BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan investasi manusia yang tak ternilai. Investasi ini mendukung manusia untuk beraktivitas dengan optimal. Nutrisi yang baik berperan penting dalam kesehatan, terutama pada awal kehidupan, yaitu ketika bayi. Riordan & Wambach (2010) menyebutkan air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi yang ideal bagi bayi dan berkontribusi untuk pertumbuhannya. ASI adalah makanan pertama dan pilihan terbaik bagi bayi pada awal kehidupannya. ASI memberikan manfaat bagi bayi, seperti nutrisi yang baik, meningkatkan kecerdasan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan secara signifikan mengurangi risiko penularan penyakit infeksi. Manfaat tersebut akan didapat dengan memberikan ASI secara eksklusif pada usia 6 bulan pertama. Huffman, et al. (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sebagian besar kematian bayi di negara berkembang disebabkan oleh penyakit infeksi. Pemberian kolostrum dan ASI secara eksklusif dapat mencegah dan meminimalisir kematian pada bayi tersebut. Manfaat lain akan pemberian ASI eksklusif dipaparkan oleh Scott, et al. (2012) bahwa memberikan ASI pada bayi merupakan strategi protektif untuk melawan obesitas pada anak. Keuntungan menyusui tidak hanya diterima oleh bayi itu sendiri, namun ibu menyusui juga merasakannya. Keuntungan tersebut antara lain (Riordan & Wambach, 2010) menjarangkan kehamilan, mengurangi risiko kanker payudara dan kanker ovarium, lebih ekonomis dan praktis, serta akan memberikan kepuasan tersendiri bagi ibu karena dapat memberikan asupan yang ideal bagi buah hatinya. Sebagai langkah meningkatkan kesehatan dan nutrisi bagi anak-anak, WHO menerbitkan International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes. Pada tahun 1990 diselenggarakan konferensi di Italia dan menghasilkan Deklarasi Innocenti. Memberikan ASI saja atau disebut ASI eksklusif pada 4-6 bulan pertama setelah bayi lahir merupakan kesepakatan konferensi tersebut. Perjalanan 1 2 perhatian dunia tentang menyusui semakin ketat dengan terus menindak lanjuti perkembangan serta upaya dalam mewujudkan pemberian ASI secara eksklusif yang kemudian menetapkan pemberian ASI eksklusifi selama 6 bulan, bukan 4-6 bulan. Selama itu bayi menerima ASI saja tanpa tambahan cairan lainnya, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang pepaya, bubur susu, biskuit, serta bubur nasi dan tim (UNICEF, 2006). WHO menegaskan dalam penelitiannya, menyusui merupakan proses alamiah, anak-anak di seluruh dunia akan tumbuh dan berkembang secara optimal jika mengkonsumsi air susu ibu, serta faktor nutrisi dan lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada faktor genetik dalam pertumbuhan anak-anak (Riordan & Wambach, 2010). Indonesia, dalam pembangunan kesehatannya memasukkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan menjadi salah satu indikator. Bahkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/ Kota menyebutkan bahwa target cakupan ASI eksklusif tahun 2010 adalah 80%. Namun, hingga tahun 2010, target 80% tersebut belum bisa tercapai, yakni hanya 61,5% secara nasional. Secara rinci dari 33 provinsi di Indonesia, hanya ada 1 provinsi yang mendekati nilai tersebut, yaitu Nusa Tenggara Barat dengan 79,7%, sedangkan yang lain masih perlu upaya yang lebih keras (Kemenkes, 2012). Upaya tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan disahkannya PP No. 33 Tahun 2012 tentang ASI eksklusif. Penerbitan peraturan ini menjadikan tidak ada SPM terkait dengan ASI eksklusif melainkan target 100% yang memang ditegaskan untuk ASI eksklusif bagi bayi baru lahir. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mempunyai sarana pelayanan kesehatan dasar yang cukup baik. Akses terhadap pelayanan tersebut juga cukup mudah. DIY mempunyai 121 puskesmas, 44 RSU dan 8 RS Ibu dan Anak. Tersedianya akses pelayanan tersebut tentunya didukung dengan sumber daya kesehatan yang memadai (Dinkes Provinsi DIY, 2012). Sebaran tempat pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan itu sendiri sudah seharusnya menjadi pemudah masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan termasuk informasi serta dorongan untuk pemberian ASI secara eksklusif, bahkan hingga 2 tahun dengan 3 tambahan makanan pendamping. Sukini (2006) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa semakin banyak ibu mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan, maka akan semakin meningkatkan pemberian ASI eksklusif. Pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif ini akan mempengaruhi persepsi ibu terhadap ASI eksklusif itu sendiri, bagaimana kerentanan bayi jika tidak mendapatkan ASI eksklusif, tingkat keparahannya, keuntungannya, serta hambatan yang kemungkinan dilalui ibu. Persepsi ini akan mempengaruhi peluang ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayi mereka (Markus, 2009). Tabel 1 Cakupan ASI eksklusif Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008 – 2010 Wilayah Provinsi Kota Yogyakarta Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Sleman Cakupan ASI eksklusif 2008 2009 2010 30,09 34,56 40,57 32,63 30,91 35,51 38,42 32,54 33,10 28,35 34,23 34,71 67,30 26,41 31,08 39,99 40,21 66,36 Sumber : Profil Data Kesehatan DIY Tahun 2011 Sajian tabel di atas menunjukkan bahwa capaian cakupan ASI eksklusif DIY hingga tahun 2010 belum memenuhi target Standar Pelayanan Minimal (SPM) tahun 2010, yaitu 80%. Cakupan DIY sebesar 40,57% masih di bawah cakupan rata-rata nasional sebesar 61,5%. Pemerintah DIY perlu menyusun strategi dalam penerapan PP ASI eksklusif No 33 Tahun 2012. Peraturan pemerintah ini mengatur pemberian ASI eksklusif kepada bayi dengan tujuan menjamin pemenuhan hak bayi mendapatkan ASI eksklusif pada 6 bulan pertama kelahirannya. Tertulis pula di dalamnya bahwa seorang ibu harus memberikan ASI eksklusif kecuali atas indikasi medis. Perlu dukungan peraturan daerah provinsi, kabupaten/ kota sebagai penguat dan pendukung PP ini, seperti Perda ASI eksklusif yang telah berlaku di Klaten Jawa Tengah. Selayaknya yang tertuang dalam peraturan tersebut, bahwa penyelenggaraan program ASI eksklusif ini juga merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi, kabupaten/kota. 4 K Kota Yogyaakarta 2 taahun berturrut-turut, yaaitu tahun 2008 dan 2009 berada diuurutan keem mpat tingkatt provinsi. Hal H yang saama juga diaalami Kabu upaten Bantul daan penurunnan drastiss pada Kaabupaten Slleman. Padda tahun 2010, 2 penurunann tersebut dibalas d denggan peningk katan cakuppan ASI ekksklusif. Naamun, peningkataan yang diaalami Kota Yogyakartaa masih jauhh dari Slem man yang mampu menggapaai 66,36%. Upaya keesehatan diitingkat kotta sebenarnnya tidak kalah dibandinggkan dengann upaya di kabupaten n. Setiap puuskesmas seelalu melak kukan konseling kesehatann terkait dengan d keesehatan ibbu sebelum m dan sessudah melahirkaan. Koordinnasi dengann posyandu u dan kader kesehatann di setiap p RW selalu dilaakukan setiiap puskesm mas pada seetiap bulann. Namun, uupaya ini belum b mampu mendongkrak m k perilaku pemberian p ASI A eksklussif pada bayyi usia 0-6 bulan. b Cakupan ASI A ekskluusif di setiapp Puskemass di Kota Yogyakarta Y dipaparkan pada Gambar 1. 60..0 Cakupan ASI Eksklusif (%) 50..0 53.8 50.3 4 44.8 44.6 44.3 44 4.1 42.6 42.0 40 0.5 40.1 40.1 39.7 40..0 33.8 33.7 33.5 5 32.4 29.2 30..0 20..0 12.7 10..0 0..0 Gambbar 1. Cakupaan ASI eksklussif tiap Puskessmas di Kota Yogyakarta Y taahun 2011 Sumber : Prrofil Kesehatann Kota Yogyaakarta 2012 5 Gambar 1 tersebut menyajikan fakta kesenjangan capaian ASI eksklusif di setiap puskesmas Kota Yogyakarta. Capaian tertinggi adalah Puskemas Kotagede 1 dan terendah Puskesmas Gondokusuman 2. Hal berbeda dialami Puskesmas Gondokusuman 1, cakupan ASI eksklusif hampir 3 kali lipat Puskemas Gondokusuman 2, yaitu 33,7%. Namun, jika capaian Puskesmas Gondokusuman 1 dan 2 dikemas dalam data satu wilayah kerja Kecamatan Gondokusuman, maka capaian ini adalah yang terendah, yaitu 23,2%. Angka ini sangat jauh dari SPM terdahulu, yaitu 80%, apalagi untuk mematuhi PP ASI eksklusif. Capaian ASI eksklusif 23,2% pada wilayah kerja Kecamatan Gondokusuman jauh dari cakupan kota pada tahun 2011, yaitu 40,24%, sedangkan akses informasi dan pelayanan kesehatan di wilayah ini cukup mudah. Terdapat 2 puskesmas dan 1 puskemas pembantu, beberapa bidan praktik, dan klinik bersalin. Dibley, et al. (2010) berdasarkan hasil penelitiannya merekomendasikan sebuah upaya yang lebih keras harus dilakukan oleh Indonesia untuk praktik ASI eksklusif. Perlu ada tindakan dalam mengurangi konsumsi susu formula pada usia 0-6 bulan bahkan hingga 2 tahun. Seperti hasil penelitian Supratiwi (2008) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menghambat pemberian ASI eksklusif adalah promosi susu formula oleh bidan. Namun, Afifah (2007) menegaskan kembali bahwa perbedaan tempat persalinan dan penolong persalinan tidak menentukan berhasil tidaknya seorang ibu memberikan ASI eksklusif. Apa yang melatarbelakangi 23,2% ibu-ibu di Kecamatan Gondokusuman berhasil memberikan ASI secara eksklusif kepada bayi mereka? Sungguh perbandingan yang cukup jauh antara ibu-ibu yang berhasil memberikan ASI secara eksklusif kepada bayi-bayi mereka di Kecamatan Gondokusuman dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif, yaitu 23,2% berbanding 76,8%. Apa yang membuat sebagian besar ibu-ibu di Kecamatan Gondokusuman tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayi-bayi mereka? Semua perempuan layak diberikan dukungan sosial untuk menyusui anak mereka. Dukungan tersebut penting dalam menentukan durasi pemberian ASI secara eksklusif . 6 B. Perumusan Masalah Hambatan apa yang dialami ibu-ibu menyusui di Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta dalam memberikan ASI eksklusif? C. Tujuan Penelitian Mengkaji hambatan yang dialami ibu-ibu menyusui di Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta dalam memberikan ASI eksklusif. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pengelola program KIA dan gizi di Puskesmas Gondokusuman 1 dan 2, penelitian ini dapat memberikan masukan untuk membuat perencanaan program terkait dengan peningkatan cakupan ASI eksklusif di wilayah kerja mereka. 2. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan untuk meneliti intervensi yang sesuai guna meningkatkan cakupan ASI eksklusif. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang serupa dengan yang dilakukan peneliti telah dilakukan sebelumnya, namun mempunyai persamaan serta perbedaan seperti dijelaskan berikut : 1. Afifah (2007) melakukan penelitian dengan judul Faktor yang Berperan dalam Kegagalan Praktik Pemberian ASI eksklusif (Studi Kualitatif di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang tahun 2007). Studi kualitatif tersebut memilih informan secara pusposive, yaitu berdasarkan tempat ibu melahirkan, yaitu di BPS, RB, RS, dan dukun bayi tanpa membedakan informan ibu yang memberikan ASI eksklusif atau tidak. Peneliti memilih informan dengan 7 membedakan ibu yang memberikan ASI eksklusif dan tidak. Penelitian Afifah (2007) menggunakan teori Green dan Kreuter (2000) tentang 3 faktor yang berkontribusi terhadap perilaku, yaitu faktor predisposing, enabling, dan reinforcing, sedangkan peneliti menggunakan teori Social Support. Hasil penelitian tersebut adalah tempat persalinan tidak mempengaruhi keberhasilan praktik ASI eksklusif. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama penelitian kualitatif dan meneliti faktor yang melatar belakangi ibu menyusui tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayi mereka. 2. Sukini (2006) melakukan penelitian dengan judul Hubungan Pendidikan Kesehatan terhadap Keberhasilan ASI eksklusif di Kabupaten Purworejo. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif, jenis penelitian observasional, dan rancangan penelitian cross sectional. Responden yang dituju adalah ibu menyusui yang mempunyai bayi usia 4-6 bulan. Hasil dari penelitian tersebut adalah pendidikan yang diberikan oleh bidan kepada ibu hamil, melahirkan, dan nifas telah mencapai 92,7%, namun tidak berhubungan secara signifikan dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Begitu juga dengan variabel tingkat pendidikan, pendapatan, umur, dan riwayat melahirkan tidak berhubungan secara signifikan dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Perbedaan dengan penelitian Sukini (2006) adalah jenis penelitiannya dan informan yang dituju. Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dan informan utama yang dituju adalah ibu menyusui dengan bayi usia 6 bulan < usia ≤ 12 bulan. 3. Sudarsono (2008) melakukan penelitian dengan judul Hubungan Persepsi Bidan Desa tentang ASI eksklusif dengan Cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Pemekasan, Jawa Timur. Metode kuantitatif digunakan dalam penelitian tersebut, dengan jenis penelitian observasional dan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian tersebut adalah bidan desa. Penelitian ini menghasilkan 58,3% responden tidak mendukung ASI eksklusif. Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi bidan desa tentang ASI eksklusif dengan cakupan ASI eksklusif. Perbedaan penelitian Sudarsono (2008) 8 dengan yang dilakukan peneliti adalah jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah kualitatif, informan yang dituju adalah ibu menyusui. 4. Supratiwi (2008) melakukan penelitian dengan judul Persepsi, Budaya dan Praktik Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif di Kecamatan Sitiuting Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan informan utama ibu menyusui. Analisis data dilakukan dengan metode constant comparative method. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Green dan Kreuter (2000), yaitu 3 faktor yang berkontribusi terhadap perilau, yaitu faktor predisposing, enabling, dan reinforcing. Informan utamanya adalah ibu menyusui dan informan pendukung dukun terlatih dan bidan. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa ASI tidak keluar pada hari pertama menyebabkan ibu bayi dan bidan memberikan susu formula. Persepsi ibu dan dukun menyebabkan pemberian MP-ASI lebih dini. Budaya yang berkaitan dengan pantangan dan anjuran selama menyusui serta promosi susu formula yang dilakukan oleh bidan dan dukungan yang diberikan orang tua mempengaruhi pemberian ASI ekslusif. Perbedaan penelitian Supratiwi (2008) dengan penelitian ini adalah teori pendekatan yang digunakan berbeda, yaitu peneliti menggunakan Social Support serta informan pendukung yang dipilih adalah petugas kesehatan dan suami dari ibu menyusui. Persamaan dengan penelitian ini adalah cakupan penelitian yaitu 1 kecamatan, informan utama, dan teknik pengumpulan datanya yaitu wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. 5. Markus (2009) melakukan penelitian dengan judul Persepsi Ibu tentang Menyusui hubungannya dengan Perilaku Pemberian ASI di Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya. Metode kuantitatif dengan jenis penelitian observasional dan rancangan cross sectional dipilih untuk penelitian tersebut. Teori perubahan perilaku yang digunakan adalah Health Belief Model. Responden yang dituju adalah ibu menyusui dengan bayi usia 6-12 bulan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa persepsi ibu tentang kerentanan tinggi mempunyai peluang untuk menyusui ASI eksklusif lebih tinggi 9 dibandingkan ibu dengan persepsi kerentanan rendah, persepsi ibu tentang keparahan tinggi mempunyai peluang untuk menyusui ASI eksklusif lebih tinggi dibandingkan ibu dengan persepsi keparahan rendah, persepsi ibu tentang keuntungan tinggi mempunyai peluang untuk menyusui ASI eklsklusif lebih tinggi dibandingkan ibu dengan persepsi keuntungan rendah, dan persepsi ibu tentang hambatan tinggi mempunyai peluang untuk menyusui eksklusif lebih rendah dibandingkan dengan persepsi hambatan rendah. Perbedaan dengan penelitian Markus (2009) adalah jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah kualitatif dan tujuan penelitian dari penelitian Markus (2009) untuk mengetahui persepsi ibu menyusui tentang ASI eksklusif, sedangkan peneliti mempunyai tujuan penelitian untuk mengetahui faktor apa yang melatarbelakangi ibu menyusui tidak memberikan ASI eksklusif. Persamaannya pada kriteria informan yang dipilih, yaitu ibu menyusui yang mempunyai bayi usia 6 bulan < usia ≤ 12 bulan. 6. Evareny (2009) melakukan penelitian dengan judul Peran Ayah dalam Praktik Pemberian ASI di Kota Bukitinggi Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian observasional dan rancangan cross sectional. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara peran ayah dengan praktik pemberian ASI dengan mengikutsertakan variabel pengetahuan ayah, pengetahuan ibu, sikap ayah, dan sikap ibu. Perbedaan dengan penelitian Evareny (2009) adalah dari jenis penelitiannya. Penelitian peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif . Perbedaan yang lain adalah pada tujuan penelitiannya, bahwa Evareny (2009) ingin mengetahui peran ayah dalam praktik ASI eksklusif, sedangkan peneliti ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi ibu menyusui tidak memberikan ASI eksklusif. 7. Olayemi, et al (2007) melakukan penelitian dengan judul The Influence of Social Support on The Duration of Breastfeeding among Antenatal Patients in Ibadan. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suami secara signifikan mendukung keberhasilan istrinya (ibu menyusui) dalam 10 memberikan ASI serta meningkatkan durasi pemberiannya kepada bayi mereka. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada jenis penelitiannya, serta penelitian Olayemi , et al (2007) menekankan pada dukungan keluarga. Sedangkan persamaannya adalah pada teori Social support yang digunakan. 8. Backstrom, Wahn, & Ekstrom, (2010) melakukan penelitian dengan judul Two Sides of Breastfeeding Support: Experiences of Women and Midwives. Penelitian dengan metode kualitatif tersebut dianalisis dengan Content Analysis, pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dengan partisipan perempuan (ibu menyusui) dan bidan. Hasil yang didapatkan adalah seorang perempuan perlu dukungan untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka dan mendapatkan pengakuan tentang status mereka sebagai ibu baru, wanita yang unik, ibu menyusui, ingin didengarkan dan diberi banyak waktu, serta ingin mendapatkan pemahaman lebih dan tindak lanjut dari professional kesehatan. 9. Barona (2009) melakukan penelitian berjudul A qualitative approach to social support and breast-feeding decisions. Metode penelitiannya adalah kualitatif dengan wawancara dan FGD sebagai teknik pengumpulan data. Setting tempat adalah 4 buah tempat pelayanan kesehatan dengan partisipan ibu hamil. Hasil dari penelitian tersebut adalah perempuan dan pengalaman pribadinya tentang dukungan sosial baik formal maupun informal dalam menyusui berkaitan erat dengan usia dan status sosial budaya mereka. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada setting tempat yang diambil serta partisipan yang dilibatkan, sedangkan persamaannya terletak pada teori Social support yang digunakan. 10. Afiyanti & Juliastuti (2012) melakukan penelitian dengan judul Exclusive Breastfeeding Practice in Indonesia. Penelitian dengan metode kualitatif ini dianalisis dengan grounded theory dan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa keberhasilan pemberian ASI eksklusif di Indonesia dikarenakan keyakinan ibu-ibu menyusui di Indonesia bahwa mereka memproduksi ASI yang cukup. Perbedaan dengan penelitian ini adalah analisis yang digunakan, peneliti 11 menggunakan thematic content analysis. Perbedaan yang lain terletak pada teknik pengumpulan data yang digunakan, peneliti tidak hanya menggunakan wawancara namun juga FGD. Persamaannya adalah metode penelitian yang digunakan serta salah satu teknik pengumpulan datanya, yaitu wawancara.