1. pendahuluan i.

advertisement
I.1. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Rajungan dan kepiting merupakan komoditi ekspor unggulan di Indonesia.
Menurut Srijanto (2003), rajungan (Portunus sp.) merupakan salah satu komoditas
ekspor di Indonesia yang dijual dalam bentuk beku dan kemasan dalam kaleng.
Berdasarkan data Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2011, ekspor rajungan dan kepiting
mencapai $262,32 juta dengan jumlah mencapai 20.034,2 ton (Anonim, 2011).
Cangkang yang dihasilkan oleh industri pengolahan rajungan sekitar 40-60% dari total
berat rajungan sehingga dapat diperkirakan jumlah limbah cangkang rajungan di
Indonesia pada tahun 2011 mencapai 8.013,678-12.020,52 ton. Akan tetapi, sampai saat
ini pemanfaatan limbah cangkang rajungan masih kurang optimal karena hanya
dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak (Srijanto, 2003). Padahal cangkang
rajungan mengandung kitin 20 – 30% sehingga limbah cangkang rajungan memiliki
potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai penghasil kitin.
Kitin di alam merupakan jenis polisakarida yang jumlahnya terbanyak kedua
setelah selulosa. Kitin dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, pertanian, industri
farmasi, tekstil, kosmetik, teknologi pangan, dan penanganan air limbah (Tharanathan
& Kittur, 2003). Kitin yang ada pada cangkang rajungan berikatan dengan mineral
(kalsium karbonat) dan protein. Untuk menghasilkan kitin perlu dilakukan
demineralisasi (penghilangan mineral). Keberhasilan demineralisasi (kadar abu ≤ 2 %)
sangat mempengaruhi kualitas kitin yang dihasilkan.
Senyawa kimia seperti HCl atau EDTA sering digunakan dalam proses
demineralisasi cangkang krustasea. Demineralisasi cangkang rajungan secara kimia
menggunakan HCl dapat menurunkan kandungan mineral cangkang rajungan sebesar
96,3% - 99,4% (Martati et al , 2002; Rahayu & Purnavita, 2007). Meskipun demikian,
penggunaan senyawa kimia (HCl atau EDTA) tersebut ternyata dapat menyebabkan
deasetilasi sebagian dan hidrolisis polimer pada kitin sehingga menghasilkan sifat-sifat
fisikokimia yang tidak stabil. Selain itu, limbah hasil demineralisasi secara kimia harus
dinetralisasi dan didetoksifikasi dengan menggunakan energi yang besar dan waktu
yang lama agar tidak mencemari lingkungan (Yang et al., 2000). Sebagai alternatif
1
dapat digunakan metode demineralisasi lainnya yang lebih ramah lingkungan yaitu
demineralisasi menggunakan bakteri.
Selama ini telah ada penelitian mengenai pembuatan kitin secara biologi dengan
menggunakan bakteri asam laktat untuk proses demineralisasinya. Prinsipnya yaitu
asam laktat hasil metabolisme bakteri asam laktat akan melarutkan mineral melalui
fermentasi asam laktat. Berdasarkan hasil penelitian Junianto (2008) disebutkan bahwa
Lactobacillus acidophilus dapat menurunkan kandungan mineral kulit udang sebesar
97,42%. Menurut Dash (2004), Lactobacillus acidophilus bersifat homofermentatif dan
mampu membiokonversikan gula menjadi asam laktat lebih dari 85%. Penelitian
demineralisasi menggunakan Lactobacillus acidophilus selama ini lebih banyak
diaplikasikan pada limbah kulit udang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai demineralisasi cangkang rajungan dengan memanfaatkan Lactobacillus
acidophilus sehingga demineralisasi ini diharapkan lebih efektif dalam menurunkan
kandungan mineral pada cangkang rajungan.
B.
Tujuan
1. Mengetahui kemampuan L. acidophilus FNCC 0051 dalam mendemineralisasi
cangkang rajungan (Portunus sp.) melalui proses fermentasi.
2. Mengetahui waktu fermentasi terbaik yang dibutuhkan oleh L. acidophilus
FNCC 0051 dalam mendemineralisasi cangkang rajungan (Portunus sp.).
3. Membandingkan penurunan kandungan mineral cangkang rajungan (Portunus
sp.) yang dihasilkan baik dari demineralisasi kimia maupun dari demineralisasi
biologi.
C.
Kegunaan
Memberikan informasi mengenai alternatif proses demineralisasi yang ramah
lingkungan.
2
Download