TINJAUAN PUSTAKA Budi Daya Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Kacang panjang termasuk dalarn divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, subkelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Leguminosae, genus Vigna, spesies Vigna sinensis L. (Susila 2005). Budi daya kacang panjang dapat dilakukan di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian antara 0-1500 m di atas permukaan laut (dpl). Namun demikian tanaman ini tumbuh lebih baik pada ketinggian kurang dari 600 m dpl. Oleh sebab itu, kacang panjang banyak diusahakan di dataran rendah dan digolongkan dalam sayuran dataran rendah. Sebelum dilakukan penanaman benih kacang panjang perlu dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu seperti penggemburan, pembuatan bedengan, dan pengapuran. Tanaman kacang panjang membutuhkan tanah yang gembur yaitu tanah yang kaya akan bahan organik atau ditambah pupuk kandang pada saat pengolahan tanah agar tumbuh dengan baik, Pemeliharaan yang umum dilakukan pada pertanaman kacang panjang adalah penyulaman, penyiangan, penyiraman, pemangkasan cabang, dan pemupukan. Tanaman kacang panjang mulai berbunga pada umur 30 hari setelah tanam dan pemanenan polong kacang panjang dapat dilakukan setelah tanaman berumur 45 hari (Susila 2005). Hama dan Penyakit Tanaman Kacang Panjang Produksi rata- rata kacang panjang Indonesia pada tahun 1997 sampai tahun 2000 adalah 400.66 ton, sedangkan produksi rata-rata pada tahun 2001 sampai tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 313.743 ton. Penurunan produksi kacang panjang disebabkan karena luasan panen mengalami penurunan sebanyak 12% (sekitar 70.000 ha), produktivitas tanaman yang rendah yakni 10,09 ton/ha, penggunaan benih dengan mutu yang kurang baik, dan gangguan hama penyakit tanaman (Statistik Indonesia 2011). Hama penting yang dilaporkan menyerang kacang panjang antara lain, tungau merah Tetranychus bimaculatus (Acarina: Tetranychidae), kutukebul 5 Bemisia tabaci (Hemiptera : Aleyrodidae), penggerek polong Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae), kutudaun Aphis craccivora (Hemiptera : Aphididae) dan ulat penggerek polong Maruca restualis (Lepidoptera : Crambidae). Upaya yang banyak dilakukan untuk mengendalikan hama-hama tersebut adalah dengan melakukan pergiliran tanaman, melakukan pengendalian secara biologi dengan menggunakan musuh alaminya yaitu kumbang Scymnus sp dan laba-laba (Anwar et al. 2005). Beberapa penyakit yang menyerang tanaman kacang panjang diantaranya layu cendawan (Fusarium sp.), antraknosa (Colletotricum lindemuthianum), puru akar (Meloidogyne sp), penyakit sapu (Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea Stunt Virus), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh Bean common mosaic potyvirus (BCMV), Bean yellow mosaic potyvirus (BYMV) dan Cowpea aphid borne mosaic potyvirus (CABMV) (Anwar et al. 2005). Penyakit mosaik kuning kacang panjang dilaporkan oleh Damayanti et al. (2009) disebabkan oleh Bean common mosaic potyvirus (BCMV) dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV). Sifat-sifat Penting BCMV Bean common mosaic potyvirus (BCMV) termasuk dalam famili Potyviridae dan genus Potyvirus (Agrios 1997). Potyvirus merupakan kelompok virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini. Partikel virus ini berbentuk batang panjang lentur dengan kisaran panjang 720-770 nm dan lebarnya 11-12 nm. Tipe asam nukleatnya adalah RNA utas tunggal. Berat molekul asam nukleatnya yaitu 2,3-4,3 juta kDa. Kandungan asam nukleat dalam partikel virus sebesar 5% dan kandungan protein dalam mantelnya sebesar 95%. Nukleokapsid merupakan subunit protein yang membentuk mantel protein yang menyelubungi asam nukleat. Asam nukleat yang diselubungi oleh mantel protein menyebabkan virus bersifat virulen atau menimbulkan penyakit (Shukla et al. 1994). Penyakit mosaik yang disebabkan oleh BCMV merupakan penyakit penting pada tanaman kacang-kacangan. BCMV mempunyai kisaran inang tidak terbatas pada tanaman Phaseolus spp., tetapi dapat juga menyerang tanaman leguminosae yang lain (CABI 2007). BCMV bersifat terbawa benih dan dapat 6 ditularkan secara mekanik oleh sap tanaman. Virus ini juga ditularkan oleh beberapa jenis kutudaun termasuk A. craccivora secara non persisten (Shukla et al. 1994) Tipe gejala penyakit yang disebabkan oleh BCMV tergantung dari strain BCMV, suhu dan genotip inang. Lebih dari 15 strain BCMV yang telah diketahui diantaranya Blackeye, US1, US5, NL2, NL3, NL4, NL5, NL6, NL7 dan NL8 (Morales & Bos 1988). Gejala BCMV ditunjukkan dengan mosaik berupa lepuhan, pola warna kuning dan hijau pada daun, tulang daun menguning, bercak dan malformasi. Tanaman yang terinfeksi dapat menjadi kerdil dan menghasilkan hanya sedikit polong dan masak lebih lambat dibandingkan dengan polong yang tidak terinfeksi (Shukla et al. 1994). Gejala pada tanaman umumnya muncul 7 sampai 10 hari setelah inokulasi (Djikstra & Dejeger 1998) Metode Deteksi dan Karakterisasi Virus Tanaman Pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus pada tanaman. Beberapa virus dapat menimbulkan gejala yang sama pada tanaman yang sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala tergantung strain virusnya, campuran beberapa virus atau strain virus dapat mempengaruhi gejala. Selain itu, suatu virus dapat menimbulkan gejala yang berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi lingkungan dan iklim juga berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull 2002). Sangat diperlukan metode yang tepat untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus pada suatu tanaman. Deteksi dan identifikasi virus dapat dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler. Deteksi virus berdasarkan karakter biologi dapat dilakukan melalui pengujian kisaran inang dan tanaman indikator, penularan, dan berdasarkan bentuk partikel. Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan sifat asam nukleat dengan hibridisasi DNA, ekstraksi dsDNA/dsRNA serta PCR/RT-PCR (Foster & Taylor 1998; Hull 2002). 7 Serologi Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai banyak kegunaan, diantaranya untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 1997). Deteksi dan identifikasi secara serologi sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Ada beberapa cara yang digunakan untuk deteksi serologi antara lain presipitasi dalam tabung, aglutinasi kloroplas, flokulasilateks, gel double-diffusion test, Dot immunobinding assay (DIBA), immunoblotting atau western blotting, dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Harlow & Lane 1999). Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik, misalnya untuk melipatgandakan suatu molekul DNA. Dengan metode ini, segmen tertentu pada DNA dapat digandakan hingga jutaan kali lipat dalam waktu relatif singkat. Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 μg, oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM, dan reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50100 μl (Yuwono 2006). Menurut Muladno (2010), PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut melalui bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisisnya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai forward primer dan yang berada setelah daerah target disebut reverse primer. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase (Muladno 2010). 8 Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dengan cara PCR terdiri dari tiga tahapan atau tiga reaksi, yaitu denaturasi, penempelan primer (annealing), dan pemanjangan primer (extension). Denaturasi. Tahapan pertama dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan sehinggga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (95ºC) selama 1-4 menit (Yuwono 2006). Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR. Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama, mungkin dapat mengurangi aktivitas enzim Taq polymerase (Muladno 2010). Penempelan Primer (Annealing). Tahap kedua yaitu penempelan primer (annealing) pada DNA cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal yang dilakukan pada suhu 55ºC selama 1 menit. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer (Yuwono 2006). Pada tahapan ini, primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi komplemennya. Demikian juga primer reverse akan menempel pada untai tunggal lainnya (Muladno 2010). Pemanjangan Primer (Extension). Setelah kedua primer menempel pada posisinya masing-masing, enzim Taq polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3’ masing-masing primer (Muladno 2010). Sintesis DNA ini terjadi pada suhu 72ºC selama 1-2 menit. Pada suhu ini, DNA polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan dengan bantuan enzim Taq DNA polymerase (Yuwono 2006). Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95ºC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya. Ketiga tahapan 9 tersebut diulangi lagi sampai 25-30 siklus sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yuwono 2006). Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Teknik RT-PCR dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA hasil transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di dalam sel. Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan, maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse transcription) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis, maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik (Yuwono 2006). Pemanfaatan Metode Serologi dan PCR untuk Mendeteksi Virus Tumbuhan Masing-masing metode serologi yang diuraikan di atas telah dikembangkan dan berhasil digunakan untuk mendeteksi beberapa jenis virus penting pada tumbuhan. Metode DIBA dilaporkan digunakan untuk mendeteksi Tobaco mosaic tobamovirus (TMV) (Somowiyarjo et al. 1997) dan Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) pada cabai (Opriana 2009). Abouzid et al. (2002) menggunakan ELISA dan western blotting untuk mendeteksi beberapa protein selubung virus dari genus Begomovirus. Kartiningtyas (2005) mendeteksi Turnip mosaic potyvirus (TuMV) dengan ELISA. Deteksi dengan metode immunoflourescent staining juga telah berhasil dilakukan oleh Sudarshana et al. (1997) untuk mengetahui dinamika pergerakan Bean dwarf mosaic geminivirus (BDMV) dari sel ke sel pada Phaseolus vulgaris. Pengujian presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi wheat streak mosaic tritimovirus (WSMV). 10 Teknik PCR adalah teknik molekuler yang sangat sensitif dan spesifik untuk deteksi dan identifikasi patogen penyebab penyakit tanaman (Rojas et al. 1993). Metode PCR/ RT- PCR telah banyak digunakan untuk mendeteksi dan menentukan variabilitas genetik virus tanaman, termasuk diantaranya Luteovirus (Robertston et al. 1991) dan Potyvirus (Langeveld et al. 1991). Metode PCR juga dilaporkan digunakan untuk mendeteksi Banana streak virus (Damayanti 2005), melihat keragaman genetik geminivirus (Hidayat 1999), dan identifikasi geminivirus yang menginfeksi tomat (Aidawati et al 2005).