BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur'an adalah wahyu dan sabda Allah SWT yang merupakan mukjizat Islam yang kekal.1 Belum dan tidak akan pernah ada orang atau golongan yang mampu "membelakangi" al-Qur'an.2 Kandungannya tidak akan pernah kering untuk ditimba bagi siapapun yang mengkajinya. Al-Qur'an merupakan satu maha karya yang bukan hanya sebatas kitab bagi orang-orang muslim semata, tetapi juga merupakan undang-undang perikehidupan umat manusia di alam fana ini.3 Al-Qur'an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan aqidah, syari‘ah, dan akhlak, dengan meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut.4 Jelasnya al-Qur'an berfungsi sebagai petunjuk bagi semua perilaku kehidupan baik di dunia maupun sebagai bekal di akhirat. Karena fungsinya tersebut, maka mengkaji serta memahami al-Qur'an menjadi persoalan yang sangat urgen. Dengan demikian pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat diterima sekaligus dapat dilaksanakan oleh umat Islam. Ia merupakan pedoman jalan 1 Mannâ‘ al-Qaththân, Mabâhits fi‘Ulûm al-Qur'ân (Riyâdh: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, tt.), h. 9 2 Hal ini ditegaskan dalam al Qur'an, misalnya dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 23: (( ِِّْ ِّْ ِ"ُ! َر ٍة# َِّ ﻥَ ْ َ َ َ(ْ'ِﻥ َ َ&ْﺕُ!ْا ٍ ْ)) َوِإنْ آُُْْ ِ َر Dan Surat Yûnus [10] ayat 38: (( ) ِ نا ِ ُْْْ ِْ ُدو+َ,َْ اﺱ ِ َ ِ"ُ! َر ٍة ِِّْ ِ وَادُْ!ْا# ْ َ&ْﺕُ!ْا.ُ/ )) 3 Wahbah al-Zuhaily, Al-Qur’ân al-Karîm: Buna-yâtuhu al-Tasyrî‘iyyah wa Khashâ’ishuhu alHadhâriyyah, Dâr al-Fikr, Beirut, 1993, h. 6 4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), h. 33 kebahagiaan terbesar di akhirat yang tidak lain merupakan tempat kembalinya semua jiwa, pedoman jalan menuju tatanan kepemimpinan dan kemasyarakatan yang damai dan sejahtera di dunia yang tidak lain tempat persinggahan perikehidupan sementara, ia dapat memecahkan segala bentuk persoalan hidup5. Imam al-Syâfi‘i dalam al-Risâlah-nya mengatakan: ٦ َ ;ْ9ِ اْ;ُ'ى.ِ ْ9ِ(َ َ ﺱ.ُ ْ9ِ' ) ا ِ با ِ َِ َوِ آ0 ٌ ِإ2َ) ﻥَ ِز ِ ا ِ ْ ِد.ِ َْ ٍ' ِْ َأه6َ&ِ# ْ ﺕَْ ِ ُل8َ"ْ9ََ "Tidaklah turun sesuatu apapun kepada seseorang dari penganut agama Allah kecuali terdapat petunjuk dalam kitab Allah untuk menunjukkan (solusi) dalam masalah tersebut". Bahkan seorang penjajah berkebangsaan Inggris pada beberapa abad lalu dalam sebuah forum kenegaraan di Inggris dengan memegang sebuah mushhaf al- Qur'an ia mengatakan: "Selama buku ini ada di muka bumi maka kita tidak akan pernah memiliki jalan untuk menaklukkan umat muslim".7 Al-Qur'an sebagai wahyu Tuhan tentunya tidak mudah untuk dipahami secara tepat sesuai dengan yang dikehendaki Sang Author-nya (Allah SWT), oleh sebab itu parta mufasir berusaha untuk menafsirkan al-Qur'an sebagai tanggung jawab terhadap tatanan sosial umat Islam, sehingga sampai saat ini ditemukan karya-karya tafsir dengan berbagai metode, dan tentu saja 5 6 7 Labîb al-Sa‘îd, Al-Jam‘u al-Shaut al-Awwal li al-Qur'ân al-Karîm aw al-Mushhaf al-Murattal (Kairo: Dâr al-Kâtib al ‘Araby, 1967), h. 17 Muhammad ibn Idrîs al-Syafi‘iy, Al-Risâlah (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, tt.), h. 14 Al-Sa‘îd, Op. Cit., h. 22 dipengaruhi oleh latar belakang penulisnya, apakah bidang keilmuannya, alirannya, atau kondisi masyarakat pada saat karya tafsirnya ditulis. Kemampuan rasio (al-‘aql) manusia untuk mengetahui dan memahami sesuatu ilmu adalah terbatas, kadang ditambah pula pemikiran manusia yang kurang terarah dan keliru. Sebab kadang-kadang timbul kondisi-kondisi tertentu yang menghalangi mereka untuk bisa berpikir secara benar dan obyektif. Al-Qur'an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufasir ketika menafsirkan al-Qur'an biasanya dipengaruhi juga oleh kondisi sosio-kultural dimana ia tinggal, ditambah situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Di samping itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufasir untuk memahami al-Qur'an sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun obyek kajiannya tunggal (yaitu teks al-Qur'an), namun hasil penafsiran al-Qur'an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, kemunculan madzhab-madzhab tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.8 8 Kemunculan madzhab-madzhab tafsir secara umum dilatarbelakangi oleh dua faktor, yakni: Pertama faktor internal (al-‘awâmil al-dâkhiliyyah) yang meliputi: 1) kondisi objek teks al-Qur'an itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam, 2) kondisi objektif dari kata-kata (kalimah) dalam al Qur'an yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam, dan 3) adanya ambiguitas makna dalam al Qur'an, yang disebabkan adanya kata-kata musytarak atau bermakna ganda. Kedua faktor eksternal (al-‘awâmil al-Kharijiyyah) yang meliputi: 1) perspektif atau ilmu yang ditekuni oleh seorang mufasir, 2) adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban dunia dunia di luar Islam, dan 3) faktor politik dan theologis. Abdul Mustaqim, Madzâhibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), h. 5-6 dan 17 al-Syirbasyî, dengan mengutip pendapat al-Ashfahânî, mengatakan: "Kendatipun al-Qur'an itu sebenarnya merupakan tuntunan atau petunjuk bagi segenap umat manusia, tetapi tidaklah keseluruhan manusia memiliki tingkat pemahaman yang sama. Masing-masing tergantung pada perbedaan tingkat keahlian dalam bidangnya sendiri-sendiri. Para ahli bahsa Arab dapat merasakan betapa tingginya mutu bahasa al-Qur'an. Para ahli fiqih mampu memahami kebenaran segi-segi hukumnya. Ahliahli ilmu kalam mengerti dalil-dalil pembuktian yang rasional dalam alQur'an. Ahli purbakala faham akan kisah-kisah sejarah dalam al-Qur'an yang tidak diketahui orang lain yang bukan ahli. Sebagaimana kita tahu, orang semakin banyak memperoleh ilmu pengetahuan yang diperlukan, semakin luas pula ia menguak makna yang tersirat dalam ilmu yang ditekuninya."9 Pada masa Nabi Saw penafsiran al-Qur'an disampaikan langsung oleh beliau kepada para sahabat secara lisan, walaupun memang hanya beberapa kata atau beberapa ayat yang tidak banyak jumlahnya.10 Kegiatan penafsiran tersebut kemudian dilanjutkan oleh para Sahabat dan penggantinya (Tabi‘in) dalam bentuk periwayatan sampai abad ke-10.11 Tidak lama setelah masa tersebut terjadilah perpecahan dalam tubuh umat Islam yang kemudian tidak bisa disangkal lagi, berdampak besar pada penafsiran al-Qur'an, terlebih pada masa Daulah Abasiyyah kemunculan dan perkembangan tafsir bi al-ra'yi mendapat kepercayaan penuh.12 9 Ahmad al-Syirbasy, Sejarah Tafsir al Qur'an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 43 10 Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm: Dawâfi‘uhâ wa Daf‘uhâ (Kairo: Dâr al-I‘tishâm, 1978), h. 11, dan Al-Suyûthy, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, (Mesir: Mushthafâ al-Bâby al-Halaby wa Awlâduh, 1951), juz. II, h. 174 11 Yang kemudian dikenal tafsir bi al-ma'tsûr. Rosihon Anwar, Melacak Unsu-unsur Isra'iliyat Dalam Tafsir Al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.13. dan Syihab, Op. Cit., h. 71 12 Hal tersebut adalah akibat dari pengaruh keterbukaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah terhadap berbagai kebudayaan asing, termasuk filsafat Yunani, yang memicu kelahiran madzhab rasional dalam Islam. Ahmad Amin, Fajr al-Islâm (ttp: tp, cet. III), juz II, hal. 187, dan Rosihon, Op. Cit., h. 14 Melihat fenomena tersebut wajar apabila muncul berbagai corak dan karakteristik dalam penafsiran al-Qur'an. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah penafsiran-penafsiran yang didominasi dan dipengaruhi fahamfaham kelompok teologi (sekte). Al-Qur'an adalah sumber hukum dan pedoman paling atas dalam Islam, gerak-gerik dan segala aktivitas umat Islam harus bersandar kepadanya. Maka ketika perpecahan merebak dalam tubuh umat Islam semua kelompok aliran saling mengklaim bahwa kelompok sekaligus ajaran-ajaran yang disuarakannya bersumber dan tersurat dari alQur'an. Melalui ayat-ayat yang secara fisiknya mendukung ajaran-ajaran dan faham mereka dan kalaupun bertentangan dan tidak sejalan dengan ayat-ayat al-Qur'an secara lahirnya mereka pun terpaksa harus "menyeret" ayat-ayat tersebut kepada pemahaman-pemahaman dan ajaran-ajaran sektenya dengan jalan mentakwil ayat-ayat tersebut.13 Diantara berbagai karya tafsir popular adalah Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl atau dikenal dengan Tafsir Khâzin. Ditulis sekitar abad delapan Hijriah. Banyak yang beranggapan bahwa Tafsir Khâzin masuk pada kategori tafsir bi al-ma'tsur, mengingat tafsir ini merupakan ikhtishar dari Tafsir Baghawi yang termasuk dalam kategori tafsir bi al-ma'tsur. Sementara para ulama terdahulu seperti ad-Dzahabi, Subhi Shalih dan Ma'ni Qathan mengkategorikan tafsir ini ke dalam tafsir bi al-Ra'yi. Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl sebagai karya monumental Khâzin mendapat banyak kritikan atas beberapa hal, misalnya cerita-cerita 13 Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz I, h. 258 isra'iliyat yang berserakan dalam tafsirnya. Sejumlah kritikan pada beberapa aspek tertentu dalam tafsir Khâzin merupakan persoalan yang menarik untuk dilakukan kajian secara serius. Penelitian ini mencoba mengkaji satu aspek dari berbagai aspek yang menjadi sorotan para pengkaji Khâzin. Aspek yang akan diteliti yaitu aspek ra'yu yang dituangkan melalui judul: "ANALISIS RA'YU TAFSIR LUBÂB AL-TA'WIL FÎ MA'ANI AL-TANZÎL". B. Perumusan Masalah Dari pembahasan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan masalah: "Bagaimana aspek ra'yu tafsir Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl"? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dari penulisan ini adalah untuk mengetahui aspek ra'yu tafsir Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzl. D. Kerangka Pemikiran Al-Qur'an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di manapun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, dari segi susunan bahasanya yang unik dan mempesona, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami bahasanya walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi ayat-ayat al-Qur'an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal al-Qur'an, para Sahabat Nabi Saw sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakata, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah SWT yang mereka dengar atau mereka baca tersebut. Jika kita perhatikan perintah al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayat-Nya dan kecaman-Nya terhadap mereka yang sekedar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar,14 dan bila kita perhatikan pula bahwa al-Qur'an diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di mana pun, maka jelas bahwa setiap manusia pada setiap abadnya dituntut pula, atau bahkan harus,15 untuk memahami dan membuka tabir ajaran al-Qur'an sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya al-Qur'an. Kemudian bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik dan sebagainya, bahkan latar belakang sektenya pun memiliki 14 Seperti firman-Nya dalam Surat Muhammad [47] ayat 24: ب ٍ ْ!=ُُ/ =َ ْن َأم َ ?ْ@=ُAْن ا َ @ُو#'َ =ََ B َ =َ)) َأ (( َ;َُCْ/َأ 15 Ismâ‘îl ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Adzîm (Semarang: Toha Putra, tt), juz. I, h. 3 andil besar dalam penafsiran al-Qur'an, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan lainnya. Sejak masa Nabi Saw sampai masa Tâbi‘în penafsiran al-Qur'an dilakukan dengan cara periwayatan dan pendengaran (al-riwâyah wa alsimâ‘)16 yang semua penafsiran tersebut berasal dari Nabi Saw atau ijtihad para Sahabat dan Tabi'in, sampai kemudian permasalahan umat Islam begitu kompleks yang belum pernah dipersoalkan pada masa Nabi Saw atau pun pada masa Sahabat dan Tabi'in, maka permasalahan tersebut disadari atau tidak merangsang munculnya penafsiran akal (tafsîr bi al-ra'yi) yang pada awalnya tidak sampai keluar dari kaidah-kaidah kebahasaan dan tidak pula melampaui batasan-batasan syari'at.17 Perpecahan yang mendasar dalam tubuh umat Islam, yang tentu saja membawa dampak yang besar dalam penafsiran al-Qur'an, dimulai sejak masa Daulah Abasiyyah.18 Tidak dapat disangkal bahwa al-Qur'an adalah sumber pokok dan utama bagi perundang-undangan umat Islam, maka setiap kelompok theolog berbondong-bondong mencari celah dalam al-Qur'an untuk memperkuat dan mengklaim faham-faham yang dipegangnya dan "menyeret paksa" ayat-ayat al-Qur'an yang secara dzahirnya bertentangan dengan ajaran dan faham mereka dengan bahasa "ta'wil". 16 Quraish Shihab, Loc. Cit. Al-Dzahaby, Al-Tafsîr… Loc. Cit. 18 Walaupun memang sebelum masa Abasiyah sudah terjadi perpecahan, seperti pengelompokkan antara kelompok ‘Ali dan Mu'awiyah dan sempat terjadi peperangan besar antara keduanya tetapi perpecahan tersebut tidak sepatal pada masa Abasiyah, dan juga walaupun sekte-sekte yang ada pada masa sesudahnya, pada dasarnya, bersumber dari pertikaian antara ‘Ali dan Mu'awiyah tersebut. Al-Dzahaby, Ibid. 17 Kitab-kitab berkategori bi al-ra'yi pun ikut andil dalam meramaikan penafsiran al-Qur'an, walaupun memang karya-karya tafsir tersebut tidak banyak yang sampai pada masa kita sekarang. Diantara karya tafsir yang masih ada dan sampai kepada kita adalah kitab Tafsîr Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl, karya Khâzin. Khâzin adalah seorang tokoh sufi, sejarahwan, pustakawan sekaligus seorang da'i yang bermadzhab Syafi'i. Beliau sangat sibuk dengan aktivitasaktivitas ilmiah, sehingga tidak mengherankan kalau kemudian pada akhir namanya diletakkan predikat "al-Khâzin", bahkan di kalangan tokoh mufassir, beliau lebih dikenal dengan nama al-Khâzin dari pada nama sebenarnya. Hal ini tidak lain adalah karena kapasitas keilmuan al-Khâzin mencakup berbagai macam ilmu pengetahuan. Kenyataan ini dikuatkan oleh Ibn Qâdî Syahbah, yang menegaskan al-Khâzin sebagai ilmuan yang mumpuni dalam banyak bidang di mana integritas keilmuannya tampak nyata dalam karya-karyanya.19 Kitab ini disusun oleh al-Khâzin sebagai ikhtisar dari kitab Tafsir Ma'âlim al-Tanzîl karya al-Baghâwi yang juga merupakan ikhtisar dari tafsir karya al-Tsa'labî yang bernama al-Kasyf wal Bayân 'an Tafsîr al-Qurân. Dalam tafsirnya al-Khâzin menggunakan sistematika tartîb mushafî, yakni menafsirkan al-Qurân menurut susunan urutannya dalam mushaf. Manhaj Tahlily, yakni manhaj yang berusaha menjelaskan seluruh aspek yang 19 Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz I, h. 310 dikandung oleh ayat-ayat al-Qurân dan mengungkapkan segenap pengertian yang ditujunya merupakan manhaj yang dipakai al-Khâzin dalam tafsirnya. Beliau menyingkap segi pertautan (munâsabah) dan memanfaatkan bantuan asbâb al-nuzûl, hadis-hadis Nabi dan riwayat-riwayat para Sahabat dan Tabi'in dalam mengungkapkan petunjuk ayat. Kadangkala semua ini dipadukan pula dengan hasil pemikiran dan keahliannya dan kadang pula dikuliti dengan kupasan bahasa. Berpijak dari realitas bahwa Tafsir al-Khâzin merupakan resume dari tafsir bi al-Ma'tsûr, al-Khâzin juga banyak memasukkan riwayat israiliyat. Dengan demikian, Tafsir al-Khâzin pada dasarnya merupakan tafsir bi al-Ra'yi yang cenderung Ma'tsûr. E. Langkah-langkah Penelitian Penelitian ini akan ditempuh dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Metode Penelitian Pelaksanaan penelitian ini pada dasarnya akan menggunakan metode content analisis (analisis isi), yaitu suatu metode yang diarahkan pada pemikiran yang bersifat normatif.20 Dalam pelaksanaan operasionalnya dengan memanfaatkan metode ini diharapkan mampu mengungkapkan aspek ra'yu yang terdapat dalam Tafsir Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl. 20 Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi; Bidang Ilmu Agama Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 56 2. Jenis Data Searah dengan permasalahan yang diteliti di sini, maka proses analisisnya akan ditempuh dengan menggunakan jenis data berupa pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan yang berupa menghimpun data, mengolah, menganalisis, dan menginterpretasikannya secara kualitatatif. 3. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan, masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data. Berlangsungnya penelitian ini akan ditempuh dengan menerapkan studi kepustakaan (book research). Studi kepustakaan yang dimaksud di sini adalah mendayagunakan berbagai informasi, khususnya yang terdapat dalam kitab Tafsir Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl karya al-Khâzin (sebagai sumber primer), dan buku-buku atau kitab-kitab lainnya untuk menggali konsep dari teori dasar yang ditemukan oleh para ahli. 4. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini ialah buku atau kitab yang dapat digunakan untuk memenuhi keperluan penelitian ini yang terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder, diantaranya: a. Sumber primer Pengambilan rujukan yang bernuansa data primer didasarkan pada penelaahan dan penelusuran sejumlah informasi yang terdapat dalam Kitab Tafsîr Lubâb al-Ta'wil Fî Ma'ani at-Tanzîl, salah satu buah karya monumental 'Alâ al-Din Abû Hasan 'Alî Abû Muhammad, dan juga kitab-kitab lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. b. Sumber sekunder Adapun acuan untuk sumber sekundernya adalah meliputi sejumlah kitab-kitab atau buku-buku tafsir lain yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini, baik diperoleh secara langsung atau tidak langsung. 5. Pengumpulan data Data-data yang telah dikumpulkan, diklasifikasikan menurut pembahasan yang telah direncanakan sebelumnya dalam perumusan masalah. 6. Analisis data Data-data yang telah dikumpulkan, kemudian diuraikan dalam bentuk tulisan menurut pembahasan, kemudian dianalisis dengan tidak keluar dari kerangka pemikiran. 7. Pengambilan kesimpulan Langkah yang terakhir adalah mengambil kesimpulan dari data-data yang telah dianalisis.