analisis pengaruh budaya organisasi dan reward terhadap kinerja

advertisement
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1. Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu dalam penelitian ini meliputi :
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
Tahun
1.
Sutanto
2000
2.
Fadli
2004
3.
Syawal
2006
Hutasuhut
Judul
Penelitian
Peranan Gaya
Kepemimpinan
Yang Efektif
dalam upaya
meningkatkan
Semangat dan
Kegairahan
kerja
Karyawan di
Toserba Ms
Sidoarjo
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
Terhadap
Kinerja
Karyawan
PT. Kawasan
Industri Medan
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
dan Semangat
Kerja
Karyawan
PDAM
Tirtanadi
di
Kota Medan
Metode
Hasil
Regresi
linier
Sederhana
(simple
liner
regression)
Gaya
kepemimpinan
berpengaruh
positif
terhadap Semangat dan
Kegairahan kerja.
Regresi
linier
Sederhana
(simple
liner
regression)
Gaya
kepemimpinan
secara serempak dan
parsial
berpengaruh
signifikan
terhadap
kinerja karyawan.
Alat Uji
Regresi
Berganda
(multiple
regression
analysis)
Gaya
kepemimpinan
secara serempak dan
parsial
berpengaruh
terhadap semangat kerja
karyawan
Universitas Sumatera Utara
2.2. Teori Tentang Motivasi
2.2.1. Pengertian dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Maslow (1994) menyatakan motivasi berhubungan dengan lima macam kebutuhan
penting yang secara bersama-sama membentuk sebuah hierarki. Hierarki tersebut
adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial,
kebutuhan akan penghargaan.
Flippo (1992), menyatakan bahwa “pada dasarnya motivasi adalah suatu
ketrampilan dalam memadukan kepentingan karyawan dan kepentingan
organisasi sehingga keinginan karyawan dipuaskan bersamaan dengan
tercapainya sasaran organisasi”.
Sedangkan Robbins (2001), menyatakan bahwa “Motivasi adalah kesediaan
untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang
dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa
kebutuhan individual. Kebutuhan adalah suatu keadaan internal yang
menyebabkan hasil tertentu tampak menarik, seperti kebutuhan aktualisasi
diri: menggunakan kemampuan, skill, dan potensi dan kebutuhan
penghargaan: status, titel.
Universitas Sumatera Utara
Pemberian rangsangan motivasi kepada bawahan dapat dikelompokkan
sebagai berikut (Heidjrahman, 1990) :
a. Motivasi tidak langsung
Motivasi tidak langsung merupakan kegiatan manajemen yang secara implisit
mengarahkan kepada upaya memenuhi motivasi internal serta kepuasan
kebutuhan individu dalam organisasi.
b. Motivasi langsung
Motivasi langsung merupakan pengaruh kemauan karyawan yang secara langsung
atau sengaja diarahkan kepada internal motif pegawai dengan jelas memberikan
rangsangan yang lebih terarah.
c. Motivasi negatif
Motivasi negatif merupakan macam kegiatan yang disertai ancaman dan hukuman
terhadap pegawai yang tidak mau atau tidak mampu melaksanakan perintah yang
diberikan.
d. Motivasi positif
Motivasi positif merupakan kegiatan dalam mempengaruhi orang lain dengan cara
memberikan penambahan kepuasan tertentu misalnya memberikan promosi,
memberikan insentif dan kondisi kerja yang lebih baik dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan beberapa alternatif metode guna memotivasi seseorang adalah sebagai
berikut :
a. Ancaman
Ancaman bersikap baik merupakan metode pemberian motivasi sebagai usaha
untuk meningkatkan semangat para pegawai dengan memberikan kondisi kerja
yang baik, berbagai tunjangan, upah yang tinggi, dan pengawasan yang baik.
b. Tawar menawar
Tawar menawar secara implisif diaman manajemen mendorong para pegawai
menghasilkan sejumlah keluaran yang pantas, dengan membuat suatu persetujuan
untuk memberikan sebagai imbalannya dan pengawasan yang pantas.
c. Persaingan
Persaingan untuk mendapatkan kenaikan upah, promosi yang diberikan kepada
orang yang bekerja sangat baik, persaingan untuk memenuhi kepuasan beberapa
bentuk kebutuhan.
d. Internalisasi motivasi
Internalisasi motivasi adalah pemberian rangsangan motivasi dengan cara
memberikan peluang pemuasan kebutuhan melalui pekerjaan itu sendiri, sehingga
pegawai akan senang melakukan pekerjaan dengan baik.
Setiap orang memerlukan 5 (lima) kebutuhan yang telah dikemukakan oleh
Maslow sebagaimana diuraikan di atas sebagai sumber motivasi dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan semangat kerja. Namun yang paling penting bagi seseorang adalah
motivasi yang dimulai dari dalam dirinya sendiri (motivasi instrinsik), sesuai dengan
pendapat Terry dalam Hasibuan (2003) bahwa “Motivasi yang paling berhasil adalah
pengarahan diri sendiri oleh pekerja yang bersangkutan”. Keinginan atau dorongan
tersebut harus datang dari individu itu sendiri dan bukanlah dari orang lain dalam
bentuk kekuatan dari luar”.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas disimpulkan bahwa motivasi kerja
adalah suatu perangsang keinginan dan daya gerak yang menyebabkan seseorang
bersemangat dalam bekerja karena terpenuhi kebutuhannya. Pegawai yang
bersemangat dalam bekerja disebabkan telah terpenuhinya kebutuhannya seperti gaji
yang cukup, keamanan dalam bekerja, bebas dari tekanan dari pimpinan maupun
rekan sekerja, dan kebutuhan lainnya, hal ini akan berdampak pada kepuasan kerja
yang akhirnya mampu menciptakan kinerja yang baik.
Motivasi kerja adalah kekuatan yang mendorong semangat yang ada di dalam
maupun diluar dirinya baik itu yang berupa reward maupun punishment, sehingga
Herzberg dalam Luthans (2003) menyatakan bahwa pada manusia terdapat sepuluh
faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau instrinsic
motivation, yang meliputi : 1) Prestasi yang diraih (achievment), 2) Pengakuan orang
lain (recognition), 3) Tanggung jawab (responsibility), 4) Peluang untuk maju
(advancement), 5) Kepuasan kerja itu sendiri (the work itself), dan 6) Pengembangan
karir (the possibility of growth). Sedangkan faktor pemeliharaan (maintenance factor)
yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivitation meliputi: 1) Kompensasi,
Universitas Sumatera Utara
2) Keamanan dan keselamatan kerja, 3) Kondisi kerja, 4) Status, 5) Prosedur
perusahaan, 6) Mutu dari supervisi teknis dari hubungan interpersonal diantara teman
sejawat, atasan, dan bawahan.
Menurut Herzberg dalam Tanjung (2003) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi motivasi meliputi faktor ekstrinsik dan instrinsik, yaitu :
1. Faktor ekstrinsik yaitu keadaan pekerjaan (job contenxt) yang membuat rasa tidak
puas (dissatisfaction) diantara karyawan apabila kondisi ini tidak ada maka tidak
perlu memotivasi karyawan. Faktor yang penyebab seseorang tidak puas
(dissastifier) meliputi : upah, keamanan kerja, kondisi kerja, status, prosedur
perusahaan, mutu dari supervisi teknis dan hubungan interpersonal diantara
atasan, bawahan dan rekan sejawat.
2. Faktor instrinsik meliputi kepuasan kerja meliputi prestasi (achievment),
pengakuan
(recognition),
tanggung
jawab
(responsibilities),
kemajuan
(advancement), pekerjaan itu sendiri (the work it self) dan kemungkinan
berkembang (the possibility of growth).
2.2.2. Hierarki Kebutuhan dari Maslow
Inti dari teori Maslow adalah bahwa kebutuhan itu tersusun dalam suatu
hierarki. Tingkat kebutuhan yang paling rendah ialah kebutuhan fisiologis
(physiological needs) dan tertinggi ialah kebutuhan akan perwujudan diri (self
actualization needs). kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis (phsylogical needs), merupakan kebutuhan pokok yang
harus dimiliki seperti makan, minum, tempat tinggal dan istirahat.
Universitas Sumatera Utara
2. Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan (safety and security), kebutuhan ini
mencakup kebebasan atau keamanan dari ancaman kejadian atau lingkungan.
3. Kebutuhan rasa memiliki, sosial dan cinta (social needs), kebutuhan ini seperti
afiliasi, memberi dan menerima kasih sayang dan persahabatan.
4. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) yaitu kebutuhan yang berkaitan
dengan kehormatan diri seseorang (kemandirian, keberhasilan keyakinan diri
sendiri dan pengetahuan) dan reputasi seseorang (status, penghargaan, dan
penghormatan dari orang lain).
5. Kebutuhan perwujudan diri (self actualization needs) yaitu tingkat kebutuhan
yang mendominasi bila kebutuhan yang lain telah terpenuhi.
2.2.3. Teori Motivasi Dua Faktor Herzberg ( Herzberg’s Two Factor Theory)
Teori dua faktor adalah teori yang memuat faktor-faktor membuat orang puas
dan tidak puas (dissatisfiers-satisfiers), atau faktor ekstrinsik dan instrinsik. Teori ini
diuji dengan melibatkan sekolompok orang akuntan dan ahli mesin. Dari hasil
penelitian ini Herzberg mengambil dua kesimpulan, yakni :
1. Serangkaian kondisi ekstrinsik, keadaan pekerjaan (job contenxt) yang membuat
rasa tidak puas (dissatisfaction) diantara karyawan apabila kondisi ini tidak ada
maka tidak perlu memotivasi karyawan. Kondisi tersebut adalah faktor yang
membuat orang tidak puas (dissastifier) yang mencakup : upah, keamanan kerja,
kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, mutu dari supervisi teknis dan
hubungan interpersonal diantara atasan, bawahan dan rekan sejawat.
Universitas Sumatera Utara
2. Serangkaian kondisi instrinsik, kepuasan kerja, yang akan menggerakkan tingkat
motivasi yang kuat sehingga menghasilkan kinerja yang baik. Serangkaian faktor
ini juga disebut satisfiers factor yang meliputi prestasi (achievment), pengakuan
(recognition), tanggung jawab (responsibilities), kemajuan (advancement),
pekerjaan itu sendiri (the work it self), dan kemungkinan berkembang (the
possibility of growth).
2.2.4. Teori Motivasi Prestasi dari Mc Cleland (Mc Cleland Achievment
Motivation)
Mc Cleland dalam teorinya menyatakan bahwa banyak kebutuhan diperoleh
dari kebudayaan (Stoner, 1992). Ada tiga kebutuhan dari teori ini, yakni :
1. Kebutuhan akan prestasi (need for achievment)
2. Kebutuhan akan afiliasi (need for afiliation)
3. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power).
Jika kebutuhan seseorang sangat mendesak maka kebutuhan itu mendesak
maka kebutuhan itu akan memotivasi seseorang untuk berusaha keras memenuhinya.
2.2.5. Teori Motivasi ERG dari Alderfer’s (Existance, Relatedness and Growth)
Teori ini dikemukan oleh Clayton Alderfer (1972) yang merupakan
penyempurnaan kebutuhan dari Maslow. Oleh para ahli teori ini dianggap lebih
mendekati keadaan sebenarnya berdasarkan fakta empiris. Alderfer mengemukakan
ada tiga kelompok pemenuhan kebutuhan, yaitu :
1. Existence Needs, berhubungan dengan kebutuhan dasar termasuk didalamnya
Physiological Needs dan Safety needs dari Maslow.
Universitas Sumatera Utara
2. Relatednees Needs, menekankan akan pentingnya hubungan antara individu
(interpersonal relationship) dan juga bermasyarakat (social relationship).
Kebutuhan ini berkaitan juga dengan love needs dan esteem needs dari Maslow.
3. Growth Needs, adalah keinginan instrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau
meningkatkan kemampuan dirinya.
2.2.6. Teori Harapan (Expectansy theory)
Teori harapan menganggap motivasi sebagai satu fungsi yang menimbulkan
harapan-harapan individu dimana pemenuhannya tergantung akan kaitan antara
upaya-upaya dan efektivitas individu atau kelompok dengan imbalan yang akan
diterima (Tanjung, 2003).
Teori ini dirumuskan sebagai berikut :
M = [ (E-P) ] [ (P-O) V ]
dimana :
M = Motivasi
E = Pengharapan
P = Prestasi
O = Hasil (outcome)
V = Penilaian (value)
Secara sederhana teori ini merupakan interaksi antara harapan setelah
dikurangi prestasi, dengan kontribusi penilaian yang dikaitkan dengan prestasi
dikurangi
hasil.
Karena
kebutuhan
diatas
merupakan
generalisasi
karena
kenyataannya kebutuhan setiap orang tidak sama.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Teori Tentang Kepemimpinan
Menurut sumber dari seorang ahli yang mendefinisikan kepemimpinan, seperti:
Terry (1977), yang menyatakan bahwa “Leadership is the relationship in which
one person or the leader, influence other to work together willingly on related task
to attain that which the leader desires”. Sedangkan Sikula (1992), menyatakan
bahwa “Leadership in an administration process that involves directing the affairs
and actions of others”.
Atas hal tersebut kepemimpinan merupakan hubungan antara personal dengan
pimpinan dan sebuah proses administrasi yang berpengaruh secara langsung yang
berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan oleh yang lainnya.
Bila dilihat dari bentuk gaya kepemimpinan ini ada beberapa jenis yang dapat
dikemukakan oleh Ralph White and Ronald Lipit (2002) adalah sebagai berikut :
Autocratic Leaderships, Democratic Leaderships, Laissez Faire (free rein).
George R. Terry( 1977 : 125 ) mengemukakan 8 (delapan) teori kepemimpinan
sebagai berikut: Teori Otokratis (The Autocratic Theory), Teori Psikologis (The
Psycologic Theory), Teori Sosiologis (The Sosiologic Theory), Teori Supportif
(The Supportive Theory), Teori Laissez faire (The Laissez Faire Theory), Teori
Perilaku (The Personal Behavior Theory), Teori Sifat (The Trait Theory), dan
Teori Situasi (The Situation Theory).
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu
perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya
dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk
tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat
yang disampaikan oleh Mark (2004) yang menyatakan bahwa pola tindakan
pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan
tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan
melalui tiga aliran teori berikut ini yakni : (1) Teori Genetis (Keturunan). Inti dari
teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan
(bakat) bukannya dibuat). (2) Teori Sosial. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa
“Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya
kodrati). (3) Teori Ekologis. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti
bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah
memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui
pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan
lebih lanjut.
Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya
kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya
Universitas Sumatera Utara
kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu
pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut
diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992)
mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari
pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s), yang dapat dinotasikan sebagai :
k = f (p, b, s).
Menurut Hersey dan Blanchard (1992) pimpinan adalah seseorang yang dapat
mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum
yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan
dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap
pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis,
manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok
orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap
saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna
mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat
strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para
pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpin dituntut untuk memilih bawahan
dengan secermat mungkin.
Adapun situasi menurut Hersey dan Blanchard (1992) adalah suatu keadaan
yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu
mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada
Universitas Sumatera Utara
beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat
sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur
yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan
situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan
menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
2.3.2. Tipelogi Kepemimpinan
Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang
beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut :
1) Tipe Otokratis
Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri
sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan
tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat
semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung
kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan
penggerakkannya
sering
mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat
menghukum.
2) Tipe Militeristis
Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin
tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang
pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifatsifat berikut : Dalam menggerakkan bawahan sistem perintah yang lebih sering
dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat
Universitas Sumatera Utara
dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin
yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya;
Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
3) Tipe Paternalistis
Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah
seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai
manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective);
jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan;
jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif;
jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya
kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.
4) Tipe Karismatik
Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa
seseorang pemimpin memiliki kharisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin
yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada
umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar, meskipun
para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi
pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab
seseorang menjadi pemimpin yang Karismatik, maka sering hanya dikatakan
bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural
powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai
kriteria untuk karisma.
Universitas Sumatera Utara
5) Tipe Demokratis
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin
yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi
karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam
proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia
itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan
kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari
pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari
bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam
usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar
bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk
berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih
sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya
sebagai pemimpin.
2.3.3. Model Kepemimpinan
Model kepemimpinan didasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada
hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang
yang berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa
model yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan
Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa pemimpin
mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan
sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang
menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis. Perilaku
otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau
wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan
pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya
serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui
ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai
manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada
pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu,
orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.
Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa
atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi
dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha
mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, dimana si
pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya.
Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.
Universitas Sumatera Utara
Namun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua
model perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki
kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan
Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1992) mengelompokkannya menjadi tujuh
kecenderungan perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak
melainkan akan memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu
garis kontinum dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi
demokratis yang berorientasi pada hubungan.
Model Kepemimpinan Ohio. Dalam penelitiannya, Universitas Ohio
melahirkan teori dua faktor tentang gaya kepemimpinan yaitu struktur inisiasi dan
konsiderasi (Hersey dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku
pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota kelompok
kerja dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi, dan metode atau
prosedur yang ditetapkan dengan baik. Adapun konsiderasi mengacu kepada perilaku
yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat dan
kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan).
Adapun contoh dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan waktu untuk
menyimak anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan perubahan, dan pemimpin
bersikap bersahabat dan dapat didekati. Sedangkan contoh untuk faktor struktur
inisiasi misalnya pemimpin menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok,
pemimpin meminta anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar,
dan pemimpin memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan dari
Universitas Sumatera Utara
mereka. Kedua faktor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut dalam
implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model kepemimpinan
yang rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b) model kepemimpinan yang
tinggi konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang tinggi
konsiderasinya tetapi rendah struktur inisiasinya, dan (d) model kepemimpinan yang
rendah konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya.
Model Kepemimpinan Likert (Likert’s Management System). Likert dalam
Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan dapat dikelompokkan
dalam empat sistem, yaitu sistem otoriter, otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan
partisipatif. Penjelasan dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang disajikan
pada bagian berikut ini.
Sistem Otoriter (sangat otokratis). Dalam sistem ini, pimpinan menentukan
semua keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan memerintahkan semua
bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga menentukan standar
pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam menjalankan pekerjaannya,
pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan hukuman. Oleh karena itu, hubungan
antara pimpinan dan bawahan dalam sistem adalah saling curiga satu dengan lainnya.
Sistem otoriter bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan dengan sistem
sebelumnya adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan dalam menetapkan
standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan. Selain itu,
pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian dan bahkan hadiah ketika
Universitas Sumatera Utara
bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun demikian, pada sistem inipun, sikap
pemimpin yang selalu memerintah tetap dominan.
Sistem Konsultatif. Kondisi lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya
pola komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam
menerapkan kepemimpinannya cenderung lebih bersifat mendukung. Selain itu
sistem kepemimpinan ini juga tergambar pada pola penetapan target atau sasaran
organisasi yang cenderung bersifat konsultatif dan memungkinkan diberikannya
wewenang pada bawahan pada tingkatan tertentu.
Sistem Partisipatif. Pada sistem ini, pemimpin memiliki gaya kepemimpinan
yang lebih menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah. Untuk
mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan dan
memberikan kepercayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam proses
pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu melibatkan bawahan.
Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi adalah pola dua arah dengan
memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengungkapkan seluruh ide ataupun
permasalahannya yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian,
model kepemimpinan yang disampaikan oleh Likert ini pada dasarnya merupakan
pengembangan dari model-model yang dikembangkan oleh Universitasi Ohio, yaitu
dari sudut pandang struktur inisasi dan konsiderasi.
Universitas Sumatera Utara
Model
Kepemimpinan
Managerial
Grid.
Jika
dalam
model
Ohio,
kepemimpinan ditinjau dari sisi struktur inisiasi dan konsideransinya, maka dalam
model manajerial grid yang disampaikan oleh Blake dan Mouton dalam Robbins
(1996) memperkenalkan model kepemimpinan yang ditinjau dari perhatiannya
terhadap tugas dan perhatian pada orang. Kedua sisi tinjauan model kepemimpinan
ini kemudian diformulasikan dalam tingkatan-tingkatan, yaitu antara 0 sampai dengan
9. Dalam pemikiran model managerial grid adalah seorang pemimpin selain harus
lebih memikirkan mengenai tugas-tugas yang akan dicapainya juga dituntut untuk
memiliki orientasi yang baik terhadap hubungan kerja dengan manusia sebagai
bawahannya. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak dapat hanya memikirkan
pencapaian tugas saja tanpa memperhitungkan faktor hubungan dengan bawahannya,
sehingga seorang pemimpin dalam mengambil suatu sikap terhadap tugas, kebijakankebijakan yang harus diambil, proses dan prosedur penyelesaian tugas, maka saat itu
juga pemimpin harus memperhatikan pola hubungan dengan staf atau bawahannya
secara baik. Menurut Blake dan Mouton ini, kepemimpinan dapat dikelompokkan
menjadi empat kecenderungan yang ekstrim dan satu kecenderungan yang terletak di
tengah-tengah keempat gaya ekstrim tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Teori Tentang Kinerja
2.4.1. Pengertian dan Tujuan Penilaian Kinerja
Dalam perkembangan yang kompetitif dan mengglobal, perusahaan
membutuhkan pegawai yang memiliki prestasi kerja yang tinggi.
Menurut Mangkunegara (2007) bahwa ”Kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya”.
Selanjutnya Rivai (2005) menyatakan bahwa ”Kinerja adalah hasil kerja yang
dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya
pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak
bertentangan dengan moral atau etika”.
Dari pengertian di atas, maka pada hakikatnya kinerja merupakan prestasi
yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai
dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu.
Tujuan penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan
prestasi organisasi melalui peningkatan prestasi dari sumber daya manusia organisasi.
Menurut Sunyoto dalam Mangkunegara (2007), secara lebih spesifik, tujuan dari
penilaian kinerja adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan saling pengertian antara pegawai tentang persyaratan prestasi.
Universitas Sumatera Utara
b. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang pegawai, sehingga mereka termotivasi
untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan
prestasi yang terdahulu.
c. Memberikan peluang kepada pegawai untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan
yang diembannya sekarang.
d. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga pegawai
termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
e. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan
kebutuhan pelatihan, khususnya rencana pendidikan dan pelatihan, dan kemudian
menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.
Kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat digolongkan
pada 3 (tiga) kelompok, yaitu kompotensi individu orang yang bersangkutan,
dukungan organisasi dan dukungan manajemen.
1. Kompotensi Individu
Adalah kemampuan dan keterampilan melakukan kerja. Kompetensi setiap orang
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan,
yaitu :
a. Kemampuan dan ketrampilan kerja
b. Motivasi dan etos kerja
Universitas Sumatera Utara
2. Dukungan Organisasi
Kinerja setiap orang juga tergantung pada dukungan organisasi dalam bentuk
pengorganisasian, penyedian sarana dan prasarana kerja, pemilihan teknologi,
kenyamanan lingkungan kerja, serta kondisi dan syarat kerja. Pengorganisasian
dimaksudkan untuk memberi kejelasan bagi setiap unit kerja dan setiap orang
tentang sasaran yang harus dicapai dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai
sasaran tersebut.
3. Dukungan Manajemen
Kinerja perusahaan dan kinerja setiap orang juga sangat tergantung pada
kemampuan manajerial para manajemen atau pimpinan, baik dengan membangun
sistem kerja dan hubungan industrial yang aman dan harmonis, maupun dengan
mengembangkan kompetensi pekerja, demikian juga dengan menumbuhkan
motivasi dan memobilitasi seluruh pegawai untuk bekerja secara optimal.
2.4.2. Penilaian Kinerja
Penilian kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian dan pelaksanaan
tugas seseorang atau sekelompok orang atau unit-unit kerja dalam satu perusahaan
atau organisasi sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan lebih
dahulu. Penilian kinerja merupakan cara yang paling adil dalam memberikan imbalan
atau penghargaan kepada pekerja.
Tujuan penilaian kinerja adalah untuk menjamin pencapaian sasaran dan
tujuan perusahaan dan juga untuk mengetahui posisi perusahaan dan tingkat
pencapaian sasaran perusahaan, terutama untuk mengetahui bila terjadi keterlambatan
Universitas Sumatera Utara
atau penyimpangan supaya segera diperbaiki, sehingga sasaran atau tujuan tercapai.
Hasil penilaian kinerja individu dapat dimanfaatkan untuk banyak penggunaan.
Menurut Rachmawati (2008), manfaat dari penilian kinerja adalah sebagai
berikut :
a. Meningkatkan Kinerja Pegawai
Dari hasil kerja atau pekerjaan pegawai, dapat diketahui masalah dan
produktivitas pegawai dalam bekerja. Dengan demikian, pegawai dapat
memperbaiki atau meningkatkan prestasi setelah mengetahui hasil atau umpan
balik dari adanya evaluasi tersebut.
b. Standar Kompensasi yang Layak
Dari hasil evaluasi kinerja, manajer dapat mengetahui berapa gaji atau
kompensasi yang layak yang harus diberikan pada pegawai. Hal ini penting
karena evaluasi kinerja dapat membantu dalam pengambilan keputusan manajer,
apakah pemberian gaji, bonus, insentif, dan bentuk kompensasi lain sudah layak
dan adil bagi pegawai.
c. Penempatan Pegawai
Pada periode tertentu, pegawai akam mengalami promosi, mutasi, transfer, dan
demosi. Oleh karena itu, sebelum keputusan itu diambil, manajer dapat melihat
hasil kinerja karyawan dalam sebuah evaluasi yang sudah dilakukan sehingga
dapat meminimalisasi risiko kesalahan dalam penempatan pegawai.
Universitas Sumatera Utara
d. Pelatihan dan Pengembangan
Hasil evaluasi dapat diketahui oleh manajer, di mana manajer melihat apakah
program pelatihan dan pengembangan diperlukan atau tidak. Apabila hasil
evaluasi menunjukkan banyak kekurangan, maka sudah saatnya diperlukan
program pelatihan dan pengembangan, baik untuk pegawai yang baru maupun
untuk pegawai yang senior.
e. Jenjang Karier
Dari hasil evaluasi kinerja, manajer dapat menyusun jalur karier pegawai sesuai
dengan kinerja yang telah ditunjukkan pegawai.
f. Penataan Staf
Hasil kinerja yang baik atau buruk, mencerminkan bagaimana manajemen
mengatur pembagian sumber daya manusia di dalam organisasi.
g. Minimnya data Informasi
Informasi yang akurat sangat dibutuhkan organisasi untuk mengambil keputusan
guna menempatkan pegawai, promosi, mutasi, demosi, kebutuhan pelatihan dan
pengembangan, jenjang karier pegawai, dan komponen-komponen lain dalam
sistem informasi manajemen sumber daya manusia. Informasi ini begitu
pentingnya sehingga mampu mengurangi kesalahan pengambilan keputusan yang
tidak tepat.
Universitas Sumatera Utara
h. Kesalahan Desain Pekerjaan
Adanya indikasi hasil evaluasi kinerja yang buruk merupakan tanda adanya
kesalahan dalam deskripsi desain pekerjaan yang tidak atau kurang cocok pada
pegawai.
Untuk
itu
manajer
perlu
memikirkan
bagaimana
mengatasi
permasalahan tersebut.
i. Peluang Kerja yang Adil
Peluang kerja yang sama dan adil bagi pegawai bisa didapat apabila manajer
melihat hasil evaluasi dan mempertimbangkan kesempatan pekerjaan yang layak
dan menantang bagi pegawai yang menunjukkan kinerja yang terbaik.
j. Tantangan Eksternal
Penilaian kinerja juga tergantung dari faktor lain, seperti kepentingan pribadi,
kondisi finansial, kondisi kerja, keluarga, kesehatan pegawai, dan sebagainya.
2.4.3. Faktor-Faktor Penilaian Kinerja
Simamora (1997) mengemukakan tiga dimensi kinerja yang perlu dimasukkan
dalam penilaian kinerja, yaitu:
1. Tingkat kedisiplinan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan
organisasi untuk menahan orang-orang di dalam organisasi, yang dijabarkan
dalam penilaian terhadap ketidakhadiran, keterlambatan, dan lama waktu kerja.
2. Tingkat kemampuan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan Kebutuhan
organisasi untuk memperoleh hasil penyelesaian tugas yang terandalkan, baik dari
sisi kuantitas maupun kualitas kinerja yang harus dicapai oleh seorang karyawan.
Universitas Sumatera Utara
3. Perilaku-perilaku inovatif dan spontan di luar persyaratan-persyaratan tugas
formal untuk meningkatkan efektivitas organisasi, antara lain dalam bentuk kerja
sama, tindakan protektif, gagasan-gagasan yang konstruktif dan kreatif, pelatihan
diri, serta sikap-sikap lain yang menguntungkan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Download