Ekonomi Indonesia Tahun 2006 Dikirim oleh prasetya1 pada 08 April 2006 | Komentar : 0 | Dilihat : 1882 Ekonomi Indonesia Tahun 2006, Antara Harapan dan Kenyataan Mahasiswa baru angkatan 2005 Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Sabtu 8/4, menyelenggarakan inaugurasi dalam bentuk seminar nasional. Acara di gedung Widyaloka Universitas Brawijaya ini bertema “Ekonomi Indonesia Tahun 2006, Antara Harapan dan Kenyataan”. Seminar diikuti oleh lebih dari 200 peserta dari kalangan mahasiswa, akademisi, praktisi, dan politisi. Terbagi dalam dua sesi, sesi pertama bertema “Efektivitas Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil”, dan sesi kedua dengan materi “Akankah Usaha Perbaikan Ekonomi Sejalan dengan Peningkatan kesejahteraan Masyarakat”. Diundang sebagai pemateri, Dr. Hartadi A. Sarwono (Deputi Bank Indonesia), Dr. Harry Azhar Azis MA (Anggota Komisi XI DPR RI Bidang keuangan, Perbankan, dan Perencanaan Pembangunan), Prof. Dr. Sri-Edi Swasono (Ketua Dewan Pakar PKP-Indonesia dan Pj. Ketua Umum Dekopin), Dr. Munawar Ismail, DEA (akademisi Universitas Brawijaya), Ahmad Erani Yustika PhD (akademisi Universitas Brawijaya dan Direktur Eksekutif The Economic reform Institute, ECORIST) dan Dr. Komet Mangiri MA MED (Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Informasi). Bantuan Masyarakat Miskin Dalam makalah berjudul “Akankah Usaha Perbaikan Ekonomi Sejalan dengan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat”, yang disampaikan oleh Dr. Komet Mangiri MA MED (staf ahli bidang Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Informasi), Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Ir. Aburizal Bakrie menyatakan perbaikan ekonomi pasti akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ini dikarenakan tujuan program pembangunan ekonomi nasional yang telah dirancang secara terpadu adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat, seperti tertuang dalam UUD 1945. Dalam mengukur parameter tingkat kesejahteraan, di samping subjektivitas masing-masing individu (rakyat), Aburizal juga menggunakan lebih dari 40 indikator utama yang di antaranya mencakup pendapatan per kapita, jumlah pengangguran, kondisi tempat tinggal, kondisi sanitasi, jumlah partisipasi wanita, jumlah penduduk miskin, dll yang terangkum dalam Millenium Development Globals (MDGs) dan dinyatakan dengan Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam perencanaan makro pemerintah. Konsekuensi dari inflasi tahun 2005 yang mencapai 2 digit sebagai dampak langsung kenaikan BBM, subjek utama yang terimbas adalah masyarakat. Untuk itu telah diluncurkan berbagai bantuan bagi masyarakat miskin melalui Program Kompensasi Subsidi BBM (PKPS BBM). Bantuan tersebut meliputi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS), penyaluran beras untuk masyarakat miskin, subsidi tunai Rp 100 ribu per bulan untuk peningkatan pendapatan masyarakat miskin, bantuan pelayanan kesehatan gratis pada puskesmas dan rumah sakit yang mencapai Rp 3,87 triliun, serta bantuan perbaikan/pembangunan infrastruktur desa tertinggal sebesar Rp 250 juta. Program ini selanjutnya masih akan dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang guna peningkatan kesejahteraan rakyat melalui tiga program terpadu yang meliputi penanggulangan dan penurunan jumlah penduduk miskin, program peningkatan kualitas SDM di antaranya melalui metode kompetisi dengan menciptakan kultur kompetitif antar sekolah/universitas bahkan dengan institusi pendidikan luar negeri, dan program ketiga adalah tanggap darurat terhadap bencana alam dan berbagai kasus penyakit seperti flu burung, AIDS serta busung lapar. Pakar ekonomi kerakyatan, Sri-Edi Swasono, dalam kesempatan ini mengkritik distribusi PKPS BBM yang menurutnya tidak memberdayakan masyarakat, bahkan tidak tepat pada subtansi tujuan, untuk mengurangi kemiskinan,. “Fakta menunjukkan, dana Rp 300 ribu digunakan di luar kebutuhan primer masyarakat, misal untuk membeli gelang emas, membeli HP, dll”, ungkap menantu Bung Hatta ini. “Kemiskinan tidak akan selesai dengan memakai gelang emas atau bahkan membawa HP”, tambahnya. Dijelaskan dengan tegas pula, bahwa dari sisi pemberdayaan pun distribusi dana PKPS BBM tidak mendidik dan tidak produktif. Terkait dengan hal ini, ia mengusulkan agar distribusi ini juga dibarengi dengan produktivitas. ”Misalnya dibarengi pelaksanaan kerja bakti desa, pembangunan MCK, dll, baru mereka menerima dana tersebut”, ungkap ayah satu orang putera ini. Konflik BI-Pemerintah Sementara itu, Deputi Bank Indonesia, Hartadi A. Sarwono, memulai presentasi dengan menengok perekonomian Indonesia tahun 2005 yang mengisyaratkan bahwa kemampuan kebijakan moneter dan fiskal dalam menstabilkan perekonomian harus dibarengi dengan kebijakan struktural yang mendasar agar perekonomian dapat tumbuh dengan cepat dalam suasana yang stabil. Melalui data dari ADB, Hartadi memaparkan grafik beberapa hambatan struktural perekonomian Indonesia dari tingkatan implikasi terbesar. Berturut-turut adalah ketidakstabilan ekonomi, ketidakpastian kebijakan ekonomi, korupsi daerah dan nasional, tingkat pajak, biaya keuangan, regulasi tenaga kerja daerah, dll. “Sebut saja hambatan utama dalam birokrasi pendirian usaha, Indonesia menduduki rating tertinggi di dunia, dengan mencapai 151 hari di atas Vietnam yang mencapai 143 hari dan Filipina 48 hari serta Australia yang mencapai 2 hari. Dari gambaran di atas, menurutnya pembenahan tidak dapat dilakukan secara parsial. Untuk level makro, kebijakan akan diarahkan untuk membawa laju inflasi pada tingkat yang paling rendah (6.0±1 untuk inflasi IHK target dan 7.0-9.0 untuk inflasi IHK proyeksi) untuk meningkatkan daya beli dan daya saing perekonomian. Sedangkan untuk level mikro, dalam kapasitas peningkatan kelembagaan sistem keuangan diarahkan untuk melanjutkan konsolidasi perbankan Indonesia melalui API (Arsitektur Perbankan Indonesia), menyiapkan jaring pengaman sektor keuangan, menyelesaikan permasalahan kredit bermasalah dan saluran khusus bagi pembiayaan UMKM. Mengkritisi sepak terjang BI, ekonom Unibraw, Dr. Munawar Ismail DEA menekankan pada upaya BI dalam inflation targeting yang selalu tidak jelas. ”Bahkan dari perhitungan enam tahun terakhir, hanya 1 periode dari 6 periode antara tahun 2000 sampai 2006 target sesuai dengan kondisi aktual", ungkapnya. ”Lebih ironis lagi, untuk tahun 2005 dengan target inflasi antara 5,0-7,0 ternyata kondisi aktual menunjukkan angka inflasi mencapai 17,11”, tambahnya. Ketidakjelasan ini menurut Munawar disebabkan oleh 4 hal, meliputi kepentingan dalam menstabilkan nilai tukar, banyaknya kebijakan discretion, sektor keuangan yang lemah serta keterpaduan yang lemah antara Bank Indonesia dengan lembaga yang lain yang dibuktikan dengan beberapa konflik yang pernah dialami seperti konflik antara Gus Dur dengan Sjahril Sabirin, BI dengan Depkeu baru-baru ini, antara Sri Mulyani dengan gubernur BI. [nok]