurrahman Wahid membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang
membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula KH. Abdurrahman Wahid
telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan
12http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/31/99128-perjalanan-pendidikan-
gus-dur.
13Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LkiS,
2011) hal 51.
14Ibid, hal. 52.
6
dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini
adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat
perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan
minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional,
kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat
tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren
Tegalrejo. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, KH. Abdurrahman
Wahid pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu
usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia
menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan.15
Pada usia 22 tahun, KH. Abdurrahman Wahid berangkat ke tanah suci, untuk
menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di
Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat
langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam
sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran
yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, KH.
Abdurrahman Wahid sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi
Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang
dikehendaki. Terdapat kondisi yang menguntungkan saat KH. Abdurrahman Wahid berada
di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang
dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan
pendapat mendapat perlindungan yang cukup.
Pada tahun 1966 KH. Abdurrahman Wahid pindah ke Irak, sebuah negara modern
yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of
Religion di Universitas Bagdad sampai tahun 1970.16 Selama di Baghdad KH.
Abdurrahman Wahid mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di
kota seribu satu malam ini KH. Abdurrahman Wahid mendapatkan rangsangan intelektual
yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan
buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif
dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, KH. Abdurrahman Wahid rajin mengunjungi makam-makam
keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat
Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran
tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah KH. Abdurrahman Wahid menemukan
sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi
perkembangan pemikiran politik KH. Abdurrahman Wahid pada saat itu. Kekagumannya
pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu
tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad KH. Abdurrahman Wahid bermaksud melanjutkan
studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya
untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau
Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang
dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke
universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan
mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.
15http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/31/99128-perjalanan-pendidikangus-dur
16 Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LkiS, 2011)
hal. 111.
7
Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai
pembersih kapal tanker. KH. Abdurrahman Wahid juga sempat pergi ke McGill University
di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya
ia kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan
dunia pesantren.
Perjalanan keliling studi KH. Abdurrahman Wahid berakhir pada tahun 1971, ketika
ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai
perjalanan awal kariernya. Meski demikian, semangat belajar KH. Abdurrahman Wahid
tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 KH. Abdurrahman Wahid ditawari untuk belajar ke
sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang
baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap
bahwa KH. Abdurrahman Wahid tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam
kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada KH.
Abdurrahman Wahid untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan
sidang akademik.17
3. Kontribusi Kebangsaan
a. Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Berlatar belakang dari lingkungan pesantren dan komunitas kaum Nahdliyin, KH.
Abdurrahman Wahid merupakan guru besar kaum muda dan para kiai. Walaupun tidak bisa
dipungkiri, tidak suka maupun tidak sepaham orang NU sendiri terhadapnya merupakan
hal yang lumrah dan wajar, karena pemikirannya tidak bisa secara langsung dicerna begitu
saja, harus ada interpretasi lanjut untuk memahami apa yang dimaksud dalam pembicaraan
maupun keputusannya. Ketidaksepahaman itu tidak menutup kebesaran dan posisinya
sebagai guru besar kaum nahdliyin, terutama bagi kaum muda NU dan pembesar NU.
Pada awal 1980-an, KH. Abdurrahman Wahid terjun mengurus Nahdlatul Ulama
(NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, KH. Abdurrahman
Wahid berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di
kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, KH. Abdurrahman Wahid didaulat sebagai
Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, KH. Abdurrahman Wahid fokus
dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem
pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU, KH. Abdurrahman Wahid dikenal kritis
terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, KH. Abdurrahman Wahid berencana
mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang
pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh
paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut,
memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di
Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, KH.
Abdurrahman Wahid mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak
diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Menjelang Munas tahun 1994, KH. Abdurrahman Wahid menominasikan dirinya
untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. 18
Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko
berkampanye melawan terpilihnya kembali KH. Abdurrahman Wahid. Ketika musyawarah
nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi.
17http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/31/99128-perjalanan-pendidikangus-dur
18Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur..., hal. 273-276.
8
Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, KH.
Abdurrahman Wahid tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama
masa ini, KH. Abdurrahman Wahid memulai aliansi politik dengan Megawati
Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama
ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Kedudukannya sebagai ketua umum PBNU, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keIslaman, tidak luput dari nilai-nilai pancasila yang telah ditetapkan dalam UUD ’45.
Terbukti ketika ia ditanya mengenai “boleh tidaknya orang non Muslim menjadi presiden di
Indonesia?”. Sontak saja ia langsung menjawab, bahwa hal itu bisa saja terjadi, jika dilihat
dari bunyi Undang-undang 1945. Jawaban ini menimbulkan berbagai macam reaksi. Bahkan
dari jawabannya itu, KH. Abdurrahman Wahid disebut-sebut sebagai antek orang-orang
non muslim. Sedangkan bagi mereka yang tulus dan memahami secara mendalam pada
UUD ’45, jawaban KH. Abdurrahman Wahid itu merupakan hal yang sangat lumrah. 19
Sebagaimana tertulis dalam UUD ’45 yang memungkinkan adannya seorang non Muslim
menjadi presiden di belakang hari, karena di dalam Undang-undang dasar memang tidak
pernah mempersoalkan agama seorang calon presiden. Sama halnya dengan presiden John
F. Kennedy dari Amerika Serikat yang tidak beragama mayoritas di Amerika Serikat, yaitu
agama Kristen Protestan. Dalam hal ini, KH. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa
yang terpenting adalah bunyi undang-undangnya bukan sentimen yang terkandung dalam
Undang-undang itu.
Di dalam UUD ’45 tidak dinyatakan sesuai dengan agama Islam, karena sesuai
dengan kenyataan, penduduk Indonesia tidak hanya menganut agama Islam saja, melainkan
agama-agama lain meski berjumlah minoritas dari pada agama Islam. Karena sebagian
penduduk Indonesia hanya Islam dalam namanya saja. Mereka dilahirkan, dikhitan,
dikawinkan dan dimakamkan dengan cara Islam. Selebihnya mereka tidak tahu apa-apa
tentang Islam.
Predikat KH. Abdurrahman Wahid yang oleh banyak orang sering disebut-sebut
sebagai “guru bangsa” sesungguhnya tidak beranngkat dari ruang kosong dan hampa.
Predikat mulia tersebut didasarkan pada warisan sosial KH. Abdurrahman Wahid yang
cukup banayak bagi masyarakat Indonesia dan secara khusus bagi kaum Nahdliyin. Dalam
konteks kebangsaan misalnya, salah satu sikap tauladan yang ditunjukkan KH.
Abdurrahman Wahid adalah sikap oposisi demokratik yanng ia pegang teguh sepanjang
hayat, dari mulai ia muncul sebagai ketua umum PBNU, menjadi ketua dewan Syuro PKB,
menjadi presiden dan bahkan setelah lengser dari kursi kepresidenan sekalipun. Dalam
oposisi KH. Abdurrahman Wahid mengajarkan agar dalam memperjuangkan prinsip
dilakukan secara teguh dan militan.
Saat menjadi presiden, KH. Abdurrahman Wahid melontarkan prinsip-prinsip
negara Pancasila yang modern dan humanis kerakyatan agar setiap penduduk memiliki hak
hidup secara politik, dan dia mengusulkan dicabutnya Tap MPRS No. XXXV tahun 1966
yang berkaitan dengan kasus 1965, yang berimplikasi mendiskualifikasi mantan orang-orang
PKI dan mereka yang di-PKI-kan penguasa.20
Banyak oposisi KH. Abdurrahman Wahid ketika ia masih menjabat sebagai
presiden. Dan hal itu tak luput dari kecaman dari berbagai banyak pihak termasuk pihak
yang terkait dalam keputusan kepemimpinannya. Adapun oposisi yang paling berkesan dan
tidak akan pernah luput dari ingatan, khususnya bagi kaum NU adalah oposisi demokratik
kerakyatan KH. Abdurrahman Wahid yang dilakukan terhadap rezim Soeharto. Oposisi
19 Informasi ini dimuat dalam tulisan KH. Abdurrahman Wahid yang dimuat dalam buku KH.
Abdurrahman Wahid, Menjawab Perubahan Zaman.
20Nur Khalik Ridwan, Gus Dur dan Negara Pancasila (Yogyakarta: Tanah Air, 2010) hal. 2.
9
KH. Abdurrahman Wahid dilakukan dalam banyak hal, diantaranya kasus kedungombo,
menjadi ketua Fordem, melawan rekayasa rezim Soeharto dalam Muktamar Cipasung tahun
1994, menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden, yang oleh KH.
Abdurrahman Wahid diubah menjadi loyalitas kepada Pancasila dan UUD 1945 dalam apel
Akbar tahun 1922, dan masih banyak lagi.21
Kebijakan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Guru bangsa mengajarkan kepada
rakyat Indonesia agar teguh memegang prinsip-prinsip untuk menjadi negara beradab dan
bermartabat, dan tidak hanya mementingkan pada kekuasaan. Pernah dalam tayangan Talk
Show di salah satu stasiun Televisi Swasta, dia mengatakan bahwa ia tidak pernah
melupakan kejadian pelengseran dari presiden terhadap dirinya, namun meski ia masih terus
mengingatnya, ia sudah memaafkan kejadian tersebut, termasuk orang-orang yang ikut andil
didalamnya.22 Bahkan ketika ia sudah wafatpun, pelengserannya disalahartikan oleh salah
satu orang petinggi negara, yaitu Sutan Batoegana yang merupakan anggota DPR komisi VI
dari partai demokrat yang mengatakan bahwa KH. Abdurrahman Wahid lengser dari
kepemimpinannya karena ia punya kasus korupsi terhadap negara. Hal ini tidak serta merta
membuat rakyat Indonesia, termasuk kaum Nahdliyin, khususnya para pecinta KH.
Abdurrahman Wahid bahkan kaum lintas agamapun terdiam, namun kekecewaan bahkan
kecaman yang muncul sebagai bentuk kecintaan terhadap bukti perjuangannya terhadap
negara, maupun agama.23 KH. Abdurrahman Wahid mementingkan manusia Indonesia,
mendahulukan kepentingan nasional, dan bukan kekuasaan, sehingga dia tetap lenngser
tanpa pertumpahan darah, padahal situasinya sudah sanngat memburuk. Hanya saja bangsa
Indonesia, disebut KH. Abdurrahman Wahid sebagai “bangsa penakut” karena selalu
membiarkan dan tidak mau bertindak terhadap mereka yang salah.
Hal inilah yang menyebabkan sulitnya melupakan sosok KH. Abdurrahman Wahid
yang berani berada di garis depan dalam melawan kedholiman agama dan negara meski
musuh dalam jumlah banyak dan militan yang akan senantiasa membunuhnya dari
belakang. Namun kegigihannya dalam membela hak dan kewajiban bangsa, tidak pernah
surut.
b. Sebagai Presiden Republik Indonesia ke 4
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB
memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan
partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang
Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi
dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai
Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan KH. Abdurrahman Wahid sebagai kandidat
ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.24
21Ibid.
Wawancara KH. Abdurrahman Wahid dengan Andi F. Noya dalam acara talk Show “Kick Andy” di
Metro TV, diputar kembali oleh mereka yang memperingati hari wafatnya KH. Abdurrahman Wahid di
berbagai tempat.
23 Kejadian ini terjadi pada bulan Desember 2012 ketika Sutan Batoegana berdebat mengenai
pemerintahan dengan Amir Ali, yang membeda-bedakan antara pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid
dengan Susilo bambanng Yudoyono. Namun sutan telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf secara
pribadi kepada seluruh rakyat Indonesia umumnya, dan kepada keluuarga KH. Abdurrahman Wahid pada
khususnya. Dan ia menarik kembali ucapannya tentang KH. Abdurrahman Wahid terkait alasan pengunduran
dirinya dari jabatan kepresidenan.
24 Lihat http://nusantaranews.wordpress.com/
22
10
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggung-jawaban Habibie dan ia
mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar
dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung KH.
Abdurrahman Wahid. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih
presiden baru. KH. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung
Megawati mengamuk dan KH. Abdurrahman Wahid menyadari bahwa Megawati harus
terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta
dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, KH.
Abdurrahman Wahid pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober
1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz
dari PPP.
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman
disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis
semakin nyata. Menghadapi hal itu, KH. Abdurrahman Wahid melakukan pendekatan yang
lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, KH. Abdurrahman
Wahid memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum
Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan KH. Abdurrahman
Wahid dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.
Netralisasi Irian Jaya, dilakukan KH. Abdurrahman Wahid pada 30 Desember 1999
dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman
Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan
nama Papua.25Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat
Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan
untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia. (Presiden Abdurrahman Wahid
dalam wawancara dengan Radio Netherland)
Akhirnya KH. Abdurrahman Wahid menjadi pemimpin yang meletakkan fondasi
perdamaian Aceh. Pada pemerintahan KH. Abdurrahman Wahidlah, pembicaraan damai
antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal,
sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian
seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat
sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, KH. Abdurrahman Wahid
tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh
GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara
rahasia, KH. Abdurrahman Wahid mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris
Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa KH.
Abdurrahman Wahid pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, KH. Abdurrahman Wahid disebut
sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang
pluralisme, KH. Abdurrahman Wahid menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia. Dialah tokoh
nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai
warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang
memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini
tidak lepas dari jasa KH. Abdurrahman Wahid mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina
(Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur
Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
25Ibid.
11
Dan atas jasa KH. Abdurrahman Wahid pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu
sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.26
Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, KH. Abdurrahman Wahid
juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf
kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam
gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, KH.
Abdurrahman Wahid memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi
inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di
Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan
sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering
melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar
mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan
bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak
jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia
memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia
juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika
diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar
menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak
pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan
tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945.Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara
pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya
semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.
Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa
sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani
berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar.
Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia
menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan
sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang
diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh
karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden, KH. Abdurrahman Wahid sudah
mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan
sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja
memilihnya itu, KH. Abdurrahman Wahid menyebut para anggota legislatif itu seperti anak
Taman Kanak-Kanak.
Selama menjadi Presiden RI itu, KH. Abdurrahman Wahid mendapat kritik karena
seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuluki “Presiden Pewisata“. Pada
tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden KH. Abdurrahman Wahid yaitu
skandal Buloggatedan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4
juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi KH. Abdurrahman Wahid
mengklaim bahwa ia dikirim oleh KH. Abdurrahman Wahid ke Bulog untuk mengambil
uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh KH. Abdurrahman Wahid
menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, KH. Abdurrahman Wahid
juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan
26Ibid.
12
sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, KH. Abdurrahman
Wahid gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal
Bruneigate.
Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh
politik KH. Abdurrahman Wahid untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20
Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli.
TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke
arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. KH. Abdurrahman Wahid
kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2)
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu
tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang
Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR
secara resmi memberhentikan KH. Abdurrahman Wahid dan menggantikannya dengan
Megawati Sukarnoputri.
Itulah akhir perjalanan KH. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden selama 20
bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya KH. Abdurrahman Wahid telah membantu
memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan
kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi
sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.
Tema Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid
1. Tema Sosial Keagamaan
KH. Abdurrahman Wahid merupakan tokoh besar dalam berpengetahuan dalam
banyak bidang, baik dibidang keagamaan, politik, sosial dan budaya, dan mampu
memahami dinamika agama dan modernisasi tersebut. Jika kepada kalangan teknokratteknokrat pemerintahan dan luar lingkungan keagamaan umumnya ia memberikan
perspektif liberal dan progresif dari kehidupan agama, maka terhadap kalangan agama ia
memberikan perspektif religius dari cita-cita kehidupan sekular (modernisasi).
Meski wafatnya sudah terhitung memasuki usia 3 tahun, KH. Abdurrahman
Wahid hingga kini masih dikenal banyak kalangan sebagai seorang pemikir, penulis dan
politisi Islam di Indonesia. Banyak karya dan sepak terjangnya dalam melakukan
pembaharuan pemikiran keIslaman di tanah air, sehingga ia juga dikenal sebagai salah
seorang intelektual muslim yang paling populer di Indonesia. Khususnya dikalangan para
pemikir Islam lainnya. kesuksesan dan kebesaran KH. Abdurrahman Wahid, tidak bisa
dilepaskan dari dua lingkungan, yaitu pesantren dan Nahdlatul Ulama. Kedua lingkungan
inilah yang kemudian kelak memberikan warna tersendiri terhadap pandangannyapandangannya tentang keIslaman, budaya, sosial, ekonomi dan politik yang mendorong
kontribusi Islam pada pluralisme, keadilan sosial dan demokrasi. Oleh karenanya, pesantren
merupakan salah satu kontribusi positif yang direkomendasikan sebagai salah satu tempat
dan wacana untuk menghadapi berbagai tantangan, baik dari internal maupun eksternal
pesantren. Bahkan menurutnya, pesantren memiliki kekuatan potensial yang menjadi agen
vital untuk melakukan yang perubahan di tengah masyarakat.
Sepak terjangnya di bidang keagamaan banyak melahirkan pemikiran-pemikiran
baru yang ia tuangkan baik lewat rasa sosialnya terhadap sesama agama maupun lintas
agama. Bahkan sekian banyak dari tokoh lintas agama sangat mmengagumi rasa saling
menghormati dan menghargai terhadap agama lain. Pemikiran yang ia hasilkan tidaklah
keekstriman yang selama ini dipahami oleh pemikir-pemikir Islam ortodoks, yang selalu
mengedepankan nama Islam tanpa mengetahui apa arti dan nilai Islam itu sendiri.
13
KH. Abdurrahman Wahid pernah mengemukakan mengenai Arabisasi dan
Islamisasi. Betapa Arabisasi telah berkembang menjadi Islamisasi, dengan segala
konsekuensinya. Hal ini pula membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang
dinyatakan dalam simbolisme Arab atau bahkan menurutnya, simbolisasi itu sudah begitu
merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa Muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi
disamakan dengan Islamisasi.27
Sebagai contoh dua kasus dari Jombang yang berkesimpulan bahwa agama
merupakan unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh
kebudayaan lain. Alih-alih agama dijadikan sebagai pendorong perubahan. Namun dari
tatapan historis KH. Abdurrahman Wahid, pandangan itu menurutnya tidak kokoh. Kasus
sukses perubahan di Jepang dan Eropa barat jelas memperlihatkan peran agama sebagai
spiritnya yang didahului oleh perubahan pandangan keagamaan. Sebaliknya, kegagalan
Turki dibawah Kemal Attaturk banyak disebut karena tidak diakuinya Islam, yang
merupakan agama yang banyak dianut di negaranya sebagai penggerak perubahan
pembangunan. Oleh karenanya, agama mempunyai peran penting dalam membangun suatu
perubahan diseluruh bidang.
Sejalan dengan Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa tiap-tiap periode
sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada golongan beragama untuk meninjau
kembali isi dari kekayaan akidah dan agamanya. Secara implisit, ungkapan ini menunjukkan
bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran agama oleh para penganut sifatnya
reaktif oleh adanya perubahan periode kebudayaan dimana agama itu hidup.28
Bahkan Snouck Hurgronje juga memperingatkan bahwa Islam di Indonesia yang
kelihatan statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu sebenarnya
mengalami perubahan-perubahan yang fundamental. Perubahan-perubahan itu demikian
perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang-orang yang dapat mengamatinya
secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.
2. Tema Politik
Sebagai salah satu upaya memahami sosok KH. Abdurrahman Wahid, tak luput
pula dari wacana politiknya yang sangat kental dengan kontroversialnya, baik dalam
memutuskan suatu perkara maupun dari perkataannya saja dalam menghadapi lawan
politiknya. Dia adalah salah seorang intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat
disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15 tahun menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum Tradisionalis, ini sering mennghiasi banyak
pemberitaan. Bahkan ditahun ketiga kewafatannya, berita tentang dia masih bergulir. Di
luar pemerintah dan figur militernya sangat sulit dibayangkan. Selama tahun-tahun
kepemimpinan itu popularitasnya mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan
dengan manuver politiknya dan juga tingkat pemahaman terhadap manuvernya. Bahkan ia
Dua istilah ini memiliki implikasi yang berbeda, meski bermula pada pemahaman teks-teks keIslaman,
al-Qur’an dan Hadits. Namun demikian, ketika mendekati teks-teks tersebut senantiasa meniscayakan adanya
koreksi dan hubungan erat dengan kondisin historis dan sosial yang ada disekitarnya. Dalam konteks ini
pulalah, sebuah hadits harus dipahami secara cermat dalam kapasitas apakah Nabi Muhammad sebagai salah
satu orang Arab dengan segala setting kulturalnya, atau apakah Muhammad sebagai rasul yang membawa
pesan-pesan ketuhanan. Pemetaan ini sangatlah penting, sehingga Imam Ghazali, seorang pengarang prolific,
telah sejak dini melakukan pemisahan antara sabda Nabi yang bersifat budaya kultural dan pesan nabi sebagai
advice keagamaan yang harus diikuti dan bersifat mengikat. Ghazali adalah ulama’ yang pertama kali berani
membuat garis demokrasi antara mana yang “Arabis” dan mana yang “Islamis”. Lihat Abdurrahman Wahid,
Islamku,Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: TheWahid Institute, 2006) hal. 244.
28Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010) hal 72.
27
14
dikenal sebagai figur karismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta bahkan pada orang
yang mengkritiknnya dan para penentangnya.
KH. Abdurrahman Wahid yang disebut-sebut sebagai orang yang hebat bahkan
wali –bagi para pendukungnya- yang ucapan dan tindakannya selalu jauh diatas jangkauan
pemahaman manusia kebanyakan, lah pembicaraannya sulit dipegang atau plin plan. Bahkan
Barton mengungkapkan untuk memahami seorang KH. Abdurrahman Wahid, kita perlu
mengetahui dunia keagamaan yang didiaminya.29
Walhasil, KH. Abdurrahman Wahid adalah sosok dengan sederet label sosial yang
pernah meramaikan panggung politik Indonesia menyusul kejatuhan orde baru 21 Mei
1998. Ia pernah menjadi presiden keempat Indonesia setelah BJ. Habibie turun dari
jabatannya. Wacana demokratisasi yang ia usung selama menjadi presiden tidak bisa
dilepaskan dari perjalanan panjang. Dan sepak terjang sosok KH. Abdurrahman Wahid
yang selalu memperjuangkan demokrasi lewat berbagai forum yang ia ikuti. Kendati banyak
pula yang menanyakan dimana watak dan jiwa demokratisnya ketika ia mengeluarkan dekrit
presiden untuk membubarkan DPR/MPR dan membekukan Partai Golkar. Sebab, dekrit
yang dikeluarkan oleh sebuah rejim merupakan musuh besar demokrasi.30
Meski predikat tokoh kontroversial, plin plan, tidak konsisten, semaunya sendiri
dan sejenisnya sudah melekat dalam dirinya, namun sepak terjang dalam memperjuangkan
bangsa lewat gebrakan anehnya tidaklah sedikit yang hanya bisa dihitung dengan hitungan
jari. Bahkan Ali Machsan Moesa mengibaratkan KH. Abdurrahman Wahid ini seperti bemo
yang sering tiba-tiba berbelok tanpa memberikan lampu sein, sehingga orang-orang
dibelakangnya sulit menduga dan mengikutinya.31
Dikalangan internal NU, gaya KH. Abdurrahman Wahid sebenarnya sudah
dipersoalkan sebelum ia terpilih menjadi ketua umum PBNU sebagai Muktamar ke-27 di
Situbondo 1984. Sebab selain masih muda, ia belum juga menunaikan ibadah haji dan
dikenal sebagai budayawan. Karena itu bagaimana mungkin ia harus memimpin organisasi
tempat para ulama tersebut. Namun dengan restu sesepuh NU, KH. As’ad Syamsul Arifin,
KH. Abdurrahman Wahid lolos menjadi ketua umum.
Tentang apa yang diperjuangkan KH. Abdurrahman Wahid di ranah politik, tidak
luput dari satu-satunya tujuan asas Pancasila. Bahkan dia disebut sebagai Nasionalis dari
para seorang pemikir Islam.32 Terbukti ketika ia mengatakan bahwa pancasila adalah
serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup
bernegara yang mutlak diperjuangkan. Seperti ungkapannya “Saya mempertahankan Pancasila
yang murni dengan jiwa raga saya”. Ia tak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir
tentara maupun sekelompok umat Islam. Hal ini tidak hanya diucapkannya saja, namun ia
telah membuktikan dengan menampilkan pancasila sebagai jawaban atas masalah-masalah
inti dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan. KH. Abdurrahman Wahid membangun
citra dirinya sebagai pendukung kuat idealisme Negara Pancasila. Bagi KH. Abdurrahman
Wahid, toleransi beragama yang secara implisit terkandung di dalam Pancasila merupakan
prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan sebuah masyarakat demokratis di negeri
ini.33
3. Tema Kebudayaan
Greg Barton, Gus Dur, the Authorized ..., hal. 61.
Feillard, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LkiS, 1994) hal. 190.
31Ibid, hal. 210.
32Nur Khalik Ridwan, Gus Dur dan Negara Pancasila (Yogyakarta: Tanah Air, 2010) hal. 106.
33Ibid, hal. 105.
29Lihat
30Andree
15
KH. Abdurrahman Wahid yang merupakan seorang budayawan dan pernah
memperdalam keilmuan sastra Arab, terbukti ia tidak bisa melupakan sebuah kitab berjilidjilid yang populer dikalangan para peneliti Barat yaitu Mu’jamul Udaba’ yang sering juga
disebut “Irsyad al-Arib fi Ma;rifat al-Adib” karya Yaqut Hamawi yang merupakan ensiklopedi
para pujangga dan sastrawan Arab yang populer dari masa ke masa. Terbukti juga ketika
Agus Maftuh Abegebril bersamanya dalam perjalanan dalam satu mobil menuju kawasan
jalan Parangtritis Yogyakarta, tidak hanya kitab-kitab berat yang ia rekam dalam RAM
(Random Access Memory)nya, namun suara penyanyi kontemporer Libanon pun ia
menghafalnya.
Pemikiran Pluralisme Kebangsaan KH. Abdurrahman Wahid
Marzuki Wahid,34 dalam sebuah hasil penelitian tentang Peta Intelektualisme dan
Tema Pokok Pemikiran Gus Dur: Studi Tulisan-tulisan Gus Dur Tahun 1970-an hingga
2000 menemukan sebanyak 493 tulisan KH. Abdurrahman Wahid. Jika ditambah dengan
karya tulisnya sejak tahun 2000 hingga akhir hayatnya tahun 2009, maka tidak kurang dari
600 buah tulisan yang telah dihasilkan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Marzuki Wahid
dalam penelitian tersebut berhasil mengklasifikasikan tulisan KH. Abdurrahman Wahid
menjadi tujuh klasifikasi: pandangan dunia pesantren, pribumisasi Islam, keharusan
demokrasi, finalitas negara-bangsa Pancasila, pluralisme agama, humanitarianisme universal,
dan antropologi kiai.
Dari klasifikasi peta pemikiran KH. Abdurrahman Wahid di atas nampak bahwa
KH. Abdurrahman Wahid adalah seorang yang sangat produktif menghasilkan karya tulis
dengan beragam isu-isu penting kebangsaan Indonesia. Sebagian isu-isu penting tersebut
yang memperoleh perhatian serius KH. Abdurrahman Wahid adalah masalah pluralisme
agama. Hal ini barangkali sesuatu yang sangat wajar karena KH. Abdurrahman Wahid
menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia adalah sebuah negara dengan tingkat keragaman
yang sangat tinggi bila dilihat dari berbagai realitas, baik etnis, budaya, maupun agamaagama yang ada.
Namun demikian, berkaitan dengan wacana pluralisme agama Nur Syam
mengingatkan bahwa pluralisme agama yang dimaksud adalah bukan semangat menganggap
semua agama sama.35 Lebih jauh ia menguraikan:
Ada yang menarik di dalam suatu kesempatan peringatan 40 hari wafatnya Gus
Dur di Masjid Al-Akbar Surabaya, di mana Gus Sholah, adik Gus Dur, mengungkapkan
tentang bagaimana cara dan substansi Gus Dur di dalam memandang pluralisme.
Dinyatakan bahwa Gus Dur membagi pluralisme dalam dua sisi, yaitu pluralisme teologis
dan pluralisme sosial.
Di dalam pluralisme teologis, maka seseorang berkeyakinan bahwa semua agama
secara teologis sama. Ada satu Tuhan yang diyakini oleh semua penganut agama. Tuhan itu
hakikatnya satu. Hanya penyebutannya saja yang berbeda. Bisa disebut Allah (menurut
orang Islam), atau Allah (menurut orang Kristen), Yahweh (menurut orang Yahudi),
Ahuramazda (menurut orang Majusi), Sang Hyang Widhi (menurut orang Hindu) atau Sang
Budha (menurut orang Budha) dan sebagainya. Sebutan itu hanyalah nama, akan tetapi
hakikinya adalah Tuhan yang satu saja.
34http://fahmina.or.id/artikel-a-berita/artikel/783-peta-intelektualisme-dan-tema-pokok-pemikiran-gus-
dur-studi-tulisan-tulisan-gus-dur-tahun-1970-an-hingga-2000.html
35 Nur Syam, “Sekali Lagi Pluralisme Gus Dur” dalam http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=879
16
Konsekuensi dari kesamaan Tuhan itu juga akan berimplikasi pada upacara ritual
yang akan dan harus dilakukan. Di dalam pluralisme teologis, tentu tidak ada perbedaan
upacara ritual antara satu agama dengan lainnya. Misalnya seperti keyakinan yang dibangun
oleh Anand Khrisna, maka yang penting adalah melakukan meditasi yang dirancang
berbasis pada pengalaman spiritualnya. Bisa jadi orang tidak perlu shalat lima kali dalam
sehari. Cukup semedi saja.
Jika menggunakan tolok ukur seperti ini, pastilah Gus Dur bukan orang yang bisa
dilabel dengan pluralisme teologis itu. Gus Dur adalah orang yang menjalankan syariat
Islam secara formal. Beliau lakukan upacara ritual Islam secara sangat memadai. Bahkan
mungkin telah memasuki dunia maqamat yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang awam
dalam bidang agama. Bahkan juga sangat mungkin beliau telah memasuki dunia beragama
yang esoteris, yang mendalam sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi atau kaum
tarekat.
Gus Dur adalah penganut pluralisme sosial. Menurut Gus Sholah bahwa di dalam
pluralisme sosial, maka terdapat pesan agama yang hakikatnya sama, yaitu pesan
kemanusiaan. Semua agama mengajarkan tentang kemanusiaan, misalnya kasih sayang,
persaudaraan, cinta kasih, tolong menolong dan sebagainya. Tidak ada satu pun agama yang
mengajarka agar merusak alam, merusak persaudaraan, mengembangkan konflik sosial dan
sebagainya. Di dalam pluralisme sosial ini, maka seseorang akan mengakui keberadaan
orang lain yang beragama lain. Di dalam konsepsi ini, maka semua agama menjunjung
tinggi kemanusiaan. Koridor kemanusiaan itulah yang menyebabkan Gus Dur dan juga
penganut pluralisme sosial lainnya untuk bisa duduk, berbicara dan saling mendatangi
pertemuan yang dibingkai oleh kebersamaan itu. Orang seperti Gus Dur sudah sampai
tahapan tidak hanya mengakui co-eksistensi tetapi juga pro-eksistensi. Tidak hanya
mengakui keberadaan penganut agama lain dengan keyakinan dan praktik ibadahnya tetapi
juga mengakui pentingnya kerjasama antar penganut agama. Common enemy yang mereka
hadapi adalah kemiskinan, ketertinggalan dan sebagainya.
Apa yang diuraikan oleh Prof. Nur Syam di atas sejalan dengan testimoni yang
disampaikan oleh Ahmad Husnul Hakim IMZ. Ia adalah salah seorang pengajar yang di
Pesantren Ciganjur dimana KH. Abdurrahman Wahid adalah pendiri dan pengasuh
pesantren tersebut. Lebih detail Ahmad Husnul Hakim menjelaskan:36
Semasa hidup, Gus Dur terkenal sebagai sosok penuh kontroversi. Gaya
komunikasinya luwes dan bisa menyesuaikan dengan bahasa audiensi. Ketika bicara di
hadapan khalayak akademik, bahasa yang digunakan adalah bahasa akademik, dan jika
berceramah di hadapan masyarakat pedesaan, bicaranya dengan bahasa mereka. Begitu juga
ketika bicara di pesantren.
Selaku pengajar di Pesantren Ciganjur, tidak jarang saya mendengar ceramahnya
yang berbeda dengan kesan di luar. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika
dia mengatakan, ”Sebagai seorang muslim, saya harus yakin bahwa Islam adalah yang paling
benar. Saya tidak mungkin menganggap agama orang lain sama-sama benarnya seperti
agama saya. Bagaimana mungkin saya menganggap mereka bisa masuk surga seperti saya,
la wong mereka menganggap kita-kita ini adalah kaum sesat yang harus diselamatkan.”
Ungkapan tersebut memang tampak janggal jika disampaikan oleh Gus Dur,
sosok yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme. Namun begitulah kenyataannya. Ungkapan
tersebut tampak begitu polos dan jujur. Merujuk pada pernyataan tersebut, pertanyaan yang
muncul adalah konsep pluralisme seperti apa yang dijalani Gus Dur semasa hidupnya?
36
Ahmad Husnul Hakim IMZ, “Rahasia Pluralisme Gus Dur” dalam http://pusaka.ptiq.ac.id/?p=47
17
Bagaimanapun Gus Dur adalah anak biologis dan ideologis kaum santri tulen.
Ayah, Ibu, dan kakeknya adalah pemimpin organisasi Islam tradisional terbesar di
Indonesia. Mereka lahir dan dewasa dalam lingkungan pesantren, yang sangat kental dengan
ajaran agama yang ketat. Meski begitu, Gus Dur dan ayahnya, KH. Wahid Hasyim adalah
sosok pembaharu dalam tradisi pesantren dan menguasai khazana pemikiran Islam klasik
dan modern, serta memahami pemikiran Barat. Hingga wafat, Gus Dur juga selalu
mengikuti perkembangan dunia kontemporer.
Setidaknya ada tiga ayat Alquran yang selalu dikutip Gus Dur dalam ceramah di
Pesantren Ciganjur, yaitu: “Tidak ada paksaan dalam agama”; “Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku”; dan “Agama (yang diridai) di sisi Allah adalah Islam”. Dari ketiga ayat yang sering
disampaikan tersebut menunjukkan bahwa Gus Dur memegang teguh dan bersikap
konsistens terhadap agamanya, bahkan bisa dibilang, Gus Dur bersikap “intoleransi” dalam
berteologi.
Namun demikian dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur
menunjukkan sikap yang berbeda. Dia menunjukkan sikap menghormati terhadap pilihan
agama dan keyakinan orang lain sebagai realisasi prinsip kebebasan dalam beragama dan
berkeyakinan. Oleh karena itu, Gus Dur cenderung menunjukkan sikap reaktif terhadap
siapa saja, baik individu atau lembaga yang berusaha menghalangi orang lain untuk mencari
kebenaran yang diyakininya.
Terkait kasus Ahmadiyah, misalnya, Gus Dur menyatakan bahwa Ahmadiyah
adalah keliru. Akan tetapi mereka adalah warganegara sah yang harus dilindungi oleh
undang-undang. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembelaan dia terhadap
kelompok Ahmadiyah lebih pada upaya melindungi kelompok-kelompok dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, bukan membenarkan ajarannya.
Gus Dur juga pernah berpendapat bahwa dirinya tidak setuju terhadap seorang
muslim yang menyatakan agama orang lain adalah benar sebagaimana kebenaran agamanya.
Dia lebih suka mengatakan,“Semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran”. Dari
kedua pendapat tersebut, dia menunjukkan terdapat perbedaan substansial dalam beragama.
Dia tidak mau terlibat terlalu jauh ke dalam urusan kebenaran yang diyakini oleh orang lain
tersebut. Sebab, menurut dia, setiap orang akan mempertanggungjawabkan keyakinannya
sendiri-sendiri di hadapan Tuhan.
Di sini Gus Dur memberi contoh kepada para tokoh muslim maupun nonmuslim,
bagaimana harus bersikap dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan tanpa kehilangan identitas. Dia membedakan secara jelas mana wilayah
privat dan mana wilayah publik.
Melalui pandangan dan sikap tersebut, konsep pluralisme yang dijalani oleh Gus
Dur tampak berbeda dengan konsep pluralisme yang digunakan sebagai dasar MUI dalam
menetapkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme. Konsep pluralisme
yang dijalani Gus Dur bukan pluralisme dalam pengertian suatu paham yang mengakui
semua agama-agama benar.
Akan tetapi, konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur lebih dekat pada konsep
yang menyatakan bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang
mengatur diri sendiri dan saling berhubungan serta berdampingan, namun masing-masing
kelompok tersebut mempunyai eksistensi yang berbeda, sebagaimana konsep yang
diusulkan oleh J.S. Furnivall (1948) dan dikembangkan oleh L. Kuper dan M. G. Smith
(1969). Konsep tersebut lebih terkait dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara secara
umum, bukan spesifik dengan urusan agama. Dengan demikian, konsep pluralisme yang
terkait secara khusus dengan masalah agama, sebagaimana yang digunakan MUI beberapa
18
tahun lalu, perlu dibatasi dalam konsep yang spesifik, yaitu konsep ”pluralisme agama”,
sehingga konsep pluralisme tidak mengalami kerancuan makna.
Sejalan dengan hal di atas, tidaklah mengherankan jika, Greg Barton
-penulis
biografi KH. Abdurrahman Wahid- menyatakan bahwa KH. Abdurrahman Wahid adalah
sosok yang sangat concern membela kemanusian dalam kerangka hidup berkebangsaan tanpa
membedakan suku dan agama. Oleh karena itu menurut Greg Barton, 37 salah satu aspek
yang sangat mudah dipahami dari sosok KH. Abdurrahman Wahid adalah pemikirannya
tentang pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China Indonesia,
juga penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan pada masa
pemerintahan Soeharto. Dengan bahasa lain KH. Abdurrahman Wahid dapat dipahami
sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu
beragam, dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam
itu sendiri. lebih dari itu, KH. Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh spiritual dan
tokoh moderat yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi.
Greg Barton juga menyatakan bahwa ada satu pertanyaan mendasar yang sering
diungkapkan kalangan “barat” terhadap KH. Abdurrahman Wahid, bagaimana bisa terjadi
seseorang yang begitu mencintai agamanya dan khususnya sub-kultur agamanya tempat ia
tumbuh, mampu menjadikannya seorang yang pluralistik dan non-chauvinis.38 Salah satu
idiom popular barat modern atau budaya yang terbaratkan adalah bahwa hanya dengan
melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran, kenyataan ini tidak berlaku
bagi KH. Abdurrahman Wahid.
Dalam buku Demokrasi Aja Kok Repot; Retorika Politik KH. Abdurrahman Wahid
dalam Proses Demokrasi di Indonesia, Nur Kholisoh menyatakan bahwa menurut KH.
Abdurrahman Wahid, Islam sangat menghargai pluralitas dalam kehidupan masyarakat yang
merupakan inti dari ajaran demokrasi.39 Bagi KH. Abdurrahman Wahid, penolakan
terhadap pluralitas atau kebhinekaan yang ada di Indonesia dapat diartikan sebagai
penolakan terhadap sunnatullah. Kebhinekaan dalam realitas masyarakat Indonesia
sesungguhnya merupakan kekuatan bangsa yang harus dihargai dan diakui keberadaannya.
Hal ini bertentangan dengan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang
justru menerapkan doktrin penyeragaman di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Di
masa Orde Baru ketika itu ada masyarakat etnik dan kultur tertentu yang cenderung diberi
ruang nyaman di segala sektor kehidupan. Sementara di pihak lain ada etnik dan kultur
tertentu yang mengalami marginalisasi.40
Sementara itu dalam hal pluralisme, dengan tidak memedulikan pemahaman orang
lain yang kontra dengannya, KH. Abdurrahman Wahid menganggap pluralisme adalah
memberikan kesempatan yang sama bagi semua agama, karena setiap agama mempunyai
hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan aturan-aturan
yang dimilikinya. Dengan demikian pluralisme bertujuan menumbuhkan kehidupan yang
harmonis diantara keberagaman yang ada, termasuk pluralisme agama sehingga dapat hidup
berdampingan dan saling kenal satu sama lain.41
Salah satu tulisan penting KH. Abdurrahman Wahid yang berhubungan dengan
masalah pluralisme sekaligus menunjukkan kepeduliannya terhadap hubungan antar umat
37 Greg Barton, Sebuah Pengantar memahami KH. Abdurrahman Wahid. Untuk lebih jelasnya lhat dalam
Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, Jogyakarta, 1999), hal. xxiii.
38Ibid.
39Nur Kholisoh, Demokrasi Aja Kok Repot; Retorika Politik KH. Abdurrahman Wahid dalam Proses Demokrasi
di Indonesia (Yogyakarta, Pohon Cahaya, 2012) hal. 147.
40Ibid., hal 148.
41Ibid., hal. 152.
19
beragama di Indonesia yang harmonis adalah berjudul Islam dan Hubungan Antarumat
Beragama di Indonesia. Tulisan ini pernah dimuat dalam http://www.gusdur.net. Untuk lebih
jelasnya tulisan tersebut adalah sebagai berikut:42
Hubungan antarumat beragama di Indonesia tampaknya kembali mengalami
cobaan dan ujian berat dua tahun terakhir ini. Kalau diikuti dengan cermat tampak bahwa
hal ini masih akan berlangsung cukup lama. Memulihkan hubungan yang semula tampak
harmonis dan kemudian mengalami keretakan, bukanlah hal yang mudah. Namun, masa
depan kita sebagai bangsa banyak bergantung kepada kemampuan pemulihan hubungan
itu. Kegagalan dalam hal ini dapat mengakibatkan ujung traumatik yang mengerikan:
terpecah-belahnya kita sebagai bangsa. Karenanya, mau tidak mau kita harus
mengerahkan kemampuan sekuat tenaga untuk mewujudkan pemulihan hubungan
antarumat beragama itu. Untuk keperluan itu, kita terlebih dahulu harus memahami
sebab-sebab paling dasar dari retaknya hubungan dan sisi-sisi multidimensional dari
kemelut yang dihadapi. Tanpa mengetahui penyakitnya, tentu tak akan ditemukan
obatnya, dan penyembuhan tidak akan mungkin dilakukan.
Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti
bangsa kita, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara
beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya.
Kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling tidak
tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka. Dengan kata lain,
suasana optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan sekadar sangat
kurangnya kesalahpahaman.
Pola hubungan "harmonis" seperti itu, dengan sendirinya tidak memiliki daya
tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik,
ekonomi, dan budaya. Kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh, yang mungkin
dapat diistilahkan dengan ungkapan dari masa Perang Dingin antara negara-negara
adikuasa dahulu: hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence).
Sudah tentu kedamaian yang terselenggara hanyalah sekadar sikap
bertetangga baik, tanpa rasa senasib dan sepenanggungan di antara orang yang merasa
sesama bersaudara. Hubungan baik yang disifati hanya oleh tatakrama dan rasa saling
menghormati secara lahiriah belaka. Persambungan rasa tentu akan sangat sedikit terjadi
dalam keadaan demikian.
Perbedaan sikap dan pandangan, apalagi perbenturan kepentingan, dapat
membuat ketenangan suasana sewaktu-waktu berubah menjadi kebalauan. Mereka
yang tadinya saling menghormati, tiba-tiba dapat bersikap saling menyalahkan. Mereka
yang tadinya santun satu sama lain, sekonyong-konyong dapat bersikap saling
menyalahkan. Suasana kejiwaan yang dipenuhi rasa terkejut karena semula keadaan baikbaik saja, menambah intens rasa "kehilangan" ketenangan semula. Hal itu lalu
memperbesar rasa tambah parahnya keadaan lebih dari kenyataan yang sebenarnya
berlangsung.
Dari apa yang diuraikan di atas, menjadi nyata bagi kita, bahwa masalah
pokok kita dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah pengembangan rasa saling
pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang
kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain,
bukan hanya sekadar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling
memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.
42http://www.gusdur.net/pemikiran/Detail/?id=47/hl=id/Islam_Dan_Hubungan_Antarumat_Beraga
ma_Di_Indonesia.
20
Karena Islam adalah agama golongan penduduk mayoritas bangsa kita, maka
menjadi sangat menyedihkan, bahwa sampai hari ini masih sangat luas sikap negatif
mereka kepada pihak-pihak lain. Materi khotbah dan ceramah para pemimpin Islam, dari
kalangan ulama hingga kalangan cendekiawan, masih berubah sewaktu-waktu menjadi
sangat memprihatinkan.
Memang mayoritas bangsa kita, yang notabene, beragama Islam, masih
dicengkam oleh kemiskinan dan kebodohan, sehingga mudah "dirayu" untuk berpindah
agama secara murahan. Kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi
gerakan Islam untuk memajukan umat mereka. Ini berarti keharusan untuk melakukan
transformasi multidimensional atas kehidupan umat yang mereka pimpin, bukannya
mencari kambing hitam atas keterbelakangan dan ketertinggalan sendiri.
Ini tidak berarti, para pemimpin Islam di segenap tingkatan harus menutup
mata terhadap semua ekses yang terjadi dalam kehidupan beragama di negeri kita.
Harus diambil langkah-langkah untuk menangani dan mencegah terulangnya eksesekses itu, termasuk cara penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh
sementara kelompok penganut agama dari golongan minoritas. Namun, cara
penanganan dan penangkalan haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus
melakukan generalisasi terhadap semua warga umat dari agama tersebut.
Tentu kaum muslimin di negeri kita tidak mau dipersalahkan atas kegiatan
negatif yang dilakukan oleh minoritas muslimin di negeri-negeri lain. Kita hanya mampu
mendudukkan masalah ini secara proporsinal. Kenyataan sederhana ini dan kearifan seperti
dituntut di atas, memang tidak mudah untuk diwujudkan, apalagi untuk dikembangkan
dalam lingkup, yang luas. Namun, kita tidak punya pilihan lain, kalau masih diinginkan
bangsa kita yang demikian heterogen dapat mengembangkan diri menjadi bangsa yang
kukuh sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad ke-21 nanti.
Semua pihak di kalangan kaum muslimin memikul tanggung jawab untuk
menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa kita, karena hanya
dengan cara demikian Islam dapat tumbuh menjadi kekuatan pelindung bagi seluruh
penduduk negeri ini secara keseluruhan.
Dalam sebuah acara Catatan Akhir Tahun 2008, 43KH. Abdurrahman Wahid
menyatakan bahwa selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang
mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia.
Menurut KH. Abdurrahman Wahid, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat
ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia
mengalami krisis identitas. Salah satu cara mengatasinya adalah bangsa Indonesia harus
membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak
akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-undang Dasar negara.
Ironisnya, batasan itu belum pernah dibicarakan bangsa. Akibatnya terjadi pertentangan
antara kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan kelompok yang menganggap
bahwa Indonesia ini merupakan kesatuan dari sejumlah pandangan-pandangan. Namun
perbedaan itu tetap harus didialogkan dengan konsekuensi satu sama lain harus sama-sama
menenggang rasa.
Padahal, menurut KH Abdurrahman Wahid tradisi menghargai perbedaan itu
sudah terlihat sejak jaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa sebelum bangsa
Indonesia berdiri. Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit telah tercetus semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yaitu Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Prinsip yang dicetuskan
43http://wahidinstitute.org/Networks/Detail/?id=78/hl=id/Catatan_Akhir_Tahun_
2008_Gus_Dur_Pluralisme_Di_Indonesia_Mengalami_Krisis
21
Mpu tantular ini digunakan sampai sekarang oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian jejak
sejarah itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah lahan yang bagus untuk mengadakan
perjumpaan-perjumpaan atau mengadakan toleransi yang tinggi. Hal ini adalah konsekuensi
dari hidup serba plural. Karenanya kalau ada yang menganggap dirinya lebih berkuasa dari
lain-lain, maka namanya dia tidak mengerti kondisi Indonesia.44
Jika dilacak dari spirit utama pemikirannya, pembelaan KH. Abdurrahman Wahid
terhadap kemanusiaan tanpa diskriminasi bersumber kepada keyakinan teguhnya terhadap
watak universalisme ajaran Islam. Dalam kaitan ini KH. Abdurrahman Wahid menyatakan
bahwa salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah
lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga
masyarakat, baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu
tersebar dalam literatur hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah kuno, yaitu jaminan dasar akan (1)
keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu alnafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah
agama (hifdzu al-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl); (4) keselamatan
harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum
(hifdzu al-mal); dan (5) keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-‘aqli).45
Untuk lebih detailnya KH. Abdurrahman Wahid menguraikan satu persatu apa
yang dimaksud dengan lima jaminan dasar tersebut. Tentang hifdzu al-nafs, KH.
Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa jaminan keselamatan fisik warga masyarakat
mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada
semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan
kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak
dan derajat antara sesama warganya. Sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang
menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan pandangan
hidup atau worldview atau weltanschauung yang paling jelas universalitasnya adalah pandangan
tentang keadilan sosial.46
Sementara itu terhadap pentingnya toleransi atas perbedaan-perbedaan (hifdzu aldin), terutama perbedaan keyakinan masing-masing agama, KH. Abdurrahman Wahid
menjelaskan bahwa jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi
para warga masyarakat melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling
hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan
saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan
penindasan, kesempitan pandangan, dan kedzaliman terhadap kelompok minoritas yang
berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia
membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia.47
Selanjutnya KH. Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa sejarah persekusi dan
represi adalah sejarah “orang besar” walaupun sasarannya selalu “orang kecil” yang selalu
menjadi korban. Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan, “wong cilik”
membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat.
Justru toleransilah sebenarnya yang mampu melakukan transformasi sosial dalam skala
massif sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama membuktikan bahwa munculnya agama
sendiri sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan yang
44Ibid.
45Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The
Wahid Institute, 2007) hal. 4-5.
46Ibid., hal 5.
47Ibid.
22
berwatak menindas. Seperti dibuktikan oleh sejarah Islam dengan dobrakannya atas
ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut bangsa Arab waktu itu.48
Mengakhiri penjelasan tentang jaminan dasar atas keselamatan keyakinan agama
masing-masing, KH. Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa dengan tauhid Islam
menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika
perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keimanan, tentunya
sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik
dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini bahwa Islam melalui ajarannya memiliki
pandangan universal yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan. 49
Untuk jaminan dasar akan keselamatan keluarga (hifdzu al-nasl) menurut KH.
Abdurrahman Wahid Islam menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam
kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat
mungkin. Karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, maka tidak boleh dijadikan
ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga
inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. 50
Dalam memberi penjelasan tentang jaminan dasar keselamatan keluarga, ternyata
KH. Abdurrahman Wahid masih mengaitkan dengan penjelasannya terhadap jaminan
berkeyakinan. KH. Abdurrahman Wahid menambahkan bahwa dalam kelompok
masyarakat lebih besar selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran
secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran,
kelompok supra keluarga senantiasa mencoba menghilangkan atau setidak-tidaknya
mempersempit ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi
dengan pandangan hidupnya sendiri dan untuk menguji garis batas kebenaran sebuah
keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan
kebenaranmasing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan
kebebasan untuk mekakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk
keimanan dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri.51
Selain hal di atas, KH. Abdurrahman Wahid juga menjelaskan bahwa disamping
kebenaran dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberikan peluang bagi
pencapaian kebenaran melalui proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang
memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam
memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyarakatan terkecil yang bernama
keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihanpilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga karena keluarga berfungsi
mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar. 52
Dalam menjelaskan jaminan keselamatan harta benda (hifdzu al-mal), KH.
Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa jaminan tersebut merupakan sarana-sarana bagi
berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional.53 Sementara dalam
menjelaskan jaminan dasar keselamatan profesi (hifdzu al-‘aqli), KH. Abdurrahman Wahid
memberikan ulasan bahwa jaminan dasar tersebut berarti kebebasan melakukan pilihanpilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang
membayanginya.54
48Ibid.,
49Ibid.,
50Ibid.
51Ibid.,
hal 5-6.
hal 6.
52Ibid.,
hal 6-7.
hal. 7.
54Ibid.,
hal. 8.
53Ibid.
23
Nilai Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Pluralisme Kebangsaan KH.
Abdurrahman Wahid
Menurut Tobroni,55 istilah nation and charakter building adalah istilah klasik dan
menjadi kosa kata hampir sepanjang sejarah modern Indonesia terutama sejak peristiwa
Sumpah Pemuda 1928. Istilah ini mencuat kembali sejak tahun 2010 ketika pendidikan
karakter dijadikan sebagai gerakan nasional pada puncak acara Hari Pendidikan Nasional
20 Mei 2010. Latar belakang munculnya pendidikan karakter ini dilatarbelakangi oleh
semakin terkikisnya karakter sebagai bangsa Indonesia, dan sekaligus sebagai upaya
pembangunan manusia Indonesia yang berakhlak budi pekerti yang mulia.
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “character”, yang antara
lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.
Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana
manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri.
Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang
atau sekelompok orang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga
diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan
akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang
berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang
tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik. 56
Wacana pendidikan karakter semakin menjadi perhatian kolektif, khususnya dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter yang banyak dilontarkan berbagai
kalangan pendidik di Indonesia bisa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan
nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan
karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya,
sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan
kreatif.
Diskursus tentang pendidikan karakter yang digulirkan oleh banyak pihak
dilatarbelakangi oleh kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, seks bebas, dan kasus
narkoba yang mewarnai kehidupan para pelajar sekolah di Indonesia. Meskipun menuai
banyak kritik dan terlepas dari efektifitas dan efisiensinya, namun wacana ini diharapkan
menghasilkan kesadaran bersama dalam praktek pendidikan bahwa pembentukan karakter
adalah sebuah kewajiban. Di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) para guru
diharuskan mencantumkan kata-kata karakter siswa yang diharapkan dibawah tujuan
pembelajaran. Karakter tersebut misalnya; dapat dipercaya (trustworthines), rasa hormat dan
perhatian (respect), tekun (diligence), dan tanggung jawab (responsibility).57
Perjalanan panjang bangsa Indonesia mengalami banyak dinamika. Perubahan
yang bersifat konstruktif maupun destruktif datang silih berganti tiada henti menghiasi
sejarah bangsa Indonesia. Pergulatan panjang menuju Indonesia yang lebih baik dan
sejahtera lahir dan batin tidak semulus harapan para founding fathers negara Republik
Indonesia. Senantiasa ada halangan dan rintangan untuk mencapai cita-cita luhur bangsa
55Tobroni,
“Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam” dalam http://tobroni.staff.
umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/
56Ibid.
57Lihat KTSP, Perangkat Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah
(MTs)
24
Indonesia. Deretan panjang pengalaman-pengalaman buruk di berbagai bidang kehidupan
bangsa ini melahirkan keprihatinan kalangan pendidikan akan pentingnya instropeksi warga
bangsa akan pentingnya menghidupkan kembali pesan-pesan moral pendidikan karakter
yang mulai hilang digerus oleh zaman.
Pendidikan karakter menjadi sangat penting karena beberapa hal yang
melatarbelakanginya:58
1. Memudarnya nasionalisme dan jati diri bangsa
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, jiwa nasionalisme
Indonesia semakin terkikis atau semakin memudar, yang ditandai dengan
berkembangnya semangat individualisme, hedonisme, terorisme dan bahkan
separatisme. Tanda-tanda kerkikisnya nasionalisme ini melanda hampir semua
komponen bangsa baik muda maupun tua, rakyat biasa maupun pejabat negara termasuk
kalangan anggota dewan. Bila angkatan 45 dianggap sebagai generasi pejuang, angkatan
66 sebagai generasi pembangun, dan angkatan 98 sampai sekarang adalah generasi
penikmat dan bahkan penghancur.
2. Merosotnya harkat dan martabat bangsa
Indonesia sejatinya adalah bangsa dan negara besar: negara kepulauan terbesar di
dunia, jumlah umat muslim terbesar di dunia, bangsa multi etnik dan bahasa namun
bersatu, memiliki warisan sejarah yang menakjubkan dan kreatifitas anak negeri seperti
batik, aneka makanan dan kerajinan yang eksotik, kekayaan serta keindahan alam yang
luar biasa. Predikat sebagai bangsa dan negara yang positif itu seakan sirna karena
mendapat predikat baru yang negatif seperti terkorup, bangsa yang soft nation, malas,
sarang teroris, bangsa yang hilang
keramahtamahannya, banyak kerusuhan, banyak
bencana dan lain sebagainya.
3. Mentalitas bangsa yang buruk
Indonesia memiliki modal atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa
besar dan negara yang kuat. Modal itu antara lain: luas wilayah, jumlah penduduk,
kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan
sistem pemerintahan republik yang demokratis. Akan tetapi modal yang besar itu seakan
tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa ini belum terbangun atau belum berubah
ke arah yang lebih baik. Mentalitas bangsa Indonesia yang kurang kondusif atau menjadi
penghambat kejayaan bangsa Indonesia menjadi bangsa maju antara lain: malas, tidak
disiplin, suka melanggar aturan, ngaji pumpung, suka menerabas, dan nepotisme.
4. Krisis multidimensional
Berbagai permasalahan menimpa Bangsa Indonesia seperti masih adanya konflik
sosial di berbagai tempat, sering mengedepankan cara kekerasan dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan, praktek korupsi yang semakin canggih dan massif, sering terjadi
perkelahian antar pelajar, pelanggaran etika dan susila yang semakin vulgar, munculnya
aliran yang dianggap sesat dan cara-cara penyelesaiannya yang cenderung menggunakan
kekerasan, tindakan kejahatan yang mengancam ketenteraman dan keamanan, praktek
demokrasi liberal yang ekstrem dalam berbagai aspek kehidupan sehingga bertabrakan
dengan budaya dan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan bangsa yang religius.
Pada sisi lain melalui dunia pendidikan, Pasal 3 Bab II Undang-undang Republik
Indonesia N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberi amanat
yang sangat berat sekaligus mulia. Bukan hal yang mudah mencapai fungsi pendidikan
nasional berupa mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
58Tobroni,
“Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam”, ibid.
25
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Demikian juga
bukan pekerjaan yang ringan meraih tujuan pendidikan berupa berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menyadari bahwa betapa tidak mudahnya mewujudkan fungsi
dan tujuan
pendidikan nasional dan betapa situasi dan kondisi faktual berupa memudarnya
nasionalisme dan jati diri bangsa, merosotnya harkat dan martabat bangsa, mentalitas
bangsa yang buruk, dan krisis multidimensional, maka mutiara pemikiran KH.
Abdurrahman Wahid menjadi aktual dan kontekstual. Hal ini setidak-tidaknya dari
percikan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang pluralisme kebangsaan, termasuk
pluralisme agama yang berwawasan kebangsaan mampu memberikan kontribusi
konstruktif untuk mencapai kehidupan bangsa Indonesia yang harmoni di tengah-tengah
situasi kemajemukan atau keanekaragaman.
Dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang pluralisme kebangsaan
setidak-tidaknya bisa diambil saripati nilai pendidikan karakter di dalamnya. Dan
tentunya jika dikaitkan dengan 18 karakter mulia yang harus dimiliki oleh setiap peserta
didik pada khususnya, seluruh warga negara pada umumnya, maka pemikiran KH.
Abdurrahman Wahid menemukan relevansinya dan selalu aktual. Kedelapan belas
karakter tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab.
Dari kedelapanbelas karakter tersebut di atas, paling tidak terdapat delapan nilai
pendidikan karakter dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid:
1. Religius
Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain. KH. Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh
yang sangat religius, taat menjalankan keyakinan yang dianutnya. Meskipun tetap
menganggap bahwa hanya Islamlah yang benar, KH. Abdurrahman Wahid tetap
menghormati penganut agama-agama lain.
2. Toleransi
Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Dalam hal
toleransi, KH. Abdurrahman Wahid adalah contoh nyata dalam hal menghormati
perbedaan-perbedaan. Bahkan pada masa KH. Abdurrahman Wahid menjadi presiden
ia memutuskan untuk menjadikan ajaran Kong Hu Cu menjadi agama resmi bagi etnis
Tionghoa.
3. Demokratis
Demokratis adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak
dan kewajiban dirinya dan orang lain. Dalam sejarah bisa dilihat bahwa KH.
Abdurrahman Wahid pernah mendirikan Fordem (Forum Demokrasi) untuk
mengimbangi rezim pemerintahan Soeharto yang otoriter dan represif.
4. Semangat kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya. KH. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai pembela kelompok minoritas
26
di negeri ini tanpa melihat agamanya, sukunya, ideologinya. Hal ini dilakukan karena
KH. Abdurrahman Wahid memiliki wawasan kebangsaan yang besar.
5. Bersahabat/komunikatif
Bersahabat atau komunikatif adalah sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain. Tidak banyak tokoh seperti KH. Abdurrahman
Wahid. Meskipun memiliki perbedaan yang sangat tajam dengan orang atau kelompok
lain, KH. Abdurrahman Wahid mampu menempatkan diri untuk selalu bersahabat
dengan orang lain.
6. Cinta damai
Cinta damai adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain. Sosok KH. Abdurrahman Wahid adalah sosok
yang sangat mencintai kedamaian. Seluruh aktifitas KH. Abdurrahman Wahid selama
hidupnya didedikasikan untuk perdamaian.
7. Peduli sosial
Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sampai menjelang akhir hayatnya, KH.
Abdurrahman Wahid masih sangat konsen dengan masalah yang dihadapi oleh orang
lain. Ketika masih berada di gedung PBNU, hampir setiap hari KH. Abdurrahman
Wahid menerima tamu dengan berbagai latar belakang sosial, agama, profesi, dan lain
sebagainya.
8. Tanggung jawab.
Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Dari berbagai
jabatan yang pernah ia miliki, KH. Abdurrahman Wahid tidak pernah lupa untuk
mempertanggungjawabkannya.
Melengkapi uraian di atas, Alisa Wahid, salah seorang putri KH. Abdurrahman
Wahid bersama-sama dengan komunitas pecinta almarhum telah berhasil merumuskan 9
nilai dasar prisma pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Jika diresapi ke-9 nilai dasar prisma
pemikiran tersebut sebenarnya merupakan nilai-nilai karakter yang bisa dijadikan teladan
bagi warga negara Indonesia, tanpa terkecuali para pelajar atau peserta didik. Ke-9 nilai
dasar prisma pemikiran tersebut adalah: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan,
persaudaraan, pembebasan, kesederhanaan, ksatria, dan kearifan lokal.59
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz MMM, resensi buku novel Sejuta Hati Untuk KH. Abdurrahman KH.
Abdurrahman Wahid, Sebuah Novel dan Memorialkarangan Damien Dematra (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010) dalam http://gp-ansor.org/3027823102011.html
59 Uraian lebih detail tentang hal ini lihat Azzam Anwar, “9 Nilai Prisma Pemikiran Gus Dur” dalam
http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/15/9-nilai-prisma-pemikiran-gus-dur/
27
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,
Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Abdurrahman Wahid, Islamku,Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: TheWahid Institute, 2006.
Ahmad Amir Aziz,Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman WahiD, Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
Ahmad
Husnul Hakim IMZ, “Rahasia
http://pusaka.ptiq.ac.id/?p=47
Pluralisme
Gus
Dur”
dalam
Al-Zastrauw Ng., dalam buku KH. Abdurrahman KH. Abdurrahman Wahid, Siapakah
Sampean?: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan KH. Abdurrahman KH.
Abdurrahman Wahid, Jakarta: Erlangga, 1999.
Andree Feillard, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS, 1994.
Anis Malik Thaha, Tren Pluralisme Agam; Tinjauan Kritis, Jakarta: GIP, 2005.
Argawi Kandito, Ngobrol Dengan KH. Abdurrahman Wahid Dari Alam Kubur, Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2010.
Badan Pengembangan dan Penelitian Kementerian Pendidikan Nasional, Bahan Pelatihan
Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk
Daya Saing dan Karakter Bangsa: Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
Jakarta: Pusat Kurikulum, 2010.
Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran
dan Aksi Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin
Rakhmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.
Greg Barton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta:
LkiS, 2011.
Greg Barton, Sebuah Pengantar memahami KH. Abdurrahman Wahid. Untuk lebih jelasnya lhat
dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Jogyakarta, 1999.
Harry Tjan Silalahi, "Kebangkitan Nasional I: Menemukan, Menumbuhkan, dan
Mengaktualisasikan Kebangsaan" dalam Bantarto Bandoro, J. Kristiadi, Mari
Pangestu dan Onny S. Prijono (Penyunting), Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan
Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies-CSIS, 1995.
http://fahmina.or.id/artikel-a-berita/artikel/783-peta-intelektualisme-dan-tema-pokokpemikiran-gus-dur-studi-tulisan-tulisan-gus-dur-tahun-1970-an-hingga-2000.html
http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/15/9-nilai-prisma-pemikiran-gus-dur/
http://massofa.wordpress.com/2011/11/17/nilai-nilai-yg-dikembangkan-dalam-pendidikan-budaya-dan-karakter-bangsa/
http://nusantaranews.wordpress.com/
http://wahidinstitute.org/Networks/Detail/?id=78/hl=id/Catatan_Akhir_Tahun_
2008_Gus_Dur_Pluralisme_Di_Indonesia_Mengalami_Krisis
http://www.gusdur.net/pemikiran/Detail/?id=47/hl=id/Islam_Dan_Hubungan_Antaru
mat_Beragama_Di_Indonesia.
http://www.nu.or.id/show/pages/625.html
28
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/31/99128-perjalananpendidikan-gus-dur.
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/31/99128-perjalananpendidikan-gus-dur
Iip D. Yahya, KH. Abdurrahman Wahid: Berbeda Itu Asyik, Jakarta: Wahid Institute.
KTSP, Perangkat Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah
(MTs)
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam: dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
M. Hamid, Gus Gerr: Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010.
Mohammad Sobari, Jejak Guru Bangsa Mewarisi Kearifan KH. Abdurrahman Wahid,Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Nur Khalik Ridwan, Gus Dur dan Negara Pancasila, Yogyakarta: Tanah Air, 2010.
Nur Kholisoh, Demokrasi Aja Kok Repot; Retorika Politik KH. Abdurrahman Wahid dalam
Proses Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta, Pohon Cahaya, 2012.
Nur Syam, “KH. Abdurrahman KH. Abdurrahman Wahid dan Pluralisme” dalam
http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=683.
Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 2010.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, 2008.
Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta: Istiqomah Mulya Press,
2006.
Syamsul Bakri dan Mudhofir dalam buku Jombang-Kairo, Jombang- Chicago:Sintesis Pemikiran
KH. Abdurrahman KH. Abdurrahman Wahid dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di
Indonesia, Solo: Tiga Serangkai, 2004.
Syarif Utsman Yahya, KH. Abdurrahman Wahid
Jakarta: The Wahid Institute.
Memilih Kebenaran Daripada Kekuasaan,
Tobroni, “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam” dalam http://tobroni.staff.
umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islampendahulan/
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Bandung: Citra Umbara, 2003.
Download