dampak kebijakan ekonomi terhadap ekspor

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Faktor-Faktor
Perkebunan
yang
Mempengaruhi
Luas
Areal
Tanaman
Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal dapat dilakukan dengan
pembukaan lahan baru, peremajaan, dan rehabilitasi. Luas areal perkebunan dapat
dibagi berdasarkan fase tanaman yaitu: Tanaman Belum Menghasilkan (TBM),
Tanaman Menghasilkan (TM), dan Tanaman Tidak Menghasilkan (TTM).
Penelitian yang dilakukan oleh Limbong (1994); Purwanto (2002); Arsyad (2004)
memformulasikan persamaan luas areal perkebunan tanpa membedakan fase
tanaman. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suharyono (1996); Lifianthi
(1999); Zulkifli (2000); Lubis (2002); Drajat (2003); Ardana (2004); fokus pada
persamaan luas areal tanaman menghasilkan.
Studi terdahulu yang dilakukan Purwanto (2002) menghipotesiskan bahwa
luas areal kelapa sawit Indonesia merupakan fungsi dari harga domestik CPO,
harga ekspor CPO, tingkat suku bunga, dan pertumbuhan ekspor minyak sawit
Indonesia. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa harga domestik CPO dan
harga ekspor CPO memiliki pengaruh yang signifikan dengan pertambahan luas
areal kelapa sawit.
Studi yang dilakukan Suharyono (1996) memformulasikan bahwa luas
areal tanaman menghasilkan kelapa sawit dipengaruhi oleh harga domestik
minyak sawit (CPO), harga domestik minyak kelapa, harga dunia minyak sawit,
tingkat suku bunga, harga pupuk, tingkat upah tenaga kerja, trend waktu, dummy
kebijakan, dan lag luas areal tanaman menghasilkan. Selanjutnya Ardana (2004)
14
menggunakan persamaan luas areal panen kelapa sawit sebagai fungsi dari rasio
harga domestik CPO dengan harga domestik kopra, rasio harga domestik CPO
terhadap tingkat upah, dan lag luas areal panen kelapa sawit. Zulkifli (2000)
memformulasikan bahwa fungsi luas areal tanaman menghasilkan kelapa sawit
merupakan fungsi dari lag 3 tahun dari harga domestik CPO, lag 3 tahun dari
investasi pada perkebunan kelapa sawit, tingkat upah, tingkat suku bunga, dan
peubah trend.
Dalam studi yang dilakukan oleh Suharyono (1996); Ardana (2004)
memasukkan variabel harga komoditi subsitusi yaitu harga kopra (harga minyak
sawit kelapa) dalam persamaan luas areal tanaman menghasilkan kelapa sawit
berbeda halnya dengan studi yang dilakukan oleh Zulkifli (2000) tidak
memasukkan variabel tersebut. Perbedaannya lainnya dari penelitian Zulkifli
(2000) adalah variabel harga domestik CPO dan investasi perkebunan kelapa
sawit menggunakan lag 3 tahun.
Studi terdahulu untuk komoditi karet dilakukan oleh Limbong (1994), luas
areal tanaman komoditi karet diformulasikan sebagai fungsi dari harga domestik
karet, harga pupuk, tingkat upah tenaga kerja, lag harga domestik CPO, dummy
kebijakan, dan luas areal tanaman karet tahun sebelumnya. Berbeda dengan Drajat
(2003) dalam penelitiannya memformulasikan bahwa luas areal menghasilkan
karet dipengaruhi oleh lag 4 tahun luas areal tanaman belum menghasilkan, harga
domestik karet setelah pajak pertambahan nilai, serapan tenaga kerja, trend waktu,
dan luas areal tanaman menghasilkan karet tahun sebelumnya. Dari hasil
penelitian tersebut luas areal tanaman menghasilkan memiliki hubungan yang
15
positif, dan pengaruhnya nyata dengan luas areal tanaman belum menghasilkan 4
tahun lalu, untuk semua bentuk pengusahaan perkebunan.
Beberapa studi terdahulu yang mempelajari faktor yang mempengaruhi
luas areal tanaman menghasilkan untuk komoditi lain yaitu: Lifianthi (1999);
Lubis (2002) untuk komoditi kopi, Soemartoto (2004); Arsyad (2004) untuk
komoditi kakao. Hasil studi yang dilakukan Lifianthi (1999); Lubis (2002), bahwa
areal tanaman menghasilkan kopi dipengaruhi oleh harga kopi domestik, tingkat
upah, harga pupuk, tingkat suku bunga, trend waktu, dan lag areal tanaman
menghasilkan. Faktor–faktor tersebut di atas mempengaruhi pengusaha untuk
melakukan investasi melalui ekstensifikasi atau perluasan areal tanaman kopi.
Dalam studi terdahulu yang dilakukan oleh Soemartoto (2004)
memformulasikan luas areal tanaman menghasilkan kakao dipengaruhi oleh lag 4
tahun harga domestik, lag 4 tahun harga pupuk, lag 4 tahun tingkat suku bunga,
lag luas areal menghasilkan kakao. Selanjutnya Arsyad (2004) memformulasikan
bahwa luas areal kakao dipengaruhi harga domestik kakao, harga domestik
kelapa, tingkat upah, tingkat suku bunga, trend waktu, dan lag luas areal kakao.
2.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Produktivitas
Tanaman Perkebunan
Sejalan dengan semakin luasnya areal tanaman menghasilkan produksi
juga akan mengalami meningkat. Secara umum studi terdahulu menunjukkan
bahwa produksi CPO adalah luas areal tanaman menghasilkan dikalikan dengan
produktivitas. Produksi merupakan persamaan indentitas namun ada beberapa
studi yang memformulasikan persamaan produksi sebagai persamaan struktural.
Zulkifli (2000) memformulasikan bahwa produktivitas CPO merupakan fungsi
16
dari harga domestik CPO, luas areal tanaman menghasilkan, harga pupuk, dan lag
produktivitas. Selanjutnya dalam penelitian Purwanto (2002) menambahkan
bahwa produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh harga domestik CPO, tingkat
suku bunga, tingkat upah, areal tanaman menghasilkan, dan dummy iklim.
Dalam studi yang dilakukan oleh Hendratno (1989), jumlah produksi
karet suatu negara yang merupakan fungsi dari harga karet alam
di pasar
domestik, peubah trend, dan jumlah penawaran beda kala. Berbeda halnya dengan
Teken (1970) dalam Limbong (1994) menghipostesiskan bahwa produksi karet
alam merupakan fungsi dari harga karet di pasar domestik, harga beras domestik
(harga komoditi lain) sebagai komoditi kompetitif dalam pemanfaatan lahan yang
tersedia, dan peubah trend.
Produktivitas kopi merupakan fungsi dari rasio harga kopi dengan pupuk,
curah hujan, areal tanaman kopi menghasilkan, trend waktu, dan lag produktivitas
(Lifianthi, 1999). Berbeda dengan Lubis (2002), memformulasikan persamaan
produksi sebagai persamaan struktural, produksi kopi merupakan fungsi dari
harga kopi domestik, penggunaan input (harga pupuk, tingkat upah tenaga kerja)
luas areal tanaman menghasilkan, dan lag produksi sebelumnya.
Produktivitas kakao diformulasikan sebagai fungsi dari harga pupuk,
tingkat upah tenaga kerja, trend waktu, dan lag produktivitas (Soemartoto 2004).
Berbeda dengan Arsyad (2004) variabel tingkat upah tenaga kerja diganti dengan
jumlah tenaga kerja.
2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Tanaman Perkebunan
Produksi atau hasil tanaman perkebunan tidak hanya ditujukan untuk
konsumsi domestik saja tetapi juga memiliki orientasi ekspor, bahkan sebagian
17
besar dari produksi tanaman perkebunan diekspor ke luar negeri. Jumlah ekspor
dari tanaman perkebunan mengalami fluktuasi. Fluktuasi ekspor dari tanaman
perkebunan tidak terlepas dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Studi perdagangan terhadap komoditi kelapa sawit dilakukan oleh
Manurung (1993) meliputi pasar domestik dan pasar dunia, adapun negara tujuan
ekspor Indonesia Amerika Serikat, Jepang, dan Belanda. Dari hasil penelitiannya
disimpulkan bahwa penawaran ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa, dan
Amerika Serikat dalam jangka pendek inelastis terhadap harga ekspor minyak
sawit sedangkan untuk jangka panjang bersifat elastis terhadap Amerika, dan
inelastis untuk Eropa. Penelitian Suharyono (1996) juga menunjukkan hasil yang
sama yaitu ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar Masyarakat Ekonomi Eropa
(MEE) cukup responsif terhadap perubahan permintaan, dan harga ekspor minyak
sawit Indonesia.
Studi tentang ekspor CPO Indonesia juga dilakukan oleh Zulkifli (2000),
persamaan ekspor diformulasikan sebagai fungsi ekspor agregat. Ekspor CPO
Indonesia merupakan fungsi dari lag harga ekspor CPO, jumlah produksi CPO,
nilai tukar, dan lag ekspor Indonesia.
Pangsa ekspor karet alam Indonesia memiliki cukup besar dari total
produksi karet alam. Studi yang dilakukan oleh dilakukan oleh Limbong (1994),
bertujuan untuk menganalisis fungsi ekspor dari masing masing negara produsen
yang menjadi pesaing utama Indonesia. Ekspor karet alam Indonesia berpengaruh
secara nyata terhadap perubahan nilai tukar, dan impor karet alam dunia.
Elwamendri (2000) melakukan studi mengenai ekspor karet alam antara negara
produsen utama dan Amerika Serikat menyimpulkan bahwa penawaran ekspor
18
karet ketiga negara produsen karet ke Amerika inelastis terhadap perubahan harga
ekspor karet alam dan angka elastisitas Indonesia lebih kecil dibanding kedua
negara lainnya.
Sedangkan studi yang dilakukan Tetty (2002) menganalisis penawaran dan
permintaan karet alam Indonesia di pasar domestik dan dunia, dari model
perdagangan terlihat jumlah penawaran ekspor Indonesia didisagregasi untuk
setiap negara tujuan ekspor seperti Amerika Serkat, Jepang, Singapura, dan Korea
Selatan. Berdasarkan hasil estimasinya bahwa penawaran karet alam Indonesia ke
Amerika, dan Jepang lebih responsif terhadap perubahan produksi dibanding
terhadap harga ekspor karet alam, nilai tukar, dan pajak ekspor sedangkan
penawaran ekspor karet alam Indonesia ke Korea Selatan lebih responsif terhadap
perubahan harga ekspor karet alam dalam jangka pendek maupun jangka panjang
selain itu juga responsif terhadap perubahan pajak ekspor dalam jangka panjang
Studi mengenai ekspor komoditi lainnya dilakukan oleh (Lifianthi, 1999);
Lubis (2002) untuk komoditi kopi. Sedangkan untuk komoditi kakao dilakukan
oleh Soemartoto (2004); Arsyad (2004). Persamaan ekspor keempat studi
terdahulu di atas merupakan persamaan ekspor agregat.
Ekspor kopi sumatera selatan merupakan fungsi dari perkalian harga kopi
dengan nilai tukar, produksi kopi, dummy kuota ekspor, dummy standar ekspor,
pajak ekspor, dan ekspor kopi sisa dunia (Lifianthi, 1999). Sedangkan Ekspor
kopi Indonesia baik robusta maupun arabica merupakan harga ekspor kopi,
produksi kopi Indonesia, dan lag ekspor kopi Indonesia (Lubis, 2002).
Ekspor kakao Indonesia merupakan fungsi dari produksi kakao Indonesia,
nilai tukar, harga kakao dunia, dan lag ekspor kakao Soemartoto (2004).
19
Sedangkan ekspor kakao Sulawesi Selatan merupakan fungsi dari harga ekspor
Indonesia, produksi kakao Sulawesi Selatan, nilai tukar, dan lag ekspor Sulawesi
Selatan (Arsyad, 2004)
2.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Domestik, dan Harga
Dunia Komoditi Tanaman Perkebunan
Perkembangan harga domestik suatu komoditi tidak hanya ditentukan oleh
jumlah permintaan, dan jumlah penawaran domestik saja tetapi juga dipengaruhi
oleh harga di pasar dunia. Selain itu juga harga domestik suatu komoditi
dipengaruhi oleh faktor spekulasi pasar. Studi terdahulu tentang harga domestik,
dan harga dunia untuk komoditi CPO dilakukan oleh Manurung (1993);
Suharyono (1996); Zulkifli (2000). Studi untuk komoditi karet dilakukan oleh
Limbong (1994). Studi untuk komoditi kopi dilakukan oleh Lifianthi (1999);
Lubis (2002) dan studi untuk komoditi kakao dilakukan oleh Soemartoto (2004);
Arsyad (2004).
Harga domestik CPO sangat responsif terhadap perubahan harga CPO di
pasar dunia, dan perubahan permintaan domestik baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang (Suharyono, 1996). Sama halnya dengan hasil
studi yang dilakukan Zulkifli (2000) bahwa harga ekspor CPO, permintaan CPO
domestik, dan harga domestik CPO bedakala berpengaruh sangat nyata terhadap
harga domestik. Sedangkan harga CPO di pasar dunia dipengaruhi oleh jumlah
ekspor, jumlah impor, dan lag harga dunia.
Harga domestik karet alam dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap
dollar US, dan harga karet alam bedakala. Sedangkan untuk harga dunia
20
dipengaruhi oleh peubah impor karet alam dunia, trend waktu, stok, dan lag harga
karet alam di pasar dunia (Limbong, 1994)
Harga domestik kopi merupakan fungsi dari perkalian harga ekspor kopi
dengan nilai tukar, produksi kopi, dan lag dari harga domestik kopi. Harga kopi
di pasar dunia dipengaruhi oleh rasio impor dan ekspor kopi, dummy kuota ekspor
kopi, trend waktu, dan lag harga kopi dunia (Lifianthi 1999). Penelitian
selanjutnya dilakukan oleh Lubis (2002) memformulasikan harga domestik kopi
merupakan fungsi dari harga ekspor kopi, penawaran kopi domestik, permintaan
kopi domestik, lag harga domestik kopi. Harga ekspor kopi Indonesia adalah
fungsi dari harga kopi di pasar dunia, intervensi harga ekspor, nilai tukar, dan
harga ekspor kopi Indonesia tahun sebelumnya. Harga kopi di pasar dunia
merupakan fungsi dari jumlah ekspor kopi dunia, jumlah impor kopi dunia, dan
lag harga kopi dunia.
Harga domestik kakao dipengaruhi oleh harga kakao dunia, nilai tukar,
trend waktu, dan lag harga domestik kakao. Harga kakao di pasar dunia
merupakan fungsi dari stok kakao dunia, ekspor kakao, impor kakao dummy, dan
lag harga kakao dunia (Soemartoto, 2004)
2.5
Dampak Kebijakan Ekonomi
Studi terdahulu yang menganalisis dampak kebijakan ekonomi sudah
banyak dilakukan untuk berbagai komoditi. Studi terhadap komoditi kopi
dilakukan oleh Lifianthi (1999). Studi terhadap komoditi kedelai dilakukan oleh
Hadipurnomo (2000).
Studi
terhadap
komoditi
beras
dilakukan
oleh
Sitepu (2002); Kusumaningrum (2008). Studi terhadap komoditi kakao dilakukan
oleh Arsyad (2004); Semartoto (2004). Studi terhadap komoditi kelapa sawit
21
dilakukan oleh Manurung (1993); Susila et.al.(1994;1995); Zulkifli (2000). Studi
terhadap komoditi karet alam dilakukan oleh Syaraf (1985); Hendratno (1989);
Limbong (1994); Elwamendri (2000); Tety (2002); Prabowo (2006).
Berbagai alternatif kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh studi
terdahulu. Alternatif kebijakan terdiri dari kebijakan tunggal, dan kombinasi
kebijakan. Alternatif simulasi kebijakan tunggal yang dilakukan antara lain
peningkatan upah, peningkatan harga pupuk, penurunan suku bunga, apresiasi
nilai tukar, depresiasi nilai tukar, penerapan kuota ekspor, pemberlakuan pajak
ekspor, penurunan pajak ekspor, penghapusan standar mutu ekspor, penurunan
ekspor, kuota impor, tarif impor, dan peningkatan stok. Kombinasi kebijakan
merupakan gabungan dari dua atau lebih kebijakan tunggal.
Studi yang dilakukan oleh Manurung (1993); Suharyono (1996); Lifianthi
(1999); Arsyad (2004) alternatif kebijakan yang disimulasi hanya berupa
kebijakan tunggal. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Limbong (1994);
Hadipurnomo (2000); Zulkifli (2000); Sitepu (2002) alternatif kebijakan yang
disimulasi merupakan kebijakan tunggal, dan kombinasi kebijakan.
2.6
Metoda Analisis Model Dampak Kebijakan Ekonomi
Studi terdahulu yang menggunakan data times series tahunan untuk
komoditi kelapa sawit yaitu: Manurung (1993), 1967-1990; Susila et al.(1994);
Susila et al.(1995); Zulkifli (2000), 1984-1995. Sedangkan untuk komoditi karet
yaitu: Syaraf (1985), 1969-1983; Hendratno (1989), 1969-1987; Limbong (1994),
1969-1991; Elwamendri (2000), 1970-1997; Tety (2002), 1969-2000. Selanjutnya
penelitian untuk komoditi lainnya dilakukan oleh Lifianthi (1999), 1970-1996;
22
Hadipurnomo (2000), 1969-1997; Sitepu (2002), 1971-2000; Arsyad (2004),
1983-2002; Semartoto (2004), 1969-2000; Kusumaningrum (2008), 1980-2005.
Metode estimasi yang menggunakan Two Stage Least Square (2SLS)
dilakukan oleh Zulkifli (2000); Tety (2002); Purwanto (2002); Sitepu (2002);
Ardana (2004); Arsyad (2004); Kusumaningrum (2008).
Sedangkan yang
menggunakan metode pendugaan Three Stage Least Square (3SLS) dilakukan
oleh Manurung (1993); Limbong (1994); Lifianthi (1999); Elwamendri (2000);
Semartoto (2004).
Penggunaan metoda Three Stage Least Square (3SLS) sebenarnya lebih
efisien dibanding 2SLS, namun sangat sensitif terhadap perubahan spesifikasi
model yang dapat mempengaruhi semua dugaan parameternya. Di samping itu
juga 3SLS memerlukan data sampel yang lebih besar dibanding metoda 2SLS jika
semua parameter strukturalnya diduga pada waktu yang sama.
Dari tinjauan berbagai hasil penelitian kelapa sawit dan karet maka dapat
dihimpun berbagai pendapat mengenai peubah-peubah yang diduga mempunyai
pengaruh terhadap persamaan luas areal tanaman menghasilkan, produktivitas,
produksi, ekspor, harga domestik, dan harga dunia dari komoditi CPO dan karet
alam.
Berdasarkan hasil review dari studi-studi terdahulu, kebaharuan studi yaitu
ini adalah studi ini dilakukan dengan pendekatan analisis keterkaitan antar
komoditi kelapa sawit dan karet. Analisis dampak kebijakan ekonomi terhadap
industri komoditi kelapa sawit dan karet yang dilakukan dalam kurun waktu 19832008. Metode pendugaan model yang dilakukan dalam studi ini adalah dengan
metode Two Stage Least Square (2SLS).
Download