POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

advertisement
POST TRAUMATIC STRESS DISORDER
1.
Definisi
Gangguan stress pasca trauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik,
dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stress fisik maupun
emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa.
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress
pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah
seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.
Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa
manusia, kecelakaan ataupun perang. Dalam diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, (DSM-IV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau
beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang
berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap
integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang
ekstrim, horor, atau rasa tidak berdaya.
2.
Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan stress pasca trauma diperkirakan 8% dari
populasi umum. Diantara kelompok resiko tinggi yang merupakan anggota yang
mengalami peristiwa traumatic, angka prevalensi seumur hidup antara 5-75%.
Di indonesia meskipun belum terdapat data yang pasti berapa jumlah anak yang
mengalami PTSD akibat kejadian trauma bencana alam akan tetapi dapat dikatakan
jumlah anak yang mengalami PTSD meningkat seiring dengan angka kejadian bencana
alam yang makin tinggi belakangan ini. Setidaknya terdapat lebih dari 40% anak dan
remaja pernah mengalami kejadian trauma dan berkembang menjadi PTSD sebesar 15%
pada anak perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Di Indonesia telah terjadi berbagai
macam kejadian yang dapat menimbulkan gangguan stress pasca trauma. Salah satu dari
kejadian tersebut adalah tsunami di Aceh. Pada penelitian yang dilakukan pada 482
anak yang berusia 11 sampai 19 tahun yang mengalami tsunami, 54 anak (11,2%), 124
anak (25,7%), 196 anak (40,7%),103 anak (21,4%) dan 5 anak (1%) secara berturut-
turut menunjukkan none, mild, moderate, severe, dan very severe symptoms dari
gangguan stess pasca trauma
3.
Etiologi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab dalam perkembangan
gangguan stress pasca trauma Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita
mennaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan glikogenolisis.
Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stress pasca trauma setelah
suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidaklah cukup
untuk menyebabkan gangguan. Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
antara lain:
-
Faktor Biologis
Pada anak yang sebelumnya memiliki gangguan cemas memiliki resiko lebih
tinggi berkembang menjadi PTSD setelah mengalami trauma.
-
Faktor Psikologis
Stresor yang ekstrim secara tipikal menimbulkan emosi yang negatif (sedih,
marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem
saraf simpatis (fight or flight response). Classical conditioning terjadi pada saat
seseorang yang mengalami peristiwa trauma kembali ketempat terjadinya trauma
maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak diasadari dan merupakan respon
refleks yang spesifik.
-
Faktor Sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan
risiko perkembangan PTSD estelah anak mengalami kejadian traumatik.
4.
Faktor resiko
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam menigkatkan risiko seseorang
mengalami gangguan stress pasca trauma, antara lain:
-
Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya.
-
Durasi trauma yang dialaminya.
-
Banyaknya trauma yang dialami.
-
Pelaku kejadian trauma.
-
Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan.
-
Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko dibandingkan laki-laki.
-
Kondisi sosial ekonomi yang rendah.
-
Usia: PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan usia tua
diatas 60 tahun merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami PTSD.
-
Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti : depresi, fobia sosial,
dan gangguan kecemasan.
-
Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis seperti, kanker
-
Pasien yang berada dibawah pengaruh anastesi akan tetapi memperoleh kembali
kesadarannya saat dilakukannya operasi.
-
Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan dalam
menghadapi bencana lebih berisiko dibandingkan mereka yang mendapatakannya.
-
Hidup ditempat pengungsian (misalnya: sedang ada peperangan/konflik
didaerahnya).
-
Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan.
5.
Tanda dan Gejala
Gejala-gejala PTSD dikelompokka dalam tiga kategori utama. Diagnosis dapat
ditegakkan bila gejala-gejala dalam kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan.
Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah:
a.
Mengalami kembali kejadian traumatik. Seseorang kerap teringat akan kejadian
tersebut dan mengalami mimpi buruk tetntang hal itu.
b.
Penghindaran stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa
dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk
berpikir tentang trauma atau menhadapi stimulus yang akan mengingatkan akan
kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia terhadapa kejadian tersebut.
c.
Gejala ketegangan. Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya, sulit
berkonsentrasi, waspada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk
meningkatnya reaktivitas fisiologis.
6.
Diagnosis
Kriteria diagnosis PTSD menurut Diagnostic and Statistical Manual for Mental
Disorder IV Text Revision ( DSM-IV-TR) yaitu:
A.
Kejadian Traumatik
1. Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami, menyaksikan,
atau dihadapakan dengan suatu kejadian yang berupa ancman kematian, cidera
yang serius atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya sendiri atau orang
lain.
B.
Mengalami kembali satu atau lebih gejala dibawah ini:
1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya dan
bersifat menganggu ( bisa berupa gambaran, pikiran maupun persepsi).
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (yang
mencemaskan).
C.
Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan
mematikan perasaan/tidak berespon terhadapa suatu hal ( sebelum trauma masih
berespon).
1. Kemampuan
untuk
menghindari
pikiran,
perasaan,
percakapan
yang
berhubungan dengan kejadian trauma.
2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan
kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.
D.
Gejala hiperarousal/sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih gejala
dibawah ini:
1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahannya.
2. Sulit berkonsentrasi.
3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
4. Reaksi kaget yang berlebihan
E.
Durasi dari gangguan (di kriteria B,C,D) lebih dari sebulan.
F.
Gangguan atau gejala diatas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan
fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
Pedoman diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III (F 43.1) yaitu:
-
Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatik berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat
ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan
melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak
dapat alternatif kategori gangguan lainnya.
-
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian trumatik tersebut secara berulang-ulang kembali.
-
Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
-
Suatu “ sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam
kategori F62.0.
7.
Penatalaksanaan
Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, ada baiknya dilakukan
evaluasi psikologis terlebih dahulu. Tindakan ini untuk memahami kepribadian anak,
trauma yag dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya. Setelah dilakukan
evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD
yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan farmako terapi. Hasil pengobatan akan
lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang
holistik dan komprehensif.
1.
Psikoterapi
a. Manajemen ansietas, yaitu mengajarkan berbagai kemampuan kepada pasien
untuk mengurangi stress yakni dengan cara latihan relaksasi (latihan untuk
mengurangi ketegangan berbagai otot), latihan pernapasan (latihan untuk
melakukan hiperventilasi), berpikir positif, dan melatih untuk berhenti
memikirkan segala hal yang dapat menyebabkan kecemasan.
b. Terapi kognitif, digunakan untuk mengurangi berbagai pikiran dan
kepercayaan yang tidak realistic yang dapat menggangu fungsi dan emosi
pasien.
c. Exposure Theraphy, membantu pasien dengan mengkonfrontasikan berbagai
situasi yang dialami sebelumnya, baik itu orang, objek, ingatan, atau emosi
yang berhubungan dengan stressor pasien.
d. Play theraphy, digunakan pada anak-anak berupa permainan yang dapat
memberikan danmengarahkan anak pada stressor dengan cara perlahan-lahan,
sehingga tidak memperburuk stress yang dialami.
e. Psikoedukasi, yaitu dengan mengedukasi kepada pasien dan keluarga pasien
tentang gejala-gejala dan berbagai pengobatan pada gangguan stress pasca
trauma.
f. Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), dimana pasien
memfokuskan pada pergerakan ke lateraljari klinisi sambil mempertahankan
gambaran mental mengenai traumanya.
2.
Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini
diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan kecemasan,
kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi simptomatik pada
PTSD.
Adapun obat-obatan yang diberikan sebgaai beriku:
1. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)
SSRI dianggap sebagai lini pertama yang dapat menghilangkan gejala-gejala
gangguan stress pasca trauma. Contohnya Fluoxetine (prozac). Dosis anjurannya
adala 20-40 mg/hari.
2. Beta adrenergic blocking agents
Propanolol (inderal). Obat ini dapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anakanak: 2,5 mg/kg BB/hari.
3. Mood Stabilizers
Carbamazepine (tegretol): 6-12 tahun: 100 mg/hari peroral.
Depakote: 10-15 mg/kg/hari untuk dosis initial dan kemudian dapat ditingkatkan 510mg/kg/hari.
8.
Prognosis
Lima puluh persen kasus akan pulih pada tahun pertama, namun sampai 30% perjalanan
penyakitnya akan kronis. Prognosisnya tergantung pada keparahan gejala awal.
Kebanyakan individu yang menjalani terapi medic dan psikiatri yang sesuai akan
sembuh sempurna (atau hamper sempurna). Pada pasien gangguan stress pasca trauma
yang menjalani pengobatan , gejala bertahan rata-rata dala 36 minggu, dibandingkan
dengan 64 bulan pada pasien yang tidak menjalani terapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira S.D,ddk. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FK UI.
2. Kaplan dan Saddock. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis. Binarupa Aksara. Jakarta.
3. Maramis, W.F dan Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
4. Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ
III. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
5. ------------------.2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
Edisi 3. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
6. Sadock, Benjamin J. 2012. Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi 2. Jakarta: EGC
Download