BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur'an adalah wahyu dan sabda Allah SWT yang merupakan
mukjizat Islam yang kekal.1 Belum dan tidak akan pernah ada orang atau
golongan yang mampu "membelakangi" al-Qur'an.2 Kandungannya tidak akan
pernah kering untuk ditimba bagi siapapun yang mengkajinya.
Al-Qur'an merupakan satu maha karya yang bukan hanya sebatas kitab
bagi orang-orang muslim semata, tetapi juga merupakan undang-undang
perikehidupan umat manusia di alam fana ini.3 Al-Qur'an memberikan
petunjuk dalam persoalan-persoalan aqidah, syari‘ah, dan akhlak, dengan
meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut.4
Jelasnya al-Qur'an berfungsi sebagai petunjuk bagi semua perilaku kehidupan
baik di dunia maupun sebagai bekal di akhirat. Karena fungsinya tersebut,
maka mengkaji serta memahami al-Qur'an menjadi persoalan yang sangat
urgen. Dengan demikian pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat diterima
sekaligus dapat dilaksanakan oleh umat Islam. Ia merupakan pedoman jalan
1
Mannâ‘ al-Qaththân, Mabâhits fi‘Ulûm al-Qur'ân (Riyâdh: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, tt.), h.
9
2
Hal ini ditegaskan dalam al Qur'an, misalnya dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 23:
(( ِِّْ ِّْ ‫ِ"ُ! َر ٍة‬# ‫ َِّ ﻥَ ْ َ َ َ(ْ'ِﻥ َ َ&ْﺕُ!ْا‬
ٍ ْ‫)) َوِإنْ آُُْْ ِ َر‬
Dan Surat Yûnus [10] ayat 38:
(( )
ِ ‫نا‬
ِ ْ‫ُْْ ِْ ُدو‬+َ,َْ‫ اﺱ‬
ِ َ ‫ِ"ُ! َر ٍة ِِّْ ِ وَادُْ!ْا‬# ‫ْ َ&ْﺕُ!ْا‬.ُ/ ))
3
Wahbah al-Zuhaily, Al-Qur’ân al-Karîm: Buna-yâtuhu al-Tasyrî‘iyyah wa Khashâ’ishuhu alHadhâriyyah, Dâr al-Fikr, Beirut, 1993, h. 6
4
M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), h. 33
kebahagiaan terbesar di akhirat yang tidak lain merupakan tempat kembalinya
semua
jiwa,
pedoman
jalan
menuju
tatanan
kepemimpinan
dan
kemasyarakatan yang damai dan sejahtera di dunia yang tidak lain tempat
persinggahan perikehidupan sementara, ia dapat memecahkan segala bentuk
persoalan hidup5. Imam al-Syâfi‘i dalam al-Risâlah-nya mengatakan:
٦
َ ;ْ9ِ ‫ اْ;ُ'ى‬.ِ ْ9ِ(َ‫ َ ﺱ‬.ُ ْ9ِ' ‫) ا‬
ِ ‫با‬
ِ َِ‫ َوِ آ‬0 ‫ٌ ِإ‬2َ‫) ﻥَ ِز‬
ِ ‫ا‬
ِ ْ‫ ِد‬.ِ ْ‫َ ٍ' ِْ َأه‬6َ&ِ# ‫ْ ﺕَْ ِ ُل‬8َ"ْ9ََ
"Tidaklah turun sesuatu apapun kepada seseorang dari penganut agama
Allah kecuali terdapat petunjuk dalam kitab Allah untuk menunjukkan (solusi)
dalam masalah tersebut".
Bahkan seorang penjajah berkebangsaan Inggris pada beberapa abad
lalu dalam sebuah forum kenegaraan di Inggris dengan memegang sebuah
mushhaf al- Qur'an ia mengatakan:
"Selama buku ini ada di muka bumi maka kita tidak akan pernah memiliki
jalan untuk menaklukkan umat muslim".7
Al-Qur'an sebagai wahyu Tuhan tentunya tidak mudah untuk dipahami
secara tepat sesuai dengan yang dikehendaki Sang Author-nya (Allah SWT),
oleh sebab itu parta mufasir berusaha untuk menafsirkan al-Qur'an sebagai
tanggung jawab terhadap tatanan sosial umat Islam, sehingga sampai saat ini
ditemukan karya-karya tafsir dengan berbagai metode, dan tentu saja
5
6
7
Labîb al-Sa‘îd, Al-Jam‘u al-Shaut al-Awwal li al-Qur'ân al-Karîm aw al-Mushhaf al-Murattal
(Kairo: Dâr al-Kâtib al ‘Araby, 1967), h. 17
Muhammad ibn Idrîs al-Syafi‘iy, Al-Risâlah (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, tt.), h. 14
Al-Sa‘îd, Op. Cit., h. 22
dipengaruhi oleh latar belakang penulisnya, apakah bidang keilmuannya,
alirannya, atau kondisi masyarakat pada saat karya tafsirnya ditulis.
Kemampuan rasio (al-‘aql) manusia untuk mengetahui dan memahami
sesuatu ilmu adalah terbatas, kadang ditambah pula pemikiran manusia yang
kurang terarah dan keliru. Sebab kadang-kadang timbul kondisi-kondisi
tertentu yang menghalangi mereka untuk bisa berpikir secara benar dan
obyektif.
Al-Qur'an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi
interpretable), dan masing-masing mufasir ketika menafsirkan al-Qur'an
biasanya dipengaruhi juga oleh kondisi sosio-kultural dimana ia tinggal,
ditambah situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya.
Di samping itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufasir untuk
memahami al-Qur'an sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga
meskipun obyek kajiannya tunggal (yaitu teks al-Qur'an), namun hasil
penafsiran al-Qur'an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya,
kemunculan madzhab-madzhab tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah
pemikiran umat Islam.8
8
Kemunculan madzhab-madzhab tafsir secara umum dilatarbelakangi oleh dua faktor, yakni:
Pertama faktor internal (al-‘awâmil al-dâkhiliyyah) yang meliputi: 1) kondisi objek teks
al-Qur'an itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam, 2) kondisi objektif dari
kata-kata (kalimah) dalam al Qur'an yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara
beragam, dan 3) adanya ambiguitas makna dalam al Qur'an, yang disebabkan adanya kata-kata
musytarak atau bermakna ganda.
Kedua faktor eksternal (al-‘awâmil al-Kharijiyyah) yang meliputi: 1) perspektif atau ilmu
yang ditekuni oleh seorang mufasir, 2) adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban
dunia dunia di luar Islam, dan 3) faktor politik dan theologis. Abdul Mustaqim, Madzâhibut
Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), h. 5-6 dan 17
al-Syirbasyî, dengan mengutip pendapat al-Ashfahânî, mengatakan:
"Kendatipun al-Qur'an itu sebenarnya merupakan tuntunan atau
petunjuk bagi segenap umat manusia, tetapi tidaklah keseluruhan manusia
memiliki tingkat pemahaman yang sama. Masing-masing tergantung pada
perbedaan tingkat keahlian dalam bidangnya sendiri-sendiri. Para ahli
bahsa Arab dapat merasakan betapa tingginya mutu bahasa al-Qur'an.
Para ahli fiqih mampu memahami kebenaran segi-segi hukumnya. Ahliahli ilmu kalam mengerti dalil-dalil pembuktian yang rasional dalam alQur'an. Ahli purbakala faham akan kisah-kisah sejarah dalam al-Qur'an
yang tidak diketahui orang lain yang bukan ahli. Sebagaimana kita tahu,
orang semakin banyak memperoleh ilmu pengetahuan yang diperlukan,
semakin luas pula ia menguak makna yang tersirat dalam ilmu yang
ditekuninya."9
Pada masa Nabi Saw penafsiran al-Qur'an disampaikan langsung oleh
beliau kepada para sahabat secara lisan, walaupun memang hanya beberapa
kata atau beberapa ayat yang tidak banyak jumlahnya.10 Kegiatan penafsiran
tersebut kemudian dilanjutkan oleh para Sahabat dan penggantinya (Tabi‘in)
dalam bentuk periwayatan sampai abad ke-10.11
Tidak lama setelah masa tersebut terjadilah perpecahan dalam tubuh
umat Islam yang kemudian tidak bisa disangkal lagi, berdampak besar pada
penafsiran al-Qur'an, terlebih pada masa Daulah Abasiyyah kemunculan dan
perkembangan tafsir bi al-ra'yi mendapat kepercayaan penuh.12
9
Ahmad al-Syirbasy, Sejarah Tafsir al Qur'an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996), h. 43
10
Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm:
Dawâfi‘uhâ wa Daf‘uhâ (Kairo: Dâr al-I‘tishâm, 1978), h. 11, dan Al-Suyûthy, Al-Itqân fi
‘Ulûm al-Qur'ân, (Mesir: Mushthafâ al-Bâby al-Halaby wa Awlâduh, 1951), juz. II, h. 174
11
Yang kemudian dikenal tafsir bi al-ma'tsûr. Rosihon Anwar, Melacak Unsu-unsur Isra'iliyat
Dalam Tafsir Al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.13. dan
Syihab, Op. Cit., h. 71
12
Hal tersebut adalah akibat dari pengaruh keterbukaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
terhadap berbagai kebudayaan asing, termasuk filsafat Yunani, yang memicu kelahiran madzhab
rasional dalam Islam. Ahmad Amin, Fajr al-Islâm (ttp: tp, cet. III), juz II, hal. 187, dan Rosihon,
Op. Cit., h. 14
Melihat fenomena tersebut wajar apabila muncul berbagai corak dan
karakteristik dalam penafsiran al-Qur'an. Dan yang lebih mengkhawatirkan
lagi adalah penafsiran-penafsiran yang didominasi dan dipengaruhi fahamfaham kelompok teologi (sekte). Al-Qur'an adalah sumber hukum dan
pedoman paling atas dalam Islam, gerak-gerik dan segala aktivitas umat Islam
harus bersandar kepadanya. Maka ketika perpecahan merebak dalam tubuh
umat Islam semua kelompok aliran saling mengklaim bahwa kelompok
sekaligus ajaran-ajaran yang disuarakannya bersumber dan tersurat dari alQur'an. Melalui ayat-ayat yang secara fisiknya mendukung ajaran-ajaran dan
faham mereka dan kalaupun bertentangan dan tidak sejalan dengan ayat-ayat
al-Qur'an secara lahirnya mereka pun terpaksa harus "menyeret" ayat-ayat
tersebut kepada pemahaman-pemahaman dan ajaran-ajaran sektenya dengan
jalan mentakwil ayat-ayat tersebut.13
Diantara berbagai karya tafsir popular adalah Lubâb al-Ta'wil Fî
Ma'ani at-Tanzîl atau dikenal dengan Tafsir Khâzin. Ditulis sekitar abad
delapan Hijriah. Banyak yang beranggapan bahwa Tafsir Khâzin masuk pada
kategori tafsir bi al-ma'tsur, mengingat tafsir ini merupakan ikhtishar dari
Tafsir Baghawi yang termasuk dalam kategori tafsir bi al-ma'tsur. Sementara
para ulama terdahulu seperti ad-Dzahabi, Subhi Shalih dan Ma'ni Qathan
mengkategorikan tafsir ini ke dalam tafsir bi al-Ra'yi.
Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl sebagai karya monumental
Khâzin mendapat banyak kritikan atas beberapa hal, misalnya cerita-cerita
13
Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),
juz I, h. 258
isra'iliyat yang berserakan dalam tafsirnya. Sejumlah kritikan pada beberapa
aspek tertentu dalam tafsir Khâzin merupakan persoalan yang menarik untuk
dilakukan kajian secara serius.
Penelitian ini mencoba mengkaji satu aspek dari berbagai aspek yang
menjadi sorotan para pengkaji Khâzin. Aspek yang akan diteliti yaitu aspek
ra'yu yang dituangkan melalui judul: "ANALISIS RA'YU TAFSIR LUBÂB
AL-TA'WIL FÎ MA'ANI AL-TANZÎL".
B. Perumusan Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan
masalah: "Bagaimana aspek ra'yu tafsir Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl"?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dari penulisan ini adalah untuk mengetahui aspek
ra'yu tafsir Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzl.
D. Kerangka Pemikiran
Al-Qur'an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw
sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di manapun, memiliki
berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, dari segi
susunan bahasanya yang unik dan mempesona, dan pada saat yang sama
mengandung makna-makna yang dapat dipahami bahasanya walaupun
tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai
faktor.
Redaksi ayat-ayat al-Qur'an, sebagaimana setiap redaksi yang
diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali
oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal al-Qur'an, para Sahabat Nabi Saw sekalipun,
yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya
serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakata, tidak jarang
berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang
maksud firman-firman Allah SWT yang mereka dengar atau mereka baca
tersebut.
Jika kita perhatikan perintah al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk
merenungkan ayat-ayat-Nya dan kecaman-Nya terhadap mereka yang sekedar
mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar,14 dan bila kita
perhatikan pula bahwa al-Qur'an diturunkan untuk setiap manusia dan
masyarakat kapan dan di mana pun, maka jelas bahwa setiap manusia pada
setiap abadnya dituntut pula, atau bahkan harus,15 untuk memahami dan
membuka tabir ajaran al-Qur'an sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan
kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya al-Qur'an.
Kemudian bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi
bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang
ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi
sosial, politik dan sebagainya, bahkan latar belakang sektenya pun memiliki
14
Seperti firman-Nya dalam Surat Muhammad [47] ayat 24:
‫ب‬
ٍ ْ!=ُُ/ =َ ْ‫ن َأم‬
َ ?ْ@=ُAْ‫ن ا‬
َ ‫@ُو‬#'َ =ََ B
َ =َ‫)) َأ‬
(( َ;َُCْ/‫َأ‬
15
Ismâ‘îl ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Adzîm (Semarang: Toha Putra, tt), juz. I, h. 3
andil besar dalam penafsiran al-Qur'an, maka tentunya hasil pemikiran
seseorang akan berbeda satu dengan lainnya.
Sejak masa Nabi Saw sampai masa Tâbi‘în penafsiran al-Qur'an
dilakukan dengan cara periwayatan dan pendengaran (al-riwâyah wa alsimâ‘)16 yang semua penafsiran tersebut berasal dari Nabi Saw atau ijtihad
para Sahabat dan Tabi'in, sampai kemudian permasalahan umat Islam begitu
kompleks yang belum pernah dipersoalkan pada masa Nabi Saw atau pun
pada masa Sahabat dan Tabi'in, maka permasalahan tersebut disadari atau
tidak merangsang munculnya penafsiran akal (tafsîr bi al-ra'yi) yang pada
awalnya tidak sampai keluar dari kaidah-kaidah kebahasaan dan tidak pula
melampaui batasan-batasan syari'at.17
Perpecahan yang mendasar dalam tubuh umat Islam, yang tentu saja
membawa dampak yang besar dalam penafsiran al-Qur'an, dimulai sejak masa
Daulah Abasiyyah.18 Tidak dapat disangkal bahwa al-Qur'an adalah sumber
pokok dan utama bagi perundang-undangan umat Islam, maka setiap
kelompok theolog berbondong-bondong mencari celah dalam al-Qur'an untuk
memperkuat dan mengklaim faham-faham yang dipegangnya dan "menyeret
paksa" ayat-ayat al-Qur'an yang secara dzahirnya bertentangan dengan ajaran
dan faham mereka dengan bahasa "ta'wil".
16
Quraish Shihab, Loc. Cit.
Al-Dzahaby, Al-Tafsîr… Loc. Cit.
18
Walaupun memang sebelum masa Abasiyah sudah terjadi perpecahan, seperti pengelompokkan
antara kelompok ‘Ali dan Mu'awiyah dan sempat terjadi peperangan besar antara keduanya
tetapi perpecahan tersebut tidak sepatal pada masa Abasiyah, dan juga walaupun sekte-sekte
yang ada pada masa sesudahnya, pada dasarnya, bersumber dari pertikaian antara ‘Ali dan
Mu'awiyah tersebut. Al-Dzahaby, Ibid.
17
Kitab-kitab berkategori bi al-ra'yi pun ikut andil dalam meramaikan
penafsiran al-Qur'an, walaupun memang karya-karya tafsir tersebut tidak
banyak yang sampai pada masa kita sekarang. Diantara karya tafsir yang
masih ada dan sampai kepada kita adalah kitab Tafsîr Lubâb al-Ta'wil Fî
Ma'ani at-Tanzîl, karya Khâzin.
Khâzin adalah seorang tokoh sufi, sejarahwan, pustakawan sekaligus
seorang da'i yang bermadzhab Syafi'i. Beliau sangat sibuk dengan aktivitasaktivitas ilmiah, sehingga tidak mengherankan kalau kemudian pada akhir
namanya diletakkan predikat "al-Khâzin", bahkan di kalangan tokoh mufassir,
beliau lebih dikenal dengan nama al-Khâzin dari pada nama sebenarnya. Hal
ini tidak lain adalah karena kapasitas keilmuan al-Khâzin mencakup berbagai
macam ilmu pengetahuan. Kenyataan ini dikuatkan oleh Ibn Qâdî Syahbah,
yang menegaskan al-Khâzin sebagai ilmuan yang mumpuni dalam banyak
bidang di mana integritas keilmuannya tampak nyata dalam karya-karyanya.19
Kitab ini disusun oleh al-Khâzin sebagai ikhtisar dari kitab Tafsir
Ma'âlim al-Tanzîl karya al-Baghâwi yang juga merupakan ikhtisar dari tafsir
karya al-Tsa'labî yang bernama al-Kasyf wal Bayân 'an Tafsîr al-Qurân.
Dalam tafsirnya al-Khâzin menggunakan sistematika tartîb mushafî, yakni
menafsirkan al-Qurân menurut susunan urutannya dalam mushaf. Manhaj
Tahlily, yakni manhaj yang berusaha menjelaskan seluruh aspek yang
19
Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),
juz I, h. 310
dikandung oleh ayat-ayat al-Qurân dan mengungkapkan segenap pengertian
yang ditujunya merupakan manhaj yang dipakai al-Khâzin dalam tafsirnya.
Beliau menyingkap segi pertautan (munâsabah) dan memanfaatkan
bantuan asbâb al-nuzûl, hadis-hadis Nabi dan riwayat-riwayat para Sahabat
dan Tabi'in dalam mengungkapkan petunjuk ayat. Kadangkala semua ini
dipadukan pula dengan hasil pemikiran dan keahliannya dan kadang pula
dikuliti dengan kupasan bahasa. Berpijak dari realitas bahwa Tafsir al-Khâzin
merupakan resume dari tafsir bi al-Ma'tsûr, al-Khâzin juga banyak
memasukkan riwayat israiliyat. Dengan demikian, Tafsir al-Khâzin pada
dasarnya merupakan tafsir bi al-Ra'yi yang cenderung Ma'tsûr.
E. Langkah-langkah Penelitian
Penelitian ini akan ditempuh dengan menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Metode Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini pada dasarnya akan menggunakan metode
content analisis (analisis isi), yaitu suatu metode yang diarahkan pada
pemikiran yang bersifat normatif.20 Dalam pelaksanaan operasionalnya
dengan memanfaatkan metode ini diharapkan mampu mengungkapkan aspek
ra'yu yang terdapat dalam Tafsir Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl.
20
Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi; Bidang Ilmu
Agama Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 56
2. Jenis Data
Searah dengan permasalahan yang diteliti di sini, maka proses
analisisnya akan ditempuh dengan menggunakan jenis data berupa pendekatan
kualitatif, yaitu jenis pendekatan yang berupa menghimpun data, mengolah,
menganalisis, dan menginterpretasikannya secara kualitatatif.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode
pengumpulan data dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan, masalah
memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data.
Berlangsungnya penelitian ini akan ditempuh dengan menerapkan
studi kepustakaan (book research). Studi kepustakaan yang dimaksud di sini
adalah mendayagunakan berbagai informasi, khususnya yang terdapat dalam
kitab Tafsir Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl karya al-Khâzin (sebagai
sumber primer), dan buku-buku atau kitab-kitab lainnya untuk menggali
konsep dari teori dasar yang ditemukan oleh para ahli.
4. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini ialah buku
atau kitab yang dapat digunakan untuk memenuhi keperluan penelitian ini
yang terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder, diantaranya:
a. Sumber primer
Pengambilan rujukan yang bernuansa data primer didasarkan pada
penelaahan dan penelusuran sejumlah informasi yang terdapat dalam Kitab
Tafsîr Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl, salah satu buah karya monumental
'Alâ al-Din Abû Hasan 'Alî Abû Muhammad, dan juga kitab-kitab lainnya
yang berhubungan dengan penelitian ini.
b. Sumber sekunder
Adapun acuan untuk sumber sekundernya adalah meliputi sejumlah
kitab-kitab atau buku-buku tafsir lain yang memiliki keterkaitan dengan
pembahasan dalam penelitian ini, baik diperoleh secara langsung atau tidak
langsung.
5. Pengumpulan data
Data-data
yang
telah
dikumpulkan,
diklasifikasikan
menurut
pembahasan yang telah direncanakan sebelumnya dalam perumusan masalah.
6. Analisis data
Data-data yang telah dikumpulkan, kemudian diuraikan dalam bentuk
tulisan menurut pembahasan, kemudian dianalisis dengan tidak keluar dari
kerangka pemikiran.
7. Pengambilan kesimpulan
Langkah yang terakhir adalah mengambil kesimpulan dari data-data
yang telah dianalisis.
Download