ASAS-ASAS DAN UPAYA MENCEGAH KEMUNGKARAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL PRINCIPLES AND EFFORT FORBIDDING CRIMINAL IN ISLAM CRIMINAL LAW RENEWAL OF CRIMINAL LAW IN NATIONAL PERSPECTIVE Oleh : Heni Hendrawati, SH.MH Abstrak Hukum Pidana Islam sama pendiriannya dengan hukum pidana positif dalam menetapkan tindak pidana (jarimah) dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik Hukum Pidana Islam dan hukum pidana positif keduanya sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meski demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya. Hukum Pidana Islam memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur, karena akhlak yang luhur merupakan sendi atau tiang untuk menegakkan masyarakat. Sehingga semua perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum pidana positif ada beberapa perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai tindak pidana, kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat. Asas-asas hukum pidana Islam yang belum diterapkan dalam hukum pidana positif dapat dikontribusikan dalam pembaharuan hukum pidana nasional terutama terhadap perlindungan HAM, yaitu : Asas dilarang memindahkan kesalahan pada orang lain, asas pemberian maaf, asas musyawarah, asas taubat. Kata Kunci : Asas Pidana Islam 1. PENDAHULUAN Hukum Pidana Islam merupakan salah satu bagian Syari‟at Islam yang materinya kurang begitu dikenal oleh masyarakat. Bahkan di kalangan cendekiawan muslim sendiri masih ada yang beranggapan bahwa hukum-hukum pidana yang tercantum dalam Al Qur‟an dan pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW itu sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman modern ini. Anggapan ini sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran para Orientalis Barat, yang pada umumnya mengatakan bahwa hukum Pidana Islam itu kejam, biadab, tidak manusiawi bahkan melanggar HAM. Hukum Pidana Islam merupakan hukum yang bersumber dari Agama, sehingga di dalamnya terkandung dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek yuridis. Aspek moral dapat dilaksanakan oleh setiap individu karena berkaitan dengan pelaksanaan perintah dan larangan. Aspek Yuridis dilaksanakan oleh pemerintah karena menyangkut sanksi hukum. Suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana (jarimah) karena perbuatan tersebut merugikan tata aturan masyarakat , kepercayaan dan agama, harta benda, nama baik, serta pada umumnya merugikan kepentingan umum dan ketentraman masyarakat. Disyari‟atkannya hukuman untuk perbuatan yang dilarang tersebut, adalah untuk mencegah manusia agar tidak melakukannya, karena perintah atau larangan (kewajiban) tidak akan berjalan baik, apabila tidak disertai dengan sanksi terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Islam sama pendiriannya dengan hukum pidana positif dalam menetapkan tindak pidana (jarimah) dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik Hukum Pidana Islam dan hukum pidana positif keduanya sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meski demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya. Hukum Pidana Islam memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur, karena akhlak yang luhur merupakan sendi atau tiang untuk menegakkan masyarakat. Sehingga semua perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum pidana positif ada beberapa perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai tindak pidana, kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat. Sebagai contoh adalah perbuatan Zina. Menurut Hukum Pidana Islam, zina adalah perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan mempunyai dampak negatif terhadap masyarakat, sehingga hukum Islam memandangnya sebagai jarimah dan mengancamnya dengan hukuman, dalam keadaan dan bentuk bagaimanapun juga, baik dilakukan dengan suka sama suka, oleh perjaka dan gadis maupun oleh orang yang sudah dalam ikatan perkawinan. Akan tetapi hukum pidana positif tidak menganggap hubungan kelamin di luar perkawinan sebagai tindak pidana, kecuali apabila terjadi perkosaan terhadap salah satu pihak atau pelakunya adalah orang yang masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain (pasal 284 KUHP). Contoh lain yang mencerminkan perbedaan bahwa Hukum Pidana Islam mengutamakan segi akhlak adalah meminum minuman keras. Menurut Hukum Pidana Islam, meminum minuman keras bertentangan dengan akhlak sehingga pelaku diancam pidana, baik ia mabuk atau tidak, mengganggu orang lain ataupun tidak. Akan tetapi hukum Pidana Positif tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai tindak pidana, kecuali apabila hal tersebut mengganggu ketertiban umum. Dalam pasal 536 KUHP disebutkan : Barang siapa yang ternyata mabuk di jalan umum, dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya dua ratus dua puluh lima ribu rupiah. B. Asas-Asas Hukum Pidana Islam yang dapat Dikontribusikan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Sebagai wujud perlindungan hak asasi manusia, hukum Pidana Islam mempunyai beberapa asas, hal ini diharapkan dapat dikontribusikan dalam pembaharuan hukum pidana nasional, yaitu : 1. Asas Keadilan Berdasarkan Surat An Nisa ayat 58 : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (mrnyuruh kamu) apabila menetpkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Berdasarkan Surat An Nisa‟ ayat 105 : Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Allah kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena membela orang-orang yang khianat. 2. Asas Manfaat Surat Al Maidah ayat 119 : Inilah saat (hari) orang-orang yang benar (pada tutur kata dan amal perbuatan) memperoleh manfaat dari kebenaran mereka. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka, dan merekapun ridha kepadaNya. Itulah kemenangan yang agung. Allah menurunkan setiap ayatNya yang tertulis dalam Al Qur‟an sudah pasti untuk kemanfaatan hidup dan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. 3. Asas Keseimbangan Asas keseimbangan berdasarkan surat Al Baqarah ayat 178, 179, SuratAn Nisa‟ ayat 92 dan 93. 4. Asas Legalitas (The Principle of Legality) Pada dasarnya semua mukallaf itu bebas melakukan perbuatan apa saja dalam hubungannya dengan sesama, selama tidak ada hukum yang melarang. Di dalam ilmu Ushul Fiqh para ulama telah membuat kaidah yang menyatakan “asal segala sesuatu itu adalah dibolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan”. 5. Asas dilarang memindahkan kesalahan kepada orang lain Surat Al Isra‟ ayat 15, bahwa “…..Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul. 6. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) Setiap orang dianggap tidak melakukan kejahatan, kecuali dibuktikan kesalahannya itu tanpa keraguan. Dan jika tanpa bukti atau ada keraguan yang beralasan, maka seseorang tertuduh itu harus dibebaskan demi hukum. Rasulullah menyatakan bahwa seorang penguasa itu apabila salah dalam membebaskan seseorang itu lebih baik daripada salah dalam menghukum. 7. Asas Tidak Sahnya hukuman karena keraguan Syariat Islam menetapkan bahwa seseorang itu harus diyakini telah melakukan tindak pidana sebelum dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, jika ada keraguan dalam perbuatan yang dilakukannya, maka hukuman tidak boleh dilaksanakan. 8. Asas tidak berlaku surut (Non Retroaktif / Atsar Raj‟i) Peraturan pidana dalam hukum pidana Islam berlaku sejak ditetapkannyadan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu dikeluarkan. Surat An Nisa‟ ayat 22 : Janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawin oleh ayahmu kecuali apa yang terjadi di masa yang lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah. Dan perbuatan demikian adalah seburuk-buruk jalan. Surat An Nisa‟ ayat 23 : Dan diharamkan bagimu untuk menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lalu. Surat Al Maidah ayat 38 : Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, hendaklah dipotong tangan keduanya …. Pengecualian dari prinsip tidak berlaku surut : a. Pada jarimah yang sangat berbahaya dan mengancam ketertiban umum, yaitu untuk jarimah Qadzaf dan Hirabah b. Dalam keadaan yang menguntungkan bagi tersangka 9. Asas Pemberian Maaf Dalam hukum pidana Islam dikenal asas pemberian maaf, khususnya dalam jarimah pembunuhan. Dalam pembunuhan terkandung hak Allah sekaligus terkandung pula hak insani. Dalam tindak pidana pembunuhan sengaja seperti yang ditentukan dalam Surat Al Baqarah ayat 178, dan pembunuhan tidak sengaja seperti yang diatur dalam surat An Nisa‟ ayat 92. Demikian pula dalam ayat-ayat yang lain, seperti dalam surat Al Imran ayat 134 ditentukan bahwa Allah menyukai orang yang memaafkan kesalahan orang lain. 1) Allah memerintahkan agar kita memaafkan kesalahan orang lain, juga diatur dalam surat Al Baqarah ayat 109 2) Surat Ali Imran ayat 134 dan 159, Allah memerintahkan agar kita memaafkan, memohonkan ampun bagi orang lain yang bersalah, dan bermusyawaraha dalam menyelesaikan urusan 3) Surat An Nisa‟ ayat 149, Allah menyatakan agar kita memaafkan orang yang melontarkan ucapan-ucapan buruk kepada orang lain, sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. 4) Surat Al Maidah ayat 13 , Allah menyatakan agar kita memaafkan kesalahan orang yang melanggar janji. 5) Surat Al „Araf ayat 199, Allah memerintahkan kita agar kita menjadi orang pemaaf, dan berpaling dari orang-orang yang bodoh sebagai dasar-dasar al akhlakul-karimah. 6) Surat An Nur ayat 22, Allah memerintahkan agar kita memaafkan agar kita memaafkan dan berlapang dada. 10. Asas Musyawarah Dalam proses memaafkan kesalahan orang lain, khususnya dalam tindak pidana pembunuhan, terkandung pula asas musyawarah. Asas musyawarah , diantaranya berdasarkan surat Al Imran ayat 159 : C. Upaya Mencegah Kemungkaran dalam Hukum Pidana Islam Hukum Pidana Islam senantiasa memberikan perlindungan kepada masyarakat terutama berkaitan dengan HAM. Berkaitan dengan hal tersebut, Hukum Pidana Islam berprinsip bahwa untuk melaksanakan amar ma‟ruf tidak diperlukan syarat-syarat khusus, karena amar ma‟ruf berupa nasihat, petunjuk, dan pengajaran. Hal ini bisa dilaksanakan setiap saat dan setiap kesempatan. Adapun untuk mencegah kemungkaran atau keburukan diperlukan syarat-syarat tertentu, sebagai berikut : 1. Adanya perbuatan buruk atau mungkar Untuk dibolehkannya pemberantasan keburukan (kemungkaran), disyaratkan ada nya perbuatan mungkar, yaitu setiap perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara‟. Perbuatan maksiat tersebut baik dilakukan oleh mukallaf atau bukan mukalaf tetap harus dicegah. Apabila seseorang melihat anak kecil atau orang gila meminum minuman keras maka ia harus mencegahnya. 2. Keburukan atau kemungkaran itu terjadi seketika Untuk dibolehkannya pemberantasan kemungkaran disyaratkan kemungkaran harus terjadi seketika, artinya bahwa kemungkaran itu sedang berjalan ketika diadakan usaha-usaha pencegahan. Apabila perbuatan mungkar itu sudah berakhir, sudah tidak ada lagi obyek pemberantasan keburukan, melainkan hanya penjatuhan hukuman atas perbuatan mungkar tersebut, dalam hal ini sudah merupakan tugas penguasa bukan tugas perorangan. 3. Kemungkaran itu diketahui dengan jelas Syarat yang ketiga untuk dibolehkannya pemberantasan kemungkaran, adalah bahwa kemungkaran itu diketahui dengan jelas, bukan merupakan prasangka.Karena prasangka dilarang oleh syara‟, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al Hujuraat ayat 12 : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. 4. Pemberantasan kemungkaran harus harus dilakukan dengan cara yang seringan mungkin. Syarat untuk dibolehkannya pemberantasan kemungkaran adalah bahwa tindakan yang dilakukan diupayakan seringan-ringannya. Hal ini tentu saja berbeda-beda sesuai dengan macam dan jenis kemungkarannya dan keadaan perbuatannya. Dengan demikian, jenis kemungkaran yang cukup berat harus dilawan dan diberantas dengan cara yang berat dan keras, sedangkan jenis kemungkaran yang ringan diupayakan penghentiannya dengan cara yang ringan pula. Para fuqaha membagi cara memberantas kemungkaran menjadi tujuh bagian, yaitu : 1. Penjelasan Apabila seseorang melakukan suatu keburukan (kemungkaran) sedang ia tidak tahu bahwa perbuatannya itu keburukan, cara yang baik untuk mencegahnya adalah dengan sikap yang halus dan lemah lembut, bahwa perbuatannya itu merupakan suatu perbuatan yang buruk (munkar). 2. Memberi nasihat dan petunjuk Cara ini ditujukan kepada orang yang memulai suatu perbuatan dan ia menyadari bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan munkar (buruk), jika dengan nasihat dan petunjuk tersebut bisa diduga pelaku perbuatan tersebut akan meninggalkan kemungkaran. 3. Menggunakan kekerasan Cara ini digunakan apabila jalan halus dengan nasihat dan petunjuk tidak dapat teratasi. Untuk digunakannya cara ini diperlukan dua syarat, yaitu : a. Hanya dalam keadaan darurat dan orang yang melakukan perbuatan tidak dapat diatasi dengan cara halus dan lunak. b. Orang yang menggunakan kekerasan tersebut tidak boleh mengeluarkan katakata kasar, melainkan dengan kata-kata yang baik, benar, sopan dan sesuai kebutuhan. 4. Mengadakan tindakan dengan tangan Tindakan dengan tangan adalah tindakan yang langsung terhadap barang dan kenis kemungkarannya, seperti merusak barang-barang yang digunakan untuk melakukan maksiat. Cara ini hanya berlaku pada perbuatan maksiat yang menurut tabiatnya dapat mengalami perubahan materiil dan tidak berlaku pada maksiatmaksiat yang berkaitan dengan lisan dan hati. Untuk digunakannya cara ini diperlukan dua syarat : a. Orang yang melakukan pemberantasan tidak perlu dengan menggunakan tanggannya sendiri, selama pelaku dapat dan bersedia mengubahnya sendiri. Dengan demikian pelaku tidak perlu diseret keluar dari lokasi perbuatan maksiat selama ia bisa dan bersedia berjalan keluar sendiri. b. Tindakan dengan tangan tersebut disesuaikan dengan kadar kebutuhannya. 5. Menggunakan ancaman pemukulan dan pembunuhan Cara ini baru pada tahap ancaman bukan tindakan. Ancaman tersebut harus merupakan ancaman yang bisa diwujudkan, bukan ancaman yang tidak boleh diwujudkan. Misalnya nanti kamu saya dera atau saya pukul atau dengan perkataan yang lebih keras lagi, apabila menurut perkiraannya gertakan yang keras tersebut dapat mencegahnya dari perbuatan munkar. Ancaman seperti rumahnya akan dibakar atau nak istrinya akan dipukuli, ini tidak boleh, karena hal itu tidak boleh diwujudkan dalam kenyataan. 6. Menggunakan pemukulan dan pembunuhan Cara ini boleh dilakukan dalam keadaan darurat dan digunakan secara bertahap sesuai dengan keperluan. Apabila cukup dengan pukulan ringan, maka tidak boleh digunakan dengan cara yang mematikan, pembunuhan hanya boleh digunakan apabila sudah tidak ada jalan lain lagi untuk memberantas perbuatan maksiat yang terjadi. 7. Meminta bantuan orang lain Apabila dengan dirinya sendiri orang tidak mampu untuk memberantas kemungkaran dan ia memerlukan bantuan orang lain dengan kekuatan dan senjatanya, dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa meminta bantuan orang lain untuk memberantas kemungkaran tidak diperbolehkan. Alasannya adalah cara tersebut menimbulkan kekhawatiran bertambah luasnya keributan dan ketidaktentraman. Perorangan boleh menggunakan cara ini apabila telah mendapat izin dari penguasa. Menurut sebagian fuqaha lainnya, cara tersebut boleh digunakan tanpa memerlukan izin penguasa, sebab cara tersebut pada hakikatnya sama dengan cara-cara lain yang menimbulkan kemungkinan terjadinya keributan-keributan yang lebih luas. Ketujuh cara tersebut dapat digunakan terhadap siapa saja, kecuali terhadap kedua orang tua, suami dan pihak penguasa. Bagi seorang anak terhadap orang tuanya, hanya boleh memberi penjelasan tentang tidak benarnya tindakan dan perbuatan yang dilakukannya. Kemudian cara berikutnya adalah melarang dengan jalan memberi nasihat dan petunjuk, tanpa disertai bentakan, ancaman apalagi pemukulan. Tindakan yang paling keras menurut satu pendapat adalah tindakan terhadap alat-alat maksiat saja, seperti memecahkan gelas atau botol minuman keras. Alasan pengecualian dari aturan umum ini adalah adanya larangan bertindak kasar dan menyakiti orang tua sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Surat Al-Isra‟ ayat 23. Kedudukan istri terhadap suami sama dengan kedudukan anak terhadap orang tua. Apabila suami melakukan perbuatan munkar, dalam melakukan tindakan pemberantasan, istri tidak boleh melakukan perbuatan yang nantinya akan menyakiti suaminya. Mengenai sikap rakyat biasa terhadap penguasa atau imam (penguasa negara), jalan yang ditempuh untuk memberantas kemungkaran adalah memberikan penjelasan, nasihat dan petunjuk. Tidakan dengan tangan menurut pendapat yang masyhur tidak diperbolehkan, karena hal itu akan menurunkan wibawa penguasa dan menyebabkan ketidakstabilan pemerintah. Nahi munkar mempunyai makna mencegah kemungkaran, merupakan tindakan preventif. Apabila tindakan preventif tersebut tidak mampu mencegah seseorang dari melakukan kejahatan, maka tindakan represif harus digunakan yaitu dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan Syari‟ah Islam yang berkenaan dengan hukuman (uqubah). D. Kesimpulan : Berdasarkan uraian tersebut diatas, terdapat beberapa hal dalam Hukum Pidana Islam yang dapat dikontribusikan dalam pembaharuan hukum pidana nasional, yaitu : 1. Hukum pidana positif harus mengutamakan segi akhlak, karena akhlak merupakan sendi utama dalam kehidupan. 2. Asas-asas hukum pidana Islam yang belum diterapkan dalam hukum pidana positif dapat dikontribusikan dalam pembaharuan hukum pidana nasional terutama terhadap perlindungan HAM, yaitu : - Asas dilarang memindahkan kesalahan pada orang lain - Asas Pemberian maaf - Asas musyawarah - Asas Taubat 3. Upaya preventif untuk mencegah terjadinya kemungkaran / tindak pidana diperlukan beberapa syarat : - Adanya perbuatan munkar - Kemungkaran itu terjadi seketika - Kemunkaran itu diketahui dengan jelas - Pemberantasan kemunkaran harus dilakukan dengan cara yang seringan mungkin 4. Cara memberantas Kemungkaran / tindak pidana : - Memberi penjelasan - Memberi nasihat dan petunjuk - Menggunakan kekerasan (ada syarat tertentu) - Menggunakan tindakan dengan tangan (ada syarat tertentu) - Menggunakan pemukulan dan pembunuhan (dalam keadaan darurat). - Meminta bantuan orang lain. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Bulan Bintang Cetakan IV, 1990 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika Jakarta, 2005 ---------------, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Sinar Grafika, Jakarta, 2006 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa Bandung, 1996 Muchammad Ichsan dan Endrio Susilo, Hukum Pidana Islam sebuah Alternatif, Lab. Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2006 Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010 Zaenuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007