BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Risiko dan Tingkat Pengembalian untuk Aset Tunggal
2.1.1 Mendefinisikan Risiko Investasi
Menurut Brigham dan Houston (2001, p230), risiko didefinisikan sebagai
bahaya, petaka, kemungkinan mengalami kerugian atau kerusakan. Jadi, risiko
mengacu pada kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak menguntungkan. Jika
anda membeli saham spekulatif (atau bahkan setiap jenis saham), Anda mengambil
risiko menderita rugi dengan harapan mendapat untung yang setimpal. Berikut adalah
petikannya : “Risk is refers to the chance that some unfavorable event will occur ( a
hazard, a peril, exposure to loss or injury ) . If you invest in speculative stocks (or
really, any stock), you are taking a risk in the hope of making an appreciable return”.
Definisi Risiko pada umumnya selalu berkonotasi buruk atau negatif. Tetapi
menurut
Damodaran (2001, p150), risiko tidak selalu dapat dikaitkan dengan
sesuatu yang buruk. Dalam bidang keuangan, risiko memiliki arti yang berbeda dan
lebih luas. Risiko lebih berkaitan dengan “kemungkinan untuk mendapatkan imbalan
(return) yang tidak sesuai dengan apa yang investor harapkan”.
Ketika
Anda
mendapatkan imbal hasil yang lebih kecil dari yang diharapkan, atau sebaliknya,
ketika Anda mendapatkan imbal hasil yang lebih besar dari yang diharapkan, maka
itulah yang dinamakan Risiko. Berikut petikannya: “In finance, our definition of risk
14
15
is both different and broader. Risk, as we see it, refers to the likelihood that we will
receive a return on an investment that is different from the return we expected to
make. Thus, Risk includes not only the bad outcomes, that is, returns are lower than
expected, but also good outcomes, that is, returns that are higher than expected”.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa risiko merupakan gabungan dari “bahaya” dan
“peluang” dimana dalam bidang keuangan, kata bahaya diartikan sebagai risiko
sedangkan peluang diartikan sebagai imbal hasil. Berikut adalah petikannya : “Risk is
a mix of danger, and opportunity. In financial terms, we term the danger to be ‘Risk’
and the opportunity to be ‘Expected Return’. So, in any investment, we will convert
the danger into opportunity ”.
Dengan demikian, dapat dikatakan secara garis besar bahwa Risiko investasi
terkait dengan kemungkinan mendapatkan tingkat imbal hasil yang tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan – semakin besar tingkat pengembalian yang diharapkan,
semakin besar pula risiko yang harus ditanggung.
2.1.2 Tingkat Imbal Hasil (Rate of Return)
Tingkat imbal hasil biasanya dihitung setiap periode waktu tertentu yaitu
setahun sekali. Berikut ini merupakan rumus matematik-nya (Chandra, 2003, p213) :
Rate of Return = Annual Income + Ending Price – Beginning Price
Beginning Price
16
Pada saham, Annual Income (Penerimaan Rutin) biasanya berupa penerimaan
pembagian dividen. Ending Price menunjukkan harga indeks terakhir, sedangkan
Beginning Price menunjukkan harga indeks awal.
Rumus matematik di atas, dapat dijabarkan menjadi dua komponen, yaitu
Hasil Berjalan (Current Yield) dan Capital Gains/Loss Yield.
Annual Income
+
Ending Price – Beginning Price
Beginning Price
Beginning Price
Current Yield
Capital Gains / Loss Yield
Current Yield merupakan proporsi penghasilan saham yang berasal dari penerimaan
dividen tahunan relatif terhadap harga indeks awalnya. Sedangkan, Capital Gain
adalah keuntungan yang diperoleh pemegang saham/ivestor apabila harga jual saham
melebihi harga belinya. Kebalikan dari Capital Gain adalah Capital Loss, kerugian
akibat harga beli saham lebih tinggi disbanding harga saham ketika dijual. Misalnya,
seorang investor membeli saham A seharga Rp. 5.050, dan dua hari kemudian
investor tersebut menjual saham A seharga Rp. 5.100 per lembarnya. Berarti investor
tersebut, telah mendapat keuntungan (Capital Gain) 50 rupiah tiap lembar saham.
Sebaliknya, jika saham tersebut hanya terjual seharga Rp. 5.000, berarti investor
tersebut menderita kerugian (Capital Loss) 50 Rupiah tiap lembar saham.
(Sulistyastuti, 2002, p4)
17
2.1.3 Distribusi Probabilitas (Probability Distribution)
Probabilitas suatu peristiwa didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya
peristiwa itu. “Probability is the chance that the event will occur”. Jika kita membuat
daftar setiap peristiwa yang mungkin terjadi dan memberikan probabilitas kepada
masing-masing peristiwa, maka daftar itu disebut distribusi probabilitas. (Brigham
dan Houston, 2001, p231).
Probabilitas dapat digunakan untuk menghitung hasil (pengembalian) yang
mungkin akan diperoleh dari investasi. Misalnya, jika Anda memperkirakan peluang
naiknya harga saham A sampai sesi penutupan bursa dalah 4:1. Berarti, terdapat 80%
kemungkinan harga saham A akan naik dan sisanya, 20%, menandakan kemungkinan
harga saham tidak akan naik. Perkiraan Anda dapat dibuat distribusi probabilitas-nya,
seperti berikut:
Peristiwa (Outcome)
Probabilitas (Probability)
Harga Saham akan naik
0.80
Harga Saham tidak akan naik
0.20
Berdasarkan distribusi probabilitas, maka dapat dihitung dua parameter lain yaitu
Tingkat Pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) dan standar deviasi.
2.1.4 Tingkat Pengembalian yang diharapkan (Expected Rate of Return)
Jika Anda mengalikan setiap peristiwa
(outcome) dengan probabilitas
terjadinya peristiwa tersebut, lalu kemudian Anda jumlahkan hasil perkalian tersebut,
maka Anda akan memperoleh hasil rata-rata tertimbang. Hasil rata-rata tertimbang
18
itulah disebut juga sebagai tingkat pengembalian yang diharapkan. “expected rate of
return is the weighted average of all possible returns multiplied by their respective
probabilities”. Rumus matematik nya adalah:
E(R) = P1R1 + P2 R2 + … + Pn Rn
E ( R ) = ∑ Pi R i
Keterangan :
Pi
= Probabilitas ke - i yang mungkin terjadi
Ri
= Outcome ke – i yang mungkin terjadi
E ( R ) = Rata-rata tertimbang dari outcome sama dengan probabilitas terjadinya.
2.1.5 Standar Deviasi (Standard Deviation of Return)
Risiko mengacu kepada penyimpangan dari suatu variabel. Standar deviasi , σ
adalah ukuran statistik mengenai variabilitas/penyimpangan dari serangkaian hasil
observasi. Varians , σ
2
, adalah standar deviasi pangkat dua. Standar deviasi dan
varians digunakan untuk menghitung risiko saham. Makin kecil standar deviasi,
makin rapat distribusi probabilitas, maka makin kecil risiko saham. Berikut
merupakan rumus matematiknya :
σ 2 = Σ P i ( R i - E ( R )) 2
σ =
σ2
19
2.2
Risiko dan Tingkat Pengembalian Portofolio
Bagi para investor yang berinvestasi dalam bentuk portofolio, maka pada
umumnya, mereka tidak terlalu mementingkan risiko dan imbal hasil dari setiap
saham yang dimilikinya, tetapi lebih mementingkan atau lebih memfokuskan kepada
seberapa besar risiko dan imbal hasil dari portofolio nya.
2.2.1 Diversifikasi dan Risiko Portofolio
Portofolio atau portepel adalah kumpulan dari beberapa jenis sekuritas
investasi. Misalnya, jika Anda memiliki beberapa saham Unilever, dan Bank Mandiri,
maka Anda memiliki portofolio yang terdiri dari 2 saham. Karena lebih aman, maka
pada umumnya saham dimiliki dalam portofolio.
Diversifikasi dapat diartikan dengan penyebaran risiko – membagi-bagikan
risiko ke dalam portofolio. Sangatlah penting, untuk memahami, bahwa :
1. Diversifikasi hanya membantu untuk “mengurangi” risiko bukan menghilangkan
risiko.
2. Makin kecil koefisien korelasi, makin rendah risiko. Jika koefisien korelasi < -1,0
maka risiko dapat dikurangi melalui diversifikasi. Jika koefisien korelasi > +1,0
maka diversifikasi tidak mengurangi risiko sama sekali.
3. Risiko Portofolio dapat berkurang dengan bertambahnya jumlah jenis saham di
dalam portofolio tersebut.
20
2.2.2 Jenis-jenis Risiko Investasi
Dyah Ratih Sulistyastuti menyatakan bahwa risiko investasi saham terdiri
dari risiko tidak sistematik (unsystematic risk) dan risiko sistematik (systematic risk).
Total Risk = Unique Risk + Market Risk
1. Risiko tidak sistematik disebut juga Risiko Perusahaan (Unique, Diversifiable, or
Firm-Specific Risk), adalah risiko yang terkait dengan fluktuasi siklus bisnis dari
industri tertentu, seperti risiko gugatan hukum, pemogokan, program pemasaran
yang gagal, dan lain-lain. Risiko tidak sistematik dijelaskan dengan 1 – R Square.
2. Risiko sistematik terkait dengan kondisi pasar maka disebut juga Risiko Pasar
(Market Risk / Nondiversifiable Risk). Risiko Pasar berasal dari faktor-faktor yang
secara sistematik mempengaruhi perusahaan, seperti perang, inflasi, resesi, dan
suku bunga yang tinggi. Risiko sistematik dijelaskan dengan R Square.
(Sulistyastuti, 2002, p10-11)
Perlu dicermati, bahwa Risiko Perusahaan dapat dihapus melalui diversifikasi,
dan sebagian besar investor melakukannya, baik secara langsung atau dengan
membeli beberapa saham (portofolio). Dengan demikian, yang masih tetap ada adalah
risiko pasar. Hanya risiko pasarlah yang merupakan risiko relevan bagi investor yang
rasional dan bagi investor yang telah melakukan diversifikasi dengan baik
21
2.2.3 Konsep Risiko Pasar (Market Risk) – Beta
Suad Husnan, mengemukakan bahwa “kalau kita ingin mengetahui
sumbangan suatu saham terhadap risiko suatu portofolio yang didiversifikasikan
secara baik, kita haruslah tidak melihat seberapa risiko saham tersebut apabila
dimiliki secara terpisah, tetapi kita harus mengukur risiko pasarnya dan ini membawa
kita untuk mengukur kepekaan saham tersebut terhadap perubahan pasar”. Kepekaan
tingkat keuntungan terhadap perubahan-perubahan pasar inilah yang disebut sebagai
Beta. Dengan menggunakan beta, kita dapat memprediksikan tingkat sensitivitas
imbal hasil saham. ( Husnan, 2001, p166).
Patokan untuk memahami Beta adalah sebagai berikut:
!
b = 0,5 : Risiko saham adalah setengah dari rata-rata saham.
!
b = 1,0 : Risiko Saham sama dengan rata-rata saham.
!
b = 2,0 : Risiko Saham dua kali dari rata-rata saham.
Misalnya, saham A mempunyai beta = 1,0 , berarti pada umumnya, jika harga pasar
saham naik 10%, maka harga saham A juga naik 10%, begitu juga halnya jika yang
terjadi adalah penurunan. Portofolio dengan b = 1,0 akan naik/turun selaras dengan
naik turunnya rata-rata harga pasar saham. (Brigham dan Weston, 1990, p138)
2.2.4 Metode untuk Menghitung Beta
Damodaran (2001, p196-210), Ada tiga pendekatan metode yang dapat
digunakan untuk menghitung Beta. Yang pertama, dengan menggunakan data historis
harga pasar. Yang kedua, dengan menggunakan analisa fundamental dan yang
22
terakhir, dengan menggunakan data akuntansi. Ketiganya akan dibahas lebih detail
berikut ini:
1.
Beta Historis (Historical Market Beta)
Indeks beta dapat dihitung dengan membandingkan fluktuasi indeks saham
individual terhadap fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Anda harus
mencari garis regresi antara indeks saham individual dengan IHSG. Persamaan yang
digunakan, merupakan persamaan regresi linier sederhana, yang bisa dipecahkan
dengan rumus regresi, seperti berikut :
R j = alpha + beta ( R m ) + e
Keterangan :
Rj
= Return dari saham individual
Alpha = Intercept dari regresi ( intercept from the regression)
Beta
= Slope dari regresi (slope of the regression)
Beta
= Covariance ( R j , R m )
σ2
=
m
σ
j
σ
m
ρ
j,m
R m = Return dari saham pasar (IHSG)
e
= Standard error of the beta estimate
Beta menunjukkan kemiringan (slope) garis regresi dan Alpha menunjukkan
intercept dengan sumbu R
m.
Semakin besar beta, semakin curam kemiringan garis
regresi. Penyebaran titik-titik pengamatan di sekitar garis regresi, menunjukkan risiko
sisa. Semakin menyebar titik-titik tersebut, semakin besar risiko sisanya.
23
2.
Beta Fundamental ( Fundamental Betas )
Dalam metode ini, beta diukur dengan menggunakan variabel fundamental
perusahaan, yaitu :
a. Tipe dari bisnis perusahaan ( Type of Business or businesses the firm is in ).
Dengan berasumsi bahwa segala sesuatu adalah tidak berubah (other things
remaining equal), perusahaan yang musiman (cyclical firms) akan mempunyai
beta yang lebih tinggi/besar dibandingkan dengan perusahaan non-cyclical.
Misalnya,
perusahaan
otomotif
akan
lebih
sensitif
terhadap
keadaan
perekonomian makro. Jika perekonomian sedang membaik, maka penghasilan
perusahaan otomotif akan naik, sebaliknya jika perekonomian sedang lesu (resesi)
maka penghasilan otomotif akan turun lebih tajam (lebih beresiko) dibanding
perusahaan lain yang non-cyclical. Jadi, dapat dikatakan bahwa sektor bisnis
perusahaan juga turut mempengaruhi nilai Beta. “Firms whose products are much
discretionary to their customers should have higher betas than firms whose
products are viewed as necessary or less discretionary”. Perusahaan yang
memproduksi barang kebutuhan sehari-hari dianggap memiliki beta yang lebih
kecil, karena lebih bersifat defensif terhadap perubahan kondisi perekonomian.
(Damodaran, 2001, p202).
b. Tingkat Leverage Operasi ( The Degree of Operating Leverage of the Firm –
DOL ).
Tingkat leverage operasi (DOL) merupakan fungsi dari struktur modal
perusahaan dan biasanya dikaitkan dengan biaya tetap (fixed cost) dan total biaya
24
(total cost). “ A firm that has fixed costs relative to total costs is said to have high
operating leverage. A firm with high operating leverage will also have higher
variability in operating income than would a firm producing a similar product
with low operating leverage. Other things remaining equal, the higher variance
in operating income will lead to a higher beta for the firm with the high operating
leverage”.
(Damodaran, 2001, p202). Perusahaan yang mempunyai tingkat
leverage operasi yang tinggi, menandakan bahwa persentase perubahan laba
operasi yang sensitif, sehingga akan meningkatkan nilai Beta.
DOL = % Perubahan Laba Operasi
% Perubahan Penjualan
= % Change in Operating Profit
% Change in Sales
c. Tingkat Leverage Keuangan ( The Firm’s Financial Leverage ).
Perusahaan yang menggunakan hutang adalah perusahaan yang mempunyai
financial leverage. Semakin besar proporsi hutang, semakin besar financial
leverage, semakin besar Beta Equity. Berikut merupakan kutipan yang diambil
dari Damodaran (2001, p203), “Other things remaining equal, an increase in
financial leverage will increase the beta of the equity in a firm. Intuitively, we
would expect that the fixed interest payments on debt to result in high net income
in good times and negative net income in bad times. Higher leverage increases
the variance in net income and makes equity investment in the firm riskier”.
Rumus matematiknya dinyatakan seperti berikut:
25
Levered Beta
= Unlevered Beta x [ 1 + ( 1 – tax rate ) ( Debt / Equity ) ]
Unlevered Beta =
Current Beta
1 + ( 1 – tax rate ) ( Average Debt / Equity )
Unlevered Beta suatu perusahaan ditentukan oleh sektor dimana bisnis
perusahaan beroperasi dan juga ditentukan oleh tingkat operating leverage. Karena
unlevered beta ditentukan oleh asset perusahaan, maka seringkali disebut juga
sebagai Asset Beta. Sedangkan, Levered Beta seringkali disebut juga sebagai Equity
Beta, karena levered beta ditentukan oleh risiko dimana perusahaan beroperasi dan
juga oleh tingkat financial leverage.
3.
Beta Akuntansi (Accounting Beta)
Jika beta historis mencari garis regresi linier antara indeks saham individual
dengan Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG ) maka Beta Akuntansi mencari garis
regresi linier antara laba akuntansi perusahaan (accounting earnings) dengan Indeks
Harga Saham Gabungan ( IHSG ). Beta akuntansi memfokuskan kepada perubahan
laba akuntansi (changes in earnings at a division or a firm) yang terjadi di setiap
divisi atau di perusahaan, baik secara triwulanan atau tahunan, lalu dibandingkan
dengan perubahan pendapatan (changes in earnings for market) yang terjadi di pasar
pada periode yang sama. Jadi, beta akuntansi tidak membandingkan indeks saham
individual, tetapi membandingkan laba akuntansi. “Accounting Beta is used to
estimate the market risk parameters from accounting earnings rather than from
traded prices”. (Damodaran, 2001, p209)
26
2.3
Hubungan antara Risiko dan Imbal Hasil Berdasarkan
CAPM
Capital Asset Pricing Model (CAPM) atau Model Penetapan Harga Aktiva
Modal, dikembangkan oleh William F. Sharpe, seorang professor lulusan University
of California Los Angeles (UCLA) dan pengajar di Stanford University pada tahun
1964, adalah model yang didasarkan pada dalil bahwa tingkat pengembalian yang
disyaratkan atas setiap saham sama dengan tingkat pengembalian yang bebas risiko
ditambah premi risiko saham yang bersangkutan, dimana risiko yang dimaksud disini
mencerminkan adanya diversifikasi.
Berdasarkan Capital Asset Pricing Model (CAPM), hubungan antara risiko
dan imbal hasil dijabarkan dalam persamaan matematik berikut :
Expected Rate of Return = Risk Free Rate + Risk Premium
Risk Premium = Beta (Expected Return on Market Portfolio – Risk Free Rate).
Dimana [Expected Return on Market Portfolio
– Risk Free Rate] disebut juga
sebagai premi risiko karena mencerminkan kompensasi atas kesanggupan investor
dalam menanggung risiko diatas tingkat suku bunga bebas risiko. Portofolio pasar
(Market Portfolio) adalah portofolio yang mewakili semua kesempatan investasi yang
ada. Sebagai pendekatan dapat digunakan Indeks Harga Saham Gabungan.
Berdasarkan teori Capital Asset Pricing Model (CAPM), ada beberapa elemen
penting yang menggambarkan hubungan antara risiko dan return, di antaranya
adalah:
27
!
Saham adalah aset yang berisiko, karena tingkat imbal hasilnya berfluktuasi.
!
Ukuran statistik yang paling umum digunakan untuk mengukur risiko adalah
standar deviasi.
!
Risiko saham dapat dibagi menjadi dua, yaitu risiko perusahaan dan risiko pasar.
!
Risiko Perusahaan timbul dari faktor internal perusahaan (terkait dengan bisnis
perusahaan), sedangkan Risiko Pasar timbul dari faktor eksternal perusahaan
(terkait dengan makro-ekonomi).
!
Diversifikasi portofolio hanya menghilangkan risiko perusahaan, bukan risiko
pasar. Hanya risiko pasarlah yang merupakan risiko relevan bagi investor yang
rasional dan berdiversifikasi dengan baik.
!
Beta mengukur tingkat sensitivitas pergerakan saham individual terhadap
pergerakan harga pasar. (Chandra, 2003, p223)
2.3.1 Keterbatasan Model CAPM dan Beta
Meskipun konsep-konsep dalam CAPM adalah logis, namun secara
keseluruhan teori tersebut didasarkan pada keadaan masa mendatang atau keadaan
yang diharapkan (ex ante) sementara yang investor miliki hanyalah data masa lalu (ex
post). Dengan demikian, beta yang dihitung hanya memperlihatkan sejauh mana
gejolak harga saham di masa lalu, tetapi keadaan bisa berubah dan gejolak di masa
mendatang bisa sangat berbeda dari gejolak harga saham di masa lalu. Padahal inilah
yang sesungguhnya yang perlu diketahui investor. ( Brigham dan Houston, 2001,
p265)
28
Pada tahun 1978, Richard Roll mengatakan bahwa CAPM bukanlah teori
yang baik karena tidak bisa diuji secara empiris. Jika portofolio efisien (mencapai
tingkat imbal hasil maksimum untuk tingkat risiko yang dimiliki), maka hubungan
dalam persamaan CAPM merupakan tautologi matematis yang tidak bisa dibantah.
Jika portofolio pasar tidak efisien, CAPM tidak menghasilkan prediksi apa pun.
Dalam prakteknya mustahil untuk memperoleh portofolio pasar yang ideal seperti
yang disyaratkan CAPM.
Selanjutnya, beberapa pakar seperti Profesor Eugene Fama, pengembang
Efficient Market Hypothesis, telah melakukan penelitian tentang peranan Beta dalam
menerangkan perilaku imbal hasil saham. Hasil riset mereka tidak memperlihatkan
adanya peranan signifikan dari Beta untuk data pasar saham di Amerika Serikat dari
1963-1990.
Meskipun terjadi perdebatan tentang CAPM, namun ide dasar tentang CAPM
mengenai portofolio efisien, risiko sistematis dan risiko yang bisa didiversifikasi
tetap relevan untuk diketahui. Penelitian-penelitian empiris tentang CAPM telah
membawa kepada banyak penemuan baru tentang variabel-variabel lain yang
mempengaruhi kinerja saham. Tanpa pengetahuan tentang CAPM, agak sulit bagi
investor untuk mengerti logika dan kesimpulan dari penelitian-penelitian ini. (Roy
Sembel, 1999, p83-85).
29
2.4
Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan
2.4.1 Arti dan Tujuan Laporan Keuangan
Laporan Keuangan (Annual Report), seperti yang diungkapkan Brigham dan
Weston (1990, p279) adalah laporan yang disampaikan setiap tahun oleh perusahaan
kepada para pemegang sahamnya. Laporan ini terdiri dari laporan keuangan utama
serta opini manajemen atas operasi tahun lalu dan prospek perusahaan di masa
mendatang.
Sesuai dengan PSAK yang dikeluarkan tahun 1999, dalam “Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan” paragraf 12, menyatakan: Tujuan
laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan,
kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi
sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Tujuan pelaporan keuangan (financial reporting) seperti yang diungkapkan
oleh Kieso, Weygandt dan Warfield (2001, p5) adalah memberikan informasi yang:
1. Berguna dalam keputusan-keputusan investasi dan kredit.
2. Berguna dalam menilai arus kas mendatang.
3. Mengenai sumber-sumber daya dalam perusahaan, hak atas seumber-sumber
daya, dan perubahan atas sumber-sumber daya dan hak atasnya.
Bagan berikut ini menunjukkan bagaimana informasi yang diperoleh dari
pelaporan keuangan, dipergunakan oleh para pengguna laporan keuangan untuk
melakukan keputusan-keputusan alokasi modal dengan optimal sehingga alokasi
dumber daya yang efisien dapat terjadi.
30
Users
(present and potential)
Financial Reporting
The financial information a
company provides to help
users with capital allocation
decisions about the company.
Investors and creditors
use financial reports to
make
their
capital
allocation decisions.
Capital Allocation
The
process
of
determining how and
at what cost money is
allocated
among
competing interests.
Gambar 2.1 Capital Allocation Process
diadopsi dari Kieso, Weygandt dan Warfield (2001, p3)
2.4.2 Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan
Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk mengevaluasi
kinerja di masa yang lalu, dengan melakukan berbagai analisis (analisis akuntansi dan
analisis keuangan), sehingga diperoleh posisi keuangan perusahaan yang mewakili
realitas perusahaan dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Dan berdasarkan
evaluasi di masa lalu, dapat dilakukan prediksi di masa mendatang, dan dilakukan
valuasi untuk pengambilan keputusan investasi. (Lesmana&Surjanto, 2003, p11-12)
Evaluasi
Kinerja Masa Lalu
Prediksi
Prospek Masa Depan
Valuasi
Nilai Saat Ini
Gambar 2.3 Konsep Analisis Kinerja Keuangan
diadopsi dari Lesmana dan Surjanto, 2003, p12
31
2.4.3 Rasio Keuangan yang dipakai untuk Menaksir Beta
Analisis rasio keuangan perusahaan biasanya merupakan langkah pertama
dalam analisis kinerja keuangan perusahaan. Rasio keuangan dirancang untuk
memperlihatkan hubungan di antara perkiraan-perkiraan laporan keuangan.
2.4.3.1Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios)
Rasio likuiditas adalah rasio yang memperlihatkan hubungan kas perusahaan
dan aktiva lancar lainnya terhadap kewajiban lancarnya. Ada dua rasio likuiditas,
yaitu rasio lancar dan rasio cepat.
1. Rasio Lancar (Current Ratio), dicari dengan membandingkan aktiva lancar
dengan kewajiban lancar. Rasio ini menunjukkan sampai sejauh mana tagihantagihan jangka pendek dari para kreditor dapat dipenuhi dengan aktiva yang
diharapkan akan dikonversi menjadi uang tunai dalam waktu dekat.
Rasio Lancar =
Aktiva Lancar
Kewajiban Lancar
Aktiva lancar meliputi : kas, surat-surat berharga, piutang usaha, dan persediaan.
Kewajiban lancar meliputi : utang usaha, wesel bayar jangka pendek, utang
jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam setahun, pajak penghasilan akrual,
dan beban akrual atau beban terutang (terutama upah).
2. Rasio Cepat (Quick atau Acid Test Ratio), dicari dengan mengurangi aktiva lancar
dengan persediaan dan membagi sisanya dengan kewajiban lancar. Persediaan
lazimnya merupakan aktiva lancar yang paling tidak likuid karena itu dalam
32
mengukur kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendek pada
rasio ini tidak dikaitkan dengan persediaan.
Rasio Cepat =
Aktiva lancar - Persediaan
Kewajiban Lancar
2.4.3.2 Rasio Pengelolaan Hutang (Financial Leverage)
Leverage dapat diartikan sebagai penggunaan aktiva atau dana dimana untuk
penggunaan tersebut perusahaan harus menutup biaya tetap untuk memperbesar
tingkat penghasilan (imbal hasil) bagi pemilik perusahaan. Dengan memperbesar
tingkat leverage maka hal ini akan berarti bahwa tingkat ketidakpastian dari imbal
hasil yang akan diperoleh semakin tinggi pula, tetapi pada saat yang sama hal tersebut
juga akan memperbesar jumlah imbal hasil yang akan diperoleh. Jadi, semakin tinggi
leverage akan mempertinggi risiko yang dihadapi perusahaan tetapi pada saat
bersamaan, semakin besar pula tingkat imbal hasil yang diharapkan.
Financial Leverage timbul karena adanya kewajiban-kewajiban keuangan
yang sifatnya tetap yang harus dikeluarkan perusahaan. Financial Leverage terdiri
dari rasio-rasio berikut:
1. Debt to Asset Ratio, diperoleh dengan membandingkan total hutang dengan total
aktiva. Total hutang mencakup kewajiban lancar dan kewajiban jangka panjang.
Kreditor lebih menyukai rasio hutang yang rendah karena dalam keadaan
demikian, tersedia dana penyangga yang besar bagi kreditor apabila terjadi
likuidasi. Di pihak lain, para pemilik mungkin menghendaki tingkat utang yang
33
tinggi, dengan alasan untuk melipatgandakan laba atau mungkin karena penjualan
saham akan menyebabkan berkurangnya kendali atas perusahaan.
Debt to Asset Ratio = Total Hutang
Total Aktiva
2. Debt to Equity Ratio, diperoleh dengan membandingkan total hutang dengan
modal atau ekuitas.
Debt to Equity Ratio =
Total Hutang
Total Ekuitas
3. Times Interest Earned Ratio, rasio kemampuan mebayar bunga, diperoleh dengan
membagi laba sebelum bunga dan pajak (Earnings Before Interest and Taxes,
EBIT) dengan beban bunga. Rasio ini mengukur sejauh mana perusahaan mampu
membayar biaya bunga tahunan. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, kreditor dapat
mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan yang dapat menimbulkan
kepailitan.
Times Interest Earned Ratio = Earnings Before Interest and Taxes
Total Aktiva
2.4.3.2 Marjin Laba Bersih atas Penjualan (Net Profit Margin)
Net Profit Margin dihitung dengan membagi laba bersih setelah pajak dengan
penjualan. Rasio ini mengukur persentase laba dari setiap Rupiah/ Dollar penjualan,
semakin tinggi rasio marjin laba maka risiko perusahaan akan semakin kecil karena
perusahaan mendapatkan laba dari hasil penjualan :
34
Net Profit Margin = Net Income
Sales
2.4.3.3 Tingkat Pengembalian atas Ekuitas Saham Biasa (Return on
Equity)
Return on Equity adalah rasio laba bersih setelah pajak terhadap ekuitas
saham biasa. Rasio ini mengukur tingkat pengembalian atas investasi bagi pemegang
saham biasa. Semakin tinggi Return on Equity maka semakin rendah risiko
perusahaan. Semakin rendah Return on Equity maka semakin tinggi risiko perusahaan
Return on Equity = Net Income
Total Equity
Agar lebih memahami tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Return on
Equity maka akan dilakukan dekomposisi untuk menjabarkan Return on Equity yang
dikenal dengan nama Du Pont System.
ROE =
Net Income x
Pretax Profits
Pretax Profits x
EBIT
EBIT
Sales
x
Sales
x
Assets
Assets
Equity
ROE = Tax-Burden Ratio x Interest Burden Ratio x Profit Margins x Asset Turnover x
Leverage Ratio
2.4.3.4 Rasio Perputaran Total Aktiva (Total Asset Turnover)
Total Asset Turnover mengukur perputaran, atau pemanfaatan, dari semua
aktiva perusahaan. Rasio ini dihitung dengan membagi penjualan dengan total aktiva:
35
Total Asset Turnover = Net Sales
Total Asset
Sektor industri yang berbeda-beda dapat menyebabkan perbedaan rasio perputaran
total aktiva. Bisnis manufaktur biasanya mempunyai total asset turnover ratio sekitar
1. sedangkan bisnis ritel biasanya mendekati 10. Total Asset Turnover yang rendah
mengindikasikan bahwa perusahaan kemungkinan terlalu banyak mengalokasikan
modalnya untuk membeli aktiva. Sedangkan, jika Total Asset Turnover yang tinggi
mengindikasikan bahwa aktiva yang dimiliki perusahaan terlalu sedikit atau aktiva
yang ada sudah usang/rusak, sehingga tidak bisa mencapai penjualan yang
ditargetkan.
2.4.4 Keterbatasan Analisis Rasio
Brigham dan Weston (1990, p313-314) mengatakan bahwa meskipun
analisis rasio dapat menghasilkan informasi yang bermanfaat sehubungan dengan
operasi dan keadaan keuangan perusahaan, namun didalamnya terdapat masalah dan
keterbatasan yang memerlukan kehati-hatian dan pertimbangan. Sebagian dari
masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Inflasi menyebabkan distorsi besar pada neraca-nilai yang tercatat di neraca kerap
kali sangat berbeda dari nilai yang “sebenarnya”. Lebih jauh lagi, karena inflasi
mempengaruhi baik beban penyusutan maupun biaya persediaan maka laba juga
tentu dipengaruhi.
2. Faktor-faktor musiman juga menyebabkan ketimpangan pada analisis rasio.
Misalnya, rasio perputaran persediaan bagi pabrik pengolah makanan akan sangat
36
berbeda apabila angka persediaan yang digunakan adalah angka persediaan persis
sebelum proses pengalengan selesai atau persediaan persis setelah proses
pengalengan selesai.
3. Perusahaan dapat menggunakan teknik “window dressing” agar laporan
keuangannya kelihatan lebih baik daripada sesungguhnya.
4. Perbedaan praktek operasi dan metode pencatatan akuntansi dapat menyebabkan
distorsi dalam perbandingan seperti metode penilaian persediaan dan penyusutan
dapat mempengaruhi laporan keuangan dan karena itu mendistorsikan
perbandingan di antara perusahaan.
5. Sukar menentukan secara pasti apakah suatu rasio “baik” atau “buruk”. Misalnya,
rasio lancar yang tinggi mungkin menunjukkan posisi likuiditas yang kuat tetapi
bisa juga menandakan adanya kas berlebih yang tentunya tidak baik (karena tidak
produktif).
2.5
Klasifikasi Saham Biasa
Menurut Widoatmojo (2000, p54), Klasifikasi saham biasa (common stock)
berdasarkan fundamental perusahaan dan kondisi perekonomian makro adalah
sebagai berikut:
1. Income Stocks : Saham yang mampu memberikan dividen semakin besar dari
rata-rata dividen yang dibayarkan tahun sebelumnya. Emiten income stock adalah
perusahaan-perusahaan yang telah mencapai tahapan mapan (mature) dan
memiliki pangsa pasar yang tinggi serta stabil. Indeks beta kurang dari satu.
37
2. Growth Stocks : Emiten growth stocks adalah perusahaan yang memimpin dalam
industrinya dan cukup prospektif karena perusahaan mampu memberikan dividen
yang relatif tinggi. Walaupun harga sahamnya termasuk mahal dengan Price
Earning Ratio yang tinggi tetapi saham kategori ini tetap mampu memberikan
capital gain. Saham ini memiliki indeks beta kurang dari satu.
3. Speculative Stocks : Saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang pendapatannya
belum pasti. Seperti perusahaan yang sedang memulai operasi atau sedang
restrukturisasi modalnya sehingga emitennya tidak konsisten dalam memberikan
dividen. Saham kategori ini memiliki indeks beta yang tinggi yaitu lebih dari 2
dan Price Earning Ratio sangat fluktuatif. Sehingga saham kategori ini sangat
agresif dan memiliki risiko sistematik melebihi risiko pasarnya.
4. Cylical Stocks : Kelompok saham yang pergerakannya searah dengan
perekonomian makro. Saham-saham perusahaan yang siklus bisnisnya mengikuti
kondisi ekonomi. Saham ini memiliki indeks beta mendekati satu. Emitennya
adalah perusahaan properti, otomotif, industri dasar.
5. Defensive Stocks : Saham yang tidak terpengaruh perekonomian makro maupun
turbulensi social-politik. Emitennya adalah perusahaan yang memproduksi
consumer goods, supermarket dan public utilities. Karena produknya selalu
dibutuhkan masyarakat maka perusahaan ini tetap mendapatkan penghasilan
walaupun kondisi perekonomian sedang buruk. Saham kategori ini memiliki beta
kurang dari satu.
38
2.6
Indeks Harga Saham Gabungan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pertama kali diperkenalkan pada
tanggal 1 April 1983 sebagai indikator pergerakan harga saham yang tercatat di
Bursa, baik saham biasa maupun saham preferen. Hari dasar penghitungan indeks
adalah tanggal 10 Agustus 1982 dengan nilai 100, sedangkan jumlah saham yang
tercatat pada waktu itu adalah sebanyak 13 saham.
Indeks Sektoral Bursa Efek Jakarta (BEJ) adalah sub indeks dari IHSG.
Semua saham yang tercatat di BEJ diklasifikasikan kedalam sembilan sektor menurut
klasifikasi industri yang telah ditetapkan BEJ, yang diberi nama JASICA (Jakarta
Stock Exchange Industrial Classification). Kesembilan sektor tersebut adalah:
!
Sektor-sektor Primer (Ekstraktif) :
1. Pertanian.
2. Pertambangan.
!
Sektor-sektor Sekunder (Industri Pengolahan/Manufaktur):
3. Industri Dasar dan Kimia.
4. Aneka Industri.
5. Industri Barang Konsumsi.
!
Sektor-sektor Tersier (Jasa):
6. Properti dan Real Estate.
7. Transportasi dan Infrastruktur.
8. Keuangan.
9. Perdagangan, Jasa dan Investasi.
39
Indeks sektoral diperkenalkan pada tanggal 2 Januari 1996 dengan nilai awal
indeks 100 untuk setiap sektor dan menggunakan hari dasar tanggal 28 Desember
1995. Selain sembilan sektor tersebut BEJ juga menghitungan Indeks Industri
Manufaktur (Industri Pengolahan) yang merupakan indeks gabungan dari sahamsaham yang terklasifikasikan dalam sektor tiga, sektor empat dan sektor lima.
Evaluasi klasifikasi industri perusahaan yang tercatat di BEJ dilakukan setahun sekali
setiap bulan Juni yang hasilnya efektif berlaku untuk periode Juli sampai Juni tahun
berikutnya. Bila evaluasi ini mengakibatkan perubahan klasifikasi industri suatu
saham sehingga dipindahkan sektor industri lainnya, penyesuaian juga akan
dilakukan pada indeks sektoral yang bersangkutan.
Download