KOMPOSISI KIMIA DAN AKTIVITAS INHIBITOR

advertisement
KOMPOSISI KIMIA DAN AKTIVITAS INHIBITOR
TOPOISOMERASE I DARI KERANG MAS NGUR
(Atactodea striata)
CELCIUS WARANMASELEMBUN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Komposisi Kimia dan
Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I dari Kerang Mas Ngur (Atactodea
striata) adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2007
Celcius Waranmaselembun
NRP. C551050021
ABSTRAK
CELCIUS WARANMASELEMBUN. Komposisi Kimia dan Aktivitas Inhibitor
Topoisomerase I dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata). Dibimbing oleh
LINAWATI HARDJITO dan MULYONO S. BASKORO.
Inhibitor topoisomerase merupakan salah satu target molekul untuk
penemuan obat kanker. Topoisomerase terdiri dari 2 tipe yaitu topoisomerase I
yang berperan dalam relaksasi supercoiled DNA dan memutus single stranded
DNA; dan topoisomerase II yang berperan dalam relaksasi pada pemutusan double
stranded DNA. Atactodea striata telah digunakan oleh masyarakat di kepulauan
Kei Maluku Tenggara sebagai obat penyakit kuning. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kandungan gizi kerang Mas Ngur (Atactodea striata) dan
menemukan senyawa kimia yang memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I.
Kerang Mas Ngur (Atactodea striata) yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari pulau Kei Kecil Maluku Tenggara. Kerang kering diblender halus
dan dianalisa komposisi kimianya serta asam amino, dengan metode standar
(AOAC 1995). Selain itu bubuk kering diekstraksi menggunakan pelarut heksana,
etil asetat dan metanol. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya diuji aktivitasnya
sebagai inhibitor topoisomerase I. Kemudian dilakukan karakterisasi ekstrak aktif,
yang dilanjutkan dengan isolasi golongan senyawa kimia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak heksana, etil asetat, dan
metanol memiliki aktifitas inhibitor topoisomerase I. Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) dari ekstrak metanol sebagai inhibitor topoisomerase I
adalah 5 µg/ml. Hasil uji komposisi kimia bubuk kerang menunjukkan kadar air
7,84 %, abu 7,88 %, protein 56,08 %, lemak 5,95 %, serat kasar 1,25 %, dan
karbohidrat 21 %. Ekstrak metanol mengandung senyawa alkaloid dan saponin,
ekstrak etil asetat mengandung senyawa steroid dan ekstrak heksana mengandung
saponin.
ABSTRACT
CELCIUS WARANMASELEMBUN. Chemical Composition and Topoisomerase
I Inhibitor Activity of Mas Ngur Mollusk (Atactodea striata). Supervised by :
LINAWATI HARDJITO and MULYONO S. BASKORO.
Topoisomerase inhibitor is one of target molecule for the invention of cancer
drug. There are two type of topoisomerases, namely topoisomerase I that relaxes
supercoiled DNA by introducing transient nicks in the DNA substrate and
topoisomerase II that cuts DNA substrate primarily at double stranded DNA. This
paper reported the screening of Atactodea striata extracts as topoisomerase I
inhibitor and their chemical content. Atactodea striata is a marine mollusk that
has been used by local people in Kei island, South-East Maluku as traditional
medicine to cure liver disease. This research aimed to investigate the nutrition
content of Mas Ngur Mollusk (Atactodea striata) and finding chemical compound
as topoisomerase I inhibitor.
Mas Ngur Mollusk (Atactodea striata) was obtained from Kei Kecil island,
South-East Maluku. The chemical content of Atactodea dried powder was
analysed applying standard method. The powder was extracted using hexane,
ethyl acetate and methanol. The extracts then was tested as topoisomerase I
inhibitor. The active extract further chemically characterized.
The results indicated that hexane, ethyl acetate, and methanol extracts
positively inhibited topoisomerase I. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of
the methanol extract was 5 µg/ml. The Atactodea striata powder contained water,
ash, protein, fat, fiber, and carbohydrate of 7.84 %, 7.88 %, 56.08 %, 5.95 %,
1.25 %, 21 % respectively. Methanol extract contained alkaloid and saponin
compound, while ethyl acetate extract contained steroid and hexane extract
contained saponin compound.
 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB dalam bentuk
apapun tanpa izin IPB
KOMPOSISI KIMIA DAN AKTIVITAS INHIBITOR
TOPOISOMERSE I DARI KERANG MAS NGUR
(Atactodea striata)
CELCIUS WARANMASELEMBUN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Penelitian
: Komposisi Kimia dan Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I
dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata)
Nama
: Celcius Waranmaselembun
NRP
: C551050021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc.
Ketua
Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Tanggal Ujian : 04 Oktober 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
rahmat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Adapun judul dari tesis ini adalah “Komposisi Kimia dan Aktivitas
Inhibitor Topoisomerase I Dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata)”. Penelitian
ini merupakan bagian dari Hibah Penelitian Tim Pasca (HPTP) yang didanai oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc
sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai
pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran
sehingga penelitian dan penulisan ini dapat terselesaikan. Serta terimakasih
kepada Ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS sebagai penguji luar komisi yang
telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. Tak lupa juga
penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual Maluku Tenggara yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di SPs IPB
Bogor.
2. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Ketua Program Studi Teknologi Kelautan,
atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana..
3. Kepada ketua tim Program Hibah Penelitian Tim Pasacasarjana-HPTP (Hibah
Pasca) dengan judul: ”Screening, Isolasi dan Identifikasi Inhibitor
topoisomerase untuk target penemuan anti kanker dari organisme pesisir/laut
yang telah digunakan sebagai obat tradisional” (2006-2007) yang telah
mendanai penelitian ini.
4. Hasil karya ini juga penulis persembahkan kepada istri dan anak-anakku
tercinta Yuliana Kopong, SPd., Paulus Pattiblile Waran, Hanna Chantika
Waran, Gutsy Godlife Waran dan Prisdy Waran atas segala pengertian,
ketabahan, kesabaran serta pengorbanan yang diberikan selama penulis
menjalani studi.
5. Bapak Mertua Petrus Kopong atas dukungan moril dan materiil.
i
6. Lulut Dwi Sulistyaningsih, S.Si. atas bantuannya dalam uji inhibitor enzim
topoisomerase I.
7. Ibu Heny, Erna, S.Si, Desya, S.Si, Ian, Lusy, dan Dian atas dukungan dan
persahabatannya.
8. Mas Dany, Ibu Niken, Ibu Dewi, Mas Agus, dan Mas Fajar sebagai rekanrekan penelitian Hibah Pasca 2006-2007 atas dukungan dan kerjasamanya.
9. Rekan-rekan dari Tual : Suhu Usman, Beni, Yula.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaannya,
oleh karena itu segala saran dan kritik dalam penyempurnaannya sangatlah
penulis harapkan.
Bogor, Oktober 2007
Celcius Waranmaselembun
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Geser pada tanggal 15 September 1965 dari keluarga
Bapak Nikolaus Waranmaselembun dan Ibu Rosina Olingir. Penulis merupakan
anak ke tujuh dari delapan bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD GPM Lafa Kec. Tehoru,
Maluku Tengah pada tahun 1979, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 7
Ambon pada tahun 1982 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Ambon
pada tahun 1985. Pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Pattimura
Ambon melalui jalur PMDK Unpatti Ambon pada Fakultas Perikanan, Jurusan
Pengolahan Hasil Perikanan (PHP). Penulis memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada tahun 1990.
Sejak lulus pada tahun tersebut penulis dikontrak oleh Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI) Jakarta pada Bidang Pengembangan Sosial Ekonomi
(PSE) dan setelah mengikuti training selama sembilan bulan penulis di
percayakan untuk menangani bantuan-bantuan sosial ekonomi kepada masyarakat
kecil di Semarang dan Regio Sulawesi Maluku. Pada tahun tersebut penulis juga
termasuk salah satu pelatih pengusaha muda setelah memperoleh sertifikat TOT
atas kerjasama KWI dengan YIS Solo. Pada tahun 1987 penulis di panggil Pemda
Kabupaten Maluku Tenggara untuk mengelola Akademi Perikanan Larvul Ngabal
milik Pemdakab Malra. Pada tahun 2004 Akademi Perikanan Larvul Ngabal
mendapat SK menjadi Politeknik Perikanan Negeri Tual dan penulis diangkat
menjadi PNS sebagai staf. Selama di Akademi maupun di Politeknik penulis
menjabat sebagai Ketua Jurusan THP dan Pembantu Direktur I Bidang Akademik
hingga tahun 2005. Pada tahun tersebut penulis melanjutkan pendidikan Magister
pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ---------------------------------------------------------------- vi
DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------ vii
DAFTAR LAMPIRAN ----------------------------------------------------------- viii
1
2
3
PENDAHULUAN
---------------------------------------------------------
1
1.1
Latar Belakang ---------------------------------------------------------
1
1.2
Perumusan Masalah ----------------------------------------------------
3
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian ----------------------------------------
3
1.4
Hipotesis -----------------------------------------------------------------
3
TINJAUAN PUSTAKA -----------------------------------------------------
5
2.1
Deskripsi Kerang Mas Ngur (Atactodea striata) ---------------------
5
2.1.1
Bentuk Cangkang ----------------------------------------------
6
2.1.2
Habitat ----------------------------------------------------------
7
2.1.3
Penyebaran ------------------------------------------------------
7
2.1.4
Cara Membenamkan Diri ke Dalam Pasir --------------------
9
2.2
Kandungan Senyawa Bioaktif Kerang Laut --------------------------
9
2.3
Komponen Bioaktif Makanan dan Pengaruhnya
Terhadap Kesehatan ---------------------------------------------------- 11
2.3.1
Protein ----------------------------------------------------------- 12
2.3.2
Karbohidrat ----------------------------------------------------- 14
2.3.3
Asam Lemak ---------------------------------------------------- 16
2.4
Asam Amino ------------------------------------------------------------- 18
2.5
Ekstraksi Senyawa Bioaktif -------------------------------------------- 20
2.6
DNA dan Inhibitor Topoisomerase ------------------------------------ 22
METODOLOGI --------------------------------------------------------------- 25
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ----------------------------------------- 25
3.2
Bahan dan Peralatan ---------------------------------------------------- 25
3.3
3.2.1
Bahan ------------------------------------------------------------ 25
3.2.2
Peralatan -------------------------------------------------------- 25
Metode Penelitian ------------------------------------------------------- 26
iv
3.3.1
Analisa Komposisi Kimia dan Asam Amino ---------------- 26
3.3.1.1 Analisa Komposisi Kimia Atactodea striata -------- 26
3.3.1.2 Analisa Asam Amino Atactodea striata ------------- 29
3.3.2
Ekstraksi Senyawa Bioaktif Atactodea striata --------------- 31
3.3.3
Uji Inhibitor Topoisomerase I --------------------------------- 32
3.3.4
Uji Kelompok Senyawa Kimia -------------------------------- 33
3.3.5
4
5
3.3.4.1
Uji Ninhidrin ----------------------------------------- 33
3.3.4.2
Uji Molish -------------------------------------------- 33
3.3.4.3
Uji Bradford ----------------------------------------- 34
3.3.4.4
Uji Alkaloid ------------------------------------------ 34
3.3.4.5
Uji Saponin ------------------------------------------ 35
3.3.4.6
Uji Flavonoid ---------------------------------------- 36
3.3.4.7
Uji Triterpenoid dan Steroid ------------------------ 36
Isolasi Senyawa Aktif Inhibitor Topoisomerase I ----------- 36
HASIL DAN PEMBAHASAN ---------------------------------------------- 38
4.1
Komposisi Kimia Atactodea striata ----------------------------------- 38
4.2
Komposisi Asam Amino Atactodea striata --------------------------- 43
4.3
Rendemen Ekstrak Atactodea striata --------------------------------- 49
4.4
Inhibitor Topoisomerase I dari Ekstrak Atactodea striata ----------- 50
4.5
Konsentrasi Minimum Penghambatan (MIC) Topoisomerase I ---- 53
4.6
Golongan Senyawa Kimia Ekstrak Aktif Atactodea striata --------- 54
4.7
Isolasi Senyawa Aktif -------------------------------------------------- 56
4.7.1
Isolasi Senyawa Alkaloid -------------------------------------- 56
4.7.2
Isolasi Senyawa Steroid --------------------------------------- 57
KESIMPULAN DAN SARAN ---------------------------------------------- 61
5.1
Kesimpulan -------------------------------------------------------------- 61
5.2
Saran --------------------------------------------------------------------- 61
DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------- 62
LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------------- 69
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Komposisi kimia serbuk kering Atactodea striata
dibandingkan dengan sumber nutrisi lain --------------------------------- 38
2
Kandungan asam amino Atactodea striata
dibandingkan dengan ayam lokal dan tepung ikan ----------------------- 43
3
Klasifikasi asam amino berdasarkan sifat fisik dan kimia
dari Atactodea striata ------------------------------------------------------- 48
4
Rendemen ekstrak Atactodea striata dengan metode
ekstraksi bertingkat --------------------------------------------------------- 50
5
Hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak heksana,
etil asetat dan metanol pada konsentrasi 50 µg/ml ----------------------- 51
6
Hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak metanol
pada berbagai konsentrasi -------------------------------------------------- 53
7
Hasil karakterisasi ekstrak aktif Atactodea striata ----------------------- 54
8
Hasil uji kualitatif ekstrak aktif Atactodea striata ------------------------ 55
9
Hasil uji kualitatif isolat senyawa alkaloid Atactodea striata ----------- 56
10
Hasil uji kualitatif isolat senyawa steroid Atactodea striata ------------- 58
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Road map penelitian komposisi kimia dan aktivitas inhibitor
topoisomerase I dari Atactodea striata ------------------------------------
4
2
Jenis-jenis remis -------------------------------------------------------------
7
3
Bagian-bagian dari Atactodea striata -------------------------------------
7
4
Penampang melintang pantai pasir pulau karang
tempat hidup remis ----------------------------------------------------------
9
5
Struktur lamellarin D ------------------------------------------------------- 10
6
Struktur beberapa topoisomerase poison ---------------------------------- 23
7
Perbedaan antara inhibitor katalitik dan poison -------------------------- 24
8
Diagram alir proses ekstraksi bahan aktif
dari Atactodea striata ------------------------------------------------------- 32
9
Histogram kandungan asam amino dari A. striata,
ayam lokal dan tepung ikan ------------------------------------------------ 44
10
Hasil elektroforesis uji inhibitor topoisomerase I
dari berbagai ekstrak -------------------------------------------------------- 50
11
Hasil elektroforesis uji inhibitor topoisomerase I
dari ekstrak metanol dengan berbagai konsentrasi ----------------------- 53
12
Struktur 5α-cholestane-hexaol --------------------------------------------- 60
13
Struktur annasterol ---------------------------------------------------------- 60
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Peta dan foto-foto lokasi pengambilan sampel --------------------------- 69
2
Bagan alir ekstraksi alkaloid ----------------------------------------------- 70
3
Bagan alir ekstraksi steroid ------------------------------------------------- 71
4
Hasil analisa asam amino Atactodea striata dengan HPLC ------------- 72
5
Hasil karakterisasi ekstrak aktif Atactodea striata ----------------------- 75
6
Hasil uji senyawa ekstrak aktif Atactodea striata ------------------------ 76
7
Hasil uji isolat senyawa alkaloid bebas dari ekstrak metanol ----------- 77
8
Hasil uji isolat senyawa steroid bebas dari ekstrak metanol
dan etil asetat ---------------------------------------------------------------- 77
viii
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia memiliki sumberdaya laut yang besar dengan keanekaragaman
organisme laut yang tinggi merupakan penopang pengetahuan tradisional akan
berbagai obat-obatan yang dimanfaatkan turun-temurun. Hal ini menunjukkan
bahwa potensi alam laut Indonesia mempunyai peluang besar untuk berbagai
penelitian dalam penemuan obat baru. Bhakuni dan Rawat (2005) melaporkan
bahwa sampai saat ini ± 16.000 produk alam laut telah di isolasi dari organisme
laut yang dilaporkan dalam ± 6.800 penerbitan. Beberapa senyawa yang di isolasi
dari sumberdaya laut memperlihatkan aktivitas biologi yang kuat. Dengan
demikian laut dianggap sebagai sumber bahan obat yang potensial.
Maluku Tenggara memiliki luas wilayah 103.474 km2, dengan luas laut
93.100 km2 (89,97 %) yang terdiri 123 pulau, mempunyai potensi sumberdaya
laut dan keanaekaragaman hayati yang tinggi sebagaimana ciri dari ekosistem
daerah tropis. Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Maluku Tenggara (2004) jumlah produksi perikanan pada tahun 2003 sebesar
94.599,3 ton, terdiri dari komoditas perikanan tuna, pelagis besar, pelagis kecil,
demersal dan komoditas perikanan lainnya. Keanekaragaman hayati perairan
pesisir pada tingkat spesies terdiri atas filum moluska : 160 spesies
(kelas
gastropoda), kelas bivalvia (41 spesies), kelas holothuridae (8 spesies), kelas
echinoidea (3 spesies), 9 spesies ekinodermata, 14 spesies alga, 256 spesies ikan
karang, 69 spesies terumbu karang.
Keanekaragaman hayati yang kaya tersebut merupakan karunia Tuhan yang
harus dikelola secara arif sehingga memberikan nilai manfaat bagi manusia. Salah
satu bentuk pemanfaatan sumberdaya hayati tersebut adalah penggunaan kerang
Atactodea striata sebagai obat. Kerang ini sudah sejak dahulu kala digunakan oleh
masyarakat Kei Maluku Tenggara sebagai obat penyakit kuning dan telah terbukti
kemanjurannya. Masyarakat Kei Maluku Tenggara biasa menyebut kerang ini
dengan nama mas ngur (kerang mas) karena warnanya putih dengan garis
kekuning-kuningan.
2
Oleh karena kerang ini digunakan sebagai obat penyakit kuning maka
diduga memiliki senyawa bioaktif (metabolit primer dan sekunder). Metabolisme
merupakan proses sintesis substansi kimia dan degradasi oleh organisme dengan
sistem enzimatik. Jalur-jalur biosintetik (biosynthetic pathways) digunakan oleh
semua makhluk hidup dalam memproduksi metabolit yang esensial untuk
kelangsungan hidup dan pertahanan dirinya. Metabolit primer digunakan untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup seperti lemak, DNA, protein dan
karbohidrat. Sedangkan metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai
respon terhadap lingkungannya (Murniasih 2005). Kerang mas ngur (Atactodea
striata) diduga memiliki metabolit sekunder karena secara tradisional telah
terbukti kemanjurannya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai substansi aktif
dalam bidang obat-obatan.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui senyawa bioaktif
dari kerang mas ngur (Atactodea striata). Makkasau (2001) menemukan lima
jenis asam lemak yang terdapat pada kerang Atactodea striata yaitu asam 9oktadekenoat (asam oleat); asam 9-oktadekenoat-12 asetil oksi, metil ester; asam
heksadekanoat (asam palmitat); asam 11-oktadekenoat, metil ester (metil-11oktadekenoat); dan asam oktadekanoat (asam stearat). Selaian itu, Feri (2003)
melaporkan bahwa ekstrak metanol, kloroform, diklorometana dan etil asetat
Atactodea striata mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus. Ekstrak diklorometana dan n-heksana mampu menghambat pertumbuhan
bakteri Diplococcus pneumonia, fraksi A, B, C, D, F, G, H ekstrak diklorometana
mampu menghambat bakteri S. aureus, fraksi B, D, F, G ekstrak diklorometana
mempunyai kandungan kimia terpenoid. Selanjutnya, Yang et al. (2003)
menemukan glutathione S-transferase (GST) isoenzim baru dari cytosol
hepatopankreas Atactodea striata dengan berat molekul 24 kDa - 48 kDa. Enzim
yang dipurifikasi, memperlihatkan aktivitas yang tinggi terhadap 1-chloro-2,4dinitrobenzene (CDNB), 7-chloro-4-nitrobenzo-2-oxa-1,3-diazole (NBD-CL).
Berdasarkan pengalaman empiris dan hasil dari beberapa penelitian tersebut
diatas maka diduga kerang mas ngur (Atactodea striata) memiliki aktivitas
sebagai antikanker dan untuk membuktikannya maka dilakukan uji inhibitor
topoisomerase. Inhibitor topoisomerase merupakan salah satu target molekul
3
untuk penemuan obat kanker. Topoisomerase terdiri dari 2 tipe yaitu
topoisomerase I yang berperan dalam relaksasi supercoiled DNA dan memutus
single stranded DNA; dan topoisomerase II yang berperan dalam relaksasi pada
pemutusan double stranded DNA (TopoGen 2006).
Mengingat inhibitor topoisomerase sebagai salah satu target molekul
antikanker terutama dalam pencarian obat kanker maka penelitian ini diharapkan
dapat menemukan obat antikanker yang dapat disediakan dalam bentuk
“nutraceutical” karena kerang memiliki nilai gizi tinggi. Adapun road map
penelitian kerang mas ngur (Atactodea striata) dapat dilihat pada Gambar 1.
1.2
Perumusan Masalah
Salah satu obat tradisional yang telah lama dikenal oleh masyarakat di Kei
Maluku Tenggara sebagai obat penyakit kuning adalah kerang mas ngur
(Atactodea striata). Namun komposisi kimia dan aktivitas biologis bahan yang
dikandung kerang ini belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian
komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase I dari kerang mas ngur
(Atactodea striata).
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi kerang mas ngur
(Atactodea striata) dan menemukan senyawa kimia yang memiliki aktivitas
inhibitor topoisomerase I. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada
bidang perikanan khususnya eksploitasi sumber daya laut non ikan sebagai produk
nutraceutical.
1.4
Hipotesis
Kerang mas ngur (Atactodea striata) memiliki kandungan gizi yang baik
dan senyawa kimia yang diekstraksi memiliki aktivitas sebagai inhibitor
topoisomerase I.
Atactodea striata
Kepah Atactodea striata
Makkasau (2001)
Asam Lemak Utama
Tude Bombang (Atactodea striata)
Fery (2003)
Aktivitas Antibakteri
Analisa Komposisi Kimia :
- Air
- Lemak
- Abu
- Serat Kasar
- Protein
- Karbohidrat
Atactodea striata
Yang et al. (2003)
Glutathione S-transferase (GST)
Ekstraksi
Heksana
E. Asetat
Ekstrak kasar
Mas ngur (Atactodea striata)
Waranmaselembun (2007)
Komposis Kimia dan
Aktivitas Inhibitor Topoisomarase I
Analisa asam amino
Metanol
Dibersihkan
Uji inhibitor topo I
Karakterisasi :
- Uji Ninhidrin
- Uji Molish
- Uji Lieberman Burchard
- Uji Bradford
Ekstrak aktif
Isolasi senyawa
ekstrak aktif
Uji senyawa kimia :
- Alkaloid
- Steroid
- Terpenoid
- Saponin
Gambar 1. Road map penelitian komposisi kimia dan aktivitas inhibitor topoisomerase I dari Atactodea striata
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi Kerang Mas Ngur (Atactodea striata)
Menurut Deker dan Orlin (2000), klasifikasi kerang mas ngur (Atactodea
striata) sebagai berikut :
Kingdom
:
Animal
Filum
:
Molusca
Klas
:
Bivalvia (bivalves and clams)
Subklas
:
Heterodonta
Ordo
:
Veneroida
Sub Famili
:
Mactroidea
Famili
:
Mesodesmatidae
Genus
:
Atactodea
Spesies
:
Atactodea striata (Gmelin 1791)
Bivalvia umumnya berbentuk simetris bilateral dan pipih lateral. Cangkang
terdiri atas 2 katup, satu pada tiap sisinya. Kedua katup tersebut dihubungkan oleh
ligamen di bagian dorsal, terkunci satu sama lainnya dengan gigi engsel dan
ditutup oleh otot eduktor. Tubuhnya diselubungi oleh dua cuping mantel yang
berbentuk cangkang. Bagian kepala tidak jelas, tidak mempunyai mata atau
sungut (Matsuura et al. 2000).
Menurut Sunarto (2001), ada 6 jenis kerang yang biasa dijumpai di pasir
pantai pulau-pulau karang di Indonesia, yaitu Latona faba (Gmelin, 1791),
Gafrarium tumidum (Roding, 1798), Asaphis violascens (Forskal, 1775),
Atactodea glabrata (Gmelin), Atactodea striata (Gmelin) dan Davila plana
(Hanley). Dari ke enam jenis kerang tersebut di atas, tiga jenis yang disebutkan
terakhir adalah jenis kerang yang biasa disebut dengan nama "remis" dan
termasuk dalam Suku Mesodesmatidae (Moluska: Pelecypoda).
Atactodea striata merupakan salah satu jenis kerang-kerangan yang
termasuk dalam kelompok moluska. Kerang ini banyak dijumpai di daerah pasang
surut dengan bentuk adaptasi yang tinggi. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh
keadaan sekeliling seperti temperatur, makanan, kondisi perairan dan kedalaman
6
membenamkan diri. Kerang memiliki pelindung tubuh yang lunak berupa
cangkang yang mengandung zat kapur. Tubuh biasanya tersimpan dalam
cangkang sehingga tidak tampak dari luar. Dalam keadaan aman, tubuhnya
dijulurkan keluar dan bagian tubuh yang pertama kali tampak adalah kakinya yang
digunakan untuk berjalan (merayap) atau berenang. Kerang ini disebut juga
bivalis karena kedua cangkangnya menyatu. Cangkangnya tipis, keras, berwarna
putih kekuning-kuningan dengan ukuran antara 1 sampai 3,5 cm (Moka 1982).
Menurut Moka (1982), kerang laut Atactodea striata memiliki nama
daerah sebagai berikut : kepah (Indonesia), tude bombang (Makasar), kasii
(Bima), seasea (Mandar), baje bombang (Bugis). Sedangkan di daerah Kei
Maluku Tenggara dikenal dengan nama mas ngur.
2.1.1 Bentuk Cangkang
Bentuk cangkang kerang biasanya erat hubungannya dengan tempat
hidup/substrat di mana kerang tersebut hidup. Pada umumnya cangkang yang
berbentuk segitiga dan bagian depan (anterior) lancip akan lebih mudah
menembus atau membenamkan diri ke dalam substrat (Sunarto 2001).
Ketiga jenis remis (Atactodea glabrata, Atactodea striata dan Davila plana)
yang hidup di pasir pantai pulau-pulau karang mempunyai bentuk cangkang yang
agak berlainan satu sama lain. Davila plana mempunyai bentuk cangkang bulat
telur dengan seluruh tepinya bulat, sedangkan bagian depan (anterior) lebih
pendek dari pada bagian belakangnya (posterior). Permukaan luar cangkang
kerang Davila plana licin dan berwarna coklat muda. Kerang ini memiliki
panjang cangkang 24 mm. Cangkang kerang Atactodea striata berbentuk segitiga,
mempunyai garis-garis konsentris yang nyata pada permukaan cangkang bagian
luarnya mulai dari tepi cangkang sampai pada bagian dekat engsel dan berwarna
putih. Kerang ini dapat mencapai panjang 28 mm. Atactodea glabrata mempunyai
cangkang berbentuk segitiga dan agak lebih tebal jika dibandingkan dengan
cangkang Atactodea striata. Garis-garis konsentris kurang nyata pada cangkang
kerang ini dan pada bagian dekat engsel licin. Kadang kadang pada bagian bibir
cangkang berwarna hijau karena ditumbuhi oleh lumut. Kerang ini dapat
mencapai panjang 28 mm (Gambar 2 dan 3) (Sunarto 2001).
7
Gambar 2 Jenis-jenis remis (Sunarto 2001)
Gambar 3 Bagian-bagian dari Atactodea striata (Matsuura et al. 2000)
2.1.2 Habitat
Habitat remis adalah pasir putih yang terdapat di pantai sekeliling pulaupulau karang. Biasanya pantai pulau-pulau karang mempunyai lebar antara 2 dan
8 meter dan mempunyai kemiringan antara 5° dan 10°. Pantai berpasir ini pada
umumnya terendam air pada waktu pasang dan terkena sinar matahari pada waktu
air surut di siang hari. Pada waktu panas matahari terik dan air surut, suhu pasir di
pantai pulau-pulau karang ini cukup tinggi, dapat mencapai 35°C. Inilah suatu
keistimewaan remis, mereka hidup dan berkembang biak dengan baik pada habitat
yang bersuhu cukup tinggi dan kekeringan selama air surut (Sunarto 2001).
2.1.3 Penyebaran
Menurut Sunarto (2001), remis di pasir pantai pulau-pulau karang dapat
dibagi menjadi tiga penyebaran, yaitu penyebaran horizontal (penyebaran
8
memanjang pantai), penyebaran lateral (penyebaran melintang pantai) dan
penyebaran vertikal (penyebaran kedalaman).
(1) Penyebaran memanjang pantai (Penyebaran horizontal)
Penyebaran memanjang pantai ialah penyebaran yang dilihat dari potongan
memanjang suatu garis pantai (sepanjang pantai yang mengelilingi suatu pulau).
Dari penyebaran ini terlihat bahwa remis menyebar tidak merata sepanjang pantai.
Ada daerah yang padat populasinya dan ada daerah yang rendah populasinya. Ini
mungkin erat kaitannya dengan banyak atau sedikitnya makanan di sepanjang
pantai tersebut.
(2) Penyebaran melintang pantai (Penyebaran lateral)
Penyebaran melintang ialah penyebaran dari batas air pada waktu surut
sampai dengan pasir yang berbatasan dengan semak. Dilihat dari susunan pasir
dan besarnya butiran pasir, pantai pulau karang dapat dibagi menjadi 3 zona, yaitu
zona I adalah daerah berpasir kasar yang susunan pasirnya tidak padat dan
berbatasan dengan air laut pada waktu air surut; zona II adalah daerah di atas zona
I, berpasir relatif lebih halus dan susunan pasirnya lebih padat dari pada zona I;
dan zona III adalah daerah di atas zona II sampai dengan berbatasan dengan
semak, berpasir halus dan susunan pasirnya padat sehingga agak keras untuk
ditembus (Gambar 4).
Masing-masing jenis kerang menempati zona yang sesuai dengan bentuk
cangkangnya. Davila plana yang mempunyai bentuk anterior lebih pendek
menempati zona I, Atactodea glabrata menempati zona II dan ada juga yang
menempati zona I terutama yang masih kecil-kecil. Hal ini mungkin disebabkan
karena kemampuan mereka untuk menembus substrat masih kurang kuat sehingga
memilih hidup di zona I. Atactodea striata yang cangkang lebih tipis dan
mempunyai garis-garis konsentris lebih dalam menempati zona III.
(3) Penyebaran kedalaman (Penyebaran vertikal).
Penyebaran kedalaman ialah penyebaran sampai sedalam mana kerang
tersebut dapat membenamkan diri. Penyebaran kedalaman dari ke tiga jenis remis
kelihatannya ditentukan oleh padat dan tidaknya susunan pasir di suatu pantai.
Davila plana yang menghuni Zona I (pasir kasar dan susunan pasirnya tidak
padat) dapat membenamkan diri paling dalam, yaitu sekitar 3-10 cm. Atactodea
9
glabrata dan Atactodea striata yang menghuni zona yang susunan pasirnya padat
rata-rata dapat membenamkan diri antara 0-4 cm.
Davila plana
Atactodea striata
Atactodea glabrata
Gambar 4 Penampang melintang pantai pasir pulau
karang tempat hidup remis (Sunarto 2001)
2.1.4 Cara Membenamkan Diri ke Dalam Pasir
Remis membenamkan diri ke dalam pasir dengan menggunakan otot kaki.
Bila remis tersebut diambil dari dalam pasir dan diletakkan di atas pasir, maka
tidak lama kemudian remis tersebut akan berusaha untuk masuk kembali
(membenamkan diri) ke dalam pasir. Mula-mula kakinya dikeluarkan dari dalam
cangkang, lalu kaki tersebut berusaha untuk menggapai pasir yang ada di
bawahnya. Setelah kaki tersebut masuk ke dalam pasir, dengan membengkokkan
dan mengerutkan ujung kakinya yang berada di dalam pasir, kerang tersebut
berusaha untuk tegak. Setelah tegak, kakinya dimasukkan lagi lebih dalam ke
dalam pasir dan mengulang gerakan-gerakan seperti yang disebutkan di atas
sehingga seluruh cangkangnya masuk ke dalam pasir. Untuk mempermudah
pekerjaan tersebut, remis biasanya menunggu air laut pasang karena pada waktu
air pasang kepadatan pasir relatif lebih gembur. Karena cangkangnya yang pipih
dan bentuknya segi-tiga, kerang dari Suku Mesodesmatidae ini dapat
membenamkan diri lebih cepat dibandingkan dengan kerang dari suku yang lain
(Sunarto 2001).
2.2
Kandungan Senyawa Bioaktif Kerang Laut
Invertebrata laut yang mempunyai struktur pergerakan fisik lebih terbatas
dibanding dengan vertebrata laut, mampu mengembangkan sistem pertahanan diri
dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense). Lingkungan laut sangat
mempengaruhi keaktifan dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh biotanya.
10
Hubungan ekologi dengan keaktifan senyawa yang dihasilkannya dapat
dibuktikan dengan melihat kecenderungan bahwa sumber terbesar substansi
bioaktif berasal dari organisme laut di daerah tropik, khususnya daerah Indo
Pasifik (Paul 1992).
Invertebrata laut merupakan produsen senyawa bioaktif terbesar diantara
biota lainnya. Biota yang kaya dengan senyawa bioaktif adalah spons, cnidarians,
bryozoa, tunicates dan algae (Ireland et al. 1988). Beberapa metabolit sekunder
yang diproduksi oleh invertebrata laut dan mikroorganisme simbion, mempunyai
prospek sebagai zat aktif untuk obat berbagai penyakit seperti infeksi, neurologi
(parkinsons, alzheimer’s), penyakit jantung, immunologi, anti-inflammatory,
antivirus dan antikanker (Murniasih 2005). Moluska laut merupakan sumber
potensial dari senyawa-senyawa yang berperan untuk pengembangan agen-agen
antimikroba baru (Benckendorff 2001) misalnya kahalalide F diisolasi dari
moluska jenis Elysia rubefescens yang memiliki aktivitas sebagai antikanker usus
dan prostat (Hamman et al. 1996).
Facompre
et
al.
(2003)
melaporkan
telah
mengidentifikasi
dan
mengkarakterisasi potensi inhibitor topoisomerase I yang baru yang diberi nama
lamellarin D (Gambar 5). Lamellarin D (LAM-D) diisolasi dari moluska laut
subklas Prosobranchia yaitu Lamellaria sp dan merupakan senyawa alkaloid.
Alkaloid ini diketahui memiliki aktivitas terhadap sel lestari tumor yang resisten
terhadap berbagai obat dan sitotoksik yang sangat tinggi terhadap sel kanker
prostat.
Gambar 5 Struktur lamellarin D (Facompre et al. 2003).
11
Yang et al. (2003) telah menemukan glutathione S-transferase (GST)
isoenzim baru dari cytosol hepatopankreas Atactodea striata dengan berat
molekul dari enzim yang dideterminasi dengan SDS-PAGE electrophoresis adalah
sebesar 24 kDa dan dengan kromatografi gel sebesar 48 kDa. Enzim yang
dipurifikasi memperlihatkan aktivitas yang tinggi terhadap 1-chloro-2,4dinitrobenzene (CDNB) dan 7-chloro-4-nitrobenzo-2-oxa-1,3-diazole (NBD-CL).
Fungsi penting GST adalah sebagai pelindung dalam mereduksi racun dari bahan
organik hidroperoksida (Edwards et al. 2000).
Makkasau (2001), beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi peptida
bioaktif dari kerang Elysia rufescens yaitu kahalalida A, B, C, D, E, F, dan G.
Beberapa dari kahalalida tersebut memiliki aktivitas biologi seperti, kahalalida A
menunjukkan aktivitas dalam melawan virus herpes simpleks II (HSV II),
kahalalida E menunjukkan aktivitas melawan HSV II pada konsentrasi 5 µg/ml,
kahalalida F menunjukkan aktivitas terhadap AIDS.
Makkasau (2001) melaporkan bahwa kerang Atactodea striata mengandung
senyawa steroid kelompok sterol yaitu β-Sitosterol. Selanjutnya hasil uji
identifikasi kimia ekstrak metanol dan kloroform dari Atactodea striata positif
mengandung alkaloid, saponin, steroid, dan terpenoid. Sedangkan ekstrak etil
asetat positif mengandung alkaloid dan saponin, serta ekstrak n-heksana positif
mengandung alkaloid dan steroid (Feri 2003).
2.3
Komponen Bioaktif Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan
Makanan berfungsi sebagai sumber energi dan zat gizi (nutrien) serta
mikronutrien. Efek fisiologis dari berbagai senyawa minor yang ada dalam
makanan dan pengaruhnya terhadap kesehatan banyak mendapat perhatian para
peneliti dalam tiga dekade terakhir ini. Kadar senyawa ini biasanya rendah
sehingga biasanya dikelompokkan dalam komponen bioaktif, karena mempunyai
efek fisiologis yang positif. Komponen-komponen bioaktif dalam makanan dapat
terbentuk secara alami atau terbentuk selama proses pengolahan makanan.
Makanan yang mengandung komponen bioaktif yang berpengaruh secara
fisiologis untuk meningkatkan kesehatan, mencegah, serta mengobati berbagai
penyakit, di samping fungsinya sebagai sumber zat gizi, disebut juga makanan
fungsional (Silalahi 2002).
12
2.3.1 Protein
Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O,
dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein juga
mengandung fosfor, belerang, dan unsur logam seperti besi dan tembaga
(Winarno 1997).
Protein merupakan makromolekul yang paling melimpah di dalam sel dan
menyusun lebih dari setengah berat kering pada hampir semua organisme
(Lehninger 1993). Protein merupakan polipeptida dengan berat molekul berkisar
antara kurang lebih 5.000 hingga 1 x 10 6. Beberapa protein dapat larut dalam air;
sedangkan lainnya memerlukan larutan garam encer sebagai pelarutnya; dan
lainnya, seperti keratin rambut dan kulit tidak dapat larut dalam semua sistem
berair. Banyak protein telah dipecah dan dimurnikan berdasar atas ukuran
molekul dan kelarutannya (Montgomery et al. 1993).
Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu membentuk jaringan baru dan
mempertahankan jaringan yang sudah ada. Secara garis besar fungsi protein yaitu
sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang
mekanis, pembangun sel-sel jaringan tubuh, pertahanan tubuh, bahan bakar dan
pemberi tenaga, menjaga asam basa cairan tubuh, membuat protein darah, dan
media perambatan impuls saraf (Nasoetion et al. 1994).
Protein adalah komponen yang sangat reaktif. Sisi rantai yang berupa asamasam yang terikat dalam protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi, polifenol,
senyawa hasil oksidasi lemak, serta bahan yang ditambahkan, misalnya alkali
(Muchtadi 1992).
Banyak protein yang telah diisolasi dalam bentuk kristal. Hidrolisis protein
dengan asam atau basa menghasilkan suatu campuran asam amino bebas, unit
pembangunnya. Tiap jenis protein menghasilkan campuran atau proporsi jenisjenis asam amino yang khas setelah hidrolisis tersebut. Tidak semua protein
memiliki ke 20 asam amino dalam jumlah yang sama, beberapa asam amino
mungkin terdapat hanya satu kali per molekul di dalam protein tertentu dan yang
lain mungkin terdapat dalam jumlah yang besar (Lehninger 1993).
Kekurangan protein menyebabkan malnutrisi protein pada anak saat lahir
(kwashiorkor), defisiensi energi bersama protein (marasmus), atau gabungan
13
keduanya yang dapat mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan sampai suatu
sindrom klinis berat yang spesifik. Keadaan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh
intake makanan, tetapi juga oleh keadaan lingkungan seperti pemukiman, sanitasi
dan higiene, serta infeksi berulang yang pernah dialami tubuh (Effendi 2002).
Kelebihan protein bisa menyebabkan obesitas karena makanan yang tinggi
protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan
asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan urea darah, dan
demam. Asam amino yang berlebihan akan memberatkan kerja ginjal dan hati
yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen (Almatsier
2002).
Pembatasan konsumsi protein pada penderita penyakit hati dilakukan
apabila pasien mengalami intoleransi protein. Kondisi ini biasanya ditemukan
pada pasien koma hepatik. Konsumsi sumber protein selain daging, seperti
sayuran dan produk susu, sangat dianjurkan. Sayuran dan produk susu
mengandung amonia, metionin, dan asam amino aromatik (AAA) yang lebih
rendah serta asam amino rantai cabang (BCAA) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan daging (Nelson et al. 1994).
Protein pangan adalah sumber utama asam amino yang dikonsumsi, baik
sebagai protein atau sebagai asam amino bebas. Selama proses pengolahan,
protein dapat berubah menjadi asam amino bebas yang selanjutnya menjadi
senyawa amin. Jadi, senyawa amin merupakan komponen minor dalam makanan
yang tersedia secara alamiah atau terbentuk selama proses pengolahan. Sebagian
senyawa amin tersebut aktif secara fisiologis sehingga sering disebut amin
bioaktif (bioactive amine). Pada umumnya, amin bioaktif terdapat di dalam bahan
makanan dalam jumlah kecil dan biasanya tidak beracun. Tetapi, dalam makanan
tertentu, terutama yang diolah dengan proses fermentasi, konsentrasi beberapa
amin bioaktif meningkat sehingga dapat bersifat toksik jika dikonsumsi
(Silalahi 2002).
Amin bioaktif umumnya aktif secara fisiologis terhadap susunan syaraf
pusat (psikoaktif) dan sistem peredaran darah (vasoaktif), baik langsung maupun
tidak langsung. Tiramin dan feniletilamin dapat menaikkan tekanan darah.
Sebaliknya, histamin mempunyai efek menurunkan tekanan darah. Keracunan
14
amin bioaktif dapat terjadi apabila kadar amin toksik meningkat dalam makanan
yang dikonsumsi dan efeknya dapat dipengaruhi oleh zat lain dan obat tertentu
(Silalahi 1994). Pada kondisi normal, dalam tubuh tersedia suatu sistem penawar
efek senyawa amin (detoksikasi amin), yaitu enzim-enzim monoamin oksidase
(MAO), diaminoksidase (DAO), histamin metil transferase (HMT), dan
histaminase dalam hati serta dinding usus. Enzim-enzim ini akan mengubah amin
toksis menjadi bentuk yang tidak aktif. Tetapi, karena pengaruh zat lain atau
kondisi seseorang, sistem detoksikasi tidak berfungsi, maka kepekaan orang
tersebut meningkat dan keracunan amin toksis dapat terjadi (Silalahi 1997).
2.3.2 Karbohidrat
Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat dan lignin yang tidak
dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim percernaan manusia, dan akan sampai di
usus besar (kolon) dalam keadaan utuh sehingga akan menjadi substrat untuk
fermentasi bakteri yang hidup di kolon. Serat pangan dapat diklasifikasikan
berdasarkan struktur molekul dan kelarutannya. Kebanyakan jenis karbohidrat
yang sampai ke kolon tanpa terhidrolisis meliputi polisakarida yang bukan pati
(non-starch polysaccharides/NSP), pati yang resisten (resistant starch/RS), dan
karbohidrat rantai pendek (short chain carbohydrates/SC). Serat pangan yang
larut sangat mudah difermentasikan dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat
serta lipida, sedangkan serat pangan yang tidak larut akan memperbesar volume
feses dan akan mengurangi waktu transitnya (bersifat laksatif lemah). Monomer
dari serat pangan (NSP) adalah gula netral dan gula asam, sedangkan lignin
terdiri dari monomer aromatik. Gula-gula yang membentuk serat pangan yakni
glukosa, galaktosa, xylosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa, dan gula asam seperti
mannuronat, galakturonat, glukoronat, serta 4-O-metil-glukoronat (Muir 1999).
Serat terlarut akan memperlambat waktu transit dari mulut ke usus dengan
mengurangi kecepatan pengosongan lambung, tetapi meningkatkan waktu transit
usus. Peningkatan viskositas isi usus akan mengurangi kecepatan transportasi zat
gizi dan menghalangi kontak antara zat gizi dengan permukaan mukosa. Dengan
demikian, peristaltik pengadukan menurun, kontak antara substrat dengan enzim
dan pembentukan misel berkurang, sehingga penyerapan diperlambat. Serat tak
terlarut seperti selulosa akan menambah volume dan memperlunak feses serta
15
mengurangi waktu transit isi kolon. Serat terlarut (seperti, xylosa dan arabinosa
dari hemiselulosa) terfermentasikan hanya sedikit mempengaruhi volume feses di
kolon. Serat terlarut mengurangi kadar gula sesudah makan dan memperbaiki
profil insulin. Serat terlarut bersifat hipoglikemik melalui beberapa mekanisme.
Peningkatan viskositas dalam saluran pencernaan dianggap sebagai faktor utama
yang mempengaruhi kecepatan penyerapan glukosa. Dengan memperlambat
waktu transit dari lambung ke usus halus, berarti mengurangi absorpsi zat gizi,
yang juga terjadi karena tidak tersedianya pati dan gula akibat terjerat
(Kritchevsky 1999).
Oligosakarida adalah karbohidrat sederhana, banyak dikonsumsi dalam
bentuk
minuman
ringan,
biskuit,
gula-gula/bonbon,
dan
produk
susu.
Oligosakarida fungsional adalah polisakarida pendek dengan struktur kimia yang
unik sehingga tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pada percernaan manusia.
Jadi, seperti serat pangan, akhirnya akan sampai di dalam usus besar. Dengan
demikian, akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri
bifidobacteria yang menguntungkan di dalam usus besar (kolon), sehingga
oligosakarida disebut sebagai probiotik (Tomomatsu 1994). Manfaat dari
konsumsi oligosakarida ialah karena oligosakarida dapat meningkatkan populasi
bifidobacteria dalam kolon. Dengan peningkatan jumlah bakteri ini, akan
menekan pertumbuhan bakteri pembusuk yang merugikan, yakni Escherichia coli
dan Streptococcus faecalis. Efek yang sama juga dapat dicapai dengan
mengkonsumsi produk makanan yang mengandung bakteri asam laktat dalam
keadaan hidup seperti yogurt, yang disebut probiotik. Bakteri asam laktat dan
sejenisnya tahan terhadap asam lambung sehingga dapat sampai di kolon, dan
selanjutnya akan menekan pertumbuhan bakteri yang merugikan (Muir 1999).
Oligosakarida yang dikonsumsi akan meningkatkan jumlah bakteri
bifidobacteria. Selanjutnya, akan mencegah pertumbuhan bakteri patogen yang
masuk dari luar tubuh dan bakteri dalam saluran pencernaan yang merugikan.
Konsumsi oligosakarida akan memproduksi asam lemak rantai pendek (terutama
asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan 3:2) dan kemampuan untuk
menghasilkan zat yang bersifat sebagai antibiotik. Hampir semua zat yang
diproduksi oleh bakteri bersifat asam sebagai hasil fermentasi karbohidrat
16
oligosakarida (Bird 1999). Dengan terbentuknya zat-zat antibakteri dan asam
maka pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella dan E. coli akan dihambat.
Bifidin, suatu antibiotik yang dihasilkan oleh Bifidobacteria bifidum, sangat
efektif melawan Shigella dysenteria, Salmonella typhosa, Staphylococcus aureus,
E. coli, dan bakteri lainnya (Topping 1999).
Konsumsi produk makanan yang mengandung bifidobacteria seperti yogurt
(disebut sebagai probiotik), dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen. Melalui
pembentukan asam lemak pendek dalam jumlah yang tinggi dari oligosakarida
oleh bifidobacteria, juga mencegah konstipasi dengan merangsang peristaltik
usus melalui peningkatan kandungan air feses akibat adanya tekanan osmosis.
Penurunan metabolit toksik oleh oligosakarida atau konsumsi bifidobacteria
(probiotik) akan meringankan beban bahan toksis dalam hati yang berarti
melindungi hati (Muir 1999). Bird (1999) melaporkan bahwa suplementasi
oligosakarida sebanyak 4 gram per hari selama 25 hari akan mengurangi risiko
kanker.
2.3.3 Asam Lemak
Asam lemak essensial terdiri dari asam lemak linoleat (LA) (18:2 n-6) dan
linolenat (LNA) (18:3 n-3) yang juga termasuk omega-3. Omega-3 berantai
panjang yang tidak essensial yakni asam lemak yang biasanya memiliki ikatan
rangkap lebih dari dua (poly unsaturated fatty acid/PUFA) dan ikatan rangkap
yang paling terakhir terdapat pada atom karbon ketiga dari ujung rantai asam
lemak tersebut. Karena itu, sering disebut poly unsaturated fatty acids omega-3
(PUFA n-3) (Silalahi 2000a).
Asam lema k esensial LA dan LNA berperan sebagai bahan dasar untuk
pembentukan zat yang menyerupai hormon (hormon-like substances) yang terdiri
dari prostaglandin dan leukotrien. Zat-zat ini merupakan senyawa yang terbentuk
dari PUFA dengan 20 atom karbon dan mempunyai peran penting sebagai
pengatur fungsi normal sel. Juga tromboksan yang berperan dalam platelet serta
trombosit pada proses pembekuan darah (Padley dan Podmore 1985). LA akan
diubah melalui serangkaian tahapan desaturasi dan perpanjangan rantai karbon
menjadi asam arakidonat (AA) (20: 4 n-6), serta LNA diubah menjadi
17
eicosapentaenoic acid (EPA) (20:5 n-3) dan docosahexaenoic acid (DHA) (22:6
n-3) (Johnson 2000).
Defisiensi asam lemak essensial LA atau AA (omega-6) akan menyebabkan
gejala-gejala kulit bersisik, rambut rontok, diare, dan penyembuhan luka yang
lama. Oleh karena itu, Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan
supaya formula makanan bayi harus mengandung paling tidak 300 mg LA per
100 kalori, atau 2,7% dari total kalori sebagai LA. Air susu ibu (ASI)
mengandung asam lemak essensial LA, LNA, dan non-esensial AA serta DHA.
Dalam jaringan otak dan jaringan syaraf lain pada bayi yang berumur beberapa
bulan pertama, terdapat akumulasi DHA. Hal ini diyakini bahwa anak yang diberi
ASI akan lebih pintar dari pada yang tidak diberi ASI. Keseimbangan antara LA
dan LNA pada bayi sangat menentukan untuk mengoptimalkan fungsi
penglihatan dan pertumbuhan bayi (Johnson 2000).
Eicosapentaenoic acid (EPA) dan asam arahidonat (AA/omega-6) di dalam
tubuh akan diubah menjadi zat-zat yang dikenal sebagai eikosanoid, yaitu
prostanoid (prostaglandin dan prostacylin) dan leukotrien. Eikosanoida yang
berasal dari EPA dikenal sebagai prostanoida seri-3 dan leukotrien seri-5,
sedangkan yang berasal dari AA ialah prostanoida seri-2 dan leukotrien seri-4.
Eikosanoida yang berasal dari EPA dan AA mempunyai fungsi yang kompetitif.
Konsumsi EPA dan DHA dari ikan atau minyak ikan akan menggantikan AA dari
pospolipida membran pada sel-sel. Jika hal ini terjadi, keadaan akan mengarah
kepada kondisi fisiologis dimana akan diproduksi prostanoid dan leukotrien yang
bersifat
sebagai
antithrombotik,
hipotensif,
antiateromateous,
dan anti-
inflamatori. Perubahan seperti ini akan menguntungkan kesehatan, terutama akan
menurunkan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Sebaliknya, jika konsumsi
LA dan atau AA (omega-6) lebih banyak daripada LNA dan DHA (omega-3)
maka keadaan kurang menguntungkan, karena akan mengarah ke keadaan kondisi
fisiologis yang bersifat prothrombik dan proaggregatori dengan kenaikan
viskositas darah, vasokonstriksi, dan menurunkan bleeding time. Dengan
demikian, akan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (Silalahi 2000b).
Hal lain yang berdampak positif ialah bahwa konsumsi EPA dan DHA dari
minyak ikan akan menurunkan kadar trigliserida di dalam darah, dengan cara
18
menurunkan sintesa very low density lipoprotein (VLDL), walaupun tidak
konsisten menurunkan kolesterol. Tetapi, konsumsi dalam jumlah yang tinggi (20
g/hari) omega-3 akan menurunkan kolesterol darah tanpa menurunkan high
density lipoprotein (HDL). Sebaliknya, omega-6 akan menurunkan kolesterol
HDL (Simopoulos 1994).
2.4
Asam Amino
Setelah protein diubah menjadi asam-asam amino, maka dengan proses
absorpsi melalui dinding usus, asam amino tersebut sampai ke dalam pembuluh
darah. Proses absorpsi ini ialah proses transpor aktif yang memerlukan energi.
asam-asam amino dikarboksilat atau asam diamino diabsorpsi lebih lambat dari
pada asam amino netral (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Tingkat penyerapan
relatif masing-masing asam amino adalah asam amino rantai bercabang (valin,
leusin, isoleusin) dan metionin lebih mudah diserap dari asam amino esensial
lainnya. Asam amino esensial lainnya lebih mudah diserap dari asam amino
nonesensial. Asam amino glutamat dan aspartat adalah yang paling lambat
terserap (Linder 2006).
Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein, dan dibagi
dalam dua kelompok yaitu asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino
esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan
dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non-esensial dapat diproduksi
dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air,
namun tidak larut dalam pelarut organik nonpolar (Suharsono 1970 dalam
Sitompul 2004). Asam amino esensial merupakan pembangun protein tubuh yang
harus berasal dari makanan atau tidak dapat dibentuk di dalam tubuh.
Kelengkapan komposisi asam amino esensial merupakan parameter penting
penciri kualitas protein (Astawa 2007).
Asam amino yang tersedia dalam protein dengan jumlah dan proporsi yang
diperlukan menurut persyaratan minimum seseorang, dapat menghasilkan energi
untuk bekerja optimum walaupun pemasukannya rendah. Namun, asam amino
non-esensial atau nitrogen non-protein yang cukup harus ada agar asam amino
esensial tidak digunakan untuk tujuan lain selain fungsi membangun jaringan
(Haris dan Karmas 1989).
19
Asam-asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh manusia ialah
histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, arginin, phenilalanin, treonin, triptofan,
valin. Asam-asam amino esensial tersebut bagi anak-anak relatif besar dari pada
orang dewasa (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Dari asam-asam ami no esensial
tersebut banyak kebutuhan metionin yang dapat disubstitusi dengan sistin dan
phenilalanin dengan tirosin atau sebaliknya, karena lintasan pembentukannya dari
satu ke yang lain ada dalam tubuh manusia (Linder 2006).
Beberapa fungsi khusus asam amino diantaranya, triptofan merupakan
pemula vitamin niasin, dan serotonin-metionin donor gugus metil untuk sintesis
beberapa senyawa seperti kolin dan kreatin. Phenilalanin merupakan pemula
tirosin dan keduanya membentuk tiroksin dan epinefrin, arginin, ornitin, sitrulin
yang ikut berperan dalam sintesis urea dalam hati. Glisin dapat bersenyawa
dengan bahan-bahan toksik dan menghasilkan senyawa tidak beracun untuk
kemudian diekskresi. Glisin juga berperan pada sintesis porfirin dari hemoglobin
dan juga merupakan konstituen asam glikolat. Histidin penting untuk sintesis
histamin. Kreatin yang dibentuk dari arginin, glisin dan metionin, dengan fosfat
membentuk kreatin fosfat. Glutamin dan asparagin yang merupakan cadangan
gugus amino masing-masing dihasilkan oleh asam glutamat dan asam aspartat
(Poedjiadi dan Supriyanti 2006).
Menurut Linder (2006), beberapa fungsi asam amino disamping untuk
sintesis protein dan produksi energi adalah alanin berfungsi sebagai prekusor
glukogenik, pembawa N dari jaringan permukaan untuk ekskresi N. Aspartat
berfungsi untuk biosintesis urea, prekusor glikogenik dan pirimidin. Glutamat
berfungsi sebagai produksi-antara dalam reaksi interkonversi asam amino,
prekusor prolin, ornitin, arginin, poliamin, neurotransmiter α-aminobutirat
(GABA),
sumber
NH3.
Glisin
merupakan
prekusor
biosintesis
purin,
neurotransmiter. Histidin merupakan prekusor histamin. Lisin berfungsi untuk
crosslinking protein (seperti dalam kolagen dan elastin) biosintesis karnitin.
Metionin merupakan donor grup metil untuk banyak proses sintetik. Phenilalanin
merupakan prekusor tirosin katekolamin, melanin dan tiroksin. Serin merupakan
prekusor serotin, spingolipid, etanolamin dan kolin. Triptofan merupakan
20
prekusor serotonin dan nikotinamid (vitamin B). Tirosin merupakan prekusor
tirosin katekolamin, melanin dan tiroksin.
2.5
Ekstraksi Senyawa Biokatif
Prinsip ekstraksi suatu komponen dengan menggunakan pelarut adalah
dengan sistem kepolarannya. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar,
demikian juga senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar. Dalam
suatu proses ekstraksi yang baik, pemilihan pelarut berdasarkan pada
kemampuannya untuk mengekstraksi komponen yang diinginkan dalam jumlah
besar dan melarutkan sesedikit mungkin komponen lain yang tidak diinginkan.
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak.
Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang
berbeda. Hasil ekstraksi yang diperoleh akan tergantung pada kandungan
komponen yang terdapat pada sampel dan jenis pelarut yang dipakai. Prinsip
kelarutan yang dipakai dalam metode ekstraksi ini adalah like dissolve like artinya
pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, sedangkan pelarut nonpolar akan
melarutkan senyawa nonpolar (Khopkar 1990).
Proses ekstraksi yang umum digunakan ada tiga macam yaitu maserasi,
refluks dan perkolasi. Pada dasarnya prinsip refluks disamakan dengan cara
soxhlet karena menggunakan sistem pemanasan pada suhu tertentu. Ekstraksi
dapat dilakukan menggunakan pelarut non polar (heksana, sikloheksana dan
toluen), pelarut semi polar (kloroform, diklorometana, dietil eter dan etil asetat)
dan dengan pelarut polar (metanol, etanol dan air). Ekstraksi dapat dilakukan
secara bertahap dengan menggunakan satu jenis pelarut atau kombinasi beberapa
pelarut (Houghton dan Rahman 1998 dalam Heryani 2002).
Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung dari sifat komponen
yang akan diekstrak. Salah satu sifat yang penting adalah polaritas suatu senyawa.
Suatu senyawa polar diekstrak dengan menggunakan pelarut polar, demikian juga
untuk senyawa semi polar dan non polar. Derajad polaritas bergantung pada
besarnya tetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut
tersebut (Houghton dan Rahman 1998 dalam Heryani 2002).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas,
kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga
21
pelarut. Ketaren (1987) menyatakan bahwa jenis dan mutu pelarut yang
digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang
digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : harus dapat melarutkan
zat yang diinginkan, mempunyai titik didih yang cukup rendah, titik didihnya
seragam, murah, tidak toksik dan tidak mudah terbakar.
Secara umum ekstraksi bertingkat dilakukan berturut-turut dimulai dengan
pelarut nonpolar (kloroform atau heksana), lalu dengan pelarut yang
kepolarannya menengah (etil asetat), kemudian dengan pelarut polar (metanol
atau etanol). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak awal (crude extract) yang
mengandung berturut-turut senyawa nonpolar, kepolaran menengah dan polar
(Hostettmann et al. 1997).
Alkaloid pada umumnya sebagai basa tidak larut atau larut sebagian dalam
air, larut dalam pelarut non polar (heksana, toluen dan sikloheksana), pelarut
organik yang agak polar (kloroform, dietil eter, etil asetat) dan dalam larutan
hidroalkohol. Sedangkan alkaloid dalam bentuk garam umumnya larut dalam air
(polar) dan alkohol tetapi tidak larut dalam pelarut organik (Bruneton 1993).
Alkaloid lebih mudah diekstraksi oleh pelarut polar seperti air yang
diasamkan, atau pada kondisi basa menggunakan natrium karbonat dan basa
bebas. Filtrat yang diperoleh selanjutnya diekstraksi dengan pelarut organik
seperti eter dan pelarut yang bersifat polar (Robinson 1995).
Steroid dan alkaloid terpenoid memiliki sifat sama seperti alkaloid lainnya,
lebih mudah larut dalam pelarut polar (metanol, etanol) dalam suasana basa dari
pada dalam suasana asam. Sebagian besar terpenoid dan steroid merupakan
senyawa nonpolar dan karena itu dapat diekstraksi dari komponennya yang polar
dengan menggunakan pelarut seperti benzena, eter, dietil eter, etil asetat yang
bersifat semi polar (Robinson 1995).
Saponin dapat diekstraksi dengan beberapa pelarut polar seperti metanol
dan air. Campuran pelarut metanol dan air digunakan untuk mengekstraksi
saponin yang bersifat polar/asam (saponin triterpenoid), dan campuran pelarut
metanol dan diklorometana digunakan untuk mengekstraksi saponin yang bersifat
netral (saponin steroid) (Beutler et al. 1997).
22
2.6
DNA dan Inhibitor Topoisomerase
DNA Topoisomerase mempunyai fungsi penting dalam metabolisme DNA,
kedua Topoisomerase I dan II secara luas berhubungan dengan kemoterapi
kanker. Sejak tahun 1980-an enzim DNA Topoisomerase digunakan sebagai
molekul target untuk pencarian dan penemuan obat antikanker yang rasional dan
lebih selektif. Cara ini sangat baik untuk mengevaluasi senyawa bioaktif
antikanker, bahan yang positif sebagai inhibitor topoisomerase menunjukkan
aktivitas antikanker pada pengujian in-vivo (Cumming and Smith 1991; Pommier
1993).
Alasan enzim topoisomerase digunakan sebagai molekul target, antara lain :
enzim DNA Topoisomerase adalah enzim yang mempunyai fungsi cukup penting
dalam proses intraseluler dari sel kanker, antara lain berperan dalam proses
replikasi, transkripsi, rekombinasi DNA dan proses proliferasi dari sel kanker
(Pommier 1993). Umumnya mekanisme kerja antikanker berdasarkan atas
gangguan pada salah satu proses esensial yang dapat menekan pertumbuhan atau
proliferasi sel dengan mengganggu metabolisme sel kanker.
Enzim DNA topoisimerase (topo) I dan II adalah target molekuler dari
beberapa zat antikanker yang potensial, dengan demikian inhibitor dari enzim ini
potensial untuk obat antikanker. Pertumbuhan tumor dapat dihambat dan
dijinakkan ke tahap dorman melalui pemblokiran proses angiogenesisnya.
Angiogenesis adalah proses terbentuknya pembuluh darah baru dari pembuluh
darah yang telah ada. Komponen antiangiogenesis mampu menurunkan laju
pertumbuhan
tumor/kanker. Dengan dihambatnya aktivitas enzim DNA
topoisomerase oleh senyawa inhibitor, maka proses terjadinya ikatan antara enzim
dengan DNA sel kanker semakin lama, sehingga akan terbentuk Protein Linked
DNA Breaks (PLDB). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan DNA sel
kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses dalam sel khususnya proses
replikasi, serta diakhiri dengan kematian sel kanker (Hsiang 1989 ; Joseph 1989).
Senyawa flavonoid dari benalu secara umum adalah senyawa kuersetin
(Nararto 1996); yang bersifat inhibitor terhadap enzim DNA topoisomerase sel
kanker (Andreas et al. 1995). Laporan lain yang menyatakan bahwa senyawa
23
flavonoid jenis lain seperti metiltrisetin mampu menghambat aktivitas enzim
DNA topoisomerase sel kanker (Abdellatif 1996).
Enzim topoisomerase adalah enzim yang berperan dalam proses replikasi,
transkripsi dan rekombinasi DNA dan juga proses proliferasi dan diferensiasi sel
normal dan sel kanker. Enzim ini merupakan target bahan bioaktif yang me miliki
aktivitas antikanker, karena dengan dihambatnya enzim DNA topoisomerase
maka proses dalam sel akan terhenti dan akhirnya akan terjadi kematian sel
tersebut (Andreas et al. 1995).
Menurut Ammon dan Osheroff
(1995), bahan alam yang diisolasi dan
bersifat antikanker serta memiliki molekul target enzim DNA topoisomerase
antara lain camptothecin dari tanaman Camptotheca acuminata (Famili
Nyssaceae), andriamycin, doxorubicin, mitoxantron dan etoposide VP-16),
teniposide (V-26) (Gambar 6).
INHIBITOR TOPOISOMERASE I
INHIBITOR TOPOISOMERASE II
Gambar 6 Struktur beberapa topoisomerase poison (Ammon dan
Osheroff 1995)
Aktivitas inhibisi terhadap kerja dari enzim DNA topoisomerase sebagai
target obat antikanker melalui dua mekanisme yaitu penghambatan katalitik
(catalytic inhibitor) dan poison (cleavable complex). Perbedaan mekanisme
keduanya ditunjukkan pada Gambar 7.
24
Gambar 7 Perbedaan antara inhibitor katalitik dan poison
(Topogen 2006).
Gambar 7 merupakan reaksi normal sekuen (diagram tengah) yang
melibatkan pengikatan DNA dan diikuti oleh pembelahan DNA (untai tunggal
maupun ganda) serta pelekatan kembali dan pelepasan enzim. Inhibitor (diagram
kiri) memblokir tahap pengikatan awal atau dengan kata lain mengganggu
kemampuan enzim untuk menggunakan DNA dalam pembelahan. Dalam hal ini,
tidak ada relaksasi DNA atau dekantanasi DNA (hanya topo 2) ketika aktivitas
katalitik diblok oleh obat. Topo poison (diagram kanan) bekerja pada tahap
pembelahan yang menstabilkan kompleks pembelahan dan menghambat tahap
pelekatan kembali. Dengan kata lain agen ini bertujuan “meracuni” reaksi melalui
penstabilan pembelahan intermediet dan pemanjangan umur dari kompleks
pembelahan (normalnya sangat pendek).
Inhibisi dari kerja topoisomerase mungkin melibatkan penghambatan
“konvensional” dimana aktivitas enzim dihambat atau diperlambat. Sebagai
contoh pengikatan inhibitor pada sisi aktif atau perubahan sifat pengikatan dari
enzim dengan substrat. Tipe penghambatan ini umumnya ditunjukkan sebagai
aktivitas penghambatan katalitik (relaksasi) (Webb dan Ebeler 2004).
3 METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2006 sampai Juli 2007,
bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi
Hasil Perairan IPB, serta Laboratorium Kimia Pangan, Departemen ITP, IPB dan
Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor.
Sedangkan peta dan lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2
Bahan dan Peralatan
3.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :
•
Bahan baku yaitu kerang mas ngur (Atactodea striata) kering yang berasal
dari Desa Ohoililir Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara.
•
Bahan kimia untuk ekstraksi yaitu heksana, etil asetat, metanol, H2SO4 2M,
kloroform, KOH 10%, etanol (EtOH), dietil eter (Et2O), H2O, HCL 2N,
NaHCO3 jenuh, NaCl jenuh, Na 2SO4, CHCl 3, EtOAc, n-butanol.
•
Bahan untuk uji inhibitor topoisomerase I yaitu drug screening kit
topoisomerase I dari TopoGen dengan camptotechin sebagai kontrol positif.
•
Bahan untuk uji kelompok senyawa kimia (alkaloid, steroid, flavonoid, dan
saponin) yaitu amoniak, metanol 30%, etanol 30%, eter, pereaksi Lieberman
Burchard, H2SO 4 pekat, air. (protein, asam amino bebas, steroid dan
karbohidrat) yaitu pereaksi bradford, larutan ninhidrin, pereaksi Molish,
asam sulfat pekat, kloroform, asam asetat anhidrid.
3.2.2 Peralatan
Alat-alat untuk menyiapkan bahan baku adalah blender, timbangan digital,
sudip, botol timbang. Alat untuk ekstraksi adalah magnetic stirrer, gelas piala,
corong, vacum rotary evaporator dan aerator. Peralatan untuk uji aktivitas
inhibitor topoisomerase I yaitu elektroforesis gel, mikropipet, UV iluminator dan
kamera. Peralatan untuk analisis kimiawi antara lain tabung reaksi, papan uji
(spot plate), cawan porselin, labu Kjeldahl, Soxhlet, oven, desikator, HPLC merk
Waters dan seperangkat peralatan gelas.
26
3.3
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap I meliputi analisa komposisi
kimia, analisa asam amino, dan ekstraksi senyawa bioaktif dari kerang mas ngur
(Atactodea striata). Tahap II meliputi pengujian inhibitor topoisomerase I,
penentuan MIC ekstrak aktif, pengujian kelompok senyawa kimia (protein, asam
amino bebas, karbohidrat, alkaloid, steroid, terpenoid dan saponin), isolasi
golongan senyawa aktif inhibitor topoisomerase I.
3.3.1 Analisa Komposisi Kimia dan Asam Amino (AOAC 1995)
3.3.1.1 Analisa Komposisi Kimia Atactodea striata
Analisa komposisi kimia yang dilakukan meliputi kadar air, abu, lemak,
protein, serat kasar, dan karbohidrat. Analisa komposisi kimia dilakukan di
Laboratorium Kimia Pangan, Departemen ITP, IPB Bogor.
Analisa kadar air dilakukan dengan terlebih dulu memanaskan cawan
(bersih) dalam oven pada suhu 102oC – 105oC selama 10-12 jam, kemudian
dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (A).
Selanjutnya, kedalam cawan dimasukkan 1-4 gram kerang Atactodea striata
kering yang telah dihaluskan (diblender) lalu ditimbang (B). Kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 102oC - 105oC sampai beratnya konstan.
Setelah itu, dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator dan
selanjutnya ditimbang (C). Kadar air dapat dihitung dengan rumus :
Kadar air (%) =
A− C
x 100%
B−A
Keterangan : A = berat cawan kosong (gram)
B = berat cawan berisi contoh sebelum dioven (gram)
C = berat cawan berisi contoh setelah dioven (gram)
Analisa kadar abu dilakukan dengan terlebih dulu cawan porselin dipijarkan
dalam tanur bersuhu 650°C ± 30 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu
ditimbang (A). Sebanyak 2 g kerang Atactodea striata kering yang telah
dihaluskan (diblender) ditimbang dalam cawan tersebut (B), kemudian dipanaskan
dalam oven sampai hampir kering dan selanjutnya diabukan dalam tanur yang
bersuhu 650°C sampai diperoleh abu yang berwarna putih (± 24 jam). Selanjutnya abu
didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang (C). Kadar abu dapat
27
dihitung dengan rumus :
Kadar air (%) =
A−C
x 100%
B−A
Keterangan : A = berat cawan kosong (gram)
B = berat cawan berisi contoh sebelum pengabuan (gram)
C = berat cawan berisi contoh setelah pengabuan (gram)
Analisa kadar lemak dilakukan dengan terlebih dulu labu soxhlet kosong
(bersih) dikeringkan dalam oven selama 30 menit, didinginkan dalam desikator kemudian
ditimbang (B). Sebanyak 2 gram (A) kerang Atactodea striata kering yang telah
dihaluskan (diblender), dikeringkan dalam oven (105°C) terlebih dahulu selama ± 2
jam di atas kertas saring bebas lemak, Selanjutnya contoh yang sudah kering
dibungkus dengan kertas saring kemudian diekstraksi. Lemak diekstrak menggunakan
pelarut heksana selama 6 jam. Pemanasan labu soxhlet dilakukan dengan penangas air
bersuhu 70°C - 80°C. Setelah waktu ekstraksi cukup, heksana yang tersisa dalam labu
soxhlet diuapkan sampai habis di dalam oven 100°C, lalu didinginkan dalam desikator
dan segera ditimbang hingga diperoleh berat konstan (C). Kadar lemak dapat
dihitung dengan rumus :
Kadar lemak (%) =
C−B
X 100 %
A
Keterangan : A = berat contoh (gram)
B = berat labu kosong kering (gram)
C = berat labu berisi minyak setelah ekstraksi (gram)
Analisa kadar protein kerang Atactodea striata kering dilakukan dengan
perhitungan total nitrogen secara semi-mikro Kjeldahl dan dikalikan dengan 6,25
(faktor konversi protein-nitrogen). Kerang Atactodea striata kering yang telah
dihaluskan (diblender), ditimbang sebanyak 2 g kemudian dimasukkan ke dalam
labu Kjeldhal 100 ml, dan ditambahkan tablet Kjeldahl 2 buah. Selanjutnya
ditambahkan 15 ml H2SO4 lalu didestruksi selama ± 30 menit sampai diperoleh
cairan yang berwarna hijau jernih. Cairan didinginkan, kemudian ditambah akuades
5 ml dan dipindahkan ke tabung destilasi dengan hati-hati, lalu dibilas dengan
akuades 5-10 ml. Selanjutnya ke dalam tabung destilasi ditambahkan sebanyak 10 12 ml larutan NaOH (60 g NaOH + 5 g Na 2S2O35H2O dalam 100 ml akuades) sampai
cairan berwarna coklat kehitaman dan kemudian segera didestilasi. Hasil destilasi
28
ditampung dengan gelas erlenmeyer 125 ml yang berisi 10 ml larutan H3BO4 dan 2-3
tetes indikator campuran metil merah dan metil biru. Hasil destilasi kemudian dititrasi
dengan larutan HCl 0,02 N sampai larutan berubah menjadi merah muda. Analisis
blanko dilakukan seperti prosedur di atas tanpa menggunakan bahan yang dianalisa.
Kadar protein dapat dihitung dengan rumus :
Kadar protein (%) =
(a − b ) x N x 14,007 x 6,25
x 100 %
berat contoh ( gr )
Keterangan :
a
= volume (ml) HCl untuk titrasi larutan contoh
b
= volume (ml) HCl untuk titrasi larutan blanko
N
= normalitas larutan HCl
14,007 = berat atom nitrogen
6,25 = faktor konversi protein-nitrogen untuk ikan dan produk sampingannya
Perhitungan kadar serat kasar dilakukan dengan melarutkan sampel kering
sebanyak 1 gram dengan 100 ml H2SO 4 1,25%, kemudian dipanaskan hingga
mendidih dan di destruksi selama 30 menit. Selanjutnya disaring menggunakan
kertas saring Whatman dan dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil
saringan dibilas dengan 20-30 ml air mendidih kemudian dengan 25 ml air
sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan 100 ml NaOH 1,25% selama
30 menit. Lalu disaring dengan cara seperti di atas dan dibilas berturut-turut
dengan 25 ml H2SO 4 1,25% mendidih, 2,5 ml air sebanyak tiga kali dan 25 ml
alkohol. Residu berserta kertas saring dipindahkan ke cawan poselin dan
dikeringkan dalam oven 130°C selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan
porselin ditimbang (A), lalu dimasukkan dalam tanur 600°C selama 30 menit,
didinginkan dan ditimbang kembali (B). Kadar serat kasar dapat dihitung dengan
rumus :
Kadar serat kasar (%) =
w3 − w1
x 100
w2
Ketetangan :
W1
= bobot residu setelah dibakar dalam tanur
= B - (bobot cawan) ; B : bobot residu + cawan
W2
= berat contoh (gram)
W3
= bobot residu sebelum dibakar dalam tanur
= A - (bobot kertas saring+cawan);A: bobot residu+kertas saring+cawan
29
Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan menggunakan metode by
difference, yaitu pengurangan 100 % dengan jumlah dari hasil analisis kadar air,
abu, protein, lemak, serat kasar. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
Kadar karbohidrat (%) = 100% - % kadar (air + abu + protein + lemak +
serat kasar)
3.3.1.2.Analisa Asam Amino Atactodea striata
Analisa asam amino meliputi asam amino esensial dan non esensial. Analisa
asam amino ini dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Bogor.
Sampel kerang Atactodea striata kering dianalisis lebih lanjut dengan
metode High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Sebelum digunakan,
perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3
jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan juga harus dibilas dengan
aquades. Analisa asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap,
yaitu: (1) tahap pembuatan hidrolisat protein ; (2) tahap pengeringan; (3) tahap
derivatisasi; (4) tahap injeksi serta analisis asam amino.
(1) Tahap pembuatan hidrolisat protein
Untuk preparasi sampel yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, sampel
ditimbang sebanyak 0,1 g dan dihancurkan. Selanjutnya ditambahkan
dengan HCl 6 N sebanyak 5-10 ml, kemudian dipanaskan dalam oven pada
suhu 100 oC selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan peniupan dengan gas
nitrogen (N) untuk menghilangkan gas O2 sebelum diekstraksi. Hal ini
dimaksudkan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel
agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Proses pemanasan
dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis. Setelah pemanasan selesai,
hidrolisat protein disaring dengan menggunakan milipore berukuran 45
mikron.
(2)
Tahap pengeringan
Hasil saringan diambil sebanyak 10 µl dan ditambahkan dengan 30 µl
larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol,
natrium asetat, dan trietilamin dengan perbandingan 2:2:1. Setelah
30
ditambahkan larutan pengering, dilakukan pengeringan dengan pompa
vakum untuk mempercepat pengeringan dan mencegah oksidasi.
(3) Tahap derivatisasi
Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan.
Larutan
derivatisasi
dibuat
dari
campuran
antar
larutan
metanol,
pikoiotiosianat, dan trimetilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses
derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang
ada pada sampel. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara
menambahkan 10 ml asetonitril 60% dan natrium asetat 1 M lalu dibiarkan
selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali dengan menggunakan
milipore berukuran 0,45 mikron.
(4)
Injeksi ke HPLC
Hasil saringan diambil sebanyak 20 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC.
Untuk perhitungan konsentrasi asam amino pada bahan, dilakukan
pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino standar
yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.
Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino :
Temperatur Kolom
: 38oC
Jenis kolom
: Pico tag 3.9 x 150 nm coulomb
Kecepatan alir eluen : Sistem linier gradien (1 ml/menit)
Program
: Gradien
Tekanan
: 3000 psi
Fase gerak
: Asetonitril 60 % dan Natrium asetat 1 M 40 %
Detektor
: UV, 254 nm
Merk
: Waters
Kandungan asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus yaitu
presentase asam amino dalam 100 g sampel :
luas area sampel
x 2,5 mol/ml x 5ml x BMA
luas area standar
Asam amino (%) =
x 100%
Bobot sampel (0,25 g)
Keterangan : BMA = berat molekul asam amino
31
3.3.2 Ekstraksi Senyawa Bioaktif Atactodea striata (Harborne 1987)
Ekstraksi dilakukan dengan metode ekstraksi bertingkat yang dimodifikasi.
Pelarut yang digunakan adalah heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan
metanol (polar). Serbuk kerang mas ngur (Atactodea striata) ditimbang 50 gr,
dimasukkan ke dalam erlenmeyer selanjutnya ditambah pelarut heksana 100 ml,
ditutup dengan alumunium foil agar pelarut tidak menguap, kemudian dimaserasi
selama 24 jam. Setelah itu disaring dengan menggunakan kertas saring. Residu
ditambah pelarut etil asetat 100 ml, ditutup alumunium foil, dimaserasi selama 24
jam, setelah itu disaring dengan menggunakan kertas saring. Residu ditambah
pelarut metanol 100 ml, ditutup alumunium foil, dimaserasi selama 24 jam.
Masing-masing filtrat yang dihasilkan, dievaporasi dengan suhu yang sesuai
dengan pelarut yang digunakan (± 40oC) sampai terbentuk ekstrak yang berupa
pasta. Selanjutnya ekstrak dari masing-masing pelarut disebut ekstrak heksana,
ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Masing-masing ekstrak yang terbentuk
kemudian dicuci dengan menggunakan masing-masing pelarut (heksana, etil
asetat, metanol) sebagai berikut :
1) Pelarut heksana ditambahkan pada ekstrak heksana, pelarut etil asetat pada
ekstrak etil asetat, dan pelarut metanol pada ekstrak metanol. Perbandingan
volume pelarut dan ekstrak adalah 2 : 1. Selanjutnya campuran dishaker
selama 1 jam dan didiamkan selama 24 jam pada suhu 4oC.
2) Bila terdapat endapan maka lapisan atasnya di pipet. Selanjutnya di evaporasi
sampai berbentuk pasta. Ekstrak dilarutkan dengan masing-masing pelarut
kemudian didiamkan selama 24 jam pada suhu 4oC. Bila masih terdapat
endapan maka di pipet lapisan atasnya dan di evaporasi, kemudian
ditambahkan pelarut dan didiamkan 24 jam pada suhu 4oC. Proses pencucian
ini dilakukan sampai tidak terdapat endapan, dengan demikian ekstrak yang
diperoleh benar-benar telah bebas dari komponen-komponen lain yang ikut
pada saat ekstraksi.
Setelah pencucian, masing-masing ekstrak hasil evaporasi dikerok dan
dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian disimpan pada suhu 4°C. Diagram
alir proses ekstraksi bahan aktif kerang mas ngur (Atactodea striata) dapat
dilihat pada Gambar 8.
32
Maserasi 24 jam dengan heksana
Filtrasi
Penghancuran
Filtrat I
Atactodea striata
Evaporasi
Ekstrak Heksana
Residu
P
Maserasi 24 jam dengan etil asetat
E
Filtrasi
Filtrat II
Evaporasi
N
C
Residu
Ekstrak Etil Asetat
U
C
Maserasi 24 jam dengan metanol
Filtrasi
Residu
Filtrat III
I
Evaporasi
A
N
Ekstrak Metanol
Gambar 8 Diagram alir proses ekstraksi bahan akti f
dari Atactodea striata
3.3.3 Uji Inhibitor Topoisomerase I (TopoGen 2006)
Ekstrak ditambah dengan 13 µl ddH2O, 2 µl DNA supercoil, 2 µl buffer
TGS, 2 µl ekstrak, dan 2 µl enzim DNA topoisomerase, kemudian diinkubasi pada
suhu 37oC selama 30 menit. Setelah itu, reaksi dihentikan dengan menambah 2 µl
SDS 10%. Sisa enzim dinonaktifkan dengan 1 µl Proteinase-K (20 µg/µl) selama
60 menit pada suhu 37oC. Selanjutnya, 2 µl buffer loading dan 20 µl CIA
(Chloroform Isoamil Alkohol) ditambahkan kedalam reaksi, kemudian divorteks.
Lapisan atas dianalisis menggunakan elektroforesis dengan gel agarosa 1% pada
55 volt selama 3 jam dan dilakukan pewarnaan dengan etidiumbromida untuk
penentuan kualitatif bentuk DNA nick dan supercoil. Aktivitas inhibisi enzim
ditentukan dengan kemampuan enzim untuk merubah bentuk DNA supercoil
menjadi DNA bentuk nick/relaxed untuk topoisomerase I. Enzim DNA
topoisomerase yang digunakan adalah Human Topoisomerase I Drug Screening
Kit dari topoGen. Kontrol positif adalah camptothecin.
Aktivitas inhibitor topoisomerase I memilik dua mekanisme yaitu
mekanisme berbentuk poison, jika senyawa dapat menstabilkan ikatan enzim dan
33
substrat sehingga terjadi peningkatan Open Circular (OC). Aktivitas hambatan
katalitik ditunjukkan dengan tetap utuhnya substrat DNA.
3.3.4 Uji Kelompok Senyawa Kimia
Pengujian untuk mengetahui kelompok senyawa kimia yang terdapat pada
ekstrak aktif meliputi uji ninhidrin untuk menentukan adanya asam amino bebas,
Molish untuk menentukan adanya karbohidrat dalam suatu bahan, Lieberman
Burchard untuk menentukan adanya steroid dalam suatu bahan, Bradford untuk
mengetahui adanya protein dalam suatu bahan. Uji ini dilakukan dengan terlebih
dulu masing-masing ekstrak ditimbang sebanyak 0,1 gr kemudian dilarutkan
dalam masing-masing pelarut sebanyak 5 ml (Bintang, 1999). Selain itu juga
dilakukan uji alkaloid, saponin, flavonoid, steroid (Harborn 1987).
3.3.4.1 Uji Ninhidrin
Uji ninhidrin dilakukan untuk menentukan adanya asam amino bebas dalam
suatu bahan. Ninhidrin bereaksi dengan asam amino bebas (gugus amida)
membentuk senyawa berwarna ungu, sedangkan dengan prolin dan hidroksiprolin
ninhidrin berwarna kuning. Cara pengujian adalah sebagai berikut : ekstrak aktif
Atactodea striata 1 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi dan dibubuhi larutan
ninhidrin 1 ml, lalu dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 5 menit. Bila
terlihat warna ungu berarti positif. Uji ini dilakukan secara duplo.
Pada prinsipnya asam amino bebas akan terhidrolisis melalui proses
pemanasan dengan terputusnya ikatan karbon yang mengikat gugus amida (-NH2)
dan gugus karbonil (-COOH) sehingga ninhidrin akan mengisi kekosongan
elektron (bereaksi) pada gugus amida dan membentuk senyawa berwarna ungu
sebagai indikasi adanya asam amino bebas pada bahan yang diuji.
3.3.4.2 Uji Molish
Uji ini adalah uji umum untuk menentukan adanya karbohidrat dalam suatu
bahan. Karbohidrat akan dipecah oleh asam sulfat pekat menjadi gugus furfural
yang akan bereaksi dengan sulfonat alfa-naftol membentuk senyawa berwarna
ungu. Pereaksi Molish terdiri atas alfa-naftol 5% dalam etanol 95% yang selalu
dibuat segar. Uji ini dilakukan secara duplo. Cara pengujiannya kedalam 1 ml
ekstrak dibubuhi 2 tetes pereaksi Molish lalu ditambahkan asam sulfat pekat
34
melalui dinding tabung secara hati-hati. Bila terbentuk lapisan berwarna ungu,
berarti positif mengandung karbohidrat karena terjadi reaksi kondensasi antara
furfural dengan alfa-naftol. Bila tidak ada karbohidrat maka akan berwarna hijau.
Pada umumnya monosakarida stabil dalam larutan asam yang encer
walaupun dipanaskan, tetapi apabila dipanaskan dengan asam kuat yang pekat
seperti asam sulfat pekat, monosakarida membentuk gugus furfural sebagai reaksi
dehidrasi atau pelepasan molekul air dari senyawanya. Gugus furfural yang
terbentuk akan memberikan warna ungu bila bereaksi dengan alfa naftol, sehingga
reaksi ini dapat dijadikan sebagai reaksi pengenal untuk karbohidrat.
3.3.4.3 Uji Bradford
Uji ini untuk mengetahui adanya protein dalam suatu bahan. Cara
pengujiannya adalah ekstrak 1 ml dimasukkan kedalam tabung kemudian
ditambah dengan 1 ml pereaksi Bradford. Tabung ditutup rapat dengan parafilm
dan dikocok dengan cara membalikkan tabung perlahan-lahan beberapa kali.
Kemudian didiamkan selama lima menit atau paling lama satu jam. Bila terbentuk
warna biru, berarti positif mengandung protein.
Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri dari asam-asam amino
dan dihubungkan dengan ikatan peptida. Secara umum, rumus molekul protein
terdiri atas sebuah atom karbon (C) yang mengikat sebuah gugus amida (-NH2),
sebuah gugus karboksil (COO-), sebuah atom hidrogen (H) dan sebuah gugus alkil
(R). Apabila sebuah molekul protein diberi pereaksi bradford yang terdiri dari
larutan kupriasetat dan asam asetat dalam air maka ion logam (Cu) akan direduksi
oleh protein (gugus COO -) sehingga terbentuk Cu2O yang diindikasikan dengan
terbentuknya warna biru.
3.3.4.4 Uji Alkaloid
Cuplikan sampel ditambah kloroform dan beberapa tetes amonia. Fraksi
kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 10 tetes H2SO 4 2M. Fraksi asam
diambil kemudian ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer, dan Wagner.
Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih untuk pereaksi
Meyer, endapan merah untuk pereaksi Dragendorf dan endapan coklat untuk
pereaksi Wagner.
35
Menurut Suradikusumah (1989), alkaloid umumnya dinyatakan sebagai
senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang merupakan
bagian dari sistem siklik. Atom nitrogen ini hampir selalu dalam bentuk gugus
amina atau amida. Substituen oksigen umumnya dalam bentuk gugus fenol (-OH),
metoksil (-OCH3) atau metilendioksi (-O2CH3). Penggunaan pereaksi Dragendorf,
Meyer dan Wagner didasarkan pada reaksi oksidasi yang mana logam-logam pada
pereaksi merupakan oksidator yang membawa elektron sehingga terlepasnya atom
H misalnya dari gugus OH dan selanjutnya berikatan dengan gugus amina atau
amida yang diindikasikan dengan terbentuknya warna. Warna yang terbentuk
tergantung pada logam yang terdapat pada pereaksinya, misalnya Iodida pada
pereaksi Dragendorf akan memberikan warna merah.
Beberapa pereaksi pengendapan digunakan untuk memisah-misahkan jenis
alkaloid. Pereaksi sering didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung
dengan logam yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismut, tungsten,
atau jood. Pereaksi Meyer mengandung kalium jodida dan merkuri klorida,
pereaksi Dragendorf mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida dalam asam
nitrit berair, pereaksi Burchard mirip dengan pereaksi Wagner dan mengandung
kalium jodida dan jood. Berbagai pereaksi tersebut menunjukkan perbedaan yang
besar
dalam
hal
sensitivitas
terhadap
gugus
alkaloid
yang
berbeda
(Sastrohamidjojo 1996).
3.3.4.5 Uji Saponin
Sampel sebanyak 1 gr ditambahkan air secukupnya selanjutnya dipanaskan
pada air mendidih (water bath) selama 5 menit. Setelah proses pemanasan, larutan
didinginkan kemudian dikocok. Jika timbul busa yang bertahan lebih dari 10
menit menunjukkan adanya saponin.
Busa yang terbentuk secara stabil pada larutan cair disebabkan karena bahan
yang diekstrak mengandung surfaktan yaitu senyawa glikosida yang berfungsi
sebagai detergen alami. Biasanya saponin memiliki satu atau lebih monosakarida
yang mudah terhidrolisis dengan panas dan dalam keadaan dingin bila dikocok
mudah membentuk busa yang stabil (Rao 1996).
36
3.3.4.6 Uji Flavonoid
Sampel sebanyak 1 gr ditambahkan metanol 30% sampai sampel terendam
kemudian dipanaskan sampai didapatkan filtrat yang pekat. Setelah pemanasan,
filtrat yang diperoleh ditaruh ke dalam papan uji (spot plate), kemudian
ditambahkan H2SO4. Jika pada penambahan asam sulfat terbentuk warna merah
maka positif mengandung flavonoid.
Flavonoid merupakan golongan senyawa yang memiliki kerangka karbon
terdiri dari dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan oleh rantai
alifatik tiga-karbon. Penambahan metanol 30 % kemudian dipanaskan akan
memudahkan reduksi asam sulfat pekat menghasilkan warna merah pada flavonol,
flavanon, flavanonol dan xanton (Robinson 1995).
3.3.4.7 Uji Triterpenoid dan Steroid
Uji Lieberman Burchard dilakukan berdasarkan asetilasi 3 β hidroksi oleh
asam anhidrida dalam H2SO 4. Ester asetil 3 β hidroksi sterol yang mengandung
ikatan ganda didalam asam akan mengalami epimerisasi menjadi bentuk 3α dan
reaksi eliminasi yang menimbulkan produk berwarna. Uji triterpenoid ditandai
dengan warna ungu atau merah, sedangkan steroid warna hijau atau biru. Sampel
sebanyak 2 gr ditambahkan 25 ml etanol 30% kemudian dipanaskan (50oC) dan
disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan, selanjutnya ditambahkan eter. Lapisan
eter yang terbentuk dipipet dan diletakan pada papan uji (spot plate) kemudian
ditambah pereaksi Lieberman Burchard (3 tetes asam asetat anhidrin dan 1 tetes
H2SO4 pekat), selanjutnya diamati warna yang terbentuk.
3.3.5 Isolasi Senyawa Aktif Inhibitor Topoisomerase I
Ekstrak terpilih adalah ekstrak yang memiliki rendemen terbesar serta
memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase. Ekstraksi senyawa kimia ini meliputi :
1.
Isolasi Alkaloid. Metode yang digunakan mengacu pada Sugita et al. (2006).
Ekstrak metanol sebanyak 1,5 gr direndam dengan metanol-air (4:1) selama
24 jam. Setelah itu disaring dan filtratnya dimaserasi sampai sisa 1/10
volume awal pada suhu 40oC. Selanjutnya diasamkan dengan H2SO 4 2M
sampai pH 3-4. Kemudian ekstraksi dengan kloroform (proses ini dilakukan
sebanyak tiga kali) yang mana akan terbentuk dua lapisan yaitu lapisan
37
bawah merupakan lapisan kloroform dan lapisan atas merupakan lapisan air
asam. Lapisan kloroform (bawah) dipipet (untuk tiga kali ekstrak) dan
diuapkan pada suhu 40oC sampai berbentuk pasta. Selanjutnya ekstrak
dikerok dan dimasukkan dalam botol sampel. Proses ekstraksi tersebut
secara rinci terlihat pada Lampiran 2.
2.
Isolasi Steroid. Metode ekstraksi steroid mengacu pada Bahti et al. (1983)
dalam Heryani (2002). Cuplikan ekstrak metanol dihidrolisis dengan KOH
10 % dalam etanol diatas penangas air pada suhu 100oC selama 3 jam.
Selanjutnya di saring, dan hidrolisat yang diperoleh dievaporasi sampai
kering (hidrolisat kering). Kemudian diekstraksi dengan dietil eter, dan
ekstrak dietil eter dicuci berturut-turut dengan air, HCl 2N, air, NaHCO3
jenuh, NaCl jenuh. Akhir pencucian akan diperoleh fase dietil eter dan
selanjutnya dikeringkan dengan Na 2SO 4 anhidrat sehingga diperoleh ekstrak
dietil eter (steroid bebas). Proses ekstraksi steroid terlihat pada Lampiran 3.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Komposisi Kimia Atactodea striata
Komposisi kimia daging kerang mas ngur (Atactodea striata) disajikan pada
pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia serbuk kering Atactodea striata
dibandingkan dengan sumber nutrisi lain
Nutrisi
Kadar air
Protein
Lemak
Abu
Serat kasar
Karbohidrat
Kerang mas ngur
(A. striata)
7,84
56,08
5,95
7,88
1,25
21
% berat kering
Kerang (Mytilus
Teripang batu
viridis L)*
(H. scabra)*
35,68
10,34
42,17
54,05
5,06
6,30
17,09
28,02
8,45
1,29
Teripang pasir
(H. nobilis)*
1,88
46,56
4,86
45,41
1,29
* Sumber : berbagai publikasi penelitian dari Balai Penelitian Perikanan Laut
dari tahun 1984 – 2004 dalam Witjaksono (2005)
Komposisi kimia kerang mas ngur (Atactodea striata) dibandingkan dengan
sumber nutrisi lain berdasarkan berat keringnya (Tabel 1) menunjukkan kadar
protein yang tinggi sehingga peluang pemanfaatannya sebagai salah satu sumber
protein hewani cukup besar. Bahan pangan yang dikonsumsi manusia sebenarnya
bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita
rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis terutama dalam
upaya penyembuhan penyakit.
Berdasarkan komposisi kimia diatas maka kerang mas ngur (Atactodea
striata) termasuk salah satu hasil perikanan berprotein tinggi (lebih dari 50 %) dan
lemak sedang (diatas 5 %) serta tinggi karbohidrat (lebih dari 20 %) sehingga baik
untuk dikonsumsi khususnya bagi penderita sakit hati (Primadhani 2006).
Secara tradisional kerang mas ngur (Atactodea striata) digunakan untuk
mengobati penyakit hati, dan kenyataan ini jika dikaji dari segi kandungan gizi
dapat dibenarkan karena penderita sakit hati umumnya memiliki gangguan pada
metabolisme protein, lemak dan karbohidrat dimana gangguan ini terjadi akibat
dari fungsi hati yang tidak berjalan secara normal sehingga dapat menyebabkan
akumulasi bermacam-macam racun. Menurut Morgan dan Heaton (2000),
metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan alkohol diatur di hati. Oleh karena
39
itu, hati dikatakan sebagai pemegang peran utama dalam menjaga keseimbangan
energi.
Salah satu penanda akumulasi racun yang disebabkan oleh melemahnya
fungsi hati adalah amonia yang dihubungkan dengan encephalopathy serta
neurotransmiter yang salah. Hal ini ditandai dengan perubahan komposisi plasma
asam amino dan penurunan rasio asam amino rantai cabang (BCAA) terhadap
asam amino aromatik (AAA) (Nelson et al. 1994).
Hati berperan penting dalam menjaga kenormalan kadar gula darah yaitu
dengan mengubah glukosa menjadi glikogen (glikogenesis) saat kadar gula darah
tinggi serta mengubah glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis) dan mengubah
asam amino menjadi glukosa (glukoneogenesis) saat kadar gula darah rendah.
Disamping itu, hati memecah asam lemak menjadi asetil koenzim A (β-oksidasi),
mengubah kelebihan asetil koenzim A menjadi keton (ketogenesis); mensintesis
lipoprotein, kolesterol, dan fosfolipid; memecah kolesterol menjadi garam
empedu, dan menyimpan lemak. Hati juga melakukan deaminase asam amino
yaitu pelepasan gugus amina (NH2) sehingga asam amino bisa digunakan sebagai
sumber energi atau dikonversi menjadi karbohidrat atau lemak; melakukan
konversi amonia (NH 3) yang bersifat racun menjadi ureum yang kemudian
diekskresikan melalui urine (Tortora dan Anagnostakos 1992).
Menurut Moehyi (1997), dalam upaya penyembuhan penyakit maka
makanan dapat berfungsi sebagai salah satu bentuk terapi/pengobatan, misalnya
pengaturan diet pada penderita obesitas yang merupakan upaya primer dalam
penyembuhan penyakit tersebut. Pemberian makanan dibarengi dengan pemberian
suntikan insulin pada penderita diabetes militus dimaksudkan agar kadar gula
dalam darah penderita tetap dalam batas normal.
Menurut Williams (1995), untuk mempercepat perbaikan faal hati tanpa
memberikan beban pada hati maka orang dewasa harus mengkonsumsi makanan
yang mengandung protein tinggi, karbohidrat tinggi dan lemak rendah. Protein
diperlukan untuk membangun sel dan jaringan yang baru. Selain itu, protein juga
mencegah kerusakan akibat infiltrasi lemak dalam jaringan hati. Protein yang
dibutuhkan orang dewasa per hari berkisar antara 70 - 100 gr. Karbohidrat yang
tinggi akan meningkatkan penyediaan glukosa untuk melindungi simpanan
40
glikogen di hati dan membantu menyediakan energi serta mencegah pemecahan
protein untuk energi. Karbohidrat yang dibutuhkan orang dewasa antara 300 - 400
gram per hari. Adanya lemak akan menyedapkan makanan sehingga
meningkatkan selera makan. Makanan sebaiknya mengandung lemak 100-150
gram per hari.
Walaupun penelitian ini tidak menganalisa jenis asam lemak yang terdapat
pada kerang Atactodea striata, dari hasil penelitian Makkasau (2001) diketahui
bahwa kerang ini memiliki 2 jenis asam lemak jenuh yaitu asam heksadekanoat
(asam palmitat) dan asam oktadekanoat (asam stearat), serta 3 jenis asam lemak
tidak jenuh yaitu asam 9-oktadekenoat (asam oleat); asam 9-oktadekenoat-12
asetil oksi, metil ester; asam 11-oktadekenoat metil ester (metil-11-oktadekenoat).
Asam-asam lemak tidak jenuh tersebut sangat mudah diserap oleh tubuh. Hal ini
sejalan dengan pendapat Harli (2003) yang menyatakan bahwa daya serap
kolesterol paling rendah berasal dari diet kerang dibandingkan dengan diet ayam
dan diet kepiting yaitu 25 persen lebih rendah daya serap kolesterol kerangkerangan dari pada kolesterol ayam dan kepiting.
Karbohidrat pada hewan digolongkan dalam polisakarida yang merupakan
senyawa karbohidrat kompleks. Glikogen adalah salah satu polisakarida dan
merupakan ”pati hewani” yang terdapat pada otot hewan, manusia dan ikan.
Glikogen larut di dalam air dan bila bereaksi dengan Iodium (I) akan
menghasilkan warna merah (Poedjiadi dan Supriyanti 2006).
Sebagian besar karbohidrat (2/3) yang dimakan akan disimpan didalam otot
dan selebihnya disimpan didalam hati sebagai glikogen namun apabila hati
(hepar) mengalami gangguan maka tugas ini tidak akan dijalankannya. Oleh
karena itu, ketika tubuh memerlukan energi maka yang seharusnya simpanan
glikogen lebih dulu dimanfaatkan akan digantikan oleh lemak yang ditimbun
didalam jaringan lemak. Kelebihan karbohidrat yang tidak dapat disimpan sebagai
glikogen akan diubah menjadi lemak dan disimpan di jaringan lemak. Dengan
demikian, penderita penyakit hati harus mengkonsumsi makanan yang tinggi
karbohidratnya.
Karbohidrat diperlukan tubuh tidak hanya sebagai penghasil energi tetapi
lebih dari itu sangat diperlukan dalam membantu metabolisme lemak dan protein
41
serta melindungi protein agar tidak digunakan sebagai penghasil energi sehingga
protein tetap berfungsi sebagai zat pembangun.
Menurut Hutagalung (2004), untuk mencegah terjadinya ketosis dan
pemecahan protein yang berlebihan maka karbohidrat diperlukan dalam jumlah
yang cukup untuk membantu metabolisme lemak dan protein. Disamping itu, bila
karbohidrat yang dikonsumsi tidak mencukupi untuk kebutuhan energi tubuh dan
jika tidak cukup lemak di dalam makanan atau cadangan lemak yang disimpan di
dalam tubuh, maka protein akan menggantikan fungsi karbohidrat sebagai
penghasil energi. Dengan demikian protein akan meninggalkan fungsi utamanya
sebagai zat pembangun. Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka
keadaan kekurangan energi dan protein tidak dapat dihindari lagi. Di dalam hepar
karbohidrat berfungsi untuk detoksifikasi zat-zat tokzik tertentu.
Jika terjadi kekurangan karbohidrat akibat dari fungsi hati yang terganggu
sehingga proses metabolisme karbohidrat terganggu maka cadangan lemak dalam
jaringan adipose akan dimobilisasi sedemikian cepatnya sehingga tubuh tidak
dapat mengoksidasi karbohidrat seluruhnya menjadi CO 2 dan H2O. Jumlah asupan
karbohidrat juga mempengaruhi penggunaan protein sebagai penghasil energi.
Jika asupan karbohidrat rendah, tubuh akan memecah asam amino untuk
menghasilkan energi dan mensintesa glukosa tubuh sehingga jaringan yang
membutuhkan gula ini akan mampu menjalankan fungsinya. Menurut Hutagalung
(2004), gejala yang timbul akibat asupan karbohidrat yang rendah adalah fatique,
dehidrasi, mual, nafsu makan berkurang, dan tekanan darah kadang-kadang turun
dengan mendadak sewaktu bangun dari tidur.
Umumnya makanan yang banyak seratnya mempunyai mutu yang rendah,
namun makanan yang tidak memiliki serat juga kurang baik untuk dikonsumsi
karena serat makanan sebenarnya diperlukan untuk memperlancar pengeluaran
feses. Dalam sistem pencernaan, serat makanan tidak dapat dihidrolisa (dicerna)
oleh enzim pencernaan manusia dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam
keadaan utuh. Kebanyakan serat pangan yang sampai di kolon dalam keadaan
utuh akan menjadi substrat untuk fermentasi bagi bakteri yang hidup di kolon
(Muir 1999). Serat pangan yang larut sangat mudah difermentasikan dan
mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lemak, sedangkan serat pangan yang
42
tidak larut akan memperbesar volume feses dan akan mengurangi waktu
transitnya.
Menurut Hutagalung (2004), fungsi serat adalah
(1)
Mencegah penyakit jantung koroner (PJK). Kolesterol telah lama diduga
sebagai penyebab terjadinya arterosklerosis yang akhirnya berakibat
timbulnya penyakit jantung koroner. Produk akhir metabolisme kolesterol
adalah asam empedu. Serat yang berasal dari makanan sesampainya di
saluran pencernaan akan mengikat asam empedu. Dalam keadaan terikat,
asam empedu bersama-sama serat dikeluarkan dalam bentuk feses. Dengan
demikian semakin banyak serat dimakan, maka semakin banyak lemak dan
kolesterol dikeluarkan.
(2)
Mencegah kanker pada usus besar. Kanker pada usus besar (kolon) diakibatkan masuknya benda-benda asing ke dalam usus besar, benda-benda
asing tersebut akan diubah sifatnya menjadi karsinogenik. Adanya serat
kasar yang melalui kolon, mengakibatkan lingkungan mikroba terganggu
sehingga aktifitas mikroba (Salmonella dan E. coli) berkurang.
(3) Mencegah kegemukan. Dengan adanya serat, maka penyerapan karbohidrat,
lemak dan protein menjadi berkurang. Jika hal ini dilakukan secara teratur
dan berkesinambungan, maka kegemukan dapat dihindari. Serat mampu
memberikan perasaan kenyang dalam waktu yang cukup lama.
Berdasarkan kegunaan berbagai kandungan gizi yang telah diuraikan
sebelumnya maka kerang mas ngur (Atactodea striata) dapat dikembangkan
sebagai pangan fungsional karena disamping memiliki komposisi gizi yang baik
juga memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh.
Menurut Badan POM (2001), pangan fungsional adalah pangan yang secara
alami maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang
berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis
tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Bahan pangan yang kini banyak diminati
konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta
penampakan dan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis
tertentu bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, dan
43
kadar gula darah, serta meningkatkan penyerapan kalsium (Astawan 2003 dalam
Winarti dan Nurdjanah 2005).
4.2
Komposisi Asam Amino Atactodea striata
Asam amino merupakan monomolekul dari protein yang memiliki fungsi
penting bagi organisme hidup. Secara umum asam amino dapat dikelompokkan
atas asam amino esensial yaitu asam amino yang tidak dapat diproduksi sendiri
oleh tubuh sehingga diperlukan asupan dari makanan, dan asam amino non
esensial yaitu asam amino yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh. Hasil analisa
asam amino dari serbuk kering Atactodea striata yang dibandingkan dengan ayam
lokal dan tepung ikan terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan asam amino Atactodea striata
dibandingkan dengan ayam lokal dan tepung ikan
Jenis Asam Amino
Asam Amino Esensial
Treonin
Valin
Metionin
Isoleusin
Leusin
Phenilalanin
Lisin
Histidin
Arginin
Asam Amino Non Esensial
Asam Aspartat
Asam Glutamat
Serin
Glisin
Alanin
Prolin
Tirosin
Sistin
Total
*)
**)
Kadar asam amino (%)
A. striata
Ayam Lokal*)
Tepung Ikan**)
3,78
2,29
1,63
4,82
4,01
2,43
3,39
1,35
0,95
2,29
2,73
1,30
1,96
3,47
2,51
2,65
0,88
2,39
2,35
2,57
1,56
2,12
3,62
2,37
3,67
0,83
3,18
6,65
12,08
1,36
2,28
2,47
1,59
3,30
0,84
55,21
4,58
5,93
3,64
1,43
2,26
1,47
1,89
0,92
42,3
4,31
6,30
2,99
3,88
3,38
2,80
1,58
0,46
47,97
Sumber : Verawati et al. (2006)
Sumber : Sitompul (2004)
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar asam amino yang
dikandung kerang mas ngur (Atactodea striata) lebih besar dari 1 %. Dari ke-20
asam amino dasar terlihat bahwa yang terdeteksi lewat HPLC hanyalah 17 asam
44
amino, sedangkan 3 jenis asam amino lainnya yaitu asparagin, glutamin, dan
triptofan tidak terdeteksi. Hal ini disebabkan karena kandungan dari ketiga jenis
asam amino tersebut sangat kecil yaitu 0,87 %, sehingga kalau dirata-ratakan
maka masing-masing hanya sebesar 0,29 %.
Untuk melihat secara jelas perbedaan kadar asam amino dari ketiga sumber
diatas maka dapat digambarkan dalam bentuk histogram sebagaimana terlihat
A. striata
14
12
10
8
6
4
2
0
Ayam Lokal
Tepung Ikan
V
M alin
eti
on
Iso in
leu
sin
L
Ph eu
en sin
ila
lan
in
Lis
Hi in
sti
din
As
am Arg
As Asp inin
am ar
Gl tat
uta
m
at
Se
rin
G
lis
in
Al
an
in
Pr
oli
n
Tir
os
in
Si
sti
n
Tr
eo
nin
Kadar Asam Amino (%)
pada Gambar 9 dibawah ini.
Jenis Asam Amino
Gambar 9 Histogram kandungan asam amino dari A.striata,
ayam lokal dan tepung ikan
Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 9 terlihat bahwa kerang mas ngur
(Atactodea striata) memiliki kadar beberapa asam amino yang lebih besar
dibandingkan dengan ayam lokal maupun tepung ikan yaitu dari kelompok asam
amino esensial antara lain : treonin, metionin, isoleusin, leusin, histidin dan dari
kelompok asam amino non esensial antara lain : asam aspartat, asam glutamat,
dan valin. Sedangkan asam amino lisin, glisin, alanin, prolin pada kerang ini lebih
besar kadarnya dibandingkan dengan ayam lokal, demikian juga phenilalanin,
sistin pada kerang ini lebih besar dibandingkan dengan tepung ikan.
Dari keseluruhan asam amino yang terkandung pada kerang mas ngur
(Atactodea striata) sebagaimana terlihat pada Tabel 2 diatas, asam glutamat
memiliki kandungan yang lebih besar yaitu 12,08 % atau 21,88 % dari total asam
amino. Menurut The International Glutamate Information Service (IGIS),
glutamat yang berasal dari makanan merupakan sumber energi utama bagi usus.
Kajian-kajian yang menggunakan isotop stabil menunjukkan bahwa usus
mendapatkan sebagian besar energinya dari metabolisme asam amino.
45
Kenyataannya usus sangat membutuhkan glutamat, dan telah diperlihatkan bahwa
semua glutamat yang dimakan dari bahan makanan hanya 4% yang keluar dari
tubuh.
Glutamat yang berasal dari makanan diperlukan bersama dengan sistin dan
glisin untuk produksi glutathion, suatu molekul antioksidan yang memainkan
peran penting dalam mekanisme daya tahan tubuh serta perbaikan kerusakan sel
dan jaringan tubuh. Glutamat (bersama dengan glutamin) merupakan asam amino
yang paling berlimpah dari 20 jenis asam-asam amino, yang mencapai 20 persen
dari asam-asam amino pada susu (The International Glutamate Information
Service). Sistin merupakan penghasil taurin yaitu suatu komponen glutathion.
Glutathion merupakan pelindung otak dan hati dari kerusakan akibat obat/racun,
alkohol dan unsur-unsur lain yang dapat membahayakan tubuh. Sistin juga
diperlukan untuk kesehatan kulit, detoksifikasi dari tubuh (dalam kaitannya
dengan sulfur) dan penghasil kolagen (yang digunakan untuk kekenyalan kulit dan
tekstur). Secara medis, sistin digunakan untuk memproteksi hati dan mencegah
(meredakan) penyakit yang berbahaya (Cat 2006).
Asam-asam amino hasil pemecahan protein sebelum ditransportasikan ke
hati terlebih dahulu diabsorbsi melalui sel-sel mukosa usus dan selanjutnya di
serap oleh vena porta untuk kemudian ditranspor ke hati. Dari semua organ
saluran, usus mempunyai kontak terbesar dengan lingkungan eksternal dalam
bentuk makanan yang kita makan. Oleh karenanya usus merupakan garis
pertahanan pertama tubuh.
Terkait dengan penggunaan kerang mas ngur (Atactodea striata) sebagai
obat tradisional maka ditinjau dari komposisi asam amino yang diperoleh dapatlah
dijelaskan bahwa umumnya asam-asam amino ini mempunyai kegunaan besar
bagi kesehatan manusia. Secara umum beberapa asam amino yang mempunyai
kegunaan besar untuk kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung
diantaranya adalah treonin, metionin, isoleusin, leusin, histidin, lisin, phenilalanin,
asam aspartat, asam glutamat, valin, glisin, alanin, prolin, sistin.
Treonin bermanfaat dalam mencegah penumpukan lemak di hati, membantu
hati dan fungsi lipotropiknya. Kekurangan treonin akan menyebabkan warna kulit
menjadi tidak normal (Carroli et al. 2006). Metionin merupakan suatu anti-oxidan
46
yang baik karena dapat mensuplai belerang, menginaktifkan radikal bebas dan
membantu meningkatkan daya ingat. Metionin juga merupakan suatu prekusor
sistin, yang merupakan asam amino penghasil gluthation untuk detoksifikasi di
hati. Juga merupakan salah satu amino yang diperlukan untuk pembuatan creatine
monohydrate di dalam tubuh yaitu suatu campuran yang penting untuk
menghasilkan energi dan pertumbuhan otot. Untuk pergerakan tubuh, metionin
dapat menstabilkan lemak, membuat pencernaan menjadi lebih baik, dan sebagai
antioksidan. Kekurangan metionin dapat menyebabkan akumulasi lemak di hati,
pertumbuhan yang lambat, lemah, luka mengkerut dan edema. Secara medis
metionin digunakan untuk gangguan depresi, radang sendi dan penyakit hati
(liver) (Cat 2006).
Isoleusin bermanfaat dalam mempercepat penyembuhan luka, mengatur gula
darah dan membantu dalam pembentukan hemoglobin serta merupakan
pertahanan utama tubuh untuk melawan infeksi akibat luka. Sedangkan leusin
bermanfaat dalam pengaturan gula darah, pertumbuhan dan perbaikan jaringan
kulit, tulang dan otot serta membantu dalam penyembuhan luka, mengatur energi
dan membantu penguraian didalam otot (Cat 2006).
Histidin didalam tubuh diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan dari
semua jenis jaringan. Histidin berperan penting dalam pemeliharaan dan
pembuatan glial sel syaraf yang disebut oligo-dendrocytes (selendang/
pembungkus). Histidin mencegah kerusakan otak dan jaringan saraf dalam tulang
punggung. Histidin juga merupakan suatu pabrik dari kedua sel darah yaitu sel
darah putih dan sel darah merah. Selain itu histidin juga membantu melindungi
tubuh dari radiasi dan mengeluarkan kelebihan logam berat (seperti, Fe) dari
tubuh. Histidin merupakan suatu prekusor asam amino non-esensial, yang mana
histidin akan membentuk sistem imun sebagai respons terhadap suatu reaksi
alergi. Secara medis, histidin digunakan dalam mengobati radang sendi dan
ketulian saraf.
Valin bermanfaat dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan otot serta
menjaga keseimbangan nitrogen dan mengatur penggunaan glukosa. Sedangkan
phenilalanin secara medis digunakan untuk perawatan radang sendi dan depresi.
47
Kekurangan phenilalanin akan menyebabkan tubuh lemah, lesu, kerusakan hati
dan pertumbuhan terhambat (Cat 2006).
Lisin digunakan di dalam tubuh untuk penyerapan kalsium serta
pembentukan tulang dan pertumbuhan otot seperti mobilisasi lemak untuk
digunakan sebagai energi. Lisin juga bermanfaat dalam menjaga keseimbangan
nitrogen serta membantu menjaga berat badan pada saat stress berat dan kondisi
yang melelahkan. Lisin juga diperlukan dalam membentuk antibodi, hormon (GH,
testosterone, hormon insulin), enzim, kolagen dan untuk memperbaiki jaringan
yang rusak. Lisin juga membantu dalam membangun protein otot yang baru, dan
manfaatnya untuk cardiovascular meliputi pemeliharaan kesehatan pembuluh
darah. Lisin berperan dalam revitalisasi tubuh untuk mencegah kelelahan dan
memelihara keseimbangan nitrogen serta menciptakan suatu lingkungan anabolik
didalam tubuh. Kekurangan lisin akan menyebabkan kekacauan enzim,
kehilangan energi, kerontokan rambut (umumnya karena kekurangan protein),
berat badan menurun, tidak berselera dan hilang konsentrasi (Cat 2006).
Oleh karena hati mempunyai fungsi untuk melakukan metabolisme protein,
lemak dan karbohidrat maka jika fungsi hati terganggu akan berdampak pada
terganggunya proses metabolisme tersebut. Dengan demikian, penderita gangguan
fungsi hati seperti sakit liver, membutuhkan makanan yang tinggi protein dan
karbohidrat serta lemak dengan kadar yang sedang karena hal ini akan
meringankan kerja hati untuk memperoleh energi yang besar untuk aktivitasnya.
Berdasarkan kandungan asam amino di atas maka asam-asam amino tersebut
dapat dikelompokkan sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Pada Tabel ini terlihat
bahwa total asam amino esensial dan non esensial beturut-turut 22,34 % dan
32,87 % atau 40,46 % dan 59,54 % (dari total asam amino). Sedangkan total asam
amino asam (AAA), asam amino basa (AAB), asam amino netral (AAN), asam
amino aromatik (AAR), asam amino sulfur (AAS), asam amino hidrofilik (AAHl)
dan asam amino hidrofobik (AAHb) berturut-turut adalah 18,73 %, 5,69 %,
30,79 %, 5,73, 2,47, 36,73, 18,48 atau dari total asam amino berturut-turut
33,92 %, 10,30 %, 55,78 %, 10,37 %, 4,48 %, 66,52 %, 33,48 %. Dengan
demikian, proporsi asam amino non esensial jauh lebih besar dibandingkan
dengan asam amino esensial. Hal ini diperlukan khususnya bagi penderita
48
penyakit hati karena di dalam tubuh penderita tidak mampu mensintesa asam
amino non esensial (Almatsier 2002). Asam amino netral juga jauh lebih besar
dibandingkan dengan asam amino asam dan asam amino basa, serta asam amino
hidrofilik jauh lebih besar dibandingkan dengan asam amino hidrofobik. Adapun
hasil analisa asam amino dengan HPLC serta perhitungannya dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Tabel 3 Klasifikasi asam amino berdasarkan sifat fisik dan kimia
dari Atactodea striata
Jenis asam
amino
Aspartat
Glutamat
Serin
Glisin
Alanin
Prolin
Tirosin
Sistin
Histidin
Arginin
Treonin
Valin
Metionin
Isoleusin
Leusin
Phenilalanin
Lisin
TOTAL
% dalam
total asam
amino
AAE
AANE
6,65
12,08
1,36
2,28
2,47
1,59
3,30
0,84
1,35
0,95
3,78
2,29
1,63
4,82
4,01
2,43
3,39
22,34
32,87
40,46
59,54
AAA
6,65
12,08
Klasifikasi asam amino (%)
AAB
AAN AAR AAS
1,36
2,28
2,47
1,59
3,30
0,84
AAHl
6,65
12,08
1,36
2,28
AAHb
2,47
1,59
3,30
3,30
0,84
1,35
0,95
0,84
1,35
0,95
3,78
3,78
2,29
1,63
4,82
4,01
2,43
2,43
18,73
3,39
5,69
30,79
5,73
2,47
3,39
36,73
18,48
33,92
10,30
55,78
10,37
4,48
66,52
33,48
2,29
1,63
4,82
4,01
2,43
1,63
Keterangan : AANE = Asam Amino Non Esensial; AAE = Asam Amino Esensial; AAA = Asam
Amino Asam; AAB = Asam Amino Basa; AAN = Asam Amino Netral; AAR =
Asam Amino Aromatik; AAS = Asam Amino Sulfur; AAHl = Asam Amino
Hidrofilik; AAHb = Asam Amino Hidrofobik.
Melalui proses pencernaan maka protein akan dipecahkan menjadi asamasam amino. Asam-asam amino ini kemudian oleh usus dialirkan ke seluruh tubuh
untuk menggantikan jaringan-jaringan tubuh yang rusak. Oleh karena itu,
dibutuhkan asam amino yang sesuai dengan keperluan tubuh. Secara fisik dan
kimia, asam-asam amino memiliki sifat-sifat yang berbeda, dengan demikian
pengklasifikasian asam amino sebagaimana tertera pada Tabel 3 diatas akan dapat
memberikan gambaran bahwa keperluan asam amino untuk menggantikan
jaringan tubuh adalah spesifik, artinya jaringan tubuh yang akan digantikan
49
memerlukan asam amino yang sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai contoh,
tubuh untuk dapat menstabilkan lemak yang terdapat di dalam jaringan
membutuhkan metionin yaitu salah satu dari asam amino sulfur. Selain itu, untuk
menggantikan sel-sel darah merah dan sel darah putih maka dibutuhkan histidin
karena histidin merupakan pabrik dari sel-sel tersebut. Histidin juga diperlukan
oleh jaringan tubuh untuk mengeluarkan kelebihan logam berat seperti Fe dari
tubuh.
Menurut Muchtadi et al. (1993), asam-asam amino hasil pemecahan didalam
sistem pencernaan selanjutnya diserap oleh usus dan kemudian dialirkan
keseluruh tubuh untuk menggantikan jaringan tubuh yang rusak. Oleh karena itu
dibutuhkan asam amino yang sesuai dengan keperluan tubuh. Asam-asam amino
dan sejumlah kecil peptida sebagai hasil pemecahan protein, selanjutnya
diabsorbsi melalui sel-sel mukosa usus (brush border). Mekanisme absorbsi
berlangsung secara spesifik untuk tiap asam amino netral, asam atau basa serta
peptida.
Sehubungan dengan proses metabolisme asam amino didalam tubuh maka
masing-masing asam amino mempunyai jalur metabolik secara spesifik. Misalnya
glisin yang merupakan asam amino non esensial, netral dan hidrofilik yang dapat
mengalami reaksi deaminasi oksidatif oleh glisin oksidase, yaitu enzim yang
terdapat dalam jaringan hati dan ginjal. Dalam reaksi ini glisin akan diubah
menjadi asam glioksilat dan amonia. Asam glioksilat selanjutnya diuraikan
menjadi formaldehida dan karbondioksida. Glisin dapat diubah juga menjadi serin
dengan adanya 5-formiltetrahidrofolat dimana gugus formil sebagai donornya.
Glisin dapat berfungsi sebagai penawar racun, misalnya makanan yang
dikonsumsi mengandung asam benzoat atau derivatnya maka glisin akan
bergabung dengan zat-zat tersebut sehingga terbentuk asam hipurat yang tidak
beracun (Poedjiadi dan Supriyanti 2006).
4.3
Rendemen Ekstrak Atactodea striata
Ekstraksi bertingkat yang dilakukan terhadap kerang mas ngur (Atactodea
striata) dengan menggunakan pelarut heksana (non polar), etil asetat (semi polar),
dan metanol (polar) menghasilkan rendemen yang telah dibersihkan seperti
disajikan pada Tabel 4.
50
Tabel 4 Rendemen ekstrak Atactodea striata dengan metode ekstraksi bertingkat
Ekstrak
Berat awal
sampel (g)
50
Volume
pelarut (ml)
100
Berat rendemen
(g)
0,960
% rendemen
(w/w)
1,92
Etil asetat
50
100
0,655
1,31
Metanol
50
100
2,880
5,76
Heksana
Tabel di atas menunjukkan bahwa rendeman terbesar terdapat pada ekstrak
metanol yaitu 5,76 % dan rendemen terkecil terdapat pada ekstrak etil asetat yaitu
1,31 %. Ketiga ekstrak yang diperoleh tersebut, selanjutnya dilakukan uji inhibitor
topoisomerase I dengan konsentrasi ekstrak yang digunakan sebesar 50 µg/ml.
4.4
Inhibitor Topoisomerase I dari Ekstrak Atactodea striata
Keseluruhan ekstrak yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menguji
aktivitas inhibitor topoisomerase I sebagaimana hasilnya terlihat pada Gambar 10.
Ekstrak dikatakan memiliki aktivitas inhibisi topoisomerase I apabila pita dari
DNA complex hasil reaksi dicocokkan dengan marker terjadi perubahan bentuk
dari DNA supercoil menjadi nick complex. Kontrol 1 menunjukkan adanya
aktivitas enzim dimana akan terjadi relaksasi DNA, kontrol 2 menunjukkan bahwa
pelarut tidak mempengaruhi mobilitas DNA, kontrol 3 menunjukkan bahwa
pelarut tidak mempangaruhi aktivitas enzim, kontrol 4 menunjukkan terjadinya
relaksasi marker DNA dan kontrol 5 mendeteksi pembentukan nick complex oleh
camptothecin.
1
2
3
4
5
6
7
8
Keterangan : 1. Topo I + DNA, 2. Marker DNA Supercoil, 3. Topo I +
DNA + Pelarut, 4. Marker DNA Linear/OpenCircular, 5. Topo I + DNA
+ Camptothecin, 6. Ekstrak Heksana, 7. Ekstrak Etil Asetat, 8. Ekstrak
Metanol.
Gambar 10 Hasil elektroforesis uji inhibitor topoisomerase I
dari berbagai ekstrak.
51
Senyawa yang dapat menstabilkan ikatan enzim dan substrat (nicked
intermediate) dan atau menghambat aktivitas kalatilik topo I dapat di deteksi
dengan Drug Screening Kit Topoisomerase I dari TopoGen dengan kontrol positif
camptothecin. Camptothecin secara luas telah digunakan sebagai model dalam
pencarian senyawa antikanker dari bahan alam. Camptothecin dan turunannya
bekerja dengan mengikat dan mestabilkan kompleks kovalen DNA topoisomerase
sehingga me nghambat kerja topoiosmerase I (Dewick 2001). Senyawa yang
bersifat poison akan menstabilkan ikatan enzim dan substrat yang dapat dilihat
dengan peningkatan open circular (OC) DNA di gel, sedangkan pada senyawa
yang bersifat menghambat aktivitas katalitik ditunjukkan dengan dihambatnya
aktivitas relaksasi.
Gambar 10 menunjukkan bahwa seluruh ekstrak yang digunakan memiliki
aktivitas inhibitor topoisomerase I dengan mekanisme poison yang ditunjukkan
dengan terbentuknya nick complex seperti yang diindikasikan pada kontrol positif
camptothecin. Hal ini terlihat dengan adanya band pada ekstrak heksana (sumur
6), ekstrak etil asetat (sumur 7) dan esktrak metanol (sumur 8) yang mempunyai
kecocokan dengan pita dari kontrol 2 dan 4 dimana terjadi perubahan bentuk
DNA supercoil menjadi nick complex dengan peningkatan Open Circular (OC)
sebagai indikasi dari kerja senyawa yang bersifat poison.
Rekapitulasi hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak bersih heksana,
etil asetat, dan metanol disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak heksana,
etil asetat dan metanol pada konsentrasi 50 µg/ml
Sampel
Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I
Ekstrak Heksana
Poison : +
Ekstrak Etil asetat
Poison : +
Ekstrak Metanol
Poison : +
Pada Tabel 5 terlihat bahwa ekstrak heksana, etil asetat, dan metanol
memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I dengan mekanisme inhibisi berbentuk
poison. Hal ini menggambarkan bahwa kerja ketiga ekstrak tersebut dalam
penghambatan sel kanker adalah dengan menghambat kerja sel-sel kanker dalam
52
proses replikasi walaupun substrat sempat ketemu dan berikatan dengan enzim
yang dapat dilihat dengan peningkatan open circular (OC) DNA di gel.
Menurut Nishina et al. (1991), terganggunya replikasi DNA disebabkan
karena keberadaan enzim yang memudahkan terjadinya penetrasi komponen
antimikroorganisme ke dalam sel. Dengan demikian, struktur membran sangat
berhubungan dengan plasma membran yang berpengaruh terhadap membran.
Lebih lanjut Corral et al. (1988) menyatakan bahwa komponen bioaktif juga dapat
merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat sintesis
protein dan menghambat kerja enzim intraseluler, dan mekanisme penghambatan
demikian disebut sebagai kemampuan menginaktivasi enzim esensial.
Mekanisme penghambatan yang terkait dengan DNA dan RNA berkaitan
dengan kemampuan komponen aktif menginaktivasi fungsi material genetik.
Senyawa tersebut mengganggu pembentukan asam nukleat (DNA dan RNA)
sehingga mengganggu transfer informasi genetik dengan menghambat aktivitas
enzim RNA polimerase dan DNA polimerase. Mekanisme selanjutnya
menginaktivasi atau merusak materi genetik sehingga mengganggu proses
pembelahan sel untuk perkembangbiakan (Kim et al. 1995).
Adanya aktivitas inhibitor topoisomerase I dari keseluruhan ekstrak
memberikan petunjuk bahwa ekstrak-ekstrak tersebut memiliki senyawa kimia
spesifik yang diharapkan dapat bekerja sebagai antikanker. Dengan demikian,
untuk menemukan jenis senyawa kimia tersebut maka perlu dilakukan
karakterisasi dan identifikasi terhadap ekstrak tersebut.
Walapun penelitian ini tidak dispesifikasikan terhadap jenis kanker,
berdasarkan pengalaman empiris kerang mas ngur (Atactodea striata) telah
digunakan secara tradisional sebagai obat penyakit hati. Apabila penyakit hati ini
berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka dapat menyebabkan sirosis hati,
yang menjadi salah satu pemicu kanker hati primer (hepatoma) (Wijayakusuma
2004). Selanjutnya Mansjoer (2002) menyatakan bahwa sirosis hati merupakan
penyakit dengan peradangan difusi dan menahun pada hati yang diikuti dengan
proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati sehingga timbul
kekacauan dalam susunan parenkim hati. Berasarkan hasil penelitian dan analisis
53
diduga senyawa bioaktif kerang mas ngur (Atactodea striata) mempunyai
kemampuan sebagai antikanker dengan aktivitas sebagai inhibisi pada kanker hati.
4.5
Konsentrasi Minimum Penghambatan (MIC) Topoisomerase I
Untuk menentukan nilai konsentrasi minimum penghambatan (MIC) maka
hasil uji inhibitor topoisomerase di atas dilanjutkan dengan pengujian pada
konsentrasi 1,25 µg/ml, 2,5 µg/ml, 5 µg/ml, 12,5 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml, 100
µg/ml, dimana ekstrak yang digunakan dalam pengujian adalah ekstrak metanol.
Nilai MIC merupakan dosis atau konsentrasi terkecil dari bahan aktif yang
memiliki aktivitas penghambatan kerja enzim topoisomorase I. Hasil pengujian
MIC dari inhibitor topoisomerase I pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada
Gambar 11 dan rekapitulasi hasilnya tertera pada Tabel 6.
Walaupun ketiga ekstrak memiliki aktifitas inhibitor topoisomerase I namun
ekstrak metanol digunakan dalam penentuan konsentrasi minimum penghambatan
(MIC) karena memiliki rendemen terbesar. Pada Tabel 6 terlihat bahwa dari ke
tujuh konsentrasi yang dicobakan ternyata pada konsentrasi 1,25 µg/ml dan
2,5 µg/ml tidak menunjukkan aktivitas inhibitor topoisomerase I.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Keterangan : 1. Topo I + DNA, 2. Marker DNA Supercoil, 3. Topo I+ DNA +
Pelarut, 4. Marker DNA Linear/OpenCircular, 5. Topo I + DNA+
Camptothecin, 6. ekstrak 100 µg/ml, 7. 50 µg/ml, 8. 25 µg/ml, 9. 12,5 µg/ml,
10. 5 µg/ml, 11. 1,25 µg/ml, 12. 2,5 µg/ml.
Gambar 11 Hasil elektroforesis uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak
metanol dengan berbagai konsentrasi
Tabel 6 Hasil uji inhibitor topoisomerase I dari ekstrak metanol
pada berbagai konsentrasi
Konsentrasi µg/ml
Ekstrak
Metanol
1,25
2,5
5
12,5
25
50
100
-
-
+
+
+
+
+
54
Berdasarkan Gambar 11 dan Tabel 6 diatas maka nilai konsentrasi minimum
penghambatan (MIC) topoisomerase I ektrak metanol dari kerang mas ngur
(Atactodea striata) sebesar 5 µg/ml. Nilai MIC ini jika dibandingkan dengan
kontrol positif camptothecin yang memiliki konsentrasi 34,84 µg/ml (100 µM)
maka ektrak metanol memiliki tingkat aktifitas sebagai inhibitor topoisomerase I
sangat baik. Zahir (1996) menyatakan bahwa suatu senyawa bahan alam dikatakan
efektif sebagai inhibitor enzim topoisomerase bila memiliki nilai MIC kurang dari
10 µg/ml.
4.6
Golongan Senyawa Kimia Ekstrak Aktif Atactodea striata
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kelompok senyawa yang terdapat pada
ekstrak aktif inhbitor topoisomerase I. Hasil uji kandungan senyawa kimia dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil karakterisasi ekstrak aktif Atactodea striata
Jenis
ekstrak
Bradford*)
Heksana
+++
++
-
-
+
+
-
+
Etil Asetat
*)
Jenis Pengujian
Ninhidrin*)
Molish
Kesimpulan
L. Burchard*)
Metanol
++
+++
Jumlah tanda (+) menunjukkan intensitas warna
-
Mengandung protein dan
asam amino bebas
Mengandung protein,
asam amino bebas dan
steroid
Mengandung protein dan
asam amino bebas
Tabel 7 menunjukkan bahwa secara kualitatif ekstrak heksana mempunyai
kandungan protein lebih besar dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan
metanol sedangkan asam amino bebas lebih banyak terdapat pada ekstrak metanol
dibandingkan dengan ekstrak heksana dan etil asetat. Hal ini berarti bahwa protein
yang terdapat pada ekstrak metanol lebih mudah terurai menjadi asam-asam
amino bebas. Selanjutnya, steroid hanya terdapat pada ekstrak etil asetat yang
berarti bahwa Atactodea striata mengandung steroid yang lebih besifat semi polar.
Sedangkan
karbohidrat
yang
dikandung
Atactodea
striata
tergolong
heteropolisakarida yang tidak dapat dipecahkan oleh asam sulfat pekat sehingga
tidak terbentuk gugus furfural yang dapat bereaksi dengan sulfonat alfa-naftol
membetuk senyawa berwarna ungu. Adapun indikasi warna yang terbentuk dari
hasil uji ini dapat dilihat pada Lampiran 5.
55
Menurut Poedjiadi dan Supriyanti (2006), reaksi dehidrasi atau pelepasan
molekul air dari suatu senyawa (monosakarida) dengan asam sulfat pekat akan
membentuk gugus furfural atau derivatnya (uji Molish). Reaksi ini tidak spesifik
untuk karbohidrat karena gugus furfural, aldehida atau keton bebas dalam molekul
karbohidrat memiliki sifat mereduksi, dan sifat reduktor ini digunakan untuk
keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif, sedangkan
polisakarida tidak memiliki sifat mereduksi terutama polisakarida yang
mengandung senyawa lain (heteropolisakarida). Lebih lanjut Hutagalung (2004)
menyatakan bahwa karbohidrat yang berasal dari kerang-kerangan khususnya
tiram adalah dalam bentuk glikogen dengan persentase antara 20-25 %.
Asam-asam amino yang terdapat pada kerang mas ngur (Atactodea striata)
merupakan senyawa prekusor untuk alkaloid. Menurut Bruneton (1993), asam
amino ornitin, lisin, phenilalanin, tirosin, dan triptofan merupakan senyawa
prekusor untuk alkaloid. Pembentukan sistem heterosiklik alkaloid pada
umumnya melalui mekanisme inter atau intramolekuler sederhana. Sebagai
contoh, biosintesis alkaloid benzilisokuinolin terbentuk dari 2 molekul tirosin
yang akan membentuk dopain. Kemudian dopain akan mengalami kondensasi
dengan 4-hidroksifenilasetaldehid membentuk (S)-norkoklaurin (dikatalisis oleh
enzim sintesa) yang akan mengalami O-metilasi pada C6 menghasilkan (S)koklaurin yang seperti retikulin merupakan suatu benzilisokuinolin. Hidroksilasi
pada C3 diikuti metilasi (S)-retikulin.
Hasil pengujian kualitatif untuk mengetahui adanya alkaloid, flavonoid,
steroid dan saponin pada kerang mas ngur (Atactodea striata) disajikan pada
Tabel 8.
Tabel 8 Hasil uji kualitatif ekstrak aktif Atactodea striata
Uji
Pereaksi
Alkaloid
Dragendorf (+ : terbentuk endapan merah)
Meyer (+ : terbentuk endapan putih)
Wagner (+ : terbentuk endapan coklat)
H2SO4 (+ : terbentuk warna merah)
Lieberman Burchard
+ : terbentuk warna hijau
Pengocokan
+ : dalam 10 menit setelah pengocokan
buih tidak hilang
Flavonoid
Steroid
Saponin
Hasil dari ekstrak
Heksana E. asetat Metanol
+
+
+
+
-
+
-
+
-
+
56
Tabel 8 menunjukkan bahwa senyawa alkaloid terdapat pada ekstrak
metanol, steroid pada ekstrak etil asetat, saponin pada ekstrak heksana dan
metanol. Hasil ini menjadi rujukkan untuk isolasi senyawa bioaktif tersebut.
Adapun indikasi warna yang terbentuk dari hasil uji ini dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Keberadaan senyawa aktif pada kerang Atactodea striata sangat tergantung
pada lokasi, musim yang berbeda, dan jenis makanannya. Sebagai contoh pada
moluska Mytilus edulis yang diambil dari tiga lokasi yaitu Belanda, Kanada dan
Jepang mempunyai kadar kolesterol yang berbeda beda (Makkasau 2001).
Demikian juga hasil uji Tabel 8 berbeda dengan hasil penelitian Feri (2003) yang
melaporkan bahwa ekstrak metanol dan kloroform Atactodea striata positif
mengandung alkaloid, saponin, steroid, dan terpenoid. Sedangkan ekstrak etil
asetat mengandung alkaloid dan saponin, ekstrak n-heksana mengandung alkaloid
dan steroid.
4.7
Isolasi Senyawa Aktif
4.7.1 Isolasi Senyawa Alkaloid
Untuk mendapatkan alkaloid bebas maka dilakukan isolasi berdasarkan
metode yang dikembangkan oleh Sugita et al. (2006). Ekstraksi alkaloid bebas
yang dilakukan terhadap 1,5 gr ekstrak bersih metanol diperoleh rendemen
sebesar 0,0738 gr atau 4,92 %. Ekstrak yang diperoleh berbentuk pasta dan
berwarna coklat tua.
Pemeriksaan senyawa alkaloid yang merupakan senyawa bioaktif dari
Atactodea striata dilakukan dengan menggunakan ekstrak metanol berdasarkan
metode Harborn (1987), yang mana hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil uji kualitatif isolat senyawa alkaloid Atactodea striata
Uji
Alkaloid
Pereaksi
Hasil dari ekstrak metanol
Dragendorf
+ : terbentuk endapan merah jingga
Meyer
+ : terbentuk endapan putih
Wagner
+ : terbentuk endapan coklat
Ket : + = secara kualitatif menunjukan indikasi warna yang sesuai
+
+
+
57
Hasil isolasi senyawa alkaloid (Tabel 9) menunjukkan bahwa ekstrak
metanol Atactodea striata mengandung senyawa alkaloid yang teridentifikasi
pada pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner. Alkaloid sebagian besar memiliki
daya aktif farmakologi dan aktivitas fisiologi. Menurut Solomon (1980), manfaat
alkaloid dalam bidang kesehatan adalah sebagai pemacu sistem saraf, menaikkan
tekanan darah, mengurangi rasa sakit dan melawan infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Adapun indikasi warna yang terbentuk dari hasil uji ini dapat
dilihat pada Lampiran 7.
Menurut Sukardiman et al. (2002) senyawa bahan alam yang memiliki
aktivitas antikanker dan memiliki target molekul enzim DNA topoisomerase
termasuk senyawa golongan alkaloid, glikosida dan flavonoid. Selanjutnya
Sutaryadi (1991) menyatakan bahwa alkaloid yang bersifat sebagai antitumor,
antara lain alkaloid pirosilisin, isokinolin, benzofenantridin, indol, sefalotaksus,
dan camptothecin. Menurut Bernik dan Jimeno (2001) senyawa alami dari laut
yang telah diuji kemampuannya dalam menghambat sel kanker baik secara in
vitro maupun in vivo dan menunjukkan hasil yang baik, antara lain Ectinascidins743 dari tunicate (Tetrahydroisoquinoline) yang termasuk golongan alkaloid.
Senyawa ini mempunyai mekanisme kerja dengan melakukan alkilasi pada residu
guanin dalam DNA dan juga berinteraksi dengan inti protein.
Isolat alkaloid yang diperoleh berbentuk pasta dan berwarna coklat tua
mengindikasikan bahwa senyawa alkaloid pada kerang mas ngur (Atactodea
striata) memiliki atom O sehingga berbentuk kristal padat (Harborne 1987) dan
senyawanya adalah senyawa kompleks yang me ngandung gugus aromatis
sehingga memberikan warna (Robinson 1995).
Berdasarkan uraian referensi tersebut diatas maka diduga bahwa zat yang
berpotensi sebagai inhibitor topoisomerase I berasal dari golongan alkaloid. Untuk
itu perlu dilakukan pengujian lanjut terhadap senyawa alkaloid yang diperoleh
sebagai inhibitor topoisomerase I.
4.7.2 Isolasi Senyawa Steroid
Untuk mendapatkan senyawa steroid bebas maka dilakukan isolasi terhadap
ekstrak metanol dan ekstrak etil asetat. Metode isolasi steroid ini mengacu pada
Bahti et al. (1983) dalam Heryani (2002).
58
Hasil uji isolat senyawa steroid dari Atactodea striata terlihat pada Tabel 10.
Warna yang terbentuk sebagai indikasi adanya steroid dapat di lihat pada
Lampiran 8.
Tabel 10 Hasil uji kualitatif isolat senyawa steroid Atactodea striata
Uji
Steroid
Pereaksi
Lieberman-Burchard
+ : terbentuk warna hijau
Hasil isolasi dari ekstrak
Etil Asetat
Metanol
+
+
Uji isolat senyawa steroid (Tabel 9) menunjukkan bahwa ekstrak metanol
dan etil asetat memiliki isolat yang mengandung senyawa steroid bebas yang
diindikasikan dengan terbentuknya warna hijau pada saat isolat ditambahkan
pelarut Lieberman-Burchard. Menurut Sukardiman et al. (2004) hasil skrining
golongan senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak metanol pada
Marchantia cf. planiloba Steph. adalah senyawa golongan steroid dan glikosida
steroid. de Padua et al. (1999) melaporkan bahwa senyawa saponin merupakan
larutan berbuih dan diklasifikasikan oleh struktur aglikan ke dalam triterpenoid
dan steroid saponin. Kedua senyawa tersebut mempunyai efek antiinflamasi,
analgesik, dan sitotoksik. Saponin juga telah diketahui memiliki aktivitas dalam
memacu apoptosis, tetapi belum diketahui letak titik tangkapnya (Hoffmann et al.
2001).
Hasil uji kualitatif pada Tabel 10 menunjukkan bahwa warna hijau yang
terbentuk memberikan indikasi kuat bahwa steroid yang terdapat pada kerang
Atactodea striata adalah kolesterol yang merupakan salah satu golongan steroid.
Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi dan Supriyanti (2006) bahwa apabila
kolesterol dilarutkan dalam kloroform dan larutan ini dituangkan di atas larutan
asam sulfat pekat dengan hati-hati, maka bagian asam berwarna kekuningan
dengan fluoresensi hijau bila dikenai cahaya. Bagian kloroform akan berwarna
biru dan yang berubah menjadi merah dan ungu. Larutan kolesterol dalam
kloroform bila ditambah anhidrida asam asetat dan asam sulfat pekat, maka
larutan tersebut mula-mula akan berwarna merah, kemudian biru dan hijau (ini
disebut reaksi Lieberman Burchard). Warna hijau yang terjadi ini ternyata
sebanding dengan konsentrasi kolesterol. Karena reaksi Lieberman Burchard
dapat digunakan untuk menentukan kolesterol secara kualitatif. Namun menurut
59
Dence (1980) tes ini tidak spesifik untuk kolesterol saja, sterol lain seperti
stigmasterol dan ergosterol juga akan memberikan respons positif.
Kolesterol terdapat pada hampir semua sel hewan dan manusia. Pada
manusia kolesterol terdapat dalam darah, empedu, kelenjar adrenal bagian luar
dan jaringan syaraf. Hasil isolasi memberikan indikasi kuat adanya kolesterol
karena kristalnya tidak berwarna dan tidak berbau sebagaimana yang
dikemukakan oleh Poedjiadi dan Supriyanti (2006) bahwa apabila kolesterol
terdapat dalam konsentrasi tinggi maka akan mengkristal dalam bentuk kristal
yang tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau.
Kanazawa (2001) menyatakan bahwa gastropoda dan cephalopoda
mengandung senyawa kolesterol dengan sejumlah kecil sterol C29 dan C 28.
Selanjutnya dijelaskan bahwa gastropoda laut mempunyai kemampuan untuk
dealkilasi beberapa fitosterol menjadi kolesterol. Hal ini dimungkinkan karena
gastropoda umumnya tidak membutuhkan sumber makanan dari kolesterol untuk
pertumbuhan. Riccio et al. (1993) menyatakan bahwa hubungan simbiosis antara
organisme juga mempengaruhi komposisi sterol.
Selain kolesterol, kemungkinan steroid lain yang terkandung dalam kerang
Atactodea striata adalah Vitamin D3 (cholecalciferol) yaitu turunan dari 7
dehidrokolesterol, yang berperan dalam penyerapan dan penggunaan kalsium dan
fosfat untuk pembentukan tulang dan gigi. Fukosterol merupakan steroid yang
diisolasi dari sumber daya hayati laut dan bersifat non toksik serta mempunyai
khasiat menurunkan kolesterol dalam darah dan mendorong aktivitas antidiabetes
(Bhakuni dan Rawat 2005). Kemungkinan lain terdapat steroid bebas polar seperti
5α-cholestane-hexaol (Gambar 12) seperti yang dijumpai pada binatang laut
Henricia leviuscula dari perairan Timur Jauh. Selain itu kemungkinan lain adalah
squalamine yang merupakan salah satu steroid hasil kondensasi dari cholestane 24
sulfat dengan spermidin, squalamine ditemukan pada perut ikan hiu dan
merupakan antibiotik berspektrum luas, dimana squalamine mampu menghambat
angiogenesis dan proliferasi sel endothelial (Moore et al. 1993).
Lebih 70 sterol sulfat telah ditemukan pada hewan laut invertebrata.
Senyawa ini mempunyai satu sampai tiga gugus sulfat yang berhubungan dengan
inti tetracycle atau rantai samping cabang dan bersifat sebagai anti bakteri dan
60
antivirus (Riccio et al. 1993). Senyawa annasterol (Gambar 13) merupakan sterol
monosulfat yang diisolasi dari spong Poecillastra laminaris di perairan Philipina
dan berpotensi sebagai antibakteri terhadap Bacillus vulgaris (de Riccardis et al.
1992).
Gambar 12 Struktur 5α - cholestane-hexaol
Kawashima et al. (2007) melaporkan komposisi sterol dari bivalvia
Megangulus zyonoensis dari perairan pantai Hokkaido Jepang terdiri atas :
24-norcholestadienal,
cis-22-dehydrocholesterol,
trans-22-dehydrocholesterol,
cholesterol, cholestanol, brassicasterol, 24-methylencholesterol, campesterol,
campestanol, stigmasterol, sitosterol, sitostanol, isofucosterol.
Gambar 13 Struktur annasterol
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
(1)
Kerang mas ngur (Atactodea striata) memiliki kandungan protein sebesar
56,08 %.
(2)
Ekstrak heksana, etil asetat dan metanol memiliki aktifitas inhibitor
topoisomerase I. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari ekstrak
metanol sebesar 5 µg/ml.
(3)
Ekstrak metanol mengandung senyawa alkaloid. Sedangkan senyawa steroid
terdapat pada isolat etil asetat dan metanol.
(4)
Kerang mas ngur (Atactodea striata) berpotensi sebagai antikanker.
5.2
Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dan kesimpulan diatas maka beberapa
saran yang dapat disampaikan sebagai berikut :
(1)
Perlu dilakukan pengujian toksisitas sebelum digunakan sebagai obat atau
nutraceutical.
(2)
Perlu dilakukan purifikasi bahan inhibitor topoisomerase I untuk penentuan
struktur kimia.
(3)
Perlu dilakukan pengujian antikanker terhadap sel lestari tumor secara in
vitro dan in vivo terhadap hewan uji.
DAFTAR PUSTAKA
Abdellatif Z. 1996. DNA topoisomerase I inhibitors : Cytotoxic flavones from
Lethedon tannensis,J. Natural Product. p.59
Almatsier S. 2002. Pelayanan gizi rumah sakit dan perkembangan ilmu serta
teknologi. Gizi Indonesia 17:97-104.
Ammon SJF, Osheroff N. 1995. Topoisomerase poisons: harnessing the dark
side of enzyme mechanism. J Biol Chem. 270(37) : 21429-21432.
Andreas C, Mehta R, Runyan C, Rao K, Vaughan A, Moo R. 1995. Flavonoids
as DNA topoisomerase antagonist and poison: structure activity relationship.
J. Nat. Product 58: 217-225.
[AOAC] Association of the Official Analytical Chemist. 1995. Official methods
of analysis of the association of official analytical chemist. (Horowitz, E.,
eds), 14th ed. Association Official of Analytical Chemist. Washington DC. P
8-50.
Astawa M. 2007. Mengapa kita perlu makan daging. Artikel. Kompas Cyber
Media. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Astawan M. 2003. Pangan fungsional untuk kesehatan yang optimal. Kompas
Sabtu 23 Maret 2003. hal.16.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2001. Kajian proses standarisasi produk
pangan fungsional di badan Pengawas Obat dan makanan. Lokakarya Kajian
Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan
Makanan, Jakarta.
Bahti HH, Tjokronegoro R, Dimyati YA. 1983. Isolasi dan identifikasi senyawasenyawa steroid dan senyawa-senyawa yang bertalian dengannya serta
senyawa-senyawa alkaloid dari daun kamboja (Plumiera acutifolia, Poir).
Laporan Penelitian. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 65.
Benckendorff K. 2001. Antimicrobial compounds from marine mollusks.
Abstracts, World Congress of Malacology, Vienna, Austria L. SalviniPlawen, J. Voltzow, H. Sattmann & G. Steiner, eds.; Unitas Malacologica,
Invited Lecture; Symposium: Molluscan Chemosymbiosis. Institute for
Conservation Biology and Biomolecular Research Institute, University of
Wollongong, Australia. p. 27.
Bernik BRG, Jimeno J. 2001. Depsipeptid (NSC 630176). J. Angiogenesis 26: 2633.
Beutler JA, Kashman Y, Cardellina JH, Alexander MRA, Balaschak MS, Prather
TR, Shoemaker RH, Boyd MR. 1997. Isolation and characterization of novel
cytotoxic saponin from Archidendrom ellipticum. Bioorganic & Medicinal
Chemistry. 5:1509-1517.
Bhakuni DS, Rawat DS. 2005. Bioaktive Marine Natural Product. New Delhi:
Anamaya Publisher. http://bugs.corp.adobe.com. 7.
63
Bintang M. 1999. Penuntun Praktikum Antibiotik. Bogor: FMIPA, Institut
Pertanian Bogor. 27.
Bird AR. 1999. Prebiotics: A role for dietary fibre and resistant starch. Asia
Pacific J Clin Nutr.: 8(Suppl.): S32-S36.
Bruneton J. 1993. Pharmacognosy, phytochemistry, medicinal Plants. Lavoisier
Publishing. Paris. 374.
Cat B. 2006. Amino acid protein suplemen : Dietary Amino Acids Benefits. Dalam
[email protected].
Corral LG, Post LS, Montville TJ. 1988. Antimicrobial activity of sodium
bicarbonate. J. Food Sci. 53.
Carroli C, Arata D, Dena CC. 2006. Effect of threonine deficiency on changes in
enzyme activity and liver fat deposition with time. JN the Journal of
Nutrition. Department of Foods and Nutrition, College of Home Economics,
Michigan State University, East Lansing. p 502-506.
Cumming J, Smith JF. 1991. DNA topoismerase I and II as target of rational
design of new anticancer drugs. Ann oncology, Aug, 3 (7), 533-234.
de Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmens RHMS. 1999. Plant Resources of
Southeast Asia No 12(1). Medical and Poisonous Plants 1. Printed in Bogor
Indonesia (PROSEA). Leiden, the Netherlands: Backhuys: 36-48.
de Riccardis F, Iorizzi M, Minale L, Riccio R. 1992. The first occurrence of
polyhydroxylated steroids with phosphate conjugation from the starfish
tremaster novaecaledoniae. Tetrahedron Lett. 33: 1097-1100.
Dekker H, Orlin Z. 2000. Terms and conditions for use of online biodiversity
databases. The Academy of Natural Sciences of Philadelphia. p.12
Dence JB. 1980. Steroids and Peptides. New York: John Wiley & Sons. p.7
Dewick PM. 2001. Medicinal Natural Products A Biosynthetic Approach. 2nd
edition. New York: John Wiley & Sons. 365.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara (2004). Laporan
Statistik Perikanan Maluku Tenggara Tahun 2003. 83.
Edwards R, Dixon DP, Walbot V. 2000. Plant glutathione S-transferases: enzymes
with multiple functions in sickness and in health. 5 (5):193-8.
Effendi YH. 2002. Pengantar gizi kesehatan. Diktat. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. 54.
Facompre M, Tardy C, Bal-Mahieu C, Colson P, Perez C, Manzanares I, Cuevas
C, Bailly C. 2003. Lamellarin D : A novel potent inhibitor of topoisomerase
I. Cancer Res. 63: 7392-7399.
Feri IA. 2003. Uji aktivitas ekstrak Tude Bombang (Atactodea striata) terhadap
beberapa bakteri patogen. Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar. 29:145.
64
Hamman MT, Otto CS, Scheuer PJ, Dunbar DC. 1996. Kahalalides : bioactive
peptides from marine mollusk Elysia rufescens and its algal diet Bryopsis sp.
J. Org. Chem., 61 : 6594.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Padmawinata K, penerjemah. Edisi Kedua. Bandung: Institut
Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Haris RS, Karmas E. 1989. Evaluasi gizi pada pengolahan bahan pangan.
Terjemahan Achmadi S, Niksolihin S. Penerbit ITB Bandung. p.621-655.
Harli M. 2003. Kerang dan udang aman bagi pembuluh darah. MMA-IPB.
[email protected]. p.1
Heryani H. 2002. Kajian fraksi aktif dan formulasi Tabat Barito (Ficus deltoidea
Jack) sebagai anti mikroorganisme klinis. Disertasi. IPB. Bogor. 185.
Hoffmann JJ, Mujoo K, Haridas V, Wachler. 2001. Triterpenoid Saponins from
Acacia victoriae (Bentham) decrease tumor cell proliferation and induce
apoptosis. Cancer Res. 61:5486-5490.
Hostettmann K, Wolfender JL, Rodrigue. 1997. Rapid detection and subsequent
isolation of bioactive constituens of crude plant extract.
J. Planta Med. 6: 2-10.
Houghton PJ, Rahman A. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of
Natural Extract. Chapmal and Hall. Tokyo. 54 (11).
Hsiang YH. 1989. Arrest of replication fork by drug-stabilized topoisomerase I
DNA cleavable complexes as a mechanism of cell killing by campthothecin.
J Cancer Research 49: 5077-5082.
Hutagalung H. 2004. Karbohidrat. Makalah. Bagian ilmu gizi, Fakultas
Kedokteran USU. Medan. p.1-13.
Ireland CM, Roll DM, Molinski TF, Mckee TC, Zabriskie TM, Swersy JC. 1988.
Uniquenness of the marine chemical environment: categories of marine
natural products from invertebrates. In : Biomedical Importance of Marine
Organisms (Memoirs of California Academy of Sciences Number 13),
Fautin, D. G., Ed., California Academy of Sciences, San Francisco, CA. p.
41.
Johnson DB. 2000. Nutrition in infancy: Physiology, Development, and
Nutritional Recommendations. In: Roberts, BSW and Williams, SR (eds).
Nutrition Throughout The Life Cycle. Fourth edition. McGrawHill. Sydney.
p. 193-210.
Joseph MC. 1989. Protein-linked DNA strand breaks induced in mammalian cells
by camptothecan inhibitor of topoisomerase I. J Cancer Research. 52: 525532.
Kanazawa A. 2001. Sterols in marine invertebrates. Review article. Fisheries Sci.
67: 997-1007.
Kawashima H, Ohnisi M, Negishi Y, Amano M, Kinoshita M. 2007. Sterol
composition in muscle and viscera of the marine bivalve Megangulus
65
zynonensis from coastal waters oh Hokkaido, Nortehern Japan. J. Oleo Sci.
56 (5): 231-235.
Ketaren S. 1987. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press. 315.
Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Terjemahan Saptohardjo A.
Jakarta: Universitas Indonesia Pres. 291.
Kim JM, Marshall MR, Wei CI. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral
and geraniols against Salmonella typhimurium in culture medium and fish
cube. J. Food Sci. 60(6).
Kritchevsky D. 1999. Dietary fibre in health and disease: An overview. Asia
Pasific J Clin Nutr. 8(Suppl.): S1-S2.
Lehninger L.albert. 1993. Principles of biochemistry. Terjemahan Thenawijaya
M. 1993. Dasar-dasar biokimia. Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta. 137-165.
Linder CM. 2006. Biokimia nutrisi dan metabolisme dengan pemakaian secara
klinis. Penerbit UI-Press. 27-118;555-712.
Makkasau A. 2001. Isolasi dan identifikasi asam lemak utama dalam Kepah
Atactodea striata. Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar. 14,16:1-73.
Mansjoer A. 2002. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Ed ke-3. Jakarta: Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. 232.
Matsuura K, Sumadiharga OK, Tsukamoto K. 2000. Field guide to Lombok
Island : identification guide to marine organisms in seagrass beds of
Lombok Island, Indonesia. Tokyo : Ocean Research Institut, University of
Tokyo. p.10-12.
Moehyi S. 1997. Pengaturan Makanan dan Diet untuk Penyembuhan Penyakit.
Gramedia. Jakarta. p.52
Moka W. 1982. Identifikasi dan inventarisasi jenis kerang laut yang digunakan
sebagai obat tradisional di Sulawesi Selatan. Unhas. Makassar. 97.
Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1993. Biochemistry : A
Case-Oriented Approach. Terjemahan Ismadi M. Penerbit Gajah Mada
University Press. Yogyakarta. 686.
Moore KS, Wehrli S, Roder H, Rogers M, Forrest J, Mccrimmon D, Zasloff M.
1993. Squalamine: An aminosterol antibiotic from the shark. Proc. Natl.
Acad. Sci. 90: 1354-1358.
Morgan MY, Heaton KW. 2000. Nutrition, the liver, and gallstones. Di
dalam:Garrow JS, James WPT, Ralph A, editor. Human Nutrition and
Dietetics. London: Churchill Livingstone. hal 575-600.
Muchtadi TR. 1992. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi bahan pangan.
Makalah di sajikan dalam Kongres Nasional Persagi IX dan kursus
penyegaran ilmu gizi. Semarang. 17-29 November. p.25-34.
Muchtadi D, Palupi NS, Asrawan M. 1993. Metabolisme zat gizi I, sumber, fungsi
dan kebutuhan bagi tubuh manusia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 196.
66
Muir JG. 1999. Location of colonic fermentation events: Importance of combining
resistant starch with dietary fibre. Asia Pacific J Clin Nutr: : 8(Suppl.): S14S21
Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak
bertulang belakang. Oseana, Volume XXX, Nomor 2. Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI, Jakarta. Hal 19:19-27.
Nararto. 1996. Uji praskrining isolat flavonoid dari herba benalu mangga
(Dendropthoe petandra). Skripsi. Farmasi Unair. 83.
Nasoetion A, Riyadi H, Mudjajanto ES. 1994. Dasar-dasar ilmu gizi. Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta. 245.
Nelson JK, Moxness KE, Jensen MD, Gastineau CF. 1994. Mayo clinic diet
manual : A Handbook of Nutrition Practices. Ed ke-7. philadelphia : Mosby.
p.67
Nishina AK, Kinaichi H, Uchibori T, Seine H, Osawa T. 1991. 2,6-Dimethoxy-pbenzoquinone as an antimicrobial substance in the bark of Phyllostachys
heterocycla Var. Pubscens a species of thick-stemmed bamboo. J. Agric.
Food Chem. 39.
Padley FB, Podmore J. 1985. Fatty Acids. The role of fats in Human Nutritoin.
Ellis Horwood. Chichester (England). p.183-209.
Paul VJ. 1992. Chemical defenses of benthic marine invertebrate. In : Ecological
roles of marine natural products (Paul, V.J. Ed.) Comstock Press, Ithaca,
NY, p. 51.
Poedjiadi A, Supriyanti FMT. 2006. Dasar-dasar biokimia. Edisi revisi.
Universitas Indonesia Press. Jakarta. 8-125;247-343;389.
Pommier Y. 1993. DNA toposimerase I and II in cancer chemotherapy : update
and prospective, Cancer chemotherpy pharmacology, 32 (2). 103-108.
Primadhani. 2006. Konsumsi energi dan protein pada penderita penyakit hati
rawat inap di Perjan RS DR. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Skripsi.
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 83.
Rao AV. 1996. Anticacinogenic properties of palnt saponin. Second International
Symposium on Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease.
Brussels. Belgium. p.348-355.
Riccio R, Auria MVD, Minale L. 1993. Polyoxygenated Steroids of Marine
Origin. Chem. Rev. 93: 1839-1895.
Robinson T. 1995. Kandungan Kimia Organik Tumbuhan Tinggi. Padmawinata
K, penerjemah. Edisi Keenam. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plants. 367.
Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis bahan alam. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta. p.201-219.
67
Silalahi J. 1994. Changes in amines during salting and drying of fish. Media
Farmasi. 2(1): 33-39
Silalahi J. 1997. Extraction of amines from marine fish. Media Farmasi. 5(2):
100-108.
Silalahi J. 2000a. Fats, olis and fat substitutes in human nutrition. Indonesian
Food and Nutrition progress. 7(2): 56-66.
Silalahi J. 2000b. Hypocholesterolemic Factors in Foods: A Review. Indonesian
Food and Nutrition Progress. 7(1): 26-35.
Silalahi J. 2002. Anticancer and health protective properties of citrus fruit
components. Asia Pasific J Clin Nutr. 11(1): (In press).
Simopoulos AP. 1994. Fatty Acids. In: Goldberg, I(ed). Functional Foods:
Designer Foofs, Pharma foods, Nutraceuticals. Chapman & Hall. New
York. p. 183-201.
Sitompul S. 2004. Analisis asam amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai.
Buletin Teknik Pertanian Vol.9, Nomor 1. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
p.33:37.
Solomon TW. 1980. Organic chemistry. Edisi 2. John wiley and Sons. New
York. 1264.
Sugita P, Darusman LK, Hermawan H. 2006. Penapisan senyawa aktif dari
tanaman anting-anting (Acalypha indica L.) yang berpotensi menurunkan
kadar glukosa darah. Departemen Kimia FMIPA IPB. Bogor. 1-5.
Suharsono. 1970. Biokimia. Penerbit Erlangga, Jakarta. hlm. 33-45.
Sukardiman, Poerwono H, Mubarika S, Sismindari. 2002. Skrining aktivitas
antikanker fraksi n-heksana, etil asetat, n-butanol dari ekstrak metanol
benalu teh (Scurula arthopurpurea) dengan molekul target enzim DNA
topoisomerase. Majalah Farmasi Airlangga 2: 72-75.
Sukardiman, Rahman A, Pratiwi NF. 2004. Uji praskrining aktivitas antikanker
ekstrak eter dan ekstrak metanol Marchantia cf. planiloba Steph. dengan
metode uji kematian larva udang dan profil densitometri ekstrak aktif.
Majalah Farmasi Airlangga. 4(3): 97-100.
Sunarto. 2001. Remis, kerang suku mesodesmatidae, penghuni pasir pantai pulaupulau karang. Warta Puslitbang Oseanologi, Volume XV Nomor 1 Bulan
Januari - Maret. Jakarta. p.8-11.
Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat, Institut Pertanian Bogor. 166.
Sutaryadi. 1991. Dari Jamu Menjadi Obat Tradisional Menuju Ke Fitofarmaka.
Surabaya: Laboratorium Botani Farmasi Farmakologi, Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga. hlm. 26-28.
The International Glutamate Information Service (IGIS) http://www.glutamate.org
Tomomatsu H. 1994. Health effects of oligosaccharides. Food Technology. p.6164.
68
[TopoGEN] TopoGen. 2006. Manual for topoisomerase drug screening kit.
http://www.topogen.com/html [28 Nopember 2006]. 3.
Topping DL. 1999. Physiological effects of dietary carbohydrates in the large
bowel: Is there a need to recognize dietary fibre equivalents? Asia Pacific J
Clin Nutr. 8(Suppl.): S22-S26.
Tortora GJ, Anagnostakos NP. 1992. Principles of anatomy and physiology. Ed
ke-6. New York: Harper & Row. p.53-56
Verawati AS, Hendrawati N, Ningrum EO, Indrayani. 2006. Optimalisasi nilai
guna daging dan cangkang bekicot (achatina spp) sebagai sumber protein
dan kalsium. Peiper Ilmiah. Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. 1-9.
Webb MR, Ebeler SE. 2004. Comparative analysis of topoisomerase IB
inhibition and DNA intercalation by flavonoids and similar compounds:
structural determinates of activity. J. Biochem. 384: 527-541.
Williams SR. 1995. Basic Nutrition and Diet Therapy. Ed ke-10. St. Louise:
Mosby. p.184-188
Wijayakusuma HMH. 2004. Atasi kanker dengan tanaman obat. Penerbit Puspa
Swara. Jakarta. p:1-115
Winarno FG. 1997. Kimia pangan dan gizi. Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 253.
Winarti C, Nurdjanah N. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai sumber
pangan fungsional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian. Jurnal litbang pertanian No. 12. Bogor. 24 (2):47-55.
Witjaksono HT. 2005. Komposisi kimia ekstrak dan minyak dari lintah laut
(Discodoris boholensis). Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. 59.
Yang HL, Zeng QY, Nie LJ, Zhu SG, Zhou XW. 2003. Purification and
characterization of a novel glutathione S-transferase from Atactodea striata.
College of Life Sciences, Peking University, Beijing 100871, PR China. 1;
307(3):626-31.
Zahir A. 1996. DNA topoisomerase I inhibitor : Cytotoxic Flavones from
Lethedon tannaensis. Journal Natural Product, 59, 701 -703.
LAMPIRAN
69
Lampiran 1 Peta dan foto-foto lokasi pengambilan sampel
Lokasi pengambilan
sampel
(1) Peta Kepulauan Kei Maluku Tenggara
(2) Lokasi Pengambilan Sampel
70
Lampiran 2 Bagan alir ekstraksi alkaloid (Sugita et al. 2006)
Ekstrak Metanol
Direndam dengan metanol-air (4:1)
selama 24 jam
Disaring
Filtrat dipekatkan sampai 1/10 volume awal pada suhu 40oC
Diasamkan (pH 3-4) dengan H 2SO4 2 M
Diekstraksi dengan kloroform sebanyak tiga kali
Lapisan kloroform
Diuapkan
Fase kloroform
(alkaloid bebas)
Lapisan air asam
71
Lampiran 3 Bagan alir ekstraksi steroid (Bahti et al. 1983 dalam Heryani 2002)
Sampel diekstraksi MeOH
Dihidrolisis dengan KOH 10% (dalam EtOH)
(di atas penangas air, 100oC, 3 jam)
Di saring (dapat hidrolisat)
Diuapkan dengan rotari evoporator
Hidrolisat kering
Diekstraksi dengan dietil eter (Et2O)
Ekstrak Et2O
Ampas dibuang
Dicuci berturut-turut dengan
(H2O, HCl 2N, H 2O, NaHCO 3 jenuh, NaCl jenuh)
Fase air (pencuci) dibuang
Fase Et2O
Dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat
Ekstrak Et2O
72
Lampiran 4 Hasil analisa asam amino Atactodea striata dengan HPLC
STANDAR ASAM AMINO
D-2500
00/00/00 05:20
METHOD :
FILE: 0
NO.
TAG:
CALC-METHOD: AREA%
RT
AREA
11
CH:
TABLE:
CONC
1
0
BC
CONC: AREA
Nama asam amino
1
1.14
291826
4.241
BV
Asam aspartat
2
1.66
259662
3.773
VV
Asam glutamat
3
2.81
458789
6.667
VB
Serin
5
4.46
303191
4.406
BV
Glisin
6
5.30
420738
6.114
VV
Histidin
7
6.22
396565
5.763
VV
Arginin
8
6.92
371543
5.399
VV
Treonin
9
7.50
440682
6.404
VV
Alanin
10
8.48
414414
6.022
VV
Prolin
11
9.42
416426
6.052
VV
Tirosin
12
10.26
543065
7.891
VV
Valin
13
11.19
371238
5.395
VV
Metionin
14
11.63
385453
5.602
VB
Sistin
15
12.79
282701
4.108
BV
Isoleusin
16
13.75
467231
6.791
VV
Leusin
17
14.94
568627
8.263
VV
Phenilalanin
18
16.59
489076
7.107
VB
Lisin
TOTAL
6881227
100.000
PEAK REJECK :
5000
Ket. : BV = Base line / Valen = tinggi pick; VV = Valen / Valen = lebar pick.
73
ASAM AMINO A. striata
D-2500
METHOD :
FILE: 0
00/00/00 04:36
1
TAG:
CALC-METHOD: AREA%
8
CH:
1
TABLE:
0
CONC: AREA
NO.
RT
AREA
CONC
BC Nama asam amino
1
1.12
167392
9.024
BV
Asam aspartat
2
1.66
244472
13.179
VV
Asam glutamat
4
2.82
68424
3.689
VV
Serin
7
3.82
10815
0.583
VV
8
4.44
105857
5.707
VV
Glisin
10
5.22
42099
2.270
VV
Histidin
12
6.23
24822
1.338
BV
Arginin
13
6.92
135258
7.292
VV
Treonin
14
7.50
140184
7.557
VB
Alanin
16
8.48
65810
3.548
VB
Prolin
17
9.46
87099
4.696
BV
Tirosin
18
10.34
121695
6.561
VV
Valin
19
11.19
46593
2.512
VV
Metionin
20
11.68
30999
1.671
VV
Sistin
21
12.19
8380
0.452
VV
22
12.74
119500
6.442
VV
Isoleusin
24
13.82
164015
8.842
VV
Leusin
26
14.91
95976
5.174
VV
Phenilalanin
27
15.54
6129
0.330
VV
28
15.70
15037
0.811
VV
29
15.98
9957
0.537
VV
30
16.58
130109
7.014
VV
Lisin
32
17.31
14321
0.772
VV
TOTAL
1854943
100.000
PEAK REJECK :
5000
Ket. : BV = Base line / Valen = tinggi pick; VV = Valen / Valen = lebar pick.
74
Contoh perhitungan :
Asam amino (%) =
t.spl
t.std
x konsentras i std x vol akhir cth x BM as.amino x pengencera n x 100
bobot cth
167392
x 2.5 x 3.484 x 131.1 x 10 x 100
Asam Aspartat (%) = 291826
= 6.650
100.000
Keterangan :
t.spl
= Tinggi puncak kromatogram contoh
t.std
= Tinggi puncak kromatogram standar
std
= Standar
cth
= Contoh
BM
= Berat Molekul
75
Lampiran 5 Hasil karakterisasi ekstrak aktif Atactodea striata
He
EA
Me
Ekstrak Aktif Atactodea striata
L. BURCHARD
BRADFORD
He
EA
Me
He
MOLISH
He
EA
Me
EA
NINHIDRIN
Me
He
EA
Me
76
Lampiran 6 Hasil uji senyawa ekstrak aktif Atactodea striata
Wagner
Meyer
Dragendorf
ALKALOID
FLAVONOID & STEROID
SAPONIN
77
Lampiran 7 Hasil uji isolat senyawa alkaloid bebas dari ekstrak metanol
Dragendorf
Wagner
Meyer
Lampiran 8 Hasil uji isolat senyawa steroid bebas dari ekstrak metanol
dan etil asetat
A. Steroid pada ekstrak metanol
B. Steroid pada ekstrak etil asetat
Download