Kenali Risiko Kekerasan Seksual Terhadap Anak

advertisement
Kenali
Risiko
Kekerasan
Seksual Terhadap Anak Sejak
Dini
UNAIR NEWS – Berdasarkan data dari Komisi Perindugan Anak
Indonesia (KPAI), sebanyak 60-80 persen kekerasan seksual yang
terjadi pada anak dilakukan oleh orang terdekat. Alasan ini
didasarkan pada sikap anak-anak yang dianggap lebih mudah
diperdaya dan dimanipulasi. Biasanya, kekerasan tersebut
dilakukan dengan
oleh anak.
memberikan hadiah atau sesuatu yang disukai
“Dari data tersebut dimaksudkan bahwa orang-orang terdekat
yang harusnya memberikan rasa aman pada anak kenyataannya
tidak demikian. Ada pola relasi yang aneh,” kata Margaretha
Rehulina, S.Psi., P.G, Dip.Psych., M.Sc, selaku pembicara pada
seminar “Cegah Kekerasan pada Anak”, Sabtu (24/4).
Pemahaman akan pentingnya mengenali risiko kekerasan pada anak
perlu diberikan sejak dini, baik kepada anak maupun kepada
orang tua. Hal ini perlu dilakukan agar orang tua, khususnya,
agar lebih peka dan waspada terhadap relasi-relasi yang
memungkinkan terjadinya kekerasan seksual pada anak.
Apa
saja
yang
peru
kita
kenali
untuk
mengidentifikasi
kekerasan seksual ada anak?
Menurut Margaretha, biasanya, beberapa tanda akan muncul jika
anak mengalami kekerasan seksual. Pertama, sikap anak akan
berubah, mulanya anak mulai menutup diri atau lebih sering
berbicara tentang joke-joke seksual. Kedua, anak juga terlalu
memperhatikan diri secara seksual yang tidak lumrah seperti
anak seusianya, hal lain yang merupakan tanda-tanda yang mesti
dicurigai adalah saat anak mengeluh sakit pada bagian
genetalia (bagian-bagian tubuh seksual eksternal, –red).
Terakhir, anak yang mengalami kekerasan seksual cenderung
menarik diri dari lingkungan atau menjadi pemurung. Hal-hal
tersebut perlu dikritisi sebagai tanda-tanda adanya kekerasan
seksual pada anak.
Apa yang harus dilakukan sebagai upaya intervensi supaya
kekerasan seksual itu tidak terjadi pada anak?
Mengenai intervensi ini, Retha mengatakan bahwa orang tua
harus mengawasi siapa teman dan pihak-pihak yang dekat dengan
anak. Orang tua juga harus mengajarkan pada anak bagaimana
mempertahankan diri dari cobaan perlakuan kekerasan seksual.
“Kita ajarkan bahwa orang lain tidak boleh menyentuh anak
dengan sembarangan. Anak harus diberi pengetahuan mengenai
sentuhan yang baik, sentuhan membingungkan, dan sentuhan
buruk. Sentuhan baik bertujuan menunjukkan kasih sayang.
Misalnya sentuhan ayng dilakukan di pundak atau kepala.
Sentuhan membingungkan kalau sudah menyentuh bagian tubuh atau
lutut, dan niatnya bukan hanya menunjukkan kasih sayang saja,”
imbuhnya.
Sentuhan buruk, maksud Retha, ialah bagian-bagian yang biasa
ditutup ketika menggunakan pakaian renang. Jika orang lain
bermaksud menyentuh, maka orang tua harus menegaskan pada anak
untuk melakukan penolakan.
“Karena kita tidak mungkin bilang ke anak “Jangan berteman
dengan siapapun!”. Tapi ketika ia mengalami suatu risiko
kekerasan, dia harus memilah mana yang harus dikritisi mana
yang harus ia tolak dan segera minta bantuan orang tua atau
orang dewasa terdekat yang bisa dipercaya,” tambah dosen ahli
psikologi forensik pada Fakultas Psikologi UNAIR ini.
Jika sudah terjadi kekerasan, maka dampak yang terjadi akan
sangat buruk terhadap tumbuh kembang anak. Yakni bukan hanya
menyangkut kesehatan fisik, namun kondisi psikis dan sosial
anak akan sangat buruk. Menurut Retha, pada anak yang telah
mengalami persoalan seksual akan timbul perasaan rendah harga
diri, merasa bersalah, dan memiliki persoalan derpresif
lainnya. Anak juga akan memiliki persoalan dengan relasi
intimnya kelak ketika ia dewasa.
“Artinya, lebih penting tindakan preventif, yakni melakukan
pencegahan sebelum kekerasan tersebut benar-benar terjadi,”
kata lulusan Master Riset (Perkembangan Psikopatologi)
Universiteit Utrect, Belanda ini.
Sebaliknya, apa yang harus dilakukan jika kekerasan seksual
terlanjur dialami oleh anak?
Jika kekerasan seksual telah terjadi pada anak, maka orang tua
harus mengajarkan pada anak tentang cara melaporkan tindakan
yang telah/akan dialaminya. Yakni dengan pergi ke kepolisian,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) khusus penanganan anak, atau
lembaga yang berada di bawah Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.
“Dan yang harus dicari adalah advokasi hukum, advokasi
psikologis, dan medis ketika dibutuhkan.
terdapat luka fisik,” pungkas Retha. (*)
Penulis : Binti Q. Masruroh
Editor
: Nuri Hermawan
Terutama
jika
Download