I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama. Biji kacang tanah dapat dikonsumsi langsung setelah dimasak secara sederhana maupun diolah lanjut sebagai bahan baku industri. Melalui teknologi industri hasil ekstraksi kacang tanah yang berupa minyak nabati digunakan untuk menghasilkan mentega, sabun, minyak goreng, dan bahan kosmetik. Hasil sampingan ekstraksi minyak berupa ampas kacang (bungkil) dapat diolah menjadi oncom melalui proses fermentasi. Bagian hijauan atau brangkasan tanaman kacang tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan bahan pupuk organik. Dalam setiap 100 gram biji kacang tanah mengandung 25,3 gram protein, 21,1 gram karbohidrat, 42,8 gram lemak, 58 gram kalsium, 0.013 gram zat besi dan menghasilkan energi.452 kalori. Selain itu, di dalam biji kacang tanah juga terkandung 0,3 gram vitamin B1, 3 gram vitamin C dan 4 gram air (Anonim, 2013). Kacang tanah merupakan komoditi kacang-kacangan kedua yang ditanam luas di Indonesia setelah kedelai. Permintaan kacang tanah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Permintaan kacang tanah dalam negeri mencapai 799.149 ton pada tahun 2011, sementara itu produksi kacang tanah Indonesia baru mencukupi 691.289 ton. Untuk mengimbangi surplus permintaan dalam negeri pemerintah melakukan kebijakan impor kacang tanah non kulit 92 ribu ton dari China dan India sejak tahun 1979 (Anonim, 2011). Untuk mengurangi ketergantungan impor kacang tanah perlu dilakukan peningkatan produksi dalam negeri. Sebagai salah satu negara penghasil kacang tanah, produksi nasional kacang tanah cenderung menurun dari tahun ke tahun. Salah satu hal yang menyebabkan turunnya produksi kacang tanah dari tahun ke tahun yaitu menyusutnya luas area penanaman kacang tanah. Secara keseluruhan lahan pertanian di Indonesia mengalami penyusutan 27 ribu ha per tahun akibat alih fungsi lahan (Chairil, 2011). Pemanfaatan lahan marginal merupakan salah peluang untuk meningkatkan produksi pertanian Indonesia. Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas bagi keberlangsungan sistem budidaya tanaman. Salah satu lahan marginal yang cukup berpotensi untuk pengembangan budidaya kacang tanah yaitu lahan pasir pantai di areal pasang surut air 1 laut. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan mencapai 1.060.000 ha (Yuwono, 2009). Salah satu faktor pembatas budidaya kacang tanah di lahan marginal pasir pantai yaitu tingkat salinitas yang tinggi. Pemanfaatan tanah salin menjadi areal pertanian banyak mengalami hambatan, karena salinitas dapat mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman, pada kondisi terburuk dapat menyebabkan gagal panen. Penggunaan varietas tahan terhadap cekaman salinitas merupakan cara pemecahan masalah yang mudah diadaptasi petani untuk pengembangan komoditi pertanian di lahan salin (Setiawan, 1996). Sampai saat ini belum ada varietas kacang tanah yang tahan terhadap kondisi lahan salin. Program pengembangan varietas kacang tanah yang memiliki keuggulan tahan cekaman salinitas perlu dilakukan, dan salah satunya melalui teknik mutasi. Melalui teknik mutasi, keragaman genetik kacang tanah sebagai bahan pemuliaan dapat ditingkatkan selanjutnya dilakukan penapisan ketahanan salinitas terhadap galur-galur hasil mutasi tersebut. Penelitian ini memfokuskan untuk mengetahui keragaan galur kacang tanah hasil mutasi M6 apabila diberi cekaman salinitas pada fase perkecambahan, agar dapat dilakukan penilaian galur kacang tanah yang memiliki potensi ketahanan dan hasil tinggi untuk mendukung pertanian di lahan salin. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cekaman salinitas terhadap keragaan dan hasil 29 galur kacang tanah hasil mutasi M6. C. Kegunaan Keragaan galur kacang tanah saat tercekam salinitas dapat digunakan sebagai acuan untuk mencari genotipe yang sesuai tujuan pemuliaan tanaman, yang akan membantu perakitan kultivar tahan salin. 2