BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah lama menjadi perdebatan di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal ditetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain kebijakan moneter diarahkan pada pencapaian target menjaga stabilitas tingkat harga. Permasalahan utama interaksi kebijakan fiskal dan moneter terletak pada terjadinya hambatan antara pencapaian stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi terutama dalam jangka pendek. Dampak defisit fiskal (kekurangan anggaran kemudian mencetak uang baru) yang dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi, begitu halnya perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi juga memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan makroekonomi yang memiliki target yang harus dicapai baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabilitas makroekonomi. Stabilitas makroekonomi dapat dilihat dari kestabilan variabel makro ekonomi terhadap interaksi fiskal dan moneter. Menurut Goeltom (2007) tujuan dari kebijakan ekonomi makro suatu negara adalah tercapainya kondisi ekonomi yang “bebas inflasi” (noninflationary) dan tumbuh stabil (stable growth). Dalam kondisi ini, fluktuasi pada tingkat pengangguran, produksi, dan harga dapat diminimalkan dan pertumbuhan potensial pada output rill dapat tercapai. Kebijakan makroekonomi terdiri atas dua Universita Sumatera Utara instrumen utama, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Pemerintah (kementrian keuangan) selaku otoritas fiskal, kebijakan yang ia pilih atas dasar menciptakan stabilisasi ekonomi, pemerataan pendapatan dan pengalokasian sumber daya manusia serta pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut yang juga mempertimbangkan dampak kedaerahan, kecuali bahwa adanya pemisahan antara pemerintah pusat dan daerah akan membuka kemungkinan variasi kebijakan fiskal yang berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Sesuai dengan peranan atau fungsi pemerintah di bidang fiskal adalah untuk menciptakan stabilisasi ekonomi, pemerataan pendapatan, dan mengalokasikan sumber daya manusia. Khusus untuk fungsi stabilisasi dan pemerataan, akan lebih efektif apabila dilakukan pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi akan lebih efektif dilakukan pemerintah daerah (Kuncoro, 1997). Sejauh ini, tekad yang tertulis pemerintah dalam hal anggaran ini (Badan Analisa Fiskal, 2004) adalah, pertama, menempuh anggaran belanja seimbang dan dinamis di mana pengeluaran total tidak melebihi permintaan total. Kedua, Anggaran dibedakan menjadi anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Tabungan pemerintah merupakan penerimaan dalam negeri di atas pengeluaran rutin yang diusahakan meningkat agar dapat mengurangi kebutuhan bantuan dan hutang luar negeri. Ketiga, dari sisi penerimaan anggaran, dasar perpajakan diusahakan semakin luas lewat intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak. Keempat, di sisi pengeluaran anggaran, prioritas diberikan pada kegiatan-kegiatan pembangunan dan bukan pada kegiatan-kegiatan rutin. Subsidi-subsidi semakin Universita Sumatera Utara dikurangi baik untuk perusahaan-perusahaan pemerintah maupun terhadap barang konsumsi, sehingga akan menghemat pengeluaran. Kelima, kebijakan anggaran diarahkan pada sasaran untuk meningkatkan penggunaan barang-barang dan tenaga kerja dari dalam negeri, dengan tujuan agar produksi dalam negeri semakin meningkat. Dan keenam, dalam hubungannya dengan perluasan kesempatan kerja, produsen didorong untuk lebih menggunakan teknologi padat karya dengan sedikit menggunakan teknologi padat modal. Bagi bank sentral (BI) yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang ia pilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan moneter ini ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun dalam formulasi kebijakannya Bank Indonesia juga sudah mempertimbangkan aspek regional atau aspek kedaerahan, namun respon variabel dan dampak pada masing-masing daerah tersebut sangat mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi sebenarnya/riil masing-masing daerah. Tujuan kebijakan moneter lebih difokuskan pada stabilitas harga dengan beberapa pertimbangan. Pertama, segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi (aggregate demand) dalam jangka pendek akan menciptakan inflasi sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka panjang (Kydland and Prescott, 1977). Kedua, rational economic agent memahami bahwa pengaruh pembuat kebijakan dalam mendorong inflasi dapat menimbulkan permasalahan time-inconsistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, kebijakan moneter mempunyai tenggang waktu (time lag) dalam mempengaruhi variabel ekonomi, sehingga menuntut kebijakan moneter yang orientasi jangka panjang. Keempat, kestabilan harga dapat mendorong terciptanya Universita Sumatera Utara iklim ekonomi yang lebih baik karena mengurangi ekspektasi inflasi (Friedman, 1968). Keempat pertimbangan di atas mencerminkan bahwa penetapan stabilitas harga akan mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Namun, di sisi lain pencapaian kebijakan moneter yang tidak dilakukan secara terukur juga dapat mengakibatkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kebijakan moneter yang terlalu ketat (tight) dapat menekan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan jumlah pengangguran. Sebaliknya, kebijakan moneter yang terlalu longgar (loose) dapat menimbulkan tekanan inflasi yang mengganggu daya beli masyarakat dan pada gilirannya kesejahteraan masyarakat. Terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan fiskal dan moneter sebaiknya berinteraksi dan koordinasi dalam rangka stabilisasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pertama, terbatasnya ketersediaan instrumen untuk mencapai target. Blinder (1982) mengungkapkan keterbatasan instrumen tersebut dapat bersumber dari pertimbangan waktu dampak instrumen terhadap target yang dapat dibedakan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Perbedaan durasi waktu ini dan adanya unsur ketidakpastian mengenai efektivitas instrumen tersebut menjadi alasan kuat mengapa kebijakan fiskal dan moneter harus berkoordinasi, khususnya untuk negara-negara berkembang, agar menghasilkan dampak optimal terhadap pencapaian target. Kedua adalah untuk menjaga stabilisasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi agar tidak memburuk akibat kurangnya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Adanya koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dapat memberikan pemisahan yang tegas dari dua kebijakan tersebut atas dasar struktur tenggang waktu kebijakan. Abel (2002) menyarankan agar kebijakan moneter digunakan untuk melakukan stabilisasi Universita Sumatera Utara ekonomi dalam jangka pendek sedangkan kebijakan fiskal diarahkan untuk mencapai target perekonomian jangka menengah dan panjang. Sementara itu, kebijakan moneter dalam jangka panjang dapat difokuskan untuk menjaga inflasi. Taylor (2000) menambahkan bahwa jika kebijakan fiskal difokuskan ke arah target jangka menengah, kebijakan moneter seharusnya memberikan bobot yang lebih besar kepada stabilisasi perumbuhan ekonomi. Ketiga, pentingnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal adalah adanya perbedaan pendapat atau persepsi antara dua otoritas tersebut mengenai apa yang terbaik bagi suatu bangsa. Blinder (1982) menyebutkan tiga faktor yang dapat menyebabkan kurangnya koordinasi fiskal dan moneter adalah : (a) otoritas fiskal dan otoritas moneter memiliki tujuan yang berbeda terhadap apa yang sebenarnya terbaik bagi masyarakat, (b) dua otoritas tersebut dapat memiliki pendapat yang berbeda mengenai dampak dari kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian dan mungkin mereka menganut dasar teori yang berbeda, dan (c) kemungkinan dua otoritas tersebut memiliki proyeksi perekonomian yang berbeda. Fenomena masalah dalam penelitian ini yaitu dengan melihat respon variabel-variabel makro ekonomi terhadap shock yang bersumber dari interaksi kebijakan fiskal dan moneter. Berikut interaksi beberapa variabel fiskal dan moneter terhadap stabilitas ekonomi makro Indonesia dalam periode penelitian (2000 s/d 2012), sebagai berikut : Tabel 1.1. Pengeluaran Pemerintah (Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012 N Tahun G Pertumbuhan (%) 1 2 3 4 5 6 7 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 229043 315971 296528 378083 485659 642302 812827 37,95 -6,15 27,50 28,45 32,25 26,55 Universita Sumatera Utara 8 2007 9 2008 10 2009 11 2010 12 2011 13 2012 Sumber : Bank Indonesia (data diolah, 2013) 943594 950843 917653 1042159 1294625 1551500 16,09 0,77 -3,49 13,57 24,22 19,84 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Tabel 1.1 Gambar 1.1. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ( Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012 Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui adanya penurunan terhadap pengeluaran pemerintah yaitu tahun 2002 turun sebesar 6,15%, hal ini diperkirakan disebabkan adanya pengurangan atas pengeluaran pembangunan. Ketidakpastian besarnya dana pengeluaran atas infrastruktur setiap tahun menjadi penyebab turunnya pengeluaran pemerintah. Kemudian tahun 2009 pengeluaran pemerintah turun sebesar 3,49%, hal ini diperkirakan disebabkan atas dampak krisis ekonomi global yang melanda tahun 2008. Tabel 1.2. Jumlah Uang Beredar (Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012 N Tahun JUB Pertumbuhan (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 162186 177731 191939 223799 245946 271140 347013 450055 9,58 7,99 16,59 9,89 10,24 27,98 29,69 Universita Sumatera Utara 9 2008 10 2009 11 2010 12 2011 13 2012 Sumber : Bank Indonesia (data diolah, 2013) 456787 515824 605411 722991 841722 1,49 12,92 17,37 19,42 16,42 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Tabel 1.2 Gambar 1.2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012 Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui adanya penurunan pertumbuhan jumlah uang beredar, dimana terdapat pertumbuhan jumlah uang beredar yang kecil yaitu pada tahun 2002 sebesar 7,99% menurun dari tahun sebelumnya, hal ini diperkirakan didasarkan atas kenaikan suku bunga. Naiknya suku bunga akan menurunkan jumlah uang beredar di masyarakat dan akibat adanya penurunan dari daya beli masyarakat. Kemudian tahun 2008 pertumbuhan jumlah uang beredar hanya sebesar 1,49%, jauh lebih kecil dari perumbuhan tahun sebelumnya, hal ini juga disebabkan naiknya suku bunga dan diperkirakan juga disebabkan atas dampak krisis ekonomi global yang melanda tahun 2008. Tabel 1.3. Produk Domestik Bruto (Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012 N Tahun PDB Pertumbuhan (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1389770 1440403 1505217 1577172 1656517 1750815 1847127 1964327 3,64 4,50 4,78 5,03 5,69 5,50 6,34 Universita Sumatera Utara 9 2008 10 2009 11 2010 12 2011 13 2012 Sumber : Bank Indonesia (data diolah, 2013) 2082457 2178851 2314459 2464677 2618139 6,01 4,63 6,22 6,49 6,23 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Tabel 1.3 Gambar 1.3. Perkembangan Produk Domestik Bruto (Milyar Rp) Tahun 2000 s/d 2012 Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui bahwa adanya pertumbuhan PDB yang sangat kecil pada tahun 2001 yaitu hanya sebesar 3,64%, hal ini disebabkan adanya kenaikan harga BBM. Kemudian penurunan pertumbuhan PDB yang cukup besar dari tahun sebelumnya, yaitu tahun 2006 pertumbuhan PDB sebesar 5,50% menurun dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan adanya kenaikan harga BBM akibat pengurangan subsidi BBM. Dan tahun 2009 pertumbuhan PDB sebesar 4,63% menurun dari tahun sebelumnya, hal ini juga disebabkan adanya kenaikan harga BBM akibat dampak krisis ekonomi global. Tabel 1.4. Inflasi (%) Tahun 2000 s/d 2012 N Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Inflasi (%) 9.35 12.55 10.03 5.06 6.40 17.11 6.60 6.59 11.06 2.78 Universita Sumatera Utara 11 12 13 Sumber : Bank Indonesia 2010 2011 2012 6.96 3.79 4.30 Titik Interaksi II 18 16 14 Titik Interaksi I Titik Interaksi III 12 10 8 6 4 2 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Tabel 1.4 Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi (%) Tahun 2000 s/d 2012 Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui terjadi kenaikan terbesar terhadap inflasi yaitu pada tahun 2001 sebesar 12,55%, hal ini disebabkan kenaikan BBM serta adanya perayaan keagamaan yang hampir bersamaan seperti natal, lebaran dan tahun baru. Tahun 2005 inflasi sebesr 17,11%, hal ini disebabkan kenaikan BBM akibat pengurangan subsidi BBM. Kemudian tahun 2008 inflasi sebesar 11,06%, hal ini disebabkan dampak kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan BBM akibat efek krisis ekonomi global yang meningkatkan harga-harga barang. Untuk melihat interaksi beberapa variabel kebijakan fiskal, moneter dan ekonomi makro, dilihat pada gambar 1.5 berikut : Universita Sumatera Utara 3000000 Titik Interaksi I Titik Interaksi II Titik Interaksi III 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 G 2006 2007 2008 2009 2010 JUB 2011 2012 PDB Sumber : Tabel 1.1, 1.2, 1.3 Gambar 1. 5. Tiga Tahap Interaksi Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui adanya tiga tahap interaksi dimana respon variabel-variabel makro ekonomi terhadap shock yang bersumber dari dari interaksi kebijakan fiskal dan moneter menunjukkan pergerakan yang searah dalam kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2012. Dalam interaksi tahap pertama yaitu rentang tahun 2001 s/d 2002, dimana naiknya inflasi tahun 2001 sebesar 12,55% diperkirakan karena adanya kenaikan harga BBM dan meningkatnya belanja masyarakat menyusul parayaan hari besar keagamaan yang berdekatan antara lebaran, natal dan tahun baru, sehingga meningkatkan permintaan akan kebutuhan bahan-bahan pokok. Kenaikan inflasi diikuti dengan turunnya pertumbuhan PDB tahun 2001 dari petumbuhan tahun sebelumnya atau melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan berdampak pula pada menurunnya pertumbuhan jumlah uang beredar tahun 2002 yang merupakan dampak dari respon moneter terhadap terjadinya inflasi, dan menurunnya pengeluaran pemerintah tahun 2002. Universita Sumatera Utara Dalam interaksi tahap kedua yaitu rentang tahun 2005 s/d 2006, dimana naiknya inflasi tahun 2005 sebesar 17,11% diperkirakan karena adanya ekspansi fiskal tahun 2005 yaitu naiknya pengeluaran pemerintah sebesar 32,25% yang didominasi dengan naiknya belanja rutin seperti naiknya gaji sehingga menimbulkan inflasi, dan berdampak pula pada turunnya pertumbuhan PDB tahun 2006 dari pertumbuhan tahun sebelumnya atau melambatnya pertumbuhan ekonomi. Dalam interaksi tahap ketiga yaitu rentang tahun 2008 s/d 2009, dimana naiknya inflasi tahun 2008 sebesar 11,06% diperkirakan karena adanya krisis ekonomi global. Kenaikan inflasi tersebut diikuti dengan turunnya pertumbuhan jumlah uang beredar tahun 2008 dari pertumbuhan tahun sebelumnya disebabkan respon moneter terhadap terjadinya inflasi, dan berdampak pula pada menurunnya pengeluaran pemerintah tahun 2009 dan turunnya pertumbuhan PDB tahun 2009 dari pertumbuhan tahun sebelumnya atau melambatnya pertumbuhan ekonomi. Dari fenomena diatas, diketahui bahwa terjadinya interaksi fiskal dan moneter dapat menganggu stabilitas ekonomi makro Indonesia. Adanya ketidakstabilan variabel konomi makro yang diperkirakan karena kurangnya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini menyebabkan pemerintah harus mengambil langkah-langkah antisipasi dampak yang ditimbulkan dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang, dimana langkah antisipasi dari adanya interaksi adalah berupa koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Perlunya pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik agar interaksi yang terjadi dapat berdampak positif bagi stabilitas ekonomi makro, dimana stabilitas ekonomi makro dapat dilihat dari kestabilan variabel-variabel makro ekonomi. Universita Sumatera Utara Menurut Mohanty dan Scatigna (2004) kebijakan yang dilakukan secara parsial dan bertahap cenderung akan semakin meningkatkan ketidakpastian dan resiko, yang dapat mendorong penurunan kinerja perekonomian lebih lanjut. Untuk itu, banyak ahli ekonomi yang menyarankan strategi yang sebaiknya ditempuh adalah koordinasi kebijakan dan penggunaan berbagai instrumen kebijakan secara lebih agresif untuk mendukung efektivitas kebijakan yang diambil. Adiningsih (2012) menyatakan bahwa koordinasi kebijakan moneter dan fiskal menjadi makin penting ketika terdapat ketidakpastian yang tinggi dari pengaruh masing-masing kebijakan. Boediono (2001) menjelaskan pada akhirnya, kebijakan moneter ataupun kebijakan fiskal tidak dapat berjalan sendiri. Dalam prakteknya, yang sering dijumpai adalah kebijakan fiskal yang juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijakan moneter dengan konsekuensikonsekuensi fiskal. Aplikasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam perkembangannya melahirkan suatu bauran kebijakan (policy mix) yang kemudian menyebabkan berkembangnya kajian-kajian tentang koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Beberapa kajian tentang koordinasi kebijakan tersebut menemukan bahwa, dalam jangka panjang kebijakan fiskal dan moneter tidak bertentangan satu sama lain dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Pada kondisi ini tidak diperlukan adanya koordinasi kebijakan (Hagen dan Mundshenk,2003). Dalam jangka pendek, tidak adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter akan menyebabkan efektivitas kebijakan menjadi berkurang (Giavazzi,2003). Corsetti dan Mueller (2008) yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efisien bila dibarengi dengan kebijakan moneter yang akomodatif. Dengan Universita Sumatera Utara kata lain, agar stimulus fiskal dapat berjalan dengan baik, kebijakan moneter harus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang konsisten dengan mandat menjaga kestabilan harga. Hasil Penelitian Hermawan dan Munro (2007) melalui eksperimen simulasi stokastik menyimpulkan bahwa kebijakan fiskal di Indonesia mempunyai kontribusi yang signifikan dalam menjaga stabilitas perekonomian atau bersifat countercyclical, dan peran aktif tersebut bersama-sama dengan kebijakan moneter telah menghasilkan loss function yang minimum bagi perekonomian. Pentingnya penelitian ini adalah untuk mengkaji seberapa besar interaksi kebijakan fiskal dan moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi makro. Kemudian kebijakan mana yang paling dominan dalam mempengaruhi stabilitas ekonomi makro. Hasil analisis tersebut diharapkan mampu menjadi masukan bagi pemerintah dalam membuat koordinasi yang baik antara bank sentral dan departemen keuangan, sehingga koordinasi tersebut akan menghasilkan interaksi yang berdampak positif bagi stabilitas ekonomi makro. Terjadinya interaksi fiskal dan moneter secara teoritis maupun empiris mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka stabilisasi perekonomian. Dalam kondisi tersebut, kebijakan fiskal dan moneter harus dikelola atau dikoordinasikan sedemikian rupa agar stimulus yang dihasilkan oleh kedua kebijakan tersebut dapat diarahkan untuk stabilitas ekonomi makro, kurangnya koordinasi kebijakan fiskal dan moneter akan berdampak pada terjadinya guncangan terhadap variabel ekonomi makro yang mempengaruhi stabilitas ekonomi. Mengingat pentingnya kordinasi yang baik dalam pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter, maka penting juga diketahui secara empiris kontribusi masing-masing variabel baik fiskal, moneter dan makro ekonomi dan respon yang terjadi dari shock interaksi fiskal dan Universita Sumatera Utara moneter agar kebijakan fiskal dan moneter yang diambil dapat mendukung pencapaian stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk meneliti dengan judul : ANALISIS INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI MAKRO DI INDONESIA. 1.2. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah interaksi variabel kebijakan fiskal (TAX dan GOV) dan variabel kebijakan moneter (SBK dan JUB) terhadap variabel stabilitas ekonomi makro (PDB, INV, KURS, INF) saling berkontribusi?”. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : “Untuk menganalisis kontribusi variabel dari interaksi variabel kebijakan fiskal (TAX dan GOV) dan variabel kebijakan moneter (SBK dan JUB) terhadap variabel stabilitas ekonomi makro (PDB, INV, KURS, INF). 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Sebagai masukan bagi pemerintah, baik kementrian keuangan selaku otoritas kebijakan fiskal dan BI selaku otoritas kebijakan moneter dalam mengkoordinasikan kebijakan yang relevan berkaitan dengan interaksi kebijakan fiskal dan moneter agar tercapainya stabilitas ekonomi makro. Universita Sumatera Utara 2. Bagi penulis, sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan mengenai interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap stabilitas ekonomi makro, selain itu menambah pengetahuan penulis mengenai metode analisis data khususnya mengaplikasikan model VAR dalam Eviews, sehingga dari pengetahuan-pengetahuan yang penulis peroleh dalam penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam kegiatan penulis selanjutnya. 3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal yang berkenaan dengan interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dan stabilitas ekonomi makro. Universita Sumatera Utara