pengantar

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A.
Latar Belakang
Mikroalga dinilai sebagai sumber yang paling memungkinkan untuk dapat
memproduksi biodiesel sebagai bahan bakar alternatif. Mikroalga merupakan
sumber biomassa dan lipid yang potensial serta lebih efisien dibandingkan
tanaman darat. Mikroalga mampu memproduksi minyak hingga 58.700 L ha-1,
yaitu mencapai ±10 kali lipat produktifitas kelapa sawit (Chisti, 2007). Mikroalga
juga merupakan organisme akuatik, sehingga penggunaan mikroalga sebagai
sumber biomassa tidak bersaing dengan penggunaan lahan pertanian dan mampu
diproduksi melalui teknik akuakultur (Rodolfi et al., 2009).
Hingga saat ini, masih banyak kendala yang dihadapi untuk memperoleh
biomassa dan lipid dari mikroalga yang memadai untuk digunakan sebagai
sumber biodiesel. Produksi biomassa dari mikroalga masih lebih mahal
dibandingkan dengan tanaman darat (Chisti, 2007). Faktor-faktor yang
mempengaruhi biaya produksi antara lain media tumbuh, ketersediaan cahaya,
temperatur, energi, dan peralatan yang diperlukan untuk membuat dan mengelola
sistem kultivasi (Chisti, 2007; Waltz, 2009). Hambatan utama yang dihadapi
dalam kultivasi
mikroalga dalam skala
besar adalah kesulitan
untuk
mempertahankan kondisi optimal pertumbuhan yang dicapai pada kultivasi skala
laboratorium (Kazamia et al., 2012; Lee, 2001).
Kultivasi pada skala laboratorium menyediakan kondisi lingkungan yang
optimal, teratur, dan memiliki tingkat kontaminasi yang rendah. Namun, untuk
mempertahankan kondisi tersebut pada kultivasi skala massal diperlukan biaya
yang sangat besar. Salah satu cara untuk produksi biomassa dalam skala besar
yang relatif murah yaitu menggunakan sistem Raceway Pond (Molina Grima et
al., 1999; Pearson, 1996; Terry dan Raymond, 1985). Pembuatan fasilitas
Raceway Pond serta memiliki biaya operasional yang lebih murah (Chisti, 2007).
Meskipun demikian, produktivitas biomassa dari Raceway Pond masih rendah.
Untuk meningkatkan produksi lipid dari mikroalga, hal yang sering
dilakukakan adalah dengan mengembangkan strain unggul dalam bentuk kultur
1
tunggal (monokultur) yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan kandungan
lipid yang tinggi. Salah satu contoh strain unggul yang banyak dikembangkan
adalah Chlorella zofingiensis, dengan kandungan lipid mampu mencapai 28-32%
dari berat kering (Chisti, 2007). Meskipun demikian, untuk mempertahankan
kondisi aseptis pada kultivasi skala besar pada sistem monokultur memerlukan
biaya perawatan yang cukup besar (Kazamia et al., 2012; Lee, 2001).
Kontaminasi seringkali berasal dari bakteri, fungi, organisme heterotrof lain,
predator, dan organisme fotosintetik lainnya. Karena hal tersebut, Kazamia et al.
(2012) menyatakan bahwa kultivasi monokultur, atau dengan kata lain singlespecies, sulit dilakukan dalam skala besar karena berlawanan dengan
kecenderungan alami suatu ekosistem untuk menjadi semakin kompleks.
Penggunaan kultur campuran atau konsorsium yang terdiri dari beberapa
jenis mikroalga dan bakteri berpotensi mampu mengoptimasi pertumbuhan kultur
(Kazamia et al., 2012). Hal ini dicapai dengan terjadinya hubungan simbiotik dari
berbagai niche yang ada dalam konsorsium. Hasil penelitian dari Croft et al.
(2005) menunjukkan bahwa alga dan bakteri memiliki hubungan simbiotik yang
erat, terutama dalam penyediaan vitamin B12. Adanya bakteri oligotrofik juga
mampu meningkatkan pengambilan mikronutrien, seperti besi, oleh alga (Amin et
al., 2009; Keshtacher-Liebson et al., 1995). Peningkatan keanekaragaman pada
kultivasi mikroalga telah terbukti mampu meningkatkan kandungan lipid pada
biomassa (Stockenreiter, 2012; Stockenreiter et al., 2012; Stockenreiter et al.,
2013)
Sistem konsorsium ini secara alami dapat kita jumpai pada komunitas
mikroalga di alam. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki banyak jenis
komunitas mikroalga lokal. Potensi hayati ini dapat dieksplorasi dan
dikembangkan untuk produksi biomassa berbasis mikroalga. Salah satu potensi
hayati ini adalah kultur campuran yang diperoleh dari Pantai Glagah, Yogyakarta
(Nuhamunada et al., 2013; Suyono et al., 2014). Kultur campuran ini berpotensi
untuk dapat menggantikan penggunaan sistem monokultur dalam produksi
biodiesel dari mikroalga. Oleh karena itu, perlu diketahui kandungan lipid dan
produktivitas lipid yang dihasilkan dari kultur campuran isolat Glagah dan kultur
tunggal C. zofingiensis pada skala laboratorium dan Raceway Pond.
2
B.
Permasalahan
Aplikasi
sistem
monokultur
pada
kultivasi
skala
besar
belum
menghasilkan produksi biomassa dan lipid yang maksimal. Dengan demikian,
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah kandungan lipid kultur campuran isolat Glagah dan
kultur tunggal C. zofingiensis pada skala laboratorium dan Raceway
Pond?
2. Bagaimanakah produktivitas lipid yang dihasilkan dari dari kultur
campuran isolat Glagah dan kultur tunggal C. zofingiensis pada skala
laboratorium dan Raceway Pond?
C.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui kandungan lipid kultur campuran isolat Glagah dan kultur
tunggal C. zofingiensis pada kultivasi skala laboratorium dan Raceway
Pond.
2. Mengetahui produktivitas lipid yang dihasilkan oleh kultur campuran
isolat Glagah dan kultur tunggal C. zofingiensis pada kultivasi skala
laboratorium dan Raceway Pond.
D.
Manfaat
Penelitian ini akan memberikan masukan bagi industri biomassa dari
mikroalga, khususnya yaitu memberikan informasi mengenai penggunaan kultur
campuran
sebagai
sumber
isolat
untuk
meningkatkan
kandungan
dan
produktivitas lipid mikroalga sebagai sumber biodiesel.
3
Download