71 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa, daerah penelitian dari Disertasi ini mencakup wilayah kecamatan dan desa pesisir serta laut dari Kabupaten Cirebon. Oleh sebab itu, deskripsi tentang keadaan umum daerah penelitian ini juga meliputi segenap aspek fisik, sosial-ekonomi dan budaya dari wilayah Kabupaten Cirebon yang relevan dengan tema dan tujuan dari penelitian disertasi ini. 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Letak Geografi dan Administrasi Secara geografis Kabupaten Cirebon terletak diantara 108o 40’ - 108o 48’ Bujur Timur dan 6o 30’ – 7o00’ Lintang Selatan di wilayah Pantura (Pantai Utara Jawa), dengan luas wilayah 990,36 km2 merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Barat. Desa-desa dan kecamatan-kecamatan yang terletak di wilayah pesisir Pantura merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 10 m dari permukaan air laut (BPS Kabupaten Cirebon, 2009). Kabupaten Cirebon memiliki jarak terjauh dari arah barat ke timur sepanjang 54 km, dan utara ke selatan 39 km meliputi 40 kecamatan, 424 desa dan 12 kelurahan dengan Ibukota Kabupaten di Sumber. Dari 40 kecamatan itu, delapan diantaranya adalah kecamatan pesisir yang merupakan lokasi penelitian yaitu Kecamatan Kapetakan, Suranenggala, Gunung Jati, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang dan Losari. Luas seluruh kecamatan pesisir adalah 310,21 km2 atau 31,32 persen dari luas keseluruhan wilayah Kabupaten Cirebon. Batas administratif Kabupaten Cirebon adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Kabupaten Indramayu Sebelah Timur : Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah Sebelah Selatan : Kabupaten Kuningan Sebelah Barat : Kabupaten Majalengka 72 4.1.2 Iklim Wilayah Kabupaten Cirebon beriklim tropis dan curah hujan yang dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai, terutama bagian utara, timur dan barat, sedangkan di sebelah selatan merupakan daerah perbukitan. Menurut Schmidt dan Ferguson, wilayah Kabupaten Cirebon termasuk kategori iklim tipe C dan D yakni daerah dengan jumlah curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 1000 - 3000 mm. Jumlah curah hujan tertinggi terdapat di bagian tengah dan selatan yaitu daerah perbukitan di kaki gunung Ciremai (Kecamatan Beber, Sumber, Palimanan dan Plumbon). Wilayah Kabupaten Cirebon memiliki suhu rata-rata 28oC, suhu tertinggi dapat mencapai 33oC sedangkan suhu terendah sekitar 24oC. Suhu di wilayah ini cenderung tidak fluktuatif, sementara itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh angin kumbang yang bertiup relatif kencang, terkadang berputar dan bersifat kering (http://www.jabarprov.go.id). 4.1.3 Keadaan Tanah Jenis tanah yang mendominasi wilayah Kabupaten Cirebon yaitu jenis tanah alluvial (kelabu-kelabu tua serta sosialisasi alluvial kelabu dengan gley humus rendah). Jenis tanah lainnya, yaitu jenis tanah assosiasi mediteran coklat dan grumusol kekuningan. Lokasi terbesar di wilayah-wilayah kecamatan Astanajapura, Lemahabang dan Karangsembung, dengan sifat kedalaman solumnya 1-2 meter. Jenis tanah latosol coklat mendominasi wilayah Kecamatan Cirebon Selatan dan Beber, dengan solum tebal rata-rata terletak di daerah ketinggian tanah 1000 m dpl, sedangkan jenis tanah podsolik kuning dan hidromorof kelabu banyak terdapat di Kecamatan Palimanan dan Ciwaringin. 4.1.4 Hidro-Oseanografi Kabupaten Cirebon dilalui oleh 18 aliran sungai yang berhulu di wilayah Kabupaten Cirebon bagian selatan. Sungai – sungai yang ada di Kabupaten Cirebon yang tergolong besar antara lain Cisanggarung, Ciwaringin, Cimanis, Cipager, Pekik dan Kalijaga. 73 Kondisi oseanografi Pantai Utara Kabupaten Cirebon Jawa Barat dipengaruhi Laut Jawa. Arus permukaan mengikuti pola musim yaitu pada musim barat (bulan Desember sampai Februari) arus permukaan bergerak ke arah timur, dan pada musim timur (bulan Juni sampai Agustus) arus bergerak ke arah barat. Pada musim barat, arus permukaan mencapai maksimum 65,6 cm/detik dan minimun 0,6 cm/detik, sedangkan pada musim timur arus maksimum mencapai 59,2 cm/detik dan minimum 0,6 cm/detik. Tinggi gelombang di laut Jawa umumnya rata-rata kurang dari 2 meter (PKSPL & BPLHD 2006). Salinitas di permukaan Laut Jawa bagian barat berkisar antara 30,6 ‰ hingga 32,6 ‰ atau dengan rata-rata tahunan berkisar antara 2 ‰ hingga 3,5 ‰. Kisaran suhu permukaan Laut Jawa bagian barat berkisar 28,5-30o C pada musim barat, musim peralihan pertama berkisar antara 29,5- 30,7o C, musim timur berkisar antara 28,5-31o C dan musim peralihan kedua berkisar antara 28,5-31o C. 4.2 Kualitas Perairan Pesisir Perairan Cirebon pada umumnya merupakan perairan laut dangkal, kedalamannya antara 0,5 meter (di sekitar garis pantai) hingga 12 meter (pada jarak 7,5 km dari garis pantai) pada saat surut, sehingga lereng dasar perairan sangat landai. Secara geografis wilayah Cirebon merupakan daerah pesisir yang kualitas airnya mudah terpengaruh oleh pasokan buangan yang berasal dari daratan yang terbawa oleh sungai-sungai yang berada di wilayah Kabupaten Cirebon. Hasil perhitungan sesuai dengan metode yang digunakan indeks pencemaran diperoleh nilai status mutu cukup bervariasi dengan kisaran antara 7,391 – 9,843. Hasil ini memberikan indikasi atau dikategorikan sebagai kualitas wilayah perairan tercemar sedang. Pasokan bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan laut berasal dari industri dan domestik melalui aliran sungai, kemudian mengalir ke dalam lingkungan laut melalui pengadukan atau turbulensi dan arus laut. Untuk wilayahwilayah laut yang luas dan terbuka, bahan pencemar ini akan terurai dan terbuang ke perairan laut yang lebih luas sehingga dapat meminimalkan konsentrasi 74 akumulasinya dalam suatu badan perairan. Nilai Pengamatan Kualitas air dan Baku Mutu yang Tersedia di Kabupaten Cirebon disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Kondisi Kualitas Perairan Pesisir Kabupaten Cirebon No. Parameter Satuan Nilai *) Baku mutu**) 1 2 3 4 FISIKA: Suhu Salinitas Kekeruhan Padatan Tersuspensi (TSS) oC ‰ NTU mg/l 27,1 – 28,6 30 - 31 21-5 13 – 80 M M 0,4 – 1,2 4-3 Alami coral : 33-34 ‰ <5 Coral : 20 Mangrove : 80 Coral : >5 - mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 7,89 – 7,99 4,94 – 7,11 0,83 – 5,11 0,423 – 1,415 0,651 – 0,934 <0,001 0,011 – 0,023 <0,03 <0,01 0,084 – 0,169 <0,001 <0,001 – 0,001 <0,001 – 0,001 <0,001 – 0,032 <0,002 – 0,003 0,005 – 0,027 0,075 – 0,107 0,003 – 0,102 0,115 – 0,898 7 - 8,5 >5 20 0,3 0,008 0,015 0,5 0,01 1 0,002 0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0,05 1 5 6 Kecerahan Kedalaman KIMIA: pH Oksigen Terlarut (DO) BOD 5 Ammonia (NH 3-N) Nitrat (NO 3-N) Phosphat Sianida (CN) Sulfida (H 2S) Minyak dan Lemak Phenol Raksa (Hg) Khrom Hexavalen (Cr 6+) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timah Hitam (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Sutrfaktan (MBAS) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 *) Sumber: BPLHD Jawa Barat dan PKSPL-IPB, 2006 **) Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut Menurut Kep.Men.LH No. 51 Tahun 2004 Pada umumnya kekeruhan di pantai Pesisir Kabupaten Cirebon tinggi tidak hanya membawa material erosi yang mengandung berbagai senyawa kimia tanah, tetapi juga kegiatan rumah tangga. Kekeruhan juga masuk dari kegiatan perikanan tambak di sekitar pesisir pantai. Semua material bawaan ini mengandung senyawa organik dan anorganik yang berpengaruh terhadap parameter terukur untuk 75 kualitas air. Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa data parameter yang memenuhi nilai baku mutu: pH, fosfat, CN, minyak/ lemak, Hg, Cr6+. Parameter yang tidak memenuhi nilai baku mutu: kekeruhan, DO, Nh5, Ar, Cd, Cu, Pb, Zn, Ni, dan surfaktan sedangkan parameter yang melebihi nilai baku mutu: phenol (BPLHD Prov. Jabar dan PKSPL-IPB, 2006). 4.3 Keanekaragam Hayati Keanekaragaman hayati merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk variabilitas hewan, tumbuhan, serta jasad renik di alam, dengan demikian keanekaragaman hayati mencakup keragaman ekosistem (habitat), jenis (spesies) dan genetik (varietas/ras). Kabupaten Cirebon memiliki panjang garis pantai 54 km. Secara ekologis, wilayah pesisir sangat kompleks dan memiliki nilai sumberdaya yang tinggi. Keanekaragaman ekosistem laut dan pesisir di Kabupaten Cirebon meliputi ekosistem estuaria, dan hutan mangrove. 1) Estuaria Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut. Bentuk estuaria bervariasi dan sangat tergantung pada besar kecilnya aliran sungai, kisaran pasang-surut dan bentuk garis pantai. Perairan Pantai Cirebon merupakan perairan estuari, tipe perairan pantai terbuka terhadap Laut Jawa, berbatimetri dangkal (42 m), mempunyai konfigurasi pantai yang melengkung dan kasar serta mengalir banyak sungai. Pada perairan yang demikian, variabilitas lingkungan sangat berperan dalam mempengaruhi kondisi oseanografi baik karakteristik massa air maupun pola arus. Di sekitar daerah esturi terdapat banyak muara sungai, diantaranya Sungai Cisanggarung, Sungai Ambulu, Sungai Melakasari, Sungai Playangan, Sungai Balong, Sungai Menur, Sungai Ciberes, Sungai Maskumambang, Sungai Ender dan kalipasung, Sungai Pengarengan, Sungai Kanci, Sungai Citemu dan Bandengan, Sungai mundu,Sungai kalijaga, Sungai 76 Kedung Pane, Sungai Pekik, Sungai Bondet, Sungai Jatimerta,Sungai Bungko Kidul, Sungai Kempul Kuista. Sebagai perairan yang berhubungan langsung dengan banyak sungai, maka sedikit banyak akan berpengaruh terhadap proses percampuran dan pengenceran yang ada di dalamnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan degradasi lingkungan oseanografi perairan, karakteristik massa air dan juga dapat mempengaruhi sistem sirkulasi arus (BOWDEN 1983). Adanya sejumlah muara sungai besar dapat menyebabkan perairan pantai seringkali ditandai oleh pengaruh air tawar dalam suatu daerah tertentu, seperti halnya yang terjadi di perairan teluk (Akitomo, et al. 1990). Beberapa spesies organisme yang dijumpai di estuari Kabupaten Cirebon merupakan spesies yang telah mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan sangat keruh, sehingga flora yang dominan umumnya tergolong jenis tumbuhan yang mencuat, hutan bakau, kelapa. Sedangkan fauna yang hidup di perairan Esturia Kabupaten Cirebon adalah berbagi jenis ikan yaitu Ikan Belanak, Kepiting Bakau, Udang,, Ikan Sapu-Sapu, Ikan Bandeng. 2) Mangrove Mangrove merupakan bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai dan delta yang terletak di daerah tropis dan subtropis. Dengan demikian, mangrove merupakan suatu ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif jika tumbuh pada kondisi lingkungan yang sesuai. Mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, atau hutan payau. Hutan mangrove ditemukan tersebar hampir di setiap propinsi di Indonesia, dengan luas yang berbedabeda. Hutan mangrove di sepanjang Pantai Cirebon pada tahun 2009 berada di Kecamatan Pangenan dan Losari dengan luas 70 ha. Di sepanjang garis pantai Kabupaten Cirebon hanya 10 persen yang kondisi mangrovenya baik dan masih ditumbuhi hutan mangrove. Selebihnya mengalami pendangkalan yang antara lain disebabkan oleh tumpukan sampah dan pengaruh abrasi. Tumpukan sampah terjadi di Pantai Pasindangan, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon dan hampir semua muara sungai di sepanjang Pantai 77 Kabupaten Cirebon yaitu Muara Sungai Bondet, Kesenden, Cangkol, Mundu hingga Gebang terjadi penumpukan sampah. Sedangkan abrasi sudah menggerus areal pertambakan dan air laut maju ke arah darat sekitar 50 meter (mediaindonesia.com/10/10/2009). Hutan mangrove di Pesisir Utara Cirebon sebelumnya memiliki produktivitas primer yang termasuk tinggi karena hutan mangrove dapat memberikan kontribusi besar terhadap kelangsungan hidup organisme yang hidup pada ekosistem tersebut. Namun, karena kerusakan hutan mangrove di Pantai Utara (Pantura) Cirebon, semakin luas dikarenakan adanya pendangkalan akibat dari proses sedimentasi dalam skala besar, maka berakibat pada tertutupnya akar nafas dan berubahnya kawasan menjadi daratan. Selain itu, permasalahan lainnya adalah adanya tumpukkan sampah yang mengakibatkan penurunan kandungan oksigen yang terlarut dalam air, mengalami dekomposisi sehingga menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan amoniak (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme yang hidup pada rantai makanan ekosistem tersebut. Terdapatnya sampah padat yang dapat mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove dan tambak udang mengakibatkan terganggu pula siklus rantai makanan, energi dan materi pada ekosistem tersebut. 4.4 Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya 4.4.1 Struktur Ekonomi Wilayah Komposisi sektor-sektor ekonomi terdiri atas: (1) sektor primer (ekstraksi dan produksi SDA: pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, ESDM, dan pariwisata); (2) sektor sekunder (industri pengolahan dan manufakturing); dan (3) sektor tersier (jasa-jasa). Salah satu data statistik yang sangat diperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan gambaran kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. Ini dapat dilihat dari nilai tambah yang mampu diciptakan oleh berbagai aktivitas ekonomi di daerah tersebut. Ditinjau secara sektoral, presentase PDRB yang tertinggi dari seluruh total PDRB Kabupaten Cirebon diperoleh dari sektor pertanian yaitu 78 sebesar 31,14 persen, dengan rincian tanaman bahan makanan 19,35 persen, tanaman perkebunan 1,56 persen, peternakan dan hasil-hasilnya 5,38 persen, kehutanan 0,15 persen dan perikanan 4,70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Cirebon masih didominasi oleh sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi secara riil dapat terlihat dari laju pertumbuhan PDRB berdasarkan harga konstan. Berdasarkan PDRB harga konstan, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sektor riil di Kabupaten Cirebon adalah sebesar 5,08 % per tahun (data tahun 2000-2009), sedangkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Cirebon dalam kurun waktu tahun 2005 – 2009 adalah sebesar 9,98 % per tahun (Bappeda Kabupaten Cirebon 2010). 4.4.2 Tingkat Kepadatan dan Komposisi Penduduk Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Cirebon pada 2009 mencapai 2.063 jiwa/ km2, jumlah penduduk 2.211.186 jiwa dengan persentase penduduk laki-laki 49,84 persen (1.102.099 jiwa) dan perempuan 50,16 persen (1.109.087 jiwa). Jumlah penduduk di Kabupaten Cirebon menyumbang 5,18 persen dari jumlah total penduduk Provinsi Jawa Barat (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010). 4.4.3 Sosial dan Budaya Kondisi sosial masyarakat Kabupaten Cirebon yang berjumlah 2.211.186 jiwa sangat bervariasi, terdiri dari anak terlantar, anak nakal, pengemis, gelandangan, korban penyalahgunaan napza, korban tindak kekerasan, anak jalanan, penyandang cacat, dan bekas warga binaan Lembaga Kemasyarakatan. Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa Barat (Tabel 8). 79 Tabel 8 No Kondisi Sosial Budaya Kabupaten Cirebon Tahun 2010 Keterangan Jumlah (jiwa) Persentase Jumlah Jiwa ( % ) 1.990 0,09 Anak nakal 231 0,01 3 Pengemis 395 0,02 4 Gelandangan 3.905 0,18 5 Korban penyalahgunaan napza 391 0,02 6 Korban tindak kekerasan 113 0,05 7 Anak jalanan 828 0,04 8 Penyandang cacat 949 0,04 9 Bekas warga binaan lembaga kemasyarakatan 986 0,05 1 Anak terlantar 2 Sumber : Bappeda kab. Cirebon (2010) Fasilitas kesehatan di Kabupaten Cirebon berupa Puskesmas berjumlah 175 unit terdiri dari Puskesmas Utama 53 unit (30,29 persen), Puskesmas Pembantu 64 unit (36,57 persen), dan Puskesmas Keliling 58 unit (33,14 persen) (Gambar 5). Gambar 5 Diagram Fasilitas Kesehatan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010) Sedangkan fasilitas pendidikan di Kabupaten Cirebon berupa sekolah umum berjumlah 2040 instansi, yang terdiri dari Sekolah Dasar 1.839 unit (90,15 persen), Sekolah Menengah Pertama 131 unit (6,42 persen), Sekolah Menengah 80 Atas 35 unit (1,72 persen), dan Sekolah Menengah Kejuruan sejumlah 35 unit (1,72 persen). (Gambar 6). Gambar 6 Diagram Fasilitas Pendidikan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010) 4.4.4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) periode 2006-2009 di Kabupaten Cirebon berturut-turut menempati peringkat-25 dari 26 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dengan nilai IPM 66,32 (2006); 67,30 (2007); dan 67,71 (2008), serta 68,17 (2009). Nilai IPM untuk Kabupaten Cirebon pada periode tersebut di bawah nilai IPM Provinsi Jawa Barat yakni 73,80 (2006); 73,87 (2007); 74,26 (2008); dan 74,59 (2009) 2010). ditunjukkan pada Grafik di bawah ini: (Pusdalisbang Provinsi Jawa Barat, 81 Gambar 7 Diagram Nilai IPM Kabupaten Cirebon Per Tahun (Pusdalisbang Provinsi Jawa Barat, 2010) 4.4.5 Ketenagakerjaan Jumlah angkatan kerja di Kabupaten Cirebon 2009 sebesar 934.039 jiwa, yang terdiri dari penduduk yang bekerja 804.514 jiwa (86,13 persen), dengan kegiatan utama yaitu pada sektor pertanian (termasuk nelayan), industry, perdagangan, jasa, dan lain-lain; penduduk yang tidak bekerja 129.525 jiwa (13,87 persen) (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010). Dapat dilihat pada Gambar 8, berikut. Gambar 8 Diagram Jumlah Angkatan Kerja Kabupaten Cirebon Tahun 2009 (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010) 82 4.4.6 Kondisi Perdagangan Keberadaan pasar tradisional di Kabupaten Cirebon adalah 5,20 persen (30 Unit), sedangkan di Kota Cirebon hanya sebesar 1,39 persen (8 Unit) dari total pasar tradisional di Jawa Barat. Pada taraf Provinsi Jawa Barat jumlah pasar tradisional terbanyak di Kabupaten Ciamis yang disusul oleh Kabupaten Sukabumi dengan persentase masing-masing 13,00 persen (75 Unit), dan 9,01 persen (52 Unit). Kabupaten Cirebon menempati peringkat-8 dalam hal jumlah pasar tradisonal Jawa Barat. Jumlah pasar swalayan di Kabupaten Cirebon sebanyak 3,21 persen (44 Unit), sedangkan di Kota Cirebon lebih sedikit yaitu sebesar 0,66 persen (9 Unit) dari total pasar swalayan di Provinsi Jawa Barat. Pasar swalayan terbanyak adalah di Kota Bandung, Depok, dan Kabupaten Bogor dengan persentase 20,67 persen (283 Unit), 16,44 persen (225 Unit), dan 16,29 persen (223 Unit). Kabupaten Cirebon menempati peringkat-6 sedangkan Kota Cirebon menempati peringkat-22 dalam hal jumlah pasar swalayan terbanyak di Provinsi Jawa Barat (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010), (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010). 4.5 Program Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Program peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui salah satu program PNPM Mandiri tahun 2011 dengan menggenjot program produksi garam atau yang lebih dikenal dengan nama PUGAR (Pengembangan Usaha Garam Rakyat). Program pugar bagi petambak garam rakyat bertujuan untuk membentuk sentra-sentra usaha garam rakyat, lalu memberdayakan dan meningkatkan kemampuan petambak garam rakyat dalam kelompok usaha garam rakyat (KUGR) dan meningkatkan akses terhadap permodalan, pemasaran, informasi, serta IPTEK bagi petambak garam. Kabupaten Cirebon merupakan salah satu bagian sentra garam dalam pelaksanaan program tersebut di Provinsi Jawa Barat. Pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (Depdagri dan LAN 2007). Namun program ini sempat terhenti akibat krisis politik pada tahun 1965. Kemudian sejak tahun 1970 pemerintah menggulirkan kembali program 83 penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berbagai program diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak tahun 2005 dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang bertugas melakukan langkah-langkah konkrit untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan. Program yang telah berjalan saat ini belum begitu memuaskan karena penurunan angka kemiskinan pada 2010 masih dibawah target 0,8%, sedangkan target sebanyak 1% setiap tahun. Agar mencapai target penurunan angka kemiskinan, saat ini program penanggulangan kemiskinan terbagi menjadi 4 (empat) klaster, yaitu (Kemeneg PPN/BAPPENAS, 2008) : (1) Klaster I: Bantuan dan perlindungan sosial kelompok sasaran yang perlu dibantu dalam bentuk bantuan langsung; (2) Klaster II: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat; (3) Klaster III: Bantuan Permodalan berupa Pemberdayaan usaha mikro dan kecil (UMK) melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR); dan (4) Klaster IV: Berupa air bersih, rumah murah, dan listrik murah untuk nelayan.