II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Bengen (2004) mendefinisikan hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil merupakan ekosistem utama yang sangat berperan penting bagi ketersediaan sumberdaya ikan di kawasan tersebut, dan bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya serta bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil menghadapi gradien karakter lingkungan yang berat, sehingga hanya jenis tertentu yang memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan yang dapat bertahan dan berkembang. Peran penting dari pohon mangrove adalah luruhan daun yang gugur ke dalam air (serasah). Serasah ini merupakan sumber bahan organik yang penting dalam rantai makanan yang bisa mencapai 7 – 8 ton /ha/tahun, dan berperan penting dalam kesuburan perairan di sekitarnya. Bengen (2004), memaparkan lebih jauh tentang fungsi ekologis hutan mangrove sebagai berikut : ¾ Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan. ¾ Sebagai penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan. ¾ Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan, udang dan kekerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. Pemanfaatan hutan mangrove saat ini sangat tinggi, terutama sebagai penghasil kayu bakar, bahan baku untuk membuat arang, dan juga untuk pembuatan bubur kertas (pulp). Disamping itu ekosistem mangrove dimanfaatkan sebagai pemasok larva ikan dan udang alam, bahkan Saenger et al (1983) dalam Bengen (2004) telah mengidentifikasi lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan umat manusia, baik dalam bentuk produk langsung maupun produk tidak langsung. Lugo dan Snedaker (1974) dalam Woodroffe (1992), membagi mangrove berdasarkan fungsi dan substrat dasarnya sebagai berikut (Gambar 2) : 1. Overwash (genangan pasut) mangrove, merupakan tanaman mangrove yang berada dalam bentuk pulau kecil dengan jenis Rhizophora sp yang dominan dan sedimen dasar terbentuk dari tanah humus serasah mangrove yang terakumulasi. 2. Fringe (tepian pantai) mangrove, merupakan mangrove yang terletak di tepian pantai dengan sedimen pasir berlumpur yang dipengaruhi pasang surut, umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. 3. Riverine (sepanjang sungai) mangrove, merupakan mangrove yang berada di kanan dan kiri sungai yang umumnya ke arah darat membentuk zonasi dan substratnya adalah pasir dan lumpur. 4. Basin (genangan sungai) mangrove, merupakan mangrove yang terdapat di bagian dalam hutan mangrove berbentuk cekungan seperti mangkuk dengan sedimen berasal dari serasah mangrove. 5. Hammock (berelevasi) mangrove, merupakan tipe mangrove seperti basin mangrove, tetapi sedimen dasar di bawah serasah mangrove adalah limestone. 6. Scrub (semak) mangrove, merupakan mangrove dalam bentuk belukar yang berukuran kerdil dan umumnya areal ini miskin nutrien. Overwash Basin fringe Riverine Scrub Hammock Gambar 2 Tipe komunitas mangrove (Lugo dan Snedaker, 1974 dan Tomascik et al , 1997) 2.2. Produktivitas Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting yaitu berhubungan dengan produktivitas primer yang tinggi jika dibandingkan dengan ekosistem lain di wilayah pesisir. Secara biologi ekosistem mangrove merupakan produsen primer energi hidup melalui serasah yang dihasilkan. Produktivitas primer ekosistem ini diperkirakan lebih besar daripada produktivitas ekosistem perairan pantai lainnya seperti ekosistem terumbu karang dan padang lamun (Indradjaya, 1992). Soenardjo (1999) mengatakan bahwa produksi primer bersih merupakan bagian dari produksi primer fotosintesis tumbuhan yang tersisa setelah beberapa bagian digunakan untuk respirasi tumbuhan yang bersangkutan. Fotosintesis dan respirasi adalah dua elemen pokok dari produksi primer bersih. Komponenkomponen produksi primer bersih adalah keseluruhan dari organ utama tumbuhan meliputi daun, batang dan akar. Selanjutnya Clough (1986) dalam Soenardjo (1999) menyatakan produksi primer bersih mangrove berupa materi yang tergabung dalam biomassa tumbuhan yang selanjutnya akan lepas sebagai serasah atau dikonsumsi oleh organisme heterotrof atau dapat juga dinyatakan sebagai akumulasi materi organik baru dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan dari respirasi yang biasanya dinyatakan dalam berat kering materi organik. Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya) (Bengen, 2004). Sebagian serasah mangrove di dekomposisi (dihancurkan/diuraikan) oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga, ataupun tumbuhan mangrove sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jala/rantai makanan (Bengen, 2004). Serasah atau detritus organik meliputi semua bahan tumbuhan yang telah mati dan melalui beberapa tahapan dekomposisi yang dapat menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer. Sebutan serasah biasanya digunakan untuk ekosistem daratan khususnya bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan tinggi sedangkan detritus digunakan untuk ekosistem perairan (Mason, 1977). Daun-daun mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman (1976) sebagai berat materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu. Dekomposisi adalah proses penghancuran organisme secara bertahap sehingga strukturnya tidak lagi dalam bentuk yang kompleks tetapi telah di uraikan menjadi bentuk-bentuk yang sederhana. Lamanya proses dekomposisi daun mangrove antara jenis mangrove yang satu dengan lain berbeda. Organisme-organisme yang telah mati mengalami penghancuran yaitu pecahanpecahan berukuran besar menjadi partikel-partikel lebih kecil dan akhirnya menjadi molekul-molekul. Dekomposisi mencakup interaksi rumit dari faktor-faktor lingkungan fisik dan aktivitas biologi. Mason (1977) membagi proses-proses dekomposisi menjadi 3 yaitu pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara simultan. Pelindihan adalah mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Penghawaan adalah mekanisme pelapukan atau faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin, es atau pergerakan gelombang. Sementara aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan pecahan-pecahan bahan organik (detritus) secara bertahap oleh makhluk hidup. Produksi serasah daun untuk setiap jenis mangrove berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal nyang saling berkaitan. Hasil penelitian Soerojo (1986) di Kembang Kuning Cilacap yaitu jumlah serasah daun mangrove yang dihasilkan oleh jenis Rhizopora apiculata 2.12 gram kering/m2/hari. Perbedaan jumlah serasah yang dihasilkan antara satu lokasi lokasi dengan lokasi lainnya disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Hasil penelitian Sediadi dan Pramudji (1987) menunjukkan bahwa pada tegakan Rhizopora, jumlah jatuhan serasahnya meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimumnya didapatkan pada usia 10 tahun. Tegakan di atas 10 tahun tidak menghasilkan perbedaan nyata. Jarak tumbuh dari garis pantai secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah serasah yang jatuh. Mangrove dengan tegakan tua akan menghasilkan jatuhan serasah lebih banyak dan tegakan Rhizopora menghasilkan jatuhan serasah lebih banyak dibanding dengan tegakan Avicenia. Pelepasan nutrisi anorganik selama periode dekomposisi sangat penting dalam mempertahankan keberlangsungan siklus nutrisi di lingkungan alam. Dengan terpeliharanya siklus nutrisi maka pertumbuhan alga dapat berlangsung secara lestari. Produksi zat hara dalam siklus ini tidak saja sebagai faktor penting bagi produksi alga akan tetapi juga untuk pertumbuhan plankton pada perairan pantai yang mempunyai hubungan dengan ekosistem mangrove (Soenardjo, 1999). 2.3. Peran Mangrove sebagai Habitat Moluska Dalam ekosistem mangrove kelas gastropoda merupakan kelompok yang dominan dari moluska. Menurut Frith (1977), kelompok gastropoda yang dominan pada hutan mangrove ádalah dari famili Neritidae, Littorinidae, Potamididae, Muricidae, Onchinidae dan Ellobidae. Selanjutnya Budiman dan Darnaedi (1982) menambahkan bahwa jenis-jenis moluska dari famili Potamididae dan Ellobiidae mempunyai frekuensi kehadiran yang cukup tinggi di hutan mangrove karena luasnya daerah yang disukai oleh Ellobiidae (kering, lembab, berpasir) dan Potamididae (lumpur, berair, terbuka). Kehadiran jenis- jenis moluska yang tinggi tergantung pada kemampuan menyesuaikan diri atau memiliki toleransi lingkungan yang luas, seperti tahan kering (Littorina, Brachiodontes dan Crassostrea), jenis yang dapat menghindar dari air pasang (Nerita dan Littorina) dan jenis yang tahan terendam air (Cerithidea). Menurut Budiman (1991) batasan masing-masing kelompok moluska penghuni hutan mangrove adalah sebagai berikut : 1. Kelompok moluska asli hutan mangrove artinya semua jenis moluska yang seluruh atau sebagian besar hidup dewasanya dihabiskan di hutan mangrove, dimana jenis-jenis moluska ini sangat jarang ditemukan di luar ekosistem mangrove. Sebagian besar pemakan serasah, hanya beberapa jenis pemakan alga. Banyak dijumpai di bagian tengah dan belakang hutan mangrove. Contohnya Cerithidea cingulata dan Terebralia sulcata. 2. Kelompok moluska fakultatif artinya jenis-jenis moluska yang mempergunakan hutan mangrove sebagai salah satu tempat hidupnya. Penyebarannya terutama di bagian depan hutan mangrove dan apabila keadaan memungkinkan menyebar sampai bagian tengah hutan mangrove. Contoh Crasosstrea cuculata dan Littorina scabra. 3. Kelompok moluska pendatang artinya jenis-jenis moluska yang secara tidak sengaja ada dalam ekosistem mangrove, umumnya hidup di area sempit di sekitar perbatasan dengan ekosistem tempat hidupnya dan frekuensi kehadiran dan jumlah individu di luar ekosistem lebih melimpah. contoh Thiara scabra dan Barbatia pectumcularis. Menurut Kartawinata et al (1979), adanya perbedaan jenis substrat dan kondisi mikrohabitat serta kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan menyebabkan gastropoda menyebar secara mendatar dan menegak. Habitat hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota di dalamnya mempunyai kisaran ekologis dan mempunyai relung tersendiri. Sebaran mendatar berlaku bagi jenis-jenis yang hidup pada permukaan substrat baik sebagai infauna maupun epifauna. Sementara sebaran menegak berlaku bagi jenis fauna yang hidupnya melekat pada akar atau menempel pada batang dan daun pohon mangrove. Diantara faktor-faktor substrat yang mempengaruhi distribusí vertikal adalah : (1) keadaan dan ukuran butiran, (2) jenis, banyaknya dan bentuk bahan organik yang berasosiasi dengan substrat, (3) derajat kekerasan substrat padat, (4) jumlah (luasan) daerah dari jenis substrat tertentu, (5) faktor-faktor lingkungan air seperti gerakan air, cahaya, salinitas, oksigen, tekanan dan sebagainya. Variasi substrat dalam hutan mangrove meliputi akar-akar, batang dan daun mangrove, kayu-kayu mati, lumpur, tumpukan pasir dan lainnya (Berry, 1963). Fauna hutan mangrove berdasarkan habitatnya adalah; (1) Fauna yang hidup di atas permukaan tanah (surface fauna/epifauna), (2) Fauna yang hidup meliang dalam tanah (infauna), (3) Fauna yang hidup di pohon mangrove (tree fauna) (Sasekumar 1974). Lebih lanjut Berry dalam Budiman dan Darnaedi (1982), mengatakan bahwa semua gastropoda yang termasuk pemanjat pohon, bergerak aktif turun dan naik mengikuti pasang dan surut, hal ini merupakan suatu adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh pengaruh pasang surut di dalam hutan mangrove. Cockroft dan Forbes dalam Kusrini (1988) menambahkan bahwa penghindaran air selama periode pasang naik dapat merupakan mekanisme menghindari pemangsaan. Budiman (1991) mengatakan bahwa jenis-jenis yang hidup di daerah pasang surut memiliki beberapa cara mengatasi problem lingkungan hidup antara lain: 1. Menyimpan air dalam cangkang. 2. Bergerak mencari tempat yang masih digenangi air atau masih lembab. 3. Memofifikasi atau menambah alat pernafasan lain selain insang, sehingga dapat mengambil oksigen langsung dari udara. 4. Toleransi terhadap fluktuasi salinitas yang besar terutama di daerah tropis yang mengalami penyinaran matahari kuat dan frekuensi hujan yang cukup tinggi, berpengaruh terhadap perairan pantai. Hughes (1986) mengatakan bahwa pada pantai berbatu di daerah terbuka yang kering Littorina neritoides menutup cangkangnya dengan operculum sampai kondisi lingkungan kembali lembab, dan difusi oksigen sekitar operculum diminimalkan. Menurut Nybakken (1992), pemilihan habitat dari gastropoda tergantung dari ketersediaan makanan yang berupa detritus dan makroalgae serta kondisi lingkungan yang terlindung dari gerakan massa air. Hawkes (1979) menambahkan bahwa faktor físika dan kimia seperti pasang surut, kedalaman, substrat, kecepatan arus, Oksigen terlarut, pH, Logam berat dan unsur hara serta interaksi kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi kehidupan perairan. Salah satu jenis gastropoda yang memanfaatkan mangrove sebagai habitat adalah Littorina spp. Menurut Tantanasiriwong (1978), gastropoda yang ditemukan pada hutan mangrove termasuk dalam sub kelas Prosobranchia. Beberapa famili yang umum ditemukan yaitu: Littorinidae, Neritidae, Potamididae, Cerithiidae. Jenis Littorina spp merupakan gastropoda dari famili Littorinidae dan termasuk kelompok moluska fakultatif . Adapun susunan taksonomi gastropoda L. neritoides adalah sebagai berikut: Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Subkelas : Prosobranchia Ordo : Mesogastropoda Famili : Littorinidae Genus : Littorina Spesies : Littorina neritoides Penyebaran kelompok ini terutama di bagian muka ekosistem mangrove dan apabila keadaan memungkinkan dapat menyebar sampai bagian tengah hutan mangrove. Menurut Kartawinata et al (1978), Littorina spp merupakan jenis yang sifatnya semiterestris yaitu jenis yang hidupnya hampir selalu di atas air, artinya selalu berada pada tajuk pohon mangrove di atas permukaan laut. Genus Littorina ditemukan hidup di batang, akar, cabang dan daun mangrove. Akar dan batang mangrove dimanfaatkan sebagai mikrohabitat, karena memerlukan ketersediaan substrat keras tempat melekat serta untuk melindungi diri dari mangsa. Penelitian yang dilakukan oleh Samson (1999) menemukan bahwa pada daerah yang ditumbuhi Bruguiera gymnorrhiza, yang memiliki sistem perakaran berupa akar lutut yang rendah ditemukan sedikit individu gastropoda. Sistem perakaran akar lutut kurang baik untuk substrat tempat melekatnya gastropoda yang membutuhkan substrat yang lebih tinggi, sehingga memungkinkan mereka terhindar dari air. Selain itu diduga arus air yang melewatinya bergerak relatif lebih cepat tanpa hambatan yang berarti dari akar. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa kondisi yang kurang menguntungkan ini hanya dapat diadaptasi dengan baik oleh Nerita lineata yang melekat erat dalam jalinan akar Bruguiera gymnorrhiza. Menurut Paine (1996) dalam Boneka (1993), kelimpahan Littorina dikontrol oleh substrat dalam hal ini permukaan mikrohabitat (tegakan mangrove) dan dapat juga dikontrol oleh pemangsaan. Boneka et al (1997) mengatakan bahwa beberapa predator teresterial yang diketahui seperti burung, kadal, dan ular, sedangkan predator akuatik seperti kepiting dan ikan. Penelitian yang dilakukan di Pulau Bunaken, Sulawesi Utara menunjukan bahwa predator akuatik seperti kepiting masuk melalui bagian bawah pohon dan memangsa gastropoda Littorina scabra, sementara predator teresterial masuk melalui bagian atas pohon. Pada penelitian ini predator yang ditemukan terutama kepiting: Portunids (Scylla serrata, Thalamita crenata, Portunus pelagicus), grapsids (Metopograpsus sp, Sesarma sp) dan Hermit crabs (Calcinus sp). Kepiting ini terutama aktif pada malam hari. Portunids aktif pada saat pasang tinggi, sedangkan grapsids dan ”hermit crabs” aktif pada kondisi pasang maupun surut. Beberapa kepiting portunid menggali atau bersembunyi di balik pecahan karang selama periode surut untuk menghindari keterbukaan. Lebih lanjut Reid (1992) mengatakan bahwa di Selat Cockle, Magnetic Island, Queensland utara ditemukan dua predator penting, yaitu burung dan kepiting. Burung merupakan predator yang memangsa gastropoda yang berada pada bagian pohon yang tinggi yaitu pada dedaunan (Reid 1986 dalam Boneka et al 1997)). Untuk melindungi diri dari predator spesies yang memanfaatkan mangrove sebagai habitat terutama spesies yang cenderung berada pada bagian akar dan batang memiliki warna yang gelap. Berkaitan dengan pemilihan habitat di dedaunan mangrove, Boneka (1993) mengatakan bahwa distribusi dan kelimpahan spesies Littorina dapat dihubungkan dengan karakteristik substrat dalam hal ini tegakan mangrove sebagai mikrohabitat dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Dedaunan mangrove berada pada bagian yang relatif terbuka dibanding bagian lainnya seperti batang dan akar. 2. Dedaunan secara alami berada pada level tinggi pada pohon mangrove. 3. Ketinggian pohon (hubungannya dengan umur) dapat mengontrol ketersediaan daun untuk gastropoda. 2.4. Nilai Penting Gastropoda Littorina spp Gastropoda Littorina spp belum memiliki nilai ekonomis penting, namun dalam ekosistem mangrove sangat berperan penting dalam rantai makanan. Menurut Nybakken (1992), pada umumnya moluska berperan penting dalam suatu ekosistem yaitu sebagai bagian dari rantai makanan dan sebagai indikator pencemaran pada muara-muara sungai (estuaria) dan juga pada bagian pantai yang terlindung dari gelombang besar. Beberapa spesies gastropoda telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan industri. Menurut Prahoro dan Anthony (2000), jenis-jenis gastropoda yang sering dimanfaatkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Lombok Timur adalah Vasticardium sp, Donax sp, Codikia sp, Strombus sp, Pila polita, Siphonaria sirius . Kasinatha dan Shanmugam (1988) melaporkan bahwa telah terjadi pengambilan secara berlebihan (Overexploitasi) fauna gastropoda seperti Telescopium sp, Cerithidea fluviantilis, Nitica sp, littorina spp, dan Nassarius sp di kawasan mangrove Pitchavaram dan estuari Vellar India untuk industri kapur. Gastropoda Littorina spp merupakan grazer (micro herbivore) yang memanfaatkan alga yang melekat pada pohon mangrove. Serasah mangrove yang didekomposisi menjadi nutrien terlarut dimanfaatkan oleh alga dalam proses fotosintesis. Selain dimanfaatkan oleh gastropoda, alga juga dimanfaatkan oleh udang-udang kecil, ikan dan organisme lainnya. Selanjutnya kepiting dan ikan akan memanfaatkan gastropoda Littorina spp ini sebagai makanan. Menurut Boneka et al (1997) kepiting dan ikan merupakan dari predator akuatik utama bagi Littorina spp . Kepiting dan ikan merupakan sumberdaya hayati yang dapat menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat setempat sehingga dapat membantu meningkatkan perekonomian. Dengan terciptanya rantai makanan ini, maka ketika gastropoda Littorina spp mengalami degradasi akibat adanya gangguan ekosistem mangrove maka dapat berdampak pada terganggunya rantai makanan bahkan berpotensi terhadap terputusnya rantai makanan pada ekosistem tersebut. Lebih lanjut akan berdampak pada berkurangnya sumberdaya hayati dan lebih jauh akan mempengaruhi perekonomian masyarakat setempat.