BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fleksibilitas
2.1.1 Pengertian
Fleksibilitas adalah kemampuan suatu jaringan atau otot untuk mengalami
pemanjangan semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup
gerak sendi yang penuh, tanpa disertai timbulnya rasa nyeri. Fleksibilitas
berkaitan erat dengan jaringan lunak, seperti ligamen, tendon dan otot, disamping
struktur tulang itu sendiri. Fleksibilitas juga berhubungan dengan ekstensibilitas
dari musculotendinous unit yang saling bersilangan sebagai dasar kemampuan
otot untuk rileks atau berubah bentuk dalam proses peregangan (Wismanto, 2011)
Ada dua jenis fleksibilitas, yaitu fleksibilitas statis dan fleksibilitas dinamis.
Fleksibilitas statis dikatakan sebagai mobilisasi pasif yang merupakan derajat
Range of Motion (ROM) dimana otot dan jaringan ikat sendi dapat diulur secara
pasif bergantung pada ekstensibilitas otot dan jaringan konektif yang melewati
dan mengelilingi sendi. Fleksibilitas pasif merupakan penunjang fleksibilitas
dinamis, tetapi tidak mutlak. Sedangkan fleksibilitas dinamis dikatakan sebagai
mobilitas aktif ROM, dimana otot berkontraksi secara aktif untuk gerakan satu
sendi, segmen, dan keseluruhan tubuh. Aspek fleksibilitas ini bergantung pada
derajat ROM sendi yang dihasilkan oleh kontraksi otot dan besarnya tahanan
jaringan yang terulur selama pergerakan aktif (Kisner and Colby, 2007).
1
2
Fleksibilitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya struktur sendi,
usia, jenis kelamin, latihan atau aktivitas, suhu tubuh, serta kehamilan (Wismanto,
2011). Menurut Frankl (1999) disebutkan bahwa terdapat beberapa faktor internal
dan eksternal yang mempengaruhi fleksibilitas, yaitu:
1. Faktor internal :
a. Sendi: sendi dalam tubuh manusia dikelilingi oleh membran sinovial dan
tulang rawan artikular yang berfungsi melindungi dan memelihara sendi
dan permukaan sendi. Meningkatkan luas gerak sendi dengan mobilitas
tertentu dapat meningkatkan fleksibilitas.
b. Ligamen: ligamen terdiri dari dua jaringan yang berbeda yakni putih dan
kuning. Jaringan ikat putih tidak melar, tetapi sangat kuat sehingga bahkan
jika tulang yang patah jaringan akan tetap di tempatnya. Sedangkan
jaringan kuning merupakan jaringan yang elastis sehingga dapat ditarik
jauh namun bisa kembali ke posisi semula.
c. Tendon: tendon tidak elastis bahkan kurang elastis. Tendon dikategorikan
sebagai jaringan ikat yang mendukung, mengelilingi, dan mengikat seratserat otot.
d. Jaringan areolar: merupakan jaringan yang permeable dan secara luas
didistribusikan ke seluruh tubuh. Jaringan ini bertugas sebagai pengikat
untuk semua jaringan lain.
e. Jaringan otot: jaringan otot terbuat dari bahan elastis yang diatur dalam
bundel dari serat paralel.
3
f. Reseptor peregangan: reseptor ini memiliki dua bagian yaitu sel spindle
dan golgi tendon.
2. Faktor eksternal :
a. Ukuran tubuh: orang dengan jumlah lemak tinggi (obesitas) akan menurun
fleksibilitasnya karena luas gerak sendinya menjadi terbatas.
b. Aktivitas: orang yang aktivitasnya banyak diam akan berpengaruh pada
fleksibilitasnya. Hal ini terjadi karena jaringan lunak dan sendi menyusut
sehingga kehilangan daya regang otot, dimana jika seseorang tidak aktif
maka otot-otot dipertahankan pada posisi memendek dalam waktu yang
lama.
c. Cedera: akibat adanya cedera pada sendi, otot, dan tulang maka seseorang
akan takut menggerakkan anggota gerak karena nyeri sehingga akan
berpengaruh terhadap fleksibilitasnya.
d. Usia: pengaruh usia terhadap fleksibilitas digambarkan seperti kurva.
Dimana diawali pada usia anak-anak
yang semakin meningkat
fleksibilitasnya namun sesudah remaja mulai menurun karena gaya hidup
yang tidak lagi aktif seperti saat usia anak-anak, apalagi pada usia dewasa
yang mana telah mulai muncul masalah-masalah degeneratif.
e. Jenis kelamin: secara umum wanita lebih fleksibel daripada laki-laki. Hal
itu dikarenakan faktor hormonal, dimana laki-laki memiliki hormon
testosteron yang memicu pertumbuhan dan pemendekan otot. Sedangkan
perempuan memiliki hormon estrogen yang dapat meningkatkan panjang
otot dan kelemahan sendi.
4
f.
Pengalaman: seseorang yang memiliki pengalaman berolahraga yang
membutuhkan gerakan dinamis yang besar akan memiliki jangkauan gerak
yang lebih baik daripada seseorang dengan gaya hidup biasa saja.
Fleksibiltas yang baik ditunjukkan dengan sendi dapat bergerak secara luas
gerak sendi yang penuh dan otot dapat berkontraksi secara konsentrik dan
eksentrik dengan maksimal ROM dan tanpa timbulnya rasa nyeri. Fleksibilitas
berperan penting dalam aktivitas sehari-hari. Fleksibilitas yang baik pada jaringan
atau otot serta sendi dapat meningkatkan kecepatan, koordinasi dan kelincahan,
mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pada otot atau sendi,
serta membantu dalam memperbaiki sikap tubuh (Lutan et al., 2005). Menurut
Budiharjo et al (2005) fleksibilitas yang baik akan mengurangi penggunaan energi
yang berlebihan saat melakukan suatu gerakan sehingga akan tercipta gerakan
yang luwes dan tidak kaku.
Penurunan fleksibilitas pada otot dan sendi akan menyebabkan gangguan
gerak fungsional. Fleksibilitas yang buruk akan menyebabkan keterbatasan dalam
melakukan gerakan, otot akan dipaksa untuk bekerja lebih keras untuk mengatasi
tahanan kegiatan yang dinamis dan berlangsung lama sehingga energi yang
diperlukan akan lebih besar, serta penurunan kecepatan dan kelincahan.
Penurunan fleksibilitas sendi atau otot banyak terjadi di masyarakat dan sering
tidak disadari. Namun, hal tersebut jika dibiarkan akan mengganggu aktivitas
sehari-hari serta yang lebih parahnya lagi akan menimbulkan gangguan
muskuloskeletal lainnya.
5
2.1.2 Fleksibilitas Otot Hamstring
Fleksibilitas otot hamstring sangat ditentukan dari panjang otot hamstring
itu sendiri. Apabila otot hamstring mengalami pemendekan maka fleksibilitas otot
tersebut juga akan menurun. Hal ini dapat terjadi karena suatu kondisi seperti
terjadinya kekakuan sendi dan pemendekan otot. Keadaan tersebut akan mudah
menimbulkan cedera yang biasa terjadi pada perut otot atau tendon daripada
hamstring, serta menyebabkan penurunan kekuatan dan keseimbangan otot
sehingga kontraksi menjadi tidak sinergis (Wiguna, 2015).
Penurunan fleksibilitas hamstring dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti pemendekan otot hamstring, cedera akut ataupun kronis pada otot
hamstring, menurunnya sendi panggul, aktivitas yang berlebihan, serta pola
latihan yang tidak benar (Miller, 2010). Penggunaan otot hamstring yang
berlebihan merupakan penyebab utama ketegangan pada otot hamstring. Hal ini
terjadi ketika otot ditarik melebihi kapasitasnya atau berkontraksi secara tiba-tiba
dengan beban yang berlebihan.
Menurunnya Fleksibilitas Hamstring merupakan temuan klinis yang umum
pada remaja. Brodersen (1994). mengamati bahwa 75% anak laki-laki dan 35%
anak perempuan berusia 10 tahun mengalami penurunan fleksibilitas paha
belakang (Hamstring). Harreby (1999). mengkonfirmasi penelitian ini pada
remaja usia 15 sampai 17 tahun. Penurunan
fleksibilitas paha belakang
dilaporkan dikaitkan dengan peningkatan prevalensi nyeri punggung, hernia
lumbar diskus, penurunan lordosis lumbal, penurunan ROM fleksi lumbal dan
meningkatkan ROM fleksi toraks, meningkat sudut kyphosis toraks pada remaja
6
dengan penyakit Scheuermann dan risiko yang lebih tinggi dari cedera otot
(Czaprowski et al, 2013).
2.2. Hamstring Tightness
Tightness pada otot merupakan suatu gambaran terjadinya keterbatasan
gerak akibat pemendekan adaptif dari jaringan kontraktil dan beberapa unsur
(element) dari non-kontraktil otot (Kisner and Colby, 2007). Terjadi
ketidakseimbangan kerja otot yang menyebabkan perubahan elastisitas pada otot
tersebut (Key, 2010). Menurut Lubis (2011) tightness adalah suatu keadaan
dimana terjadinya tumpang tindih antara filamen aktin dengan miosin dan tidak
dapat kembali ke posisi normal. Istilah ini disebut sebagai guarding spasm.
Hamstring tightness dapat dikatakan sebagai suatu kondisi dimana otot hamstring
mengalami gangguan elastisitas dan gangguan gerak akibat pemendekan yang
bersifat adaktif pada element otot (Amin, 2015).
Menurut penelitian Odunaiya et al (2005) mengatakan bahwa pemendekan
otot hamstring mengakibatkan meningkatnya tekanan patelo femoral syndrome.
Selain itu pemendekan otot hamstring juga mempengaruhi aktivitas berjalan
dimana penelitian Bing et al (2008) menunjukkan bahwa kecepatan pemanjangan
otot hamstring secara signifikan lebih tinggi selama fase menapak dibandingkan
fase mengayun, sehingga untuk aktivitas berjalan dengan efisien membutuhkan
fleksibilitas otot hamstring yang baik untuk meminimalkan cedera. Otot
hamstring yang mengalami pemendekan menyebabkan seseorang mudah untuk
terkena cedera (strain) dan dapat berpengaruh pada kekuatan dan keseimbangan
dari otot sehingga kerja dari otot tidak bisa maksimal dan sinergis (Gago, 2012).
7
Tightness pada otot menyebabkan terbatasnya gerak ROM secara normal.
Pada kasus – kasus tertentu fleksibilitas yang buruk dapat menjadi faktor utama
yang menyebabkan nyeri pada otot dan sendi. Masalah-masalah yang timbul
akibat dari pemendekan yang terjadi pada otot Hamstring yaitu:
1. Nyeri, dapat terjadi karena menurunnya fleksibilitas pada otot yang berarti
kemampuan otot untuk mengulur dan kembali ke bentuk semula mengalami
gangguan. Hal ini dapat terjadi karena otot tersebut jarang sekali atau bahkan
tidak pernah terulur secara maksimal sesuai dengan kemampuannya pada saat
seseorang melakukan aktivitas, baik itu tidur, duduk, berlutut, berdiri maupun
berjalan, yang menyebab-kan otot kehilangan kemampuan fleksibilitasnya
secara normal, sehingga bila terjadi penguluran pada otot tersebut, komponen
dalam otot (golgi tendon) secara otomatis akan memberikan reaksi
perlawanan yang menimbulkan nyeri pada saat dilakukan penguluran.
2. Keterbatasan gerak, akibat adanya rasa nyeri serta fleksibilitas otot Hamstring
yang menurun, tubuh secara otomatis akan membatasi gerakan-gerakan yang
akan mengulur otot Hamstring tersebut agar tidak timbul nyeri.
3. Penurunan lingkup gerak sendi lutut dapat terjadi karena adanya nyeri dan
keterbatasan gerak pada otot Hamstring sehingga dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari.
4. Kelemahan otot, reaksi tubuh untuk menghindari timbulnya rasa nyeri pada
otot Hamstring yaitu dengan membatasi gerakan penguluran penyebab nyeri
tersebut. Pembatasan gerakan yang terjadi menyebabkan otot Hamstring
8
sangat jarang atau tidak pernah terulur secara maksimal dan lama kelamaan
akan menyebabkan terjadinya kelemahan pada otot tersebut.
5. Gangguan postur, untuk menghindari rasa tidak nyaman/nyeri yang
mengganggu aktivitas, tubuh akan memposisikan dirinya pada posisi yang
berlawanan dengan tim-bulnya rasa nyeri, walaupun tidak dalam posisi yang
benar. Posisi yang salah yang dilakukan secara terus-menerus, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan dan menetap. Hal ini akan membentuk postur
tubuh yang asymetris dan gerakan yang dilakukan juga akan menjadi tidak
efisien (Wismanto, 2011).
Respon otot akan lebih cepat untuk mengalami pemendekan ketika bekerja
secara intensif. Jika otot tersebut tidak segera di stretch setelah bekerja maka otot
akan tetap memendek, tightness dan membuat otot pada sendi sisi yang
berlawanan bekerja lebih keras. Hal ini akan membuat otot yang bekerja lebih
sedikit menjadi lemah. Jika otot Hamstring yang memendek tetap dibiarkan, pola
jalan seseorang akan ikut berubah. Ini berarti gerakan pada sendi akan terbatas,
dan pembuluh darah terjepit sehingga sirkulasi terganggu (Irfan, 2012). Pada
kasus tightness ataupun pemendekan pada Hamstring, kerja Quadricep terlalu
besar. Hal ini akan meningkatkan beban pada beberapa sendi, terutama sendi
patello femoral dan menjadi masalah penting yang menyebabkan nyeri pada
bagian depan lutut dan fraktur penekanan pada patella dan tubercle tibia (Temelli,
2009).
9
2.3 Anatomi Biomekanik
2.3.1 Otot Hamstring
Otot Hamstring merupakan suatu group otot pada sendi hip (hip joint) yang
terletak pada sisi belakang paha yang terdiri dari 3 kumpulan otot diantaranya M.
Semitendinosus, M. Semimembranosus, dan M. Biceps Femoris (Gambar 2.1).
Group otot ini terletak pada superficial bagian posterior dari hip dan knee yang
melewati 2 persendian (biarticular) yaitu sendi panggul dan sendi lutut (LuqueSuarez, 2012).
M. Semitendinosus berasal dari caput bersama yaitu dari tuber ischiadicum
dan berjalan ke facies medialis tibiae bersama-sama dengan M. gracilis dan M.
sartorius untuk bergabung dengan pes anserinus superficialis. Disini juga terdapat
bursa anserina diantara permukaan tibia dan tempat perlekatan pada pes anserinus.
Otot ini bekerja pada dua sendi, yaitu ekstensi pada sendi panggul dan fleksi pada
sendi lutut serta rotasi medialis tungkai bawah. Persarafan: N. tibialis (L5-S2)
(Irfan dan Natalia, 2008).
M. Semimembranosus, berasal dari tuberositas ischiadium dan berinsertio
pada condylus medial tibia. Otot ini berhubungan erat dengan M. semitendinosus.
Di bawah ligamentum collaterale mediale, tendonya dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu bagian pertama berjalan ke anterior terhadap condy-lus medialis tibiae,
bagian kedua masuk ke fascia poplitea dan bagian ketiga melanjutkan diri ke
dinding posterior capsula ligamentum popliteum obliquum. Pembagian menjadi
tiga bagian ini dikenal sebagai pes anserinus profundus. Otot ini bekerja pada dua
sendi dan berfungsi mirip M. semitendinosus. Otot ini dapat melakukan ekstensi
10
sendi panggul dan fleksi sendi lutut dengan rotasi medialis pada sendi lutut. Di
antara tendo tersebut (sebelum terbagi-bagi) dan caput mediale M. gastrocnemius
terdapat bursa musculi semimembranosi, yang kadang-kadang berhubungan
dengan bursa subtendinei mus-culi gastrocnemii medialis. Persarafan: N. tibialis
(L5-S2) (Irfan dan Natalia, 2008)
M. biceps femoris mempunyai dua caput, yaitu caput longum dan caput
breve. M. biceps femoris caput longum bekerja pada dua sendi, berasal dari
tuberositas ischiadicum bersama-sama dengan M. semitendinosus. M. biceps
femoris caput breve hanya bekerja pada satu sendi, berasal dari sepertiga tengah
linea aspera labium laterale dan lateralis terhadap septum intermusculare.
Penyatuan caput membentuk M. biceps femoris yang berinsertio pada caput
fibulae. Diantara otot dan ligamentum collaterale fibulare sendi lutut terdapat
bursa subtendinea musculi bicepitis femoris inferior. Caput longum biceps
femoris menghasilkan gerak ekstensi (retroversi) sendi panggul. M. biceps
femoris melakukan fleksi sendi lutut dan rotasi lateralis tungkai bawah yang
fleksi. Hanya terjadi rotasi lateralis pada sendi lutut dan karena itu melawan
semua otot rotator medialis. Persarafan: N. tibialis (L5-S2) untuk caput longum,
N. peroneus communis (S1-S2) untuk caput breve (Irfan dan Natalia, 2008).
11
Gambar 2.1 Struktur Anatomi Otot Hamstring (Cael, 2010)
2.3.2 Persarafan Otot Hamstring
Gerak pada otot mendapatkan perintah dan informasi baik sensoris maupun
motoris dari sistem saraf yang menghubungkan. Hamstring memiliki komponen
innervasi fungsi diberbagai area bagian, misalnya pada otot biceps femoris, antara
otot biceps femoris long head dan biceps femoris short head memiliki inervasi
yang berbeda bahkan setiap orangpun bisa berbeda pola inervasinya.
Persarafan otot Biceps femoris, caput longum dipersarafi oleh pars tibialis
dari n. Ischiadicus; caput brevis dipersarafi oleh pars peroneus communis dari n.
Ischiadicus. Otot semitendinosus dipersarafi oleh pars tibialis dari n. Ischiadicus.
Otot semimembranosus dipersarafi oleh pars tibialis dari n. Ischiadicus.
Penelitian yang dilakukan oleh Woodley dan Mercer (2005) yang menguji tentang
Hamstring Architecture and Innervation pada 6 cadaver yang terbagi 3 cadaver
12
wanita dan 3 cadaver pria, semua cadaver tersebut usianya sekitar 66-88 tahun
ketika meninggal.
Woodley dan Mercer menemukan pola inervasi (Pattern of Innervation)
yang berbeda pada otot biceps femoris long head, perbedaannya terkait asal
cabang saraf (nerve branch originated) di 6 spesimen tersebut, mereka
menemukan 4 diantaranya bercabang dari saraf sciatic (sciatic nerve) dan 2 dari
spesimen lainnya dari saraf tibialis (tibialis nerve). Pada otot biceps femoris short
head 4 spesimen berasal dari saraf peroneal (peroneal nerve) sedangkan 2
spesimen yang lainnya berasal dari cabang saraf sciatic (sciatic nerve), lalu untuk
semitendinosus dan semimembranosus muscle innervation untuk ketika spesimen
merupakan percabangan dari saraf tibial (tibialis nerve) dan ketiga spesimen
lainnya dari percabangan saraf sciatic (sciatic nerve).
2.3.3 Biomekanik Otot Hamstring
a. Osteokinematik
Osteokinematik adalah gerak sendi yang dilihat dari gerak tulangnya saja.
Pada osteokinematik hip joint gerakan yang terjadi berupa gerak rotasi spin dan
rotasi putar. Sendi paha (hip joint) merupakan termasuk dalam ball and socked
joint dengan tiga derajat kebebasan gerak. Fleksi-ekstensi terjadi pada bidang
sagital di sekitar axis medio-lateral dengan gerak rotasi spin tidak murni.
Abduksi-adduksi terjadi dalam bidang frontal di sekitar axis antero-posterior
dengan gerak rotasi spin. Eksternal rotasi-internal rotasi terjadi pada bidang
transversal di sekitar axis vertikal dengan gerak rotasi spin pada posisi tungkai
ekstensi. Sirkumduksi merupakan gabungan gerakan dimana tungkai dianggap
13
sebagai per-mukaan kerucut yang tidak beraturan dan apexnya terletak pada caput
femoris. ROM pasif gerak fleksi umumnya sekitar 90°-140°. Ekstensi berkisar
10°-30° dalam batas nor-malnya. ROM pasif gerak abduksi umumnya sekitar 30°
dan gerak adduksi berkisar 15° dalam batas normalnya. Gerak rotasi yang terbesar terjadi pada posisi hip ekstensi, dimana eksternal rotasinya sebesar 90° dan
internal rotasinya sebesar 80° (Wismanto, 2011).
Sendi tibiofemoral merupakan sendi kondiloid ganda dengan dua derajat
kebebasan gerak. Fleksi-ekstensi terjadi pada bidang sagi-tal di sekitar axis
medio-lateral dengan gerak rotasi ayun. Eksternal rotasi-internal rotasi terjadi
pada bidang transversal di sekitar axis vertikal dengan gerak rotasi spin pada
posisi kaki menekuk. Inkongruen dan asimetris dari sendi tibiofemoral
dikombinasikan dengan aktifitas otot dan penguluran ligamen akan menghasilkan
gerak rotasi secara otomatis. Gerak rotasi yang terjadi secara otomatis ini terdapat
secara primer pada gerak ekstensi yang ekstrim sebagai gerak perhentian dari
kondilus lateral yang pendek tetapi terjadi secara kontinue pada condilus yang
lebih panjang. Selama akhir dari ROM gerak ekstensi aktif, rotasi yang terjadi
secara otomatis diha-silkan seperti mekanisme dari putaran screw (mur) atau
penguncian (locking) dari lutut. Untuk memulai gerak fleksi, penguncian lutut
harus terbuka dengan rotasi yang berlawanan. ROM pasif gerak fleksi umumnya
sekitar 130°-140°. Hiperekstensi berkisar 5°-10° dalam batas normalnya. Gerak
rotasi yang terbesar terjadi pada posisi lutut fleksi 90°, dimana lateral rotasinya
sebesar 45° dan medial rotasinya sebesar 15° (Irfan dan Natalia, 2008).
14
Gambar 2.2 Gerakan Hip joint (Neumann, 2002)
b. Arthrokinematik
Arthrokinematik adalah gerakan yang terjadi pada permukaan sendi. Pada
arthrokinematik gerakan yang terjadi berupa gerak roll dan slide. Dari kedua
gerak tersebut dapat diuraikan lagi menjadi gerak traksi-kompresi, translasi, dan
spin.
Caput femoris berbentuk konveks seperti bola yang melekat pada collum
femoris, dengan arahnya adalah menghadap anterior, medial, dan superior.
Sedangkan asetabulum berbentuk konkaf dengan arahnya menghadap anterior,
lateral, dan inferior. Pada setiap gerakan hip joint, caput femoris selalu bergerak
(slide) berlawanan arah dengan gerakan angular (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
15
Permukaan sendi pada femur lebih besar dari pada tibia, ini biasanya terjadi
pada saat kondisi weight bearing. Kondilus femoral harus melakukan gerak
rolling dan sliding untuk tetap berada di atas tibia. Pada gerak fleksi dengan
weight bearing, kondilus femoris rolling ke arah posterior dan sliding ke arah
anterior. Pada gerak ekstensi, kondilus femoralis rolling ke arah anterior dan
sliding ke arah posterior. Pada akhir gerak ekstensi, gerakan dihentikan pada
kondilus femoralis lateral, tapi sliding pada kondilus medial tetap berlanjut untuk
menghasilkan penguncian sendi.
Pada gerakan aktif non weight bearing, permukaan sendi pada tibia yang
konkaf mela-kukan gerak slide pada kondilus femoral yang konveks dengan arah
gerakan searah sumbu tulang tibia. Kondilus tibia melakukan gerak slide ke arah
posterior pada kondilus femoral saat fleksi. Selama ekstensi dari gerak full fleksi
kondilus tibia bergerak ke arah anterior pada kondilus femoral. Patela bergeser ke
arah superior saat ekstensi, dan bergeser ke inferior saat fleksi. Beberapa gerak
rotasi patela dan tilting yang terjadi berhubungan dengan gerak sliding saat fleksi
dan ekstensi (Irfan dan Natalia, 2008).
Gambar 2.3 Gerakan Caput Femur dan Asetabulum Hip joint
(Sumber: Neumann, 2002)
16
Tabel 2.1 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika
Gerakan angular femur
Arthrokinematika caput femur
terhadap acetabulum
Fleksi
Posterior/spin
Ekstensi
Anterior/spin
Abduksi
Inferior
Adduksi
Superior
Endorotasi
Posterior
Eksorotasi
Anterior
(Sumber: Anshar dan Sudaryanto, 2011)
c. Biomekanik Otot Skeletal
Otot hamstring merupakan salah satu jenis otot skeletal yang berfungsi
sebagai penggerak tubuh bagian bawah (lower limb). Dimana setiap otot skeletal
terdiri dari banyak serabut otot yang berbentuk seperti benang/serabut. Membran
yang membungkus serabut otot dinamakan dengan sarkolema. Sarkolema
berbentuk seperti neuron yang mengandung potensial membran. Neuron tersebut
akan mengeluarkan impuls yang berjalan ke sarkolema yang mengakibatkan sel
otot berkontraksi. Transverse tubulus merupakan lubang yang ada pada sarkolema
yang berfungsi menghantarkan impuls dari sarkolema ke dalam sel terutama pada
struktur lain di dalam sel yang menyelubungi miofilamen yang disebut
sarcoplasmic reticulum. Tranverse tubules mempunyai lubang yang berhubungan
dengan retikulum sarkoplasmik dalam menghantarkan impuls serta tempat
penyimpanan ion kalsium. Antara retikulum sarkoplasmik dengan sitoplasma sel
otot disebut sarkoplasma. Pada sarkoplasma tersebut terjadi pemompaan ion
kalsium. Ketika impuls saraf ada pada membran sarcoplasmic reticulum maka
17
terjadi pembukaan membran yang memungkinkan ion kalsium menuju pada
sarkoplasma yang akan mempengaruhi miofibril untuk berkontraksi (Fatmawati,
2012).
Sarkoplasma pada setiap serabut otot mengandung sejumlah nukleus dan
mitokondria, serta sejumlah benang/serabut miofibril yang berjalan paralel sejajar
satu sama lain. Miofibril mengandung 2 tipe filamen protein yang susunannya
menghasilkan karakteristik pola striated sehingga dinamakan otot striated atau
otot skeletal (Anshar dan Sudaryanto, 2011). Miofibril terbuat dari molekul
protein yang panjang disebut miofilamen. Miofilamen terdiri dari 2 jenis yaitu
thick miofilamen yang berwarna lebih gelap dan thin miofilamen yang berwarna
lebih terang. Kedua jenis miofilamen tersebut membentuk sub unit yang saling
berhubungan dalam miofibril. Sub unit tersebut dinamakan sebagai sarkomer yang
merupakan unit struktural dasar dari serabut otot. Di dalam sarkomer, thick
miofilamen berada di tengah dan diapit oleh thin miofilamen. Jika dilihat dalam
mikroskopis daerah tengah sarkomer akan terlihat lebih gelap yang disebut
dengan I-band sedangkan daerah pinggir terlihat lebih terang yang disebut dengan
A-band. Bagian yang memisahkan antara kedua daerah tersebut adalah Z-line
(Sherwood, 2006).
Kepala miosin mempunyai dua tempat tautan yaitu ATP binding site dan
aktin binding site. Pergeseran miosin yang terjadi disebabkan karena kepala dari
miosin bertemu dengan molekul aktin di dalam miofilamen. Thin miofilamen
terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, troponin dan tropomiosin. Pada otot
yang rileks, molekul miosin menempel pada benang molekul tropomiosin, ketika
18
ion kalsium mengisi troponin maka akan mengubah bentuk dan posisi troponin.
Perubahan tersebut membuat molekul tropomiosin terdorong dan menjadikan
kepala miosin bersentuhan dengan molekul aktin. Persentuhan tersebut membuat
kepala miosin bergeser. Pada akhir gerakan ATP masuk dalam crossbridge dan
memecah ikatan antara aktin dan miosin. Kepala miosin kembali bergerak ke
belakang dan ATP dipecah sebagai ADP + P. Kepala miosin kembali berikatan
dengan molekul aktin yang lain. Ikatan ini membuat terjadinya lagi gerakan aktin
terdorong oleh kepala miosin (Fatmawati, 2012).
Relaksasi otot skeletal akan terjadi apabila impuls saraf melalui end plates.
Akibat dari ketiadaan impuls tersebut maka tidak ada ion kalsium yang masuk ke
dalam sitoplasma karena pintu masuk kalsium menjadi tertutup sehingga kalsium
akan kembali masuk ke dalam sarcoplasmic reticulum. Selanjutnya akibat
kembalinya kalsium ke dalam sarcoplasmic reticulum menyebabkan posisi
troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali normal dan
memutus hubungan antara kepala miosin dan aktin. Otot akan kembali rileks pada
saat kepala miosin dan aktin tidak lagi saling berhubungan sehingga tak ada lagi
pergeseran molekul.
19
Gambar 2.4 Struktur Otot dan Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi Otot
(Sherwood, 2006)
Seperti gambar diatas, mekanisme terjadinya kontraksi otot dimulai dengan
adanya suatu beda potensial pada motor end plate akibat suatu stimulus sehingga
tercetusnya suatu potensial aksi pada serabut otot. Menurut Azizah dan Hardjono
(2006), ada 2 tipe serabut yang utama yaitu serabut slow-twitch dan serabut fasttwitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat di dalam suatu otot tunggal.
1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) : disebut juga red muscle karena
berwarna lebih gelap dari otot yang lainnya. Otot ini memiliki karakteristik
tertentu, yaitu menghasilkan kontraksi yang lambat (kecepatan kontraktil yang
lambat), banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria, kekuatan motor
unit yang rendah, tahan terhadap kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang
tinggi dan berfungsi untuk mempertahankan sikap.
2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) : disebut juga white muscle
karena berwarna lebih pucat. Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan
kontraksi yang cepat (kecepatan kontraktil yang cepat), tidak tahan terhadap
kelelahan (cepat lelah), memiliki kapasitas aerobik yang rendah, banyak
20
mengandung miofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan berfungsi untuk
melakukan gerakan yang cepat dan kuat.
3. Penyebaran depolarisasi akan terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan
pelepasaaan Ca2+ dari sisterna terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi
Ca2+ ke filamen tebal dan filamen tipis. Selanjutnya terjadi pengikatan Ca2+
oleh troponin C, yang membuka tempat pengikatan miosin dari aktin. Proses
tersebut akan menyebabkan terbentuknya ikatan silang antara aktin dan miosin,
serta akan menyebabkan timbulnya suatu kontraksi otot. Sedangkan pada tahap
relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum sarkoplasmik,
sehingga terjadi pelepasan Ca2+ dari troponin yang akan mengakibatkan
interaksi antara aktin dan miosin berhenti.
Kontraksi otot skeletal ada dua yaitu kontraksi isotonik dan isometrik.
Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik. Kontraksi
konsentrik merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi
gerakan pada sendi sedangkan kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada
saat memanjang untuk menahan beban. Kontraksi isometrik merupakan kontraksi
otot yang tidak disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011).
2.2.4 Peran Otot Hamstring pada Otot Postural
Hamstring yang berfungsi sebgaai stabilisator postural menurut Wismanto
(2011) ternyata didukung oleh teorinya Hoskins dan Pollard (2005) yang
mengatakan bahwa otot hamstring terkoneksi dengan otot-otot yang berada di
punggung belakang yang merupakan komponen stabilisator postur tubuh. Origo
biceps femoris long head yang melekat pada ischial tuberosity merupakan
21
kepanjangan dari ligament sacrotuberous yang posisinya menyilang di Os. Sacrum
dan melekat pada Thoracolumbar fascia (TLF). TLF terhubung dengan beberapa
jaringan contractile dan non-contractile lainnya seperti Latisimus Dorsi,
Transversus Abdominus, Internal Oblique, Rhomboid, Splenius Capitis, Cervicus
trendon, Lumbar Vertebrae, dan Posterior Superior Illiac Spines. Selain itu biceps
femoris juga terkoneksi kuat dengan otot Peroneus Longus yang melekat di Os.
Fibula yang bertugas sebagai peggerak ankle. Sehingga pada intinya otot
hamstring secara fungsional terhubung dengan lumbar-pelvic spine, upper torso,
dan shoulder lalu apabila otot hamstring mengalami tightness maka akan
berdampak pada TLF, dan mengganggu pergerakan dari Sacroilliac Joint (SIJ).
2.4 Etiologi Hamstring Tightness
Hamstring tightness merupakan gangguan elastisitas dari otot Hamstring.
Ada beberap penyebab yang mengakibatkan terjadinya tightness pada otot
Hamstring. Berdasarkan dari beberapa teori-teori yang ada menyatakan penyebab
otot Hamstring mengalami tightness dan mengalami gangguan fleksibilitas, yaitu
antara lain :
1. Overuse : aktivitas yang terlalu belebihan pada otot Hamstring akan membuat
otot tersebut mengalami kelelahan. Page et al (2010) berpendapat bahwa yang
menyebabkan otot menjadi kaku (tight) adalah overuse dan trauma otot,
dikarenakan hal tersebut akan menyebabkan ischemia pada beberapa serabut
otot yang lainnya, sehingga akan terganggunya sirkulasi nutrien pada area
serabut otot sekitarnya.
22
2. Inactivity : selain overuse, terjadinya tightness pada otot dapat disebabkan
juga akibat kurangnya aktivitas. Hal tersebut dikarenakan inactivity akan
menyebabkan terjadinya perubahan secara fisiologis dalam otot, seperti
misalnya : terjadi penurunan neural input pada serabut otot yang
menyebabkan massa otot berubah, perubahan distribusi metabolisme
(metabolic pathways) dalam otot, menurunnya massa jenis pembuluh darah
kapiler (capillary density) dalam otot, dan semua hal tersebut akan
mengakibatkan penurunan elastisitas pada otot (Lennard and Crabtree, 2005).
3. Muscle imbalance : ketidak seimbangan pada otot yang dimaksud yaitu
terjadinya kompensasi antar kerja otot, contohnya jika otot-otot punggung
bawah mengalami kelemahan maka otot Hamstring dan gluteal akan menarik
pelvic berputar kearah posterior menyebabkan otot Hamstring dan gluteal
terjadi peningkatan tonisitas, begitu juga otot-otot yang berada di area
abdominal akan menarik crista pubica tempat insertio dari otot rectus
abdominus yang menyebabkan otot quadriceps dalam keadaan eksentrik
(Page et al, 2010).
4. Postural disfunction : gangguan pada fungsi postural sangat berkaitan dengan
postural habits, maksudnya keadaan postur dalam rutinitas individu seharihari (Kisner and Colby, 2007). Contohnya dalam posisi duduk yang tidak
baik akan menyebabkan kelengkungan posisi kurva vertebra lumbal akan
mengalami perubahan. Perubahan tersebut yakni kurva lumbal menjadi flat.
Dan apabila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan perubahan postur
pada bagian lainnya, seperti misalnya posisi dagu akan terlalu menjorok ke
23
arah anterior (neck forward) dan kedua bahu akan mengalami posisi protraksi
serta pelvic akan berputar ke arah posterior (Black et al, 1996), dan kita
ketahui sebelumnya apabila posisi pelvic berputar ke arah posterior akan
menyebabkan peningkatan tensitas pada otot Hamstring dan apabila menjadi
kebiasaan akan beresiko mengalami tightness dan shortness pada otot
tersebut sehingga fleksibilitas dari otot Hamstring menjadi terganggu.
2.5 Patofisiologi Hamstring Tightness
Dalam tubuh manusia terdapat suatu reaksi yang berantai (chain reactions),
hal tersebut menyebabkan terdapatnya keterkaitan penyebab satu dengan yang
lainnya. Tubuh memiliki fungsi yang saling berkaitan dari satu sistem ke sistem
lain, karena tidak ada suatu sistem dalam tubuh manusia yang bekerja secara
independent (Page et al, 2010).
Page et al (2010) menjelaskan beberapa komponen sistem Chain Reactions
yang terdiri dari Articular Chains, Muscular Chains, dan Neurological Chains.
Articular Chains berfungsi untuk memelihara, mengatur dan mempertahankan
posture serta gerakan sistem skeletal secara menyeluruh. Muscular Chains
memiliki fungsi sebagai penyiap gerakan dan stabilisasi melalui kerja otot yang
sinergis antar tiap otot dan jaringan fascial. Sedangkan Neurological Chains
berfungsi menyediakan kontrol dalam gerakan seperti reflek mempertahankan
suatu gerakan (protective reflexes), perkembangan progresi dari locomotor sistem
atau Neurodevelopmental motor progression, dan mengatur sensorimotor sistem
dalam suatu gerakan. Ketiga sistem chain reactions ini merupakan suatu
24
komponen kesatuan yang disebut Neuromusculoskeletal yang berfungsi dan
bertanggung jawab atas gerak fungsional tubuh.
Otot spasm merupakan kontraksi berkepanjangan dari otot dalam merespon
adanya perubahan sirkulasi metabolisme yang terjadi ketika otot dalam keadaan
terus kontraksi (Kisner et al., 2007). Otot yang berkontraksi secara terus menerus
akan berada pada saat yang namanya kelelahan otot. Kondisi dimana ATP dipakai
secara terus menerus sedangkan produksi ATP tidak berimbang. Tanpa adanya
ATP yang cukup pada muscle fiber maka fungsi dari cross-bridge dan ion
transport tidak berjalan normal. Kelelahan otot dapat menjadi ekstrime jika
kontraksi berkepanjangan sedangkan ATP yang diproduksi dengan pemakaian
tidak seimbang sehingga otot akan mengalami kontraktur. Kontraktur otot terjadi
akibat tidak mampu
melakukan kontraksi
relaksasi
dan menyebabkan
pemendekan otot (Guyton and Hall, 2006; Seeley et al., 2006).
Pada pemendekan hamstring dalam jangka waktu yang lama akan
berpengaruh pada kestabilan otot-otot disekitarnya karena sifat kerja dari otot
seperti mata rantai antara otot yang satu dengan yang lain saling berhubungan.
Otot-otot disekeliling akan bekerja over karena menggantikan fungsi kerja otot
yang memendek sehingga menimbulkan reaksi yang dinamakan kompensasi.
Gerakan yang timbul akibat kompensasi menyebabkan pergerakan dari persendian
menjadi tidak selektif. Efek dari pergerakan yang tidak selektif dalam jangka
waktu yang lama berakibat otot-otot disekitar ikut mengalami pemendekan
(Shumway-Cook, 2007).
25
Otot hamstring berperan dalam gerakan fleksi lutut, ekstensi hip, serta
gerakan eksternal dan internal rotasi hip. Otot hamstring merupakan jenis otot tipe
I atau tonik, dimana apabila terjadi suatu patologi maka otot hamstring akan
mengalami penegangan dan pemendekan atau kontraktur. Panjang otot hamstring
berkaitan erat dengan fleksibilitas otot, dimana apabila suatu otot mengalami
pemendekan maka fleksibilitas otot tersebut juga akan mengalami penurunan.
2.6 Pemeriksaan Fleksibilitas Otot Hamstring
Pemeriksaan fleksibilitas termasuk latihan fleksi dan ekstensi. Fleksi dimana
sudut tubuh dan artikulasi yang menurun melalui gerakan dan ekstensi dimana
sudut tubuh dan artikulasi meningkat melalui gerakan. Pada kondisi hamstring
tightness dan mengalami gangguan fleksibilitas hamstring pemeriksaannya dapat
dilakukan dengan manual menggunakan sit and reach test (SRT) (Gambar ), dan
back saver sit and reach test (BSSRT) (Lopez-Minarro, 2009; Lopez-Minarro,
2012; Gago, 2013), dan staright leg raising (SLR) test. SRT merupakan alat ukur
selain digunakan untuk pemeriksaan fleksibilitas hamstring juga dapat digunakan
untuk pemeriksaan fleksibilitas punggung belakang (low back). Dalam penelitian
yang dilakukan Lopez-Minarro (2009) menunjukkan hasil bahwa SRT lebih valid
dibandingkan BSSRT. Penelitian tersebut dilakukan pada 143 sample yang terdiri
dari 67 wanita dan 76 pria dengan rata-rata usia 23 tahun, berat badan dengan
rata-rata 75 kg dan tinggi badan rata-rata sampel 1.76 m. Maka dari itu penulis
akan menggunakan SRT sebagai alat ukur dalam penelitian ini.
26
2.7 Sit and Reach Test (SRT)
2.7.1 Pengertian Sit and Reach Test (SRT)
Sit and Reach Test (SRT) adalah standar pemeriksaan untuk memeriksa
fleksibilitas otot hamstring dan otot punggung bawah (low back) (Glynn and
Fiddler, 2009). SRT sering digunakan untuk mengevaluasi ekstensibilitas dari otot
hamstring karena prosedurnya simple, mudah dilakukan, membutuhkan perlakuan
ketrampilan minimal dan sangat berguna dalam evaluasi skala ekstensibilitas
(Panteleimon et al., 2010). Sedangkan pendapat lain dari Quinn (2014) SRT
merupakan metode pengukuran untuk mengukur fleksibilitas dari otot hamstring
dan punggung bawah yang menggunakan media berupa box terbuat dari papan
atau metal yang tingginya 30 cm, lalu di atas box tersebut diletakkan penggaris
ukut yang panjangnya 26 cm keluar dari box dan -26 cm sampai ke ujung dari box
tersebut (Gambar 2.5)
Gambar 2.5 Sit and Reach Test box (Panteleimon et al, 2010)
27
2.7.2
Prosedur Pengukuran Sit and Reach Test (SRT)
Sit and Reach Test menurut Davis et al (2000) terbagi menjadi beberapa
klasifikasi normal berdasarkan kriteria usia (Tabel 2.2). Dapat dilihat bahwa tabel
tersebut menjelaskan klasifikasi berdasarkan kriteria usia ≥ 20 tahun pada wanita
nilai “Baik Sekali” adalah >35 cm, nilai “Baik” adalah 32 – 35 cm, nilai “Sedang”
adalah 30 – 31 cm, nilai “Kurang” adalah 25 – 29 cm, nilai “Sangat Kurang” <25
cm.
Tabel 2.2 Klasifikasi Normal Pengukuran Sit and Reach Test
Flesibilitas Statis (cm)
Klasifikasi fleksibilitas
Usia 16 – 19 Tahun
Usia ≥ 20 Tahun
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Baik Sekali
>14
>15
>28
>35
Baik
11 – 14
12 – 15 24 – 28
32 – 35
Sedang
7 – 10
7 – 11 20 – 23
30 – 31
Kurang
4–6
4–6
17 – 19
25 – 29
Sangat Kurang
<4
<4
<17
<25
Sumber Davis et al; Physical Education and the Study of Sport (2000)
Prosedur SRT pada saat pengukuran dilakukan dengan sampel duduk di
lantai dengan lutut ekstensi penuh dan pergelangan kaki posisi normal terhadap
box, kaki tanpa menggunakan alas (sepatu atau sandal). Kemudian sampel
diperintahkan untuk menempatkan satu tangan di atas tangan yang satunya lagi
sehingga ujung-ujung jari tangan terlihat seperti bertingkat. Selanjutnya dengan
perlahan-lahan tangan maju ke arah depan sejauh mungkin sambil menjaga lutut
tetap ekstensi, dan menyentuh permukaan alat ukur. Pengukuran dilakukan
sebanyak 3x pengulangan dan diambil nilai rata-rata, SRT skor (cm) tercatat
28
sebagai posisi akhir dari ujung jari (Gambar 2.6) (Quinn, 2008; Pantaleimon,
2010).
Gambar 2.6 Sit and Reach test (Lopez-Minarro et al., 2009 ; Lopez-Minarro et al.,
2012 ; Gago, 2013)
2.8 Penatalaksanaan Hamstring Tightness
2.8.1 Stretching
1. Pengertian
Stretching adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
suatu manuver terapeutik yang bertujuan untuk meningkatkan ekstensibilitas dari
jaringan lunak yang mengalami pemendekan. Stretching merupakan penguluran
otot yang akan membantu meningkatkan fleksibilitas dan mobilitas otot serta
memaksimalkan Range of Motion (ROM) dari persendian. Umumnya stretching
dibagi menjadi dua kelompok yaitu aktif stretching dan pasif stretching. Beberapa
manfaat dari stretching diantaranya (Kisner and Colby, 2007) :
a. Memperlancar aliran darah melalui otot-otot aktif
b. Meningkatkan pertukaran oksigen dalam hemoglobin
c. Memudahkan otot-otot berkontraksi secara lebih cepat dan efisien
29
d. Mengurangi adanya ketegangan pada otot
e. Terjadi peningkatan kondisi tubuh secara psikologis
f. Dapat meningkatkan kebugaran fisik, dapat mengurangi risiko keseleo dan
cedera otot.
2. Neurofisiologi Jaringan Kontraktil
Neurofisiologi dari muscle-tendon unit berpengaruh pada respon otot saat
diberikan peregangan dan efektifitas saat diberikan intervensi peregangan pada
otot memanjang. Ada 2 organ sensori dari muscle-tendon unit yang berperan pada
saat otot mendapat peregangan yaitu muscle spindle dan golgi tendon organ.
Kedua organ tersebut merupakan mechanoreceptor yang menyampaikan
informasi ke system saraf pusat tentang apa yang terjadi pada muscle-tendon unit
dan memberikan respon pada otot saat terjadi peregangan (Kisner et al., 2007).
a. Muscle Spindle Organ
Muscle spindle organ adalah salah satu organ sensori yang besar dari
muscle unit dan sensitifnya cepat terhadap peregangan. Fungsi utama dari
muscle spindle adalah menerima dan menyampaikan tentang perubahan
panjang otot dan velocity dari perubahan pemanjangan (Kisner et al., 2007).
Bagian-bagian dari muscle spindle diantaranya afferent sensory fibers
ending, efferent motor fibers ending, dan intrafusal fibers (muscle fibers).
Intrafusal dan extrafusal adalah pemyusun utama dari skeletal muscle.
Intrafusal muscle fiber berhubungan dengan extrafusal muscle fiber pada
bagian ujung-ujung dari intrafusal. Ketika otot mendapat peregangan bagian
intrafusal muscle fiber yang terstimulasi dan hanya pada bagian unung-
30
ujungnya terstimulasi, sedangkan bagian central tidak terstimulasi. Jika
bagian central terstimulasi maka akan menimbulkan efek kontraksi
memanjang pada otot tersebut (Kisner et al., 2007).
Intrafusal muscle fiber dipersarafi oleh gamma motor neuron. Sedangkan
extrafusal muscle fiber dipersarafi oleh alpha motor neuron. Pada muscle
fiber terdapat 2 tipe yaitu type Ia fiber (primary stretch receptor) dan type II
fiber (secondary stretch receptor). Type Ia fiber sensitive terhadap gerakan
cepat dan menstimulasi peregangan muscle fiber type tonic, sedangkan type II
fiber hanya menstimulasi muscle fiber type tonic (Kisner et al., 2007).
b. Golgi Tendon Organ (GTO)
GTO adalah organ sensori yang letaknya dekat dengan musculotendinous
junction pada extrafusal muscle fiber. Fungsi dari GTO adalah untuk
memonitor perubahan tension dari muscle-tendon units. Organ tersebut
terbentuk dari anyaman-anyaman kolagen dan memberikan informasi sensori
melalui serabut saraf Ib. Sensoris organ ini sensitif terhadap perubahan
tegangan pada muscle-tendon unit baik pada saat gerakan peregangan pasif
maupun kontraksi secara aktif selama gerakan normal. Ketika tegangan otot
berlebih, maka GTO aktif menghambat aktifitas dari alpha motor neuron dan
menurunkan tegangan dari muscle-tendon unit yang diregang sebagai bentuk
dari mekanisme proteksi diri (Kisner et al., 2007).
3. Respon Mekanik dan Neurofisiologi Otot terhadap Stretching
Stretching yang diberikan pada otot yang mengalami pemendekan maka
akan memiliki pengaruh yang pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin
31
dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer
memanjang dan bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini
hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan
Respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan
sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot
terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari beberapa sarkomer
yang terletak sejajar dengan serabut otot.
Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen
aktin dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan
pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mem-punyai kemampuan
elastisitas jika diregang-kan. Ketika otot secara pasif diregang, maka pemanjangan
awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat
secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sar-komer
akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke
posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas.
Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur
muscle spindle dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang dengan sangat cepat,
maka serabut afferent primer merangsang α (alpha) motor-neuron pada medulla
spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu mening-katkan
ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch
refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan seca-ra lambat pada otot, maka golgi
tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga
32
memberikan pemanjangan pa-da komponen elastik otot yang paralel (Wismanto,
2011).
4. Indikasi dan Kontraindikasi Stretching
Menurut Irfan dan Natalia (2008), dalam mengaplikasikan stretching pada
otot terdapat beberapa indikasi dan kontraindikasinya, antara lain :
Indikasi :
a. Miostatik kontraktur: merupakan kasus yang paling sering terjadi biasanya
tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan dapat diatasi
dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang pendek misalnya pada
otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastroknemius.
b. Scar Tissue Contracture Adhession: paling sering terjadi pada kapsul sendi
bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien
cenderung melaku-kan imobilisasi akibatnya kadar glikoamino-glikans dan
air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi
berkurang.
c. Fibrotic Adhession: kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena
biasanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibro-tik sepeti pada kondisi
tortikolis.
d. Ireversibel Kontraktur: biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup
gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual
tidak menghasilkan dampak yang baik.
33
e. Pseudomiostatik Kontraktur: Pada umum-nya diakibatkan gangguan pada
susunan
saraf
pusat
sehingga
mengakibatkan
gang-guan
sistem
muskuloskeletal.
Kontraindikasi :
a. Terdapat fraktur yang masih baru pada daerah hip joint.
b. Post immobilisasi yang lama karena otot sudah kehilangan tensile strength.
c. Ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi akut.
2.9 Macam-macam Metode Stretching
2.9.1 Contract Relax (CR)
1. Pengertian
Contract relax merupakan salah teknik proprioceptive neuromuscular
fascilitation (PNF) yang melibatkan kontraksi isotonik yang optimal dari
kelompok otot antagonis yang mengalami pemendekan, dilanjutkan dengan
relaksasi otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition) (Kuntono dkk., 2002).
Contract relax merupakan kombinasi dari tipe stretching isometrik dengan
stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract relax yang dilakukan
memberikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan kemudian
dilanjutkan dengan relaksasi dan stretching pasif pada otot tersebut. Adapun
tujuan dari pemberian contract relax adalah untuk memanjangkan/ mengulur
struktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia tendon dan ligamen yang
memendek secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan
lingkup gerak sendi (LGS) dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan
otot/ akibat fibrosis.
34
2. Respon Fisiologis CR Terhadap Peningkatan Panjang Otot
Contract relax pada otot dasarnya terjadi pada komponen elastik (aktin dan
miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang
dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya
bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kisner &
Colby, 2007).
Contract
relax
yang
dilakukan
pada
serabut
otot
pertama
kali
mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot.
Pada saat sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih antara komponen
miofilamen tebal dan komponen miofilamen tipis akan meningkat. Apabila terjadi
penguluran (stretch) area yang tumpang tindih ini akan berkurang yang
menyebabkan serabut otot memanjang. Pada saat serabut otot berada pada posisi
memanjang yang maksimum maka seluruh sarkomer terulur secara penuh dan
memberikan dorongan kepada jaringan penghubung yang ada disekitarnya.
Sehingga pada saat ketegangan meningkat serabut kolagen pada jaringan
penghubung berubah posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Oleh
sebab itu pada saat terjadi suatu penguluran maka serabut otot akan terulur penuh
melebihi panjang serabut otot itu pada kondisi normal yang dihasilkan oleh
sarkomer. Ketika penguluran terjadi hal ini menyebabkan serabut yang berada
pada posisi yang tidak teratur dirubah posisinya sehingga menjadi lurus sesuai
dengan arah ketegangan yang diterima. Perubahan dan pelurusan posisi ini
memulihkan jaringan parut untuk kembali normal.
35
Pada saat otot diulur beberapa dari serabutnya akan memanjang tetapi
beberapa serabut otot yang lain mungkin berada pada posisi yang diam. Panjang
yang dihasilkan di dalam otot tergantung kepada jumlah serabut otot yang terulur.
Hal tersebut sesuai dengan Syner Stretch yaitu kantong-kantong kecil yang
menahan serabut otot menyebar di sepanjang otot tubuh yang terulur dan serabut
otot yang lainnya. Kekuatan total dari sebuah otot yang berkontraksi adalah
merupakan hasil dari sejumlah serabut otot yang berkontraksi, sehingga panjang
total yang dihasilkan oleh otot yang diulur adalah juga merupakan hasil dari
penguluran sejumlah serabut otot sehingga semakin banyak serabut otot yang
terulur maka akan menyebabkan semakin besar panjang otot yang dihasilkan
penguluran yang diberikan pada otot tersebut.
3. Mekanisme Peningkatan Panjang Otot
Mekanisme penambahan panjang otot hamstring dengan intervensi contract
relax adalah dengan kontraksi isometrik pada contract relax akan meningkatkan
relaksasi otot melalui pelepasan anal-gesik endogenus opiat sehingga nyeri regang
dapat diturunkan atau dihilangkan. Adanya komponen stretching pada contract
relax maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon
organ sehingga relaksasi dapat dicapai dan nyeri akibat ketegangan otot dapat
diturunkan dan mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi
contract relax dapat megurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan
nyeri akibat adanya abnormal crosslinks dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi
karena pada saat diberikan intervensi contract relax serabut otot ditarik keluar
sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu
36
meluruskan kembali beberapa kekacauan serabut atau akibat abnormal cross links
pada ketegangan akibat pemendekan otot.
Adanya kontraksi isometrik pada intervensi contract relax akan membantu
menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan
panjang otot maksimal. Pada kontraksi isometrik ini terjadi penurunan stroke
volume jantung, diafragma menekan organ dalam dan pembuluh darah yang ada
di dalamnya sehingga menekan darah agar keluar dari organ dalam. Pada
kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan
mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Menurut Jacobson
kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga
memicu relaksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan
terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon
dengan perbandingan 2:3.
Pada metode contract relax relaksasi setelah kontraksi isometrik dilakukan
selama 7-15 detik dimana dalam proses ini diperoleh relaksasi maksimal yang
difasilitasi oleh reverse innervation tadi. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi
maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan
peregangan secara bersamaan pada saat relaksasi dan ekspirasi maksimal maka
diperoleh pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot (fasia dan tendo).
Pada intervensi contract relax dengan adanya kontraksi dan stretching yang
diikuti ekspirasi maksimal yang dilakukan dengan ritmis menimbulkan reaksi
pumping action yang ritmis pula sehingga akan membantu memindahkan produk
sampah/ zat- zat iritan penyebab nyeri otot kembali ke jantung.
37
Gambar 2.7 Contoh Metode Contract Relax (HR) (Anonim, 2014).
2.9.2 Hold relax (HR)
1. Pengertian
Hold relax merupakan salah satu teknik Proprioceptive Neuromuscular
Facilitation (PNF) untuk relaksasi otot karena nyeri, yang didasarkan pada
tahanan maksimal dari kontraksi isometrik kelompok otot antagonis. Alder et al
(2008) menjelaskan bahwa Hold relax terbagi menjadi dua teknik, yaitu (1) Direct
Treatment dan (2) Indirect Treatment. Direct Treatment merupakan teknik yang
menggunakan kontraksi isometrik pada otot agonisnya pada target muscle.
Sedangkan Indirect Treatment merupakan teknik yang menggunakan kontraksi
isometrik pada otot antagonisnya. Kontraksi isometrik pada otot antagonisnya
bertujuan untuk menstimulasi panjang otot melalui sistem Reciprocal Inhibition.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ghanbari et al (2013) yang membandingkan
Hold relax dengan static stretching terhadap hamstring tightness pada sampel
sebanyak 51 pria, dengan rata-rata usia sekitar 18-30 tahun yang dilakukan 2 kali
dalam seminggu selama 3 minggu ditemukan bahwa pada group perlakuan Hold
38
relax menunjukan hasil yang signifikan terhadap peningkatan hamstring
extensibility dibandingkan group perlakuan static stretching.
Dalam penelitian Shankar dan Achnani (2010) tentang perbandingan
efektifitas antara pasif stretching dengan Hold relax terhadap fleksibilitas
hamstring menyatakan bahwa Hold relax lebih efektif daripada pasif stretching
karena disempurnakan dengan kontraksi isometrik pada otot sebelum stretching
dilakukan. Penelitian tersebut didukung oleh Nagarwal et al (2010) yang
menyatakan teknik Hold relax efektif meningkatkan fleksibilitas hamstring.
Latihan fleksibilitas adalah hal yang perlu untuk memperbaiki dan memelihara
ROM, mengurangi nyeri, dan kekakuan yang berhubungan dengan proses
penyakit. Selain itu Hold relax juga terdiri dari kontraksi isometrik yang menurut
Hetinger kontraksi isometrik selama 6 detik melawan 2/3 tahanan sekali perhari
selama 5 hari, cukup untuk meningkatkan kekuatan otot 5% perminggu (Shanti,
2005).
Tujuan pemberian Hold relax dan contract relax adalah perbaikan relaksasi
pola antagonis, perbaikan mobilisasi dan untuk menurunkan nyeri lebih baik
menggunakan Hold relax (Beckers & Buck, 2001). Dalam aplikasinya memiliki
kelemahan yakni apabila pada aplikasinya diulur secara berlebih atau tidak
terkontrol akan menyebabkan kerobekan pada otot.
2. Respon Fisiologis HR Terhadap Peningkatan Panjang Otot
Umumnya hold relax dilakukan untuk mendapatkan efek relaksasi dan
pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Mekanisme penguatan otot
quadriceps dengan intervensi hold relax untuk menstimulasi pemanjang otot
39
hamstring adalah dengan kontraksi isometrik. Pada hold relax akan meningkatkan
relaksasi otot melalui pelepasan analgesik endogenous opiate sehingga nyeri
regang dapat diturunkan atau dihilangkan. Adanya komponen stretching pada hold
relax maka panjang otot dapat dikembalikan dengan magaktivasi GTO sehingga
relaksasi dapat dicapai dan nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan
mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Pemberian intervensi hold relax dapat
mengurangi iritasi terhadap saraf A delta dan C yang menimbulkan nyeri akibat
adanya abnormal crosslinks dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada
saat diberikan intervensi hold relax serabut otot ditarik keluar sampai panjang
sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali
beberapa kekacauan serabut atau akibat abnormal crosslinks pada ketegangan
akibat pemendekan otot.
Adanya kontraksi isometrik pada intervensi hold relax akan membantu
menggerakkan stretch receptor dari Muscle Spindle untuk segera menyesuaikan
panjang otot maksimal. Pada kontraksi isometrik selama detik yang diikuti
inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada
seluruh otot. Kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus GTO sehingga
memicu relaksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan
terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon
dengan perbandingan 2:3. Pada metode hold relax, relaksasi setelah kontraksi
isometrik dilakukan 7-15 detik dimana dalam proses ini diperoleh relaksasi
maksimal yang difasilitasi reverse innervation tadi. Proses relaksasi yang diikuti
ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot.
40
Gambar 2.8 Contoh Metode Hold relax (LeFavi, 2015)
2.9.3
1.
Isotonic Exercise
Pengertian
Isotonic exercise merupakan sebuah latihan dengan konsep awal berasal dari
bidak mekanik yang kemudian dipublikasikan kembali oleh Reuleux pada tahun
1875, yang membahas tentang macam-macam rangkaian gerakan, rangkaian
gerakan tersebut dihasilkan dari beberapa segmen yang saling berhubungan
melalui suatu persendian dimana hal ini akan menjadi suatu sistem untuk
memungkinkan terjadinya pergerakan satu segmen pada satu sendi atau beberapa
segmen yang diikuti sendi lainnya (Mayer, 2003).
Latihan isotonic adalah pola latihan yang mengikuti kaidah kontraksi
isotonik. Kontraksi isotonik merupakan terjadinya tegangan intra-muskuler
disertai dengan perubahan panjang otot baik memendek atau memanjang.
Terkadang kontraksi isotonik disebut kontraksi dinamik. Secara harfiah isotonik
berarti tegangan sama atau konstan dengan kata lain kontraksi isotonik adalah
41
terjadinya sejumlah tegangan yang sama pada saat memendek selama menahan
tahanan yang konstan. Hal tersebut tidak benar karena tegangan yang digunakan
oleh otot selama memendek dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, tiga
diantaranya adalah : (1) panjang awal dari serabut otot, (2) sudut tarikan dari otot
terhadap tulang, dan (3) kecepatan memendek yang dipengaruhi oleh distribusi
jenis otot yaitu tipe I atau tipe II.
Pada kontraksi isotonik sebuah beban digerakkan yang melibatkan
fenomena inersia yaitu beban atau obyek lain yang digerakkan mula-mula harus
dipercepat, dan bila kecepatan itu telah dicapai, maka beban mempunyai daya
gerak yang menyebabkan ia dapat terus bergerak walaupun kontraksinya telah
berhenti. Oleh karena itu kontraksi isotonik pada hakekatnya berlangsung lebih
lama daripada kontraksi isometrik pada otot yang sama. Kontraksi isotonik
mengikuti pelaksanaan kerja luar, oleh karena itu sesuai dengan efek Fenn
sejumlah besar energi diperlukan oleh otot.
Kontraksi isotonik dapat dibagi lagi menjadi dua kategori sebagai
konsentrik dan eksentrik. Dalam kontraksi konsentris, otot lebih pendek
sedangkan, dalam kontraksi eksentrik, otot memanjang selama kontraksi.
Kontraksi otot eksentrik adalah penting karena dapat mencegah perubahan yang
cepat panjang yang dapat merusak jaringan otot dan menyerap guncangan.
42
Gambar 2.9 Model Kontraksi Otot (Snell, 2000)
2.
Mekanisme Isotonic Exercise terhadap Peningkatan Kekuatan Otot
Quadriceps
Isotonic exercise dengan kontraksi eksentrik terjadi ketika aktivitas
kontraktil melawan peregangan yang dilihat ketika otot quadriceps menurunkan
beban. Selama gerakan ini serat-serat otot memanjang tetapi tetap berkontraksi
melawan peregangan, ketegangan ini terjadi karena otot quadriceps menahan
beban berat tungkai. Sehingga selama kontraksi eksentrik kekuatan otot yang
dihasilkan dari otot lebih tinggi. Variabel biomekanik yang terakhir untuk
eksentrik melibatkan efisiensi dari mekanisme jembatan silang (crossbridge
mechanism) di dalam menciptakan kekuatan selama kontraksi. Selama kontraksi
eksentrik, didalilkan bahwa gerakan crossbridge dan penggabungan bisa bekerja
pada tingkat yang lebih cepat, menyebabkan berkurangnya kebutuhan energi dari
sistem oksigen. Adaptasi kerja otot eksentrik menghasilkan suatu lapisan optimal
antar unsur-unsur aktin dan myosin, yang pada gilirannya akan meningkatkan
potensi kekuatan puncak. Dalam hal ini terjadi peningkatan rekruitmen motor unit
yang terdepolarisasi sehingga terjadi peningkatan diameter serabut otot dan
jumlah miofibril yang terdepolarisasi, yang pada akhirnya menyebabkan
43
terjadinya peningkatan kekuatan otot. Jadi, selama kontraksi eksentrik kekuatan
otot yang dihasilkan dari otot lebih tinggi (Delyuzir, 2009).
3.
Perubahan Sistem Neuromuskular
a. Hypertropi
Kapasitas
kekuatan
otot
secara
langsung
berhubungan
dengan
fisiologi cross sectional area pada serabut otot. Dengan desain latihan yang
spesifik dapat mening-katkan kekuatan otot, dan ukuran serabut otot skeletal yang
disebut hypertropi. Faktor yang berperan pada hypertropi meliputi; peningkatan
jumlah protein pada serabut otot, peningkatan kepadatan kapiler, perubahan
biokimia pada serabut otot.
Walaupun masih dalam tanda tanya, diduga bahwa kekuatan otot juga dapat
ditingkatkan
dengan
resistance
exercise
yang
menyebabkan
terjadinya
hyperplasia yaitu peningkatan jumlah serabut otot. Peningkatan ini dapat
disebabkan oleh gerak longitudinal serabut otot. Hal ini belum bisa dipastikan
karena gerak serabut otot tersebut baru dilaku-kan penelitan pada binatang.
b. Recruitmen
Faktor lain yang penting yang mempengaruhi kapasitas otot untuk meningkatkan kekuatan otot adalah peningkatan jumlah recruitmen motor unit.
Banyaknya jumlah motor unit yang aktif akan menghasilkan kekuatan otot yang
besar.
44
Gambar 2.10 Contoh Metode Isotonic Exercise Menggunakan Foot Binding/Ankle
Cuffweight Pada Otot Quadriceps (LeFavi, 2015)
2.10 Perbedaan Kombinasi Intervensi Contract Relax Hamstring dan Hold
Relax Quadriceps dengan Contract Relax Hamstring dan Isotonic
Exercise Quadriceps
Kombinasi intervensi Contract Relax Hamstring dan Hold Relax
Quadriceps dengan Contract Relax Hamstring dan Isotonic Exercise Quadriceps
merupakan intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas otot
hamstring. Adapun perbedaan antara kedua intervensi tersebut, sebagai berikut :
1) Kombinasi Intervensi Contract Relax Hamtring dan Hold Relax Quadriceps
melibatkan kontraksi isometrik pada otot hamstring dan otot quadriceps
secara bergantian lalu dilanjutkan dengan stretching pasif pada kedua otot
tersebut. Kontraksi isometrik akan membantu menggerakkan stretch receptor
dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal dan
45
adanya komponen stretching akan mengembalikan panjang otot dengan
mengaktivasi golgi tendon. Intervensi Contract Relax Hamtring dan Hold
Relax Quadriceps dapat mengurangi iritasi terhadap saraf A delta dan C yang
menimbulkan nyeri. Dengan demikian ketegangan otot akan berkurang
sehingga otot dapat mencapai panjang normal sehingga fleksibilitas
meningkat dan sendi pun dapat bergerak dengan ROM penuh tanpa timbul
rasa nyeri.
2) Sedangkan pada kombinasi intervensi Contract Relax Hamtring dan Isotonic
Exercise Quadriceps melibatkan penambahan latihan penguatan otot
quadriceps. Adanya kontraksi eksentrik pada intervensi Isotonic Exercise
Quadriceps terjadi pemanjangan serat-serat otot tetapi otot tetap berkontraksi
melawan peregangan, ketegangan ini terjadi karena otot quadriceps menahan
beban berat tungkai. Dengan demikian otot quadriceps akan terjaga dalam
mempertahankan kemampuan fungsionalnya dan panjang normalnya
sehingga akan mengurangi kompensasi pada otot hamstring dan merangsang
otot hamstring untuk mencapai pemanjangan otot normal.
Download