judul post ujian 3.6

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang
Pasien yang terduga penyakit jantung koroner (PJK) stabil merupakan
suatu sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan pasien dengan angina pektoris
stabil atau pasien yang sudah tegak dengan PJK yang kemudian tidak bergejala
dengan medikamentosa dan memerlukan pengawasan rutin ataupun pasien yang
mempunyai gejala angina pertama kali namun diperkirakan sudah dalam kondisi
kronis yang lama. Presentasi klinis PJK stabil yang paling sering adalah berupa
angina pektoris stabil (Tardif, 2010; Montalescot et al., 2013). Secara global, PJK
merupakan penyebab kematian tertinggi. Diperkirakan 7,8 juta kematian dari 11,1
juta kematian disebabkan oleh PJK pada tahun 2020 (Tardif, 2010). World Health
Organization (WHO) memperkirakan 30% dari seluruh kematian disebabkan
karena penyakit jantung dan pembuluh darah pada tahun 2015 (WHO, 2004). Di
Indonesia, prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah adalah sebesar 9.2%
dan telah menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian. Berdasarkan
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, penyakit jantung
menyebabkan sebesar 26.3% kematian (Delima et al., 2009).
Uji Latih Treadmill (ULT) adalah tes yang paling banyak digunakan untuk
evaluasi awal pasien dengan angina pektoris (Tardif, 2010). Sampai saat ini, uji
latih treadmill (ULT) masih menjadi pilihan dalam penegakan diagnosis dan
1
stratifikasi risiko penyakit jantung koroner. Pemeriksaan yang memadukan respon
elektrokardiogram (EKG) permukaan dengan latihan, denyut jantung dan respon
tekanan darah ini lebih sederhana dan murah dibandingkan modalitas lain seperti
ekokardiografi dan uji nuklir meskipun sensitivitas dan spesifisitasnya masih
kalah dibandingkan keduanya. Hasil meta analisis pada ULT standar, memiliki
sensitivitas 68%, spesifisitas 77%, dan kekuatan prediktif positif 73% (Fletcher et
al., 1998; Gibbons et al., 2002).
Uji latih penting untuk mendeteksi pasien kelompok risiko tinggi yaitu
kelompok pasien dengan keterlibatan arteri koroner cabang utama dan tiga arteri
koroner besar yang akan mendapat manfaat dari tindakan revaskularisasi
(Chaitman et al., 1981; Pignone et al., 2003). Tindakan revaskularisasi baik
dengan intervensi perkutan maupun bedah pintas pada pasien dengan angina
pektoris stabil terbukti berdampak pada peningkatan kualitas hidup (Brorsson et
al., 2001) walaupun manfaat dari intervensi perkutan pada angina pektoris stabil
dalam menurunkan mortalitas, kejadian infark miokard dan tindakan
revaskularisasi ulang masih menjadi perdebatan (Wijeysundera et al., 2009;
Stergiopoulos et al., 2014).
Depresi segmen ST masih menjadi variabel utama dalam diagnosis
iskemik dan telah bertahan selama bertahun-tahun meskipun beberapa studi
menunjukkan penggunaan indikator multipel pada uji latih treadmill lebih
superior dalam meningkatkan akurasi diagnosis dan probabilitas (Ellestad et al.,
1977). Adanya penurunan segmen ST yang reversible pada saat ULJ merupakan
2
karakteristik yang berhubungan dengan peningkatan beban latihan dan konsumsi
oksigen pada pasien dengan adanya lesi koroner tetapi tidak terdapat gangguan
aliran pada saat istirahat. Derajat penurunan segmen ST selama iskemia
disebabkan karena faktor spasial dan non spasial. Yang dimaksud dengan faktor
spasial yaitu area miokard yang terkena iskemia. Sedangkan faktor non spasial
yaitu tingkat keparahan metabolik yang ditimbulkan dari miokard yang terkena
iskemia. Kedua faktor tersebut saling berhubungan sehingga dapat menyebabkan
depresi segmen ST yang reversible selama ULJ (Kligfield et al., 2008). Pada
penelitian metaanalisis kriteria EKG hanya memiliki spesifisitas 77% sensitivitas
68% untuk mendeteksi penyakit jantung koroner sehingga kombinasi dengan
kriteria lain akan dapat meningkatkan kekuatan identifikasi pasien dengan iskemia
(Gianrossi et al., 1989). Dibandingkan dengan kriteria tes standar, analisis ST/HR
(depresi segmen ST yang disesuaikan dengan kenaikan laju jantung) selama ULJ
dapat meningkatkan identifikasi dan assessment penyakit jantung koroner.
Perubahan laju jantung akan mempengaruhi progresifisitas depresi segmen ST.
Analisa ST/HR menawarkan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan kriteria standar sehingga dapat menjadi skreening untuk identifikasi
anatomi dan keparahan lesi koroner serta untuk prediktor mortalitas dan
morbiditas (Okin et al., 1995; Kligfield et al., 2008).
Kebutuhan oksigen miokard berhubungan dengan laju jantung, tekanan
darah, kontraktilitas dan regangan ventrikel kiri. Dari semua parameter ini, laju
jantung merupakan parameter yang paling mudah untuk diukur dan dilakukan
3
monitor (Cecconi et al., 2011). Data klinis menunjukkan bahwa laju jantung
berhubungan secara langsung dengan progresi PJK (Fox et al., 2007). Semakin
banyak bukti yang menunjukkan bahwa shear stress merupakan rantai yang
menghubungkan antara laju jantung dan atheroskeloris. Laju jantung yang cepat
meningkatkan tensile stress pada dinding arteri melalui mekanisme peningkatan
tekanan darah yang bersifat osilatorik. Selain itu, laju jantung yang cepat akan
memperpendek fase diastolik pada siklus jantung, sehingga paparan shear stress
terhadap endothel pada saat sistolik yang bersifat osilatorik tadi diperpanjang dan
menyebabkan perubahan yang signifikan pada endothel arteri koroner (Chatzizisis
et al., 2007).
Pada saat pemulihan, reaktivasi vagal memegang peranan penting dalam
penurunan LJP terutama pada 30 detik sampai 1 menit pertama, sehingga semakin
besar LJP menit pertama mengindikasikan semakin besar peran reaktivasi vagal
(Arai et al., 1989). Dalam penelitian McCane et al. (1993) pasien yang mengalami
sindrom iskemia memiliki aktivitas simpatis yang meningkat. Dalam penelitian
pada pasien gagal jantung, peningkatan aktifitas simpatis pada saat latihan
menyebabkan akumulasi metabolit anaerobik bahkan pada saat latihan yang
submaksimal, karena terjadi abnormalitas dari metabolisme otot skeletal. Hal ini
menyebabkan reaktivasi parasimpatis pada saat pemulihan terganggu. Dalam
penelitian Po-Hsun et al. (2004) didapatkan bahwa LJP yang abnormal yang
diperantarai oleh imbalance otonom yang berhubungan dengan disfungsi endothel
4
pada PJK, dan LJP yang abnormal ini berhubungan secara signifikan dengan
kekakuan pada arteri besar.
Perubahan pola ST/HR loop adalah satu dari sekian analisis ST/HR timbul
dari dasar pemikiran di atas. Pola ST/HR loop menghubungkan antara penurunan
segmen ST dan perubahan laju jantung pada fase latihan dan pemulihan. Pada fase
pemulihan, pasien dengan iskemia miokard memiliki rasio depresi segmen ST
dibandingkan laju jantung yang lebih besar daripada saat puncak latihan sehingga
didapatkan pola abnormal yang menunjukkan pola counterclockwise loop.
Sedangkan pada populasi normal memiliki pola clockwise loop dikarenakan rasio
depresi segmen ST dibandingkan laju jantung yang turun saat awal fase
pemulihan (Okin et al., 1989; Okin et al., 1991; Okin et al., 1995; Kligfield et al.,
2006).
Okin et al, (1989) melakukan penelitian yang menghubungakan pola ST/HR
loop dengan keparahan lesi koroner, lesi koroner didefininisikan dengan adanya
oklusi > 50% pada minimal satu pembuluh koroner utama. Hasilnya pola ST/HR
loop memiliki sensitivitas sebesar 93% dengan spesifisitas hanya 71%. Semenjak
tahun 1989 tidak banyak penelitian-penelitian yang fokus untuk mengamati pola
ST/HR loop, penelitian terbaru tahun 2008 dilakukan oleh Johansen et al., yang
melibatkan subyek penderita diabetes melitus tipe 2, penelitian tersebut
mengamati hubungan pola ST/HR loop terhadap lesi koroner pada populasi DM
tipe 2, hasilnya ST/HR loop counterclockwise memiliki sensitivitas 86% dengan
spesifisitas 39% terhadap keparahan lesi koroner (Johansen et al., 2008). Pada
5
kedua penelitian tersebut keparahan lesi koroner didefinisikan dengan adanya
oklusi > 50% pada minimal satu arteri koroner utama, tanpa melihat letak lokasi,
keterlibatan left main ataupun adanya kolateral.
Dewasa ini, terdapat beberapa sistem nilai yang digunakan untuk
menggambarkan keparahan lesi koroner. Penilaian tradisional terdahulu hanya
didasarkan pada seberapa persentase penyempitan pembuluh darah koroner utama
dan berapa yang terlibat, akhirnya pada tahun 2005 Serruys et al., membuat
sebuah sistem penilaian baru untuk menilai severitas pembuluh darah koroner,
sistem nilai ini tidak hanya didasarkan pada jumlah arteri koroner yang terlibat
tetapi juga karakteristik setiap lesi koroner, sistem ini diperkenalkan dengan nama
Syntax (Serruys et al., 2005). Nilai Syntax adalah modalitas penentuan derajat
kompleksitas peenyempitan arteri koroner secara angiografi. Nilai Syntax ini
dikembangkan dari klasifikasi-klasifikasi sebelumnya, yaitu klasifikasi AHA
(American Heart Association) untuk segmen pohon arteri yang dimodifikasi untuk
penelitian ARTS (Arterial Revascularization Therapies Study), nilai Leaman,
sistem klasifikasi lesi dari ACC (American College of Cardiology)/AHA, sistem
klasifikasi oklusi total, sistem klasifikasi lesi bifurkasio dari Duke/Institut
Cardiovasculaire Paris Sud (ICPS), dan opini konsensus dari para ahli di seluruh
dunia. Variabel yang berkontribusi pada penentuan nilai Syntax adalah :
dominansi, jumlah lesi, segmen terlibat per lesi dan adanya oklusi total kronik,
trifurkasi, bifurkasi, lesi aorto-ostial, tortuositas, kalsifikasi, thrombus, lesi yang
panjang dan/atau penyakit difus. Untuk variabel-variabel ini nilainya berbeda,
6
sehingga masing–masing lesi dihitung secara terpisah. Nilai ini kemudian
dijumlahkan menghasilkan total nilai Syntax (Serruys et al., 2009).
Nilai Syntax juga memiliki nilai prognosis jangka panjang dan
berhubungan dengan komplikasi tindakan yang juga dapat mempengaruhi
keluaran klinis. Nilai Syntax dapat secara objektif menentukan batas atas
kesesuaian untuk dilakukan revaskularisasi dengan metode intervensi perkutan
maupun metode revaskularisasi dengan bedah pintas koroner (Girasis et al., 2011;
Van Gal et al., 2009; Madhavan et al., 2014).
Nilai Syntax telah diterima dan dipergunakan untuk menilai keparahan lesi
koroner, dan nilai Syntax juga telah menjadi rekomendasi di dalam Guideline on
the Management of Stable Coronary Artery Disease yang dikeluarkan European
Society of Cardiology pada tahun 2013 sebagai alat yang diakui untuk menilai lesi
koroner (Montalescot et al., 2013). Berdasarkan hal tersebut timbul pemikiran
bahwa ST/HR loop counterclockwise (abnormal) dapat memiliki peran untuk
identifikasi keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax pada pasien-pasien
yang terduga memiliki penyakit jantung koroner stabil yang menjalani ULJ.
I.B. Perumusan Masalah Penelitian
Depresi segmen ST yang di hubungkan dengan laju jantung dari awal uji
latih hingga menit pertama pemulihan menimbulkan gambaran pola tertentu yang
disebut ST/HR loop. Perubahan pola ST/HR loop menghubungkan antara
penurunan segmen ST dan perubahan laju jantung pada fase latihan dan
7
pemulihan. Pada fase pemulihan, pasien dengan iskemia miokard memiliki rasio
depresi segmen ST dibandingkan laju jantung yang lebih besar daripada saat
puncak latihan sehingga didapatkan pola abnormal yang menunjukkan pola
counterclockwise loop (Okin et al., 1991).
ST/HR loop telah terbukti dapat mengidentifikasi keparahan lesi koroner
dengan nilai sensitivitas yang tinggi (Okin et al.,1989). Nilai syntax adalah sistem
nilai angiografi yang menilai kompleksitas lesi koroner didasarkan pada anatomi
koroner dan karakteristik lesi. Nilai Syntax dewasa ini menjadi alat bantu para
klinisi dalam memutuskan metode revaskularisasi pada pasien dengan penyakit
arteri koroner yang kompleks (Mohr et al., 2013). Belum ada penelitian yang
menghubungkan antara pola ST/HR loop dengan kompleksitas lesi koroner
berdasarkan nilai Syntax. Hasil penelitian ini dapat menjadi suatu alat yang dapat
membantu klinisi dalam memutuskan metode revaskularisasi pada pasien dengan
penyakit arteri koroner yang kompleks.
I.C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan suatu pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apakah pola ST/HR loop counterclockwise (abnormal) memiliki sensitivitas dan
spesifitas >80% terhadap keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax pada
pasien yang terduga penyakit jantung koroner stabil ?
8
I.D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifitas
pola ST/HR loop counterclockwise (abnormal) dalam mendeteksi derajat
keparahan lesi koroner kompleks berdasarkan nilai Syntax pada pada pasien yang
terduga penyakit jantung koroner stabil.
I.E. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui nilai diagnostik ST/HR Loop untuk mendeteksi
keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax akan didapatkan suatu indikator
yang dapat digunakan untuk memprediksi kompleksitas lesi koroner. Hal ini
diharapkan dapat membantu klinisi terutama yang bekerja di daerah dalam
memperkirakan metode revaskularisasi yang mungkin akan dilakukan pada
pasien, sehingga dapat menjadi salah satu pertimbangan klinis dalam merujuk
pasien ke pusat yang mempunyai fasilitas revaskularisasi yang lebih memadai dan
dapat digunakan dalam memberikan edukasi kepada pasien.
I.F. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang ST/HR loop dilakukan oleh Okin et al. tahun 1989
dengan judul Recovery-Phase Pattern of ST Segment Depression in the Heart
Rate Domain, Identification of Coronary Artery Disease by the Rate-Recovery
Loop, meneliti tentang nilai diagnostik ST/HR loop counterclockwise (abnormal).
Stenosis arteri koroner dideskripsikan dengan adanya suatu stenosis ≥ 50 % pada
9
arteri koroner besar dan kemudian dibedakan menjadi keterlibatan pada 1, 2 dan 3
arteri koroner. Pada penelitian tersebut didapatkan, pola ST/HR loop
counterclockwise (abnormal) memiliki akurasi tinggi dalam memprediksi adanya
stenosis arteri koroner yang signifikan dengan sensitivitas 93% dan spesifisitas
71% (p<0.001). Johansen et al., (2008) melakukan penelitian dengan judul Heart
Rate Adjustments and Analysis of Recovery Patterns of ST-Segment Depression in
Type 2 Diabetes, penelitian ini melibatkan 91 subyek dengan populasi DM tipe 2.
Hasilnya ST/HR abnormal memiliki sensitivitas 86%, spesifisitas 39% terhadap
keparahan lesi koroner, dimana pengertian lesi koroner pada penelitian ini adalah
keterlibatan minimal satu pembuluh darah koroner dengan penyempitan > 50%.
Belum ada penelitian yang meneliti pola ST/HR loop untuk mendeteksi
keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax. Penulis juga belum menemukan
publikasi mengenai penelitian serupa di Indonesia. 10
Download