Studi polimorfisme protein darah dan karakteristik

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Protein Darah
Hasil analisis elektroforesis protein plasma darah ayam Arab dengan
menggunakan gel poliakrilamid menunjukkan 2 lokus protein yang polimorfik
diantaranya adalah transferin (Tf) dan albumin (Alb). Penentuan alel dari masingmasing lokus tersebut dilakukan dengan cara melihat pita-pita protein yang muncul
atau sering disebut band (pita) pada gel poliakrilamid. Pola pita protein hasil analisis
plasma darah pada ayam Arab dapat dilihat pada Gambar 3.
Tf
Alb
Gambar 3. Pola Pita Protein Hasil Analisis Plasma Darah Ayam Arab
Protein Plasma Transferin (Tf)
Hasil identifikasi genotipe lokus transferin pada ayam Arab diperoleh tiga
alel atau gen yang kombinasinya dapat membentuk enam macam genotipe, yaitu
TfAA, TfAB, TfBB, TfAC, TfBC, dan TfCC. Namun, pada penelitian ini hanya ditemukan
tiga macam genotipe, yaitu TfAA, TfAB, dan TfAC, sedangkan tiga genotipe lainnya
tidak ditemukan pada lokus transferin ayam Arab. Pita yang bergerak lebih cepat ke
arah anoda dinamakan alel A, sedangkan pita yang bergerak paling lambat
dinamakan alel C. Alel B berada diantara alel A dan C. Pola pita protein plasma
transferin dapat dilihat pada Gambar 4.
Sebaran genotipe protein plasma transferin pada ayam Arab dengan urutan
terbanyak adalah TfAC, TfAA dan TfAB dengan frekuensi masing-masing 0,77; 0,13;
dan 0,10 (Tabel 5). Frekuensi gen tertinggi terdapat pada alel TfA (0,57) dan
frekuensi alel terendah yaitu alel TfB (0,05). Berdasarkan nilai frekuensi gen tersebut
maka lokus transferin pada ayam Arab bersifat polimorfik. Hal ini sesuai dengan
Harris (1994) yang menyatakan bahwa lokus disebut polimorfik apabila frekuensi
25
alel terbanyak tidak lebih dari 0,99. Frekuensi masing-masing alel disajikan pada
Tabel 5.
(+)
(-)
AC AC AA AC AB AC AC AC AC AC
Gambar 4. Pola Protein Transferin Ayam Arab
Heterozigositas diperoleh dari hasil perhitungan frekuensi gen pada masingmasing lokus. Tabel 5 menunjukkan bahwa heterozigositas lokus transferin ayam
Arab sebesar 0,53. Sartika et al. (1997) menyatakan bahwa keragaman genetik suatu
populasi ditentukan oleh lokus-lokus yang mempunyai nilai heterozigositas yang
tinggi. Javanmard et al. (2005) menambahkan bahwa suatu populasi dikatakan
memiliki keragaman gen yang rendah apabila memiliki nilai heterozigositas kurang
dari 0,5. Berdasarkan nilai heterozigositas (H = 0,53) yang diperoleh dapat diketahui
bahwa lokus transferin pada ayam Arab memiliki keragaman yang cukup tinggi,
sehingga masih memungkinkan untuk dilakukannya seleksi pada populasi tesebut.
Tabel 5. Frekuensi Genotipe, Heterozigositas, dan Uji Keseimbangan HardyWeinberg Lokus Transferin pada Ayam Arab
Lokus
Protein
Transferin
Jumlah
AA
Jumlah
(ekor)
4
Frekuensi
Genotipe
0,13
AB
3
0,1
AC
23
0,77
-
30
1
Genotipe
H
0,53
Chi-Kuadrat
11,07
17,61*
0,53
Keterangan: H (Heterozigositas); * = berbeda nyata (P < 0,05)
26
Hasil uji keseimbangan Hardy-Weinberg (Tabel 5) menunjukkan tidak
adanya keseimbangan genotipe lokus transferin (Tf) pada populasi ayam Arab
(
). Hal ini diduga karena ayam Arab telah mengalami seleksi
secara bertahap dan dilakukannya perkawinan silang untuk meningkatkan produksi
telurnya. Warwick et al. (1990) menyatakan bahwa berdasarkan hukum HardyWeinberg, dalam populasi yang besar jika tidak terjadi seleksi, migrasi atau mutasi,
dan perkawinan terjadi secara acak, maka frekuensi gen dan genotipik akan tetap
sama dari generasi ke generasi (Tabel 6 menunjukkan bahwa ayam Arab dengan
genotipe homozigot TfAA memiliki potensi produksi telur paling rendah (2
butir/ekor/20 hari). Genotipe heterosigot TfAB yang merupakan kombinasi dari alel
atau gen TfA dengan alel atau gen TfB memiliki produksi telur yang lebih tinggi
dibandingkan genotipe TfAA, yaitu sebanyak 13 butir/ekor/20 hari. Genotipe
heterosigot TfAC (12 butir/ekor/20 hari) yang merupakan kombinasi alel atau gen TfA
dengan alel atau gen TfC memiliki produksi telur yang lebih rendah dibandingkan
ayam dengan genotipe TfAB, namun masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan
produksi telur ayam dengan genotipe TfAA (TfAB > TfAC > TfAA). Pirchner (1983)
menyatakan bahwa kombinasi gen yang berpengaruh pada sifat kuantitatif bersifat
penambahan (aditif).
Hasil perhitungan efek gen pada lokus transferin diketahui bahwa gen A (α1),
B (α2), dan C (α3) secara genetis berpengaruh terhadap peningkatan produksi telur
ayam Arab, namun pengaruh atau efek gen B lebih tinggi dibandingkan dengan gen
A dan C. Berdasarkan hasil produksi telur yang ditunjukkan pada Tabel 6 diketahui
bahwa adanya alel atau gen TfB dalam keadaan heterosigot dapat meningkatkan
potensi produksi telur ayam Arab, karena alel Tf B (7,0975) memiliki nilai efek gen
yang lebih tinggi dibandingkan TfA (1,8732) dan TfC (5,9575). Berdasarkan nilai efek
gen tersebut juga dapat diduga bahwa jika ditemukan ayam dengan genotipe
homosigot TfBB, maka ayam tersebut diduga akan memiliki potensi produksi telur
yang paling tinggi diantara yang lainnya. Namun, pada penelitian ini ayam dengan
genotipe TfBB tidak ditemukan, sehingga produksi telurnya tidak diketahui.
Tingginya nilai produksi telur ayam Arab dengan genotipe heterosigot Tf AB
dibandingkan dengan produksi telur ayam yang memiliki genotipe homosigot Tf AA
juga diduga karena adanya interaksi gen yang bersifat over dominan, sehingga dalam
27
keadaan heterosigot produksi telur ayam Arab lebih tinggi daripada ayam dengan
genotipe homosigot. Pirchner (1983) menyatakan sifat kuantitatif dipengaruhi oleh
banyak gen (poligenik), interaksi gen satu dengan yang lainnya ada yang bersifat
over dominan sehingga pemunculannya menekan pengaruh gen yang lain.
Tabel 6. Produksi Telur Berdasarkan Genotipe Lokus Transferin dan Albumin serta
Efek Gen Terhadap Produksi Telur
Lokus Protein
Transferin
Albumin
AA
2 (n=4)
10 (n=1)
AB
13 (n=3)
14 (n=2)
AC
12 (n=23)
-
BB
-
14 (n=6)
BC
-
10 (n=21)
CC
-
-
Point of origint (O)
1
12
Nilai tengah genotipe (m)
5,7741
0,0134
Nilai tengah nyata (M)
6,7741
12,0134
A
0,57
0,07
B
0,05
0,58
C
0,38
0,35
α 1 (A)
1,8732
2,1635
α 2 (B)
7,0975
0,0209
α 3(C)
5,9575
-2,3355
Produksi telur
(butir/ekor/20 hari)
Frekuensi alel atau gen
Efek gen
Protein Plasma Albumin (Alb)
Identifikasi lokus albumin diperoleh tiga alel atau gen yang kombinasinya
dapat membentuk enam macam genotipe, yaitu Alb AA, AlbAB, AlbBB, AlbBC, AlbAC,
dan AlbCC. Namun, pada penelitian ini hanya ditemukan empat genotipe lokus
albumin pada ayam Arab, yaitu AlbAA, AlbAB, AlbBB, dan AlbBC. Sama halnya
28
dengan lokus transferin, pada albumin pita yang bergerak lebih cepat ke arah anoda
dinamakan alel A, sedangkan yang lebih lambat dinamakan alel C. Alel B berada
diantara alel A dan C. Wulandari (2008) menyatakan bahwa lokus albumin sangat
mudah dikenali karena memiliki ketebalan yang lebih besar dibandingkan lokus yang
lain. Pola pita protein albumin disajikan pada Gambar 5.
(+)
(-)
BC BC AA AB AB AC AC BC AB BB
Gambar 5. Pola Pita Protein Albumin pada Ayam Arab
Genotipe AlbBC merupakan genotipe yang paling banyak ditemukan pada
protein plasma albumin ayam Arab dengan frekuensi 0,7, kemudian genotipe Alb BB,
AlbAB dan AlbAA dengan frekuensi masing-masing 0,2; 0,07 dan 0,03 (Tabel 7).
Lokus albumin bersifat polimorfik dengan frekuensi alel tertinggi yaitu alel Alb B
(0,58) dan frekuensi alel terendah yaitu alel AlbA (0,07). Hasil perhitungan frekuensi
gen pada lokus albumin dapat dilihat pada Tabel 6.
Lokus
albumin
memiliki
nilai
heterozigositas
sedikit
lebih
tinggi
dibandingkan transferin, yaitu sebesar 0,54. Berdasarkan nilai heterozigositas yang
diperoleh dapat diketahui bahwa lokus albumin pada ayam Arab juga memiliki
keragaman yang cukup tinggi, sehingga masih memungkinkan untuk dilakukan
seleksi pada populasi tesebut. Hasil yang sama seperti yang diperoleh pada lokus
transferin untuk uji keseimbangan Hardy-Weinberg yang menunjukkan bahwa tidak
adanya keseimbangan genotipe lokus albumin (Alb) pada populasi ayam Arab
(
). Penyebab ketidakseimbangan ini karena ayam Arab telah
mengalami seleksi secara bertahap dan dilakukannya perkawinan silang untuk
29
meningkatkan
produksi
telurnya.
Hasil
perhitungan
frekuensi
genotipe,
heterozigositas, dan uji keseimbangan Hardy-Weinberg disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Frekuensi Genotipe, Heterozigositas, dan Uji Keseimbangan HardyWeinberg Lokus Albumin pada Ayam Arab
Lokus
Protein
Albumin
Jumlah
Jumlah
Frekuensi
(ekor)
Genotipe
AA
1
0,03
AB
2
0,07
BB
6
0,2
BC
21
0,7
-
30
1
Genotipe
Chi-Kuadrat
H
0,54
11,07
18,22*
0,54
Keterangan: H (Heterozigositas); * = berbeda nyata (P < 0,05)
Tabel 6 menunjukkan genotipe homosigot AlbAA (10 butir/ekor/20 hari)
memiliki potensi produksi telur lebih rendah dibandingkan genotipe homosigot
AlbBB (14 butir/ekor/20 hari). Genotipe heterosigot AlbAB (14 butir/ekor/20 hari)
yang merupakan kombinasi dari alel atau gen Alb A dengan alel atau gen AlbB
memiliki produksi telur yang lebih tinggi dibandingkan genotipe Alb AA, tetapi sama
dengan produksi telur genotipe AlbBB. Genotipe heterosigot AlbBC yang merupakan
kombinasi dari alel atau gen AlbB dengan alel atau gen AlbC memiliki produksi telur
yang sama dengan ayam bergenotipe Alb AA, tetapi lebih tinggi bila dibandingkan
dengan ayam yang bergenotipe Alb BB.
Hasil perhitungan efek atau pengaruh gen pada lokus albumin diperoleh gen
A (α1) dan B (α2) berpengaruh terhadap peningkatan produksi telur, sedangkan gen
C (α3) merupakan gen yang berpengaruh secara genetik menurunkan produksi telur.
Alel atau gen A memiliki pengaruh paling besar dalam meningkatkan produksi telur
dengan nilai efek gen 2,1635 (Tabel 6). Oleh karena itu, dalam keadaan heterosigot
alel AlbA berpengaruh meningkatkan potensi produksi telur meskipun dalam keadaan
homosigot dengan genotipe AlbAA produksi telurnya rendah. Berdasarkan hasil
perhitungan produksi telurnya, ayam dengan genotipe heterosigot Alb BC memiliki
produksi telur yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam genotipe homosigot
AlbBB. Meskipun keduanya mengandung gen B yang berpengaruh meningkatkan
produksi telur, namun ayam dengan genotipe AlbBC juga mengandung gen C yang
30
berpengaruh menurunkan produksi telur, sehingga produksi telurnya lebih rendah
dibanding ayam dengan genotipe AlbBB. Hasil berbeda yang diperoleh Ismoyowati
(2008) yang menemukan 2 gen yang berpengaruh meningkatkan produksi telur Itik
Tegal, yaitu gen A dan gen C yang masing-masing pengaruhnya sebesar 3,4658 dan
0,0815.
Produksi Telur
Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
proses-proses di dalam tubuh ternak. Apabila proses tersebut terganggu, ternak akan
stres sehingga mempengaruhi pertumbuhan atau produksi. Daerah tropis seperti
Indonesia, kondisi lingkungan yang mempengaruhi ternak adalah temperatur dan
kelembaban udara tinggi. Temperatur siang hari mencapai 29-30 oC. Temperatur
lingkungan ideal pada ayam sekitar 21 oC. Di atas temperatur tersebut, ternak
menjadi panas dan nafsu makan turun sehingga konsumsi pakanpun akan menurun.
Dampak selanjutnya, pertumbuhan dan produksi telur juga akan menurun (Suprijatna
et al., 2005). Bell dan Weaver (2002) menyatakan bahwa zona thermoneutral pada
unggas, yaitu pada kisaran suhu 18-24 oC.
Tabel 8 menunjukkan bahwa rataan produksi telur ayam Arab yang dipelihara
pada kandang suhu panas lebih tinggi dibanding rataan produksi telur ayam Arab
yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan, kecuali untuk kelompok ayam
dengan jarak tulang pubis sempit. Hal ini bertentangan dengan Nataamijaya et al.
(1990) yang mengemukakan bahwa produksi telur ayam buras yang dipelihara pada
suhu lingkungan tinggi (23-31 oC) adalah 25% lebih rendah dibandingkan dengan
yang dipelihara pada suhu lingkungan rendah (19-25 oC). Rendahnya rataan produksi
telur ayam Arab yang dipelihara pada kandang suhu lingkungan ini disebabkan oleh
banyaknya ayam yang mengeram, yaitu sekitar 13,33% dari 16,66% total ayam yang
mengeram atau ditemukan 4 ekor ayam Arab yang mengeram pada kandang yang
diberi perlakuan suhu lingkungan, sedangkan pada kandang yang diberi perlakuan
suhu panas hanya ditemukan 1 ekor ayam yang mengeram. Tingkah laku mengeram
inilah yang menurunkan produksi telur ayam Arab yang dipelihara pada kandang
suhu lingkungan, sehingga perlu dilakukan seleksi terhadap ayam yang memiliki
sifat mengeram. Sartika et al. (2002) yang menyeleksi sifat mengeram ayam
31
Kampung berhasil meningkatkan produksi telur dari 29,53% menjadi 48,89% pada
generasi ketiga selama 6 bulan masa produksi.
Tabel 8. Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman Produksi Telur Ayam
Arab
Jarak Tulang Pubis
Jarak Pubis Lebar
Produksi Telur (butir/ekor/20 hari)
Suhu Lingkungan
Suhu Panas
o
(± 25 C)
(± 30oC)
13,63 ± 4,37
13,75 ± 1,50ax
KK=32,06%
KK=10,91%
n= 8
n=4
Jarak Pubis Sedang
8,67 ± 7,74
KK=89,27%
n=6
14,33 ± 0,57ax
KK=4,03%
n=3
Jarak Pubis Sempit
9,83 ± 6,68a
KK=67,96%
n=6
2,00 ± 2,00by
KK=100%
n=3
Keterangan : a,b = superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai yang berbeda
nyata (P < 0,05)
x,y = superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang
berbeda nyata (P < 0,05)
Hasil penelitian juga menemukan beberapa telur yang dihasilkan ayam Arab
yang dipelihara pada kandang suhu panas memiliki kualitas yang rendah
dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh ayam yang dipelihara pada kandang
suhu lingkungan, yaitu kerabang tipis dan mudah pecah. Hasil penelitian menemukan
0,93% dari total telur (323 butir) memiliki kerabang tipis dan mudah pecah.
Suprijatna et al. (2005) mengemukakan bahwa kerabang telur yang lengkap disusun
dari seluruhnya kalsit (CaCO3) dengan sedikit penimbunan sodium, potasium, dan
magnesium. Kalsium karbonat kerabang dibentuk ketika ion kalsium dicukupi lewat
aliran darah, sedangkan ion karbonat dipenuhi dari darah dan kelenjar kerabang.
Kurangnya pasokan ion kalsium dan karbonat dari darah akan menyebabkan deposit
CaCO3 tidak maksimum, sehingga kualitas kerabang telur menurun. Selanjutnya
Amrullah (2004) menambahkan bahwa sumber kalsium untuk kerabang berasal dari
makanan dan tulang-tulang tertentu. Secara normal sebagian kalsium untuk
pembentukan telur berasal langsung dari pakan. Temperatur yang tinggi akan
mengurangi konsumsi ransum dan akibatnya masukan zat-zat gizi ke dalam tubuh
ayam termasuk kalsium menjadi tidak optimum, sehingga pasokan kalsium untuk
32
pembentukan kerabang juga berkurang. Hal itulah yang menyebabkan rendahnya
kualitas telur yang dihasilkan oleh ayam yang dipelihara pada kandang suhu panas.
Ayam yang sedang bertelur membutuhkan kalsium yang lebih banyak karena
akan digunakan untuk pembentukan kerabang telur. Kebutuhan kalsium untuk ayam
petelur umur 21-40 minggu yaitu sebanyak 3,25% atau 3800 mg/hari (Amrullah,
2004). Oleh karena itu, kecukupan kalsium menjadi salah satu faktor yang
menentukan baik buruknya kualitas kerabang telur ayam.
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya kualitas telur ayam Arab yang
dipelihara pada suhu panas yaitu adanya aktivitas panting yang dilakukan ayam
untuk mengontrol pelepasan panas. Pada temperatur lingkungan panas ayam akan
melakukan panting untuk mengurangi panas yang berlebihan, sehingga CO2 banyak
yang dilepaskan dari tubuh dan akibatnya CO 2 dalam tubuh berkurang. Card dan
Nesheim (1972) menyatakan bahwa formasi terbentuknya kerabang telur yaitu
karena adanya ketersediaan ion kalsium dan ion karbonat di dalam cairan uterus yang
akan membentuk kalsium karbonat. Ion karbonat terbentuk karena adanya CO 2
dalam darah hasil metabolisme dari sel yang terdapat pada uterus yang bercampur
dengan H2O, kemudian keduanya dirombak oleh enzim carbonic anhydrase
(dihasilkan pada sel mukosa uterus) menjadi ion bikarbonat yang akhirnya menjadi
ion karbonat setelah ion hidrogen terlepas. Oleh karena itu, ketika ayam betina
melakukan aktivitas panting karena udara yang panas, terjadi peningkatan penguapan
air melalui saluran pernafasan. Hal ini menyebabkan berkurangnya CO 2 dan ion
bikarbonat dalam darah yang akhirnya mengakibatkan telur yang dihasilkan memiliki
kerabang yang tipis. Proses pembentukan kerabang telur disajikan pada Gambar 6.
Hasil uji-t terhadap produksi telur ayam Arab yang dikelompokkan
berdasarkan jarak tulang pubis yang berbeda dan dipelihara pada kandang suhu
lingkungan diperoleh nilai P > 0,05, artinya perbedaan jarak tulang pubis tidak
berpengaruh terhadap produksi telur ayam Arab. Pada kandang suhu panas diketahui
bahwa kelompok ayam dengan jarak tulang pubis lebar menunjukkan nilai berbeda
nyata (P < 0,05) dengan kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sempit dalam hal
produksi telur. Begitu pula kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sedang yang
memiliki nilai yang berbeda nyata (P < 0,05) bila dibandingkan dengan kelompok
ayam dengan jarak tulang pubis sempit. Namun, kelompok ayam dengan jarak tulang
33
pubis lebar tidak memiliki perbedaan produksi telur dengan kelompok ayam dengan
jarak tulang pubis sedang (P > 0,05).
Gambar 6. Proses Pembentukan Kerabang Telur
(Sumber: Card dan Nesheim, 1972)
Hasil uji-t yang membandingkan kelompok ayam yang dipelihara pada
kondisi suhu yang berbeda (lingkungan dan panas) untuk masing-masing kelompok
ayam dengan jarak tulang pubis berbeda (lebar, sedang, dan sempit) diketahui bahwa
hanya antara kelompok ayam dengan jarak tulang pubis sempit yang memiliki
perbedaan produksi telur. Jadi, tidak ada perbedaan produksi telur untuk ayam yang
memiliki jarak tulang pubis lebar maupun sedang yang dipelihara pada kandang suhu
lingkungan dan kandang suhu panas. Hasil uji-t ini berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Ismoyowati et al. (2006) yang menyatakan bahwa lebar pubis
dengan produksi telur berkorelasi sangat nyata (P < 0,01) yaitu sebesar 0,693 atau
sumbangan karakteristik lebar pubis terhadap produksi telur sebesar 48,012%.
Perbedaan hasil yang diperoleh dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
yaitu jumlah ayam (n) yang digunakan dalam penelitian ini lebih sedikit. Selain itu,
pada saat pengukuran jarak tulang pubis, pengukuran hanya dilakukan dengan tangan
(tidak menggunakan alat) sehingga keakuratannya kurang.
34
Karakteristik Genetik Eksternal
Pengamatan terhadap karakteristik genetik eksternal ayam Arab terdiri atas
pola warna bulu, kerlip bulu, corak bulu, warna shank, dan bentuk jengger
berdasarkan gen yang mengontrolnya. Data pengamatan karakteristik genetik
eksternal ayam Arab yang diperoleh pada penelitian ini ditujukan untuk melengkapi
data yang telah diperoleh oleh peneliti sebelumnya.
Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu
Warna bulu putih tidak ditemukan pada ayam Arab. Hasil tersebut sesuai
dengan Saputra (2010) yang menyatakan bahwa ayam Arab memiliki fenotipe 100%
berwarna. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayam Arab memiliki warna bulu yang
seragam. Nataamijaya et al. (2003) menyatakan bahwa ayam Arab yang merupakan
ayam petelur memiliki warna bulu homogen dengan warna dasar hitam dihiasi warna
putih di daerah kepala, leher, dada, punggung, dan sayap. Selanjutnya, Natalia et al.
(2005) menyatakan bahwa ayam Arab silver mempunyai warna bulu dari kepala
hingga leher putih keperakan sedangkan ayam Arab golden memiliki warna merah
keemasan. Warna, pola, kerlip, dan corak bulu pada ayam Arab disajikan pada
Gambar 7.
(a)
(b)
Keterangan : (a) berwarna, pola liar, kerlip perak, corak lurik
(b) berwarna, pola liar, kerlip emas, corak lurik
Gambar 7. Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu Ayam Arab
Ayam Arab memiliki persentase pola bulu liar sebesar 100% dan tidak
ditemukan ayam dengan pola bulu hitam maupun kolumbian. Hasil penelitian
35
Saputra (2010) juga menunjukkan hasil bahwa pola bulu liar merupakan pola bulu
yang paling banyak ditemukan pada ayam Arab dengan persentase sebesar 75,65%.
Tipe liar adalah apabila pada betina ditemukan bulu pada tubuh terdiri dari campuran
warna coklat dan hitam, bagian dada berwarna coklat muda, sedangkan pada jantan
ditemukan sebaran warna hitam pada bagian dada, warna selain hitam pada leher,
punggung, dan sayap (Crawford, 1990).
Persentase fenotipe untuk kerlip bulu pada ayam Arab adalah emas sebesar
80,60% dan perak 19,40%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian
Saputra (2010) yang menyatakan bahwa persentase fenotipe kerlip bulu tertinggi
pada ayam Arab adalah kerlip bulu emas sebesar 62,61%. Natalia et al. (2005)
menyatakan bahwa ayam Arab ada dua jenis, yaitu ayam Arab silver (brakel krielsilver) dan ayam Arab golden (brakel kriel golden). Kedua jenis ayam ini dibedakan
pada warna bulunya sesuai dengan namanya, yaitu ayam Arab silver dan ayam Arab
golden. Persentase fenotipe warna, pola, kerlip, dan corak bulu pada ayam Arab
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Persentase Fenotipe Warna, Pola, Kerlip, dan Corak Bulu pada Ayam Arab
Ekspresi
Lokus
Warna Bulu
I_i
Pola Bulu
E_e+_e
Kerlip Bulu
S_s
Corak Bulu
B_b
Genotipe
(Fenotipe)
Jumlah ayam
(ekor)
Persentase
Fenotipe (%)
I_ (Putih)
ii (Berwarna)
0
134
0
100
E_ (Hitam)
e+ (Liar)
ee (Kolumbian)
0
134
0
0
100
0
S_ (Perak)
Ss (Emas)
26
108
19,40
80,60
B_ (Lurik)
Bb (Polos)
134
0
100
0
Persentase fenotipe untuk corak bulu menunjukkan bahwa ayam Arab
memiliki corak lurik sebesar 100%. Hasil ini sesuai dengan pengamatan yang
dilakukan Saputra (2010) yang menyatakan bahwa corak bulu lurik pada ayam Arab
36
lebih besar (77,39%) daripada corak polos (22,61%). Natalia et al. (2005)
menyatakan bahwa ayam Arab silver memiliki corak bulu badan totol hitam putih/
lurik hitam sedangkan pada ayam Arab golden yaitu totol merah keemasan.
Warna Shank
Warna shank pada ayam dibedakan menjadi warna kuning/putih dan
hitam/abu-abu. Warna shank pada ayam Arab dapat dilihat pada Gambar 8.
(a)
(b)
Keterangan: (a) warna shank putih/kuning
(b) warna shank hitam/abu-abu
Gambar 8. Warna Shank pada Ayam Arab
Persentase fenotipe warna shank pada ayam Arab menunjukkan bahwa warna
shank hitam lebih besar dibandingkan dengan warna putih, yaitu masing-masing
sebesar 95,52% dan 4,48%. Persentase warna shank ini menunjukan hasil yang tidak
jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh Saputra (2010) yang menunjukkan bahwa
shank warna hitam pada ayam Arab sebesar 93,91%, dan warna shank putih sebesar
6,09%. Tingginya persentase warna shank hitam disebabkan oleh adanya pigmen
melanin pada epidermis. Persentase Fenotipe warna shank pada ayam Arab disajikan
pada Tabel 10.
Oluyemi dan Roberts (1979) menyatakan bahwa warna shank kuning
disebabkan adanya pigmen lipokrom dan tidak adanya pigmen melanin, sedangkan
warna shank hitam disebabkan adanya pigmen melanin. Ketika pigmen melanin ada
37
di dalam dermis dan pigmen lipokrom ada di dalam epidermis maka akan
menyebabkan warna shank kehijau-hijauan. Namun, ketika kedua pigmen tersebut
tidak ada maka shank akan berwarna putih.
Tabel 10. Persentase Fenotipe Warna Shank pada Ayam Arab
Ekspresi
Lokus
Warna Shank
Id_id
Genotipe
(Fenotipe)
Id_ (Putih)
Jumlah ayam
(ekor)
6
Persentase
Fenotipe (%)
4,48
idid (Hitam)
128
95,52
Bentuk Jengger
Bentuk jengger dibedakan menjadi bentuk jengger single dan pea. Bentuk
jengger pada ayam Arab dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Bentuk Jengger Tunggal pada Ayam Arab
Fenotipe bentuk jengger menunjukkan hasil 100% ayam Arab memiliki
bentuk tunggal. Pengamatan yang dilakukan oleh Saputra (2010) menemukan bahwa
persentase terbesar bentuk jengger yaitu bentuk tunggal sebanyak 62,61%, namun
ditemukan pula bentuk kapri sebesar 37,39%. Nataamijaya et al. (2003) menyatakan
bahwa ayam Arab memiliki jengger berbentuk tunggal tegak bergerigi (Serrated
Single Comb), biasanya berwarna merah dan umumnya ukuran jengger ayam betina
lebih kecil daripada jantan. Hutt (1949) menjelaskan bahwa bentuk jengger tunggal
disebabkan oleh adanya pengaruh gen rr. Persentase fenotipe bentuk jengger pada
ayam Arab disajikan pada Tabel 11.
38
Tabel 11. Persentase Fenotipe Bentuk Jengger pada Ayam Arab
Ekspresi
Bentuk
Jengger
Lokus
P_p
Genotipe
(Fenotipe)
Jumlah ayam
(ekor)
P_ (Kapri)
0
Persentase
Fenotipe
(%)
0
pp (Tunggal)
134
100
Frekuensi Gen Pengontrol Karakteristik Genetik Eksternal
Frekuensi gen pengontrol untuk warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip
bulu, warna shank, dan bentuk jengger ayam Arab disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Karakteristik Eksternal pada Ayam
Arab
Ekspresi
Lokus
Genotipe
(Fenotipe)
I_ (Putih)
ii (Berwarna)
Gen
Frekuensi Gen
qI
qi
0,0000
1,0000
Warna Bulu
I_i
Pola Bulu
E_e+_e
E_ (Hitam)
e+ (Liar)
ee (Kolumbian)
qE
qe+
qe
0,0000
1,0000
0,0000
Kerlip Bulu
S_s
S_ (Perak)
Ss (Emas)
qS
qs
0,1940
0,8060
Corak Bulu
B_b
B_ (Lurik)
Bb (Polos)
qB
qb
1,0000
0,0000
Warna Shank
Id_id
Id_ (Putih)
idid (Hitam)
qId
qid
0,0448
0,9552
Bentuk Jengger
P_p
P_ (Kapri)
pp (Tunggal)
qP
qp
0,0000
1,0000
Berdasarkan frekuensi gen pengontrol karakteristik eksternal pada penelitian
ini, secara umum frekuensi gen pengontrol tertinggi warna, pola, kerlip, dan corak
bulu yang dimiliki ayam Arab adalah warna bulu berwarna (ii) sebesar 1,000, pola
bulu liar (e+_) sebesar 1,000, kerlip bulu emas (ss) sebesar 0,8060 dan corak bulu
lurik (B_) sebesar 1,000. Frekuensi gen pengontrol tertinggi untuk warna shank pada
39
ayam Arab adalah hitam (idid) sebesar 0,9552 dan frekuensi gen pengontrol tertinggi
untuk bentuk jengger adalah tunggal (pp) dengan frekuensi 1,000.
Heterozigositas
Ayam Arab memiliki warna bulu, pola bulu, corak bulu, dan bentuk jengger
yang seragam. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai heterozigositas harapan (h)
sebesar 0,000 ± 0,000, yang artinya persentase keragaman untuk warna bulu, pola
bulu, corak bulu, dan bentuk jengger pada ayam Arab adalah 0%. Kerlip bulu dan
warna shank pada ayam Arab memiliki variasi yang ditunjukkan dengan nilai
heterozigositas harapan (h) masing-masing 0,3127 dan 0,0856. Hasil perhitungan
nilai heterozigositas ayam Arab dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Heterozigositas Harapan per Individu (h) dan Rata-rata Heterozigositas
per Individu ( ) Ayam Arab
Sifat yang Diamati
Heterozigositas (h ± SE)
Warna Bulu
0 ,0000 ± 0,0000
Pola Bulu
0,0000 ± 0,0000
Kerlip Bulu
0,3127 ± 0,0296
Corak Bulu
0,0000 ± 0,0000
Warna Shank
0,0856 ± 0,0230
Bentuk Jengger
0,0000 ± 0,0000
[H ± SE(
0,0664 ± 0,0512
Nilai rataan heterozigositas harapan diperoleh dari pembagian antara jumlah
total heterozigositas harapan dalam populasi dibagi dengan jumlah lokus yang
diamati. Semakin tinggi nilai heterozigositas karakteristik genetik eksternal dalam
suatu populasi maka semakin tinggi keragaman sifat tersebut dalam suatu populasi.
Berdasarkan nilai rata-rata heterozigositasnya, ayam Arab relatif seragam yang
ditunjukkan dengan persentase keragaman sebesar 6,64 %. Hal ini sesuai dengan
Javanmard et al. (2005) yang menyatakan bahwa suatu populasi dikatakan memiliki
keragaman gen yang rendah apabila memiliki nilai heterozigositas kurang dari 0,5.
40
Download