KOMPOSISI KIMIA DAN AKTIVITAS INHIBITOR TOPOISOMERASE I DARI KERANG MAS NGUR (Atactodea striata) CELCIUS WARANMASELEMBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Komposisi Kimia dan Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata) adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2007 Celcius Waranmaselembun NRP. C551050021 ABSTRAK CELCIUS WARANMASELEMBUN. Komposisi Kimia dan Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata). Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO dan MULYONO S. BASKORO. Inhibitor topoisomerase merupakan salah satu target molekul untuk penemuan obat kanker. Topoisomerase terdiri dari 2 tipe yaitu topoisomerase I yang berperan dalam relaksasi supercoiled DNA dan memutus single stranded DNA; dan topoisomerase II yang berperan dalam relaksasi pada pemutusan double stranded DNA. Atactodea striata telah digunakan oleh masyarakat di kepulauan Kei Maluku Tenggara sebagai obat penyakit kuning. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi kerang Mas Ngur (Atactodea striata) dan menemukan senyawa kimia yang memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I. Kerang Mas Ngur (Atactodea striata) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pulau Kei Kecil Maluku Tenggara. Kerang kering diblender halus dan dianalisa komposisi kimianya serta asam amino, dengan metode standar (AOAC 1995). Selain itu bubuk kering diekstraksi menggunakan pelarut heksana, etil asetat dan metanol. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya diuji aktivitasnya sebagai inhibitor topoisomerase I. Kemudian dilakukan karakterisasi ekstrak aktif, yang dilanjutkan dengan isolasi golongan senyawa kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak heksana, etil asetat, dan metanol memiliki aktifitas inhibitor topoisomerase I. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari ekstrak metanol sebagai inhibitor topoisomerase I adalah 5 µg/ml. Hasil uji komposisi kimia bubuk kerang menunjukkan kadar air 7,84 %, abu 7,88 %, protein 56,08 %, lemak 5,95 %, serat kasar 1,25 %, dan karbohidrat 21 %. Ekstrak metanol mengandung senyawa alkaloid dan saponin, ekstrak etil asetat mengandung senyawa steroid dan ekstrak heksana mengandung saponin. ABSTRACT CELCIUS WARANMASELEMBUN. Chemical Composition and Topoisomerase I Inhibitor Activity of Mas Ngur Mollusk (Atactodea striata). Supervised by : LINAWATI HARDJITO and MULYONO S. BASKORO. Topoisomerase inhibitor is one of target molecule for the invention of cancer drug. There are two type of topoisomerases, namely topoisomerase I that relaxes supercoiled DNA by introducing transient nicks in the DNA substrate and topoisomerase II that cuts DNA substrate primarily at double stranded DNA. This paper reported the screening of Atactodea striata extracts as topoisomerase I inhibitor and their chemical content. Atactodea striata is a marine mollusk that has been used by local people in Kei island, South-East Maluku as traditional medicine to cure liver disease. This research aimed to investigate the nutrition content of Mas Ngur Mollusk (Atactodea striata) and finding chemical compound as topoisomerase I inhibitor. Mas Ngur Mollusk (Atactodea striata) was obtained from Kei Kecil island, South-East Maluku. The chemical content of Atactodea dried powder was analysed applying standard method. The powder was extracted using hexane, ethyl acetate and methanol. The extracts then was tested as topoisomerase I inhibitor. The active extract further chemically characterized. The results indicated that hexane, ethyl acetate, and methanol extracts positively inhibited topoisomerase I. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of the methanol extract was 5 µg/ml. The Atactodea striata powder contained water, ash, protein, fat, fiber, and carbohydrate of 7.84 %, 7.88 %, 56.08 %, 5.95 %, 1.25 %, 21 % respectively. Methanol extract contained alkaloid and saponin compound, while ethyl acetate extract contained steroid and hexane extract contained saponin compound. Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB dalam bentuk apapun tanpa izin IPB KOMPOSISI KIMIA DAN AKTIVITAS INHIBITOR TOPOISOMERSE I DARI KERANG MAS NGUR (Atactodea striata) CELCIUS WARANMASELEMBUN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Judul Penelitian : Komposisi Kimia dan Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata) Nama : Celcius Waranmaselembun NRP : C551050021 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Tanggal Ujian : 04 Oktober 2007 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun judul dari tesis ini adalah “Komposisi Kimia dan Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I Dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata)”. Penelitian ini merupakan bagian dari Hibah Penelitian Tim Pasca (HPTP) yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran sehingga penelitian dan penulisan ini dapat terselesaikan. Serta terimakasih kepada Ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. Tak lupa juga penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual Maluku Tenggara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di SPs IPB Bogor. 2. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana.. 3. Kepada ketua tim Program Hibah Penelitian Tim Pasacasarjana-HPTP (Hibah Pasca) dengan judul: ”Screening, Isolasi dan Identifikasi Inhibitor topoisomerase untuk target penemuan anti kanker dari organisme pesisir/laut yang telah digunakan sebagai obat tradisional” (2006-2007) yang telah mendanai penelitian ini. 4. Hasil karya ini juga penulis persembahkan kepada istri dan anak-anakku tercinta Yuliana Kopong, SPd., Paulus Pattiblile Waran, Hanna Chantika Waran, Gutsy Godlife Waran dan Prisdy Waran atas segala pengertian, ketabahan, kesabaran serta pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi. 5. Bapak Mertua Petrus Kopong atas dukungan moril dan materiil. i 6. Lulut Dwi Sulistyaningsih, S.Si. atas bantuannya dalam uji inhibitor enzim topoisomerase I. 7. Ibu Heny, Erna, S.Si, Desya, S.Si, Ian, Lusy, dan Dian atas dukungan dan persahabatannya. 8. Mas Dany, Ibu Niken, Ibu Dewi, Mas Agus, dan Mas Fajar sebagai rekanrekan penelitian Hibah Pasca 2006-2007 atas dukungan dan kerjasamanya. 9. Rekan-rekan dari Tual : Suhu Usman, Beni, Yula. Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaannya, oleh karena itu segala saran dan kritik dalam penyempurnaannya sangatlah penulis harapkan. Bogor, Oktober 2007 Celcius Waranmaselembun ii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Geser pada tanggal 15 September 1965 dari keluarga Bapak Nikolaus Waranmaselembun dan Ibu Rosina Olingir. Penulis merupakan anak ke tujuh dari delapan bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD GPM Lafa Kec. Tehoru, Maluku Tengah pada tahun 1979, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 7 Ambon pada tahun 1982 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Ambon pada tahun 1985. Pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Pattimura Ambon melalui jalur PMDK Unpatti Ambon pada Fakultas Perikanan, Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan (PHP). Penulis memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada tahun 1990. Sejak lulus pada tahun tersebut penulis dikontrak oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Jakarta pada Bidang Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dan setelah mengikuti training selama sembilan bulan penulis di percayakan untuk menangani bantuan-bantuan sosial ekonomi kepada masyarakat kecil di Semarang dan Regio Sulawesi Maluku. Pada tahun tersebut penulis juga termasuk salah satu pelatih pengusaha muda setelah memperoleh sertifikat TOT atas kerjasama KWI dengan YIS Solo. Pada tahun 1987 penulis di panggil Pemda Kabupaten Maluku Tenggara untuk mengelola Akademi Perikanan Larvul Ngabal milik Pemdakab Malra. Pada tahun 2004 Akademi Perikanan Larvul Ngabal mendapat SK menjadi Politeknik Perikanan Negeri Tual dan penulis diangkat menjadi PNS sebagai staf. Selama di Akademi maupun di Politeknik penulis menjabat sebagai Ketua Jurusan THP dan Pembantu Direktur I Bidang Akademik hingga tahun 2005. Pada tahun tersebut penulis melanjutkan pendidikan Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB. iii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ---------------------------------------------------------------- vi DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------ vii DAFTAR LAMPIRAN ----------------------------------------------------------- viii 1 2 3 PENDAHULUAN --------------------------------------------------------- 1 1.1 Latar Belakang --------------------------------------------------------- 1 1.2 Perumusan Masalah ---------------------------------------------------- 3 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ---------------------------------------- 3 1.4 Hipotesis ----------------------------------------------------------------- 3 TINJAUAN PUSTAKA ----------------------------------------------------- 5 2.1 Deskripsi Kerang Mas Ngur (Atactodea striata) --------------------- 5 2.1.1 Bentuk Cangkang ---------------------------------------------- 6 2.1.2 Habitat ---------------------------------------------------------- 7 2.1.3 Penyebaran ------------------------------------------------------ 7 2.1.4 Cara Membenamkan Diri ke Dalam Pasir -------------------- 9 2.2 Kandungan Senyawa Bioaktif Kerang Laut -------------------------- 9 2.3 Komponen Bioaktif Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan ---------------------------------------------------- 11 2.3.1 Protein ----------------------------------------------------------- 12 2.3.2 Karbohidrat ----------------------------------------------------- 14 2.3.3 Asam Lemak ---------------------------------------------------- 16 2.4 Asam Amino ------------------------------------------------------------- 18 2.5 Ekstraksi Senyawa Bioaktif -------------------------------------------- 20 2.6 DNA dan Inhibitor Topoisomerase ------------------------------------ 22 METODOLOGI --------------------------------------------------------------- 25 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ----------------------------------------- 25 3.2 Bahan dan Peralatan ---------------------------------------------------- 25 3.3 3.2.1 Bahan ------------------------------------------------------------ 25 3.2.2 Peralatan -------------------------------------------------------- 25 Metode Penelitian ------------------------------------------------------- 26 iv 3.3.1 Analisa Komposisi Kimia dan Asam Amino ---------------- 26 3.3.1.1 Analisa Komposisi Kimia Atactodea striata -------- 26 3.3.1.2 Analisa Asam Amino Atactodea striata ------------- 29 3.3.2 Ekstraksi Senyawa Bioaktif Atactodea striata --------------- 31 3.3.3 Uji Inhibitor Topoisomerase I --------------------------------- 32 3.3.4 Uji Kelompok Senyawa Kimia -------------------------------- 33 3.3.5 4 5 3.3.4.1 Uji Ninhidrin ----------------------------------------- 33 3.3.4.2 Uji Molish -------------------------------------------- 33 3.3.4.3 Uji Bradford ----------------------------------------- 34 3.3.4.4 Uji Alkaloid ------------------------------------------ 34 3.3.4.5 Uji Saponin ------------------------------------------ 35 3.3.4.6 Uji Flavonoid ---------------------------------------- 36 3.3.4.7 Uji Triterpenoid dan Steroid ------------------------ 36 Isolasi Senyawa Aktif Inhibitor Topoisomerase I ----------- 36 HASIL DAN PEMBAHASAN ---------------------------------------------- 38 4.1 Komposisi Kimia Atactodea striata ----------------------------------- 38 4.2 Komposisi Asam Amino Atactodea striata --------------------------- 43 4.3 Rendemen Ekstrak Atactodea striata --------------------------------- 49 4.4 Inhibitor Topoisomerase I dari Ekstrak Atactodea striata ----------- 50 4.5 Konsentrasi Minimum Penghambatan (MIC) Topoisomerase I ---- 53 4.6 Golongan Senyawa Kimia Ekstrak Aktif Atactodea striata --------- 54 4.7 Isolasi Senyawa Aktif -------------------------------------------------- 56 4.7.1 Isolasi Senyawa Alkaloid -------------------------------------- 56 4.7.2 Isolasi Senyawa Steroid --------------------------------------- 57 KESIMPULAN DAN SARAN ---------------------------------------------- 61 5.1 Kesimpulan -------------------------------------------------------------- 61 5.2 Saran --------------------------------------------------------------------- 61 DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------- 62 LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------------- 69 v DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kimia serbuk kering Atactodea striata dibandingkan dengan sumber nutrisi lain --------------------------------- 38 2 Kandungan asam amino Atactodea striata dibandingkan dengan ayam lokal dan tepung ikan ----------------------- 43 3 Klasifikasi asam amino berdasarkan sifat fisik dan kimia dari Atactodea striata ------------------------------------------------------- 48 4 Rendemen ekstrak Atactodea striata dengan metode ekstraksi bertingkat --------------------------------------------------------- 50 5 Hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak heksana, etil asetat dan metanol pada konsentrasi 50 µg/ml ----------------------- 51 6 Hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak metanol pada berbagai konsentrasi -------------------------------------------------- 53 7 Hasil karakterisasi ekstrak aktif Atactodea striata ----------------------- 54 8 Hasil uji kualitatif ekstrak aktif Atactodea striata ------------------------ 55 9 Hasil uji kualitatif isolat senyawa alkaloid Atactodea striata ----------- 56 10 Hasil uji kualitatif isolat senyawa steroid Atactodea striata ------------- 58 vi DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Road map penelitian komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase I dari Atactodea striata ------------------------------------ 4 2 Jenis-jenis remis ------------------------------------------------------------- 7 3 Bagian-bagian dari Atactodea striata ------------------------------------- 7 4 Penampang melintang pantai pasir pulau karang tempat hidup remis ---------------------------------------------------------- 9 5 Struktur lamellarin D ------------------------------------------------------- 10 6 Struktur beberapa topoisomerase poison ---------------------------------- 23 7 Perbedaan antara inhibitor katalitik dan poison -------------------------- 24 8 Diagram alir proses ekstraksi bahan aktif dari Atactodea striata ------------------------------------------------------- 32 9 Histogram kandungan asam amino dari A. striata, ayam lokal dan tepung ikan ------------------------------------------------ 44 10 Hasil elektroforesis uji inhibitor topoisomerase I dari berbagai ekstrak -------------------------------------------------------- 50 11 Hasil elektroforesis uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak metanol dengan berbagai konsentrasi ----------------------- 53 12 Struktur 5α-cholestane-hexaol --------------------------------------------- 60 13 Struktur annasterol ---------------------------------------------------------- 60 vii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta dan foto-foto lokasi pengambilan sampel --------------------------- 69 2 Bagan alir ekstraksi alkaloid ----------------------------------------------- 70 3 Bagan alir ekstraksi steroid ------------------------------------------------- 71 4 Hasil analisa asam amino Atactodea striata dengan HPLC ------------- 72 5 Hasil karakterisasi ekstrak aktif Atactodea striata ----------------------- 75 6 Hasil uji senyawa ekstrak aktif Atactodea striata ------------------------ 76 7 Hasil uji isolat senyawa alkaloid bebas dari ekstrak metanol ----------- 77 8 Hasil uji isolat senyawa steroid bebas dari ekstrak metanol dan etil asetat ---------------------------------------------------------------- 77 viii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumberdaya laut yang besar dengan keanekaragaman organisme laut yang tinggi merupakan penopang pengetahuan tradisional akan berbagai obat-obatan yang dimanfaatkan turun-temurun. Hal ini menunjukkan bahwa potensi alam laut Indonesia mempunyai peluang besar untuk berbagai penelitian dalam penemuan obat baru. Bhakuni dan Rawat (2005) melaporkan bahwa sampai saat ini ± 16.000 produk alam laut telah di isolasi dari organisme laut yang dilaporkan dalam ± 6.800 penerbitan. Beberapa senyawa yang di isolasi dari sumberdaya laut memperlihatkan aktivitas biologi yang kuat. Dengan demikian laut dianggap sebagai sumber bahan obat yang potensial. Maluku Tenggara memiliki luas wilayah 103.474 km2, dengan luas laut 93.100 km2 (89,97 %) yang terdiri 123 pulau, mempunyai potensi sumberdaya laut dan keanaekaragaman hayati yang tinggi sebagaimana ciri dari ekosistem daerah tropis. Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara (2004) jumlah produksi perikanan pada tahun 2003 sebesar 94.599,3 ton, terdiri dari komoditas perikanan tuna, pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan komoditas perikanan lainnya. Keanekaragaman hayati perairan pesisir pada tingkat spesies terdiri atas filum moluska : 160 spesies (kelas gastropoda), kelas bivalvia (41 spesies), kelas holothuridae (8 spesies), kelas echinoidea (3 spesies), 9 spesies ekinodermata, 14 spesies alga, 256 spesies ikan karang, 69 spesies terumbu karang. Keanekaragaman hayati yang kaya tersebut merupakan karunia Tuhan yang harus dikelola secara arif sehingga memberikan nilai manfaat bagi manusia. Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya hayati tersebut adalah penggunaan kerang Atactodea striata sebagai obat. Kerang ini sudah sejak dahulu kala digunakan oleh masyarakat Kei Maluku Tenggara sebagai obat penyakit kuning dan telah terbukti kemanjurannya. Masyarakat Kei Maluku Tenggara biasa menyebut kerang ini dengan nama mas ngur (kerang mas) karena warnanya putih dengan garis kekuning-kuningan. 2 Oleh karena kerang ini digunakan sebagai obat penyakit kuning maka diduga memiliki senyawa bioaktif (metabolit primer dan sekunder). Metabolisme merupakan proses sintesis substansi kimia dan degradasi oleh organisme dengan sistem enzimatik. Jalur-jalur biosintetik (biosynthetic pathways) digunakan oleh semua makhluk hidup dalam memproduksi metabolit yang esensial untuk kelangsungan hidup dan pertahanan dirinya. Metabolit primer digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup seperti lemak, DNA, protein dan karbohidrat. Sedangkan metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon terhadap lingkungannya (Murniasih 2005). Kerang mas ngur (Atactodea striata) diduga memiliki metabolit sekunder karena secara tradisional telah terbukti kemanjurannya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai substansi aktif dalam bidang obat-obatan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui senyawa bioaktif dari kerang mas ngur (Atactodea striata). Makkasau (2001) menemukan lima jenis asam lemak yang terdapat pada kerang Atactodea striata yaitu asam 9oktadekenoat (asam oleat); asam 9-oktadekenoat-12 asetil oksi, metil ester; asam heksadekanoat (asam palmitat); asam 11-oktadekenoat, metil ester (metil-11oktadekenoat); dan asam oktadekanoat (asam stearat). Selaian itu, Feri (2003) melaporkan bahwa ekstrak metanol, kloroform, diklorometana dan etil asetat Atactodea striata mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Ekstrak diklorometana dan n-heksana mampu menghambat pertumbuhan bakteri Diplococcus pneumonia, fraksi A, B, C, D, F, G, H ekstrak diklorometana mampu menghambat bakteri S. aureus, fraksi B, D, F, G ekstrak diklorometana mempunyai kandungan kimia terpenoid. Selanjutnya, Yang et al. (2003) menemukan glutathione S-transferase (GST) isoenzim baru dari cytosol hepatopankreas Atactodea striata dengan berat molekul 24 kDa - 48 kDa. Enzim yang dipurifikasi, memperlihatkan aktivitas yang tinggi terhadap 1-chloro-2,4dinitrobenzene (CDNB), 7-chloro-4-nitrobenzo-2-oxa-1,3-diazole (NBD-CL). Berdasarkan pengalaman empiris dan hasil dari beberapa penelitian tersebut diatas maka diduga kerang mas ngur (Atactodea striata) memiliki aktivitas sebagai antikanker dan untuk membuktikannya maka dilakukan uji inhibitor topoisomerase. Inhibitor topoisomerase merupakan salah satu target molekul 3 untuk penemuan obat kanker. Topoisomerase terdiri dari 2 tipe yaitu topoisomerase I yang berperan dalam relaksasi supercoiled DNA dan memutus single stranded DNA; dan topoisomerase II yang berperan dalam relaksasi pada pemutusan double stranded DNA (TopoGen 2006). Mengingat inhibitor topoisomerase sebagai salah satu target molekul antikanker terutama dalam pencarian obat kanker maka penelitian ini diharapkan dapat menemukan obat antikanker yang dapat disediakan dalam bentuk “nutraceutical” karena kerang memiliki nilai gizi tinggi. Adapun road map penelitian kerang mas ngur (Atactodea striata) dapat dilihat pada Gambar 1. 1.2 Perumusan Masalah Salah satu obat tradisional yang telah lama dikenal oleh masyarakat di Kei Maluku Tenggara sebagai obat penyakit kuning adalah kerang mas ngur (Atactodea striata). Namun komposisi kimia dan aktivitas biologis bahan yang dikandung kerang ini belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase I dari kerang mas ngur (Atactodea striata). 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi kerang mas ngur (Atactodea striata) dan menemukan senyawa kimia yang memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada bidang perikanan khususnya eksploitasi sumber daya laut non ikan sebagai produk nutraceutical. 1.4 Hipotesis Kerang mas ngur (Atactodea striata) memiliki kandungan gizi yang baik dan senyawa kimia yang diekstraksi memiliki aktivitas sebagai inhibitor topoisomerase I. Atactodea striata Kepah Atactodea striata Makkasau (2001) Asam Lemak Utama Tude Bombang (Atactodea striata) Fery (2003) Aktivitas Antibakteri Analisa Komposisi Kimia : - Air - Lemak - Abu - Serat Kasar - Protein - Karbohidrat Atactodea striata Yang et al. (2003) Glutathione S-transferase (GST) Ekstraksi Heksana E. Asetat Ekstrak kasar Mas ngur (Atactodea striata) Waranmaselembun (2007) Komposis Kimia dan Aktivitas Inhibitor Topoisomarase I Analisa asam amino Metanol Dibersihkan Uji inhibitor topo I Karakterisasi : - Uji Ninhidrin - Uji Molish - Uji Lieberman Burchard - Uji Bradford Ekstrak aktif Isolasi senyawa ekstrak aktif Uji senyawa kimia : - Alkaloid - Steroid - Terpenoid - Saponin Gambar 1. Road map penelitian komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase I dari Atactodea striata 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kerang Mas Ngur (Atactodea striata) Menurut Deker dan Orlin (2000), klasifikasi kerang mas ngur (Atactodea striata) sebagai berikut : Kingdom : Animal Filum : Molusca Klas : Bivalvia (bivalves and clams) Subklas : Heterodonta Ordo : Veneroida Sub Famili : Mactroidea Famili : Mesodesmatidae Genus : Atactodea Spesies : Atactodea striata (Gmelin 1791) Bivalvia umumnya berbentuk simetris bilateral dan pipih lateral. Cangkang terdiri atas 2 katup, satu pada tiap sisinya. Kedua katup tersebut dihubungkan oleh ligamen di bagian dorsal, terkunci satu sama lainnya dengan gigi engsel dan ditutup oleh otot eduktor. Tubuhnya diselubungi oleh dua cuping mantel yang berbentuk cangkang. Bagian kepala tidak jelas, tidak mempunyai mata atau sungut (Matsuura et al. 2000). Menurut Sunarto (2001), ada 6 jenis kerang yang biasa dijumpai di pasir pantai pulau-pulau karang di Indonesia, yaitu Latona faba (Gmelin, 1791), Gafrarium tumidum (Roding, 1798), Asaphis violascens (Forskal, 1775), Atactodea glabrata (Gmelin), Atactodea striata (Gmelin) dan Davila plana (Hanley). Dari ke enam jenis kerang tersebut di atas, tiga jenis yang disebutkan terakhir adalah jenis kerang yang biasa disebut dengan nama "remis" dan termasuk dalam Suku Mesodesmatidae (Moluska: Pelecypoda). Atactodea striata merupakan salah satu jenis kerang-kerangan yang termasuk dalam kelompok moluska. Kerang ini banyak dijumpai di daerah pasang surut dengan bentuk adaptasi yang tinggi. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh keadaan sekeliling seperti temperatur, makanan, kondisi perairan dan kedalaman 6 membenamkan diri. Kerang memiliki pelindung tubuh yang lunak berupa cangkang yang mengandung zat kapur. Tubuh biasanya tersimpan dalam cangkang sehingga tidak tampak dari luar. Dalam keadaan aman, tubuhnya dijulurkan keluar dan bagian tubuh yang pertama kali tampak adalah kakinya yang digunakan untuk berjalan (merayap) atau berenang. Kerang ini disebut juga bivalis karena kedua cangkangnya menyatu. Cangkangnya tipis, keras, berwarna putih kekuning-kuningan dengan ukuran antara 1 sampai 3,5 cm (Moka 1982). Menurut Moka (1982), kerang laut Atactodea striata memiliki nama daerah sebagai berikut : kepah (Indonesia), tude bombang (Makasar), kasii (Bima), seasea (Mandar), baje bombang (Bugis). Sedangkan di daerah Kei Maluku Tenggara dikenal dengan nama mas ngur. 2.1.1 Bentuk Cangkang Bentuk cangkang kerang biasanya erat hubungannya dengan tempat hidup/substrat di mana kerang tersebut hidup. Pada umumnya cangkang yang berbentuk segitiga dan bagian depan (anterior) lancip akan lebih mudah menembus atau membenamkan diri ke dalam substrat (Sunarto 2001). Ketiga jenis remis (Atactodea glabrata, Atactodea striata dan Davila plana) yang hidup di pasir pantai pulau-pulau karang mempunyai bentuk cangkang yang agak berlainan satu sama lain. Davila plana mempunyai bentuk cangkang bulat telur dengan seluruh tepinya bulat, sedangkan bagian depan (anterior) lebih pendek dari pada bagian belakangnya (posterior). Permukaan luar cangkang kerang Davila plana licin dan berwarna coklat muda. Kerang ini memiliki panjang cangkang 24 mm. Cangkang kerang Atactodea striata berbentuk segitiga, mempunyai garis-garis konsentris yang nyata pada permukaan cangkang bagian luarnya mulai dari tepi cangkang sampai pada bagian dekat engsel dan berwarna putih. Kerang ini dapat mencapai panjang 28 mm. Atactodea glabrata mempunyai cangkang berbentuk segitiga dan agak lebih tebal jika dibandingkan dengan cangkang Atactodea striata. Garis-garis konsentris kurang nyata pada cangkang kerang ini dan pada bagian dekat engsel licin. Kadang kadang pada bagian bibir cangkang berwarna hijau karena ditumbuhi oleh lumut. Kerang ini dapat mencapai panjang 28 mm (Gambar 2 dan 3) (Sunarto 2001). 7 Gambar 2 Jenis-jenis remis (Sunarto 2001) Gambar 3 Bagian-bagian dari Atactodea striata (Matsuura et al. 2000) 2.1.2 Habitat Habitat remis adalah pasir putih yang terdapat di pantai sekeliling pulaupulau karang. Biasanya pantai pulau-pulau karang mempunyai lebar antara 2 dan 8 meter dan mempunyai kemiringan antara 5° dan 10°. Pantai berpasir ini pada umumnya terendam air pada waktu pasang dan terkena sinar matahari pada waktu air surut di siang hari. Pada waktu panas matahari terik dan air surut, suhu pasir di pantai pulau-pulau karang ini cukup tinggi, dapat mencapai 35°C. Inilah suatu keistimewaan remis, mereka hidup dan berkembang biak dengan baik pada habitat yang bersuhu cukup tinggi dan kekeringan selama air surut (Sunarto 2001). 2.1.3 Penyebaran Menurut Sunarto (2001), remis di pasir pantai pulau-pulau karang dapat dibagi menjadi tiga penyebaran, yaitu penyebaran horizontal (penyebaran 8 memanjang pantai), penyebaran lateral (penyebaran melintang pantai) dan penyebaran vertikal (penyebaran kedalaman). (1) Penyebaran memanjang pantai (Penyebaran horizontal) Penyebaran memanjang pantai ialah penyebaran yang dilihat dari potongan memanjang suatu garis pantai (sepanjang pantai yang mengelilingi suatu pulau). Dari penyebaran ini terlihat bahwa remis menyebar tidak merata sepanjang pantai. Ada daerah yang padat populasinya dan ada daerah yang rendah populasinya. Ini mungkin erat kaitannya dengan banyak atau sedikitnya makanan di sepanjang pantai tersebut. (2) Penyebaran melintang pantai (Penyebaran lateral) Penyebaran melintang ialah penyebaran dari batas air pada waktu surut sampai dengan pasir yang berbatasan dengan semak. Dilihat dari susunan pasir dan besarnya butiran pasir, pantai pulau karang dapat dibagi menjadi 3 zona, yaitu zona I adalah daerah berpasir kasar yang susunan pasirnya tidak padat dan berbatasan dengan air laut pada waktu air surut; zona II adalah daerah di atas zona I, berpasir relatif lebih halus dan susunan pasirnya lebih padat dari pada zona I; dan zona III adalah daerah di atas zona II sampai dengan berbatasan dengan semak, berpasir halus dan susunan pasirnya padat sehingga agak keras untuk ditembus (Gambar 4). Masing-masing jenis kerang menempati zona yang sesuai dengan bentuk cangkangnya. Davila plana yang mempunyai bentuk anterior lebih pendek menempati zona I, Atactodea glabrata menempati zona II dan ada juga yang menempati zona I terutama yang masih kecil-kecil. Hal ini mungkin disebabkan karena kemampuan mereka untuk menembus substrat masih kurang kuat sehingga memilih hidup di zona I. Atactodea striata yang cangkang lebih tipis dan mempunyai garis-garis konsentris lebih dalam menempati zona III. (3) Penyebaran kedalaman (Penyebaran vertikal). Penyebaran kedalaman ialah penyebaran sampai sedalam mana kerang tersebut dapat membenamkan diri. Penyebaran kedalaman dari ke tiga jenis remis kelihatannya ditentukan oleh padat dan tidaknya susunan pasir di suatu pantai. Davila plana yang menghuni Zona I (pasir kasar dan susunan pasirnya tidak padat) dapat membenamkan diri paling dalam, yaitu sekitar 3-10 cm. Atactodea 9 glabrata dan Atactodea striata yang menghuni zona yang susunan pasirnya padat rata-rata dapat membenamkan diri antara 0-4 cm. Davila plana Atactodea striata Atactodea glabrata Gambar 4 Penampang melintang pantai pasir pulau karang tempat hidup remis (Sunarto 2001) 2.1.4 Cara Membenamkan Diri ke Dalam Pasir Remis membenamkan diri ke dalam pasir dengan menggunakan otot kaki. Bila remis tersebut diambil dari dalam pasir dan diletakkan di atas pasir, maka tidak lama kemudian remis tersebut akan berusaha untuk masuk kembali (membenamkan diri) ke dalam pasir. Mula-mula kakinya dikeluarkan dari dalam cangkang, lalu kaki tersebut berusaha untuk menggapai pasir yang ada di bawahnya. Setelah kaki tersebut masuk ke dalam pasir, dengan membengkokkan dan mengerutkan ujung kakinya yang berada di dalam pasir, kerang tersebut berusaha untuk tegak. Setelah tegak, kakinya dimasukkan lagi lebih dalam ke dalam pasir dan mengulang gerakan-gerakan seperti yang disebutkan di atas sehingga seluruh cangkangnya masuk ke dalam pasir. Untuk mempermudah pekerjaan tersebut, remis biasanya menunggu air laut pasang karena pada waktu air pasang kepadatan pasir relatif lebih gembur. Karena cangkangnya yang pipih dan bentuknya segi-tiga, kerang dari Suku Mesodesmatidae ini dapat membenamkan diri lebih cepat dibandingkan dengan kerang dari suku yang lain (Sunarto 2001). 2.2 Kandungan Senyawa Bioaktif Kerang Laut Invertebrata laut yang mempunyai struktur pergerakan fisik lebih terbatas dibanding dengan vertebrata laut, mampu mengembangkan sistem pertahanan diri dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense). Lingkungan laut sangat mempengaruhi keaktifan dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh biotanya. 10 Hubungan ekologi dengan keaktifan senyawa yang dihasilkannya dapat dibuktikan dengan melihat kecenderungan bahwa sumber terbesar substansi bioaktif berasal dari organisme laut di daerah tropik, khususnya daerah Indo Pasifik (Paul 1992). Invertebrata laut merupakan produsen senyawa bioaktif terbesar diantara biota lainnya. Biota yang kaya dengan senyawa bioaktif adalah spons, cnidarians, bryozoa, tunicates dan algae (Ireland et al. 1988). Beberapa metabolit sekunder yang diproduksi oleh invertebrata laut dan mikroorganisme simbion, mempunyai prospek sebagai zat aktif untuk obat berbagai penyakit seperti infeksi, neurologi (parkinsons, alzheimer’s), penyakit jantung, immunologi, anti-inflammatory, antivirus dan antikanker (Murniasih 2005). Moluska laut merupakan sumber potensial dari senyawa-senyawa yang berperan untuk pengembangan agen-agen antimikroba baru (Benckendorff 2001) misalnya kahalalide F diisolasi dari moluska jenis Elysia rubefescens yang memiliki aktivitas sebagai antikanker usus dan prostat (Hamman et al. 1996). Facompre et al. (2003) melaporkan telah mengidentifikasi dan mengkarakterisasi potensi inhibitor topoisomerase I yang baru yang diberi nama lamellarin D (Gambar 5). Lamellarin D (LAM-D) diisolasi dari moluska laut subklas Prosobranchia yaitu Lamellaria sp dan merupakan senyawa alkaloid. Alkaloid ini diketahui memiliki aktivitas terhadap sel lestari tumor yang resisten terhadap berbagai obat dan sitotoksik yang sangat tinggi terhadap sel kanker prostat. Gambar 5 Struktur lamellarin D (Facompre et al. 2003). 11 Yang et al. (2003) telah menemukan glutathione S-transferase (GST) isoenzim baru dari cytosol hepatopankreas Atactodea striata dengan berat molekul dari enzim yang dideterminasi dengan SDS-PAGE electrophoresis adalah sebesar 24 kDa dan dengan kromatografi gel sebesar 48 kDa. Enzim yang dipurifikasi memperlihatkan aktivitas yang tinggi terhadap 1-chloro-2,4dinitrobenzene (CDNB) dan 7-chloro-4-nitrobenzo-2-oxa-1,3-diazole (NBD-CL). Fungsi penting GST adalah sebagai pelindung dalam mereduksi racun dari bahan organik hidroperoksida (Edwards et al. 2000). Makkasau (2001), beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi peptida bioaktif dari kerang Elysia rufescens yaitu kahalalida A, B, C, D, E, F, dan G. Beberapa dari kahalalida tersebut memiliki aktivitas biologi seperti, kahalalida A menunjukkan aktivitas dalam melawan virus herpes simpleks II (HSV II), kahalalida E menunjukkan aktivitas melawan HSV II pada konsentrasi 5 µg/ml, kahalalida F menunjukkan aktivitas terhadap AIDS. Makkasau (2001) melaporkan bahwa kerang Atactodea striata mengandung senyawa steroid kelompok sterol yaitu β-Sitosterol. Selanjutnya hasil uji identifikasi kimia ekstrak metanol dan kloroform dari Atactodea striata positif mengandung alkaloid, saponin, steroid, dan terpenoid. Sedangkan ekstrak etil asetat positif mengandung alkaloid dan saponin, serta ekstrak n-heksana positif mengandung alkaloid dan steroid (Feri 2003). 2.3 Komponen Bioaktif Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Makanan berfungsi sebagai sumber energi dan zat gizi (nutrien) serta mikronutrien. Efek fisiologis dari berbagai senyawa minor yang ada dalam makanan dan pengaruhnya terhadap kesehatan banyak mendapat perhatian para peneliti dalam tiga dekade terakhir ini. Kadar senyawa ini biasanya rendah sehingga biasanya dikelompokkan dalam komponen bioaktif, karena mempunyai efek fisiologis yang positif. Komponen-komponen bioaktif dalam makanan dapat terbentuk secara alami atau terbentuk selama proses pengolahan makanan. Makanan yang mengandung komponen bioaktif yang berpengaruh secara fisiologis untuk meningkatkan kesehatan, mencegah, serta mengobati berbagai penyakit, di samping fungsinya sebagai sumber zat gizi, disebut juga makanan fungsional (Silalahi 2002). 12 2.3.1 Protein Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang, dan unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 1997). Protein merupakan makromolekul yang paling melimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering pada hampir semua organisme (Lehninger 1993). Protein merupakan polipeptida dengan berat molekul berkisar antara kurang lebih 5.000 hingga 1 x 10 6. Beberapa protein dapat larut dalam air; sedangkan lainnya memerlukan larutan garam encer sebagai pelarutnya; dan lainnya, seperti keratin rambut dan kulit tidak dapat larut dalam semua sistem berair. Banyak protein telah dipecah dan dimurnikan berdasar atas ukuran molekul dan kelarutannya (Montgomery et al. 1993). Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada. Secara garis besar fungsi protein yaitu sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pembangun sel-sel jaringan tubuh, pertahanan tubuh, bahan bakar dan pemberi tenaga, menjaga asam basa cairan tubuh, membuat protein darah, dan media perambatan impuls saraf (Nasoetion et al. 1994). Protein adalah komponen yang sangat reaktif. Sisi rantai yang berupa asamasam yang terikat dalam protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi, polifenol, senyawa hasil oksidasi lemak, serta bahan yang ditambahkan, misalnya alkali (Muchtadi 1992). Banyak protein yang telah diisolasi dalam bentuk kristal. Hidrolisis protein dengan asam atau basa menghasilkan suatu campuran asam amino bebas, unit pembangunnya. Tiap jenis protein menghasilkan campuran atau proporsi jenisjenis asam amino yang khas setelah hidrolisis tersebut. Tidak semua protein memiliki ke 20 asam amino dalam jumlah yang sama, beberapa asam amino mungkin terdapat hanya satu kali per molekul di dalam protein tertentu dan yang lain mungkin terdapat dalam jumlah yang besar (Lehninger 1993). Kekurangan protein menyebabkan malnutrisi protein pada anak saat lahir (kwashiorkor), defisiensi energi bersama protein (marasmus), atau gabungan 13 keduanya yang dapat mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan sampai suatu sindrom klinis berat yang spesifik. Keadaan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh intake makanan, tetapi juga oleh keadaan lingkungan seperti pemukiman, sanitasi dan higiene, serta infeksi berulang yang pernah dialami tubuh (Effendi 2002). Kelebihan protein bisa menyebabkan obesitas karena makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan urea darah, dan demam. Asam amino yang berlebihan akan memberatkan kerja ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen (Almatsier 2002). Pembatasan konsumsi protein pada penderita penyakit hati dilakukan apabila pasien mengalami intoleransi protein. Kondisi ini biasanya ditemukan pada pasien koma hepatik. Konsumsi sumber protein selain daging, seperti sayuran dan produk susu, sangat dianjurkan. Sayuran dan produk susu mengandung amonia, metionin, dan asam amino aromatik (AAA) yang lebih rendah serta asam amino rantai cabang (BCAA) yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging (Nelson et al. 1994). Protein pangan adalah sumber utama asam amino yang dikonsumsi, baik sebagai protein atau sebagai asam amino bebas. Selama proses pengolahan, protein dapat berubah menjadi asam amino bebas yang selanjutnya menjadi senyawa amin. Jadi, senyawa amin merupakan komponen minor dalam makanan yang tersedia secara alamiah atau terbentuk selama proses pengolahan. Sebagian senyawa amin tersebut aktif secara fisiologis sehingga sering disebut amin bioaktif (bioactive amine). Pada umumnya, amin bioaktif terdapat di dalam bahan makanan dalam jumlah kecil dan biasanya tidak beracun. Tetapi, dalam makanan tertentu, terutama yang diolah dengan proses fermentasi, konsentrasi beberapa amin bioaktif meningkat sehingga dapat bersifat toksik jika dikonsumsi (Silalahi 2002). Amin bioaktif umumnya aktif secara fisiologis terhadap susunan syaraf pusat (psikoaktif) dan sistem peredaran darah (vasoaktif), baik langsung maupun tidak langsung. Tiramin dan feniletilamin dapat menaikkan tekanan darah. Sebaliknya, histamin mempunyai efek menurunkan tekanan darah. Keracunan 14 amin bioaktif dapat terjadi apabila kadar amin toksik meningkat dalam makanan yang dikonsumsi dan efeknya dapat dipengaruhi oleh zat lain dan obat tertentu (Silalahi 1994). Pada kondisi normal, dalam tubuh tersedia suatu sistem penawar efek senyawa amin (detoksikasi amin), yaitu enzim-enzim monoamin oksidase (MAO), diaminoksidase (DAO), histamin metil transferase (HMT), dan histaminase dalam hati serta dinding usus. Enzim-enzim ini akan mengubah amin toksis menjadi bentuk yang tidak aktif. Tetapi, karena pengaruh zat lain atau kondisi seseorang, sistem detoksikasi tidak berfungsi, maka kepekaan orang tersebut meningkat dan keracunan amin toksis dapat terjadi (Silalahi 1997). 2.3.2 Karbohidrat Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat dan lignin yang tidak dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim percernaan manusia, dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh sehingga akan menjadi substrat untuk fermentasi bakteri yang hidup di kolon. Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul dan kelarutannya. Kebanyakan jenis karbohidrat yang sampai ke kolon tanpa terhidrolisis meliputi polisakarida yang bukan pati (non-starch polysaccharides/NSP), pati yang resisten (resistant starch/RS), dan karbohidrat rantai pendek (short chain carbohydrates/SC). Serat pangan yang larut sangat mudah difermentasikan dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta lipida, sedangkan serat pangan yang tidak larut akan memperbesar volume feses dan akan mengurangi waktu transitnya (bersifat laksatif lemah). Monomer dari serat pangan (NSP) adalah gula netral dan gula asam, sedangkan lignin terdiri dari monomer aromatik. Gula-gula yang membentuk serat pangan yakni glukosa, galaktosa, xylosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa, dan gula asam seperti mannuronat, galakturonat, glukoronat, serta 4-O-metil-glukoronat (Muir 1999). Serat terlarut akan memperlambat waktu transit dari mulut ke usus dengan mengurangi kecepatan pengosongan lambung, tetapi meningkatkan waktu transit usus. Peningkatan viskositas isi usus akan mengurangi kecepatan transportasi zat gizi dan menghalangi kontak antara zat gizi dengan permukaan mukosa. Dengan demikian, peristaltik pengadukan menurun, kontak antara substrat dengan enzim dan pembentukan misel berkurang, sehingga penyerapan diperlambat. Serat tak terlarut seperti selulosa akan menambah volume dan memperlunak feses serta 15 mengurangi waktu transit isi kolon. Serat terlarut (seperti, xylosa dan arabinosa dari hemiselulosa) terfermentasikan hanya sedikit mempengaruhi volume feses di kolon. Serat terlarut mengurangi kadar gula sesudah makan dan memperbaiki profil insulin. Serat terlarut bersifat hipoglikemik melalui beberapa mekanisme. Peningkatan viskositas dalam saluran pencernaan dianggap sebagai faktor utama yang mempengaruhi kecepatan penyerapan glukosa. Dengan memperlambat waktu transit dari lambung ke usus halus, berarti mengurangi absorpsi zat gizi, yang juga terjadi karena tidak tersedianya pati dan gula akibat terjerat (Kritchevsky 1999). Oligosakarida adalah karbohidrat sederhana, banyak dikonsumsi dalam bentuk minuman ringan, biskuit, gula-gula/bonbon, dan produk susu. Oligosakarida fungsional adalah polisakarida pendek dengan struktur kimia yang unik sehingga tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pada percernaan manusia. Jadi, seperti serat pangan, akhirnya akan sampai di dalam usus besar. Dengan demikian, akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri bifidobacteria yang menguntungkan di dalam usus besar (kolon), sehingga oligosakarida disebut sebagai probiotik (Tomomatsu 1994). Manfaat dari konsumsi oligosakarida ialah karena oligosakarida dapat meningkatkan populasi bifidobacteria dalam kolon. Dengan peningkatan jumlah bakteri ini, akan menekan pertumbuhan bakteri pembusuk yang merugikan, yakni Escherichia coli dan Streptococcus faecalis. Efek yang sama juga dapat dicapai dengan mengkonsumsi produk makanan yang mengandung bakteri asam laktat dalam keadaan hidup seperti yogurt, yang disebut probiotik. Bakteri asam laktat dan sejenisnya tahan terhadap asam lambung sehingga dapat sampai di kolon, dan selanjutnya akan menekan pertumbuhan bakteri yang merugikan (Muir 1999). Oligosakarida yang dikonsumsi akan meningkatkan jumlah bakteri bifidobacteria. Selanjutnya, akan mencegah pertumbuhan bakteri patogen yang masuk dari luar tubuh dan bakteri dalam saluran pencernaan yang merugikan. Konsumsi oligosakarida akan memproduksi asam lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan 3:2) dan kemampuan untuk menghasilkan zat yang bersifat sebagai antibiotik. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam sebagai hasil fermentasi karbohidrat 16 oligosakarida (Bird 1999). Dengan terbentuknya zat-zat antibakteri dan asam maka pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella dan E. coli akan dihambat. Bifidin, suatu antibiotik yang dihasilkan oleh Bifidobacteria bifidum, sangat efektif melawan Shigella dysenteria, Salmonella typhosa, Staphylococcus aureus, E. coli, dan bakteri lainnya (Topping 1999). Konsumsi produk makanan yang mengandung bifidobacteria seperti yogurt (disebut sebagai probiotik), dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen. Melalui pembentukan asam lemak pendek dalam jumlah yang tinggi dari oligosakarida oleh bifidobacteria, juga mencegah konstipasi dengan merangsang peristaltik usus melalui peningkatan kandungan air feses akibat adanya tekanan osmosis. Penurunan metabolit toksik oleh oligosakarida atau konsumsi bifidobacteria (probiotik) akan meringankan beban bahan toksis dalam hati yang berarti melindungi hati (Muir 1999). Bird (1999) melaporkan bahwa suplementasi oligosakarida sebanyak 4 gram per hari selama 25 hari akan mengurangi risiko kanker. 2.3.3 Asam Lemak Asam lemak essensial terdiri dari asam lemak linoleat (LA) (18:2 n-6) dan linolenat (LNA) (18:3 n-3) yang juga termasuk omega-3. Omega-3 berantai panjang yang tidak essensial yakni asam lemak yang biasanya memiliki ikatan rangkap lebih dari dua (poly unsaturated fatty acid/PUFA) dan ikatan rangkap yang paling terakhir terdapat pada atom karbon ketiga dari ujung rantai asam lemak tersebut. Karena itu, sering disebut poly unsaturated fatty acids omega-3 (PUFA n-3) (Silalahi 2000a). Asam lema k esensial LA dan LNA berperan sebagai bahan dasar untuk pembentukan zat yang menyerupai hormon (hormon-like substances) yang terdiri dari prostaglandin dan leukotrien. Zat-zat ini merupakan senyawa yang terbentuk dari PUFA dengan 20 atom karbon dan mempunyai peran penting sebagai pengatur fungsi normal sel. Juga tromboksan yang berperan dalam platelet serta trombosit pada proses pembekuan darah (Padley dan Podmore 1985). LA akan diubah melalui serangkaian tahapan desaturasi dan perpanjangan rantai karbon menjadi asam arakidonat (AA) (20: 4 n-6), serta LNA diubah menjadi 17 eicosapentaenoic acid (EPA) (20:5 n-3) dan docosahexaenoic acid (DHA) (22:6 n-3) (Johnson 2000). Defisiensi asam lemak essensial LA atau AA (omega-6) akan menyebabkan gejala-gejala kulit bersisik, rambut rontok, diare, dan penyembuhan luka yang lama. Oleh karena itu, Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan supaya formula makanan bayi harus mengandung paling tidak 300 mg LA per 100 kalori, atau 2,7% dari total kalori sebagai LA. Air susu ibu (ASI) mengandung asam lemak essensial LA, LNA, dan non-esensial AA serta DHA. Dalam jaringan otak dan jaringan syaraf lain pada bayi yang berumur beberapa bulan pertama, terdapat akumulasi DHA. Hal ini diyakini bahwa anak yang diberi ASI akan lebih pintar dari pada yang tidak diberi ASI. Keseimbangan antara LA dan LNA pada bayi sangat menentukan untuk mengoptimalkan fungsi penglihatan dan pertumbuhan bayi (Johnson 2000). Eicosapentaenoic acid (EPA) dan asam arahidonat (AA/omega-6) di dalam tubuh akan diubah menjadi zat-zat yang dikenal sebagai eikosanoid, yaitu prostanoid (prostaglandin dan prostacylin) dan leukotrien. Eikosanoida yang berasal dari EPA dikenal sebagai prostanoida seri-3 dan leukotrien seri-5, sedangkan yang berasal dari AA ialah prostanoida seri-2 dan leukotrien seri-4. Eikosanoida yang berasal dari EPA dan AA mempunyai fungsi yang kompetitif. Konsumsi EPA dan DHA dari ikan atau minyak ikan akan menggantikan AA dari pospolipida membran pada sel-sel. Jika hal ini terjadi, keadaan akan mengarah kepada kondisi fisiologis dimana akan diproduksi prostanoid dan leukotrien yang bersifat sebagai antithrombotik, hipotensif, antiateromateous, dan anti- inflamatori. Perubahan seperti ini akan menguntungkan kesehatan, terutama akan menurunkan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Sebaliknya, jika konsumsi LA dan atau AA (omega-6) lebih banyak daripada LNA dan DHA (omega-3) maka keadaan kurang menguntungkan, karena akan mengarah ke keadaan kondisi fisiologis yang bersifat prothrombik dan proaggregatori dengan kenaikan viskositas darah, vasokonstriksi, dan menurunkan bleeding time. Dengan demikian, akan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (Silalahi 2000b). Hal lain yang berdampak positif ialah bahwa konsumsi EPA dan DHA dari minyak ikan akan menurunkan kadar trigliserida di dalam darah, dengan cara 18 menurunkan sintesa very low density lipoprotein (VLDL), walaupun tidak konsisten menurunkan kolesterol. Tetapi, konsumsi dalam jumlah yang tinggi (20 g/hari) omega-3 akan menurunkan kolesterol darah tanpa menurunkan high density lipoprotein (HDL). Sebaliknya, omega-6 akan menurunkan kolesterol HDL (Simopoulos 1994). 2.4 Asam Amino Setelah protein diubah menjadi asam-asam amino, maka dengan proses absorpsi melalui dinding usus, asam amino tersebut sampai ke dalam pembuluh darah. Proses absorpsi ini ialah proses transpor aktif yang memerlukan energi. asam-asam amino dikarboksilat atau asam diamino diabsorpsi lebih lambat dari pada asam amino netral (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Tingkat penyerapan relatif masing-masing asam amino adalah asam amino rantai bercabang (valin, leusin, isoleusin) dan metionin lebih mudah diserap dari asam amino esensial lainnya. Asam amino esensial lainnya lebih mudah diserap dari asam amino nonesensial. Asam amino glutamat dan aspartat adalah yang paling lambat terserap (Linder 2006). Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein, dan dibagi dalam dua kelompok yaitu asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non-esensial dapat diproduksi dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air, namun tidak larut dalam pelarut organik nonpolar (Suharsono 1970 dalam Sitompul 2004). Asam amino esensial merupakan pembangun protein tubuh yang harus berasal dari makanan atau tidak dapat dibentuk di dalam tubuh. Kelengkapan komposisi asam amino esensial merupakan parameter penting penciri kualitas protein (Astawa 2007). Asam amino yang tersedia dalam protein dengan jumlah dan proporsi yang diperlukan menurut persyaratan minimum seseorang, dapat menghasilkan energi untuk bekerja optimum walaupun pemasukannya rendah. Namun, asam amino non-esensial atau nitrogen non-protein yang cukup harus ada agar asam amino esensial tidak digunakan untuk tujuan lain selain fungsi membangun jaringan (Haris dan Karmas 1989). 19 Asam-asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh manusia ialah histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, arginin, phenilalanin, treonin, triptofan, valin. Asam-asam amino esensial tersebut bagi anak-anak relatif besar dari pada orang dewasa (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Dari asam-asam ami no esensial tersebut banyak kebutuhan metionin yang dapat disubstitusi dengan sistin dan phenilalanin dengan tirosin atau sebaliknya, karena lintasan pembentukannya dari satu ke yang lain ada dalam tubuh manusia (Linder 2006). Beberapa fungsi khusus asam amino diantaranya, triptofan merupakan pemula vitamin niasin, dan serotonin-metionin donor gugus metil untuk sintesis beberapa senyawa seperti kolin dan kreatin. Phenilalanin merupakan pemula tirosin dan keduanya membentuk tiroksin dan epinefrin, arginin, ornitin, sitrulin yang ikut berperan dalam sintesis urea dalam hati. Glisin dapat bersenyawa dengan bahan-bahan toksik dan menghasilkan senyawa tidak beracun untuk kemudian diekskresi. Glisin juga berperan pada sintesis porfirin dari hemoglobin dan juga merupakan konstituen asam glikolat. Histidin penting untuk sintesis histamin. Kreatin yang dibentuk dari arginin, glisin dan metionin, dengan fosfat membentuk kreatin fosfat. Glutamin dan asparagin yang merupakan cadangan gugus amino masing-masing dihasilkan oleh asam glutamat dan asam aspartat (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Menurut Linder (2006), beberapa fungsi asam amino disamping untuk sintesis protein dan produksi energi adalah alanin berfungsi sebagai prekusor glukogenik, pembawa N dari jaringan permukaan untuk ekskresi N. Aspartat berfungsi untuk biosintesis urea, prekusor glikogenik dan pirimidin. Glutamat berfungsi sebagai produksi-antara dalam reaksi interkonversi asam amino, prekusor prolin, ornitin, arginin, poliamin, neurotransmiter α-aminobutirat (GABA), sumber NH3. Glisin merupakan prekusor biosintesis purin, neurotransmiter. Histidin merupakan prekusor histamin. Lisin berfungsi untuk crosslinking protein (seperti dalam kolagen dan elastin) biosintesis karnitin. Metionin merupakan donor grup metil untuk banyak proses sintetik. Phenilalanin merupakan prekusor tirosin katekolamin, melanin dan tiroksin. Serin merupakan prekusor serotin, spingolipid, etanolamin dan kolin. Triptofan merupakan 20 prekusor serotonin dan nikotinamid (vitamin B). Tirosin merupakan prekusor tirosin katekolamin, melanin dan tiroksin. 2.5 Ekstraksi Senyawa Biokatif Prinsip ekstraksi suatu komponen dengan menggunakan pelarut adalah dengan sistem kepolarannya. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, demikian juga senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar. Dalam suatu proses ekstraksi yang baik, pemilihan pelarut berdasarkan pada kemampuannya untuk mengekstraksi komponen yang diinginkan dalam jumlah besar dan melarutkan sesedikit mungkin komponen lain yang tidak diinginkan. Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hasil ekstraksi yang diperoleh akan tergantung pada kandungan komponen yang terdapat pada sampel dan jenis pelarut yang dipakai. Prinsip kelarutan yang dipakai dalam metode ekstraksi ini adalah like dissolve like artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, sedangkan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar (Khopkar 1990). Proses ekstraksi yang umum digunakan ada tiga macam yaitu maserasi, refluks dan perkolasi. Pada dasarnya prinsip refluks disamakan dengan cara soxhlet karena menggunakan sistem pemanasan pada suhu tertentu. Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut non polar (heksana, sikloheksana dan toluen), pelarut semi polar (kloroform, diklorometana, dietil eter dan etil asetat) dan dengan pelarut polar (metanol, etanol dan air). Ekstraksi dapat dilakukan secara bertahap dengan menggunakan satu jenis pelarut atau kombinasi beberapa pelarut (Houghton dan Rahman 1998 dalam Heryani 2002). Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung dari sifat komponen yang akan diekstrak. Salah satu sifat yang penting adalah polaritas suatu senyawa. Suatu senyawa polar diekstrak dengan menggunakan pelarut polar, demikian juga untuk senyawa semi polar dan non polar. Derajad polaritas bergantung pada besarnya tetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut (Houghton dan Rahman 1998 dalam Heryani 2002). Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga 21 pelarut. Ketaren (1987) menyatakan bahwa jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih yang cukup rendah, titik didihnya seragam, murah, tidak toksik dan tidak mudah terbakar. Secara umum ekstraksi bertingkat dilakukan berturut-turut dimulai dengan pelarut nonpolar (kloroform atau heksana), lalu dengan pelarut yang kepolarannya menengah (etil asetat), kemudian dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak awal (crude extract) yang mengandung berturut-turut senyawa nonpolar, kepolaran menengah dan polar (Hostettmann et al. 1997). Alkaloid pada umumnya sebagai basa tidak larut atau larut sebagian dalam air, larut dalam pelarut non polar (heksana, toluen dan sikloheksana), pelarut organik yang agak polar (kloroform, dietil eter, etil asetat) dan dalam larutan hidroalkohol. Sedangkan alkaloid dalam bentuk garam umumnya larut dalam air (polar) dan alkohol tetapi tidak larut dalam pelarut organik (Bruneton 1993). Alkaloid lebih mudah diekstraksi oleh pelarut polar seperti air yang diasamkan, atau pada kondisi basa menggunakan natrium karbonat dan basa bebas. Filtrat yang diperoleh selanjutnya diekstraksi dengan pelarut organik seperti eter dan pelarut yang bersifat polar (Robinson 1995). Steroid dan alkaloid terpenoid memiliki sifat sama seperti alkaloid lainnya, lebih mudah larut dalam pelarut polar (metanol, etanol) dalam suasana basa dari pada dalam suasana asam. Sebagian besar terpenoid dan steroid merupakan senyawa nonpolar dan karena itu dapat diekstraksi dari komponennya yang polar dengan menggunakan pelarut seperti benzena, eter, dietil eter, etil asetat yang bersifat semi polar (Robinson 1995). Saponin dapat diekstraksi dengan beberapa pelarut polar seperti metanol dan air. Campuran pelarut metanol dan air digunakan untuk mengekstraksi saponin yang bersifat polar/asam (saponin triterpenoid), dan campuran pelarut metanol dan diklorometana digunakan untuk mengekstraksi saponin yang bersifat netral (saponin steroid) (Beutler et al. 1997). 22 2.6 DNA dan Inhibitor Topoisomerase DNA Topoisomerase mempunyai fungsi penting dalam metabolisme DNA, kedua Topoisomerase I dan II secara luas berhubungan dengan kemoterapi kanker. Sejak tahun 1980-an enzim DNA Topoisomerase digunakan sebagai molekul target untuk pencarian dan penemuan obat antikanker yang rasional dan lebih selektif. Cara ini sangat baik untuk mengevaluasi senyawa bioaktif antikanker, bahan yang positif sebagai inhibitor topoisomerase menunjukkan aktivitas antikanker pada pengujian in-vivo (Cumming and Smith 1991; Pommier 1993). Alasan enzim topoisomerase digunakan sebagai molekul target, antara lain : enzim DNA Topoisomerase adalah enzim yang mempunyai fungsi cukup penting dalam proses intraseluler dari sel kanker, antara lain berperan dalam proses replikasi, transkripsi, rekombinasi DNA dan proses proliferasi dari sel kanker (Pommier 1993). Umumnya mekanisme kerja antikanker berdasarkan atas gangguan pada salah satu proses esensial yang dapat menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dengan mengganggu metabolisme sel kanker. Enzim DNA topoisimerase (topo) I dan II adalah target molekuler dari beberapa zat antikanker yang potensial, dengan demikian inhibitor dari enzim ini potensial untuk obat antikanker. Pertumbuhan tumor dapat dihambat dan dijinakkan ke tahap dorman melalui pemblokiran proses angiogenesisnya. Angiogenesis adalah proses terbentuknya pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang telah ada. Komponen antiangiogenesis mampu menurunkan laju pertumbuhan tumor/kanker. Dengan dihambatnya aktivitas enzim DNA topoisomerase oleh senyawa inhibitor, maka proses terjadinya ikatan antara enzim dengan DNA sel kanker semakin lama, sehingga akan terbentuk Protein Linked DNA Breaks (PLDB). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan DNA sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses dalam sel khususnya proses replikasi, serta diakhiri dengan kematian sel kanker (Hsiang 1989 ; Joseph 1989). Senyawa flavonoid dari benalu secara umum adalah senyawa kuersetin (Nararto 1996); yang bersifat inhibitor terhadap enzim DNA topoisomerase sel kanker (Andreas et al. 1995). Laporan lain yang menyatakan bahwa senyawa 23 flavonoid jenis lain seperti metiltrisetin mampu menghambat aktivitas enzim DNA topoisomerase sel kanker (Abdellatif 1996). Enzim topoisomerase adalah enzim yang berperan dalam proses replikasi, transkripsi dan rekombinasi DNA dan juga proses proliferasi dan diferensiasi sel normal dan sel kanker. Enzim ini merupakan target bahan bioaktif yang me miliki aktivitas antikanker, karena dengan dihambatnya enzim DNA topoisomerase maka proses dalam sel akan terhenti dan akhirnya akan terjadi kematian sel tersebut (Andreas et al. 1995). Menurut Ammon dan Osheroff (1995), bahan alam yang diisolasi dan bersifat antikanker serta memiliki molekul target enzim DNA topoisomerase antara lain camptothecin dari tanaman Camptotheca acuminata (Famili Nyssaceae), andriamycin, doxorubicin, mitoxantron dan etoposide VP-16), teniposide (V-26) (Gambar 6). INHIBITOR TOPOISOMERASE I INHIBITOR TOPOISOMERASE II Gambar 6 Struktur beberapa topoisomerase poison (Ammon dan Osheroff 1995) Aktivitas inhibisi terhadap kerja dari enzim DNA topoisomerase sebagai target obat antikanker melalui dua mekanisme yaitu penghambatan katalitik (catalytic inhibitor) dan poison (cleavable complex). Perbedaan mekanisme keduanya ditunjukkan pada Gambar 7. 24 Gambar 7 Perbedaan antara inhibitor katalitik dan poison (Topogen 2006). Gambar 7 merupakan reaksi normal sekuen (diagram tengah) yang melibatkan pengikatan DNA dan diikuti oleh pembelahan DNA (untai tunggal maupun ganda) serta pelekatan kembali dan pelepasan enzim. Inhibitor (diagram kiri) memblokir tahap pengikatan awal atau dengan kata lain mengganggu kemampuan enzim untuk menggunakan DNA dalam pembelahan. Dalam hal ini, tidak ada relaksasi DNA atau dekantanasi DNA (hanya topo 2) ketika aktivitas katalitik diblok oleh obat. Topo poison (diagram kanan) bekerja pada tahap pembelahan yang menstabilkan kompleks pembelahan dan menghambat tahap pelekatan kembali. Dengan kata lain agen ini bertujuan “meracuni” reaksi melalui penstabilan pembelahan intermediet dan pemanjangan umur dari kompleks pembelahan (normalnya sangat pendek). Inhibisi dari kerja topoisomerase mungkin melibatkan penghambatan “konvensional” dimana aktivitas enzim dihambat atau diperlambat. Sebagai contoh pengikatan inhibitor pada sisi aktif atau perubahan sifat pengikatan dari enzim dengan substrat. Tipe penghambatan ini umumnya ditunjukkan sebagai aktivitas penghambatan katalitik (relaksasi) (Webb dan Ebeler 2004). 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB, serta Laboratorium Kimia Pangan, Departemen ITP, IPB dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor. Sedangkan peta dan lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.2 Bahan dan Peralatan 3.2.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : • Bahan baku yaitu kerang mas ngur (Atactodea striata) kering yang berasal dari Desa Ohoililir Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. • Bahan kimia untuk ekstraksi yaitu heksana, etil asetat, metanol, H2SO4 2M, kloroform, KOH 10%, etanol (EtOH), dietil eter (Et2O), H2O, HCL 2N, NaHCO3 jenuh, NaCl jenuh, Na 2SO4, CHCl 3, EtOAc, n-butanol. • Bahan untuk uji inhibitor topoisomerase I yaitu drug screening kit topoisomerase I dari TopoGen dengan camptotechin sebagai kontrol positif. • Bahan untuk uji kelompok senyawa kimia (alkaloid, steroid, flavonoid, dan saponin) yaitu amoniak, metanol 30%, etanol 30%, eter, pereaksi Lieberman Burchard, H2SO 4 pekat, air. (protein, asam amino bebas, steroid dan karbohidrat) yaitu pereaksi bradford, larutan ninhidrin, pereaksi Molish, asam sulfat pekat, kloroform, asam asetat anhidrid. 3.2.2 Peralatan Alat-alat untuk menyiapkan bahan baku adalah blender, timbangan digital, sudip, botol timbang. Alat untuk ekstraksi adalah magnetic stirrer, gelas piala, corong, vacum rotary evaporator dan aerator. Peralatan untuk uji aktivitas inhibitor topoisomerase I yaitu elektroforesis gel, mikropipet, UV iluminator dan kamera. Peralatan untuk analisis kimiawi antara lain tabung reaksi, papan uji (spot plate), cawan porselin, labu Kjeldahl, Soxhlet, oven, desikator, HPLC merk Waters dan seperangkat peralatan gelas. 26 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap I meliputi analisa komposisi kimia, analisa asam amino, dan ekstraksi senyawa bioaktif dari kerang mas ngur (Atactodea striata). Tahap II meliputi pengujian inhibitor topoisomerase I, penentuan MIC ekstrak aktif, pengujian kelompok senyawa kimia (protein, asam amino bebas, karbohidrat, alkaloid, steroid, terpenoid dan saponin), isolasi golongan senyawa aktif inhibitor topoisomerase I. 3.3.1 Analisa Komposisi Kimia dan Asam Amino (AOAC 1995) 3.3.1.1 Analisa Komposisi Kimia Atactodea striata Analisa komposisi kimia yang dilakukan meliputi kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar, dan karbohidrat. Analisa komposisi kimia dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan, Departemen ITP, IPB Bogor. Analisa kadar air dilakukan dengan terlebih dulu memanaskan cawan (bersih) dalam oven pada suhu 102oC – 105oC selama 10-12 jam, kemudian dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (A). Selanjutnya, kedalam cawan dimasukkan 1-4 gram kerang Atactodea striata kering yang telah dihaluskan (diblender) lalu ditimbang (B). Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 102oC - 105oC sampai beratnya konstan. Setelah itu, dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang (C). Kadar air dapat dihitung dengan rumus : Kadar air (%) = A− C x 100% B−A Keterangan : A = berat cawan kosong (gram) B = berat cawan berisi contoh sebelum dioven (gram) C = berat cawan berisi contoh setelah dioven (gram) Analisa kadar abu dilakukan dengan terlebih dulu cawan porselin dipijarkan dalam tanur bersuhu 650°C ± 30 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Sebanyak 2 g kerang Atactodea striata kering yang telah dihaluskan (diblender) ditimbang dalam cawan tersebut (B), kemudian dipanaskan dalam oven sampai hampir kering dan selanjutnya diabukan dalam tanur yang bersuhu 650°C sampai diperoleh abu yang berwarna putih (± 24 jam). Selanjutnya abu didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang (C). Kadar abu dapat 27 dihitung dengan rumus : Kadar air (%) = A−C x 100% B−A Keterangan : A = berat cawan kosong (gram) B = berat cawan berisi contoh sebelum pengabuan (gram) C = berat cawan berisi contoh setelah pengabuan (gram) Analisa kadar lemak dilakukan dengan terlebih dulu labu soxhlet kosong (bersih) dikeringkan dalam oven selama 30 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (B). Sebanyak 2 gram (A) kerang Atactodea striata kering yang telah dihaluskan (diblender), dikeringkan dalam oven (105°C) terlebih dahulu selama ± 2 jam di atas kertas saring bebas lemak, Selanjutnya contoh yang sudah kering dibungkus dengan kertas saring kemudian diekstraksi. Lemak diekstrak menggunakan pelarut heksana selama 6 jam. Pemanasan labu soxhlet dilakukan dengan penangas air bersuhu 70°C - 80°C. Setelah waktu ekstraksi cukup, heksana yang tersisa dalam labu soxhlet diuapkan sampai habis di dalam oven 100°C, lalu didinginkan dalam desikator dan segera ditimbang hingga diperoleh berat konstan (C). Kadar lemak dapat dihitung dengan rumus : Kadar lemak (%) = C−B X 100 % A Keterangan : A = berat contoh (gram) B = berat labu kosong kering (gram) C = berat labu berisi minyak setelah ekstraksi (gram) Analisa kadar protein kerang Atactodea striata kering dilakukan dengan perhitungan total nitrogen secara semi-mikro Kjeldahl dan dikalikan dengan 6,25 (faktor konversi protein-nitrogen). Kerang Atactodea striata kering yang telah dihaluskan (diblender), ditimbang sebanyak 2 g kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal 100 ml, dan ditambahkan tablet Kjeldahl 2 buah. Selanjutnya ditambahkan 15 ml H2SO4 lalu didestruksi selama ± 30 menit sampai diperoleh cairan yang berwarna hijau jernih. Cairan didinginkan, kemudian ditambah akuades 5 ml dan dipindahkan ke tabung destilasi dengan hati-hati, lalu dibilas dengan akuades 5-10 ml. Selanjutnya ke dalam tabung destilasi ditambahkan sebanyak 10 12 ml larutan NaOH (60 g NaOH + 5 g Na 2S2O35H2O dalam 100 ml akuades) sampai cairan berwarna coklat kehitaman dan kemudian segera didestilasi. Hasil destilasi 28 ditampung dengan gelas erlenmeyer 125 ml yang berisi 10 ml larutan H3BO4 dan 2-3 tetes indikator campuran metil merah dan metil biru. Hasil destilasi kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai larutan berubah menjadi merah muda. Analisis blanko dilakukan seperti prosedur di atas tanpa menggunakan bahan yang dianalisa. Kadar protein dapat dihitung dengan rumus : Kadar protein (%) = (a − b ) x N x 14,007 x 6,25 x 100 % berat contoh ( gr ) Keterangan : a = volume (ml) HCl untuk titrasi larutan contoh b = volume (ml) HCl untuk titrasi larutan blanko N = normalitas larutan HCl 14,007 = berat atom nitrogen 6,25 = faktor konversi protein-nitrogen untuk ikan dan produk sampingannya Perhitungan kadar serat kasar dilakukan dengan melarutkan sampel kering sebanyak 1 gram dengan 100 ml H2SO 4 1,25%, kemudian dipanaskan hingga mendidih dan di destruksi selama 30 menit. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman dan dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 ml air mendidih kemudian dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan 100 ml NaOH 1,25% selama 30 menit. Lalu disaring dengan cara seperti di atas dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml H2SO 4 1,25% mendidih, 2,5 ml air sebanyak tiga kali dan 25 ml alkohol. Residu berserta kertas saring dipindahkan ke cawan poselin dan dikeringkan dalam oven 130°C selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan porselin ditimbang (A), lalu dimasukkan dalam tanur 600°C selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang kembali (B). Kadar serat kasar dapat dihitung dengan rumus : Kadar serat kasar (%) = w3 − w1 x 100 w2 Ketetangan : W1 = bobot residu setelah dibakar dalam tanur = B - (bobot cawan) ; B : bobot residu + cawan W2 = berat contoh (gram) W3 = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur = A - (bobot kertas saring+cawan);A: bobot residu+kertas saring+cawan 29 Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan menggunakan metode by difference, yaitu pengurangan 100 % dengan jumlah dari hasil analisis kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar. Perhitungannya adalah sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%) = 100% - % kadar (air + abu + protein + lemak + serat kasar) 3.3.1.2.Analisa Asam Amino Atactodea striata Analisa asam amino meliputi asam amino esensial dan non esensial. Analisa asam amino ini dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor. Sampel kerang Atactodea striata kering dianalisis lebih lanjut dengan metode High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Sebelum digunakan, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan juga harus dibilas dengan aquades. Analisa asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) tahap pembuatan hidrolisat protein ; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; (4) tahap injeksi serta analisis asam amino. (1) Tahap pembuatan hidrolisat protein Untuk preparasi sampel yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, sampel ditimbang sebanyak 0,1 g dan dihancurkan. Selanjutnya ditambahkan dengan HCl 6 N sebanyak 5-10 ml, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan peniupan dengan gas nitrogen (N) untuk menghilangkan gas O2 sebelum diekstraksi. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Proses pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis. Setelah pemanasan selesai, hidrolisat protein disaring dengan menggunakan milipore berukuran 45 mikron. (2) Tahap pengeringan Hasil saringan diambil sebanyak 10 µl dan ditambahkan dengan 30 µl larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium asetat, dan trietilamin dengan perbandingan 2:2:1. Setelah 30 ditambahkan larutan pengering, dilakukan pengeringan dengan pompa vakum untuk mempercepat pengeringan dan mencegah oksidasi. (3) Tahap derivatisasi Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan. Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antar larutan metanol, pikoiotiosianat, dan trimetilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 10 ml asetonitril 60% dan natrium asetat 1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali dengan menggunakan milipore berukuran 0,45 mikron. (4) Injeksi ke HPLC Hasil saringan diambil sebanyak 20 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Untuk perhitungan konsentrasi asam amino pada bahan, dilakukan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino standar yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino : Temperatur Kolom : 38oC Jenis kolom : Pico tag 3.9 x 150 nm coulomb Kecepatan alir eluen : Sistem linier gradien (1 ml/menit) Program : Gradien Tekanan : 3000 psi Fase gerak : Asetonitril 60 % dan Natrium asetat 1 M 40 % Detektor : UV, 254 nm Merk : Waters Kandungan asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus yaitu presentase asam amino dalam 100 g sampel : luas area sampel x 2,5 mol/ml x 5ml x BMA luas area standar Asam amino (%) = x 100% Bobot sampel (0,25 g) Keterangan : BMA = berat molekul asam amino 31 3.3.2 Ekstraksi Senyawa Bioaktif Atactodea striata (Harborne 1987) Ekstraksi dilakukan dengan metode ekstraksi bertingkat yang dimodifikasi. Pelarut yang digunakan adalah heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Serbuk kerang mas ngur (Atactodea striata) ditimbang 50 gr, dimasukkan ke dalam erlenmeyer selanjutnya ditambah pelarut heksana 100 ml, ditutup dengan alumunium foil agar pelarut tidak menguap, kemudian dimaserasi selama 24 jam. Setelah itu disaring dengan menggunakan kertas saring. Residu ditambah pelarut etil asetat 100 ml, ditutup alumunium foil, dimaserasi selama 24 jam, setelah itu disaring dengan menggunakan kertas saring. Residu ditambah pelarut metanol 100 ml, ditutup alumunium foil, dimaserasi selama 24 jam. Masing-masing filtrat yang dihasilkan, dievaporasi dengan suhu yang sesuai dengan pelarut yang digunakan (± 40oC) sampai terbentuk ekstrak yang berupa pasta. Selanjutnya ekstrak dari masing-masing pelarut disebut ekstrak heksana, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Masing-masing ekstrak yang terbentuk kemudian dicuci dengan menggunakan masing-masing pelarut (heksana, etil asetat, metanol) sebagai berikut : 1) Pelarut heksana ditambahkan pada ekstrak heksana, pelarut etil asetat pada ekstrak etil asetat, dan pelarut metanol pada ekstrak metanol. Perbandingan volume pelarut dan ekstrak adalah 2 : 1. Selanjutnya campuran dishaker selama 1 jam dan didiamkan selama 24 jam pada suhu 4oC. 2) Bila terdapat endapan maka lapisan atasnya di pipet. Selanjutnya di evaporasi sampai berbentuk pasta. Ekstrak dilarutkan dengan masing-masing pelarut kemudian didiamkan selama 24 jam pada suhu 4oC. Bila masih terdapat endapan maka di pipet lapisan atasnya dan di evaporasi, kemudian ditambahkan pelarut dan didiamkan 24 jam pada suhu 4oC. Proses pencucian ini dilakukan sampai tidak terdapat endapan, dengan demikian ekstrak yang diperoleh benar-benar telah bebas dari komponen-komponen lain yang ikut pada saat ekstraksi. Setelah pencucian, masing-masing ekstrak hasil evaporasi dikerok dan dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian disimpan pada suhu 4°C. Diagram alir proses ekstraksi bahan aktif kerang mas ngur (Atactodea striata) dapat dilihat pada Gambar 8. 32 Maserasi 24 jam dengan heksana Filtrasi Penghancuran Filtrat I Atactodea striata Evaporasi Ekstrak Heksana Residu P Maserasi 24 jam dengan etil asetat E Filtrasi Filtrat II Evaporasi N C Residu Ekstrak Etil Asetat U C Maserasi 24 jam dengan metanol Filtrasi Residu Filtrat III I Evaporasi A N Ekstrak Metanol Gambar 8 Diagram alir proses ekstraksi bahan akti f dari Atactodea striata 3.3.3 Uji Inhibitor Topoisomerase I (TopoGen 2006) Ekstrak ditambah dengan 13 µl ddH2O, 2 µl DNA supercoil, 2 µl buffer TGS, 2 µl ekstrak, dan 2 µl enzim DNA topoisomerase, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Setelah itu, reaksi dihentikan dengan menambah 2 µl SDS 10%. Sisa enzim dinonaktifkan dengan 1 µl Proteinase-K (20 µg/µl) selama 60 menit pada suhu 37oC. Selanjutnya, 2 µl buffer loading dan 20 µl CIA (Chloroform Isoamil Alkohol) ditambahkan kedalam reaksi, kemudian divorteks. Lapisan atas dianalisis menggunakan elektroforesis dengan gel agarosa 1% pada 55 volt selama 3 jam dan dilakukan pewarnaan dengan etidiumbromida untuk penentuan kualitatif bentuk DNA nick dan supercoil. Aktivitas inhibisi enzim ditentukan dengan kemampuan enzim untuk merubah bentuk DNA supercoil menjadi DNA bentuk nick/relaxed untuk topoisomerase I. Enzim DNA topoisomerase yang digunakan adalah Human Topoisomerase I Drug Screening Kit dari topoGen. Kontrol positif adalah camptothecin. Aktivitas inhibitor topoisomerase I memilik dua mekanisme yaitu mekanisme berbentuk poison, jika senyawa dapat menstabilkan ikatan enzim dan 33 substrat sehingga terjadi peningkatan Open Circular (OC). Aktivitas hambatan katalitik ditunjukkan dengan tetap utuhnya substrat DNA. 3.3.4 Uji Kelompok Senyawa Kimia Pengujian untuk mengetahui kelompok senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak aktif meliputi uji ninhidrin untuk menentukan adanya asam amino bebas, Molish untuk menentukan adanya karbohidrat dalam suatu bahan, Lieberman Burchard untuk menentukan adanya steroid dalam suatu bahan, Bradford untuk mengetahui adanya protein dalam suatu bahan. Uji ini dilakukan dengan terlebih dulu masing-masing ekstrak ditimbang sebanyak 0,1 gr kemudian dilarutkan dalam masing-masing pelarut sebanyak 5 ml (Bintang, 1999). Selain itu juga dilakukan uji alkaloid, saponin, flavonoid, steroid (Harborn 1987). 3.3.4.1 Uji Ninhidrin Uji ninhidrin dilakukan untuk menentukan adanya asam amino bebas dalam suatu bahan. Ninhidrin bereaksi dengan asam amino bebas (gugus amida) membentuk senyawa berwarna ungu, sedangkan dengan prolin dan hidroksiprolin ninhidrin berwarna kuning. Cara pengujian adalah sebagai berikut : ekstrak aktif Atactodea striata 1 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi dan dibubuhi larutan ninhidrin 1 ml, lalu dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 5 menit. Bila terlihat warna ungu berarti positif. Uji ini dilakukan secara duplo. Pada prinsipnya asam amino bebas akan terhidrolisis melalui proses pemanasan dengan terputusnya ikatan karbon yang mengikat gugus amida (-NH2) dan gugus karbonil (-COOH) sehingga ninhidrin akan mengisi kekosongan elektron (bereaksi) pada gugus amida dan membentuk senyawa berwarna ungu sebagai indikasi adanya asam amino bebas pada bahan yang diuji. 3.3.4.2 Uji Molish Uji ini adalah uji umum untuk menentukan adanya karbohidrat dalam suatu bahan. Karbohidrat akan dipecah oleh asam sulfat pekat menjadi gugus furfural yang akan bereaksi dengan sulfonat alfa-naftol membentuk senyawa berwarna ungu. Pereaksi Molish terdiri atas alfa-naftol 5% dalam etanol 95% yang selalu dibuat segar. Uji ini dilakukan secara duplo. Cara pengujiannya kedalam 1 ml ekstrak dibubuhi 2 tetes pereaksi Molish lalu ditambahkan asam sulfat pekat 34 melalui dinding tabung secara hati-hati. Bila terbentuk lapisan berwarna ungu, berarti positif mengandung karbohidrat karena terjadi reaksi kondensasi antara furfural dengan alfa-naftol. Bila tidak ada karbohidrat maka akan berwarna hijau. Pada umumnya monosakarida stabil dalam larutan asam yang encer walaupun dipanaskan, tetapi apabila dipanaskan dengan asam kuat yang pekat seperti asam sulfat pekat, monosakarida membentuk gugus furfural sebagai reaksi dehidrasi atau pelepasan molekul air dari senyawanya. Gugus furfural yang terbentuk akan memberikan warna ungu bila bereaksi dengan alfa naftol, sehingga reaksi ini dapat dijadikan sebagai reaksi pengenal untuk karbohidrat. 3.3.4.3 Uji Bradford Uji ini untuk mengetahui adanya protein dalam suatu bahan. Cara pengujiannya adalah ekstrak 1 ml dimasukkan kedalam tabung kemudian ditambah dengan 1 ml pereaksi Bradford. Tabung ditutup rapat dengan parafilm dan dikocok dengan cara membalikkan tabung perlahan-lahan beberapa kali. Kemudian didiamkan selama lima menit atau paling lama satu jam. Bila terbentuk warna biru, berarti positif mengandung protein. Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri dari asam-asam amino dan dihubungkan dengan ikatan peptida. Secara umum, rumus molekul protein terdiri atas sebuah atom karbon (C) yang mengikat sebuah gugus amida (-NH2), sebuah gugus karboksil (COO-), sebuah atom hidrogen (H) dan sebuah gugus alkil (R). Apabila sebuah molekul protein diberi pereaksi bradford yang terdiri dari larutan kupriasetat dan asam asetat dalam air maka ion logam (Cu) akan direduksi oleh protein (gugus COO -) sehingga terbentuk Cu2O yang diindikasikan dengan terbentuknya warna biru. 3.3.4.4 Uji Alkaloid Cuplikan sampel ditambah kloroform dan beberapa tetes amonia. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 10 tetes H2SO 4 2M. Fraksi asam diambil kemudian ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer, dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih untuk pereaksi Meyer, endapan merah untuk pereaksi Dragendorf dan endapan coklat untuk pereaksi Wagner. 35 Menurut Suradikusumah (1989), alkaloid umumnya dinyatakan sebagai senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang merupakan bagian dari sistem siklik. Atom nitrogen ini hampir selalu dalam bentuk gugus amina atau amida. Substituen oksigen umumnya dalam bentuk gugus fenol (-OH), metoksil (-OCH3) atau metilendioksi (-O2CH3). Penggunaan pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner didasarkan pada reaksi oksidasi yang mana logam-logam pada pereaksi merupakan oksidator yang membawa elektron sehingga terlepasnya atom H misalnya dari gugus OH dan selanjutnya berikatan dengan gugus amina atau amida yang diindikasikan dengan terbentuknya warna. Warna yang terbentuk tergantung pada logam yang terdapat pada pereaksinya, misalnya Iodida pada pereaksi Dragendorf akan memberikan warna merah. Beberapa pereaksi pengendapan digunakan untuk memisah-misahkan jenis alkaloid. Pereaksi sering didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismut, tungsten, atau jood. Pereaksi Meyer mengandung kalium jodida dan merkuri klorida, pereaksi Dragendorf mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida dalam asam nitrit berair, pereaksi Burchard mirip dengan pereaksi Wagner dan mengandung kalium jodida dan jood. Berbagai pereaksi tersebut menunjukkan perbedaan yang besar dalam hal sensitivitas terhadap gugus alkaloid yang berbeda (Sastrohamidjojo 1996). 3.3.4.5 Uji Saponin Sampel sebanyak 1 gr ditambahkan air secukupnya selanjutnya dipanaskan pada air mendidih (water bath) selama 5 menit. Setelah proses pemanasan, larutan didinginkan kemudian dikocok. Jika timbul busa yang bertahan lebih dari 10 menit menunjukkan adanya saponin. Busa yang terbentuk secara stabil pada larutan cair disebabkan karena bahan yang diekstrak mengandung surfaktan yaitu senyawa glikosida yang berfungsi sebagai detergen alami. Biasanya saponin memiliki satu atau lebih monosakarida yang mudah terhidrolisis dengan panas dan dalam keadaan dingin bila dikocok mudah membentuk busa yang stabil (Rao 1996). 36 3.3.4.6 Uji Flavonoid Sampel sebanyak 1 gr ditambahkan metanol 30% sampai sampel terendam kemudian dipanaskan sampai didapatkan filtrat yang pekat. Setelah pemanasan, filtrat yang diperoleh ditaruh ke dalam papan uji (spot plate), kemudian ditambahkan H2SO4. Jika pada penambahan asam sulfat terbentuk warna merah maka positif mengandung flavonoid. Flavonoid merupakan golongan senyawa yang memiliki kerangka karbon terdiri dari dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon. Penambahan metanol 30 % kemudian dipanaskan akan memudahkan reduksi asam sulfat pekat menghasilkan warna merah pada flavonol, flavanon, flavanonol dan xanton (Robinson 1995). 3.3.4.7 Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Lieberman Burchard dilakukan berdasarkan asetilasi 3 β hidroksi oleh asam anhidrida dalam H2SO 4. Ester asetil 3 β hidroksi sterol yang mengandung ikatan ganda didalam asam akan mengalami epimerisasi menjadi bentuk 3α dan reaksi eliminasi yang menimbulkan produk berwarna. Uji triterpenoid ditandai dengan warna ungu atau merah, sedangkan steroid warna hijau atau biru. Sampel sebanyak 2 gr ditambahkan 25 ml etanol 30% kemudian dipanaskan (50oC) dan disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan, selanjutnya ditambahkan eter. Lapisan eter yang terbentuk dipipet dan diletakan pada papan uji (spot plate) kemudian ditambah pereaksi Lieberman Burchard (3 tetes asam asetat anhidrin dan 1 tetes H2SO4 pekat), selanjutnya diamati warna yang terbentuk. 3.3.5 Isolasi Senyawa Aktif Inhibitor Topoisomerase I Ekstrak terpilih adalah ekstrak yang memiliki rendemen terbesar serta memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase. Ekstraksi senyawa kimia ini meliputi : 1. Isolasi Alkaloid. Metode yang digunakan mengacu pada Sugita et al. (2006). Ekstrak metanol sebanyak 1,5 gr direndam dengan metanol-air (4:1) selama 24 jam. Setelah itu disaring dan filtratnya dimaserasi sampai sisa 1/10 volume awal pada suhu 40oC. Selanjutnya diasamkan dengan H2SO 4 2M sampai pH 3-4. Kemudian ekstraksi dengan kloroform (proses ini dilakukan sebanyak tiga kali) yang mana akan terbentuk dua lapisan yaitu lapisan 37 bawah merupakan lapisan kloroform dan lapisan atas merupakan lapisan air asam. Lapisan kloroform (bawah) dipipet (untuk tiga kali ekstrak) dan diuapkan pada suhu 40oC sampai berbentuk pasta. Selanjutnya ekstrak dikerok dan dimasukkan dalam botol sampel. Proses ekstraksi tersebut secara rinci terlihat pada Lampiran 2. 2. Isolasi Steroid. Metode ekstraksi steroid mengacu pada Bahti et al. (1983) dalam Heryani (2002). Cuplikan ekstrak metanol dihidrolisis dengan KOH 10 % dalam etanol diatas penangas air pada suhu 100oC selama 3 jam. Selanjutnya di saring, dan hidrolisat yang diperoleh dievaporasi sampai kering (hidrolisat kering). Kemudian diekstraksi dengan dietil eter, dan ekstrak dietil eter dicuci berturut-turut dengan air, HCl 2N, air, NaHCO3 jenuh, NaCl jenuh. Akhir pencucian akan diperoleh fase dietil eter dan selanjutnya dikeringkan dengan Na 2SO 4 anhidrat sehingga diperoleh ekstrak dietil eter (steroid bebas). Proses ekstraksi steroid terlihat pada Lampiran 3. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Kimia Atactodea striata Komposisi kimia daging kerang mas ngur (Atactodea striata) disajikan pada pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia serbuk kering Atactodea striata dibandingkan dengan sumber nutrisi lain Nutrisi Kadar air Protein Lemak Abu Serat kasar Karbohidrat Kerang mas ngur (A. striata) 7,84 56,08 5,95 7,88 1,25 21 % berat kering Kerang (Mytilus Teripang batu viridis L)* (H. scabra)* 35,68 10,34 42,17 54,05 5,06 6,30 17,09 28,02 8,45 1,29 Teripang pasir (H. nobilis)* 1,88 46,56 4,86 45,41 1,29 * Sumber : berbagai publikasi penelitian dari Balai Penelitian Perikanan Laut dari tahun 1984 – 2004 dalam Witjaksono (2005) Komposisi kimia kerang mas ngur (Atactodea striata) dibandingkan dengan sumber nutrisi lain berdasarkan berat keringnya (Tabel 1) menunjukkan kadar protein yang tinggi sehingga peluang pemanfaatannya sebagai salah satu sumber protein hewani cukup besar. Bahan pangan yang dikonsumsi manusia sebenarnya bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis terutama dalam upaya penyembuhan penyakit. Berdasarkan komposisi kimia diatas maka kerang mas ngur (Atactodea striata) termasuk salah satu hasil perikanan berprotein tinggi (lebih dari 50 %) dan lemak sedang (diatas 5 %) serta tinggi karbohidrat (lebih dari 20 %) sehingga baik untuk dikonsumsi khususnya bagi penderita sakit hati (Primadhani 2006). Secara tradisional kerang mas ngur (Atactodea striata) digunakan untuk mengobati penyakit hati, dan kenyataan ini jika dikaji dari segi kandungan gizi dapat dibenarkan karena penderita sakit hati umumnya memiliki gangguan pada metabolisme protein, lemak dan karbohidrat dimana gangguan ini terjadi akibat dari fungsi hati yang tidak berjalan secara normal sehingga dapat menyebabkan akumulasi bermacam-macam racun. Menurut Morgan dan Heaton (2000), metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan alkohol diatur di hati. Oleh karena 39 itu, hati dikatakan sebagai pemegang peran utama dalam menjaga keseimbangan energi. Salah satu penanda akumulasi racun yang disebabkan oleh melemahnya fungsi hati adalah amonia yang dihubungkan dengan encephalopathy serta neurotransmiter yang salah. Hal ini ditandai dengan perubahan komposisi plasma asam amino dan penurunan rasio asam amino rantai cabang (BCAA) terhadap asam amino aromatik (AAA) (Nelson et al. 1994). Hati berperan penting dalam menjaga kenormalan kadar gula darah yaitu dengan mengubah glukosa menjadi glikogen (glikogenesis) saat kadar gula darah tinggi serta mengubah glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis) dan mengubah asam amino menjadi glukosa (glukoneogenesis) saat kadar gula darah rendah. Disamping itu, hati memecah asam lemak menjadi asetil koenzim A (β-oksidasi), mengubah kelebihan asetil koenzim A menjadi keton (ketogenesis); mensintesis lipoprotein, kolesterol, dan fosfolipid; memecah kolesterol menjadi garam empedu, dan menyimpan lemak. Hati juga melakukan deaminase asam amino yaitu pelepasan gugus amina (NH2) sehingga asam amino bisa digunakan sebagai sumber energi atau dikonversi menjadi karbohidrat atau lemak; melakukan konversi amonia (NH 3) yang bersifat racun menjadi ureum yang kemudian diekskresikan melalui urine (Tortora dan Anagnostakos 1992). Menurut Moehyi (1997), dalam upaya penyembuhan penyakit maka makanan dapat berfungsi sebagai salah satu bentuk terapi/pengobatan, misalnya pengaturan diet pada penderita obesitas yang merupakan upaya primer dalam penyembuhan penyakit tersebut. Pemberian makanan dibarengi dengan pemberian suntikan insulin pada penderita diabetes militus dimaksudkan agar kadar gula dalam darah penderita tetap dalam batas normal. Menurut Williams (1995), untuk mempercepat perbaikan faal hati tanpa memberikan beban pada hati maka orang dewasa harus mengkonsumsi makanan yang mengandung protein tinggi, karbohidrat tinggi dan lemak rendah. Protein diperlukan untuk membangun sel dan jaringan yang baru. Selain itu, protein juga mencegah kerusakan akibat infiltrasi lemak dalam jaringan hati. Protein yang dibutuhkan orang dewasa per hari berkisar antara 70 - 100 gr. Karbohidrat yang tinggi akan meningkatkan penyediaan glukosa untuk melindungi simpanan 40 glikogen di hati dan membantu menyediakan energi serta mencegah pemecahan protein untuk energi. Karbohidrat yang dibutuhkan orang dewasa antara 300 - 400 gram per hari. Adanya lemak akan menyedapkan makanan sehingga meningkatkan selera makan. Makanan sebaiknya mengandung lemak 100-150 gram per hari. Walaupun penelitian ini tidak menganalisa jenis asam lemak yang terdapat pada kerang Atactodea striata, dari hasil penelitian Makkasau (2001) diketahui bahwa kerang ini memiliki 2 jenis asam lemak jenuh yaitu asam heksadekanoat (asam palmitat) dan asam oktadekanoat (asam stearat), serta 3 jenis asam lemak tidak jenuh yaitu asam 9-oktadekenoat (asam oleat); asam 9-oktadekenoat-12 asetil oksi, metil ester; asam 11-oktadekenoat metil ester (metil-11-oktadekenoat). Asam-asam lemak tidak jenuh tersebut sangat mudah diserap oleh tubuh. Hal ini sejalan dengan pendapat Harli (2003) yang menyatakan bahwa daya serap kolesterol paling rendah berasal dari diet kerang dibandingkan dengan diet ayam dan diet kepiting yaitu 25 persen lebih rendah daya serap kolesterol kerangkerangan dari pada kolesterol ayam dan kepiting. Karbohidrat pada hewan digolongkan dalam polisakarida yang merupakan senyawa karbohidrat kompleks. Glikogen adalah salah satu polisakarida dan merupakan ”pati hewani” yang terdapat pada otot hewan, manusia dan ikan. Glikogen larut di dalam air dan bila bereaksi dengan Iodium (I) akan menghasilkan warna merah (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Sebagian besar karbohidrat (2/3) yang dimakan akan disimpan didalam otot dan selebihnya disimpan didalam hati sebagai glikogen namun apabila hati (hepar) mengalami gangguan maka tugas ini tidak akan dijalankannya. Oleh karena itu, ketika tubuh memerlukan energi maka yang seharusnya simpanan glikogen lebih dulu dimanfaatkan akan digantikan oleh lemak yang ditimbun didalam jaringan lemak. Kelebihan karbohidrat yang tidak dapat disimpan sebagai glikogen akan diubah menjadi lemak dan disimpan di jaringan lemak. Dengan demikian, penderita penyakit hati harus mengkonsumsi makanan yang tinggi karbohidratnya. Karbohidrat diperlukan tubuh tidak hanya sebagai penghasil energi tetapi lebih dari itu sangat diperlukan dalam membantu metabolisme lemak dan protein 41 serta melindungi protein agar tidak digunakan sebagai penghasil energi sehingga protein tetap berfungsi sebagai zat pembangun. Menurut Hutagalung (2004), untuk mencegah terjadinya ketosis dan pemecahan protein yang berlebihan maka karbohidrat diperlukan dalam jumlah yang cukup untuk membantu metabolisme lemak dan protein. Disamping itu, bila karbohidrat yang dikonsumsi tidak mencukupi untuk kebutuhan energi tubuh dan jika tidak cukup lemak di dalam makanan atau cadangan lemak yang disimpan di dalam tubuh, maka protein akan menggantikan fungsi karbohidrat sebagai penghasil energi. Dengan demikian protein akan meninggalkan fungsi utamanya sebagai zat pembangun. Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka keadaan kekurangan energi dan protein tidak dapat dihindari lagi. Di dalam hepar karbohidrat berfungsi untuk detoksifikasi zat-zat tokzik tertentu. Jika terjadi kekurangan karbohidrat akibat dari fungsi hati yang terganggu sehingga proses metabolisme karbohidrat terganggu maka cadangan lemak dalam jaringan adipose akan dimobilisasi sedemikian cepatnya sehingga tubuh tidak dapat mengoksidasi karbohidrat seluruhnya menjadi CO 2 dan H2O. Jumlah asupan karbohidrat juga mempengaruhi penggunaan protein sebagai penghasil energi. Jika asupan karbohidrat rendah, tubuh akan memecah asam amino untuk menghasilkan energi dan mensintesa glukosa tubuh sehingga jaringan yang membutuhkan gula ini akan mampu menjalankan fungsinya. Menurut Hutagalung (2004), gejala yang timbul akibat asupan karbohidrat yang rendah adalah fatique, dehidrasi, mual, nafsu makan berkurang, dan tekanan darah kadang-kadang turun dengan mendadak sewaktu bangun dari tidur. Umumnya makanan yang banyak seratnya mempunyai mutu yang rendah, namun makanan yang tidak memiliki serat juga kurang baik untuk dikonsumsi karena serat makanan sebenarnya diperlukan untuk memperlancar pengeluaran feses. Dalam sistem pencernaan, serat makanan tidak dapat dihidrolisa (dicerna) oleh enzim pencernaan manusia dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh. Kebanyakan serat pangan yang sampai di kolon dalam keadaan utuh akan menjadi substrat untuk fermentasi bagi bakteri yang hidup di kolon (Muir 1999). Serat pangan yang larut sangat mudah difermentasikan dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lemak, sedangkan serat pangan yang 42 tidak larut akan memperbesar volume feses dan akan mengurangi waktu transitnya. Menurut Hutagalung (2004), fungsi serat adalah (1) Mencegah penyakit jantung koroner (PJK). Kolesterol telah lama diduga sebagai penyebab terjadinya arterosklerosis yang akhirnya berakibat timbulnya penyakit jantung koroner. Produk akhir metabolisme kolesterol adalah asam empedu. Serat yang berasal dari makanan sesampainya di saluran pencernaan akan mengikat asam empedu. Dalam keadaan terikat, asam empedu bersama-sama serat dikeluarkan dalam bentuk feses. Dengan demikian semakin banyak serat dimakan, maka semakin banyak lemak dan kolesterol dikeluarkan. (2) Mencegah kanker pada usus besar. Kanker pada usus besar (kolon) diakibatkan masuknya benda-benda asing ke dalam usus besar, benda-benda asing tersebut akan diubah sifatnya menjadi karsinogenik. Adanya serat kasar yang melalui kolon, mengakibatkan lingkungan mikroba terganggu sehingga aktifitas mikroba (Salmonella dan E. coli) berkurang. (3) Mencegah kegemukan. Dengan adanya serat, maka penyerapan karbohidrat, lemak dan protein menjadi berkurang. Jika hal ini dilakukan secara teratur dan berkesinambungan, maka kegemukan dapat dihindari. Serat mampu memberikan perasaan kenyang dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan kegunaan berbagai kandungan gizi yang telah diuraikan sebelumnya maka kerang mas ngur (Atactodea striata) dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional karena disamping memiliki komposisi gizi yang baik juga memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh. Menurut Badan POM (2001), pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Bahan pangan yang kini banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, dan 43 kadar gula darah, serta meningkatkan penyerapan kalsium (Astawan 2003 dalam Winarti dan Nurdjanah 2005). 4.2 Komposisi Asam Amino Atactodea striata Asam amino merupakan monomolekul dari protein yang memiliki fungsi penting bagi organisme hidup. Secara umum asam amino dapat dikelompokkan atas asam amino esensial yaitu asam amino yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh sehingga diperlukan asupan dari makanan, dan asam amino non esensial yaitu asam amino yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh. Hasil analisa asam amino dari serbuk kering Atactodea striata yang dibandingkan dengan ayam lokal dan tepung ikan terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan asam amino Atactodea striata dibandingkan dengan ayam lokal dan tepung ikan Jenis Asam Amino Asam Amino Esensial Treonin Valin Metionin Isoleusin Leusin Phenilalanin Lisin Histidin Arginin Asam Amino Non Esensial Asam Aspartat Asam Glutamat Serin Glisin Alanin Prolin Tirosin Sistin Total *) **) Kadar asam amino (%) A. striata Ayam Lokal*) Tepung Ikan**) 3,78 2,29 1,63 4,82 4,01 2,43 3,39 1,35 0,95 2,29 2,73 1,30 1,96 3,47 2,51 2,65 0,88 2,39 2,35 2,57 1,56 2,12 3,62 2,37 3,67 0,83 3,18 6,65 12,08 1,36 2,28 2,47 1,59 3,30 0,84 55,21 4,58 5,93 3,64 1,43 2,26 1,47 1,89 0,92 42,3 4,31 6,30 2,99 3,88 3,38 2,80 1,58 0,46 47,97 Sumber : Verawati et al. (2006) Sumber : Sitompul (2004) Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar asam amino yang dikandung kerang mas ngur (Atactodea striata) lebih besar dari 1 %. Dari ke-20 asam amino dasar terlihat bahwa yang terdeteksi lewat HPLC hanyalah 17 asam 44 amino, sedangkan 3 jenis asam amino lainnya yaitu asparagin, glutamin, dan triptofan tidak terdeteksi. Hal ini disebabkan karena kandungan dari ketiga jenis asam amino tersebut sangat kecil yaitu 0,87 %, sehingga kalau dirata-ratakan maka masing-masing hanya sebesar 0,29 %. Untuk melihat secara jelas perbedaan kadar asam amino dari ketiga sumber diatas maka dapat digambarkan dalam bentuk histogram sebagaimana terlihat A. striata 14 12 10 8 6 4 2 0 Ayam Lokal Tepung Ikan V M alin eti on Iso in leu sin L Ph eu en sin ila lan in Lis Hi in sti din As am Arg As Asp inin am ar Gl tat uta m at Se rin G lis in Al an in Pr oli n Tir os in Si sti n Tr eo nin Kadar Asam Amino (%) pada Gambar 9 dibawah ini. Jenis Asam Amino Gambar 9 Histogram kandungan asam amino dari A.striata, ayam lokal dan tepung ikan Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 9 terlihat bahwa kerang mas ngur (Atactodea striata) memiliki kadar beberapa asam amino yang lebih besar dibandingkan dengan ayam lokal maupun tepung ikan yaitu dari kelompok asam amino esensial antara lain : treonin, metionin, isoleusin, leusin, histidin dan dari kelompok asam amino non esensial antara lain : asam aspartat, asam glutamat, dan valin. Sedangkan asam amino lisin, glisin, alanin, prolin pada kerang ini lebih besar kadarnya dibandingkan dengan ayam lokal, demikian juga phenilalanin, sistin pada kerang ini lebih besar dibandingkan dengan tepung ikan. Dari keseluruhan asam amino yang terkandung pada kerang mas ngur (Atactodea striata) sebagaimana terlihat pada Tabel 2 diatas, asam glutamat memiliki kandungan yang lebih besar yaitu 12,08 % atau 21,88 % dari total asam amino. Menurut The International Glutamate Information Service (IGIS), glutamat yang berasal dari makanan merupakan sumber energi utama bagi usus. Kajian-kajian yang menggunakan isotop stabil menunjukkan bahwa usus mendapatkan sebagian besar energinya dari metabolisme asam amino. 45 Kenyataannya usus sangat membutuhkan glutamat, dan telah diperlihatkan bahwa semua glutamat yang dimakan dari bahan makanan hanya 4% yang keluar dari tubuh. Glutamat yang berasal dari makanan diperlukan bersama dengan sistin dan glisin untuk produksi glutathion, suatu molekul antioksidan yang memainkan peran penting dalam mekanisme daya tahan tubuh serta perbaikan kerusakan sel dan jaringan tubuh. Glutamat (bersama dengan glutamin) merupakan asam amino yang paling berlimpah dari 20 jenis asam-asam amino, yang mencapai 20 persen dari asam-asam amino pada susu (The International Glutamate Information Service). Sistin merupakan penghasil taurin yaitu suatu komponen glutathion. Glutathion merupakan pelindung otak dan hati dari kerusakan akibat obat/racun, alkohol dan unsur-unsur lain yang dapat membahayakan tubuh. Sistin juga diperlukan untuk kesehatan kulit, detoksifikasi dari tubuh (dalam kaitannya dengan sulfur) dan penghasil kolagen (yang digunakan untuk kekenyalan kulit dan tekstur). Secara medis, sistin digunakan untuk memproteksi hati dan mencegah (meredakan) penyakit yang berbahaya (Cat 2006). Asam-asam amino hasil pemecahan protein sebelum ditransportasikan ke hati terlebih dahulu diabsorbsi melalui sel-sel mukosa usus dan selanjutnya di serap oleh vena porta untuk kemudian ditranspor ke hati. Dari semua organ saluran, usus mempunyai kontak terbesar dengan lingkungan eksternal dalam bentuk makanan yang kita makan. Oleh karenanya usus merupakan garis pertahanan pertama tubuh. Terkait dengan penggunaan kerang mas ngur (Atactodea striata) sebagai obat tradisional maka ditinjau dari komposisi asam amino yang diperoleh dapatlah dijelaskan bahwa umumnya asam-asam amino ini mempunyai kegunaan besar bagi kesehatan manusia. Secara umum beberapa asam amino yang mempunyai kegunaan besar untuk kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah treonin, metionin, isoleusin, leusin, histidin, lisin, phenilalanin, asam aspartat, asam glutamat, valin, glisin, alanin, prolin, sistin. Treonin bermanfaat dalam mencegah penumpukan lemak di hati, membantu hati dan fungsi lipotropiknya. Kekurangan treonin akan menyebabkan warna kulit menjadi tidak normal (Carroli et al. 2006). Metionin merupakan suatu anti-oxidan 46 yang baik karena dapat mensuplai belerang, menginaktifkan radikal bebas dan membantu meningkatkan daya ingat. Metionin juga merupakan suatu prekusor sistin, yang merupakan asam amino penghasil gluthation untuk detoksifikasi di hati. Juga merupakan salah satu amino yang diperlukan untuk pembuatan creatine monohydrate di dalam tubuh yaitu suatu campuran yang penting untuk menghasilkan energi dan pertumbuhan otot. Untuk pergerakan tubuh, metionin dapat menstabilkan lemak, membuat pencernaan menjadi lebih baik, dan sebagai antioksidan. Kekurangan metionin dapat menyebabkan akumulasi lemak di hati, pertumbuhan yang lambat, lemah, luka mengkerut dan edema. Secara medis metionin digunakan untuk gangguan depresi, radang sendi dan penyakit hati (liver) (Cat 2006). Isoleusin bermanfaat dalam mempercepat penyembuhan luka, mengatur gula darah dan membantu dalam pembentukan hemoglobin serta merupakan pertahanan utama tubuh untuk melawan infeksi akibat luka. Sedangkan leusin bermanfaat dalam pengaturan gula darah, pertumbuhan dan perbaikan jaringan kulit, tulang dan otot serta membantu dalam penyembuhan luka, mengatur energi dan membantu penguraian didalam otot (Cat 2006). Histidin didalam tubuh diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan dari semua jenis jaringan. Histidin berperan penting dalam pemeliharaan dan pembuatan glial sel syaraf yang disebut oligo-dendrocytes (selendang/ pembungkus). Histidin mencegah kerusakan otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung. Histidin juga merupakan suatu pabrik dari kedua sel darah yaitu sel darah putih dan sel darah merah. Selain itu histidin juga membantu melindungi tubuh dari radiasi dan mengeluarkan kelebihan logam berat (seperti, Fe) dari tubuh. Histidin merupakan suatu prekusor asam amino non-esensial, yang mana histidin akan membentuk sistem imun sebagai respons terhadap suatu reaksi alergi. Secara medis, histidin digunakan dalam mengobati radang sendi dan ketulian saraf. Valin bermanfaat dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan otot serta menjaga keseimbangan nitrogen dan mengatur penggunaan glukosa. Sedangkan phenilalanin secara medis digunakan untuk perawatan radang sendi dan depresi. 47 Kekurangan phenilalanin akan menyebabkan tubuh lemah, lesu, kerusakan hati dan pertumbuhan terhambat (Cat 2006). Lisin digunakan di dalam tubuh untuk penyerapan kalsium serta pembentukan tulang dan pertumbuhan otot seperti mobilisasi lemak untuk digunakan sebagai energi. Lisin juga bermanfaat dalam menjaga keseimbangan nitrogen serta membantu menjaga berat badan pada saat stress berat dan kondisi yang melelahkan. Lisin juga diperlukan dalam membentuk antibodi, hormon (GH, testosterone, hormon insulin), enzim, kolagen dan untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Lisin juga membantu dalam membangun protein otot yang baru, dan manfaatnya untuk cardiovascular meliputi pemeliharaan kesehatan pembuluh darah. Lisin berperan dalam revitalisasi tubuh untuk mencegah kelelahan dan memelihara keseimbangan nitrogen serta menciptakan suatu lingkungan anabolik didalam tubuh. Kekurangan lisin akan menyebabkan kekacauan enzim, kehilangan energi, kerontokan rambut (umumnya karena kekurangan protein), berat badan menurun, tidak berselera dan hilang konsentrasi (Cat 2006). Oleh karena hati mempunyai fungsi untuk melakukan metabolisme protein, lemak dan karbohidrat maka jika fungsi hati terganggu akan berdampak pada terganggunya proses metabolisme tersebut. Dengan demikian, penderita gangguan fungsi hati seperti sakit liver, membutuhkan makanan yang tinggi protein dan karbohidrat serta lemak dengan kadar yang sedang karena hal ini akan meringankan kerja hati untuk memperoleh energi yang besar untuk aktivitasnya. Berdasarkan kandungan asam amino di atas maka asam-asam amino tersebut dapat dikelompokkan sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Pada Tabel ini terlihat bahwa total asam amino esensial dan non esensial beturut-turut 22,34 % dan 32,87 % atau 40,46 % dan 59,54 % (dari total asam amino). Sedangkan total asam amino asam (AAA), asam amino basa (AAB), asam amino netral (AAN), asam amino aromatik (AAR), asam amino sulfur (AAS), asam amino hidrofilik (AAHl) dan asam amino hidrofobik (AAHb) berturut-turut adalah 18,73 %, 5,69 %, 30,79 %, 5,73, 2,47, 36,73, 18,48 atau dari total asam amino berturut-turut 33,92 %, 10,30 %, 55,78 %, 10,37 %, 4,48 %, 66,52 %, 33,48 %. Dengan demikian, proporsi asam amino non esensial jauh lebih besar dibandingkan dengan asam amino esensial. Hal ini diperlukan khususnya bagi penderita 48 penyakit hati karena di dalam tubuh penderita tidak mampu mensintesa asam amino non esensial (Almatsier 2002). Asam amino netral juga jauh lebih besar dibandingkan dengan asam amino asam dan asam amino basa, serta asam amino hidrofilik jauh lebih besar dibandingkan dengan asam amino hidrofobik. Adapun hasil analisa asam amino dengan HPLC serta perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 3 Klasifikasi asam amino berdasarkan sifat fisik dan kimia dari Atactodea striata Jenis asam amino Aspartat Glutamat Serin Glisin Alanin Prolin Tirosin Sistin Histidin Arginin Treonin Valin Metionin Isoleusin Leusin Phenilalanin Lisin TOTAL % dalam total asam amino AAE AANE 6,65 12,08 1,36 2,28 2,47 1,59 3,30 0,84 1,35 0,95 3,78 2,29 1,63 4,82 4,01 2,43 3,39 22,34 32,87 40,46 59,54 AAA 6,65 12,08 Klasifikasi asam amino (%) AAB AAN AAR AAS 1,36 2,28 2,47 1,59 3,30 0,84 AAHl 6,65 12,08 1,36 2,28 AAHb 2,47 1,59 3,30 3,30 0,84 1,35 0,95 0,84 1,35 0,95 3,78 3,78 2,29 1,63 4,82 4,01 2,43 2,43 18,73 3,39 5,69 30,79 5,73 2,47 3,39 36,73 18,48 33,92 10,30 55,78 10,37 4,48 66,52 33,48 2,29 1,63 4,82 4,01 2,43 1,63 Keterangan : AANE = Asam Amino Non Esensial; AAE = Asam Amino Esensial; AAA = Asam Amino Asam; AAB = Asam Amino Basa; AAN = Asam Amino Netral; AAR = Asam Amino Aromatik; AAS = Asam Amino Sulfur; AAHl = Asam Amino Hidrofilik; AAHb = Asam Amino Hidrofobik. Melalui proses pencernaan maka protein akan dipecahkan menjadi asamasam amino. Asam-asam amino ini kemudian oleh usus dialirkan ke seluruh tubuh untuk menggantikan jaringan-jaringan tubuh yang rusak. Oleh karena itu, dibutuhkan asam amino yang sesuai dengan keperluan tubuh. Secara fisik dan kimia, asam-asam amino memiliki sifat-sifat yang berbeda, dengan demikian pengklasifikasian asam amino sebagaimana tertera pada Tabel 3 diatas akan dapat memberikan gambaran bahwa keperluan asam amino untuk menggantikan jaringan tubuh adalah spesifik, artinya jaringan tubuh yang akan digantikan 49 memerlukan asam amino yang sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai contoh, tubuh untuk dapat menstabilkan lemak yang terdapat di dalam jaringan membutuhkan metionin yaitu salah satu dari asam amino sulfur. Selain itu, untuk menggantikan sel-sel darah merah dan sel darah putih maka dibutuhkan histidin karena histidin merupakan pabrik dari sel-sel tersebut. Histidin juga diperlukan oleh jaringan tubuh untuk mengeluarkan kelebihan logam berat seperti Fe dari tubuh. Menurut Muchtadi et al. (1993), asam-asam amino hasil pemecahan didalam sistem pencernaan selanjutnya diserap oleh usus dan kemudian dialirkan keseluruh tubuh untuk menggantikan jaringan tubuh yang rusak. Oleh karena itu dibutuhkan asam amino yang sesuai dengan keperluan tubuh. Asam-asam amino dan sejumlah kecil peptida sebagai hasil pemecahan protein, selanjutnya diabsorbsi melalui sel-sel mukosa usus (brush border). Mekanisme absorbsi berlangsung secara spesifik untuk tiap asam amino netral, asam atau basa serta peptida. Sehubungan dengan proses metabolisme asam amino didalam tubuh maka masing-masing asam amino mempunyai jalur metabolik secara spesifik. Misalnya glisin yang merupakan asam amino non esensial, netral dan hidrofilik yang dapat mengalami reaksi deaminasi oksidatif oleh glisin oksidase, yaitu enzim yang terdapat dalam jaringan hati dan ginjal. Dalam reaksi ini glisin akan diubah menjadi asam glioksilat dan amonia. Asam glioksilat selanjutnya diuraikan menjadi formaldehida dan karbondioksida. Glisin dapat diubah juga menjadi serin dengan adanya 5-formiltetrahidrofolat dimana gugus formil sebagai donornya. Glisin dapat berfungsi sebagai penawar racun, misalnya makanan yang dikonsumsi mengandung asam benzoat atau derivatnya maka glisin akan bergabung dengan zat-zat tersebut sehingga terbentuk asam hipurat yang tidak beracun (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). 4.3 Rendemen Ekstrak Atactodea striata Ekstraksi bertingkat yang dilakukan terhadap kerang mas ngur (Atactodea striata) dengan menggunakan pelarut heksana (non polar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar) menghasilkan rendemen yang telah dibersihkan seperti disajikan pada Tabel 4. 50 Tabel 4 Rendemen ekstrak Atactodea striata dengan metode ekstraksi bertingkat Ekstrak Berat awal sampel (g) 50 Volume pelarut (ml) 100 Berat rendemen (g) 0,960 % rendemen (w/w) 1,92 Etil asetat 50 100 0,655 1,31 Metanol 50 100 2,880 5,76 Heksana Tabel di atas menunjukkan bahwa rendeman terbesar terdapat pada ekstrak metanol yaitu 5,76 % dan rendemen terkecil terdapat pada ekstrak etil asetat yaitu 1,31 %. Ketiga ekstrak yang diperoleh tersebut, selanjutnya dilakukan uji inhibitor topoisomerase I dengan konsentrasi ekstrak yang digunakan sebesar 50 µg/ml. 4.4 Inhibitor Topoisomerase I dari Ekstrak Atactodea striata Keseluruhan ekstrak yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menguji aktivitas inhibitor topoisomerase I sebagaimana hasilnya terlihat pada Gambar 10. Ekstrak dikatakan memiliki aktivitas inhibisi topoisomerase I apabila pita dari DNA complex hasil reaksi dicocokkan dengan marker terjadi perubahan bentuk dari DNA supercoil menjadi nick complex. Kontrol 1 menunjukkan adanya aktivitas enzim dimana akan terjadi relaksasi DNA, kontrol 2 menunjukkan bahwa pelarut tidak mempengaruhi mobilitas DNA, kontrol 3 menunjukkan bahwa pelarut tidak mempangaruhi aktivitas enzim, kontrol 4 menunjukkan terjadinya relaksasi marker DNA dan kontrol 5 mendeteksi pembentukan nick complex oleh camptothecin. 1 2 3 4 5 6 7 8 Keterangan : 1. Topo I + DNA, 2. Marker DNA Supercoil, 3. Topo I + DNA + Pelarut, 4. Marker DNA Linear/OpenCircular, 5. Topo I + DNA + Camptothecin, 6. Ekstrak Heksana, 7. Ekstrak Etil Asetat, 8. Ekstrak Metanol. Gambar 10 Hasil elektroforesis uji inhibitor topoisomerase I dari berbagai ekstrak. 51 Senyawa yang dapat menstabilkan ikatan enzim dan substrat (nicked intermediate) dan atau menghambat aktivitas kalatilik topo I dapat di deteksi dengan Drug Screening Kit Topoisomerase I dari TopoGen dengan kontrol positif camptothecin. Camptothecin secara luas telah digunakan sebagai model dalam pencarian senyawa antikanker dari bahan alam. Camptothecin dan turunannya bekerja dengan mengikat dan mestabilkan kompleks kovalen DNA topoisomerase sehingga me nghambat kerja topoiosmerase I (Dewick 2001). Senyawa yang bersifat poison akan menstabilkan ikatan enzim dan substrat yang dapat dilihat dengan peningkatan open circular (OC) DNA di gel, sedangkan pada senyawa yang bersifat menghambat aktivitas katalitik ditunjukkan dengan dihambatnya aktivitas relaksasi. Gambar 10 menunjukkan bahwa seluruh ekstrak yang digunakan memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I dengan mekanisme poison yang ditunjukkan dengan terbentuknya nick complex seperti yang diindikasikan pada kontrol positif camptothecin. Hal ini terlihat dengan adanya band pada ekstrak heksana (sumur 6), ekstrak etil asetat (sumur 7) dan esktrak metanol (sumur 8) yang mempunyai kecocokan dengan pita dari kontrol 2 dan 4 dimana terjadi perubahan bentuk DNA supercoil menjadi nick complex dengan peningkatan Open Circular (OC) sebagai indikasi dari kerja senyawa yang bersifat poison. Rekapitulasi hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak bersih heksana, etil asetat, dan metanol disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak heksana, etil asetat dan metanol pada konsentrasi 50 µg/ml Sampel Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I Ekstrak Heksana Poison : + Ekstrak Etil asetat Poison : + Ekstrak Metanol Poison : + Pada Tabel 5 terlihat bahwa ekstrak heksana, etil asetat, dan metanol memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I dengan mekanisme inhibisi berbentuk poison. Hal ini menggambarkan bahwa kerja ketiga ekstrak tersebut dalam penghambatan sel kanker adalah dengan menghambat kerja sel-sel kanker dalam 52 proses replikasi walaupun substrat sempat ketemu dan berikatan dengan enzim yang dapat dilihat dengan peningkatan open circular (OC) DNA di gel. Menurut Nishina et al. (1991), terganggunya replikasi DNA disebabkan karena keberadaan enzim yang memudahkan terjadinya penetrasi komponen antimikroorganisme ke dalam sel. Dengan demikian, struktur membran sangat berhubungan dengan plasma membran yang berpengaruh terhadap membran. Lebih lanjut Corral et al. (1988) menyatakan bahwa komponen bioaktif juga dapat merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat sintesis protein dan menghambat kerja enzim intraseluler, dan mekanisme penghambatan demikian disebut sebagai kemampuan menginaktivasi enzim esensial. Mekanisme penghambatan yang terkait dengan DNA dan RNA berkaitan dengan kemampuan komponen aktif menginaktivasi fungsi material genetik. Senyawa tersebut mengganggu pembentukan asam nukleat (DNA dan RNA) sehingga mengganggu transfer informasi genetik dengan menghambat aktivitas enzim RNA polimerase dan DNA polimerase. Mekanisme selanjutnya menginaktivasi atau merusak materi genetik sehingga mengganggu proses pembelahan sel untuk perkembangbiakan (Kim et al. 1995). Adanya aktivitas inhibitor topoisomerase I dari keseluruhan ekstrak memberikan petunjuk bahwa ekstrak-ekstrak tersebut memiliki senyawa kimia spesifik yang diharapkan dapat bekerja sebagai antikanker. Dengan demikian, untuk menemukan jenis senyawa kimia tersebut maka perlu dilakukan karakterisasi dan identifikasi terhadap ekstrak tersebut. Walapun penelitian ini tidak dispesifikasikan terhadap jenis kanker, berdasarkan pengalaman empiris kerang mas ngur (Atactodea striata) telah digunakan secara tradisional sebagai obat penyakit hati. Apabila penyakit hati ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka dapat menyebabkan sirosis hati, yang menjadi salah satu pemicu kanker hati primer (hepatoma) (Wijayakusuma 2004). Selanjutnya Mansjoer (2002) menyatakan bahwa sirosis hati merupakan penyakit dengan peradangan difusi dan menahun pada hati yang diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Berasarkan hasil penelitian dan analisis 53 diduga senyawa bioaktif kerang mas ngur (Atactodea striata) mempunyai kemampuan sebagai antikanker dengan aktivitas sebagai inhibisi pada kanker hati. 4.5 Konsentrasi Minimum Penghambatan (MIC) Topoisomerase I Untuk menentukan nilai konsentrasi minimum penghambatan (MIC) maka hasil uji inhibitor topoisomerase di atas dilanjutkan dengan pengujian pada konsentrasi 1,25 µg/ml, 2,5 µg/ml, 5 µg/ml, 12,5 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml, 100 µg/ml, dimana ekstrak yang digunakan dalam pengujian adalah ekstrak metanol. Nilai MIC merupakan dosis atau konsentrasi terkecil dari bahan aktif yang memiliki aktivitas penghambatan kerja enzim topoisomorase I. Hasil pengujian MIC dari inhibitor topoisomerase I pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 11 dan rekapitulasi hasilnya tertera pada Tabel 6. Walaupun ketiga ekstrak memiliki aktifitas inhibitor topoisomerase I namun ekstrak metanol digunakan dalam penentuan konsentrasi minimum penghambatan (MIC) karena memiliki rendemen terbesar. Pada Tabel 6 terlihat bahwa dari ke tujuh konsentrasi yang dicobakan ternyata pada konsentrasi 1,25 µg/ml dan 2,5 µg/ml tidak menunjukkan aktivitas inhibitor topoisomerase I. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Keterangan : 1. Topo I + DNA, 2. Marker DNA Supercoil, 3. Topo I+ DNA + Pelarut, 4. Marker DNA Linear/OpenCircular, 5. Topo I + DNA+ Camptothecin, 6. ekstrak 100 µg/ml, 7. 50 µg/ml, 8. 25 µg/ml, 9. 12,5 µg/ml, 10. 5 µg/ml, 11. 1,25 µg/ml, 12. 2,5 µg/ml. Gambar 11 Hasil elektroforesis uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak metanol dengan berbagai konsentrasi Tabel 6 Hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak metanol pada berbagai konsentrasi Konsentrasi µg/ml Ekstrak Metanol 1,25 2,5 5 12,5 25 50 100 - - + + + + + 54 Berdasarkan Gambar 11 dan Tabel 6 diatas maka nilai konsentrasi minimum penghambatan (MIC) topoisomerase I ektrak metanol dari kerang mas ngur (Atactodea striata) sebesar 5 µg/ml. Nilai MIC ini jika dibandingkan dengan kontrol positif camptothecin yang memiliki konsentrasi 34,84 µg/ml (100 µM) maka ektrak metanol memiliki tingkat aktifitas sebagai inhibitor topoisomerase I sangat baik. Zahir (1996) menyatakan bahwa suatu senyawa bahan alam dikatakan efektif sebagai inhibitor enzim topoisomerase bila memiliki nilai MIC kurang dari 10 µg/ml. 4.6 Golongan Senyawa Kimia Ekstrak Aktif Atactodea striata Uji ini dilakukan untuk mengetahui kelompok senyawa yang terdapat pada ekstrak aktif inhbitor topoisomerase I. Hasil uji kandungan senyawa kimia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil karakterisasi ekstrak aktif Atactodea striata Jenis ekstrak Bradford*) Heksana +++ ++ - - + + - + Etil Asetat *) Jenis Pengujian Ninhidrin*) Molish Kesimpulan L. Burchard*) Metanol ++ +++ Jumlah tanda (+) menunjukkan intensitas warna - Mengandung protein dan asam amino bebas Mengandung protein, asam amino bebas dan steroid Mengandung protein dan asam amino bebas Tabel 7 menunjukkan bahwa secara kualitatif ekstrak heksana mempunyai kandungan protein lebih besar dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan metanol sedangkan asam amino bebas lebih banyak terdapat pada ekstrak metanol dibandingkan dengan ekstrak heksana dan etil asetat. Hal ini berarti bahwa protein yang terdapat pada ekstrak metanol lebih mudah terurai menjadi asam-asam amino bebas. Selanjutnya, steroid hanya terdapat pada ekstrak etil asetat yang berarti bahwa Atactodea striata mengandung steroid yang lebih besifat semi polar. Sedangkan karbohidrat yang dikandung Atactodea striata tergolong heteropolisakarida yang tidak dapat dipecahkan oleh asam sulfat pekat sehingga tidak terbentuk gugus furfural yang dapat bereaksi dengan sulfonat alfa-naftol membetuk senyawa berwarna ungu. Adapun indikasi warna yang terbentuk dari hasil uji ini dapat dilihat pada Lampiran 5. 55 Menurut Poedjiadi dan Supriyanti (2006), reaksi dehidrasi atau pelepasan molekul air dari suatu senyawa (monosakarida) dengan asam sulfat pekat akan membentuk gugus furfural atau derivatnya (uji Molish). Reaksi ini tidak spesifik untuk karbohidrat karena gugus furfural, aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat memiliki sifat mereduksi, dan sifat reduktor ini digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif, sedangkan polisakarida tidak memiliki sifat mereduksi terutama polisakarida yang mengandung senyawa lain (heteropolisakarida). Lebih lanjut Hutagalung (2004) menyatakan bahwa karbohidrat yang berasal dari kerang-kerangan khususnya tiram adalah dalam bentuk glikogen dengan persentase antara 20-25 %. Asam-asam amino yang terdapat pada kerang mas ngur (Atactodea striata) merupakan senyawa prekusor untuk alkaloid. Menurut Bruneton (1993), asam amino ornitin, lisin, phenilalanin, tirosin, dan triptofan merupakan senyawa prekusor untuk alkaloid. Pembentukan sistem heterosiklik alkaloid pada umumnya melalui mekanisme inter atau intramolekuler sederhana. Sebagai contoh, biosintesis alkaloid benzilisokuinolin terbentuk dari 2 molekul tirosin yang akan membentuk dopain. Kemudian dopain akan mengalami kondensasi dengan 4-hidroksifenilasetaldehid membentuk (S)-norkoklaurin (dikatalisis oleh enzim sintesa) yang akan mengalami O-metilasi pada C6 menghasilkan (S)koklaurin yang seperti retikulin merupakan suatu benzilisokuinolin. Hidroksilasi pada C3 diikuti metilasi (S)-retikulin. Hasil pengujian kualitatif untuk mengetahui adanya alkaloid, flavonoid, steroid dan saponin pada kerang mas ngur (Atactodea striata) disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji kualitatif ekstrak aktif Atactodea striata Uji Pereaksi Alkaloid Dragendorf (+ : terbentuk endapan merah) Meyer (+ : terbentuk endapan putih) Wagner (+ : terbentuk endapan coklat) H2SO4 (+ : terbentuk warna merah) Lieberman Burchard + : terbentuk warna hijau Pengocokan + : dalam 10 menit setelah pengocokan buih tidak hilang Flavonoid Steroid Saponin Hasil dari ekstrak Heksana E. asetat Metanol + + + + - + - + - + 56 Tabel 8 menunjukkan bahwa senyawa alkaloid terdapat pada ekstrak metanol, steroid pada ekstrak etil asetat, saponin pada ekstrak heksana dan metanol. Hasil ini menjadi rujukkan untuk isolasi senyawa bioaktif tersebut. Adapun indikasi warna yang terbentuk dari hasil uji ini dapat dilihat pada Lampiran 6. Keberadaan senyawa aktif pada kerang Atactodea striata sangat tergantung pada lokasi, musim yang berbeda, dan jenis makanannya. Sebagai contoh pada moluska Mytilus edulis yang diambil dari tiga lokasi yaitu Belanda, Kanada dan Jepang mempunyai kadar kolesterol yang berbeda beda (Makkasau 2001). Demikian juga hasil uji Tabel 8 berbeda dengan hasil penelitian Feri (2003) yang melaporkan bahwa ekstrak metanol dan kloroform Atactodea striata positif mengandung alkaloid, saponin, steroid, dan terpenoid. Sedangkan ekstrak etil asetat mengandung alkaloid dan saponin, ekstrak n-heksana mengandung alkaloid dan steroid. 4.7 Isolasi Senyawa Aktif 4.7.1 Isolasi Senyawa Alkaloid Untuk mendapatkan alkaloid bebas maka dilakukan isolasi berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Sugita et al. (2006). Ekstraksi alkaloid bebas yang dilakukan terhadap 1,5 gr ekstrak bersih metanol diperoleh rendemen sebesar 0,0738 gr atau 4,92 %. Ekstrak yang diperoleh berbentuk pasta dan berwarna coklat tua. Pemeriksaan senyawa alkaloid yang merupakan senyawa bioaktif dari Atactodea striata dilakukan dengan menggunakan ekstrak metanol berdasarkan metode Harborn (1987), yang mana hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil uji kualitatif isolat senyawa alkaloid Atactodea striata Uji Alkaloid Pereaksi Hasil dari ekstrak metanol Dragendorf + : terbentuk endapan merah jingga Meyer + : terbentuk endapan putih Wagner + : terbentuk endapan coklat Ket : + = secara kualitatif menunjukan indikasi warna yang sesuai + + + 57 Hasil isolasi senyawa alkaloid (Tabel 9) menunjukkan bahwa ekstrak metanol Atactodea striata mengandung senyawa alkaloid yang teridentifikasi pada pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner. Alkaloid sebagian besar memiliki daya aktif farmakologi dan aktivitas fisiologi. Menurut Solomon (1980), manfaat alkaloid dalam bidang kesehatan adalah sebagai pemacu sistem saraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit dan melawan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Adapun indikasi warna yang terbentuk dari hasil uji ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Menurut Sukardiman et al. (2002) senyawa bahan alam yang memiliki aktivitas antikanker dan memiliki target molekul enzim DNA topoisomerase termasuk senyawa golongan alkaloid, glikosida dan flavonoid. Selanjutnya Sutaryadi (1991) menyatakan bahwa alkaloid yang bersifat sebagai antitumor, antara lain alkaloid pirosilisin, isokinolin, benzofenantridin, indol, sefalotaksus, dan camptothecin. Menurut Bernik dan Jimeno (2001) senyawa alami dari laut yang telah diuji kemampuannya dalam menghambat sel kanker baik secara in vitro maupun in vivo dan menunjukkan hasil yang baik, antara lain Ectinascidins743 dari tunicate (Tetrahydroisoquinoline) yang termasuk golongan alkaloid. Senyawa ini mempunyai mekanisme kerja dengan melakukan alkilasi pada residu guanin dalam DNA dan juga berinteraksi dengan inti protein. Isolat alkaloid yang diperoleh berbentuk pasta dan berwarna coklat tua mengindikasikan bahwa senyawa alkaloid pada kerang mas ngur (Atactodea striata) memiliki atom O sehingga berbentuk kristal padat (Harborne 1987) dan senyawanya adalah senyawa kompleks yang me ngandung gugus aromatis sehingga memberikan warna (Robinson 1995). Berdasarkan uraian referensi tersebut diatas maka diduga bahwa zat yang berpotensi sebagai inhibitor topoisomerase I berasal dari golongan alkaloid. Untuk itu perlu dilakukan pengujian lanjut terhadap senyawa alkaloid yang diperoleh sebagai inhibitor topoisomerase I. 4.7.2 Isolasi Senyawa Steroid Untuk mendapatkan senyawa steroid bebas maka dilakukan isolasi terhadap ekstrak metanol dan ekstrak etil asetat. Metode isolasi steroid ini mengacu pada Bahti et al. (1983) dalam Heryani (2002). 58 Hasil uji isolat senyawa steroid dari Atactodea striata terlihat pada Tabel 10. Warna yang terbentuk sebagai indikasi adanya steroid dapat di lihat pada Lampiran 8. Tabel 10 Hasil uji kualitatif isolat senyawa steroid Atactodea striata Uji Steroid Pereaksi Lieberman-Burchard + : terbentuk warna hijau Hasil isolasi dari ekstrak Etil Asetat Metanol + + Uji isolat senyawa steroid (Tabel 9) menunjukkan bahwa ekstrak metanol dan etil asetat memiliki isolat yang mengandung senyawa steroid bebas yang diindikasikan dengan terbentuknya warna hijau pada saat isolat ditambahkan pelarut Lieberman-Burchard. Menurut Sukardiman et al. (2004) hasil skrining golongan senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak metanol pada Marchantia cf. planiloba Steph. adalah senyawa golongan steroid dan glikosida steroid. de Padua et al. (1999) melaporkan bahwa senyawa saponin merupakan larutan berbuih dan diklasifikasikan oleh struktur aglikan ke dalam triterpenoid dan steroid saponin. Kedua senyawa tersebut mempunyai efek antiinflamasi, analgesik, dan sitotoksik. Saponin juga telah diketahui memiliki aktivitas dalam memacu apoptosis, tetapi belum diketahui letak titik tangkapnya (Hoffmann et al. 2001). Hasil uji kualitatif pada Tabel 10 menunjukkan bahwa warna hijau yang terbentuk memberikan indikasi kuat bahwa steroid yang terdapat pada kerang Atactodea striata adalah kolesterol yang merupakan salah satu golongan steroid. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi dan Supriyanti (2006) bahwa apabila kolesterol dilarutkan dalam kloroform dan larutan ini dituangkan di atas larutan asam sulfat pekat dengan hati-hati, maka bagian asam berwarna kekuningan dengan fluoresensi hijau bila dikenai cahaya. Bagian kloroform akan berwarna biru dan yang berubah menjadi merah dan ungu. Larutan kolesterol dalam kloroform bila ditambah anhidrida asam asetat dan asam sulfat pekat, maka larutan tersebut mula-mula akan berwarna merah, kemudian biru dan hijau (ini disebut reaksi Lieberman Burchard). Warna hijau yang terjadi ini ternyata sebanding dengan konsentrasi kolesterol. Karena reaksi Lieberman Burchard dapat digunakan untuk menentukan kolesterol secara kualitatif. Namun menurut 59 Dence (1980) tes ini tidak spesifik untuk kolesterol saja, sterol lain seperti stigmasterol dan ergosterol juga akan memberikan respons positif. Kolesterol terdapat pada hampir semua sel hewan dan manusia. Pada manusia kolesterol terdapat dalam darah, empedu, kelenjar adrenal bagian luar dan jaringan syaraf. Hasil isolasi memberikan indikasi kuat adanya kolesterol karena kristalnya tidak berwarna dan tidak berbau sebagaimana yang dikemukakan oleh Poedjiadi dan Supriyanti (2006) bahwa apabila kolesterol terdapat dalam konsentrasi tinggi maka akan mengkristal dalam bentuk kristal yang tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Kanazawa (2001) menyatakan bahwa gastropoda dan cephalopoda mengandung senyawa kolesterol dengan sejumlah kecil sterol C29 dan C 28. Selanjutnya dijelaskan bahwa gastropoda laut mempunyai kemampuan untuk dealkilasi beberapa fitosterol menjadi kolesterol. Hal ini dimungkinkan karena gastropoda umumnya tidak membutuhkan sumber makanan dari kolesterol untuk pertumbuhan. Riccio et al. (1993) menyatakan bahwa hubungan simbiosis antara organisme juga mempengaruhi komposisi sterol. Selain kolesterol, kemungkinan steroid lain yang terkandung dalam kerang Atactodea striata adalah Vitamin D3 (cholecalciferol) yaitu turunan dari 7 dehidrokolesterol, yang berperan dalam penyerapan dan penggunaan kalsium dan fosfat untuk pembentukan tulang dan gigi. Fukosterol merupakan steroid yang diisolasi dari sumber daya hayati laut dan bersifat non toksik serta mempunyai khasiat menurunkan kolesterol dalam darah dan mendorong aktivitas antidiabetes (Bhakuni dan Rawat 2005). Kemungkinan lain terdapat steroid bebas polar seperti 5α-cholestane-hexaol (Gambar 12) seperti yang dijumpai pada binatang laut Henricia leviuscula dari perairan Timur Jauh. Selain itu kemungkinan lain adalah squalamine yang merupakan salah satu steroid hasil kondensasi dari cholestane 24 sulfat dengan spermidin, squalamine ditemukan pada perut ikan hiu dan merupakan antibiotik berspektrum luas, dimana squalamine mampu menghambat angiogenesis dan proliferasi sel endothelial (Moore et al. 1993). Lebih 70 sterol sulfat telah ditemukan pada hewan laut invertebrata. Senyawa ini mempunyai satu sampai tiga gugus sulfat yang berhubungan dengan inti tetracycle atau rantai samping cabang dan bersifat sebagai anti bakteri dan 60 antivirus (Riccio et al. 1993). Senyawa annasterol (Gambar 13) merupakan sterol monosulfat yang diisolasi dari spong Poecillastra laminaris di perairan Philipina dan berpotensi sebagai antibakteri terhadap Bacillus vulgaris (de Riccardis et al. 1992). Gambar 12 Struktur 5α - cholestane-hexaol Kawashima et al. (2007) melaporkan komposisi sterol dari bivalvia Megangulus zyonoensis dari perairan pantai Hokkaido Jepang terdiri atas : 24-norcholestadienal, cis-22-dehydrocholesterol, trans-22-dehydrocholesterol, cholesterol, cholestanol, brassicasterol, 24-methylencholesterol, campesterol, campestanol, stigmasterol, sitosterol, sitostanol, isofucosterol. Gambar 13 Struktur annasterol 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Kerang mas ngur (Atactodea striata) memiliki kandungan protein sebesar 56,08 %. (2) Ekstrak heksana, etil asetat dan metanol memiliki aktifitas inhibitor topoisomerase I. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari ekstrak metanol sebesar 5 µg/ml. (3) Ekstrak metanol mengandung senyawa alkaloid. Sedangkan senyawa steroid terdapat pada isolat etil asetat dan metanol. (4) Kerang mas ngur (Atactodea striata) berpotensi sebagai antikanker. 5.2 Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh dan kesimpulan diatas maka beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai berikut : (1) Perlu dilakukan pengujian toksisitas sebelum digunakan sebagai obat atau nutraceutical. (2) Perlu dilakukan purifikasi bahan inhibitor topoisomerase I untuk penentuan struktur kimia. (3) Perlu dilakukan pengujian antikanker terhadap sel lestari tumor secara in vitro dan in vivo terhadap hewan uji. DAFTAR PUSTAKA Abdellatif Z. 1996. DNA topoisomerase I inhibitors : Cytotoxic flavones from Lethedon tannensis,J. Natural Product. p.59 Almatsier S. 2002. Pelayanan gizi rumah sakit dan perkembangan ilmu serta teknologi. Gizi Indonesia 17:97-104. Ammon SJF, Osheroff N. 1995. Topoisomerase poisons: harnessing the dark side of enzyme mechanism. J Biol Chem. 270(37) : 21429-21432. Andreas C, Mehta R, Runyan C, Rao K, Vaughan A, Moo R. 1995. Flavonoids as DNA topoisomerase antagonist and poison: structure activity relationship. J. Nat. Product 58: 217-225. [AOAC] Association of the Official Analytical Chemist. 1995. Official methods of analysis of the association of official analytical chemist. (Horowitz, E., eds), 14th ed. Association Official of Analytical Chemist. Washington DC. P 8-50. Astawa M. 2007. Mengapa kita perlu makan daging. Artikel. Kompas Cyber Media. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Astawan M. 2003. Pangan fungsional untuk kesehatan yang optimal. Kompas Sabtu 23 Maret 2003. hal.16. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2001. Kajian proses standarisasi produk pangan fungsional di badan Pengawas Obat dan makanan. Lokakarya Kajian Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Bahti HH, Tjokronegoro R, Dimyati YA. 1983. Isolasi dan identifikasi senyawasenyawa steroid dan senyawa-senyawa yang bertalian dengannya serta senyawa-senyawa alkaloid dari daun kamboja (Plumiera acutifolia, Poir). Laporan Penelitian. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 65. Benckendorff K. 2001. Antimicrobial compounds from marine mollusks. Abstracts, World Congress of Malacology, Vienna, Austria L. SalviniPlawen, J. Voltzow, H. Sattmann & G. Steiner, eds.; Unitas Malacologica, Invited Lecture; Symposium: Molluscan Chemosymbiosis. Institute for Conservation Biology and Biomolecular Research Institute, University of Wollongong, Australia. p. 27. Bernik BRG, Jimeno J. 2001. Depsipeptid (NSC 630176). J. Angiogenesis 26: 2633. Beutler JA, Kashman Y, Cardellina JH, Alexander MRA, Balaschak MS, Prather TR, Shoemaker RH, Boyd MR. 1997. Isolation and characterization of novel cytotoxic saponin from Archidendrom ellipticum. Bioorganic & Medicinal Chemistry. 5:1509-1517. Bhakuni DS, Rawat DS. 2005. Bioaktive Marine Natural Product. New Delhi: Anamaya Publisher. http://bugs.corp.adobe.com. 7. 63 Bintang M. 1999. Penuntun Praktikum Antibiotik. Bogor: FMIPA, Institut Pertanian Bogor. 27. Bird AR. 1999. Prebiotics: A role for dietary fibre and resistant starch. Asia Pacific J Clin Nutr.: 8(Suppl.): S32-S36. Bruneton J. 1993. Pharmacognosy, phytochemistry, medicinal Plants. Lavoisier Publishing. Paris. 374. Cat B. 2006. Amino acid protein suplemen : Dietary Amino Acids Benefits. Dalam [email protected]. Corral LG, Post LS, Montville TJ. 1988. Antimicrobial activity of sodium bicarbonate. J. Food Sci. 53. Carroli C, Arata D, Dena CC. 2006. Effect of threonine deficiency on changes in enzyme activity and liver fat deposition with time. JN the Journal of Nutrition. Department of Foods and Nutrition, College of Home Economics, Michigan State University, East Lansing. p 502-506. Cumming J, Smith JF. 1991. DNA topoismerase I and II as target of rational design of new anticancer drugs. Ann oncology, Aug, 3 (7), 533-234. de Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmens RHMS. 1999. Plant Resources of Southeast Asia No 12(1). Medical and Poisonous Plants 1. Printed in Bogor Indonesia (PROSEA). Leiden, the Netherlands: Backhuys: 36-48. de Riccardis F, Iorizzi M, Minale L, Riccio R. 1992. The first occurrence of polyhydroxylated steroids with phosphate conjugation from the starfish tremaster novaecaledoniae. Tetrahedron Lett. 33: 1097-1100. Dekker H, Orlin Z. 2000. Terms and conditions for use of online biodiversity databases. The Academy of Natural Sciences of Philadelphia. p.12 Dence JB. 1980. Steroids and Peptides. New York: John Wiley & Sons. p.7 Dewick PM. 2001. Medicinal Natural Products A Biosynthetic Approach. 2nd edition. New York: John Wiley & Sons. 365. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara (2004). Laporan Statistik Perikanan Maluku Tenggara Tahun 2003. 83. Edwards R, Dixon DP, Walbot V. 2000. Plant glutathione S-transferases: enzymes with multiple functions in sickness and in health. 5 (5):193-8. Effendi YH. 2002. Pengantar gizi kesehatan. Diktat. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 54. Facompre M, Tardy C, Bal-Mahieu C, Colson P, Perez C, Manzanares I, Cuevas C, Bailly C. 2003. Lamellarin D : A novel potent inhibitor of topoisomerase I. Cancer Res. 63: 7392-7399. Feri IA. 2003. Uji aktivitas ekstrak Tude Bombang (Atactodea striata) terhadap beberapa bakteri patogen. Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar. 29:145. 64 Hamman MT, Otto CS, Scheuer PJ, Dunbar DC. 1996. Kahalalides : bioactive peptides from marine mollusk Elysia rufescens and its algal diet Bryopsis sp. J. Org. Chem., 61 : 6594. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Padmawinata K, penerjemah. Edisi Kedua. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Haris RS, Karmas E. 1989. Evaluasi gizi pada pengolahan bahan pangan. Terjemahan Achmadi S, Niksolihin S. Penerbit ITB Bandung. p.621-655. Harli M. 2003. Kerang dan udang aman bagi pembuluh darah. MMA-IPB. [email protected]. p.1 Heryani H. 2002. Kajian fraksi aktif dan formulasi Tabat Barito (Ficus deltoidea Jack) sebagai anti mikroorganisme klinis. Disertasi. IPB. Bogor. 185. Hoffmann JJ, Mujoo K, Haridas V, Wachler. 2001. Triterpenoid Saponins from Acacia victoriae (Bentham) decrease tumor cell proliferation and induce apoptosis. Cancer Res. 61:5486-5490. Hostettmann K, Wolfender JL, Rodrigue. 1997. Rapid detection and subsequent isolation of bioactive constituens of crude plant extract. J. Planta Med. 6: 2-10. Houghton PJ, Rahman A. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extract. Chapmal and Hall. Tokyo. 54 (11). Hsiang YH. 1989. Arrest of replication fork by drug-stabilized topoisomerase I DNA cleavable complexes as a mechanism of cell killing by campthothecin. J Cancer Research 49: 5077-5082. Hutagalung H. 2004. Karbohidrat. Makalah. Bagian ilmu gizi, Fakultas Kedokteran USU. Medan. p.1-13. Ireland CM, Roll DM, Molinski TF, Mckee TC, Zabriskie TM, Swersy JC. 1988. Uniquenness of the marine chemical environment: categories of marine natural products from invertebrates. In : Biomedical Importance of Marine Organisms (Memoirs of California Academy of Sciences Number 13), Fautin, D. G., Ed., California Academy of Sciences, San Francisco, CA. p. 41. Johnson DB. 2000. Nutrition in infancy: Physiology, Development, and Nutritional Recommendations. In: Roberts, BSW and Williams, SR (eds). Nutrition Throughout The Life Cycle. Fourth edition. McGrawHill. Sydney. p. 193-210. Joseph MC. 1989. Protein-linked DNA strand breaks induced in mammalian cells by camptothecan inhibitor of topoisomerase I. J Cancer Research. 52: 525532. Kanazawa A. 2001. Sterols in marine invertebrates. Review article. Fisheries Sci. 67: 997-1007. Kawashima H, Ohnisi M, Negishi Y, Amano M, Kinoshita M. 2007. Sterol composition in muscle and viscera of the marine bivalve Megangulus 65 zynonensis from coastal waters oh Hokkaido, Nortehern Japan. J. Oleo Sci. 56 (5): 231-235. Ketaren S. 1987. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 315. Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Terjemahan Saptohardjo A. Jakarta: Universitas Indonesia Pres. 291. Kim JM, Marshall MR, Wei CI. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral and geraniols against Salmonella typhimurium in culture medium and fish cube. J. Food Sci. 60(6). Kritchevsky D. 1999. Dietary fibre in health and disease: An overview. Asia Pasific J Clin Nutr. 8(Suppl.): S1-S2. Lehninger L.albert. 1993. Principles of biochemistry. Terjemahan Thenawijaya M. 1993. Dasar-dasar biokimia. Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta. 137-165. Linder CM. 2006. Biokimia nutrisi dan metabolisme dengan pemakaian secara klinis. Penerbit UI-Press. 27-118;555-712. Makkasau A. 2001. Isolasi dan identifikasi asam lemak utama dalam Kepah Atactodea striata. Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar. 14,16:1-73. Mansjoer A. 2002. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Ed ke-3. Jakarta: Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. 232. Matsuura K, Sumadiharga OK, Tsukamoto K. 2000. Field guide to Lombok Island : identification guide to marine organisms in seagrass beds of Lombok Island, Indonesia. Tokyo : Ocean Research Institut, University of Tokyo. p.10-12. Moehyi S. 1997. Pengaturan Makanan dan Diet untuk Penyembuhan Penyakit. Gramedia. Jakarta. p.52 Moka W. 1982. Identifikasi dan inventarisasi jenis kerang laut yang digunakan sebagai obat tradisional di Sulawesi Selatan. Unhas. Makassar. 97. Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1993. Biochemistry : A Case-Oriented Approach. Terjemahan Ismadi M. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 686. Moore KS, Wehrli S, Roder H, Rogers M, Forrest J, Mccrimmon D, Zasloff M. 1993. Squalamine: An aminosterol antibiotic from the shark. Proc. Natl. Acad. Sci. 90: 1354-1358. Morgan MY, Heaton KW. 2000. Nutrition, the liver, and gallstones. Di dalam:Garrow JS, James WPT, Ralph A, editor. Human Nutrition and Dietetics. London: Churchill Livingstone. hal 575-600. Muchtadi TR. 1992. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi bahan pangan. Makalah di sajikan dalam Kongres Nasional Persagi IX dan kursus penyegaran ilmu gizi. Semarang. 17-29 November. p.25-34. Muchtadi D, Palupi NS, Asrawan M. 1993. Metabolisme zat gizi I, sumber, fungsi dan kebutuhan bagi tubuh manusia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 196. 66 Muir JG. 1999. Location of colonic fermentation events: Importance of combining resistant starch with dietary fibre. Asia Pacific J Clin Nutr: : 8(Suppl.): S14S21 Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak bertulang belakang. Oseana, Volume XXX, Nomor 2. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta. Hal 19:19-27. Nararto. 1996. Uji praskrining isolat flavonoid dari herba benalu mangga (Dendropthoe petandra). Skripsi. Farmasi Unair. 83. Nasoetion A, Riyadi H, Mudjajanto ES. 1994. Dasar-dasar ilmu gizi. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 245. Nelson JK, Moxness KE, Jensen MD, Gastineau CF. 1994. Mayo clinic diet manual : A Handbook of Nutrition Practices. Ed ke-7. philadelphia : Mosby. p.67 Nishina AK, Kinaichi H, Uchibori T, Seine H, Osawa T. 1991. 2,6-Dimethoxy-pbenzoquinone as an antimicrobial substance in the bark of Phyllostachys heterocycla Var. Pubscens a species of thick-stemmed bamboo. J. Agric. Food Chem. 39. Padley FB, Podmore J. 1985. Fatty Acids. The role of fats in Human Nutritoin. Ellis Horwood. Chichester (England). p.183-209. Paul VJ. 1992. Chemical defenses of benthic marine invertebrate. In : Ecological roles of marine natural products (Paul, V.J. Ed.) Comstock Press, Ithaca, NY, p. 51. Poedjiadi A, Supriyanti FMT. 2006. Dasar-dasar biokimia. Edisi revisi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 8-125;247-343;389. Pommier Y. 1993. DNA toposimerase I and II in cancer chemotherapy : update and prospective, Cancer chemotherpy pharmacology, 32 (2). 103-108. Primadhani. 2006. Konsumsi energi dan protein pada penderita penyakit hati rawat inap di Perjan RS DR. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Skripsi. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 83. Rao AV. 1996. Anticacinogenic properties of palnt saponin. Second International Symposium on Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease. Brussels. Belgium. p.348-355. Riccio R, Auria MVD, Minale L. 1993. Polyoxygenated Steroids of Marine Origin. Chem. Rev. 93: 1839-1895. Robinson T. 1995. Kandungan Kimia Organik Tumbuhan Tinggi. Padmawinata K, penerjemah. Edisi Keenam. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plants. 367. Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis bahan alam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. p.201-219. 67 Silalahi J. 1994. Changes in amines during salting and drying of fish. Media Farmasi. 2(1): 33-39 Silalahi J. 1997. Extraction of amines from marine fish. Media Farmasi. 5(2): 100-108. Silalahi J. 2000a. Fats, olis and fat substitutes in human nutrition. Indonesian Food and Nutrition progress. 7(2): 56-66. Silalahi J. 2000b. Hypocholesterolemic Factors in Foods: A Review. Indonesian Food and Nutrition Progress. 7(1): 26-35. Silalahi J. 2002. Anticancer and health protective properties of citrus fruit components. Asia Pasific J Clin Nutr. 11(1): (In press). Simopoulos AP. 1994. Fatty Acids. In: Goldberg, I(ed). Functional Foods: Designer Foofs, Pharma foods, Nutraceuticals. Chapman & Hall. New York. p. 183-201. Sitompul S. 2004. Analisis asam amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik Pertanian Vol.9, Nomor 1. Balai Penelitian Ternak. Bogor. p.33:37. Solomon TW. 1980. Organic chemistry. Edisi 2. John wiley and Sons. New York. 1264. Sugita P, Darusman LK, Hermawan H. 2006. Penapisan senyawa aktif dari tanaman anting-anting (Acalypha indica L.) yang berpotensi menurunkan kadar glukosa darah. Departemen Kimia FMIPA IPB. Bogor. 1-5. Suharsono. 1970. Biokimia. Penerbit Erlangga, Jakarta. hlm. 33-45. Sukardiman, Poerwono H, Mubarika S, Sismindari. 2002. Skrining aktivitas antikanker fraksi n-heksana, etil asetat, n-butanol dari ekstrak metanol benalu teh (Scurula arthopurpurea) dengan molekul target enzim DNA topoisomerase. Majalah Farmasi Airlangga 2: 72-75. Sukardiman, Rahman A, Pratiwi NF. 2004. Uji praskrining aktivitas antikanker ekstrak eter dan ekstrak metanol Marchantia cf. planiloba Steph. dengan metode uji kematian larva udang dan profil densitometri ekstrak aktif. Majalah Farmasi Airlangga. 4(3): 97-100. Sunarto. 2001. Remis, kerang suku mesodesmatidae, penghuni pasir pantai pulaupulau karang. Warta Puslitbang Oseanologi, Volume XV Nomor 1 Bulan Januari - Maret. Jakarta. p.8-11. Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. 166. Sutaryadi. 1991. Dari Jamu Menjadi Obat Tradisional Menuju Ke Fitofarmaka. Surabaya: Laboratorium Botani Farmasi Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. hlm. 26-28. The International Glutamate Information Service (IGIS) http://www.glutamate.org Tomomatsu H. 1994. Health effects of oligosaccharides. Food Technology. p.6164. 68 [TopoGEN] TopoGen. 2006. Manual for topoisomerase drug screening kit. http://www.topogen.com/html [28 Nopember 2006]. 3. Topping DL. 1999. Physiological effects of dietary carbohydrates in the large bowel: Is there a need to recognize dietary fibre equivalents? Asia Pacific J Clin Nutr. 8(Suppl.): S22-S26. Tortora GJ, Anagnostakos NP. 1992. Principles of anatomy and physiology. Ed ke-6. New York: Harper & Row. p.53-56 Verawati AS, Hendrawati N, Ningrum EO, Indrayani. 2006. Optimalisasi nilai guna daging dan cangkang bekicot (achatina spp) sebagai sumber protein dan kalsium. Peiper Ilmiah. Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 1-9. Webb MR, Ebeler SE. 2004. Comparative analysis of topoisomerase IB inhibition and DNA intercalation by flavonoids and similar compounds: structural determinates of activity. J. Biochem. 384: 527-541. Williams SR. 1995. Basic Nutrition and Diet Therapy. Ed ke-10. St. Louise: Mosby. p.184-188 Wijayakusuma HMH. 2004. Atasi kanker dengan tanaman obat. Penerbit Puspa Swara. Jakarta. p:1-115 Winarno FG. 1997. Kimia pangan dan gizi. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 253. Winarti C, Nurdjanah N. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai sumber pangan fungsional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Jurnal litbang pertanian No. 12. Bogor. 24 (2):47-55. Witjaksono HT. 2005. Komposisi kimia ekstrak dan minyak dari lintah laut (Discodoris boholensis). Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. 59. Yang HL, Zeng QY, Nie LJ, Zhu SG, Zhou XW. 2003. Purification and characterization of a novel glutathione S-transferase from Atactodea striata. College of Life Sciences, Peking University, Beijing 100871, PR China. 1; 307(3):626-31. Zahir A. 1996. DNA topoisomerase I inhibitor : Cytotoxic Flavones from Lethedon tannaensis. Journal Natural Product, 59, 701 -703. LAMPIRAN 69 Lampiran 1 Peta dan foto-foto lokasi pengambilan sampel Lokasi pengambilan sampel (1) Peta Kepulauan Kei Maluku Tenggara (2) Lokasi Pengambilan Sampel 70 Lampiran 2 Bagan alir ekstraksi alkaloid (Sugita et al. 2006) Ekstrak Metanol Direndam dengan metanol-air (4:1) selama 24 jam Disaring Filtrat dipekatkan sampai 1/10 volume awal pada suhu 40oC Diasamkan (pH 3-4) dengan H 2SO4 2 M Diekstraksi dengan kloroform sebanyak tiga kali Lapisan kloroform Diuapkan Fase kloroform (alkaloid bebas) Lapisan air asam 71 Lampiran 3 Bagan alir ekstraksi steroid (Bahti et al. 1983 dalam Heryani 2002) Sampel diekstraksi MeOH Dihidrolisis dengan KOH 10% (dalam EtOH) (di atas penangas air, 100oC, 3 jam) Di saring (dapat hidrolisat) Diuapkan dengan rotari evoporator Hidrolisat kering Diekstraksi dengan dietil eter (Et2O) Ekstrak Et2O Ampas dibuang Dicuci berturut-turut dengan (H2O, HCl 2N, H 2O, NaHCO 3 jenuh, NaCl jenuh) Fase air (pencuci) dibuang Fase Et2O Dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat Ekstrak Et2O 72 Lampiran 4 Hasil analisa asam amino Atactodea striata dengan HPLC STANDAR ASAM AMINO D-2500 00/00/00 05:20 METHOD : FILE: 0 NO. TAG: CALC-METHOD: AREA% RT AREA 11 CH: TABLE: CONC 1 0 BC CONC: AREA Nama asam amino 1 1.14 291826 4.241 BV Asam aspartat 2 1.66 259662 3.773 VV Asam glutamat 3 2.81 458789 6.667 VB Serin 5 4.46 303191 4.406 BV Glisin 6 5.30 420738 6.114 VV Histidin 7 6.22 396565 5.763 VV Arginin 8 6.92 371543 5.399 VV Treonin 9 7.50 440682 6.404 VV Alanin 10 8.48 414414 6.022 VV Prolin 11 9.42 416426 6.052 VV Tirosin 12 10.26 543065 7.891 VV Valin 13 11.19 371238 5.395 VV Metionin 14 11.63 385453 5.602 VB Sistin 15 12.79 282701 4.108 BV Isoleusin 16 13.75 467231 6.791 VV Leusin 17 14.94 568627 8.263 VV Phenilalanin 18 16.59 489076 7.107 VB Lisin TOTAL 6881227 100.000 PEAK REJECK : 5000 Ket. : BV = Base line / Valen = tinggi pick; VV = Valen / Valen = lebar pick. 73 ASAM AMINO A. striata D-2500 METHOD : FILE: 0 00/00/00 04:36 1 TAG: CALC-METHOD: AREA% 8 CH: 1 TABLE: 0 CONC: AREA NO. RT AREA CONC BC Nama asam amino 1 1.12 167392 9.024 BV Asam aspartat 2 1.66 244472 13.179 VV Asam glutamat 4 2.82 68424 3.689 VV Serin 7 3.82 10815 0.583 VV 8 4.44 105857 5.707 VV Glisin 10 5.22 42099 2.270 VV Histidin 12 6.23 24822 1.338 BV Arginin 13 6.92 135258 7.292 VV Treonin 14 7.50 140184 7.557 VB Alanin 16 8.48 65810 3.548 VB Prolin 17 9.46 87099 4.696 BV Tirosin 18 10.34 121695 6.561 VV Valin 19 11.19 46593 2.512 VV Metionin 20 11.68 30999 1.671 VV Sistin 21 12.19 8380 0.452 VV 22 12.74 119500 6.442 VV Isoleusin 24 13.82 164015 8.842 VV Leusin 26 14.91 95976 5.174 VV Phenilalanin 27 15.54 6129 0.330 VV 28 15.70 15037 0.811 VV 29 15.98 9957 0.537 VV 30 16.58 130109 7.014 VV Lisin 32 17.31 14321 0.772 VV TOTAL 1854943 100.000 PEAK REJECK : 5000 Ket. : BV = Base line / Valen = tinggi pick; VV = Valen / Valen = lebar pick. 74 Contoh perhitungan : Asam amino (%) = t.spl t.std x konsentras i std x vol akhir cth x BM as.amino x pengencera n x 100 bobot cth 167392 x 2.5 x 3.484 x 131.1 x 10 x 100 Asam Aspartat (%) = 291826 = 6.650 100.000 Keterangan : t.spl = Tinggi puncak kromatogram contoh t.std = Tinggi puncak kromatogram standar std = Standar cth = Contoh BM = Berat Molekul 75 Lampiran 5 Hasil karakterisasi ekstrak aktif Atactodea striata He EA Me Ekstrak Aktif Atactodea striata L. BURCHARD BRADFORD He EA Me He MOLISH He EA Me EA NINHIDRIN Me He EA Me 76 Lampiran 6 Hasil uji senyawa ekstrak aktif Atactodea striata Wagner Meyer Dragendorf ALKALOID FLAVONOID & STEROID SAPONIN 77 Lampiran 7 Hasil uji isolat senyawa alkaloid bebas dari ekstrak metanol Dragendorf Wagner Meyer Lampiran 8 Hasil uji isolat senyawa steroid bebas dari ekstrak metanol dan etil asetat A. Steroid pada ekstrak metanol B. Steroid pada ekstrak etil asetat