Sistem Kekerabatan Sosial Masyarakat Desa Aimoli – Alor Dalam

advertisement
BAB IV
ANALISA HASIL PENELITIAN
1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan
Perkawinan Masyarakat Aimoli
Masyarakat di kampung Aimoli meyakini bahwa mereka adalah satu keluarga
yang terumpun di kampung Aimoli. Mereka berasal dari nenek moyang yang
sama, memiliki nilai-nilai luhur yang mengatur tentang kehidupan dengan sesama
dalam kepercayaan yang mereka anut secara bersama sebelum mereka mengenal
agama Kristen dan Islam. Berdasarkan inilah, masyarakat Aimoli dapat hidup
dengan harmonis dalam bingkai perbedaan baik itu status sosial, kekuasaan,
maupun agama. Meyakini memiliki satu kepercayaan yang sama, sebelum
menganut agama modern seperti sekarang, masyarakat Aimoli masih tetap kuat
menjalankan nilai-nilai atau norma-norma yang diajarkan nenek moyang.
Menurut nilai-nilai dan norma-norma ini memberikan mereka kehidupan yang
lebih baik dam harmonis. Ini menunjukkan kuatnya ikatan solidaritas dari
masyarakat Aimoli sebagai masyarakat yang memiliki perbedaan. Hal ini sejalan
dengan teori solidaritas sosial yang menunjukkan bahwa solidaritas merupakan
suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama.
Dengan kuatnya nilai solidaritas yang ada dalam masyarakat Aimoli, sekat
yang dibangun untuk memisahkan penganut agama Islam dan Kristen dapat
diruntuhkan
oleh
masyarakat
Aimoli.
52
Larangan
membangun
hubungan
perkawinan dalam perbedaan agama, tidak menjadi hal yang tidak lazim bagi
masyarakat Aimoli. Setiap anggota masyarakat Aimoli memiliki hak secara
individual untuk menentukan agama yang hendak dianut. Oleh karena itu,
hubungan perkawinan beda agama bagi penulis akan semakin menguatkan ikatan
kekeluargaan dan kekerabatan antar anggota masyarakat di desa Aimoli yang
menciptakan integrasi sosial dalam masyarakat. Perbedaan agama yang bisa
menjadi penghancur hubungan yang harmonis dalam masyarakat, semakin
diperkuat dengan adanya pernikahan antar anggota masyarakat yang berbeda
agama karena mengikat masyarakat tersebut dalam ikatan kekeluargaan. Hal ini
sejalan dengan Talcot Parson yang mengatakan bahwa integrasi membutuhkan
ikatan emosional yang cukup untuk menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk
mengembangkan dan mempertahankan kerja sama.1
2.
Makna Bela (Sumpah Darah), Sota Tofang Sahi Fani Tofang Sahi
(Pepatah/Sumpah Adat) dan Tarian Lego-lego bagi Kehidupan
Masyarakat di Aimoli
Bela atau bel basah, sota tofang sahi fani tofang sahi (tara miti tomi nuku)
dan tarian lego-lego, merupakan produk budaya dalam masyarakat Alor, yang
menciptakan kekerabatan dalam masyarakat atau antar suku/kampung. Bela
(sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang sahi (pepatah/sumpah adat) dan
tarian lego-lego, mengandung nilai dan norma dalam masyarakat Alor secara
umum dan masyarakat desa Aimoli secara khusus, yang mampu menjaga
1
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2, (Jakarta: PT. Gramedia
anggota IKAPI 1986), 130.
53
hubungan kekerabatan dalam masyarakat, walaupun mereka dibatasi oleh status
sosial, kekuasaan dan agama.
Bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang sahi (pepatah/sumpah adat)
dan tarian lego-lego, adalah representasi dari masyarakat yang terikat dalam
hubungan kekerabatan. Ketiga adat ini merupakan hasil kesepakatan masyarakat
untuk mempererat ikatan kekerabatan yang telah terjalin. Ketiga adat ini bersifat
sangat mengikat kehidupan masyarakat desa Aimoli satu dengan yang lainnya.
a.
Bela (Sumpah Darah), Sota Tofang Sahi Fani Tofang Sahi (Pepatah/Sumpah
Adat) dan Tarian Lego-lego sebagai Kenyataan Sosial/Fakta Sosial
Bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang sahi (pepatah/sumpah adat)
dan tarian lego-lego, merupakan sebuah kenyataan sosial yang mempengaruhi
individu-individu yang terikat di dalamnya. Ketiga adat ini berada di luar individu
dan mengakar di dalam kebiasaan-kebiasaan, serta adat istiadat masyarakat
Aimoli. Ketiga adat ini memiliki sifat memaksa dan mempengaruhi cara
bertindak, berpikir dan perasaan individu-individu yang terdapat di dalamnya.
Bahkan mampu mengontrol individu melalui norma-norma, hukum-hukum adat
dan ideologi yang ada di dalamnya. Hal ini sejalan dengan definisi Durkheim
tentang fakta sosial yang mengatakan bahwa fakta sosial adalah cara-cara
bertindak, berpikir dan merasa, yang berada di luar individu dan dimuati dengan
sebuah kekuatan memaksa, yang karenanya hal-hal itu mengontrol individu itu.
Ada tiga karakteristik fakta sosial yang dikemukakan Durkheim, yang
memiliki kesesuaian dengan ketiga adat ini yakni, Pertama gejala sosial bersifat
eksternal terhadap individu. Durkheim menegaskan bahwa fakta sosial merupakan
cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patuh sebagai
54
sesuatu yang berada di luar kesadaran individu. Bela, sota tofang sahi fani tofang
sahi dan tarian lego-lego menjadi nilai dalam tindakan, perilaku, dan cara berpikir
masyarakat Aimoli yang plural. Kedua, bahwa fakta sosial itu memaksa individu.
Setiap individu yang terikat dalam Bela, sota tofang sahi fani tofang sahi dan
tarian lego-lego dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi oleh
berbagai hukum-hukum adat dan norma-norma yang telah ditetapkan. Sehingga,
individu yang menjadi bagian dari ketiga adat ini tidak dapat bertindak seenak hati
tanpa memikirkan orang lain. Ketiga, fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar
secara meluas dalam satu masyarakat. Bela, sota tofang sahi fani tofang sahi dan
tarian lego-lego merupakan milik bersama masyarakat Alor, yang lahir dari
kesadaran kolektif (collective consciousness/conscience) masyarakat Alor untuk
mempererat hubungan kekerabatan yang terjalin di antara masyarakat maupun
suku/kampung. Sehingga Bela, sota tofang sahi fani tofang sahi dan tarian legolego bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari
sifat kolektifnya, sehingga mewakili kehidupan bersama dalam masyarakat Alor
secara umum dan masyarakat desa Aimoli secara khusus.
Fakta bahwa ketiga adat ini lahir dari sebuah kesadaran kolektif (collective
consciousness/conscience) dan didasari oleh hukum-hukum adat dan normanorma kemasyarakatan, turut memperlihatkan bahwa ketiga adat ini merupakan
moral yang memberikan keseimbangan, keselarasan dan solidaritas bersama
dalam kehidupan masyarakat di desa Aimoli. Walaupun, masyarakat desa Aimoli
terdiri dari dua agama yang berbeda, namun mereka memiliki dasar moral dan
kepercayaan yang sama bahwa mereka berasal dari leluhur yang sama, mereka
adalah saudara dan oleh karena itu hubungan mereka harus terus ditata, dijaga dan
55
dipelihara. Dan ini mendorong munculnya kesadaran kolektif (collective
consciousness/conscience) untuk memperkuat ikatan emosional yang mampu
menjaga solidaritas bersama antara masyarakat di desa Aimoli dalam keragaman
agama. Solidaritas sosial yang terjadi di desa Aimoli adalah kesadaran kolektif
dari masyarakat Aimoli yang terbentuk bukan karena bersumber pada agama baik
Kristen maupun Islam, tetapi terbentuk oleh adat-istiadat dari suku-suku di Aimoli
dan terbentuk jauh sebelum dua agama itu masuk.
Masyarakat di desa Aimoli merupakan masyarakat modern yang masih sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam solidaritas mekanik. Ini ditandai dengan kondisi
bahwa masyarakat dalam solidaritas mekanik menjadi satu dan padu karena
seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena
mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang
sama. Bagi masyarakat di desa Aimoli, agama yang mereka anut boleh saja agama
Kristen atau Islam, namun mereka tetap orang Aimoli, yang memiliki leluhur atau
nenek moyang yang sama. Perbedaan agama yang ada juga tidak menimbulkan
konflik antara mereka karena mereka memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu
menjaga nilai hidup bersama yang telah diwariskan oleh nenek moyang.
Solidaritas mekanik dibentuk oleh hukum represif (menekan) karena anggota
masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka
cenderung sangat percaya pada moralitas bersama. Apapun pelanggaran terhadap
sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar
akan dihukum atas pelanggarannya terhadap sistem moral kolektif. Demikian juga
yang terjadi dalam masyarakat adat di desa Aimoli. Pelanggaran yang dilakukan
oleh individu akan dianggap mencederai sistem moral bersama, sehingga
56
masyarakat Aimoli secara keseluruhan benar-benar menjaga hubungan satu
dengan yang lainnya, walaupun mereka memiliki keyakinan yang berbeda.
b. Bela (Sumpah Darah), Sota Tofang Sahi Fani Tofang Sahi (Pepatah/Sumpah
Adat) dan Tarian Lego-lego sebagai Tradisi yang diturunkan oleh Para
Leluhur
Orang Aimoli memahami bahwa di tengah kehidupan mereka ada kekuatan
yang luar biasa dan merupakan sumber bagi kehidupan mereka, yang dikenal
dengan Lahatala (konsep Tuhan orang Alor). Kehadiran Lahatala ini melalui
kehadiran nenek moyang sebagai leluhur keluarga. Oleh sebab itu, nenek moyang
sebagai leluhur menjadi bagian penting dari kehidupan orang Aimoli sebagai yang
menanamkan nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat Aimoli.
Bela, sota tofang sahi fani tofang sahi dan tarian lego-lego adalah kebijakankebijakan yang diturunkan oleh nenek moyang (leluhur), dengan tujuan mengatur
kehidupan bersama. Sehingga, secara tidak langsung ketiga adat ini turut memiliki
kekuatan dan nilai sakral. Nilai sakral dalam Bela, sota tofang sahi fani tofang
sahi dan tarian lego-lego diperoleh dari nenek moyang (leluhur) dan dilindungi
oleh aturan-aturan tertentu. Dengan demikian, pandangan Durkheim mengenai
‘yang sakral’ terdapat pula di dalam Bela, sota tofang sahi fani tofang sahi dan
tarian lego-lego, karena ketiganya dilindungi oleh aturan-aturan. Aturan-aturan
tersebut ada dalam kerangka ‘yang sakral.’ Aturan-aturan yang ada dalam
kerangka ‘yang sakral’ memiliki kekuatan, karena tidak hanya menyangkut
ganjaran-ganjaran atau hukuman-hukuman yang bersifat duniawi tetapi juga
ganjaran-ganjaran atau hukuman-hukuman yang bersifat supranatural.
57
Dalam kehidupan masyarakat Alor, termasuk masyarakat yang berada di desa
Aimoli, nenek moyang (leluhur) tidak hanya memiliki peran untuk melindungi
tetapi juga menghukum, karena masyarakat berkeyakinan bahwa nenek moyang
(leluhur) sebagai ‘yang memiliki kekuatan supranatural.’
Keyakinan masyarakat Aimoli bahwa ada suatu kekuatan yang lebih berkuasa
di atasnya, suatu kekuatan yang bersifat sakral sejalan dengan definisi agama yang
dikemukakan oleh Durkheim, bahwa agama merupakan serangkaian keyakinan
dan praktik yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, sesuatu yang terlarang,
keyakinan dan praktik yang menyatukan satu komunitas moral. Agama menurut
Durkheim berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan
mengenai hal-hal yang dianggap sakral dan hal-hal yang dianggap profan atau
duniawi. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang dilindungi dan diisolasi oleh
larangan-larangan; hal-hal yang profan adalah hal-hal tempat larangan-larangan
itu diterapkan dan harus tetap dibiarkan berjarak dari hal-hal yang sakral.2 Adanya
keyakinan dari masyarakat Aimoli bahwa mereka berasal dari nenek moyang
(leluhur) yang sama dan nenek moyang (leluhur) itu memiliki kekuatan
supernatural, mampu membingkai mereka dalam hubungan kekerabatan.
Hubungan kekerabatan yang diatur dalam ritual serta norma-norma dipandang
sebagai sifat sakral dari hubungan tersebut, dan mampu menjaga ikatan
kekerabatan tersebut.
2
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life (Terj. Inyiak Ridwan
Muzir), (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), 72.
58
c. Bela (Sumpah Darah), Sota Tofang Sahi Fani Tofang Sahi (Pepatah/Sumpah
Adat) dan Tarian Lego-lego sebagai Kesepatakan yang lahir dari kesadaran
kolektif (collective consciousness/conscience)
Berdasarkan sejarahnya, Bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang
sahi (pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego merupakan kesepakatan yang
lahir dari kesadaran kolektif (collective consciousness/conscience) masyarakat
Aimoli terhadap situasi sosial yang beragam di dalamnya. Dan sekarang secara
khusus, keragaman agama sebagai salah satu faktor yang dapat saja menimbulkan
konflik ataupun perpecahan dalam kehidupan masyarakat. Bela (sumpah darah),
sota tofang sahi fani tofang sahi (pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego
adalah hasil kesepakatan untuk tetap menjaga hubungan kekerabatan dan
kekeluargaan dalam kehidupan masyarakat Aimoli yang memiliki kesadaran
hidup bersama/kesadaran kolektif (collective consciousness/conscience). Dan
Durkheim mengartikannya sebagai seluruh kepercayaan dan perasaan bersama
orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat yang akan membentuk suatu sistem
yang tetap yang punya kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, Bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang sahi
(pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego, diharapkan mampu mengarahkan
masyarakat Aimoli dalam tindakan-tindakan yang positif. Ketiga warisan leluhur
ini tidak hanya menjadi jembatan penghubung perbedaan suku, status sosial dan
kekuasaan, namun juga menjadi jembatan penghubung antara komunitas Sarani
(Kristen) dan komunitas Salang (Muslim) untuk tetap menjaga kehidupan
bersama sebagai saudara dan membangun solidaritas karena meyakini bahwa
masyarakat dalam desa Aimoli lahir dari nenek moyang yang sama. Hal ini
59
sejalan dengan pemikiran Durkheim tentang solidaritas sosial yang adalah
kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan
atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut
bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
3. Bela
(Sumpah
Darah),
Sota
Tofang
Sahi
Fani
Tofang
Sahi
(Pepatah/Sumpah Adat) dan Tarian Lego-lego sebagai Integrasi Sosial
Kehidupan Masyarakat Aimoli
Integrasi dipahami sebagai upaya menyatukan masyarakat menjadi satu
kesatuan. Di dalamnya terdapat penyesuaian-penyesuaian terhadap unsur-unsur
yang berbeda, entah itu perbedaan kedudukan sosial, ras, etnis, agama, bahasa,
kebiasaan, sistem nilai dan norma. Penyesuaian-penyesuaian ini dimaksudkan
untuk menciptakan kondisi serasi dan harmonis. Integrasi sosial akan terbentuk
apabila sebagian besar anggota masyarakat sepakat mengenai struktur
kemasyarakatan yang dibangun termasuk nilai-nilai, norma-norma dan pranatapranata sosialnya.
Dalam proses integrasi, masyarakat Alor umumnya dan Aimoli khususnya
berupaya untuk menyesuaikan perbedaan-perbedaan yang ada, seperti Agama,
untuk mencapai kesatuan. Perbedaan Agama yang dimiliki oleh masyarakat
Aimoli diharapkan tidak menjadi halangan bagi mereka untuk berinteraksi dan
terintegrasi dalam satu ikatan kekerabatan. Hal ini sesuai dengan pemikiran
Banton, bahwa dalam integrasi masyarakat mengakui adanya perbedaan, tetapi
tidak memberikan fungsi penting pada perbedaan tersebut. Karena mereka
memfokuskan diri pada tujuan yang telah disepakati bersama.
60
Integrasi dalam masyarakat Alor umumnya dan Aimoli khususnya hadir
dalam berbagai kegiatan bersama, seperti pembangunan rumah ibadah dan tempat
tinggal, perayaan hari-hari besar keagamaan. Dan kebersamaan ini adalah
manifestasi dari tarian lego-lego yang menunjukkan adanya kesadaran untuk
menumbuhkan rasa solidaritas mereka dalam bentuk kerja sama dan saling
membantu. Tarian lego-lego dilakukan dengan gerakan jalan membentuk
lingkaran, mengaitkan jari kelingking satu dengan yang lain, berpelukan bahkan
bahu-membahu. Hal ini mau menggambarkan masyarakat Alor secara umum dan
masyarakat Aimoli secara khusus bahu-membahu, tolong-menolong, seia-sekata
dalam hidup bermasyarakat, serta mengerjakan dan menjalankan hidup dengan
penuh rasa kekeluargaan tanpa membedakan derajat, golongan dan Agama.
Makna lainnya ada dalam irama tambur, genderang, gong dan moko harus
bersesuaian dengan gerakan tarian yang maju-mundur dan ke kanan, hal ini
dimaknai bahwa masyarakat Aimoli memiliki tujuan yang sama, yaitu masyarakat
yang harmonis dan sejahtera, oleh karena itu masyarakat harus hidup bersesuaian
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalam Aimoli, karena kalau
seandainya irama dan gerakan yang dilakukan tidak sesuai maka tarian yang
dihasilkan menjadi tidak indah, demikian juga dengan hidup bermasyarakat di
Aimoli. Selanjutnya, tarian lego-lego ini harus dilakukan dengan mengelilingi
sebuah mezbah. Dalam setiap kampung yang ada di Kabupaten Alor, termasuk
Aimoli harus terdapat sebuah mezbah di tengah-tengah kampung. Mezbah ini
dibuat dari kumpulan-kumpulan batu kecil yang disusun dengan membentuk
bulatan. Batu-batu yang tersusun menjadi satu menggambarkan bahwa suku-suku
atau masyarakat yang ada di dalam kampung tersebut walaupun berbeda-beda
61
Agama, suku dan sebagainya, tetapi tetap bersatu padu dalam membangun
kampung.
Selain itu, William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff mengemukakan beberapa
syarat mengenai berhasilnya suatu integrasi sosial. Bela (sumpah darah), sota
tofang sahi fani tofang sahi (pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego mampu
menjadi sarana integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat Aimoli dengan
berbagai keragaman yang ada, dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu:
Pertama, masyarakat Aimoli merasa bahwa melalui ketiga budaya ini, mereka
telah berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan mereka. Kebutuhan-kebutuhan
itu meliputi rasa aman, rasa dihargai. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut
menyebabkan setiap anggota masyarakat saling menjaga keterikatan antara satu
dengan yang lainnya.
Kedua, masyarakat Aimoli telah berhasil menciptakan kesepakatan bersama
(collective consciousness/conscience) mengenai norma dan nilai-nilai sosial yang
dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam berinteraksi antara satu dan lainnya,
termasuk menyepakati hal-hal yang dilarang menurut kebudayaannya. Normanorma dan nilai-nilai sosial ini telah lama ada dalam kehidupan masyarakat
Aimoli, dan hidup dalam hubungan kekerabatan. Dalam Bela (sumpah darah),
sota tofang sahi fani tofang sahi (pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego telah
disepakati hukum-hukum atau norma-norma yang mengatur hubungan antar
masyarakat selama bertahun-tahun lamanya.
Ketiga, masyarakat Aimoli melalui ketiga budaya ini, telah berhasil
menumbuhkan ikatan saudara sekalipun mereka berbeda secara keturunan
maupun Agama. Hal ini tercermin dalam semboyan atau sumpah adat yang selalu
62
mengikuti sumpah darah (bela) dan selalu menjadi nasihat dalam pantun-pantun
yang mengiringi tarian lego-lego, yakni “Sota Tofang Sahi Fani Tofang Sahi,”
yang artinya walaupun kita berbeda tetapi tetap bersatu padu. Hal ini menjadi
landasan untuk tetap bersama sekalipun mereka berbeda.
Keempat, norma-norma sosial yang telah disepakati bersama tersebut berlaku
dalam kehidupan masyarakat Aimoli dalam waktu yang lama. Wujud dan bentuk
serta isi dari kesepakatan itu pun tidak berubah tetapi tetap dijalankan secara
konsisten oleh masyarakat. Makna yang didapat adalah masyarakat saling bahumembahu, tolong-menolong, seia-sekata dalam hidup bermasyarakat, serta
mengerjakan dan menjalankan hidup dengan penuh rasa kekeluargaan tanpa
membedakan derajat, golongan dan Agama.
Faktor yang berperan sangat penting dalam proses integrasi masyarakat
Aimoli adalah kesadaran kolektif mereka, dan ditunjang oleh keyakinan bahwa
mereka adalah saudara dan merupakan keturunan satu nenek moyang yang sama.
Pencapaian masyarakat Aimoli untuk menjadi satu kesatuan yang utuh dalam
masyarakat yang memiliki banyak perbedaan, bukanlah hal yang mudah, dan
dibangun melalui kesepakatan-kepakatan sosial dari setiap anggota masyarakat.
Proses untuk mencapai integrasi dalam masyarakat Aimoli, adalah Pertama,
Akomodasi. Menurut Gillin akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan
oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan
sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi, proses penyesuaian diri
dengan konteks sosial. Sementara Sumner melihat akomodasi sebagai kerja sama
antagonis dalam kaitan dengan kerja sama antara dua belah pihak yang berbeda
untuk menyelesaikan perbedaan.
63
Pada tahapan ini, masyarakat Aimoli dalam sejarahnya telah memandang
bahwa perbedaan atas nama suku, ras, agama dapat menimbulkan konflik dan
perpecahan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini kemudian membuat sampai para
leluhur lalu mengambil sikap dengan jalan membuat sumpah sebagai upaya untuk
meredakan pertentangan di antara masyarakat. Pertentangan-pertentangan yang
dapat dihasilkan dari perbedaan-perbedaan atas nama agama, ras, suku ataupun
golongan dinilai dapat menghancurkan dan berpotensi untuk menimbulkan
sentimen-sentimen sosial dalam kehidupan anak cucu dari para leluhur sendiri.
Maka sumpah darah tersebut diangkat dengan meneteskan darah dari masingmasing pihak (agama, ras, suku, golongan) yang kemudian dituangkan ke dalam
mangkuk dan dicampur dengan tuak, lalu minuman tersebut diminum secara
bersama, setelah itu diikuti dengan sumpah adat dan menarikan tarian lego-lego
sebagai simbol persaudaraan dari berbagai komunitas yang berbeda tersebut.
Masyarakat Aimoli memandang bahwa Bela (sumpah darah), sota tofang sahi
fani tofang sahi (pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego, merupakan hasil dari
proses akomodasi, dalam usaha tetap untuk menerapkan ketiga budaya tersebut
sebagai jalan keluar dari perbedaan agama yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Hasilnya adalah Aimoli mampu bersikap netral dalam menghadapi isu-isu
ataupun ketegangan-ketegangan dalam masyarakat, dan melahirkan kerjasama dan
harmoni sosial. Dalam tahapan akomodasi ini pula, terjadi penguatan terhadap
nilai-nilai, aturan, norma dan hukum-hukum adat yang dahulu telah disepakati
untuk meredakan pertentangan di dalam masyarakat.
Kedua, Kerja sama. Charles. H. Cooley mengatakan kerjasama sebagai
berikut. “Kerjasama timbul akibat orang menyadari bahwa mereka mempunyai
64
kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai
cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan
tersebut;
kesadaran
akan
adanya
kepentingan-
kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang
penting dalam kerjasama yang berguna.” Kerjasama yang dilakukan masyarakat
Aimoli dalam berbagai komunitas yang berbeda, khususnya Islam-Kristen hadir
sebagai
perwujudan
akan
kesadaran
bersama
(collective
consciousness
/conscience) untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kerjasama yang terjadi
di dalam ikatan bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang sahi
(pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego bukan hanya kerjasama di antara
orang-orang yang terlibat dalam kelompok tertentu, tetapi di antara seluruh
anggota masyarakat tanpa terkecuali mulai dari tingkat individu, keluarga,
lembaga dan masyarakat. Kerjasama ini adalah bukti solidaritas bersama.
Kehadiran Bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang sahi
(pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego dalam kehidupan masyarakat Aimoli
juga memberi sebuah pemahaman bahwa masyarakat bukanlah sekedar wadah
untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial,
melainkan
juga
pangkal
dari
kesadaran
kolektif
(collective
consciousness/conscience) dan sasaran utama dari perbuatan moral atas rasa
tanggung jawab.
65
4. Bela
(Sumpah
Darah),
Sota
Tofang
Sahi
Fani
Tofang
Sahi
(Pepatah/Sumpah Adat) dan Tarian Lego-lego sebagai Etika Hidup
Bersama dalam Pluralisme Agama
Dalam sejarah kehidupan umat beragama, agama seringkali dijumpai sebagai
pemicu konflik dan perpecahan yang berbahaya. Dibanyak tempat di belahan
bumi ini, telah terjadi konflik berdarah yang menelan banyak korban manusia dan
harta benda, serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan di pelbagai bidang, di
lingkungan masyarakat atas dasar agama.
Gambaran perpecahan dalam masyarakat ini disebabkan karena tidak ada
landasan pemersatu dalam bingkai keagamaan yang dapat menjadi jembatan
terhadap perbedaan yang muncul dalam masyarakat. Oleh sebab itu, agama sering
kali dijadikan sebagai dasar atau alasan untuk tidak boleh hidup bersama atau
harus hidup terpisah, tidak boleh berdamai atau rukun dengan orang yang berbeda
agama. Bahkan ada anjuran untuk memusuhi dan membinasakan orang-orang
yang beragama lain.
Situasi sosial seperti ini kemudian dilihat sebagai kendala untuk menjalin
hubungan dengan komunitas agama yang lain. Maka dalam kehidupan bersama di
masyarakat Alor umumnya dan Aimoli khususnya, muncul tiga budaya yang
dilihat sebagai hasil dari kesadaran kolektif (collective consciousness/conscience),
yang mampu membingkai hubungan komunitas Islam dan Kristen dengan damai.
Kehadiran
bela
(sumpah
darah),
sota
tofang
sahi
fani
tofang
sahi
(pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego ini, dinilai berperan dalam
kelangsungan kesatuan masyarakat dan mampu menembus sekat-sekat agama.
66
Ketiga budaya warisan leluhur ini dalam konteks kehidupan beragama
masyarakat desa Aimoli, mampu menjadi semangat pemersatu. Nilai dan makna
yang terkandung bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang sahi
(pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego, mampu menjadi landasan etika hidup
bersama, sebab ketiga budaya dalam kehidupan masyarakat Aimoli menampilkan
rasa persaudaraan, penghargaan, serta saling membantu atau tolong-menolong
dalam kehidupan masyarakat melampaui batas-batas perbedaan yang ada,
termasuk agama. Bahkan ketiga budaya ini dijadikan sebagai patokan terhadap
interaksi sosial, sebab mengandung makna moralitas dan solidaritas yang tinggi di
dalamnya.
Semangat Bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang sahi
(pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego, dapat menjadi landasan untuk tetap
bersama sekalipun mereka berbeda. Serta menjadi menjadi dasar yang kuat bahwa
perbedaan agama, suku, ras bukanlah alasan untuk kita tidak dapat hidup bersama
dalam suatu masyarakat. Masyarakat Aimoli adalah keluarga, dan mereka adalah
masyarakat Alor yang hidup berdampingan satu dengan yang lain, walaupun ada
perbedaan antara mereka.
Sebagai warisan leluhur Bela (sumpah darah), sota tofang sahi fani tofang
sahi (pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego sebagai etika hidup bersama
masyarakat Aimoli, mampu mengalahkan aturan keagamaan, seperti fatwa MUI
bagi umat Islam di seluruh Indonesia. Komisi Fatwa MUI pada tanggal 7 Maret
1981, pernah mengeluarkan fatwa yang menganjurkan umat Islam tidak boleh
67
mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan natal.3 Dan pada tanggal 19 Desember
2012, Komisi Fatwa MUI kembali mengeluarkan larangan bahwa umat Islam
tidak boleh mengucapkan selamat natal.4 Namun, fatwa ini tidak pernah dilakukan
oleh masyarakat Alor secara umum, dan masyarakat Aimoli secara khusus. Setiap
tahun, dalam rangka memperingati hari-hari besar agama, baik itu Islam (halal bi
halal) dan Kristen (natal bersama), masyarakat desa Aimoli selalu merayakannya
bersama-sama. Setiap kali perayaan hari besar agama Islam (halal bi halal),
persiapan-persiapan selalu dilakukan bersama-sama dengan umat kristiani
(panitia), bahkan makanan dan minuman yang disajikan dalam acara perayaan itu
juga dimasak oleh ibu-ibu yang beragama Kristen. Demikian juga sebaliknya.
Dalam hal ini terlihat jelas bahwa sekalipun MUI telah mengeluarkan fatwa,
namun masyarakat desa Aimoli tetap melaksanakan perayaan hari-hari besar
keagamaaan secara bersama-sama, karena mereka tidak menghendaki agama
menghancurkan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan mereka sebagai orang
Aimoli yang berasal dari satu nenek moyang/leluhur yang telah mewariskan
mereka nilai dan norma untuk hidup bersama.
Nilai etika yang ditemukan dalam budaya bela (sumpah darah), sota tofang
sahi fani tofang sahi (pepatah/sumpah adat) dan tarian lego-lego, telah menjadi
landasan moral yang sudah teruji mampu membuat masyarakat di desa Aimoli
tetap hidup bersatu dalam menjaga keharmonisan hidup dan hubungan
kekerabatan yang diwariskan leluhur sampai dengan sekarang.
3
http://islampos.com/buya-hamka-mengundurkan-diri-dari-mui-karena-natal-34291/,
diunduh tanggal 20 Februari 2013
4
http://www.tempo.co/read/news/2012/12/20/173449329/MUI-Umat-Islam-Tidak-Usah-
Ucapkan-Selamat-Natal, diunduh tanggal 20 Februari 2013.
68
Download