3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terak Baja 2.1.1

advertisement
3
II.
2.1.
Terak Baja
2.1.1.
Pengertian Terak Baja
TINJAUAN PUSTAKA
Terak baja merupakan limbah padat dari proses pemurnian besi cair
dalam pembuatan baja. Terak baja terbentuk melalui reaksi antara biji besi dan
batu kapur yang ditambahkan. Penambahan batu kapur bertujuan untuk mengikat
bahan-bahan pengotor dari biji besi, agar diperoleh besi murni atau sudah terpisah
dari teraknya. Terak baja mengandung unsur-unsur seperti Ca, Mg, dan Si.
Terdapat beberapa macam jenis terak baja, antara lain blast furnace slag, electric
furnace slag, dan converter slag. Jenis terak baja ditentukan berdasarkan metode
yang digunakan ketika proses pembuatan baja. Metode yang umum digunakan
adalah blast furnace dan converter. Pembuatan terak baja dengan metode
converter disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pembuatan Terak Baja dengan Metode Converter dalam
Hadisaputra, 2011).
Pembuatan baja dengan metode converter mula-mula diperkenalkan oleh
Henry Bessemer, dalam metode ini yang diolah adalah besi cair, yang diperoleh
4
dari dapur tinggi (blast furnace). Besi cair dituangkan ke dalam converter
kemudian dihembuskan udara/oksigen sehingga bahan dan unsur pengotoran akan
terbakar dan keluar dari besi cair berupa gas atau terak. Pengisian dilakukan saat
posisi horizontal dan dilanjutkan dengan mengembalikannya ke posisi vertikal
sambil dihembuskan udara dari bawah. Gas CO keluar melalui mulut converter,
dan selanjutnya gas CO akan terbakar dan menjadi CO 2 . Hal ini ditandai dengan
nyala api yang panjang dan terang. Bila nyala api mulai meredup dan yang ada
adalah asap kemerahan hal ini berarti C sudah habis terbakar, dan hembusan angin
harus segera dihentikan, agar besi tidak habis terbakar. Kemudian converter
dimiringkan dan cairan besi dikeluarkan. Karena dalam cairan baja ini masih
banyak oksigen maka perlu diberikan oksidan (ferromangan, ferrosilikat, atau
alumunium) untuk menghilangkannya. Pengaturan kadar karbon dapat dilakukan
dengan menambahkan sejumlah besi kasar ke dalam baja cair (Hadisaputra,
2011).
2.1.2.
Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah
Susunan kimia dari terak baja berbeda-beda, baik dalam jenis unsur
maupun kadarnya, tergantung pada bahan baku dan cara pembuatan baja.
Produksi terak baja di Indonesia dapat mencapai ± 350 ribu ton setiap tahunnya.
Terak baja umumnya mengandung unsur utama Ca dan Si, sedangkan unsur-unsur
lain yang terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit adalah Mg, Al, Fe, dan Mn
(Mulyadi et al., 2001)
Pemakaian terak baja sebagai pupuk telah mulai dicoba sejak tahun
1882/1883 di Jerman, kemudian di Inggris pada tahun 1884/1885 oleh Wrightson,
setelah itu berbagai penelitian terak baja telah dilakukan baik sebagai sumber Si
maupun sebagai bahan kapur atau untuk tujuan meningkatkan keefisiensian
pemupukan (Farrar, 1962 dalam Allorerung, 1988). Belakangan ini juga Mahro
(2010) telah melakukan penelitian pengaruh terak baja terhadap sifat kimia tanah
gambut. Sejak terak baja menarik perhatian sebagai salah satu bahan
pupuk/perbaikan tanah, penelitian intensif telah dilakukan, alasan-alasan
terjadinya dan tanggapan tanaman juga telah banyak diajukan. Salah satu alasan
5
yang dikemukakan adalah pengaruh positif dari terak baja terhadap beberapa sifat
kimia tanah.
Terak baja dalam pertanian digunkan antara lain: (1) untuk menetralkan
kemasaman tanah serta menambah unsur Ca dan Mg, (2) menurunkan unsur Mn
dalam tanah, (3) meningkatkan unsur fosfor dalam tanah, (4) sebagai sumber
silikat (Barber, 1967 dalam Rahim, 1995).
Beberapa peneliti menduga pengaruh terak baja terhadap sifat kimia
tanah berasal dari silikat yang terkandung di dalam terak baja dengan demikian
terak baja dipandang sebagai sumber Si. Peneliti lain juga menganggap bahwa
terak baja sebagai bahan masukan yang dapat memperbaiki ketersedian hara atau
sebagai bahan yang mempunyai pengaruh mirip dengan kapur, disebabkan
kandungan Ca dari terak baja yang cukup tinggi (Mohammadi dan Sedaghat,
2007).
Goto (1987) dalam Suwarno dan Goto (1999), melalui penelitian
menemukan bahwa converter adalah bahan yang baik untuk pengapuran. Bahan
kapur yang terkandung dalam terak baja memungkinkan terjadinya kenaikan pH,
menurunkan konsentrasi Al, Fe dan Mn dan menaikkan kandungan Ca dalam
tanah. Jumlah silikat dalam tanah akan memperbaiki jumlah fosfor tersedia pada
tanah yang mempunyai ketersedian fosfor rendah. Peranan silikat tersebut bukan
dikarenakan adanya penggantian peranan fosfor dalam tanaman oleh silikat, tetapi
karena silikat dalam tanah mampu mengadakan pertukaran anion dengan fosfor
dalam keadaan terjerap (Okuda dan Takhashi, 1964 dalam Rahim, 1995).
Terak baja tidak hanya dapat meningkatkan ketersedian hara dalam
tanah, tetapi juga dapat meningkatkan ketersedian dan penyerapan hara oleh
tanaman. Keadaan tersebut bukan hanya gejala penyerapan hara, tetapi diduga
mempunyai hubungan dengan proses metabolisme unsur tersebut dalam jaringan
tanaman, karena silikat diduga dapat membantu proses translokasi hara dalam
tanaman (Soepardi, 1983).
2.1.3.
Logam Berat dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Unsur logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih dari 5
gr/cm3 (Fardiaz, 1992 dalam Sudarmadji et al., 2006). Bahan Berbahaya dan
6
Beracun (B3) adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk
hidup lain (Pasal 1 (17) UU No. 23 1997) (Sudarmadji et al., 2006). Pemasok
logam berat ke dalam tanah pertanian antara lain bahan agrokimia (pupuk dan
pestisida), asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, buangan limbah rumah
tangga, industri, dan pertambangan.
Organisme pertama yang terpengaruh akibat penambahan logam berat ke
dalam tanah adalah organisme dan tanaman yang tumbuh ditanah. Dalam
ekosistem alam terdapat interaksi antar organisme baik interaksi positif maupun
negatif yang menggambarkan bentuk transfer energi antar populasi dalam
komunitas tersebut. Dengan demikian pengaruh logam berat tersebut pada
akhirnya akan sampai pada hirarki rantai makanan tertinggi yaitu manusia.
Logam-logam berat diketahui dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu organisme
dan tetap tinggal dalam tubuh untuk jangka waktu yang lama sebagai racun
(Saeni, 1995).
Secara umum, logam berat untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dibagi menjadi dua yaitu: logam berat esensial dan non esensial. Unsur
tembaga (Cu) dan seng (Zn) merupakan logam berat yang termasuk esensial,
sedangkan timbal (Pb) merupakan logam berat non esensial bagi tumbuhan (Baker
dan Walker, 1990 dalam Hamza dan Setiawan, 2010). Unsur tembaga (Cu) sangat
berguna untuk pertumbuhan jaringan tumbuhan terutama jaringan daun dimana
terdapat proses fotosintesis (Kamaruzzaman et al., 2008 dalam Hamza dan
Setiawan, 2010). Selain itu, unsur Cu juga mempunyai fungsi sebagai salah satu
unsur hara mikro yang diperlukan di dalam mitokondria dan kloroplas, proses
sintesis dan metabolisme karbohidrat dan protein serta sebagai dinding sel lignin
(Verkleij dan Schat, 1990 dalam Hamza dan Setiawan, 2010). Unsur seng (Zn)
sangat berguna dalam sistem enzim, enzim aktivator dalam proses respirasi dan
hormon pertumbuhan. Unsur timbal (Pb) merupakan logam yang sangat rendah
daya larutnya, dan mempunyai daya translokasi yang rendah mulai dari akar
sampai organ tumbuhan lainnya, selain itu Pb juga memiliki toksisitas yang tinggi
7
dan menyebabkan racun bagi beberapa spesies (Wozny dan Kzreslowka, 1993
dalam Hamza dan Setiawan, 2010).
Darmono (1995) dalam Suendarti (2004) mengemukakan ada dua hal
yang menyebabkan logam berat termasuk sebagai pencemar yang berbahaya,
yaitu: (a) tidak dihancurkan oleh mikroba yang hidup di lingkungannya, dan (b)
terakumulasi ke dalam komponen-komponen lingkungan. Secara alami Pb
ditemukan di udara dan tanah. Logam berat Pb yang dikonsumsi manusia dapat
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal, gangguan terhadap sistem syaraf dan
gangguan terhadap sistem reproduksi. Gangguan pada sistem reproduksi dapat
berupa keguguran, kesakitan dan kematian janin (Sudarmadji et al., 2006).
2.2.
Tanah Sulfat Masam
2.2.1.
Definisi Tanah Sulfat Masam
Pertama kali tanah sulfat masam dikenal dengan sebutan cat clay yang
diambil dari asal kata katteklei (bahasa Belanda) yang diartikan sebagai liat yang
berwarna seperti pada bulu kucing, yaitu warna kelabu dengan bercak kuning
pucat. Bercak kuning pucat ini merupakan senyawa hasil oksidasi pirit yang
sering disebut dengan jarosit. Istilah sulfat masam itu sendiri digunakan karena
berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini apabila teroksidasi
menghasilkan asam sulfat sehinga menyebabkan tanah menjadi masam sampai
sangat masam (Noor, 2004). Tanah sulfat masam dibedakan menjadi 2 golongan
yaitu:
1.
Tanah sulfat masam potensial
Tanah sulfat masam potensial adalah tanah yang mengandung horizon
sulfidik (pirit yang belum teroksidasi). Menurut Taksonomi Tanah yang disebut
bahan sulfidik adalah bahan tanah mineral atau organik yang penuh kandungan
air dengan kandungan sulfur (senyawa belerang)≥ 0,75% dalam bentuk sulfida
dan mempunyai pH >3,5-4). Adapun yang dimaksud dengan tanah sulfat masam
potensial menurut Taksonomi Tanah digolongkan ke dalam kelompok besar (great
group) Sulfaquent yaitu dicirikan dengan warna kelabu masih mentah (Breemen
dan Pons, 1978 dalam Noor, 2004).
8
Tanah sulfat masam potensial menunjukkan adanya lapisan gambut yang
tipis, sekitar 0-12 cm. Tekstur tanah lapisan atas termasuk liat berdebu, sedangkan
lapisan bawahnya liat. Kapasitas tukar kation tanah, menunjukkan nilai tinggi
sampai sangat tinggi (31,5-62,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan tinggi
(28,9-32,7 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah karena pengaruh kandungan bahan
organik yang sangat tinggi. Kejenuhan basa tergolong rendah sampai sedang (3549%) di lapisan
atas, dan sedang sampai sangat tinggi (55-84%) di lapisan
bawah. Kejenuhan Al di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat
rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah (32-35%) di lapisan atas, dan
rendah sampai sedang (30-47%) di lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS 2 ) sangat
rendah (0,44-1,12%) di lapisan atas, dan rendah (1,35-2,31%) di lapisan bawah
(Subagyo, 2006).
2.
Tanah sulfat masam aktual
Tanah sulfat masam aktual adalah tanah yang mengandung horizon
sulfurik (mengandung pirit yang sudah teroksidasi). Menurut Taksonomi Tanah
horison sulfurik adalah bahan tanah mineral atau organik yang mempunyai pH
≤3,5, dengan ketebalan lapisan ≥ 15 cm, serta menunjukkan tanda-tanda bahwa
rendahnya pH disebabkan oleh asam sulfat, disertai dengan tanda-tanda sebagai
berikut: (1) adanya bercak jarosit, (2) secara langsung berada di atas lapisan
sulfidik, dan (3) mengandung sulfat larut dalam air sebesar ≥ 0,05%. Tanah sulfat
masam aktual menurut Taksonomi Tanah digolongkan ke dalam kelompok besar
(great group) Sulfaquept yang cirinya antara lain kecoklatan dan permukaan
cukup matang dan sangat masan pH 3,5 (Breemen dan Pons, 1978 dalam Noor,
2004).
Tanah sulfat masam aktual mempunyai lapisan gambut permukaan yang
tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan
kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga tekstur tanah lapisan
atas tergolong liat berdebu, dan di lapisan bawah liat. Kapasitas tukar kation tanah
bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan rata-rata tergolong tinggi (33,537,2 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan karena kontribusi dari bahan organik.
Kejenuhan basa di seluruh lapisan tanah sangat bervariasi, sebagian sangat
9
rendah, sebagian rendah sampai sedang, dan sebagian lagi sangat tinggi, dengan
rata-rata sedang (40-42%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kejenuhan
Al di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi,
sehingga rata-ratanya tinggi (67-71%) baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Kandungan pirit (FeS 2 ) menunjukkan rata-rata sangat rendah (0,85-1,07%) di
kedua lapisan tanah (Subagyo, 2006).
2.2.2.
Sifat Kimia Tanah Sulfat Masam
Rendahnya produktivitas tahan sulfat masam disebabkan karena
tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan meningkatnya kelarutan unsur
beracun seperti Al, Fe dan Mn, selain itu juga rendahnya kejenuhan basa dan
status hara P (Dent, 1986 dalam Subsiksa dan Diah, 1991).
Masalah hara yang paling banyak dilaporkan pada lahan sulfat masam
adalah ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang tinggi oleh Al dan Fe.
Unsur P merupakan salah satu unsur hara yang paling banyak dibutuhkan
tanaman. Unsur ini berfungsi untuk pertumbuhan akar, transfer energi dalam
proses fotosintesis dan respirasi, perkembangan buah dan biji, kekuatan batang
dan ketahanan terhadap penyakit. Serapan hara P yang cukup akan menjamin
tanaman tumbuh dengan baik. Oleh karenanya pemupukan P pada lahan sulfat
masam adalah komponen teknologi yang harus mendapat prioritas. Pengapuran
untuk mengurangi kemasaman tanah dan unsur beracun dan pemupukan P untuk
mengurangi kahat P, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan sulfat
masam. Masalah yang timbul bukan hanya karena tanahnya masam, tetapi
beberapa proses ikutan antara lain:
1.
Pada pH yang rendah, ion Al akan dibebaskan dalam larutan tanah, dan
dapat mencapai konsentrasi yang bersifat toksik terhadap pertumbuhan
padi atau tanaman lain.
2.
Konsentrasi besi-III yang tinggi dan adanya ion Al yang melimpah dalam
larutan tanah, akan mengikat ion fosfat yang tersedia, sehingga
mengurangi fosfat yang tersedia, bahkan mengakibatkan defisiensi P.
3.
Adanya ion Al yang berlebihan akan mengganti basa-basa dapat tukar
pada kompleks pertukaran kation, dan membebaskan ion Ca, Mg, dan K
10
ke dalam larutan tanah, yang selanjutnya dapat tercuci keluar karena
dibawa hanyut oleh air yang mengalir. Tidak hanya pasokan K menjadi
terbatas, tetapi juga mengakibatkan kahat unsur Ca dan Mg.
4.
Secara ringkas, akibat penurunan pH tanah di bawah pH 3,5 terjadi
keracunan ion H+, Al, SO 4 2-, dan Fe-III, serta penurunan kesuburan tanah
alami akibat hilangnya basa-basa tanah (Subiksa dan Diah, 1991).
2.2.3.
Penyebaran Tanah Sulfat Masam di Indonesia
Lahan sulfat masam di Indonesia tersebar di daerah sepanjang pantai
timur dan utara Pulau Sumatera, pantai selatan dan timur Pulau Kalimantan,
pantai barat dan timur Pulau Sulawesi, dan pantai selatan Pulau Papua (Noor,
2004). Dari 20,11 juta ha lahan pasang surut yang ada di Indonesia, 6,7 juta ha
adalah lahan sulfat masam. Kalau digabungkan dengan lahan potensial (yang juga
berpotensi sulfat masam) 2,07 juta ha lahan, maka jumlahnya mencapai 8,77 juta
ha (Subsiksa dan Diah, 1991). Lahan sulfat masam merupakan ekosistem yang
potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, karena arealnya yang
cukup luas sehingga mempunyai peran yang strategis dalam mendukung
peningkatan produksi beras nasional. Namun lahan sulfat masam bukan hanya
cocok untuk tanaman padi, tetapi juga tanaman pangan lainnya, tanaman
hortikultura dan perkebunan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam
pemanfaatannya harus hati-hati dan terencana agar tidak mengalami degradasi dan
menimbulkan masalah lingkungan (Subiksa dan Diah, 1991).
2.3.
Karakteristik Tanaman Padi
Organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok yakni organ vegetatif dan
organ generatif (reproduktif). Bagian vegetatif meliputi akar, batang dan daun,
sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, gabah dan bunga. Menurut Yoshida
(1981), tanaman padi pada umumnya memerlukan waktu 3-6 bulan yang
keseluruhannya terdiri dari dua stadia pertumbuhan yaitu vegetatif dan generatif.
Pertumbuhan padi dibagi menjadi tiga bagian yaitu fase vegetatif, reproduktif, dan
pemasakan.
11
Fase vegetatif meliputi pertumbuhan tanaman dari mulai berkecambah
sampai dengan inisiasi primordial malai. Selama fase pertumbuhan vegetatif,
anakan bertambah dengan cepat, tanaman bertambah tingggi, dan daun tumbuh
secara regular. Anakan aktif ditandai dengan pertambahan anakan yang cepat
sampai tercapai anakan maksimal. Setelah anakan maksimal tercapai sebagian
dari anakan akan mati dan tidak menghasilkan malai. Anakan tersebut dinamakan
anakan yang tidak efektif.
Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga,
ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang, yang
sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Disamping itu, stadia
reproduktif juga ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun
bendera, bunting dan pembungaan. Inisiasi primordia malai biasanya dimulai 30
hari sebelum pembungaan. Stadia ini hampir bersamaan dengan memanjangnya
ruas-ruas yang terus berlanjut sampai berbunga.
Fase pemasakan dimulai dari pembungaan sampai masak panen. Setelah
pembungaan, pertumbuhan memasuki stadia pemasakan yang terdiri dari masak
susu dough (masak bertepung), menguning, dan masak panen. Periode pemasakan
ini memerlukan waktu kira-kira 30 hari dan ditandai dengan penuan daun.
Download