BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Penelitian Terdahulu Helmi (2003), meneliti dengan judul ”Pengaruh Pelatihan dan Pengembangan serta Prestasi Kerja Terhadap Pengembangan karir Karyawan Pada PTPN III Medan”. Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi linear berganda dengan tingkat kepercayaan 95% ( α = 0,05). Nilai signifikan F, pengujian secara bersama-sama adalah sebesar 0,000 bila dibandingkan dengan taraf nyata α = 0,05, berarti nilai signifikan F lebih kecil dari taraf nyata. Ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel pelatihan dan pengembangan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan karir karyawan. Nilai R square atau koefisien determinasi sebesar 0,634 ini menunjukkan bahwa 63,4% variabel prestasi kerja, sedangkan sisa sebesar 36,6% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti. II.2. Teori tentang Pelatihan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999; 569), pelatihan berasal dari kata latih yang berarti belajar dan membiasakan diri agar mampu (dapat) melakukan sesuatu, dan yang dimaksud dengan pelatihan adalah proses, cara, perbuatan melatih; kegiatan atau pekerjaan melatih. Pelatihan merupakan suatu upaya yang dilakukan organisasi dalam memberikan keahlian bagi individu yang akan melaksanakan pekerjaan guna 12 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pencapaian tujuan organisasi. Seperti yang dikatakan Rothwell & Kazanas (2003; 353), adalah sebagai berikut: “ Training consists of organized learning activities capable of improving individual performance through changes in knowledge, skills, or attitudes”. Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa pelatihan terdiri dari aktivitasaktivitas belajar terorganisir yang mampu meningkatkan kinerja individual melalui perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, ataupun sikap. Dari sudut pandang pekerja pelatihan sangat membantu, memberikan inspirasi dan bersifat tranformatif, namun juga sekaligus membuang waktu, tidak relevan, beban tambahan atau bahkan hanya suatu kegembiraan. Laird (1985: 11) mendefinisikan pelatihan sebagai akuisisi teknologi yang memungkinkan pekerja bekerja sesuai standar. Sementara Sofo (2003: 136) mendefinisikan pelatihan adalah tentang perbaikan berkesinambungan fungsi orang-orang dalam organisasi. Pelatihan merupakan sebagai pengalaman, kedisiplinan atau suatu cara dalam hidup yang menyebabkan pekerja atau karyawan belajar sesuatu yang baru, perilaku yang ditetapkan sebelumnya. Schuler (1987: 392) menyatakan: “Training and Development is any attempt to improve current or feture employee performance by increasing, through learning, an employee’s ability to perform, usually by increasing the employee’ skill and knowledge”. Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa Pelatihan dan Pengembangan adalah bentuk usaha apapun guna meningkatkan kinerja karyawan saat ini ataupun masa depan dengan meningkatkan kemampuan pembelajaran, kemampuan karyawan dalam UNIVERSITAS SUMATERA UTARA melaksanakan pekerjaan, yang biasanya dilakukan dengan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan karyawan. Mathis dan Jackson (2006: 301) menyatakan bahwa pelatihan adalah proses dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan organisasional. Karena proses ini berkaitan dengan berbagai tujuan organisasional, pelatihan dapat dipandang secara sempit atau sebaliknya. Dalam pengertian terbatas, pelatihan memberikan karyawan pengetahuan dan keterampilan yang spesifik dan dapat diidentifikasi untuk digunakan dalam pekerjaan mereka. II.2.1. Proses Pelatihan Suatu organisasi harus dapat melakukan perubahan–perubahan dalam upaya melakukan penyesuaian terhadap lingkungan eksternal dan internalnya, dan yang menjadi kebutuhan terhadap perubahan tersebut harus dapat dikenali. Faktor-faktor yang mempengaruhinya juga harus dipertimbangkan. Pelaksanaan pelatihan sebagai upaya memberikan pembekalan kepada karyawan mengenai wacana, dan keterampilan diharapkan akan mampu mencapai tujuan suatu organisasi/perusahaan. Mathis dan Jackson (2006: 308) menyatakan bahwa proses pelatihan yang sistimatis itu sendiri adalah meliputi: Penilaian, Perancangan, Penyampaian, dan Evaluasi. Keempat komponen pelatihan tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya dalam upaya memperoleh hasil pelatihan yang maksimal. Karena keempatnya merupakan satu kesatuan dari suatu proses pelaksanaan pelatihan, seperti terlihat pada Gambar 2.1. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penilaian Penyampaian Perancangan • Menganalisis kebutuhan pelatihan • Mengidentifikasi tujuan dan kriteria pelatihan • Menjadwalkan pelatihan • Melaksanakan pelatihan • Memantau pelatihan • Menguji peserta pelatihan sebelumya • Memilih metode pelatihan • Merencanakan pelatihan Evaluasi • Mengukur hasil-hasil pelatihan • Membandingkan hasil pada tujuan/kriteria Sumber: Mathis, Robert L, dan Jackson, Human Resource Management, edisi 10, hal. 309, 2006 Gambar 2.1. Proses Pelatihan II.2.2. Penilaian Kebutuhan Dalam melakukan tahap penilian kebutuhan diperlukan 3 tipe analisis yaitu analisis organisasional, analisis pekerjaan dan analisis individu. Analisis organisasional merupakan pemeriksaan jenis-jenis permasalahan yang terjadi dalam organisasi. Analisis organisasi dilakukan untuk mengetahui departemen mana sebaiknya dilakukan pelatihan. Analisis pekerjaan adalah proses untuk menentukan perilaku-perilaku yang dituntut berdasarkan standar-standar pekerjaan yang harus dipenuhi seorang karyawan agar mampu melaksanakan pekerjaan dan mencapai kinerja yang diharapkan. Analisis individu mengidentifikasi kesenjangan antara kebutuhan-kebutuhan kerja dan organisasi dengan karateristik dari masing-masing karyawan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA II.2.3. Rancangan Suatu rancangan pelatihan dapat dilakukan setelah tujuan pelatihan ditentukan, baik itu bersifat spesifik menurut pekerjaan atau lebih luas, pelatihan harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah dinilai. Adapun unsur-unsur yang ada dalam rancangan pelatihan adalah gaya pembelajaran, kesiapan belajar, rancangan untuk transfer dan terakhir adalah pembelajaran. II.2.4. Penyampaian Setelah pelatihan dirancang maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Dalam tahap ini Ivanceevich (2001) menekankan langkah-langkah penting bagi pengorganisasian program pelatihan yaitu metode penyampaian materi, pemilihan instruktur, fasilitas pelatihan, dan pelaksanaan program. II.2.5. Evaluasi Tahap terakhir adalah tahap evaluasi, dimana ada empat kritria yang diungkapkan oleh Dessler (1997) untuk mengevaluasi program pelatihan yaitu reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil. II.3. Teori tentang Kecerdasan Emosional II.3.1. Pengertian Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman (1995: 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Daniel Goleman (1995: 411) menyatakan bahwa ada beberapa macam emosi, yaitu: a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga e. Cinta penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa : dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih f. Terkejut : terkesiap, terkejut g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka h. malu : malu hati, kesal Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam The Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002: xvi). Menurut Mayer (Goleman, 2002: 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia. Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh BarOn pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000:180). Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000: 5053) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional. Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari: “kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif” (Goleman, 2002: 52). Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain”. Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku” (Goleman, 2002: 53). Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. II.3.2. Perkembangan Kecerdasan Emosional Istilah kecerdasan emosional pertama sekali diusulkan oleh psikolog Mayer dan Salovey (1990), menyatakan bahwa kecerdasan emosional sebagai "suatu bentuk kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk mengetahui beberapa perasaan dan emosi yang dimiliki, dan mampu membedakan di antaranya, serta menggunakan informasi ini untuk membimbing pemikiran serta tindakan". Menurut identifikasi yang dilakukan oleh Mayer dan Salovey terdapat Empat bagian dari kecerdasan emosional, yaitu: 1. Pengidentifikasian emosi: kemampuan untuk mengenalisa satu perasaan yang dimiliki dan perasaan tersebut ada di sekitar mereka. 2. Pemahaman Emosi: kemampuan untuk mengidentifikasikan dan memahami emosi, seperti apa yang diistilahkan Mayer dan Salovey sebagai "emotional chains" – transisi dari satu emosi ke lainnya. 3. Menggunakan emosi: kemampuan untuk mengakses satu emosi dan alasannya (menggunakannya untuk membantu berpikir dan mengambil keputusan). 4. Mengelola emosi: kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan mengaturnya. Menurut Cooper dan Sawaf (2000: 13), EQ didefinisikan sebagai kemampuan untuk merasakan, memahami serta mampu menerapkan secara efektif kekuatan serta UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kecerdasan emosi sebagai suatu sumber kekuatan manusia, informasi, hubungan dan pengaruh. Keterampilan kecerdasan emosional (EQ) bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, kecerdasan emosional (EQ) tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 1998-10). Pada tahun 1995, seorang psikolog dan wartawan bernama Daniel Goleman menerbitkan tulisannya tentang Emotional Intelligence, yang disusun berdasarkan pada konsep kecerdasan emosional (Emotional Quetion) karya Mayer dan Salovey di atas. Kecerdasan Emosional didefinisikan sebagai kemampuan secara terus menerus untuk memotivasi diri sendiri dalam keadan frustasi; mengendalikan gerakan hati dalam suasana kegembiraan; pengendalian suasana hati yang dikarenakan kelebihan beban berfikir; berempathi dan selau optimis (Goleman, 1996). Menurut Goleman (1995: 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Selanjutnya pada tahun 1998 Goleman memperkenalkan satu kerangka kecerdasan emosional yang merupakan refleksi dari kemampuan seseorang dalam Kesadaran Diri, Manajemen Diri, Kesadaran Sosial, dan Manajemen Hubungan. Model ini selanjutnya menjadi dasar atas kemampuan kecerdasan emosional yang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diidentifikasikan dalam penelitian yang dilakukan di PT Cocacola Bottling Northern Sumatra Operation. Kesadaran Diri merupakan komponen pertama dari kecerdasan emosional yang berarti kemampuan untuk memahami perasaan yang sedang ada yang mencakup kepada kompetensi pemahaman emosi diri, kemampuan penilaian diri sendiri, dan percaya diri. Manajemen Diri yang merupakan komponen kedua dari kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengatur tekanan atau stres yang sedang dihadapi, dan pengendalian terhadap impulsif dari emosional. Secara spesifik kompetensi manajemen diri mencakup kepada Pengendalian diri Transparansi, Kemampuan beradaptasi, Prestasi, Inisiatif, dan terakhir Optimis. Kesadaran Sosial merupakan komponen kecerdasan emosional yang ketiga dimana didefinisikan sebagai kemampuan berempati, yaitu kemampuan untuk membaca isyarat nonverbal terhadap emosi negatif terutama sekali marah dan ketakutan, dan untuk menilai kejujuran orang lain atau dapat juga dikatakan komptensi dalam hal empati, kesadaran organasasi, dan pelayanan. Terakhir adalah Management Hubungan, yang merupakan kemampuan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Kompetensi yang dimiliki dalam manajemen hubungan adalah Inspirasi, Pengaruh, Pengembangan, Memberi Perubahan, Manajemen Konflik, dan Kerjasama. Dari Tabel 2.2 dapat dilihat kerangka kompetensi kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman (2001). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel II.1. Kerangka Kompetensi Kecerdasan Emosional Domain Kompetensi Kesadaran Diri - Pemahaman emosi diri Kemampuan penilaian diri sendiri Percaya diri Manajemen Diri - Pengendalian diri Transparansi Kemampuan beradaptasi Prestasi Inisiatif Optimis - Empati Kesadaran organisasi Pelayanan Inspirasi Pengaruh Pengembangan Memberi perubahan Manajemen konflik Kerjasama Kesadaran social Manajemen hubungan Sumber: Goleman, 2001 II.4. Teori tentang Kinerja II.4.1. Pengertian Kinerja dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai bentuk aktivitas. Kemampuan bertindak itu dapat diperoleh manusia baik secara alami (ada sejak lahir) atau dipelajari. Walaupun manusia mempunyai potensi untuk berperilaku tertentu tetapi perilaku itu hanya diaktualisasi pada saat-saat tertentu saja. Potensi untuk berperilaku tertentu itu disebut ability (kemampuan), sedangkan ekspresi dari potensi ini dikenal sebagai performance (kinerja). Pengertian kinerja menurut UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Bernadin & Russell (1993: 379) adalah hasil dari prestasi kerja yang telah dicapai seorang karyawan sesuai dengan fungsi tugasnya pada periode tertentu. Menurut Rivai (2005) kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Kinerja didefinisikan sebagai catatan outcomes yang dihasilkan pada fungsi atau aktivitas karyawan tertentu selama periode waktu tertentu (Noe et al:2001). Menurut Mangkunegara (2001: 67-68) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang ialah: (1) Faktor kemampuan, secara umum kemampuan ini terbadi menjadi 2 yaitu kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge dan skill). Seorang karyawan seharusnya memiliki kedua kemampuan tersebut. (2) Faktor motivasi, motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi bagi karyawan sangat penting untuk mencapai tujuan dari perusahaan. Ada 3 (tiga) faktor utama yang berpengaruh pada kinerja yaitu individu (kemampuan bekerja), usaha kerja (keinginan untuk bekerja), dan dukungan organisasional (kesempatan untuk bekerja). Variabel-variabel tertentu yang mempengaruhi kinerja yang dapat dikontrol oleh manajemen adalah desain karyawan (tugas atau aktivitas-aktivitas untuk dikerjakan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA karyawan), konteks organisasional (gaya pensupervisian, organisasi kerja, kondisi kerja secara fisik, komunikasi, jam kerja) dan sasaran kinerja. Kinerja karyawan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kemampuan, gairah kerja, peluang untuk berprestasi, kejelasan deskripsi kerja, kepastian harapan, umpan balik kinerja dan imbalan dari kinerja. II.4.2. Pengukuran/Penilaian Kinerja Ada berbagai metode penilaian kinerja yang digunakan selama ini, sesuai dengan tujuan perusahaan yaitu mencari laba, maka hampir semua perusahaan mengukur kinerjanya dengan ukuran keuangan. Di sini pihak manajemen perusahaan cenderung hanya ingin memuaskan shareholders, dan kurang memperhatikan ukuran kinerja yang lebih luas yaitu kepentingan stakeholders. Atkinson, et.al. (1995) menyatakan pengukuran kinerja sebagai berikut: “Performance measurement is perhaps the most important, most misunderstood, and most difficult task in management accounting. An effective system of performance measurement contains critical performance indicator (performance measures) that (1) consider each activity and the organization it self from the customer’s perspective, (2) evaluate each activity using customer – validated measure of performance, (3) consider all facets of activity performance that affect customers and, therefore, are comprehensive, and (4) provide feed-back to help organization members identity problems and opportunities for improvement”. Pernyataan di atas mengandung makna bahwa penilaian kinerja sangat penting, kemungkinan memiliki salah pengertian, dan merupakan tugas yang paling sulit dalam akuntansi manajemen. Sistem penilaian kinerja yang efektif sebaiknya mengandung indikator kinerja, yaitu: (1) memperhatikan setiap aktivitas organisasi dan menekankan pada perspektif pelanggan, (2) menilai setiap aktivitas dengan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menggunakan alat ukur kinerja yang mengesahkan pelanggan, (3) memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang mempengaruhi pelanggan, dan (4) menyediakan informasi berupa umpan balik untuk membantu anggota organisasi mengenali permasalahan dan peluang untuk melakukan perbaikan. Menurut Mathis (2006: 251), Kinerja Karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada perusahaan antara lain: 1. Kuantitas kerja: Volume kerja yang dihasilkan 2. Kualitas kerja: Kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. 3. Pemanfaatan waktu: Penggunaan masa kerja yang disesuaikan dengan kebijaksanaan perusahaan. 4. Kerjasama: kemampuan menangani hubungan dalam pekerjaan. II.4.3. Manfaat Pengukuran Kinerja Adapun manfaat dari pengukuran kinerja adalah: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian personel secara maksimum. 2. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penghargaan personel, seperti: promosi, transfer, dan pemberhentian. 3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan personel dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan personel. 4. Menyediakan suatu dasar untuk mendistribusikan penghargaan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA