BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
1. Pengertian Umum Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, dimana didalamnya juga
mengatur tentang perikatan. Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka,
artinya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari
kata “overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah ”agreement” dalam
bahasa Inggris. Di dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu
persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perjanjian” adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perikatan” adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang
15
Universitas Sumatera Utara
16
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.12 Pihak-Pihak yang ada dalam
suatu perjanjian disebut sebagai subyek perjanjian yang terdiri dari manusia dan
badan hukum.
Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”.
Karena dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur
dalam KUH Perdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena undangundang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian. Dalam hal ini jika dengan
hukum perikatan, termasuk baik perikatan yang terbit dari undang-undang
maupun perikatan yang terbit karena undang-undang, maka dengan hukum
perjanjian, yang dimaksudkan hanya terhadap perikatan-perikatan yang terbit dari
perjanjian saja. Sedangkan hukum yang berlaku terhadap perjanjian pada
prinsipnya adalah KUH Perdata.13
Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,
disampingnya
sumber-sumber
lain.
Suatu
perjanjian
juga
dinamakan
persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat
12
13
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 1.
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 179.
Universitas Sumatera Utara
17
dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama
artinya.14
Pihak-pihak yang ada dalam suatu perjanjian disebut sebagai subyek
perjanjian yang terdiri dari manusia dan badan hukum.
2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat15 :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat sahnya perjanjian di atas, dapat dibagi dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu16 :
1. Syarat Subyektif
Adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian apabila
yang menyangkut pada subyek ini tidak dipenuhi, maka salah satu pihak
dapat meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberiksan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Syarat
subyektif terdiri dari :
14
Subekti, Op.Cit.
Ibid., hlm. 17.
16
Ibid.
15
Universitas Sumatera Utara
18
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksud dari kata sepakat adalah tercapainya persetujuan kehendak
antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu.
Kata sepakat itu dinamakan juga perizinan, artinya bahwa kedua
belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus bersepakat.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undangundang tidak dinyatakan tidak cakap.
Berkaitan dengan hal ini, Pasal 1330 KUH Perdata menemukan tentang
orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian, yaitu :
-
Orang-orang yang belum dewasa;
-
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
-
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang
dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat
perjanjian-perjanjian
tertentu.
Tetapi
hal
ini
sudah
dihapuskan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963
tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan
Negeri dan
Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia. Bahwa Mahkamah Agung
menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang
suatu isteri untuk melakukan suatu perbuatan hukum dan untuk
menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya
sudah tidak berlaku lagi.
Universitas Sumatera Utara
19
2. Syarat Obyektif
Adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, yang meliputi
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat ini tidak
dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Syarat obyektif terdiri dari :
a. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek
perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal 1332
KUH Perdatan menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat
menjadi pokok persetujuan-persetujuan.
Selain itu dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan
bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Jadi
penentuan
obyek
perjanjian
sangatlah
penting
untuk
menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian
jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya.
b. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian. Menurut
pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian,
dimana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1337 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
20
Sedangkan dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyebutkan bahwa
suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Berkaitan dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian
yang berisi sebab yang tidak halal adalah batal demi hukum. Dengan
demikian tidak dapat memenuhi pemenuhannya di depan hukum.17
3. Asas-Asas Perjanjian
Menurut Salim H.S. didalam Hukum Kontrak atau Hukum Perjanjian,
dikenal adanya 5 (lima) asas penting, yaitu18 :
a.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Asas Kebebasan Berkontrak memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk :
(a) membuat atau tidak membuat perjanjian,
(b) mengadakan perjanjian dengan siapapun,
(c) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya,
(d) menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.
17
Ibid., hlm. 20
Salim HS., Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 9.
18
Universitas Sumatera Utara
21
b. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
Konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat kedua
belah pihak. Asas Konsesualisme yang dikenal dalam KUH Perdata
adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
c.
Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Survanda)
Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga dengan Asas Kepastian
Hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta
Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
22
Namun dalam perkembangannya, Asas Pacta Sunt Servanda diberi
arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan
sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum
sudah cukup dengan sepakat saja.
d. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Asas Iktikad Baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata menyebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik.
Asas Iktikad Baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur
dan debitur, harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan dan keyakinan teguh atau kemauan baik para pihak.
Asas ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
(a) Iktikad Baik Nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku
yang nyata dari subjek perjanjian.
(b) Iktikad Baik Mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan
keadilan, dengan dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai
keadaan atau membuat penilaian yang tidak memihak menurut
norma-norma yang obyektif.
e.
Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan membuat kontrak hanya untuk kepentingan
Universitas Sumatera Utara
23
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal
1340 KUH Perdata.
Pasal 1315 menyebutkan bahwa pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri.
Pasal 1340 menyebutkan bahwa perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya.
Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 1317 KUH Perdata menyebutkan bahwa dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu
perjanjian dibuat untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur
perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli
warisnya atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan
pihak ketiga, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata mengatur
perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli waris, dan orangorang yang memperoleh hak darinya.
3. Prestasi dan wanprestasi
Suatu perjanjian dapat menimbulkan prestasi dan kontra prestasi bagi para
pihak dari perjanjian tersebut. Prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah
pelaksanaan terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis
Universitas Sumatera Utara
24
dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk
itu. Jadi, memenuhi prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak memnuhi
janjinya.19
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, maka prestasi dari
suatu perjanjian terdiri dari :
1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.
Suatu perjanjian dapat dikatakan dilaksanakan dengan baik apabila para
pihak telah memenuhi syarat yang telah diperjanjikan. Namun demikian pada
kenyataannya, sering dijumpai bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian tidak
dapat berjalan dengan baik karena salah satu pihak wanprestasi. Dapat pula
dikemukakan, bahwa ia lalai atau alpa atau ingkar janji atau bahkan melanggar
perjanjian dengan melakukan suatu hal yang tidak boleh dilakukan.
Pengertian wanprestasi, yang kadang-kadang disebut juga dengan istilah
“cidera janji” adalah kebalikan dari pengertian prestasi. Dalam bahasa Inggris
disebut dengan “default” atau “nonfulfillment” atau “breach of contract”. Yang
dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam
kontrak yang bersangkutan.20
19
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers Jakarta, 2014, hlm. 207.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 17.
20
Universitas Sumatera Utara
25
Menurut pendapat R. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang
debitur dapat berupa21 :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang wanprestasi ada 4 (empat)
macam, yaitu22 :
1. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau membayar ganti
rugi;
2. pembatalan perjanjian;
3. peralihan risiko;
4. membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan di pengadilan.
Debitur yang dituduh lalai atau wanprestasi oleh krediturnya dapat
melakukan pembelaan guna mencegah terjadinya eksekusi obyek jaminan atau
menghindari kewajiban membayar ganti rugi. Pembelaan debitur dapat meliputi 3
(tiga) macam, yaitu23 :
21
Subekti, Op.Cit., hlm. 45.
Ibid.
23
Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Bebas Jeratan Utang Piutang, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2010, hlm. 68.
22
Universitas Sumatera Utara
26
1. Debitur
mengajukan
alasan
adanya
keadaan
memaksa
(force
majeure/overmacht) sehingga debitur tidak dapat melaksanakan
kewajibannya.
2. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur juga telah lalai
melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian, misalnya kreditur terlambat
mencairkan kredit.
3. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur telah menetapkan
aturan kredit yang tidak wajar misalnya menetapkan bunga dan denda
yang terlalu tinggi atau menetapkan syarat agunan yang terlalu ketat.
B. Pengaturan Perjanjian Kredit Perbankan pada Umumnya
Yang dimaksud dengan perkreditan adalah suatu penyediaan uang atau
yang dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam
antara pihak kreditur (bank, perusahaan atau perorangan) dengan pihak debitur
(peminjam), yang mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dalam
jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur
(pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung.24
Istilah kredit dapat didefinisikan dalam beberapa golongan, yaitu :
1. Berdasarkan Etimologis
24
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Op.Cit.,
hlm.111.
Universitas Sumatera Utara
27
Kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” yang berarti
kepercayaan (trust atau faith). Dengan demikian istilah kredit memiliki arti
khusus, yaitu meminjamkan uang (atau penundaan pembayaran). Apabila
orang mengatakan membeli secara kredit maka hal itu berarti si pembeli
tidak harus membayarnya pada saat itu juga.25
2. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
a. Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain,
yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan.
b. Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunsai utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
25
H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2005, hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (disebut PBI 7/2005)
menyebutkan bahwa penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga, termasuk :
- Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
- Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
- Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.”
3. Berdasarkan Pendapat Ahli
Raymond P. Kent dalam bukunya Money and Banking mengatakan
bahwa kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atas kewajiban
untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta atau pada waktu
yang akan datang karena penyerahan barang-barang sekarang.26
Menurut O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi
(misalnya uang, barang) dengan batas prestasi (kontra prestasi) akan
terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern
26
Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2007,
hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
29
adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat
kredit yang menjadi pembahasan.27
Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima
kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan
saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan
atas komponen-komponen kepercayaan risiko, dan pertukaran ekonomi
pada masa-masa mendatang.28
Peraturan tentang perkreditan atau regulasi perkreditan di sektor
perbankan secara nasional diatur dalam UU Perbankan dan Peraturan Bank
Indonesia. Di samping itu, pengaturan perkreditan juga diatur secara internal di
masing-masing bank dalam bentuk Pedoman Perkreditan atau Peraturan
Perkreditan.29
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di dalam Pasal 8 ayat (2) secara
tegas meyebutkan bahwa Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan Pedoman
Perkreditan dan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pedoman Perkreditan yang harus ada di masing-masing Bank Umum,
berdasarkan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) dari UU Nomor 10 Tahun 1998, harus
memuat aturan tentang :
27
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.
123.
28
Ibid.
Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 101.
29
Universitas Sumatera Utara
30
a. Perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;
b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
nasabah debitur untuk melunasi utangnya. Keyakinan tersebut harus
berdasarkan hasil penilaian terhadap Prinsip 5-C (Character, Capacity,
Capital, Collateral, dan Condition of Economy);
c. Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan
persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau
pihak terafiliasi;
f. Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.
Regulasi Perkreditan di sektor Perbankan juga diatur oleh Bank Indonesia
yang berwenang untuk melakukan pengawasan bank di Indonesia. Berdasarkan
SK Direksi BI No. 27/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada setiap bank
diwajibkan untuk memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang sekurangkurangnya memuat atau mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan,
organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi
dan administrasi kredit, pengawasan, dan penyelesaian kredit bermasalah.30
30
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2010, hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
31
Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang
jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya. Dengan demikian risiko yang
mungkin timbul sedini dapat dideteksi dan dikendalikan sedini mungkin,
sekaligus dapat menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang
dalam pemberian kredit. Dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang
dengan sengaja melanggar pedoman perkreditan, sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf b
UU No. 10/1998 dapat diancam pidana penjara 3 hingga 8 tahun serta denda Rp 5
miliar hingga Rp 10 miliar.31
Unsur kredit yang paling esensial adalah “Kepercayaan” dari bank/kreditur
terhadap nasabah peminjam/debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena
dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh
debitur, antara lain : jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau
agunan, dan lain-lain.32
Dalam buku “Dasar-Dasar Perkreditan” karya Drs. Thomas Suyatno
mengemukakan unsur-unsur kredit terdiri atas33 :
a. kepercayaan;
b. tenggang waktu;
c. tingkat risiko (degree of risk);
d. pestasi dan obyek kredit.
31
Ibid.
Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 99.
33
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 56.
32
Universitas Sumatera Utara
32
Menurut CH. Gatot Wardoyo, bahwa perjanjian kredit mempunyai
beberapa fungsi, yaitu34 :
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya
perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan
barang jaminan;
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak
dan kewajiban di antara kreditur/bank dengan nasabah/debitur;
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit.
Dalam prakteknya saat ini, secara umum ada 2 (dua) jenis kredit yang
diberikan oleh bank kepada para nasabahnya, yaitu35 :
1. Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaannya, berupa :
a. Kredit Produktif
Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang
menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya. Untuk
kredit jenis ini terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
-
Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai
kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi
dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan.
34
S. Mantayborbir, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Pustaka
Bangsa Press, Jakarta, 2004, hlm. 89.
35
H.R. Daeng Naja, Op.Cit.,hlm. 125.
Universitas Sumatera Utara
33
-
Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan
barang modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan
suatu barang ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan.
b. Kredit Konsumtif
Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang perorangan
untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat umumnya (sumber
pengembaliannya dari fixed income debitur).
2. Kredit ditinjau dari segi jangka waktunya, berupa :
a. Kredit Jangka Pendek
Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak
melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.
b. Kredit Jangka Menengah
Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka
waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.
c. Kredit Jangka Panjang
Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka
waktu 3 (tiga) tahun.
C. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Baku Antara Debitur dan Kreditur
Perjanjian kredit dari bank (selaku kreditur) kepada nasabah (selaku
debitur) harus selalu didasari adanya perjanjian kredit antara kedua belah pihak.
Perjanjian kredit harus dibuat dengan memperhatikan semua aspek Hukum
Universitas Sumatera Utara
34
Perjanjian, terutama asas-asas Hukum Perjanjian dan syarat sahnya suatu
perjanjian.36
Pemberian kredit dari Bank kepada Debitur, selain harus didasari oleh
adanya unsur kepercayaan, juga harus didasari oleh adanya sebuah kontrak
perjanjian kredit yang bersifat tertulis dan pada umumnya perjanjian kredit
tersebut diikat dengan sebuah akta notaris agar kepastian hukumnya lebih
terjamin.37
Menurut Prof. Subekti, S.H., pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa
di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu
hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian
itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.38
Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut Pasal
1313 KUH Perdata, perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih. Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana
hak dan kewajiban di antara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.39
36
Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 102.
Ibid. hlm. 103
38
Subekti, Op.Cit. hlm.1.
39
H.R. Daeng Naja, Op.Cit.,hlm. 175.
37
Universitas Sumatera Utara
35
Perjanjian kredit antara Debitur dengan Bank terdiri dari 2 (dua) macam
perjanjian, yaitu :
1. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok
Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil, yan diikuti
dengan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).
Pengertian “riil” berarti perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang
oleh pihak Bank kepada Debitur.40
Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan umumnya
berbentuk perjanjian baku (standard contarct), karena bentuk perjanjiannya
telah disediakan pihak bank sebagai kreditur, sedangkan pihak debitur hanya
mempelajari dan memahami dengan baik.41
Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa klausula baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan syarat yang telah dipersiapkan atau
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
konsumen.
Dari pengertian tersebut, tampak bahwa isi perjanjian dengan klausula
baku ditetapkan secara sepihak oleh kreditur, ini menunjukkan hukum yang
berlaku pada perjanjian itu adalah hukum kreditur. Sekaligus juga
40
41
Iswi Hariyani, Op.Cit., hlm. 15.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
36
menunjukkan pihak yang berkedudukan sosial dan ekonominya kuat seolaholah yang berwenang menetukan isi perjanjian.42
Dalam perjanjian baku, pihak debitur hanya dalam posisi menerima
atau menolak tanpa ada kemungkinan melakukan negosiasi atau tawar
menawar. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang
ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban menandatangani perjanjian
kredit, tetapi apabila debitur menolak maka ia tidak perlu menandatangani
perjanjian kredit tersebut.43
Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kedudukan yang
sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon nasabah debitur
sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang diajukan dan
ditetapkan oleh pihak kreditur, karena jika tidak demikian, maka calon
nasabah debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud.44
Perjanjian kredit, walaupun umumnya berbentuk perjanjian baku,
tetapi bentuk perjanjian baku tersebut tidak mengingkari asas kebebasan
berkontrak, sepanjang tetap menegakkan asas-asas umum perjanjian seperti
penetapan syarat-syarat yang wajar dengan menjunjung keadilan, dan adanya
keseimbangan para pihak sehingga menghilangkan upaya penekanan kepada
pihak lainnya.45
42
Gatot Supramo, Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 20.
Hermansyah, Op.Cit., hlm. 67.
44
S. Mantayborbir, Op.Cit., hlm. 86.
45
Iswi Hariyani, Op.Cit., hlm. 21.
43
Universitas Sumatera Utara
37
Rumusan perjanjian baku dalam perjanjian kredit harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu46 :
1. tidak ada unsur kecurangan;
2. tidak ada unsur pemaksaan akibat ketidakseimbangan kekuatan
para pihak;
3. tidak ada syarat perjanjian yang hanya menguntungkan secara
sepihak;
4. tidak ada risiko yang hanya dibebankan secara sepihak;
5. tidak ada pembatasan hak untuk menggunakan upaya hukum.
Perjanjian kredit yang bersifat baku tidak boleh bertentangan dengan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Pelaku usaha, sesuai Pasal 18, dilarang membuat klausula baku
yang mencantumkan hal-hal sebagai berikut :
a. Pelaku usaha dilarang membuat aturan baru, aturan tambahan,
dan/atau aturan selanjutnya yang dibuat secara sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
(Pasal 18 ayat (1) huruf g).
b. Pelaku usaha dilarang membuat klausula yang menyatakan bahwa
konsumen
memberi
kuasa
kepada
pelaku
usaha
untuk
membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran (Pasal 18
ayat (1) huruf h).
46
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
38
c. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (Pasal 18 ayat (2)).
Pelanggaran terhadap ketentuan di atas dapat berakibat perjanjian
baku tersebut dinyatakan batal demi hukum (Pasal 18 ayat (3)). Disamping
itu, semua pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausul baku yang
bertentangan dengan Pasal 18 agar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 18 ayat (4)).
2. Perjanjian Jaminan sebagai Perjanjian Tambahan
Pemberian kredit dari bank kepada debitur, sebagaimana pemberian
kredit pada umumnya, disamping harus didasarkan adanya perjanjian
kredit sebagai perjanjian pokok, juga harus diikuti pembuatan perjanjian
jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).47
Perjanjian jaminan digolongkan sebagai perjanjian accessoir karena
perjanjian
tersebut
bersifat
perjanjian
tambahan
atau
ikutan
yang
pemberlakuannya mengikuti perjanjian pokok yang mendasarinya. Perjanjian
jaminan berkaitan dengan pengikatan jaminan atau agunan kredit yang
umumnya diikat dengan akta notaris yang bersifat baku dan bersifat
eksekutorial.48
Sifat eksekutorial dari perjanjian jaminan mengandung konsekuensi
jika debitur melakukan wanprestasi maka bank dapat mengajukan
47
48
Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 108.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
39
permohonan eksekusi agunan melalui Ketua Pengadilan Negeri tanpa harus
melalui proses peradilan biasa yang panjang dan berbelit-belit. Perjanjian
jaminan dibuat pihak bank sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan
prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit sehingga kelak ada jaminan
pengembalian kredit bank yang utuh.49
49
Ibid. hlm. 109.
Universitas Sumatera Utara
Download