toksisitas marijuana

advertisement
MAKALAH TOKSIKOLOGI KLINIK FK4102
TOKSISITAS MARIJUANA
Benita Rachel P.N.
10712008
Andre Ditya M.L.
10712065
Hanina Liddini H.
10712100
Aulia Septiani
11611034
Raisya Silvi
11611044
Lisnawati Mutia
11612001
Iffa Risfayanti
11612008
Nisrina Nur A.
11612031
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014
I. Definisi dan Pengertian Umum
Marijuana adalah suatu bahan berbentuk bubuk (powder) kering berwarna putih
kehijauan dan abu-abu yang diekstrak dari bunga dan daun tanaman Cannabis sativa.
(a)
(b)
Gambar 1.1 Serbuk marijuana (a) dan tanaman Cannabis sativa (b)
Cannabis sativa biasa disebut dengan ganja atau marijuana. Marijuana mengandung
sejenis bahan kimia yang disebut delta-9-tetra-hidro-kannabinol (THC)
yang dapat
mempengaruhi suasana hati manusia dan cara orang tersebut melihat serta mendengar hal-hal
disekitarnya. Marijuana disebut juga sebagai obat depresan karena \dapat mempengaruhi sistem
saraf dengan cara membuat lambat sistem saraf.
Marijuana dianggap narkoba yang aman
dibandingkan dengan putaw atau shabu, hingga sebagian besar pecandu narkoba mulai
mengonsumsi narkoba dengan mencoba marijuana. Jika menggunakan marijuana, maka pikiran
akan menjadi lambat, dan membuat seseorang terlihat bodoh. Marijuana dapat mempengaruhi
konsentrasi dan ingatan, meningkatkan denyut nadi, keseimbangan dan koordinasi tubuh yang
buruk, ketakutan dan rasa panik, depresi, kebingungan dan halusinasi.
Gambar 1.2. Struktur delta-9-tetra-hidro-kannabinol (THC)
Tetra Hidro Cannabinol atau THC (delta-9-tetra-hidro-kannabinol) adalah senyawa aktif
yang terdapat dalam tanamanmarijuanaa.
Ketika THC digunakan, baik dikonsumsi atau
diinhalasi, ia mengikat reseptor spesifik yang ada di dalam otak manusia yang disebut
reseptor kannabinoid.
Dalam dosis rendah, senyawa tersebut dapat mengurangi rasa sakit,
mengurangi agresi, merangsang nafsu makan dan dapat membantu mengurangi rasa mual. Dosis
yang lebih tinggi dapat menyebabkan "giting” atau “tinggi" (high), yaitu suatu perasaan dan
persepsi yang berubah antara ruang dan waktu yang menciptakan rasa kebahagiaan.
THC diproduksi dalam bentuk kimia di beberapa negara dimana penggunaan ganja masih
legal. Obat dengan resep dokter bernama Marinol® adalah salah satu produk kimia yang
mengandung THC. Marinol digunakan untuk mengobati gangguan makan, membantu
meringankan efek samping dari kemoterapi, dan untuk membantu melawan efek merusak
dari full-blown AIDS. Senyawa ini juga telah diteliti bermanfaat dalam mengurangi tics yang
dialami orang-orang yang mengalami Sindrom Tourette.
II. Mekanisme Aksi
Otak merupakan pusat dari sistem saraf yang berfungsi dalam mengatur seluruh
koordinasi dan keseimbangan yang terjadi di dalam tubuh manusia.
Senyawa-senyawa
psychedelic bahan alam termasuk delta-9-tetra-hidro-kannabinol adalah senyawa yang bekerja
mempengaruhi sistem saraf pusat dengan beberapa mekanisme kerja yang berbeda sesuai dengan
karakterisitik masing-masing senyawa. Karakteristik-karateristik ini dapat berupa karakteristik
kimia (stereokimia molekul, isomer, gugus fungsi), juga karakteristik fisika (afinitas,
elektronegativitas), serta sifat fisikokimia (asam basa, lipofilik, hiprofilik, kelarutan).
Delta-9-tetra-hidro-kannabinol pada umumnya memberikan efek euforia yaitu rasa
bahagia atau senang tanpa sebab-sebab yang jelas. Sebagian pengguna mengatakan marijuana
dapat membuat perasaan tenang seperti melayang.
Marijuana juga diketahui dapat
menghilangkan nyeri dan meningkatkan nafsu makan. THC pada marijuana terdapat dalam
bentuk rasemik antara delta-9-tetra-hidro-kannabinol dan delta-8-tetra-hidro-kannabinol. Delta9-tetra-hidro-kannabinol adalah bentuk isomer yang lebih umum ditemukan pada senyawa bahan
alam. Beberapa senyawa turunan THC sudah dibuat dalam bentuk sintetik dari berbagai jenis
isomernya tetapi hanya beberapa yang dapat memberikan efek sebagai obat.
2.1.
Farmakokinetik
Delta-9-tetra-hidro-kannabinol adalah senyawa psychedelic bahan alam yang sangat larut
di dalam lemak (lipofil) sehingga dengan pemberian pada rute oral dapat terabsorpsi baik pada
saluran cerna terutama pada lambung. Waktu onset terjadi hampir selama satu jam sebelum
mencapai sawar darah otak dan konsentrasi aktif didalam plasma terjadi selama dua hingga
empat jam.
Absorpsi pada rute inhalasi lebih cepat dibandingkan rute oral. Pada jalur inhalasi dan
intravena, delta-9-tetra-hidro-kannabinol langsung memasuki peredaran darah sistemik.
Sebagian dapat terdistribusi pada jaringan adiposa dan sebagian memasuki sawar darah otak.
Reaksi melalui rute inhalasi mulai memperlihatkan efek pada 25 menit setelah pemakaian.
Efek terapeutik yang diinginkan adalah kerja pada sistem saraf pusat yang dapat dicapai
setelah delta-9-tetra-hidro-kannabinol mencapai reseptor kannabinoid pada sistem saraf pusat.
Metabolit aktif dan inaktif, keduanya dapat ditemukan pada hati. Pada umumnya ditemukan
dalam bentuk 11-OH-delta-9-tetra-hidro-kannabinol.
Metabolit ini secara umum diekskresi
melalui rute biliari-fecal dengan hanya sekitar 10% hingga 15% yang diekskresi melalui urin.
Delta-9-tetra-hidro-kannabinol dan metabolitnya berikatan tinggi dengan protein plasma
(95%) sehingga proses eliminasi berlangsung lama dan sejumlah metabolit tetap tertinggal di
aliran darah dan jaringan adiposa (lemak) terutama setelah penggunaan berulang dan jangka
panjang. Penelitian lebih lanjut menemukan bukti bahwa adiksi terhadap marijuana disebabkan
kemampuan delta-9-tetra-hidro-kannabinol melekat pada suatu area tertentu didalam otak
dikarenakan sifat senyawa ini yang lipofilik. Hal ini juga menyebabkan kesulitan penanganan
pada pengguna kronis yang sudah mengalami ketergantungan.
2.2.
Farmakodinamik
Bahan aktif marijuana adalah delta-9-tetra-hidro-kannabinol (THC) dan diperkirakan
untuk mengerahkan efeknya dengan mengikat reseptor kannabinoid CB1 pada terminal saraf presinaptik di otak. THC bekerja agonis dan berikatan pada reseptor kannabinoid CB1 yang berada
pada sistem saraf pusat.
THC mengikat reseptor CB1 mengaktifkan G-protein yang juga
mengaktifkan atau menghambat sejumlah jalur transduksi sinyal. G-protein secara langsung
menghambat N dan tegangan tipe P atau Q (tergantung dari kanal kalsium dan kanal natrium)
dan secara tidak langsung menghambat kanal kalsium tipe A melalui penghambatan adenilat
siklase. THC mengikat dan mengaktivasi G-protein yang juga mengaktifkan kanal kalium dan
jalur sinyal MAP kinase. Efek kumulatif dari jalur ini adalah perasaan euforia.
Gambar 2.1. Skema mekanisme aksi THC
THC juga bekerja agonis pada reseptor CB2 yang bekerja dalam supresi sel-sel imun
sehingga aktivitas THC pada reseptor ini dapat menyebabkan penurunan kemampuan sel imun
(imunosupressan). Penggunaan THC atau paparan langsung (inhalasi, gas, asap, serbuk kering,
residu bakaran abu, dan sebagainya) dapat menurunkan kemampuan sistem imun terutama pada
individu yang memiliki kelainan pada sistem imunnya.
Didalam tubuh manusia terdapat senyawa alami yang memiliki efek mirip dengan THC
yaitu endokannabinoid yang alaminya dilepaskan oleh tubuh dalam rangsang respon emosi
alamiah seperti keadaan senang atau tenang dikarenakan sebab tertentu yang jelas.
Sepeti
tertawa dan rasa senang karena suatu humor atau lawakan, atau euforia pada saat keadaan yang
sangat menyenangkan seperti sebuah kejutan atau hal-hal yang dapat memberikan perasaan
senang lainnya.
Penggunaan marijuana dalam waktu jangka panjang dapat mengurangi kemampuan
reseptor-reseptor kannabinoid untuk mengenali senyawa endokannabinoid tubuh karena kerja
agonis THC pada sistem saraf pusat sehingga menurunkan respon yang dihasilkan oleh senyawa
endokannabinoid. Hal ini dapat menyebabkan penurunan respon emosi atau presepsi emosi yang
salah pada penggunan kronik.
III. Kadar Toksik
THC adalah salah satu komponen dari marijuana yang beersifat racun terhadap hewan
uji. Efek toksik dari marijuana terutama pada sistem saraf. Penyebab kematian hewan uji
biasanya disebabkan oleh apnea atau henti jantung. Hewan uji yang lebih tinggi tingkatannya
secara filogenetik memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap toksisitas akut dari THC. Pada
tikus, dosis LD50 THC adalah 40 mg/kg dengan rute intravena, sementara dosis LD 50 pada
monyet dan anjing adalah 130 mg/kg.
Tidak ada penentuan dosis letal pada manusia secara pasti karena tidak mungkin
dilakukan percobaan terhadap manusia. Namun, berdasarkan teori yang telah disebutkan, dosis
letal pada manusia akan lebih tinggi darpada dosis letal pada monyet. Sementara, dosis yang
menyebabkan toksisitas akut dari THC diperkirakan adalah 0,4mg/kg BB secara oral.
IV. Gejala Toksisitas dan Manifestasi Klinis
THC (tetrahydrocannabinol) sebagai substiteun aktif dalam marijuana menstimulasi
aktivitas saraf simpatik. Efek yang ditimbulkan dari pemakaian marijuana terhadap tubuh sulit
untuk dikelompokkan, namun secara umum dimasukkan sebagai obat golongan psikoaktif.
Golongan obat tersebut termasuk diantaranya amphetamine dan metamphetamine. Berdasarkan
kategori penggolongan obat yang dikeluarkan Badan Narkotika Amerika Serikat, marijuana
termasuk golongan Schedule III controlled drug yaitu golongan obat dengan risiko
penyalahgunaan obat tinggi dan dapat menyebabkan ketergantungan psikologis dan fisik.
Penggunaan dosis rendah hingga sedang menyebabkan efek intoksikasi seperti relaksasi, rasa
mengantuk, dan mild euphoria sedangkan pada dosis tinggi menyebabkan reaksi panik dan
halusinasi mirip psikosis akut atau dengan kata lain dapat menimbulkan efek toksisitas akut
(jangka pendek). Besar jumlah dan jenis efek yang terjadi bervariasi tiap individu tergantung
pada respon personal dan jumlah marijuana yang dikonsumsi.
Efek dari penggunaan marijuana secara umum berpengaruh pada fungsi otak seperti
gangguan emosi mulai dari euforia, paranoia, kecemasan (anxiety), dan depresi, namun efek
paling utama adalah relaksasi dan sedasi. Penggunaan ini juga dapat berefek pada perilaku
pemakainya seperti disintegrasi sementara dan berkurangnya memori jangka pendek.
Pada
pemakaian individual lebih terlihat sifat khas pemakai dengan ciri mudah tertawa, halusinasi dan
delusi jika pemakaian berlanjut. Selain itu juga berpengaruh pada faktor saraf otonom simpatik
yang menyertai efek psikis tersebut yaitu berupa mulut kering, stimulasi nafsu makan,
ketidakseimbangan koordinasi otot, penurunan jumlah testosteron, retensi urin, serta peningkatan
laju jantung dan injeksi konjungtival yang dengan pemakaian berlanjut dapat menyebabkan
penurunan tekanan intraokular.
Efek toksisitas akut dari marijuana dapat disebabkan oleh penggunaan berlebihan
(overdose), pemakaian dosis tinggi, atau kontaminasi dengan bahan kualitas rendah atau
kombinasi dengan golongan bahan lain seperti golongan halusinogen (LSD) atau dengan PCP.
Manifestasi klinik gejala toksisitas akut toksik dari pemakaian marijuana antara lain :
1. Ketajaman sensorik,
2. Euforia yang disertai dengan relaksasi atau rasa mengantuk seperti teler yang disebabkan
oleh gangguan aktivitas neurotransmitter dopaminergik dan norepinefrin yang berlebihan,
3. Peningkatan denyut jantung yang disebabkan laju aliran darah dalam pembuluh
meningkat yang ditandai dengan hipertensi,
4. Takikardia yang disebabkan gangguan impuls listrik,
5. Memori jangka pendek menuru karena aktivitas neurologik pada hipokampus yang
menurun pada sub-daerah yang bertanggung jawab pada daya ingat jangka pendek,
6. Fokus, perhatian, dan kemampuan pengambilan keputusan berkurang,
7. Gangguan psikomotorik, seperti gangguan koordinasi kerja otot, dan gangguan
keseimbangan pergerakan otot, reaksi refleks yang lambat, koordinasi tangan-mata yang
tereganggu, dan disinterpretasi jarak,
8. Nafsu makan bertambah,
9. Pneumomediastinum ditandai dengan overdistensi dan pecahnya bagian viseral
pulmonari dan parietal pleura. Gejala ini muncul sebagai tanda sekunder dari pemakai
marijuana melalui inhalasi,
10. Ansietas dan panik pada pemula.
Efek kronik dari pemakaian marijuana cenderung menimbulkan efek ketergantungan
psikologis daripada efek ketergantungan fisik. Efek ketergantungan ini bersifat adiksi lambat,
hal ini dikarenakan waktu paruh dari marijuana tergolong panjang yaitu sekitar tujuh hari
sehingga tertahan dalam tubuh lebih lama dalam konsentrasi yang besar karena tersimpan dalam
lemak. Gejala toksisitas kronik dari marijuana adalah sebagai berikut :
1. Gejala psikosis
Ditandai dengan ketidakmampuan membedakan mana yang nyata dan tidak dimana
tanda gejala ini hampir mirip dengan gejala skizoprenia. Namun tingkatan psikosis
enam kali lebih besar dibandingkan insidensi skizoprenia.
2. Gejala Withdrawal (putus obat)
Gejala ini timbul seperti iritabilita terhadap lingkungan (midriasis pada mata), nafsu
makan menurun, ansietas, rasa mengantuk berkurang, dan berat badan menurun.
3. Motilitas dan kualitas sperma menurun
Senyawa THC merupakan analog dengan senyawa ligan endogen pada otak yaitu
anadamida yang dapat mengganggu aktivitas komunikasi pada otak. Contohnya adalah
aktivitas pituitari yang melepaskan hormon gonadotropin untuk menstimulasi kelenjar
gonad dihambat kerjanya dengan adanya THC pada reseptor kanabinoid CB1 yang
tersebar banyak di otak, sehingga aktivitas regenerasi sel sperma terganggu.
4. Gangguan kognitif dan episodal memori
5. Dorongan seksual menurun
6. Kanker mulut, paru-paru, dan tenggorokan.
Hal tersebut diakibatkan oleh risiko dari pemakaian marijuana melalui inhalasi yang
ditengarai memiliki zat karsinogenik. Sehingga pemakaian kronik dapat menyebabkan
kanker pada organ saluran respirasi.
Penyalahgunaan ganja juga dapat menyerupai kelainan mental primer, seperti gangguan
cemas umum. Pemakaian ganja yang sudah lama dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan
dysthimic disorder.
Reaksi akut yang berbahaya harus dibedakan dengan gangguan panik,
gangguan depresi berat, waham, gangguan bipolar atau skizofrenia tipe paranoid. Pemeriksaan
fisik biasanya menunjukkan peningkatan denyut nadi dan injeksio konjungtiva.
V. Diagnosis
Ada 4 metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi marijuana. Metode ini
diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu metode untuk mendeteksi toksisistas marijuana dan
untuk mendeteksi apakah seseorang memakai marijuana atau tidak.
Tes untuk mendeteksi toksisitas marijuana adalah tes air liur dan tes darah. Keduanya
dilakukan spade 6-24 jam setelah seseorang mengonsumsi marijuana dalam dosis yang
menyebabkan toksisitas akut.
Tes untuk mendeteksi apakah seseorang adalah pemakai marijuana adalah dengan tes
darah, tes rambut, dan tes urin. Tes darah dapat mendeteksi sampai tujuh hari setelah pemakai
mengonsumsi marijuana. Tes rambut dapat mendeteksi sampai beberapa bulan atau bahkan satu
tahun setelah pemakai menggunakan marijuana, oleh karena itu tes ini membutuhkan biaya yang
cukup mahal. Tes urin dapat mendeteksi adanya 9-karboksi-tetrahidrokannabinol-diglucuronide
dalam bentuk terkonjugasi—yang merupakan metabolit dari THC, sampai sepuluh hari setelah
pemakai menggunakan marijuana
VI. Mekanisme Toksisitas
Ganja mengandung zat psikoaktif yang disebut dengan THC (Tetrahydrocannabinol)
yang merupakan faktor utama penyebab halusinasi. THC ini akan cepat meninggalkan plasma
dan masuk ke jaringan yang mengandung lemak, terutama otak. THC dimetabolisasi di hati dan
dikeluarkan terutama melalui tinja dan air seni. Dampak yang ditimbulkan oleh ganja adalah
kegembiraan, cerewet dalam bicara, dan rileks. Pengaruh ganja akan bertahan kira-kira 2-4 jam.
Gambar 6.1. Metabolisme THC
THC bersifat sangat larut lemak, sehingga THC akan sangat mudah terdistribusi ke
seluruh jaringan dan akan terdeposisi di jaringan lemak, oleh sebab itu THC memiliki volume
distribusi yang relatif besar (4-14 l/kg).
Karena kelarutannya yang tinggi, hal itu pun
menyebabkan THC sangat lama tertambat di jaringan lemak, dan ini akan memperlambat laju
eliminasi THC.
THC sebagai salah satu zat psikoaktif yang utama dalam ganja mengikat reseptor
anandamide di otak, memiliki efek stimulan, sedatif, atau halusinogen, tergantung pada dosis dan
waktu setelah konsumsi.
Pengeluaran katekolamin (yang mengakibatkan takikardia) dan
penghambatan refleks simpatis (yang mengakibatkan hipotensi ortostatik ) dapat diamati secara
langsung. Efek THC saat dihirup dalam rokok ganja, masuk ke paru-paru dan terbawa aliran
darah hingga sampai ke otak. Di otak, jika THC sampai pada “tempat” yang disebut reseptor
kannabinoid, akan menghilangkan beberapa reaksi seluler yang seharusnya terjadi. Beberapa
daerah pada otak memiliki reseptor kannabinoid. Meningkatnya kerapatan reseptor kannabinoid
pada otak mempengaruhi rasa senang, daya ingat, berpikir, konsentrasi, cara pandang dan
koordinasi gerak.
Pada akhirnya, orang yang biasa menggunakan rokok marijuana akan
kehilangan kemampuan intelektualnya.
THC diserap merlalui paru-paru (atau perut) ke dalam aliran darah dan dibawa ke otak,
tempat zat itu membanjiri reseptor dengan bahan kimia yang membangkitkan rasa senang di
otak. Pada umumnya, mengisap marijuana memberikan efek santai pada si pengguna. Marijuana
juga meningkatkan nafsu makan, dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan sebutan menjadi
“kelaparan”.
6.1.
Psikoaktif dan Metabolisme Ganja
Marijuana mengandung zat psikoaktif delta-9-tetra-hidro-kanabinol (THC). Zat ini
terdapat pada daun dan rantingnya dengan kadar THC tertinggi pada pucuk tanaman betina yang
sedang berbunga. Kadarnya berkisar 1,0% – 10%, bahkan bisa lebih bila dibudidayakan dengan
perlakuan dan faktor lingkungan yang baik. Selain THC, ganja juga mengandung kanabinol dan
asam tetrahidrokanabidiolat. Setiap batang rokok marijuana mengandung THC sebanyak 5-20
mg. Bila diisap, asap marijuana yang mengandung lebih dari 60 kanabinoid dan bahan kimia
lain ditahan dalam paru-paru beberapa detik. Sekitar 50% akan diabsorbsi (penggunaan oral
hanya diabsobsi 3-6%)
Pengaruh rokok marijuana pada penggunaan timbul setelah 20-30 menit dan kadar THC
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 2 – 3 jam. Kemudian THC meninggalkan plasma
dan masuk kedalam jaringan yang mengandung lemak, terutama otak dan testis. THC
dimetabolisme didalam hati dan ekskresi terutama melalui tinja dan urin. Waktu paruhnya adalah
2-7 hari. Sehingga dalam urin dapat dideteksi sampai seminggu setelah penggunaan terakhir.
6.2.
Efek Ganja Terhadap Otak
Marijuana sebagai bahan alami yang mengandung zat psikoaktif ternyata menjadikan
otak sebagai target utama kerjanya. THC sebagai zat psikoaktif utama dalam ganja, didalam
tubuh akan bekerja pada reseptor-B1 dan B2 yang terdapat di otak terutama pada kortek serebri,
hipokampus, serebelum.
Apabila seseorang merokok marijuana, bahan aktifnya yaitu kannabinoid atau THC,
cepat didistribusikan ke otak. Ventral Tegmental Area (VTA), nucleus accumbens, hipokampus
dan serebelum (warnaterang) adalah area dimana THC terkonsentrasi.
reseptor protein yang terkonsentrasi tersebut.
THC terikat dalam
Kerja THC dalam hippocampus adalah
mengganggu sistem memori sedangkan dalam serebelum dapat menyebabkan inkoordinasi saraf
dan hilangnya keseimbangan.
Beberapa penelitian terus dilakukan dan ternyata nucleus accumbens sering terkena.
Ada tiga neuron yang terlibat dalam proses tersebut yaitu terminal dopamin, terminal GABA dan
post synaptik yang mengandung sel reseptor dopamin. THC akan berikatan dengan reseptornya
pada terminal didekatnya dan mengirimkan signal ke terminal dopamin, sehingga terminal
tersebut mengeluarkan dopamin. Begitu dopamin terbebaskan terjadi peningkatan produksi sel
AMP didalam sel post sinaptik yang akan mengganggu aktifitas normal dari neuron.
(a)
(b)
Gambar 6.2. Lokasi THC terkonsentrasi dalam otak (kiri) dan ikatan THC dengan reseptor
protein (kanan).
Interaksi THC dengan reseptor kanabinoid ini memicu pelepasan neurotransmiter
dopamin (DA) dan norepinefrin (NE) pada mesolimbik otak. Sebagaimana diketahui bahwa di
dalam mesolimbik terdapat mesolimbic dopamine pathway yang mengandung Medial Fore-brain
Bundle (MFB) yang berisi serabut saraf dopaminergik. Serabut saraf ini menyebar dari Ventral
Tegmental Area (VTA) di bagian ventral otak tengah menuju Nucleus Accubens (NA) di ventral
bagian otak depan. Jalur neural dalam otak ini sering dijuluki sebagai “jalur kenikmatan” (brain
reward system/ brain plesure system).
Jalur ini mampu memberi penguatan (reinforcing)
positif dan adiksi pada pengunaan narkoba seperti opioida, kokain, nikotin, amfetamin, alkohol
dan marijuana.
Pelepaskan dopamin akan mengakibatkan seseorang merasakan kenikmatan atau
kepuasan sehingga dopamin sering disebut “neurotransmiter kenikmatan”.
Itu sebabnya
pengguna marijuana atau narkoba akan merasakan pengalaman yang nikmat. Jika dikonsumsi
berulang maka efek tersebut akan “menguasai dan mengendalikan” brain reward system dan
mendorong terjadinya “keharusan” (compulsory) untuk menggunakan obat lagi hingga timbullah
adiksi.
Kondisi adiksi ini bukan sekedar mencari kenikmatan, atau bukan sekedar mencegah
putus obat (withdrawal syndrome) tetapi yang terjadi adalah drug is hijacting the brain circuitry
atau sirkuit yang mengendalikan perilaku pecandu sepenuhnya telah diambil alih dan diarahkan
secara terus menerus untuk mencari dan menggunakan lagi. Padahal untuk memperoleh
kenikmatan dan kepuasan alami, mesolimbik otak telah dibantu oleh senyawa yang secara alami
sudah terdapat didalam otak yaitu anandamida (sama seperti marijuana), endorphin (sama seperti
morfin/heroin), asetilkolin (sama seperti nikotin) dan dopamin (sama seperti kokain dan
amfetamin).
Disamping itu TCH juga mempengaruhi reseptor mu-1 pada sistem opioida dan
mengubah reseptor GABA (gama-amino-butiric acid) hingga pengguna marijuana mempunyai
potensi untuk menggunakan zat psikoaktif lain. Jalur ini yang memungkinkan menjadi dasar
marijuana sebagai entry point pada penggunaan jenis narkoba lain, seperti yang pernah
dilaporkan di AS bahwa 98% pengguna kokain, mulainya dari pemakaian ganja.
Bukti visual mengenai pola otak terkait dengan perilaku yang semula dinilai sebagai
fenomena psikologi kini telah dapat dibuktikan dengan Perkembangan teknologi kedokteran saat
ini seperti penggunaan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT), yaitu metode
pencitraan kedokteran nuklir untuk mengukur aliran darah dan tingkat aktifitas otak. Seperti
yang diungkapkan hasil penelitian Daniel G. Amen, MD, seorang perintis dan spesialis
pencitraan otak, psikiater dengan menggunakan SPECT, menemukan bahwa otak pengisap ganja
pemula mengalami penurunan aliran darah yang akut sedangkan pengisap ganja kronis otaknya
mengalami penurunan perfusi secara menyeluruh dibanding dengan kelompok kontrol yang tidak
menggunakan ganja. Bahkan beliau menemukan adanya penurunan aktifitas lobus termporalis
otak.
Penurunan perfusi akan menyebabkan kekurangan suplai oksigen, yang dapat
menimbulkan kematian sel otak (infark otak) sehingga terjadi perubahan morfologi otak.
Gambaran morfologi yang di temukan yaitu bahwa otak normal otak tampak mulus,
simetris dan penuh. Sedangkan pada pengguna ganja seakan habis digerogoti, terutama lobus
temporalis.
VII.
Penanganan Toksisitas
Penatalaksanaan pada mereka yang menggunakan marijuana pada prinsipnya sama
dengan penatalaksanaan dari penyalahgunaan zat lain, melalui penghentian dan dukungan.
Penghentian dapat dicapai melalui hospitalisasi atau dengan mengontrol pasien melalui tes
skrining urin, dengan catatan marijuana bisa dideteksi dalam 3 hari sampai 4 minggu setelah
digunakan. Dukungan dapat diperoleh dari individu itu sendiri, keluarga dan para psikoterapi.
Farmakoterapi dapat diberikan bila rasa cemas (anxiety) tidak dapat diatasi, dengan
memberikan antianxietas seperti klordiazepoksid 10-50 mg/oral, yang dapat diulangi setelah 1
jam atau lorazepam 1-2 mg oral atau alprazolam 0.5 – 1 mg oral. Oleh karena menetapnya
metabolit THC di dalam tubuh, pasien diberitahu bahwa mereka mungkin mengalami perasaan
intoksikasi ringan dalam 2-4 hari. Bila reaksi memberat maka kepada pasien dan keluarganya
dikemukakan kemungkinan adanya komorbiditas gangguan jiwa lain.
Pada psikotik akibat
penggunaan ganja, dapat diberikan antipsikotik untuk jangka pendek dalam rangka mengatasi
perilaku yang tidak diinginkan, dapat diberikan haloperidol 5 mg/hari dalam dosis terbagi atau
klorpromazin 25-150 mg/oral.
VIII. Contoh Kasus
Colorado, satu wilayah negara bagian di Amerika Serikat telah melegalkan ganja medis.
Selain itu, sebanyak 18 negara bagian dan Washington, DC, telah melegalkan ganja medis.
Colorado dan Washington juga telah melegalkan penggunaan ganja rekreasi. Namun,
konsekuensi legalisasi yang diterima membuat belasan anak-anak tak sengaja keracunan ganja.
Setengah kasus yang dialami anak-anak itu seperti makan kue mengandung ganja, brownies,
soda, atau permen, dan dalam banyak kasus ganja itu berasal dari simpanan kakek dan neneknya.
Dokter memang belum terbiasa dengan keracunan ganja pada anak-anak, kecuali jika orangtua
datang untuk melakukan tes untuk mendiagnosa masalah. Gejala keracunan ganja pada anak
biasanya berupa rasa kantuk dan masalah keseimbangan saat berjalan.
Bahan aktif dalam ganja, tetrahydrocannabinol, lebih tinggi dari konsentrasi normal dalam
ganja medis, dan sering dijual dalam makanan yang dipanggang, minuman ringan, dan permen.
Seperti kasus keracunan lainnya, pengobatannya terbatas pada perawatan pendukung dan
menunggu sampai ganja dibersihkan dari sistem. Sebelum 30 September 2009 atau sebelum
undang-undang yang melegalkan ganja medis disahkan tak satupun anak-anak yang mengalami
keracunan ganja.
Pada akhir 2009, Departemen Kehakiman AS memerintahkan jaksa federal untuk tidak
menangkap pengguna ganja medis dan pemasoknya jika mematuhi undang-undang negara.
Untuk mencegah keracunan pada anak-anak, dianjurkan untuk memperlakukan ganja seperti
obat lain dan menjauhkan dari jangkauan anak-anak, terutama jika dalam bentuk yang menggoda
seperti kue.
IX. Daftar Pustaka
American Psychiatryc Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders Fourth Edition (DSM-IV). (hal 215-216)
Barile, Frank A. 2010. Clinical Toxicology Principles and Mechanism. Informa Helathcare.
New York : CRC Press. (hal 194-198)
Ford, Marsha D., Kathleen A. Delaney, et al. 2001. Clinical Toxicology. Philadelphia,
Pennsylvania : W.B. Saunders Company (hal 644)
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 442
http://doktersehat.com/bahaya-pengguna-ganja/ (diakses tanggal 4 desember 2014)
http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Anal-Tok-For-Formatbaru.pdf (diakses tanggal
6 Desember 2014)
http://granat.or.id/en/reports/579 (diakses tanggal 6 Desember 2014)
http://health.liputan6.com/read/597987/kue-dan-permen-ganja-racuni-anak-anak-di-colorado
(diakses tanggal 5 Desember 2014)
http://indoganja.com/2013/03/thc-tetrahydrocannabinol.html (diakses tanggal 5 Desember 2014)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25051/3/Chapter%20II.pdf (diakses tanggal 6
Desember 2014)
http://www.csam-asam.org/adverse-effects-marijuana-healthcare-professionals (diakses tanggal
4
Desember 2014)
http://www.drugabuse.gov/publications/drugfacts/marijuana (diakses tanggal 4 Desember 2014)
http://www.geocities.ws/kuliah_farm/farmasi_forensik/narcoba.doc (diakses tanggal 5 Desember
2014)
http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/health-pubs-drug-cannab2
ch52.htm (diakses tanggal 6 Desember 2014)
http://www.mayomedicallaboratories.com/images/articles/hottopics/2009/2009-9adrugsabuse/slide42.jpg (diakses tanggal 6 Desember 2014)
https://www.unodc.org/unodc/en/data-and-analysis/bulletin/bulletin_1973-0101_1_page003.html
(diakses tanggal 6 Desember 2014)
Download