BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Penelitian Terdahulu Helmi (2003

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Penelitian Terdahulu
Helmi (2003), meneliti dengan judul ”Pengaruh Pelatihan dan Pengembangan
serta Prestasi Kerja Terhadap Pengembangan karir Karyawan Pada PTPN III Medan”.
Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi linear berganda dengan tingkat
kepercayaan 95% ( α = 0,05). Nilai signifikan F, pengujian secara bersama-sama
adalah sebesar 0,000 bila dibandingkan dengan taraf nyata α = 0,05, berarti nilai
signifikan F lebih kecil dari taraf nyata. Ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama
variabel pelatihan dan pengembangan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pengembangan karir karyawan. Nilai R square atau koefisien determinasi sebesar
0,634 ini menunjukkan bahwa 63,4% variabel prestasi kerja, sedangkan sisa sebesar
36,6% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti.
II.2.
Teori tentang Pelatihan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999; 569), pelatihan berasal dari
kata latih yang berarti belajar dan membiasakan diri agar mampu (dapat) melakukan
sesuatu, dan yang dimaksud dengan pelatihan adalah proses, cara, perbuatan melatih;
kegiatan atau pekerjaan melatih.
Pelatihan merupakan suatu upaya yang dilakukan organisasi dalam
memberikan keahlian bagi individu yang akan melaksanakan pekerjaan guna
12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pencapaian tujuan organisasi. Seperti yang dikatakan Rothwell & Kazanas (2003;
353), adalah sebagai berikut:
“ Training consists of organized learning activities capable of
improving individual performance through changes in knowledge, skills,
or attitudes”.
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa pelatihan terdiri dari aktivitasaktivitas belajar terorganisir yang mampu meningkatkan kinerja individual melalui
perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, ataupun sikap.
Dari sudut pandang pekerja pelatihan sangat membantu, memberikan inspirasi
dan bersifat tranformatif, namun juga sekaligus membuang waktu, tidak relevan,
beban tambahan atau bahkan hanya suatu kegembiraan. Laird (1985: 11)
mendefinisikan pelatihan sebagai akuisisi teknologi yang memungkinkan pekerja
bekerja sesuai standar. Sementara Sofo (2003: 136) mendefinisikan pelatihan adalah
tentang perbaikan berkesinambungan fungsi orang-orang dalam organisasi. Pelatihan
merupakan sebagai pengalaman, kedisiplinan atau suatu cara dalam hidup yang
menyebabkan pekerja atau karyawan belajar sesuatu yang baru, perilaku yang
ditetapkan sebelumnya.
Schuler (1987: 392) menyatakan:
“Training and Development is any attempt to improve current or feture
employee performance by increasing, through learning, an employee’s ability to
perform, usually by increasing the employee’ skill and knowledge”.
Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa Pelatihan dan Pengembangan adalah
bentuk usaha apapun guna meningkatkan kinerja karyawan saat ini ataupun masa
depan dengan meningkatkan kemampuan pembelajaran, kemampuan karyawan dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melaksanakan
pekerjaan,
yang
biasanya
dilakukan
dengan
meningkatkan
keterampilan dan pengetahuan karyawan.
Mathis dan Jackson (2006: 301) menyatakan bahwa pelatihan adalah proses
dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan
organisasional. Karena proses ini berkaitan dengan berbagai tujuan organisasional,
pelatihan dapat dipandang secara sempit atau sebaliknya. Dalam pengertian terbatas,
pelatihan memberikan karyawan pengetahuan dan keterampilan yang spesifik dan
dapat diidentifikasi untuk digunakan dalam pekerjaan mereka.
II.2.1. Proses Pelatihan
Suatu organisasi harus dapat melakukan perubahan–perubahan dalam upaya
melakukan penyesuaian terhadap lingkungan eksternal dan internalnya, dan yang
menjadi kebutuhan terhadap perubahan tersebut harus dapat dikenali. Faktor-faktor
yang mempengaruhinya juga harus dipertimbangkan. Pelaksanaan pelatihan sebagai
upaya
memberikan pembekalan kepada karyawan
mengenai wacana,
dan
keterampilan diharapkan akan mampu mencapai tujuan suatu organisasi/perusahaan.
Mathis dan Jackson (2006: 308) menyatakan bahwa proses pelatihan yang sistimatis
itu sendiri adalah meliputi: Penilaian, Perancangan, Penyampaian, dan Evaluasi.
Keempat komponen pelatihan tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan lainnya dalam upaya memperoleh hasil pelatihan yang maksimal. Karena
keempatnya merupakan satu kesatuan dari suatu proses pelaksanaan pelatihan, seperti
terlihat pada Gambar 2.1.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Penilaian
Penyampaian
Perancangan
• Menganalisis
kebutuhan pelatihan
• Mengidentifikasi tujuan
dan kriteria pelatihan
• Menjadwalkan pelatihan
• Melaksanakan pelatihan
• Memantau pelatihan
• Menguji peserta pelatihan
sebelumya
• Memilih metode pelatihan
• Merencanakan pelatihan
Evaluasi
• Mengukur hasil-hasil
pelatihan
• Membandingkan hasil
pada tujuan/kriteria
Sumber: Mathis, Robert L, dan Jackson, Human Resource Management, edisi 10, hal. 309, 2006
Gambar 2.1. Proses Pelatihan
II.2.2. Penilaian Kebutuhan
Dalam melakukan tahap penilian kebutuhan diperlukan 3 tipe analisis yaitu
analisis
organisasional,
analisis
pekerjaan
dan
analisis
individu.
Analisis
organisasional merupakan pemeriksaan jenis-jenis permasalahan yang terjadi dalam
organisasi. Analisis organisasi dilakukan untuk mengetahui departemen mana
sebaiknya dilakukan pelatihan. Analisis pekerjaan adalah proses untuk menentukan
perilaku-perilaku yang dituntut berdasarkan standar-standar pekerjaan yang harus
dipenuhi seorang karyawan agar mampu melaksanakan pekerjaan dan mencapai
kinerja yang diharapkan. Analisis individu mengidentifikasi kesenjangan antara
kebutuhan-kebutuhan kerja dan organisasi dengan karateristik dari masing-masing
karyawan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
II.2.3. Rancangan
Suatu rancangan pelatihan dapat dilakukan setelah tujuan pelatihan
ditentukan, baik itu bersifat spesifik menurut pekerjaan atau lebih luas, pelatihan
harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah dinilai. Adapun
unsur-unsur yang ada dalam rancangan pelatihan adalah gaya pembelajaran, kesiapan
belajar, rancangan untuk transfer dan terakhir adalah pembelajaran.
II.2.4. Penyampaian
Setelah pelatihan dirancang maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan.
Dalam tahap ini Ivanceevich (2001) menekankan langkah-langkah penting bagi
pengorganisasian program pelatihan yaitu metode penyampaian materi, pemilihan
instruktur, fasilitas pelatihan, dan pelaksanaan program.
II.2.5. Evaluasi
Tahap terakhir adalah tahap evaluasi, dimana ada empat kritria yang
diungkapkan oleh Dessler (1997) untuk mengevaluasi program pelatihan yaitu reaksi,
pembelajaran, perilaku dan hasil.
II.3.
Teori tentang Kecerdasan Emosional
II.3.1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Goleman (1995: 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk
bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati
seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong
seseorang berperilaku menangis.
Daniel Goleman (1995: 411) menyatakan bahwa ada beberapa macam emosi,
yaitu:
a. Amarah
:
beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan
:
pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus
asa
c. Rasa takut
:
cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan :
bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta
penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
:
dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut
:
terkesiap, terkejut
g. Jengkel
:
hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu
:
malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu
mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap
stimulus yang ada. Dalam The Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara
filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah
menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan
kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak
terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya
bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan
cara mengekspresikan (Goleman, 2002: xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002: 65) orang cenderung menganut gaya-gaya
khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: sadar diri, tenggelam
dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi
setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih
bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh BarOn pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan
tekanan lingkungan (Goleman, 2000:180).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000: 5053) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang
penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan
yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial,
kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai
kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari: “kecerdasan antar pribadi
yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan.
Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah
ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri
sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan
modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif” (Goleman, 2002:
52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi
itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat
suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain”. Dalam kecerdasan antar
pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses
menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan
perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”
(Goleman, 2002: 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey
(Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal
untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri
individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk
mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan
orang lain.
II.3.2. Perkembangan Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama sekali diusulkan oleh psikolog Mayer
dan Salovey (1990), menyatakan bahwa kecerdasan emosional sebagai "suatu bentuk
kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk mengetahui beberapa perasaan
dan emosi yang dimiliki, dan mampu membedakan di antaranya, serta menggunakan
informasi ini untuk membimbing pemikiran serta tindakan". Menurut identifikasi
yang dilakukan oleh Mayer dan Salovey terdapat Empat bagian dari kecerdasan
emosional, yaitu:
1.
Pengidentifikasian emosi: kemampuan untuk mengenalisa satu perasaan yang
dimiliki dan perasaan tersebut ada di sekitar mereka.
2.
Pemahaman Emosi: kemampuan untuk mengidentifikasikan dan memahami
emosi, seperti apa yang diistilahkan Mayer dan Salovey sebagai "emotional
chains" – transisi dari satu emosi ke lainnya.
3.
Menggunakan emosi: kemampuan untuk mengakses satu emosi dan alasannya
(menggunakannya untuk membantu berpikir dan mengambil keputusan).
4.
Mengelola emosi: kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan
mengaturnya.
Menurut Cooper dan Sawaf (2000: 13), EQ didefinisikan sebagai kemampuan
untuk merasakan, memahami serta mampu menerapkan secara efektif kekuatan serta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kecerdasan emosi sebagai suatu sumber kekuatan manusia, informasi, hubungan dan
pengaruh.
Keterampilan kecerdasan emosional (EQ) bukanlah lawan keterampilan IQ
atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada
tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, kecerdasan emosional (EQ)
tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 1998-10).
Pada tahun 1995, seorang psikolog dan wartawan bernama Daniel Goleman
menerbitkan tulisannya tentang Emotional Intelligence, yang disusun berdasarkan
pada konsep kecerdasan emosional (Emotional Quetion) karya Mayer dan Salovey di
atas. Kecerdasan Emosional didefinisikan sebagai kemampuan secara terus
menerus untuk memotivasi diri sendiri dalam keadan frustasi; mengendalikan
gerakan hati dalam suasana kegembiraan; pengendalian suasana hati yang
dikarenakan kelebihan beban berfikir; berempathi dan selau optimis (Goleman,
1996). Menurut Goleman (1995: 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our
emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya
(the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Selanjutnya pada tahun 1998 Goleman memperkenalkan satu kerangka
kecerdasan emosional yang merupakan refleksi dari kemampuan seseorang dalam
Kesadaran Diri, Manajemen Diri, Kesadaran Sosial, dan Manajemen Hubungan.
Model ini selanjutnya menjadi dasar atas kemampuan kecerdasan emosional yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diidentifikasikan dalam penelitian yang dilakukan di PT Cocacola Bottling Northern
Sumatra Operation.
Kesadaran Diri merupakan komponen pertama dari kecerdasan emosional
yang berarti kemampuan untuk memahami perasaan yang sedang ada yang mencakup
kepada kompetensi pemahaman emosi diri, kemampuan penilaian diri sendiri, dan
percaya diri.
Manajemen Diri yang merupakan komponen kedua dari kecerdasan emosional
adalah kemampuan untuk mengatur tekanan atau stres yang sedang dihadapi, dan
pengendalian terhadap impulsif dari emosional. Secara spesifik kompetensi
manajemen diri mencakup kepada Pengendalian diri Transparansi, Kemampuan
beradaptasi, Prestasi, Inisiatif, dan terakhir Optimis.
Kesadaran Sosial merupakan komponen kecerdasan emosional yang ketiga
dimana didefinisikan sebagai kemampuan berempati, yaitu kemampuan untuk
membaca isyarat nonverbal terhadap emosi negatif terutama sekali marah dan
ketakutan, dan untuk menilai kejujuran orang lain atau dapat juga dikatakan
komptensi dalam hal empati, kesadaran organasasi, dan pelayanan.
Terakhir adalah Management Hubungan, yang merupakan kemampuan dalam
bersosialisasi dengan orang lain. Kompetensi yang dimiliki dalam manajemen
hubungan adalah Inspirasi, Pengaruh, Pengembangan, Memberi Perubahan,
Manajemen Konflik, dan Kerjasama. Dari Tabel 2.2 dapat dilihat kerangka
kompetensi kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman (2001).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tabel II.1. Kerangka Kompetensi Kecerdasan Emosional
Domain
Kompetensi
Kesadaran Diri
-
Pemahaman emosi diri
Kemampuan penilaian diri sendiri
Percaya diri
Manajemen Diri
-
Pengendalian diri
Transparansi
Kemampuan beradaptasi
Prestasi
Inisiatif
Optimis
-
Empati
Kesadaran organisasi
Pelayanan
Inspirasi
Pengaruh
Pengembangan
Memberi perubahan
Manajemen konflik
Kerjasama
Kesadaran social
Manajemen hubungan
Sumber: Goleman, 2001
II.4.
Teori tentang Kinerja
II.4.1. Pengertian Kinerja dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai bentuk
aktivitas. Kemampuan bertindak itu dapat diperoleh manusia baik secara alami (ada
sejak lahir) atau dipelajari. Walaupun manusia mempunyai potensi untuk berperilaku
tertentu tetapi perilaku itu hanya diaktualisasi pada saat-saat tertentu saja. Potensi
untuk berperilaku tertentu itu disebut ability (kemampuan), sedangkan ekspresi dari
potensi ini dikenal sebagai performance (kinerja). Pengertian kinerja menurut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Bernadin & Russell (1993: 379) adalah hasil dari prestasi kerja yang telah dicapai
seorang karyawan sesuai dengan fungsi tugasnya pada periode tertentu.
Menurut Rivai (2005) kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang
secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas
dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau
sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati
bersama. Kinerja didefinisikan sebagai catatan outcomes yang dihasilkan pada fungsi
atau aktivitas karyawan tertentu selama periode waktu tertentu (Noe et al:2001).
Menurut Mangkunegara (2001: 67-68) faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja seseorang ialah:
(1) Faktor kemampuan, secara umum kemampuan ini terbadi menjadi 2 yaitu
kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge dan skill). Seorang
karyawan seharusnya memiliki kedua kemampuan tersebut.
(2) Faktor motivasi, motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi
situasi kerja. Motivasi bagi karyawan sangat penting untuk mencapai tujuan dari
perusahaan.
Ada 3 (tiga) faktor utama yang berpengaruh pada kinerja yaitu individu
(kemampuan bekerja), usaha kerja (keinginan untuk bekerja), dan dukungan
organisasional (kesempatan untuk bekerja).
Variabel-variabel tertentu yang mempengaruhi kinerja yang dapat dikontrol oleh
manajemen adalah desain karyawan (tugas atau aktivitas-aktivitas untuk dikerjakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
karyawan), konteks organisasional (gaya pensupervisian, organisasi kerja, kondisi
kerja secara fisik, komunikasi, jam kerja) dan sasaran kinerja.
Kinerja karyawan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
kemampuan, gairah kerja, peluang untuk berprestasi, kejelasan deskripsi kerja,
kepastian harapan, umpan balik kinerja dan imbalan dari kinerja.
II.4.2. Pengukuran/Penilaian Kinerja
Ada berbagai metode penilaian kinerja yang digunakan selama ini, sesuai
dengan tujuan perusahaan yaitu mencari laba, maka hampir semua perusahaan
mengukur kinerjanya dengan ukuran keuangan. Di sini pihak manajemen perusahaan
cenderung hanya ingin memuaskan shareholders, dan kurang memperhatikan ukuran
kinerja yang lebih luas yaitu kepentingan stakeholders. Atkinson, et.al. (1995)
menyatakan pengukuran kinerja sebagai berikut:
“Performance measurement is perhaps the most important, most misunderstood, and
most difficult task in management accounting. An effective system of performance
measurement contains critical performance indicator (performance measures) that
(1) consider each activity and the organization it self from the customer’s
perspective, (2) evaluate each activity using customer – validated measure of
performance, (3) consider all facets of activity performance that affect customers
and, therefore, are comprehensive, and (4) provide feed-back to help organization
members identity problems and opportunities for improvement”.
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa penilaian kinerja sangat
penting, kemungkinan memiliki salah pengertian, dan merupakan tugas yang paling
sulit dalam akuntansi manajemen. Sistem penilaian kinerja yang efektif sebaiknya
mengandung indikator kinerja, yaitu: (1) memperhatikan setiap aktivitas organisasi
dan menekankan pada perspektif pelanggan, (2) menilai setiap aktivitas dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menggunakan alat ukur kinerja yang mengesahkan pelanggan, (3) memperhatikan
semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang mempengaruhi pelanggan,
dan (4) menyediakan informasi berupa umpan balik untuk membantu anggota
organisasi mengenali permasalahan dan peluang untuk melakukan perbaikan.
Menurut Mathis (2006: 251), Kinerja Karyawan adalah yang mempengaruhi
seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada perusahaan antara lain:
1. Kuantitas kerja: Volume kerja yang dihasilkan
2. Kualitas kerja: Kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil dengan tidak
mengabaikan volume pekerjaan.
3. Pemanfaatan waktu: Penggunaan masa kerja yang disesuaikan dengan
kebijaksanaan perusahaan.
4. Kerjasama: kemampuan menangani hubungan dalam pekerjaan.
II.4.3. Manfaat Pengukuran Kinerja
Adapun manfaat dari pengukuran kinerja adalah:
1.
Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian
personel secara maksimum.
2.
Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penghargaan personel,
seperti: promosi, transfer, dan pemberhentian.
3.
Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan personel dan untuk
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan personel.
4.
Menyediakan suatu dasar untuk mendistribusikan penghargaan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Download