BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan
kemakmuran di negara berkembang banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan
peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner,
hipertensi, hiperlipidemia, termasuk DM. Indonesia menempati urutan keempat
dengan jumlah penderita DM terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika
Serikat, dengan prevalensi 8,4 % dari total penduduk pada tahun 2000.
Diperkirakan 171 juta penduduk di seluruh dunia menderita DM yang
diproyeksikan meningkat dua kali pada tahun 2030 menjadi 366 juta orang dengan
prevalensi mencapai 4,4 % (Suyono, 2007 ; Wild dkk., 2004).
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul karena adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif
atau resistensi insulin atau keduanya (Soegondo dkk., 2011). Diabetes melitus tipe
2 merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu lebih dari 90% kasus.
Angka kejadian DM meningkat pada populasi berumur diatas 40 tahun. Di
Indonesia jarang dijumpai penderita DM tipe 1. Hal ini ada hubungannya dengan
letak geografis Indonesia yang terletak di daerah katulistiwa, faktor genetik yang
tidak menyokong dan diagnosis yang terlambat hingga pasien sudah meninggal
akibat komplikasi sebelum terdiagnosis (Suyono, 2007). Diabetes melitus yang
1
tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan komplikasi makroangiopati,
mikroangiopati, neuropati dan infeksi (Soegondo dkk., 2011).
Penduduk usia lanjut diperkirakan jumlahnya 10 % dari keseluruhan
penduduk di negara maju dan sekitar 5-8 % di negara berkembang. Usia lanjut
mengakibatkan perubahan anatomis dan fungsional pada organ tubuh, sehingga
meningkatkan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif khususnya diabetes
melitus. Kejadian DM pada usia lanjut cenderung semakin meningkat, disebabkan
karena jumlah usia lanjut yang makin meningkat pula (Shasikiran dkk., 2004 ;
Rochmah, 2006).
Diabetes melitus yang diderita oleh usia lanjut sebagian besar adalah DM
tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronik yang erat hubungannya
dengan proses menua, namun belum dapat dipastikan DM yang diderita oleh usia
lanjut memang dimulai sejak waktu dewasa atau baru diderita saat sudah tua
(Rochmah, 2006). Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab dari prevalensi
DM tipe 2 tinggi pada usia lanjut adalah menurunnya fungsi sel beta pankreas
dalam mensekresi insulin seiring bertambahnya usia (Mudaliar dan Edelman,
2001).
Berbagai
perubahan
karena
proses
menua
dapat
mempengaruhi
penampilan klinis DM pada usia lanjut. Gejalanya tidak khas, seperti penurunan
berat badan, kelelahan dan kencing pada malam hari. Gejala-gejala tersebut
dianggap biasa terjadi pada usia lanjut, sehingga berakibat pada tertundanya
deteksi adanya DM. Alasan penduduk usia lanjut rentan terkena DM masih belum
diketahui secara pasti, namun diduga karena adanya beberapa faktor risiko berupa
2
resistensi insulin yang disebabkan penuaan, berkurangnya aktivitas fisik pada usia
lanjut, adanya penimbunan lemak di beberapa bagian tubuh, penyakit yang telah
ada dan faktor lainnya seperti genetik, faktor lingkungan, fungsi kekebalan dan
perubahan gaya hidup (Halter, 2003). Penyakit DM pada pasien usia lanjut sangat
memungkinkan terjadinya polifarmasi karena fungsi organ pada pasien usia lanjut
secara alamiah telah menurun, sehingga perlu diberikan monitoring dan terapi
obat pada masing-masing pasien (Dipiro dkk., 2008).
Upaya prioritas pengendalian kadar gula darah pada pasien DM ditempuh
dengan cara tanpa penggunaan obat-obatan (non farmakologis) melalui
perencanaan makan dan olahraga. Lebih lanjut Soegondo dkk (2011) menyatakan
bahwa pendidikan kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan dan perilaku
pasien DM dalam mempertahankan kadar gula darah sangatlah penting.
Pendidikan kesehatan ini diberikan sejak pasien didiagnosis dengan penyakit DM.
Pendidikan kesehatan atau edukasi yang diberikan meliputi pengetahuan tentang
kepatuhan perencanaan makanan (jumlah, jadwal dan jenis) dan pelaksanaan
olahraga (keteraturan, jenis dan intensitas) serta konsumsi obat (dosis, cara
pemberian, waktu pemberian, interaksi dan efek samping). Apabila edukasi pada
pasien DM berhasil, maka akan menjamin ketaatan pasien DM untuk tetap
menjalankan tata laksana pengendalian diabetes dengan baik, yang berimplikasi
pada meningkatnya usia harapan hidup pasien DM dan dapat hidup sehat dan
bahagia bersama DM (Tjokroprawiro, 2006).
Dalam pemberian obat, kadang terjadi hasil pengobatan tidak seperti yang
diharapkan. Pemantauan terapi obat kepada pasien merupakan salah satu kegiatan
3
farmasi klinis di rumah sakit (Aslam dkk., 2003). Peran farmasi klinik beragam,
meliputi pemberian informasi mengenai cara penggunaan obat, cara pemberian
obat, peracikan obat, dan memantau penggunaan obat (Kaushal dan David, 2004).
Usia lanjut lebih rentan mengalami DRPs karena banyak menggunakan
obat dan penuaan terkait dengan perubahan patofisiologis (Vinks dkk., 2006).
Drug related problems merupakan suatu tantangan besar bagi penyedia layanan
kesehatan karena DRPs terkait dengan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien (Mahmoud, 2008). Salah satu DRPs yang sering terjadi di Amerika Serikat
adalah DRPs yang terkait dengan diabetes melitus. Polifarmasi umumnya terjadi
pada pasien usia lanjut sehingga pasien berisiko untuk mengalami DRPs, terutama
adverse drug reaction (Jose, 2012). Drug related problems mengakibatkan
penurunan kualitas hidup pasien, peningkatan biaya perawatan kesehatan, dan
peningkatan angka kematian (Nguyen, 2000).
Kualitas hidup merupakan sebuah konsep yang mencakup berbagai
pengalaman manusia. Dalam domain medis, kualitas hidup merupakan aspek
kesehatan dari sudut pandang pasien, dan bisa diungkapkan sebagai status
fungsional dan kesejahteraan pasien. Diabetes melitus merupakan salah satu
penyakit kronis yang paling menjadi perhatian dalam populasi bila dilihat dampak
pada kesehatan yang bisa dialami pasien. Sebagian besar pasien DM, terutama
DM tipe 2, menjadi prioritas oleh tim kesehatan rumah sakit. Diabetes melitus
sangat berhubungan dengan komplikasi vaskular, dan dalam pedoman
internasional dan nasional tujuan keseluruhan pengobatan DM adalah mencegah
komplikasi akut dan kronis, dan mempertahankan kualitas hidup yang baik bagi
4
pasien. Dengan demikian, pengetahuan tentang Health-Related Quality of Life
(HRQoL) pada pasien DM, serta faktor-faktor penentunya sangat penting
(Wandell, 2005). Suatu penelitian menjelaskan bahwa kejadian hipoglikemia,
terapi DM, perawatan DM di rumah, pengaruh komorbiditas, target kadar glukosa
darah, peran keluarga, edukasi tentang DM dan keselamatan pasien merupakan 8
domain yang perlu diperhatikan dalam perawatan DM pada pasien usia lanjut agar
menghasilkan kualitas hidup yang paling baik dan berdampak pada kualitas
perawatan DM secara individu (Sinclair dkk., 2012).
Utami (2009) dalam penelitiannya tentang kajian DRPs pada pasien DM
yang dirawat inap di RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan, mendapatkan hasil
bahwa 39 pasien (88,6 %) dari total pasien 44 yang diteliti mengalami DRPs.
Kejadian DRPs terbanyak yaitu 25 pasien (56,8 %) yang memerlukan terapi obat
tetapi pasien tidak mendapat obat untuk indikasi tersebut (indikasi tidak diterapi).
Hartati (2003) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa kualitas hidup penderita
DM tipe 2 dengan kadar gula darah terkendali lebih tinggi dari pada yang tidak
terkendali. Pada penderita DM tipe 2 dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
penderita tanpa komplikasi, penderita yang menggunakan insulin, penderita yang
berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), penderita dengan tekanan darah yang
meningkat dan penderita jenis kelamin laki-laki memiliki kualitas hidup yang
lebih tinggi.
Pemilihan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai tempat penelitian
dengan alasan karena RSUP Dr. Sardjito merupakan RS rujukan untuk wilayah
DIY dan sekitarnya serta adanya Poliklinik Geriatri yang merupakan klinik
5
khusus untuk pasien usia lanjut yang perlu mendapat perhatian ekstra terkait
dengan usia dan kondisi pasien sehingga dapat mencegah terjadinya DRPs dan
terjadi peningkatan kualitas hidup pasien usia lanjut.
Banyaknya masalah tentang obat pada usia lanjut dapat mempengaruhi
kualitas hidup, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan
antara DRPs dengan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang menderita DM
tipe 2 di Poliklinik Geriatri RSUP DR. Sardjito Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1.
Bagaimana tingkat kejadian DRPs pada pasien usia lanjut dengan DM tipe 2
di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
2.
Bagaimana kualitas hidup pasien usia lanjut dengan DM tipe 2 di Poliklinik
Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
3.
Bagaimana hubungan antara DRPs dengan kualitas hidup pasien DM tipe 2 di
Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui tingkat kejadian DRPs pada pasien DM tipe 2 di
Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2.
Untuk mengetahui kualitas hidup pasien DM tipe 2 di Poliklinik Geriatri
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
6
3.
Untuk mengetahui hubungan antara DRPs dengan kualitas hidup pada
pasien DM tipe 2 di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kajian DRPs pada pasien diabetes melitus pernah
dilakukan sebelumnya oleh :
1.
Artemisia (2005) yang berjudul Kajian Drug Related Problems pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2-Hipertensi di RS Panti Rapih Yogyakarta. Metode
yang digunakan adalah retrospektif menggunakan data rekam medik pada 34
pasien DM tipe 2-Hipertensi periode Juli 2003-Desember 2003.
2.
Utami (2009) yang berjudul Kajian Drug Related Problems pada Pasien
Diabetes Melitus yang di Rawat Inap di RSU Kanujoso Djatiwibowo
Balikpapan pada Bulan Oktober-Desember 2005. Metode yang digunakan
adalah deskriptif evaluatif secara prospektif pada 44 pasien DM.
3.
Rocha dkk (2012) melakukan penelitian prospektif tentang peningkatan
perawatan kesehatan bagi pasien DM tipe 2 pada populasi usia lanjut yang
tinggal di Aracaju, Brazil. Penelitian ini mengidentifikasi kejadian drug
related problems aktual dan potensial serta kualitas hidup pada 117 pasien
DM tipe 2 usia lanjut. Penelitian ini tidak mencari hubungan antara kejadian
DRPs dengan kualitas hidup pasien.
Penelitian yang dilakukan sekarang berbeda dengan penelitian sebelumnya
karena penelitian ini mengidentifikasi kejadian DRPs dan menilai kualitas hidup
7
serta menilai bagaimana hubungan antara DRPs dengan kualitas hidup pasien usia
lanjut dengan DM tipe 2 di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
1.
Memberikan informasi tentang kejadian DRPs dan gambaran kualitas
hidup pada pasien DM tipe 2 di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi tenaga
medis tentang hubungan antara DRPs dengan kualitas hidup pada pasien
DM tipe 2 di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
3.
Setelah mengetahui pengaruh DRPs terhadap kualitas hidup pada pasien
DM tipe 2 di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,
diharapkan menjadi masukan dalam menentukan arah kebijakan dan
pelayanan yang lebih baik di masa yang akan datang.
8
Download