dinamika kepemimpinan tradisional di tapanuli selatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia sebagai negara sedang berkembang masyarakatnya berada dalam
katagori transisi. Masyarakat mulai bergeser dari pola kehidupan tradisional menuju
ke pola kehidupan masyarakat moderen, namun tidak seluruhnya meninggalkan pola
kehidupan tradisional. Hal ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan
masyarakat dan ini terlihat pada ciri-ciri umum masyarakat negara baru yang dikenal
dengan sebutan “Primatic Society”.
Masyarakat negara-negara yang sedang berkembang masih mencampur adukkan
unsur-unsur yang saling bertentangan dalam sistem masyarakatnya, antara unsurunsur moderen dan tradisional. Sebagai akibatnya timbul formalisme, yaitu adanya
nilai-nlai pengaturan yang diterbitkan secara teoritis , tetapi pada kenyataannya
diabaikan dan masih cenderung menganut pola-pola lama 1. Proses modernisasi
seperti ini yang tidak terelakkan telah melenyapkan atau setidaknya menghancurkan
tradisi lama.
1
H. Robert Louer, Perspektif Tentang Prubahan Sosial, Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1993, hal. 442.
1
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Indonesia, meskipun dalam katagori transisi atau sedang
berkembang dengan segala cirri-cirinya, tetap memerlukan figur pemimpin.
Kepemimpinan “leadership” adalah kemampuan seseorang (yaitu pimpinan atau
leader) untuk mempengaruhi orang lain (yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya),
sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pimpinan
tersebut.2
Pelaksanaan pembangunan diketahui bahwa, secara menyeluruh dan khususnya
pembangunan di pedesaan sangat tergantung pada usaha-usaha mendinamisasikan
masyarakatnya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa mutlak
sangat diperlukan. Dukungan masyarakat tidak begitu saja dapat diperoleh. Hal ini
disebabkan munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai
kepentingan yang
berbeda-beda di setiap desa. Keadaan ini disebabkan melemahnya sistem komunal di
desa, sebab dukungan tidak dapat diperoleh seperti masa lalu , ketika desa-sesa
secara mudah dapat menggerakkan penduduk untuk kepentingan desanya.
Dengan demikian segala yang akan dilakukan di pedesaan memerlukan
dukungan dari pemimpin dan kelompok yang berkepentingan dan mempunyai
pengaruh di desa. Diakui bahwa perubahan yang tejadi di pedesaan banyak membawa
perubahan ke arah kemajuan, tidak hanya di bidang ekonomi, sosial budaya yang
diikuti bidang-bidang lainnya, seperti gaya hidup, intraksi sosial, budaya, politik dan
2
D. Kenan Purba dan J.D. Purba, Sejarah Simalungun, Jakarta; Bina Budaya Simalungun, 1995, hal. 64
2
Universitas Sumatera Utara
sebagainya . Perubahan ini terjadi disebabkan oleh banyaknya factor, misalnya
adanya pengaruh jumlah pendapatan yang meningkat, lapangan pekerjaan yang
sangat bervariasi, kemajuan tehnologi, komunikasi moderen dan sebagainya.
Perubahan yang terjadi di masyarakat juga tidak terlepas dari peran para
pemimpin, baik formal, maupun informal di dalam kolektifitas Sosial. Ini terjadi
antara pemimpin dengan yang dipimpin (pengikut). Peran pemimpin dalam
mengarahkan dan mempengaruhi pengikutnya menuju pada tujuan kolektif atau
membentuk kelakuan masyarakat berdasarkan nilai-nilai tertentu. Status peminpin
pada masyarakatnya mempunyai fungsi atau peran, mengawasi agar tujuan bersama
dapat tercapai. Khususnya dalam masyarakat. Pemimpin merupakan “agen of
Change” yang paling efektif. Kemampuan pemimpin membawa pengikutnya akan
membuahkan hasil keikutsertaan masyarakat dengan kesadaran penuh untuk ikut serta
megambil peran membangun daerahnya, bukan hanya partisipsi semu karena ada
paksaan. Dalam konteks kedaerahan sebutan pemimpin, baik itu yang dipilih oleh
masyarakatnya maupun pimpinan yang didapat karena keturunan (raja), memiliki
dasar-dasar kepemimpinan yang secara historis diakui oleh masyarakat.
Masyarakat Tapanuli Selatan merupakan bagian dari penyebaran etnis Batak
yang tidak terlepas dari kepemimpinan yang didapat dari keturunan (raja), yang tidak
memiliki fungsi, sehingga keterikatan masyarakat dengan keberadaan raja-raja ini
tidak memiliki kekuasaan terhadap rakyak, karena pemerintahan yang sah menurut
3
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Pemerintah Negara Republik Indonesia kepemimpinan terendah
adalah di bawah kekuasaan kepala desa atau lurah. Permasalahannya bagaimana
sebenarnya peran raja-raja ini di tengah-tengah masyarakatnya, dan bagaimana pula
dilihat dari latar belakang
sejarah keberadaan mereka maupun pandangan
masyarakatnya terhadap raja-raja tersebut.
Dari latar belakang sejarah, bahwa di Tapanuli Selatan pada waktu dulu,
setiap desa (huta) dikepalai oleh “pamusuk” atau lebih dikenal dengan nama “Raja
Pamusuk”. Kumpulan beberapa desa dipimpin oleh seorang “Panusunan bulung” atau
‘Raja Panusunang Bulung”, yang dipilih oleh kalangan “Raja Pamusuk”. “Raja
Panusunan Bulung” merupakan pimpinan terpilih dan didampingi oleh “Raja
Pangundian” yang berasal dari desa yang termasuk di wilayahnya. Akan tetapi setelah
masyarakat Tapanuli Selatan berhasil dikuasai oleh kaum “Paderi” dan menyebarkan
agama Islam di daerah Tapanuli Selatan. Agama Islam eksis di daerah itu dari pada
nilai-nilai adat istiadat yang mereka anut, sehingga sistem kepemimpinan tradisional
di Tapanuli Selatan mengalami perubahan. “Raja Panusunan Bulung” yang secara
formalitas menguasai wilayah yang terdiri dari beberapa kampung dirubah
sebutannnya sebagai “Kepala Kuria”.Hal ini terus berlanjut ketika kolonial Belanda
berhasil menguasai wilayah daerah Tapanuli Selatan dan menjadikan ‘Kepala Kuria”
ini sebagai alat kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda.
4
Universitas Sumatera Utara
Fenomena “Raja” sebagai pemimpin pada masyarakat Tapanuli Selatan
merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, karena kepemimpinan berdasarkan
garis keturunan yang terdapat pada masyarakat Tapanuli Selatan yang berfungsi
sebagai kepala desa juga berfungsi sebagai kepala adat yang terwujud dalam berbagai
aktifitas masyarakat terutama pada upacara adat yang tetap dilestarikan.
Dari latar belakang di atas penulis mengkaji masalah kepemimpinan dengan
judul,”Dinamika Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Tapanuli Selatan 19301946. Dalam penulisan Proposal Skripsi ini penulis membuat batasan waktu yang
dimulai pada tahun 1930, dengan alasan bahwa pada tahun itu masyarakat Tapanuli
Selatan menganggap bahwa “Kepala Kuria”, merupakan perpanjangan tangan
Belanda, dengan tujuan utama untuk mengutip pajak dari rakyat dan menyerahkan
masyarakat untuk melakukan kerja paksa (rodi) yang sangat menderitakan
masyarakat Tapanuli Selatan.
Tahun 1946 sebagai batas akhir dalam penelitian adalah, disebabkan
masyarakat Tapanuli Selatan melalui partai-partai politik yang telah ada dan dengan
telah diperolehnya kemerdekaan di Republik Indonesia, setiap pemimpin dari tingkat
desa sampai Presiden harus melaksanakan kepemimpinan di pemerintahan secara
demokratis dan memberhentikan “Kepala Kuria” sebagai pemimpin formal
5
Universitas Sumatera Utara
2. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini, penulis mengambil beberapa permasalahan pokok dari
Dinamika Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan Tahun 1930-1946. Untuk
lebih mengarahkan penelitian ini maka diambil permasalahan pokok dalam bentuk
pertanyaan, yaitu:
1.Bagaimana bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.
2.Bagaimana fungsi kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan
3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan
1. Bagaimana bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.
2. Bagaimana fungsi kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.
3.2. Manfaat
1. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya,
terutama yang terkait dengan masalah ini.
2. Secara akademik hasil penulisan ini untuk menambah literatur dalam
memeperkaya
khasanah
penulisan
sejarah
terutama
mengenai
kepemimpinan tradisional.
6
Universitas Sumatera Utara
4. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian
memerlukan
landasan
teoritis
yang
akan
membantu
memberikan dasar pokok bagi kelanjutan proses penelitian. Landasan teoritis akan
diperoleh melalui riset yang rutin terhadap kepustakaaan yang relevan dengan dengan
topic atau objek penelitian. Dengan demikian penelaahan studi kepustakaan
merupakan kegiatan mutlak dalam proses penelitian. Dalam hal ini akan dikemukakan
beberapa buku yang mendukung konsep, hipotesa, dan teori sehubungan dengan objek
yang diteliti.
Dalam
buku
Monografi
Kebudayaan
Angkola-Mandailing
(1982),
memberikan informasi Sejarah Adat di Tapanuli Selatan. Selain itu buku ini juga
menjelaskan sebelum kehadiran colonial Belanda di Tapanuli Selatan, pemerintahan
tradisional tertingggi di Tapanuli Selatan dikepalai oleh “Raja Panusunan” yang
membewahi beberapa desa yang dikepalai oleh “Raja Pamusuk”.
Simanjuntak (1998) menjelaskan tentang struktur social dan system politik
masyarakat Batak Toba hingga tahun 1945 dalam sebuah pendekatan Sejarah dan
Anteropologi Politik. Dalam laporan penelitian ini dijelaskan bahwa, keterkaitan
Sejarah orang Batak dan Perubahan Sosial yang dilatarbelakangi oleh perkembangan
social budaya yang bergerak sangat cepat berdampak terhadap kehidupan dan
pergaulan social orang Batak Toba di Kabupaten Tapanuli Utara. Laporan ini
7
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan Struktur Sosial masyarakat Batak Toba dengan segala pengaruh budaya
yang mempengaruhinya khususnya pemerintah colonial Belanda.
Perubahan sosial masyarakat Indonesia ditinjau dari Persfektif Anteropologi
(2002) oleh Sairun menjelaskan tentang perubahan yang terjadi pada masyarakat
Indonesia bagaimana dan prilaku bagaimana yang dapat menimbulkan berbagai
perubahan dan berakibat pada dinamika sosial, sehingga memiliki hubungan dengan
masalah yang dikaji.
Menurut David Krech dalam bukunya Individual in Society: A Text Book of
Social Psycology (1962) seorang pemimpin yang baik harus mampu menghimpun
satu organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat.
Masuknya ide-ide yang baru kesuatu tempat (desa) akan membawa perubahan baik
besar maupun kecil pada daerah itu. Salah satunya adalah perubahan dalam bidang
status masyarakat yang mendiami/menguasai daerah itu.
Sebelum masuknya kolonial Belanda ke Tapanuli Selatan, pada masyarakat
di daerah itu dikenal kelompok “hatoban”, yaitu orang-orang yang mengalami
kekalahan di dalam perang antar desa. Ketika Tapanuli Selatan masa berkuasanya
kolonial Belanda dan pada waktu
telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, kelompok “hatoban” di atas dapat saja memegang
jabatan baru yang diperolehnya atas usaha, pendidikan formal, penghasilan dan
8
Universitas Sumatera Utara
keaktifan yang disebut dengan istilah “achieved status” sedangkan kepemimpinan
sebelum masuknya kekuasan Belanda dan Indonesia belum merdeka, kepemimpinan
yang diperankan ketika itu adalah “ascribed status”, yaitu kedudukan yang diperoleh
dengan sendirinya, misalnya karena faktor usia, jenis kelamin, asal usul dan lain
sebagainya. Keadaan ini akhirnya di Tapanuli Selatan menimbulkan dan membentuk
golongan sosial ba laluru atau disebut juga dengan nama “New Social Group”.
Golongan inilah yang nantinya memegang kekuasaan atau jabatan di kantor-kantor
pemerintahan maupun desa-desa yang telah dikuasai oleh pemerintah Belanda
maupun ketika Indonesia merdeka.
5. METODE PENELITIAN
Metode Sejarah adalah mengkaji dan menganalisa secara kritis rekaman dari
peninggalan masa lampau. 3 Begitu juga dengan penelitian ini, penulis menggunakan
metode sejarah untuk mempermudah penelitian agar tercapai hasil yang maksimal.
Dalam mendeskripsikan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah harus didukung
oleh metode dan tehnik mendapatkan data yang akurat. Dilakukannnya pengumpulan
sumber yang didasarkan pada seleksi dan akurasi akan melahirkan suatu tulisan yang
ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun dasar penulis untuk
merampungkan tulisan ini, tidak terlepas dari langkah-langkah metode penulisan
3
Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press , 1985. hal. 27
9
Universitas Sumatera Utara
secara
kronologis.
Penulis
menempuh
langkah-langkah
penulisan
untuk
mengungkapkan penelitian, adalah sebagai berikut:
a. Heuristik, yaitu proses pemilihan objek dan pengumpulan informasi atau
sumber yang berkaitan dengan tulisan yang sedang dikaji.
b. Kritik intern dan kritik ekstern. Proses ini adalah merupakan langkah bagi
penulis untuk menggiring hasil tulisan menjadi “objektif”, dan sesuai dengan
kenyataan yang selama ini terjadi.
Kritik intern adalah: ketika penulis mendapatkan sumber, penulis harus dapat
melihat
dan menyelidiki isi dari sumber yang diperolehnya itu. Dalam hal ini
sumber-sumber yang telah terkumpul dikaji, apakah pernyataan yang diuat dalam
sumber itu, merupakan fakta histories yang meliput i isi, bahasa, situasi dan lain
sebagainya. Kritik ekstern adalah:
penyelidikan terhadap sumber yang diperoleh
dengan meneliti keadaan luar dari sumber-sumber yang digunakan, apakah sumber
yang digunakan itu otentik atau tidak
c. Interpretasi adalah suatu hasil pengamatan dalam menganalisa sumber dengan
berpedoman pada fenomena yang telah diselidiki.
d. Historiografi sebagai tahapan akhir dalam sebuah penelitian sejarah.
Historiografi. adalah penulisan sejarah dengan melakukan kegiatan penulisan
mengenai masalah atau aspek tertentu tentang manusia pada masa lampau.
10
Universitas Sumatera Utara
Historigrafi mempunyai peranan penting, karena dari penulisan tersebut akan
diketahui apa hasil dari sebuah penelitian.
Penyusunan penulisan penelitian ini menggunakan metode sejarah, sesuai
dengan tujuan dari hasil akhir penulisan adalah ingin mendeskripsikan peristiwa yang
terjadi di masa lampau.
Metode sejarah yang telah dipaparkan di atas, yang bertumpu pada
beberapatahapan yang disusn secara sistematis yang harus dilalui oleh penulis sejarah
yang tidak boleh ke luar dari kaedah ilmu sejarah diharapkan dapat menghasilkan
penulisan yang bernilai ilmiah.
Langkah
awal
yang
dilakukan
adalah
menentukan
judul,
topik,
mengumpulkan sebanyak mungkin sumber-sumber sejarah yang diperlukan dan
berkaitan dengan penelitian.
Pengumpulan data ini, dimulai dari mengunjugi berbagai sumber yang berada
di berbagai perpustakaan pemerintah maupun perpustakaan swasta, instansi yang
menyimpan dokumen dan berhubungan dengan penelitian yang diangkat.
Hal yang juga penulis lakukan adalah studi observasi ke daerah Tapanuli
Selatan, sebagai objek daerah yang diteliti
11
Universitas Sumatera Utara
Tahap pengumpulan sumber ini dilajutkan dengan kritik intern dan ekstern
terhadap sumber-sumber yang telah terkumpul.
Sumber yang telah di kritik, dipahami, kemudian di interpretasi dan
selanjutnya ditulis dan diharapkan menghasilkan penulisan sejarah yang deskriptif
kualitatif.
12
Universitas Sumatera Utara
Download