FAKTOR DETERMINAN AKUNTABILITAS DAN

advertisement
FAKTOR DETERMINAN AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI KEMENTERIAN/LEMBAGA
Asri Fika Agusti*, Hilda Rossieta**, Dodik Siswantoro***
Pascasarjana Ilmu Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor determinan yang mempengaruhi akuntabilitas dan
transparansi Kementerian/Lembaga. Faktor determinan dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan
temuan audit BPK. Data yang digunakan merupakan data sekunder. Periode pengamatan adalah tahun
anggaran 2010-2012. Metode penelitian adalah kuantitatif dengan data panel,dengan menggunakan
ordered logit. Hasil penelitian membuktikan bahwa variabel tingkat kompleksitas, kegiatan
dekonsentrasi, temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan tingkat
penyimpangan
anggaran
berpengaruh
negatif
terhadap
kemungkinan
tingginya
akuntabilitasdantransparansiKementerian/Lembaga.
Kata kunci:
Akuntabilitas; Faktor internal; Temuan audit; Transparansi.
Determinants of Accountability and Transparency in Ministries/Institutions
Abstract
The objective of this research to analyze determinants of accountability and transparency in
Ministries/Institutions. Determinant factors were divided into two groups: internal factor from
Ministries/Institutions and BPK’s audit findings. The data used in this study is a secondary data.
Observation period used is year 2010-2012. Research method is a quantitative with panel data, using an
ordered logit models. The study find that complexity level, deconcentration activities, findings related to
noncompliance with laws and regulations, and the level of budget irregularities has negative effect on the
possibility of high accountability and transparency in Ministries/Institutions.
Key Words:
Accountability; Audit findings; Internal factors;Transparency.
*Kopertis Wilayah X – Padang; alamat email : [email protected]
** Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi – Fakultas Ekonomi dan Bisnis- universitas Indonesia (PPIA – FEB-UI) ; alamat email :
[email protected]
*** PPIA – FEB-UI ; alamat email : [email protected]
Keterangan :
Paper ini dibuat berdasarkan thesis Asri Fika Agusti yang diajukan untuk memperoleh gelar Master Sains
Akuntansi di PPIA – FEB UI dibawah supervisi Hilda Rossieta, PhD dan Dodik Siswantoro, MSc
1
I.
Latar Belakang
Pemisahan fungsi antara pemilik dana yaitu masyarakat dengan pengelola dana yaitu Pemerintah,
membuat pengelolaan dana publik berpotensi menimbukan masalah keagenan atau agency problem.
Perbedaan kepentingan dari berbagai pihak dan asimetri informasi sering kali menyebabkan munculnya
masalah ini. Hal ini memicu fenomena menguatnya tuntutan akuntabilitas dan transparansi Pemerintah
baik di pusat maupun daerah, terutama dalam pengelolaan keuangan negara. Menjawab tantangan
tersebut Pemerintah melakukan reformasi khususnya dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan.
Upaya Pemerintah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara tidak
berhenti sampai disitu, sejak tahun 2004 Pemerintah tidak hanya menyajikan laporan keuangan berupa
Laporan Perhitungan Anggaran Negara (PAN), tapi juga wajib menyajikan laporan keuangan lainnya
berupa neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan
(Nasution, 2009). Laporan keuangan yang makin komprehensif merupakan bentuk pertanggungjawaban
yang nantinya akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk merealisasikan pengaturan,
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut, pengembangan dan pengaplikasian akuntansi
sektor publik sangat mendesak dilakukan sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam mewujudkan
akuntabilitas publik untuk mencapai good governance.
Pentingnya kualitas laporan keuangan sebagai sarana menciptakan akuntabilitas dan transparansi
membuat kita bertanya apa sebenarnya yang dapat mempengaruhi akuntabilitas dan transparansi
tersebut. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menilai akuntabilitas dan transparansi adalah
menganalisa faktor internal auditee (Gu et al., 2002). Faktor internal merupakan karakteristik yang
melekat pada auditee (Fanani, 2009). Faktor internal yang dianalisis dalam penelitian ini antara lain
kualitas sumber daya manusia, tingkat kompleksitas, kegiatan dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan
tindaklanjut hasil audit. Temuan audit BPK juga menjadi determinan dari akuntabilitas dan transparansi.
Temuan yang diungkap BPK memuat sejumlah kasus, baik yang berkaitan dengan kelemahan internal
kontrol auditee maupun ketidapatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang akan
menimbulkan kerugikan keuangan negara. Masyarakat tentu mengharapkan semakin baiknya opini
terhadap laporan keuangan, jumlah temuan yang ada semakin sedikit.
Secara umum berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah apa saja faktor determinan Kementerian/Lembaga yang berpengaruh terhadap kemungkinan
tingginya akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga. Dari perumusan masalah tersebut dapat
ditarik tujuan umum dari penelitian ini yaitu menganalisis faktor determinan Kementerian/Lembaga
yang
berpengaruh
terhadap
kemungkinan
tingginya
akuntabilitas
dan
transparansi
Kementerian/Lembaga.
II.
Tinjauan Teoritis dan Perumusan Hipotesis
II.1.
Teori Keagenan (Agency Theory) di Sektor Publik
Dalam konteks sektor swasta, Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan teori keagenan sebagai suatu
kontrak dimana satu orang atau lebih (prinsipal) meminta pihak lainnya (agen) untuk melaksanakan
sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang pembuatan
keputusan kepada agen. Pengertian ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep teori keagenan
sektor publik. Zimmerman (1977) menjelaskan bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam semua
konteks organisasi baik organisasi sektor swasta maupun organisasi sektor publik. Hal tesebut karena ia
berasumsi bahwa umumnya semua pelaku ekonomi adalah rasional, suka mengevaluasi, dan
memaksimalkan kesejahteraan individual. Saat kita membandingkan antara agency problem di
pemerintahan dan di lingkungan bisnis maka implikasi besar yang muncul adalah informasi Pemerintah
memiliki demand yang lebih sedikit dibandingkan di lingkungan bisnis.
Dalam hubungan rakyat (prinsipal) dan eksekutif (agen), rakyat memilih Presiden melalui Pemilu
kemudian Presiden akan menunjuk para Menteri yang membantu tugas Presiden dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan. Dalam perspektif teori keagenan, Presiden dan para Menterinya wajib bertindak
sesuai keinginan rakyat untuk memaksimalkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai program. Namun,
disisi lain Presiden dan Para Menterinya tidak dapat dipercaya penuh untuk bertindak dengan sebaikbaiknya bagi kepentingan masyarakat. Agency theory beranggapan bahwa banyak terjadi asimetri
2
informasi antara Pemerintah yang mempunyai akses langsung terhadap informasi dibandingkan dengan
publik.
II.2.
Teori Public Governance
Laporan keuangan yang dihasilkan organisasi publik, sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi
publik, seharusnya menggambarkan kondisi yang komprehensif tentang kegiatan operasional, posisi
keuangan, arus kas, dan penjelasan (disclosure) atas pos-pos yang ada di dalam laporan keuangan
tersebut. Dengan demikian, akuntansi sektor publik sudah sangat mendesak pengembangan dan
pengaplikasiannya sebagai alat untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas melalui media laporan
keuangan.
III.
Perumusan Hipotesis
Ariesta (2013) menemukan hubungan signifikan positif antara kualitas sumber daya manusia yang
melaksanakan sistem akuntansi terhadap kualitas informasi akuntansi yang dihasilkan. Darno (2010)
mengungkapkan bahwa kualitas sumber daya manusia berpengaruh positif terhadap kualitas laporan
barang pada satuan kerja di wilayah KPPN Malang. Misra (2008) menyimpulkan bahwa pelatihan
keuangan berpengaruh signifikan positif terhadap kenaikan indeks transparansi Pemerintah daerah
dalam laporan keuangan, sehingga meningkatnya transparansi akan memicu kualitas laporan keuangan
semakin baik.
Hasil yang berbeda ditunjukkan Indriasari (2008), Arfianti (2009), dan Rosalin (2010) bahwa kualitas
sumber daya manusia tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keandalan laporan keuangan.
Hal ini mungkin disebabkan kondisi sub bagian akuntansi belum memiliki sumber daya manusia yang
kompeten. Adanya perbedaan hasil penelitian, maka penelitian ini mengacu pada pendapat bahwa
semakin banyaknya lulusan PPAKP di Kementerian/lembaga akan memudahkan dalam penyusunan
laporan keuangan yang berkualitas.
H1 =
Kualitas Sumber daya manusia berpengaruh positif terhadap kemungkinan tingginya
akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga
Petrovits, Shakespeare, dan Shih (2010) dan Asbaugh-Skaife, Collins, dan Kinney (2007) meneliti tentang
pengendalian intern yang membuktikan bahwa kompleksitas suatu organisasi berhubungan positif
dengan kelemahan pengendalian intern. Anggareni (2012) menyatakan bahwa kendala yang sering
ditemukan dalam penyusunan laporan keuangan di tingkat Kementerian/Lembaga adalah lemahnya
koordinasi antar bagian terkait, terutama di tingkat satuan kerja. Kendala ini tentunya akan berdampak
besar terhadap kualitas laporan keuangan yang dihasilkan. Sebaliknya, Susanti (2012) mengungkapkan
adanya hubungan positif dan signifikan antara tingkat kompleksitas dan kualitas audit yang dinilai dari
sisi auditee. Adanya perbedaan argumentasi yang diuraikan di atas, hipotesis yang akan diuji dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat bahwa semakin tinggi tingkat kompleksitas maka kemungkinan
tingginya kualitas laporan semakin sedikit.
H2 =
Tingkat Kompleksitas Kementerian/Lembaga berpengaruh negatif terhadap kemungkinan
tingginya akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga
Hania (2003) menyatakan bahwa terjadi kesalahan dalam penggunaan dana dekonsentrasi yaitu lebih
dari 98% anggaran kegiatan dekonsentrasi digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat
fisik di daerah dan hanya 0.4% yang dialokasikan untuk kegiatan penetapan kebijakan. Hartanti (2010)
menyatakan bahwa adanya desentralisasi yang membagi kewenangan antara Pemerintah pusat dan
daerah juga memperkecil kewenangan pusat, sebagai salah satu konsekuensinya maka anggaran sektoral
Kementerian/Lembaga termasuk kegiatan dekonsentrasi harusnya mengalami penurunan. Namun,
kenyataannya berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa alokasi dana dekonsentrasi meningkat hingga
2-4 kali. Penelitian BPKP (2004) mengungkapkan hal yang sama mengenai kenaikan dana dekonsentrasi
dan penggunaan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal yang sama dinyatakan
Santosa (2008) bahwa penyimpangan dalam alokasi dana dekonsentrasi yang harusnya untuk kegiatan
non fisik menjadi fisik memiliki jumlah yang signifikan di berbagai daerah. Kegiatan fisik yang dilakukan
menggunakan dana dekonsentrasi menghasilkan aset tetap.
H3 =
Kegiatan dekonsentrasi Kementerian/Lembaga berpengaruh negatif terhadap kemungkinan
tingginya akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga
Nuruda (2013) menyimpulkan bahwa sama halnya dengan alokasi dana dekonsentrasi, dana tugas
pembantuan sebagian besar digunakan untuk membiayai urusan daerah. Di Kementerian Pertanian tahun
anggaran 2012 total alokasi dana tugas pembantuan sebesar Rp. 7.174,12 miliar, sekitar 64% nya
3
digunakan untuk kegiatan yang menjadi urusan daerah. Kesalahan alokasi ini jelas merupakan
ketidakpatuhan terhadap amanat peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan
masalah dalam laporan keuangan. Hasil audit BPK tahun 2009 terhadap pengelolaan kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tahun anggaran 2007- 2008 di beberapa Kementerian/Lembaga
menemukan bukti bahwa kesalahan alokasi dana ini berdampak buruk pada kualitas laporan keuangan.
H4 =
Tugas pembantuan Kementerian/Lembaga berpengaruh negatif terhadap kemungkinan
tingginya akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga
Dwiputrianti (2008) berpendapat bahwa adanya laporan tindak lanjut hasil temuan dan rekomendasi
dalam laporan pemeriksaan menunjukkan kualitas dari suatu laporan hasil pemeriksaaan dan laporan ini
akan menjadi lebih efektif jika rekomendasi tersebut dilaksanakan oleh organisasi yang telah diperiksa.
Liu dan Lin (2012) menyatakan bahwa pembetulan setelah adanya proses audit (audit rectification) lebih
penting dari deteksi atas temuan audit itu sendiri karena upaya untuk melakukan pembetulan audit dapat
meningkatkan efektivitas proses audit. Masyitoh (2014) menemukan bukti empiris bahwa semakin besar
tindak lanjut atas hasil audit yang dilakukan Pemerintah daerah akan menurunkan persepsi tingkat
korupsi. Hal ini tentu akan berdampak pada meningkatnya kualitas tata kelola keuangan Pemerintah
daerah. Adzani (2013) membuktikan bahwa nilai rekomendasi kemungkinan berpengaruh negatif
terhadap opini audit BPK.
H5 =
Tindaklanjut hasil audit berpengaruh positif terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas
dan transparansi Kementerian/Lembaga
Penelitian yang menghubungkan temuan audit langsung dengan kualitas laporan keuangan belum penulis
temukan. Namun, penelitian yang dilakukan Bernstein (2000) menyimpulkan adanya hubungan antara
pengukuran kinerja dan sistem pengawasan. Lemahnya sistem pengawasan akan berdampak buruk pada
kinerja yang akhirnya akan menurunkan kualitas laporan keuangan. Huefner (2011) juga melakukan
penelitian mengenai kasus kelemahan pengendalian intern di Pemerintah daerah yang diperoleh dari
rincian laporan audit sebagai representasi dari risiko kecurangan dalam laporan keuangan di sejumlah
perkotaan dan pedesaan di New York State. Kurniawan (2007) menyatakan bahwa internal kontrol yang
diterapkan dalam lingkungan Kementerian/Lembaga Pemerintah merupakan faktor yang sangat
menentukan keandalan laporan keuangan yang disajikan. Pudyastuti (2008) dan Helina (2009)
menyatakan bahwa hampir di semua Kementerian/Lembaga ditemukan masalah kelemahan internal
kontrol yang besar pengaruhnya terhadap kualitas laporan keuangan.
H6 =
Temuan kelemahan internal kontrol berpengaruh negatif terhadap kemungkinan tingginya
akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga
Anggaraeni (2012) menyatakan dalam penelitiannya yang mengambil kasus di Kementerian Keuangan
tahun 2011 bahwa di tingkat Kementerian/Lembaga sering muncul masalah ketidahpatuhan terhadap
perundang-undangan. Pudyastuti (2008) dan Helina (2009) juga mengungkapkan hal yang sama dalam
penelitiannya bahwa masih terdapat kesalahan pembebanan maupun kode mata anggaran pada SPM
yang tidak sesuai DIPA, dimana hal tersebut merupakan wujud ketidakpatuhan terhadap perundangundangan yang bisa menjadi masalah dalam penyusunan laporan keuangan. Adzani (2013) membuktikan
bahwa jumlah temuan terkait ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan kemungkinan
berpengaruh negatif terhadap opini audit BPK. Adanya pelanggaran terhadap peraturan yang telah
ditetapkan menunjukkan buruknya penyelenggaraan pemerintahan di Kementerian/lembaga tersebut.
H7 =
Temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan berpengaruh negatif
terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga
Liestiani (2008) menemukan bahwa tingkat penyimpangan berkorelasi negatif dan signifikan terhadap
pengungkapan. Hal serupa juga dikemukakan Hilmi (2011) bahwa tingkat penyimpangan yang meningkat
akan mengurangi tingkat pengungkapan laporan keuangan. Hal ini karena aparat Pemerintah berusaha
menutupi penyimpangan yang mereka lakukan. Adzani (2013) menyimpulkan bahwa jumlah nominal
temuan terkait ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan kemungkinan berpengaruh
negatif terhadap opini audit BPK. Tingkat pengungkapan yang rendah akan mengakibatkan rendahnya
kualitas laporan keuangan.
H8 =
Tingkat penyimpangan anggaran berpengaruh negatif terhadap kemungkinan tingginya
akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga
4
IV.
Metode Penelitian
IV.1.
Sampel dan Model Empiris
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Periode penelitian dilakukan selama tiga tahun yaitu tahun anggaran 2010, 2011, dan 2012.
Penelitian ini hanya menggunakan periode penelitian selama tiga tahun karena keterbatasan waktu dan
mengikuti penelitian sebelumnya. Objek penelitian ini adalah Kementerian/Lembaga yang diperiksa oleh
BPK. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Kriteria
pemilihan sampel yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
a. Kementerian/Lembaga tersebut diperiksa oleh BPK dari tahun 2010-2012
b. BPK sudah mengeluarkan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan tersebut
c. Kementerian/Lembaga memiliki data yang cukup memadai.
Tabel 1
Pemilihan Ukuran Sampel
Sampel awal
Sampel yang dikeluarkan:
Data tidak lengkap karena
Kementerian/Lembaga tersebut
baru berdiri.
Sampel akhir
2010
76
2011
80
2012
87
Total
243
-
(4)
(11)
(15)
76
76
76
228
Model penelitian ini mengacu pada penelitian Susanti (2012) dan Nuraeni (2011). Penelitian tersebut
menggunakan empat model terpisah untuk menguji pengaruh karakteristik Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah daerah terhadap opini, temuan terkait kelemahan pengendalian intern, temuan terkait
ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan tingkat penyimpangan. Penelitian ini
hanya menggunakan satu model untuk pengukuran opini audit sertamelakukan penyesuaian terkait
dengan penambahan variabel independen dan variabel kontrol. Model yang digunakan dalam penelitian
ini adalah model ordinal logistik (ordered logit).
πΏπ‘œπ‘”π‘–π‘‘(𝑂𝑃)it = 𝛼0 + 𝛼1 𝑆𝐷𝑀it +𝛼2 𝐾𝑂𝑀𝑃𝐿𝐾it +𝛼3 𝐷𝐸𝐾𝑂𝑁it +𝛼4 𝑇𝑃 it+𝛼5 𝑇𝐿(it-1) +𝛼6 πΌπΆπ‘Š it+𝛼7 𝐢𝑂𝑀𝑃𝐿
it+𝛼8 𝑁𝑂𝑀 it+𝛼9 SIZE it +𝛼10 AGE it +ε it
Dimana:
OP
: opini audit BPK
SDM
: kualitas sumber daya manusia
KOMPLK
: tingkat kompleksitas
DEKON
: kegiatan dekonsentrasi
TP
: tugas pembantuan
TL
: tindak lanjut hasil audit BPK
ICW
: temuan terkait kelemahan internal kontrol
COMPL
: temuan terkait ketidakpatuhan peraturan perundang-undangan
NOM
: tingkat penyimpangan anggaran
SIZE
: ukuran
AGE
: umur administrasi
IV.2.
Operasionalisasi Variabel
Dalam penelitian ini variabel dependen adalah kualitas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga
(LKKL) yang diukur dari Opini audit atas LKKL, terdiri dari empat kategori yang masing-masing sebagai
berikut:
Tabel 2
Perhitungan Skor Opini Audit
Wajar Tanpa
Wajar Dengan
Tidak Wajar
Tidak
Pengecualian
Pengecualian
Mengemukakan
Pendapat
(WTP)
(WDP)
(TW)
(TMP)
Skor
4
3
2
1
5
Variabel bebas dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah faktor
internal Kementerian/Lembaga yang terdiri dari kualitas sumber daya manusia, tingkat kompleksitas,
kegiatan dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan tindak lanjut hasil audit. Kelompok kedua adalah temuan
pemeriksaan BPK.
Tabel 3
Pengukuran Variabel Bebas (Faktor Internal Kementerian/Lembaga)
Variabel
Pengukuran
Keterangan
Kualitas Sumber
daya manusia
Peserta yang telah lulus pelatihan
Program Percepatan Akuntabilitas
Keuangan Pemerintah (PPAKP)
dibagi dengan jumlah satuan kerja
Kementerian/Lembaga
Tingkat
Kompleksitas
Kegiatan
dekonsentrasi
Jumlah satuan kerja
Tugas pembantuan
Jumlah dana tugas pembantuan
dibagi dengan total nilai anggaran
Kementerian/Lembaga
Nilai rekomendasi yang telah
ditindaklanjuti dengan
penyetoran/penyerahan aset ke kas
negara/daerah/perusahaan pada
tahun sebelumnya dibagi dengan
total rekomendasi
Rasio ini mengacu pada
target pemerintah sesuai
TOR Program Percepatan
Akuntabilitas Keuangan
Pemerintah (PPAKP) dari
Kemenkeu
Jumlah dana dekonsentrasi dibagi
dengan total nilai anggaran
Kementerian/Lembaga
Tindak lanjut hasil
audit
Temuan audit BPK yang terdiri dari kelemahan pengendalian intern, ketidakpatuhan pada peraturan
perundang-undangan, dan tingkat penyimpangan anggaran. Penjelasannya sebagai berikut:
Variabel
Tabel 4
Pengukuran Temuan Audit BPK
Pengukuran
Kelemahan pengendalian intern
Jumlah temuan terkait kelemahan pengendalian
intern berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) BPK atas LKKL dibagi dengan total aset
Kementerian/Lembaga
Ketidakpatuhan
pada
perundang-undangan
Jumlah temuan terkait ketidakpatuhan pada
peraturan perundang-undangan berdasarkan
Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas LKKL dibagi
dengan total aset Kementerian/Lembaga
peraturan
Tingkat penyimpangan anggaran
Total Nilai Temuan dibagi total belanja
Kementerian/Lembaga
Variabel kontrol yang digunakan disini adalah ukuran dan umur administrasi Kementerian/Lembaga.
Ukuran diproksikan dengan log total aset dari neraca yang mengacu pada penelitian Wicaksono (2012),
Nuraeni (2011), Mustikasari dan Fitriasari (2008), Hilmi (2010), dan Susanti (2012). Nilai total aset dilog
karena nilainya dalam rupiah yang berbeda dengan niiai pada variabel lain. Penulis memasukkan ukuran
sebagai variabel kontrol karena total aset yang dimiliki Kementerian/Lembaga mampu membedakan
kekuatan yang dimiliki Kementerian/Lembaga tersebut.
6
Variabel kontrol selanjutnya adalah umur administrasi Kementerian/Lembaga yang diproksikan dengan
lamanya Kementerian/Lembaga berdiri dihitung dari Peraturan dan Perundang-undangan yang
mengesahkan Kementerian/Lembaga tersebut. Pengukuran ini mengacu pada penelitian Wicaksono
(2012) dan Hidayat (2007). Umur administrasi Kementerian/Lembaga dapat membedakan kematangan
instansi tersebut dalam pengelolaan keuangan negara. Semakin matang organisasi tersebut maka
pengelolaan keuangan negara yang dilakukan semakin baik, sehingga kualitas laporan yang dihasilkan
juga semakin baik.
V.
Hasil Penelitian
Deskriptif statistik sampel penelitian setelah mengeluarkan data outlier disajikan dalam Table 5 berikut.
Tabel 5
Statistik Deskriptif setelah Uji Outlier
Variabel
N
Rata-rata
Median
Maks.
Min.
Std. Dev
OP
228
3,71
4
4
1
0,56
SDM
228
0,39
0,09
4
0
0,76
KOMPLK
228
218,50
34
1705
1
382,99
DEKON
228
0,06
0
2,99
0
0,34
TP
228
0,01
0
0,21
0
0,05
TL
228
0,63
0,52
5,49
0
0,79
ICW
228
-26,49
-26,81
-20,06
-31,94
2,12
COMPL
228
-25,96
-26,09
-19,91
-31,52
2,12
NOM
228
0,01
0,002
0,18
0
0,02
SIZE (Rp)
228
15t
1,63 t
163 t
2,07 m
35,9 t
AGE
228
39,60
44,50
70
1
22,93
Keterangan:
OP = Opini audit; SDM = kualitas sumber daya manusia; KOMPLL = tingkat kompleksitas ; DEKON = kegiatan
dekonsentrasi ; TP = tugas pembantuan ; TL = dan tindaklanjut hasil audit ; ICW = temuan audit BPK berupa
temuan terkait kelemahan internal kontrol ; COMPL = temuan terkait ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan; NOM = tingkat penyimpangan anggaran ; SIZE = ukuran Kementerian/Lembaga; AGE =
umur administrasi
Rata-rata Kementerian/Lembaga memiliki 218 satuan kerja. Kementerian/Lembaga yang memiliki
satuan kerja terbanyak sebesar 1705 adalah Kementerian Agama, sedangkan nilai terkecil sebesar 1
satuan kerja dimiliki Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Intelijen Negara, Lembaga Sandi Negara, Dewan Ketahanan
Nasional, Kementerian Negara PPN/BAPPENAS, Lembaga Ketahanan Negara, Komnasham, Mahkamah
Konstitusi, PPATK, Badan Standarisasi Nasional, KPK, Komisi Yudisial, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, BPLS, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan Komisi Persaingan Usaha.
Dari Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata kegiatan dekonsentrasi yang dialokasikan sebesar 0,06, selain itu
banyak Kementerian/Lembaga yang tidak memiliki alokasi kegiatan dekonsentrasi. Nilai kegiatan
dekonsentrasi tertinggi sebesar 2,99 dimiliki oleh Kementerian Kesehatan.
7
Rata-rata tugas pembantuan yang dialokasikan sebesar 0.01. Cukup banyak Kementerian/Lembaga yang
tidak memiliki alokasi tugas pembantuan. Nilai tugas pembantuan tertinggi sebesar 0.21 dimiliki oleh
Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Lembaga Ketahanan Nasioanal.
Rata-rata rasio tindaklanjut hasil audit sebesar 0,63. Nilai tertinggi sebesar 5,49 dimiliki oleh Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 2010 dan Kementerian Peindustrian tahun 2012. Nilai
terendah sebesar 0 dalam konteks ini memiliki dua arti yaitu tidak adanya penyetoran atau penyerahan
aset yang dilakukan seperti pada Kementerian Pertahanan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
tapi bisa juga berarti tidak ada nilai yang direkomendasikan oleh BPK, sehingga tidak perlu dilakukan
tindaklanjut apapun seperti pada Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Badan Koordinasi Penanaman
Modal, Badan Intelijen Negara, PPATK, dan BPKP.
Rata-rata total aset yang dimiliki Kementerian/Lembaga sebesar 15 Triliyun, dimana total aset tertinggi
sebesar 163 Triliyun dimiliki oleh Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2012. Sedangkan total aset
terendah sebesar 2,07 Milyar dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat tahun 2011. Rata-rata umur
administratif Kementerian/Lembaga sebesar 40 tahun. Kementerian/Lembaga yang paling lama berdiri
adalah Mahkamah Agung yang sudah berdiri 70 tahun sampai tahun 2012. Kementerian/Lembaga yang
paling muda umurnya Badan Informasi Geospasial yang baru berdiri 1 (satu) tahun.
Hasil uji signifikansi sebagai berikut :
Tabel 6
Hasil Uji Signifikansi
Model penelitian:
πΏπ‘œπ‘”π‘–π‘‘(𝑂𝑃)it = 𝛼0 + 𝛼1 𝑆𝐷𝑀it +𝛼2 𝐾𝑂𝑀𝑃𝐿𝐾it +𝛼3 𝐷𝐸𝐾𝑂𝑁 it +𝛼4 𝑇𝑃 it+𝛼5 𝑇𝐿(it-1) +𝛼6 πΌπΆπ‘Š
it+𝛼7 𝐢𝑂𝑀𝑃𝐿 it+𝛼8 𝑁𝑂𝑀 it+𝛼9 SIZE it +𝛼10 AGE it +ε it
Variabel
Prediksi
Kooefisien
Z-Stat
Probabilitas
SDM
+
-0,30
-1,19
0,23
KOMPLK
-0,21
-1,79
0,07*
DEKON
-1,58
-2,16
0,03**
TP
1,42
0,33
0,74
TL
+
0,38
1,48
0,13
ICW
-0,04
-0,34
0,73
COMPL
-0,88
-3,35
0,00***
NOM
-12,89
-1,66
0,09*
SIZE
-0,94
-3,38
0,00***
(Kontrol)
AGE
+
0,00
0,00
0,99
(Kontrol)
Pseudo R-squared = 0,199
LR statistik
= 51,54
Prob( LR Statistik)= 0.000
*)signifikan pada 10%,**)signifikan pada 5%, ***)signifikan pada 1%
Keterangan:
OP = Opini audit; SDM = kualitas sumber daya manusia; KOMPLK = tingkat kompleksitas ; DEKON = kegiatan
dekonsentrasi ; TP = tugas pembantuan ; TL = tindak-lanjut hasil audit ; ICW = temuan audit BPK berupa temuan
terkait kelemahan internal kontrol ; COMPL = temuan terkait ketidak-patuhan terhadap peraturan perundangundangan; NOM = tingkat penyimpangan anggaran ; SIZE = ukuran Kementerian/Lembaga; AGE = umur
administrasi
VI.
VI.1.
Pembahasan
Kualitas sumber daya manusia
Kualitas sumber daya manusia diukur dengan membandingkan jumlah lulusan diklat PPAKP dengan
jumlah satuan kerja di Kementerian/Lembaga. Pengujian hipotesis menunjukkan nilai probabilitas 0,23
dengan koefisien variabel -0.30, yang berarti H0 diterima. Artinya kualitas sumber daya manusia tidak
berpengaruh terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi kementerian/Lembaga.
8
Hasil pengujian ini mendukung penelitian Indriasari (2008), Arfianti (2009), dan Rosalin (2010) bahwa
kualitas sumber daya manusia tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap keandalan laporan
keuangan, yang pada akhirnya berhubungan juga dengan kualitas laporan keuangan.
VI.2.
Tingkat Kompleksitas
Tingkat kompleksitas diukur dengan natural logaritma jumlah satuan kerja masing-masing
Kementerian/Lembaga. Pengujian hipotesis menunjukkan probabilitas 0,07 (signifikan pada tingkat
α=10%) dengan koefisien variabel -021, yang berarti H0 ditolak. Artinya tingkat kompleksitas
berpengaruh negatif terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi. Semakin tinggi
kompleksitas suatu Kementerian/Lembaga, maka akan semakin kecil kemungkinan akuntabilitas dan
transparansi tinggi. Hasil pengujian ini mendukung penelitian Petrovits, Shakespeare, dan Shih (2010)
dan Asbaugh-Skaife, Collins, dan Kinney (2007) meneliti tentang pengendalian intern yang membuktikan
bahwa kompleksitas suatu organisasi berhubungan positif dengan kelemahan pengendalian intern. Ge
dan McVay (2005), Ashbaugh-Skife, Collins, dan Kinney (2007) dan Doyle, Ge, dan McVay (2007)
menemukan hubungan positif antara jumlah segmen usaha atau cabang organisasi dengan kelemahan
pengendalian intern. Semakin kompleksnya suatu organisasi umumnya memiliki kelemahan sistem
pengendalian intern yang lebih besar sehingga akan menghasilkan temuan dan tingkat penyimpangan
yang lebih banyak. Konsekuensinya adalah kualitas laporan keuangan semakin menurun seiring dengan
kompleksitas informasi. Anggareni (2012) menyatakan bahwa kendala yang sering ditemukan dalam
penyusunan laporan keuangan di tingkat Kementerian/Lembaga adalah lemahnya koordinasi antar
bagian terkait terutama di tingkat satuan kerja. Kendala ini tentunya akan berdampak besar terhadap
kualitas laporan keuangan yang dihasilkan.
VI.3.
Kegiatan Dekonsentrasi
Kegiatan dekonsentrasi diukur dengan membandingkan jumlah dana dekonsentrasi yang dialokasikan
Kementerian/Lembaga dengan total nilai anggaran. Pengujian hipotesis menunjukkan probabilitas 0.03
(signifikan pada tingkat α=5%) dengan koefisien variabel -1,58, yang berarti H0 ditolak. Artinya kegiatan
dekonsentrasi berpengaruh negatif terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi.
Semakin besar alokasi dana dekonsentrasi, maka akan semakin kecil kemungkinan akuntabilitas dan
transparansi tinggi. Pengujian ini memberikan bukti empiris yang mendukung penelitian kualitatif BPKP
(2004), Hania (2003), Hartanti (2010), dan Santosa (2008). Semua penelitian tersebut secara kualitatif
menyimpulkan bahwa banyaknya masalah yang muncul dari alokasi kegiatan dekonsentrasi membuat
kualitas laporan keuangan Kementerian/Lembaga semakin buruk. Kualitas laporan keuangan akan
berpengaruh terhadap akuntabilitas dan transparansi.
VI.4.
Tugas pembantuan
Tugas pembantuan diukur dengan membandingkan alokasi dana tugas pembantuan dengan total nilai
anggaran Kementerian/Lembaga. Pengujian hipotesis menunjukkan probabilitas 0,74 dengan koefisien
variabel 1,42, yang berarti H0 diterima. Artinya tugas pembantuan tidak mempunyai berpengaruh
terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi. Hasil pengujian ini juga bertolak
belakang dengan penelitian Nuruda (2013) yang secara kualitatif menyimpulkan kesalahan alokasi dana
tugas pembantuan berdampak buruk pada kualitas laporan keuangan Kementerian/Lembaga.
VI.5
Tindaklanjut hasil audit
Tindaklanjut hasil audit diukur dengan membandingkan nilai rekomendasi yang telah ditindaklanjuti
dengan penyetoran/penyerahan aset ke kas negara/daerah/perusahaan pada tahun sebelumnya dengan
total rekomendasi. Pengujian hipotesis menunjukkan probabilitas 0,13 dengan koefisien variabel 0,38
yang berarti H0 diterima. Artinya tindaklanjut hasil audit tidak berpengaruh terhadap kemungkinan
tingginya akuntabilitas dan transparansi. Hasil pengujian ini mendukung penelitian Dwiputrianti (2008),
Liu dan Lin (2012), Masyitoh (2014).
VI.6.
Temuan kelemahan internal kontrol
Temuan terkait kelemahan internal kontrol diukur dengan membandingkan jumlah temuan terkait
kelemahan internal kontrol dengan total aset Kementerian/Lembaga. Pengujian hipotesis menunjukkan
probabilitas 0,73 dengan koefisiean variabel -0,03 berarti H0 diterima. Artinya temuan terkait
kelemahan internal kontrol tidak berpengaruh terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan
transparansi. Pengujian ini memberikan bukti empiris yang mendukung penelitian Bernstein (2000),
Huefner (2011), Kurniawan (2007), Pudyastuti (2008), Helina (2009), Mustikarini dan Fitriasari (2012),
dan Kurniasih (2013), serta Sudarsana (2013).
9
VI.7.
Temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
Temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan diukur dengan membandingkan
Temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dengan total aset
Kementerian/Lembaga. Pengujian hipotesis menunjukkan probabilitas 0,00 (signifikan pada tingkat
α=1%) dengan koefisien variabel -0,88, yang berarti H0 ditolak. Artinya temuan ketidakpatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan
transparansi. Semakin banyak temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, makin
semakin kecil kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi. Hasil pengujian sesuai dengan
penelitian Anggaraeni (2012), Pudyastuti (2008), Helina (2009), Dwiputrianti (2008), Mustikarini dan
Fitriasari (2012) serta Arifianti (2013), dan Adzani (2013).
VI.8.
Tingkat penyimpangan anggaran
Tingkat penyimpangan anggaran diukur dengan membandingkan total nilai temuan dibagi total belanja
Kementerian/Lembaga. Pengujian hipotesis menunjukkan probabilitas 0,09 (signifikan pada tingkat
α=10%) dengan koefisiean variabel -12,89, yang berarti H0 ditolak. Artinya tingkat penyimpangan
anggaran berpengaruh negatif terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi. Semakin
besar tingkat penyimpangan anggaran, maka akan semakin kecil kemungkinan akuntabilitas dan
transparansi tinggi. Pengujian ini memberikan bukti empiris yang mendukung penelitian Liestiani (2008)
dan Hilmi (2011).
VII.
Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran Pengembangan Penelitian
Kualitas sumber daya manusia tidak berpengaruh terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan
transparansi Kementerian/Lembaga. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak sesuainya porsi antara
jumlah lulusan diklat PPAKP dengan jumlah satker yang dikelola. Selain itu, peserta tidak ditempatkan di
bagian akuntansi dan pelaporan setelah mengikuti diklat PPAKP. Tingkat kompleksitas berpengaruh
negatif terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga. Kegiatan
dekonsentrasi berpengaruh negatif terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi
Kementerian/Lembaga. Tugas pembantuan tidak mempunyai berpengaruh terhadap kemungkinan
tingginya akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga. Hal ini mungkin disebabkan oleh
sebagian besar Kementerian/Lembaga yang dijadikan sampel dalam penelitian ini tidak memiliki alokasi
dana tugas pembantuan. Tindaklanjut hasil audit tidak berpengaruh terhadap kemungkinan tingginya
akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga. Hal ini mungkin disebabkan oleh masih
rendahnya perhatian Kementerian/Lembaga terhadap rekomendasi BPK.
Temuan terkait kelemahan internal kontrol tidak berpengaruh terhadap kemungkinan tingginya
akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak
materialitasnya temuan yang ada. Temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
berpengaruh negatif terhadap kemungkinan tingginya akuntabilitas dan transparansi
Kementerian/Lembaga. Tingkat penyimpangan anggaran berpengaruh negatif terhadap kemungkinan
tingginya akuntabilitas dan transparansi Kementerian/Lembaga.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya sebagai berikut:
a. Tahun pengamatan penelitian ini hanya tiga tahun yaitu tahun anggaran 2010-2012. Penelitian
selanjutnya bisa menambah tahun pengamatan.
b. Penelitian ini mengabaikan faktor politik dan tawar menawar opini yang mungkin dalam
kenyataannya terjadi di lapangan. Penelitian selanjutnya dapat memasukkan faktor tersebut
dengan pengukuran melalui wawancara atau kuesioner.
c. Akuntabilitas dan transparansi dalam penelitian ini hanya diukur dari opini audit BPK yang
diperoleh Kementerian/Lembaga. Pengukuran bisa menggunakan alternatif lain, seperti tingkat
pengungkapan dalam laporan keuangan.
d. Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder. Penelitian selanjutnya bisa menggabung data
sekunder dan data primer misalnya dari wawancara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Wawancara bisa dilakukan untuk mendukung analisis penelitian berkaitan dengan pengaruh
faktor internal auditee terhadap akuntabilitas dan transparansi.
e. Tidak sesuainya hasil penelitian ini dengan beberapa hipotesis berkaitan dengan kualitas sumber
daya manusia, tugas pembantuan, tindaklanjut hasil audit, dan temuan terkait kelemahan
internal kontrol mungkin disebabkan oleh proksi pengukuran yang belum tepat. Penelitian
10
f.
berikutnya bisa mempertimbang latar belakang lulusan diklat PPAKP apakah bergelar sarjana
ekonomi atau tidak untuk memastikan bahwa lulusan diklat PPAKP memang kompeten.
Nilai materialitas temuan belum di pertimbangkan dalam penelitian ini. Untuk melihat pengaruh
temuan baik terkait dengan internal kontrol maupun ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan terhadap akuntabilitas dan transparansi dapat mempertimbangkan nilai
materialitas dari temuan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adzani, Akhmad Hafidzan. (2013). Analisis pengaruh kesejahteraan masyarakat, faktor politik, dan hasil
pemeriksaan BPK terhadap opini LKPD 2009-2011. Skripsi. Universitas Indonesia.
Anggaraeni, Mita. (2012). Analisis proses penyusunan laporan keuangan Kementerian/Lembaga: studi
kasus pada penyusunan laporan keuangan pada Sistem Akuntansi Instansi (SAI) di Kementerian
Keuangan. Skripsi Universitas Indonesia.
Ariesta, Fadila. (2013). Pengaruh kualitas sumber daya manusia, pemanfaatan teknologi informasi, dan
pengendalian intern akuntansi terhadap nilai informasi pelaporan keuangan Pemerintah daerah.
Skripsi. Universitas Negeri Padang.
Arifianti, H., Payamita, dan Sutaryo. (2013). Pengaruh pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah
terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah: Studi Empiris pada pemerintahan
Kota/Kabupaten di Indonesia. SNA XVI.
Asbaugh Skaife, H. Collins, Daniel W, Kinney, dan William R. (2006). The discovery and reporting of
internal control deficiencis prior to SOX- mandated audits. McCombs Research Paper Series. No.
ACC-02-05.
Attila, G. (2012). Agency problems in public sector. Annals of Faculty of Economics, Vol. 1, No. 1, 708-712.
Badan Pemerika Keuangan. (2012). Mengenal lebih dekat BPK: sebuah panduan populer. Jakarta: Biro
Humas dan Luar Negeri.
Badan Pemeriksa Keuangan. Peraturan BPK Nomor 01 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara.
Badan Pemeriksa Keuangan (2014). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 Tahun 2013. Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan (2013). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 Tahun 2012. Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan (2012). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 Tahun 2011. Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan (2011). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 Tahun 2010. Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan (2010). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 Tahun 2009. Jakarta.
Barone, G. (2002). Perceptions of earnings quality and their association with the cost of equity capital.
Working paper. University of Wisconsin.
Cristanti, Dianne Natalia. (2010). Pengaruh akuntansi berbasis akrual dan sistem
11
Darno. (2010). Analisis pengaruh kemampuan sumber daya manusia pengendalian intern terhadap
kualitas laporan keuangan. Tesis Unikom.
De Angelo,danLida Elizabeth. (1981). Auditor size and audit quality. Journal of Accounting and Economics,
3, 183-199.
Denhardt, V Janet dan Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving, not Steering. New York :
M.E Sharpe, Armonk.
Fanani, Zaenal. (2009). Kualitas laporan keuangan: berbagai faktor penentu dan konsekuensi ekonomis.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Juni 2009. Vol 6 No 1, 20-45.
Gujarati, Damodar N. (2003). Basic Econometrics, New York: McGraw-Hill, Inc.
Gu.Z, C.J Lee, dan J.G. Rosett. (2002). Information enviroment and accrual volatility. Working Paper, A.B.
Freeman School of Business, Tulane University.
Halim, Abdul, Restianto, Yanuar, Karman, dan I Wayan. (2010). Seri Bunga Rampai Akuntansi Sektor
Publik: Sistem Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN.
Halim, Abdul. dan Syam Kusufi. (2012). Akuntansi sektor publik: Teori, Konsep, Aplikasi. Jakarta:Salemba
Empat.
Halim, Abdullah dan Abdullah, Syukuriy. (2005). Hubungan dan masalah keagenan di pemerintahan
daerah:
SebuahPeluang
Penelitian
Anggaran
dan
Akuntansi.
http://kelembagaandas.wordpress.com/teori-agensi-principal-agent-theory/abdul-halim-dansyukriy-abdullah/: diakses tanggal 26 Maret 2014.
Hartanti, Herlina. (2010). Alokasi dana dekonsetrasi Kemdiknas dan Kksesuaiannya dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Tesis Universitas Indonesia.
Hilmi, Amirul Zul (2011). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengungkapan laporan
keuangan provinsi tahun 2006-2009. Skripsi. Universitas Indonesia.
Ingram, Robert, W dan Douglas V De. Jong. (1987). The effect of regulation on local government disclosure
practices, Journal of Accounting and Public Policy, Volume 6, Issue 4, 245-270.
Indriasari, Desi. (2008). Pengaruh kapasitas SDM, pemanfaatan teknologi informasi, dan pengendalian
intern akuntansi terhadap nilai informasi pelaporan keuangan pemerintah daeraah. SNA XI.
Jensen, MC dan Meckling, W.H. (1976). Theory of the firm: Managerial behaviour, agency cost and
ownership structure, Journal of Financial Economics, 3, 305-360.
Kementerian Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang pedoman
pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan.
Kusumawardani, Media. (2012). Pengaruh size, kemakmuran, ukuran legislatif, leverage terhadap kinerja
keuangan Pemerintah daerah. Accounting Analysis Journal 1. Universitas Negeri Semarang.
Laswad, F., Richard, F., dan Oyelere, P. (2005). Determinant of voluntary internet financial reporting by
local government authorities, Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 24, 101-121.
12
Liestiani, Annisa. (2007). Pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di
Indonesia untuk tahun anggaran 2006. Skripsi.Universitas Indonesia
Liu, J. and Lin, B. (2012). Government auditing and corruption control: Evidence from China’s provincial
panel data. China Journal of Accounting Research, Vol. 5, 163-186.
Mardiasmo. (2006). Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik:
Suatu Sarana Good Governance. Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol. 2 No. 1,1-17.
Masyitoh, Rizki Diyah. (2014). Pengaruh opini, temuan audit, dan tindak lanjut audit terhadap persepsi
korupsi pada Pemerintah daerah Tingkat II Periode 2008-2010. TesisUniversitas Indonesia.
Mustikarini, Widya Astuti, dan Debby Fitriasari. (2008). Pengaruh karakteristik Pemerintah daerah dan
temuan audit BPK terhadap kinerja Pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Indonesia tahun
anggaran 2007. SNA 15.
Nachrowi, Nachrowi D., Usman, Hardius. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonomenterika untuk
Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga penerbit fakultas ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta
Nuraeni. (2011). Analisis pengaruh karakteristik pemerintah daerah terhadap kualitas audit atas laporan
keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota tahun 2008-2009. Skripsi Universitas Indonesia.
Nuruda, Andri Ridwan. (2003). Analisis kesesuaian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada
Kementerian Pertanian. Tesis Universitas Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah.
Rahmayati, Fitri. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas laporan keuangan
Kementerian/Lembaga (studi kasus pada satuan kerja di Wilayah kerja KPPN Surabaya II. Skripsi.
Universitas Brawijaya.
Raman, K. K., and Wilson, E. R. 1994. Governmental Audit Procurement Practices and Seasoned Bond
Prices. The Accounting Review, Vol. 69, No. 4, 517-538.
Retina, Zelda. (2008). Tingkat kepatuhan Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia terhadap PP No. 24
Tahun 2005 dan Hubungannya dengan PAD serta Total Aktiva. Skripsi Universitas Indonesia.
Robbins, Walter. A, dan Austin. Kenneth R. (1986). Disclosure quality in govermental financial reports: An
assessment of the appropriateness of a compound measures. Journal of Accounting Research, Vo.
24, No. 2, 412-421.
Santoso, Catur Budi. (2008). Pengaruh manajemen pengelolaan aset tetap dana dekonsentrasi terhadap
transparansi dan akuntabilitas keuangan pada Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah. Tesis Universitas Indonesia.
Santoso, Urip, dan Yohanes Joni Pambelum. (2008). Pengaruh penerapan akuntansi sektor publik
terhadap akuntabilitas kinerja instansi Pemerintah dalam mencegah fraud. Jurnal Administrasi
Bisnis. Vol 4, Hal 14-33.
Saragih, Juli Panglima. (2003). Desentralisasi fiskal dan keuangan daerah dalam otonomi. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
13
Susanti, Dewi. (2010). Pengaruh karakteristik Kementerian/Lembaga terhadap kualitas audit laporan
keuangan Kementerian/Lembaga. Tesis Universitas Indonesia.
Suwardjono. (2005). Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. (Edisi Ketiga). Yogyakarta:
BPFE.
14
Download