TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Klasifikasi tanaman kelapa sawit menurut Mangoensukarjo dan Semangun (2003) adalah : Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Kelas : Angiospermae, Sub-kelas : Monocotyledonea, Ordo : Arecales, Famili : Arecaeae, Sub-famili : Cocoideae, Genus : Elaeis, Spesies : Elaeis guineensis jacq. Sebagai tanaman monokotil, tanaman kelapa sawit memiliki akar serabut yang terdiri dari akar utama, akar sekunder, akar tersier dan rambut akar. Akar utama merupakan akar yang pertumbuhannya vertikal ke bawah, searah pusat bumi. Fungsi utama akar primer adalah penunjang agar batang tetap berdiri kokoh (Hadi, 2004). Karena kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, maka batangnya tidak mempunyai kambium dan pada umumnya tidak bercabang. Batang berbentuk silinder dengan diameter antara 20-75 cm atau tergantung pada keadaan lingkungan. Selama beberapa tahun, minimal 12 tahun,batang tertutup rapat oleh pelepah daun. Tinggi batang bertambah kira-kira 45 cm/tahun, tetapi dalam kondisi lingkungan yang sesuai dapat mencapai 100 cm/tahun. Tinggi maksimum tanaman kelapa sawit yang ditanam di perkebunan adalah 15-18 m, sedangkan di alam liar mencapai 30 m. karena tanaman yang terlalu tinggi akan menyulitkan pemetikan buahnya, maka perkebunan kelapa sawit menghendaki tanaman yang pertambahan tinggi batangnya lambat (Kiswanto et al., 2008). Sebagimana daun kelapa biasa, daun kelapa sawit bersirip genap dengan tulang-tulang daun sejajar. Panjang pelepah daun kelapa sawit adalah 5-7 m, dalam satu pelepah terdapat 200-400 helai anak daun. Dalam satu pohon kelapa Universitas Sumatera Utara 5 sawit biasanya terdapat kurang lebih 60 pelepah, tetapai jumlah maksimal pelepah harus tetap dipertahankan pada pohon produktif telah diatur sesuai dengan umur tanaman (Hadi, 2004). Karangan bunga kelapa sawit berbentuk bulir majemuk atau tongkol. Ini terdiri atas tangkai yang panjangnya 30-45 cm, disambung dengan sebuah sumbu. Dari satu sumbu tumbuh sejumlah anak karangan bunga (spikelet). Susunan anak karangan bunga pada sumbu juga mengikuti prinsip filotaksis. Kelapa sawit adalah tumbuhan berumah satu (monoecious), artinya karangan bunga jantan dan betina terdapat pada satu pohon, tetapi tempatnya berbeda. Menurut jenis kelaminnya terdapat bunga jantan dan bunga betina, namun selain itu terdapat juga yang hermafrodit (Mangoensukarjo dan Semangun, 2003). Hasil utama perkebunan kelapa sawit adalah buah kelapa sawit. Selanjutnya buah kelapa sawit diekstrasi di pabrik penggilingan sehingga menghasilkan ekstrak berupa minyak kelapa sawit mentah dan minyak inti. Sabut pada kelapa sawit disebut daging buah, sedangkan inti buah yang terdapat di bagian dalam tempurung disebut kernel (Hadi, 2004). Dalam kondisi utuh (tidak pecah), biji kelapa sawit bersifat dorman sampai sekitar 6 bulan. Kondisi dorman ini dapat dipatahkan, antara lain dengan pemanasan biji. Dengan pemanasan pada suhu 40ºC biji mulai berkecambah setelah 80 hari. Waktu proses perkecambahan berlangsung, embrio mengembang, bakal batang dan bakal akar tumbuh keluar dari cangkang melalui lubang cangkang dan berkembang selanjutnya menjadi batang, daun dan akar. Endosperm tidak pernah keluar dari cangkang, melainkan diserap haustorium sebagai bahan makanan bagi pertumbuhan kecambah (Mangoensukarjo dan Semangun, 2003). Universitas Sumatera Utara 6 Syarat Tumbuh Faktor-faktor iklim yang terpenting adalah curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan radiasi matahari. Curah hujan optimal berkisar antara 2000 mm/tahun yang terbagi merata sepanjang tahun, suhu maksimum rata-rata adalah 29-32ºC, dengan rata-rata minimum 22-24ºC, penyinaran matahari konstan dengan masa penyinaran sekurang-kurangnya 5 jam/hari untuk seluruh bulan dalam setahun, dan beberapa bulan di antaranya dengan fotoperiodisitas 7 jam/hari (Mangoensukarjo dan Semangun, 2003). Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum bagi pertumbuhan sawit berkisar 5,0-5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15º (Kiswanto et al., 2008). Klon Kelapa Sawit Klon merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan sekelompok tanaman ‘identik’ hasil perbanyakan tanaman secara vegetatif salah satunya melalui kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik dalam perbanyakan tanaman secara klonal untuk perbanyakan massal. Keuntungan pengadaan bibit melalui kultur jaringan antara lain dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan seragam, selain itu dapat diperoleh biakan steril (motherstock) sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan selanjutnya (Lestari, 2008). Universitas Sumatera Utara 7 Usaha produksi klon kelapa sawit melalui kultur jaringan telah berhasil dilakukan pada tahun 1970-an. Keberhasilan produksi planlet tersebut menginspirasi banyak organisasi yang bergerak di bidang usaha kelapa sawit untuk mengeksploirasi lebih lanjut teknik perbanyakan kelapa sawit malalui kultur jaringan (Mgbeze dan Iserhienrhien, 2014). Di Indonesia sendiri, laboratorium yang khusus bergerak di bidang kultur jaringan kelapa sawit telah berdiri sejak tahun 1985 di bawah naungan Indonesian Oil Palm Reserch Institute (IOPRI) yang bekerjasama dengan CIRAD. Klon tersebut telah mulai ditanam pada tahun 1987 yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, meliputi : Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Lampung dan Aceh dengan luas mencapai ±2000 ha (Harahap et al., 2010). Hanya saja pada saat itu perkembangannya berjalan lambat karena tingginya abnormalitas pada klon yang dihasilkan, meliputi munculnya bentuk bunga yang berbeda yang menghasilkan buah bersayap. Peschke & Philips (1992) menyatakan bahwa beberapa tipe utama variasi genetik somaklonal adalah aberasi kromosom, aktivitas elemen transposon, dan terjadinya metilasi DNA. Frekuensi variasi somaklonal tergantung pada cara regenerasi planlet. Planlet yang diregenerasi dari kalus yang tidak terorganisir lebih bervariasi dibandingkan dengan kalus yang terorganisir, sebaliknya hanya sedikit terjadi pada planlet yang diregenerasi langsung tanpa melalui fase kalus (Mathius et al., 2001). Akhirnya pada awal tahun 2007, laboratorium kultur jaringan IOPRI berhasil mengembangkan suatu teknik yang bisa menghasilkan klon kelapa sawit yang benar-benar unggul. Proses produksi dan seleksi dilakukan secara ketat untuk meminimalisir abnormalitas dan kontaminasi melalui pembatasan jumlah Universitas Sumatera Utara 8 jumlah subkultur, penyimpanan kalus tidak lebih dari 2 tahun dan mengurangi penggunaan zat pengatur tumbuh. Selain itu IOPRI juga melakukan peningkatan efisiensi melalui pembuatan database sehingga setiap tanaman di lapangan memiliki catatan masing-masing. Klon yang diproduksi oleh IOPRI ini dikenal sebagai Marihat Klon (MK) (Harahap et al., 2010). Marka Molekuler Marka molekuler merupakan segmen DNA yang bisa dideteksi melalui suatu teknik tertentu di laboratorium. Marka molekuler dapat ditemukan pada lokasi spesifik dari genom. Untuk mendeteksi marka tersebut bisa dilakukan baik menggunakan enzim retriksi atau Polymerase Chain Reaction (PCR) maupun kombinasi keduanya untuk mengamplifikasi sekuens DNA yang berperan dalam membawa karakter tertentu seperti produksi, resistensi terhadap organisme pengganggu tanaman, daya adaptasi dan toleransi terhadap cekaman (Datta et al., 2011). Marka molekuler DNA yang ideal memiliki kriteria sebagai berikut: a) memiliki tingkat polimorfisme yang sedang sampai tinggi, b) terdistribusi merata diseluruh genom, c) memberikan resolusi perbedaan genetik yang cukup, d) pewarisan bersifat kodominan (dapat membedakan kondisi homozigot dan heterozigot dalam organisme diploid), e) berperilaku netral, f) secara teknik sederhana, cepat dan murah, g) butuh sedikit jaringan dan DNA sampel, h) berkaitan erat dengan fenotipe, i) tidak memerlukan informasi tentang genom organisme, j) data mudah dipertukarkan antar laboratorium. Tidak ada satu jenis penanda yang dapat memenuhi semua kriteria tersebut, bagaimana pun juga kita Universitas Sumatera Utara 9 dapat memilih diantara berbagai penanda yang ada dan saling dikombinasikan untuk mencapai semua kriteria tersebut (Zulfahmi, 2013). Berdasarkan teknik yang digunakan untuk mendeteksi dan mengamplifikasi marker, marka molekuler bisa digolongkan ke dalam 2 kelompok utama yaitu, pertama, penanda tanpa PCR seperti RFLP (Retriction Fragment Length Polymorphism) , kedua, penanda DNA berdasarkan PCR yang meliputi RAPD (Random Ampilfied Polymorphic DNA), AFLP (Ampified Fragment Length Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeat), CAPS (Cleaved Amplified Polymorphism Sequence), SCAR (Squence Characterized Amplified Region), SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) (Datta et al., 2011). Pemilihan marka molekuler yang akan digunakan dalam analisis genetik perlu mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, sumber dana yang dimiliki, fasilitas yang tersedia serta kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe marka. Penanda molekuler yang diinginkan yaitu; kemudahan akses (diperdagangkan dan cepat didapat), kemudahan prosedur analisis, polymorphism-nya tinggi, Codominant (dapat membedakan homozigot dan heterozigot), reproducibility-nya tinggi (Zulfahmi, 2013). RAPD PCR-RAPD merupakan salah satu teknik molekuler berupa penggunaan penanda tertentu untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara in vitro. Teknik ini melibatkan penempelan primer tertentu yang dirancang sesuai dengan kebutuhan. Tiap primer boleh jadi berbeda untuk Universitas Sumatera Utara 10 menelaah keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda. Penggunaan teknik RAPD memang memungkinkan untuk mendeteksi polymorphisme fragmen DNA yang diseleksi dengan menggunakan satu primer arbitrasi, terutama karena amplifikasi DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat dengan adanya PCR (Suryanto, 2004). Kelebihan dari teknik analisa RAPD ialah pelaksanaannya lebih cepat, hanya membutuhkan sampel DNA dalam jumlah sedikit (0,5-50 nm) dan tidak membutuhkan radioisotope. RAPD tidak membutuhkan informasi sekuen DNA lebih dulu dan prosedurnya lebih sederhana, lebih cepat, lebih murah daripada RFLP. Sedangkan kelemahan dari teknik RAPD adalah tidak dapat membedakan individu homozigot dan heterozigot karena bersifat sebagai penanda dominan serta sulit mendeteksi perubahan yang kecil pada struktur DNA (gen), kecuali jika menggunakan lebih dari 500 jenis primer, polymorphismenya rendah, reproducibility rendah (dapat diperbaiki dengan emphasized-RAPD dengan menambah nucleotide (A,T,G, atau C) pada ujung 3’ pada primer yang asli. Selain itu RAPD menghasilkan data yang tidak spesifik dan tidak kodomain, namun karena kemudahan dan kecepatan dalam menganalisa data, maka teknik ini banyak digunakan (Bustaman dan Moeljopawiro, 1998). Penggunaan RAPD untuk melihat variasi genetik pada tanaman telah banyak dilakukan, diantaranya Putri et al. (2016) yang menggunakan primer RAPD (OPC-15, OPD-05, OPB-17, OPC-07, OPA-04, OPB-10, OPB-18 dan OPC-04) untuk mengidentifikasi keragaman genetik pada 21 genotipe tanaman tebu (Saccharum offciinarum L.), dimana dihasilkan rataan polimorfisme mencapai 95.94%. Untuk kelapa sawit sendiri, penggunakan marka RAPD telah Universitas Sumatera Utara 11 dilakukan oleh Moretzhson et al. pada tahun 1999 untuk memetakan sekuens DNA yang berperan dalam penentuan ketebalan cangkang biji pada tanaman kelapa sawit. Selain itu Mathius et al. (2001) menggunakan 4 primer RAPD yaitu OPC-08, SC10-19, OPC-07 dan OPW-19 menyimpulkan bahwa primer yang digunakan mampu membedakan genotipe normal dan tidak normal dalam klon yang sama untuk seluruh klon yang diuji. Kesamaan genetik antar klon normal lebih tinggi dibandingkan dengan kesamaan genetik antar genotipe normal dan abnormal maupun antar genotipe abnormal, hal yang sama juga dilakukan oleh Hetharie (2010) dengan menggunakan primer RAPD yang berbeda. Tingkat polimorfisme yang didapatkan dari analisis marka molekuler merupakan informasi yang penting bagi kegiatan pemuliaan untuk menjadi acuan untuk melihat kekayaan diversitas gen. Tingkat polimorfisme yang tinggi diduga terjadi apabila merupakan hasil dari persilangan tetua yang sangat jauh berbeda dan masih sedikit mengalami penekanan seleksi. Yang artinya, tanaman yang telah mengalami selfing dan seleksi pada umumnya mengalami perubahan diversitas gen, dimana apabila menggunakan marka yang sama dengan origin maka tingkat polimorfisme cenderung akan menurun (Putri et al., 2011). Universitas Sumatera Utara