perkawinan poligami yang berkeadilan

advertisement
PERKAWINAN POLIGAMI
YANG BERKEADILAN
Rudi Nuruddin Ambary
Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Kertamukti, Pisangan, Ciputat
E-mail: [email protected]
Abstract: A Fair Polygamy Marriage. Polygamy is still an attractive study to discuss. It is not only
related to religious interpretation but also the rights and responsibilities of the polygamy marriages
perpetrators. Although polygamy is legalized and has juridical base, but in reality there are people
who are notequitable to do polygamous marriage. Polygamous marriage does not only have impact
to the family (wife and children) but also social impact in society. For that reason, the rule of
polygamy should be explored and transformed massively so that polygamous marriage does not
make the wife and children as victims.
Keywords: gender, monogamy, ta’arudh ‘adillah
Abstrak: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan. Persoalan poligami hingga saat ini masih
menjadi kajian yang menarik. Tidak hanya yang berkaitan dengan penafsiran keagamaan, namun
juga hak dan tanggung jawab yang akan dipikul oleh pelaku perkawinan poligami. Meskipun
poligami telah terlegislasi dan mempunyai payung yuridis, namun pada kenyataannya masih banyak
pelaku perkawinan poligami yang tidak berkeadilan. Perkawinan poligami tidak hanya berdampak
dalam keluarga baik bagi istri dan anak-anak yang dilahirkannya, namun juga dampak sosial bagi
keluarga yang melakukan perkawinan poligami. Karena itu, formulasi poligami yang berkeadilan
harus terus digali dan ditransformasi secara masif sehingga perkawinan poligami, tidak menjadikan
istri dan anak-anak menjadi korban, namun mengangkat harkat dan martabat mereka.
Kata Kunci: jender, monogami, ta’arudh ‘adillah
Pendahuluan
Islam menganjurkan manusia untuk mencari
pasangan hidupnya (nikah) bagi yang telah
mampu menegakkan tanggung jawab dalam
perkawinan, baik fisik, mental, ekonomi,
dan sosial. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw.
bersabda:
Hadis di atas menunjukkan bahwa me­
nikah berarti telah menyempurnakan separuh
agama. Karena menikah merupakan separuh
dari agama, maka melaksanakan pernikahan
merupakan suatu kesakralan dan agung.
Perkawinan tidak hanya penting dalam
rangka kebahagiaan hidup manusia, tetapi
juga dalam rangka lestarinya kemakmuran
bumi melalui keturunan yang harus ber­
langsung secara terus menerus.
Dalam kaitan eksistensi perkawinan yang
sakral dan agung itu, perlu dipertanya­­kan
bagaimana sikap Islam mengenai poligami
dan monogami? Manakah yang lebih
1
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihâqî, lihat ‘Abd
Adzîm bin ‘Abd Qawi al-Mundziri, al-Targhîb wa al-Tarhîb, Juz
III, (Bayrut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1417 H), h. 29.
1
73
74| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
utama antara keduanya? Ayat Alquran
yang dipandang berhubungan dengan per­
tanyaan tersebut adalah Q.s al-Nisa [4]:
3,2 yang merupakan satu-satunya ayat yang
menerangkan poligami. Secara zahir ayat
tersebut memerintahkan untuk berlaku adil,
apabila tidak mampu, maka hendaklah tidak
berpoligami, atau mengawini hamba sahaya
saja agar terhindar dari berbuat zalim.
Namun pada ayat yang lain disebutkan
bahwa manusia tidak akan mampu berbuat
adil. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya
pada surat yang sama yakni al-Nisa [4]: 129.3
Pada ayat ini tidak menjadikan keadilan
sebagai syarat utama berpoligami, poligami
merupakan hal yang mustahab untuk
dilakukan. Ayat tersebut hanya melarang
suami untuk terlalu cenderung pada salah
seorang istri tanpa memperhatikan hak-hak
yang lain.4
Fenomena ini mengesankan ada ta’arudh
‘adillah dalam dalil. Dan faktanya, UU
Perkawinan di Indonesia juga membolehkan
praktek poligami. Hal ini sebagaimana
dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat
2
Ayat tersebut berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.
3
Ayat tersebut berbunyi:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
4
Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa alSyarî’ah wa al-Manhaj, Juz III, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1991), h. 240.
2 menyatakan, pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Lebih lanjut
pasal 5 menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi bagi suami yang akan melakukan
poligami, yaitu adanya persetujuan dari istri,
adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka (material), serta
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
(immaterial). Namun dalam prakteknya,
syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak
sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara
tidak ada kontrol dan sangsi dari pengadilan
untuk menjamin syarat itu dijalankan.
Bahkan dalam beberapa kasus, poligami
bisa dilaksanakan mesti belum atau tidak
ada persetujuan dari istri sebelumnya. 5
Norma lain yang cukup menyokong
perilaku poligami adalah tradisi (adat) yang
berlaku dalam masyarakat. Pada kelompok
masyarakat tertentu dapat ditemukan bahwa
perilaku poligami atau poligini menjadi suatu
sistem perkawinan yang resmi, misalnya
suku-suku masyarakat adat Irian Jaya.
Selain dari pada itu, dalam masyarakat
juga berkembang mitos-mitos seksualitas yang
turut mendukung poligami. Sebagai contoh,
ada kepercayaan nafsu seksuil laki-laki lebih
besar ketimbang perempuan, sementara
perempuan lebih cepat tua ketimbang lakilaki. Hal ini menjadi legitimasi bagi kaum
laki-laki, untuk mengawini perempuan
lebih dari satu. Semua hal di atas menjadi
aturan yang membuat perempuan menyetujui
poligami.
Pada tingkat elit politik, poligami juga
marak dibicarakan sejak muncul pernyataan
kontroversial Khafifah Indar Parawansa
yang pada saat pemerintahan Abdurrahman
Wahid menjabat sebagai Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan. Menurut Khafifah,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
5
Kompas, 27 September 2000, h. 1.
Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |75
No. 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,
yang termasuk didalamnya tentang poligami
harus dihapuskan. Penghapusan PP 10 di­
tujukan untuk mengembalikan hak asasi
laki-laki untuk berpoligami yang dianggap
sesuai ajaran Islam.6
Pada pihak lain Suryakusuma, seorang
sosiolog memberikan data penelitian yang
dilakukannya menyatakan bahwa fenomena
perempuan simpanan yang terus me­ningkat
serta berbagai kekerasan dalam bentuk
perselingkuhan dan pernikahan sirri merupa­
kan dampak negatif dari keberadaan PP
tersebut. PP 10 menurut Suryakusuma
berusaha mencegah perilaku yang sah
menurut UU perkawinan dan hukum Islam.
Tujuan dirumuskannya PP dengan demikian
tidak tercapai, bahkan yang terjadi adalah
sebaliknya.
Perdebatan sekitar poligami terus ber­
gulir tidak saja pada tingkat elit politik,
tetapi juga pada masyarakat umum. Di
akhir tahun 2001 misalnya, muncul Puspo
Wardoyo yang mengkampanyekan poligami
yang diyakininya sebagai tuntunan Islam
yang kaffah, melalui berbagai media dan
berencana menerbitkan buku tentang kiat
sukses berpoligami.7
Di sisi lain ada beberapa realita me­
nunjukkan bahwa kehidupan kaum pe­
rempuan yang dipoligami lebih banyak
mengalami kekerasan daripada kebahagiaan.
Jenis kekerasan yang terjadi memiliki beberapa
konteks yakni kekerasan emosional, ekonomi,
fisik, termasuk kekerasan seksual. 8 Hal ini
mengindikasikan bahwa perempuan yang
hidup berumah tangga dengan suami yang
memiliki istri lebih dari satu sangat rentan
Kompas, 27 September 2000, h. 1.
Puspo Wardoyo adalah bos Rumah Makan Ayam
Bakar Wong Solo yang melakukan poligami. Praktek poligami
dijadikannya sebagai sarana untuk mendidik dan melindungi
kaum wanita. Lihat. Nurbowo dan Apiko Joko M., Indahnya
Poligami, (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2003), h. iii-iv.
8
Litbang Rifka Annisa WCC, Laporan Data Kasus Tahun
2001, (Yogyakarta: Rifka Annisa, 2001), h. 5 dan 8.
6
7
terhadap tindak kekerasan. Sebenarnya dalam
beberapa kasus poligami terjadi kekerasan
yang beruntun, baik terhadap istri pertama
maupun kedua. Di mana istri pertama tidak
hanyamengalami pengingkaran komitmen
perkawinan, tetapi juga terjadi tekanan
psikologis, ekonomi, seksual hingga fisik.
Belum lagi pandangan iba bahkan sikap
sinis masyarakat yang makin merendahkan.
Sementara bagi istri kedua, hal yang tak
jauh berbeda juga terjadi.9
Satu hal yang seringkali dilupakan adalah
pembahasan pelanggaran yang dilakukan
laki-laki dalam berpoligami. Dalam hal ini
masyarakat kadang bungkam dan taken
for granted. Seorang laki-laki yang beristri
banyak yang berlaku aniaya tidak mendapat
sangsi moral dan sosial yang pantas. Bahkan
hal itu seakan telah menjadijaminan untuk
membuktikan kekuasaan dan kejantanan
laki-laki. Beberapa anggota masyarakat
bangga mengakui bahwa mereka beristri
banyak dan berlaku sewenangwenang.
Berangkat dari realitas di atas, penulis
merasa penting untuk melihat dan mengkaji
kembali wacana poligami dari berbagai
aspek dan bidang keilmuan, terlebih dari
perspektif perempuan. Salah satu bidang
yang cukup signifikan untuk dikaji ialah
bidang hukum. UU Perkawinan Poligami
yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia,
yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan PP 10
Tahun 1983, akan penulis jadikan sebagai
objek tinjauan dalam penelitian ini.
Meskipun dalam hal yudiriksi per­
undanga-undangan, perkawinan diper­
bolehkan dengan persyaratan yang begitu
ketat, namun nyatanya belum menunjukkan
keadilan. Masih banyak perkawinan poligami
terkadang menimbulkan beberapa dampak
negatif di antara anggota keluarga yang
antara lain:
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami,
(Jakarta: Solidaritas Perempuan–Lembaga Kajian dan Jender,
1999), h. 50-58.
9
76| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
Dominasi Laki-laki yang Berlebihan
dalam Keluarga
Dalam pandangan teologi yang dianut
selama ini, kekuasaan hierarkis laki-laki atas
perempuan adalah keputusan Tuhan yang
tidak bisa diubah. Argumen yang diajukan
untuk ini biasanya adalah pernyataan Tuhan
dalam Alquran bahwa laki-laki adalah
qawwâmûn atas perempuan. 10 Terhadap
kata qawwâmûn, semua mufassir Alquran
masa klasik maupun modern mengartikannya
sebagai pemimpin, penanggung jawab,
penguasa, pelindung dan sejenisnya. 11
Argumen yang dikemukakan untuk tugas
kepemimpinan laki-laki atas perempuan
ini, menurut ayat itu, adalah karena lakilaki mempunyai kelebihan dibandingkan
perempuan.12 Dengan demikian, hierarki
kekuasaan laki-laki atas perempuan telah
mendapat legimitasi teologis. Dari sini
selanjutnya dinyatakan bahwa pernyataan
Tuhan tersebut merupakan ketentuan yang
pasti dan tidak bisa diubah.
Karena perspektif seperti ini, posisi
suami menjadi lebih sangat dominan dalam
perkawinan poligami karena merekalah yang
menanggung segala kebutuhan para isteri.
Hal ini menyebabkan suami akan merasa
Lihat Q.s. al-Nisa [4]: 34. Untuk lebih dalamnya
mengenai ini bisa dilihat dalam Hibah Ra’uf Izzat dalam alMar’ah wa al-’Amal al- Siyasi, Ru’yah Islamiyah, (Bayrut: alMa’had al-’Amaly li al-Fikr al-Islâmi, 1995), h. 101.
11
Makna qawwamah secara bahasa adalah penyangga
dan tiang dari suatu urusan, di atasnya urusan tersebut tegak.
Apabila dikatakan “fulân qawwâmu ‘ala baitihi” berarti fulan
adalah penyangga urusan keluarganya. Lihat al-Râfî’i, al-Misbâh
al-Munîr fî Gharîb al-Syarkh al-Kabîr, ditahqiq oleh Ahmad bin
Muẖammad bin ‘Ali al-Maqqari al-Fayumi, Juz II, (Bayrut: Dâr
al-Fikr, t.t.), h. 520.
12
Para penafsir pada umumnya mengajukan sejumlah
argumen untuk mendukung ideology superioritas laki-laki itu
atas perempuan. Dikatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan
penalaran, kejernihan pikiran, matang dalam perencanaan,
teguh, kuat dan sebagainya dibandingkan dengan perempuan.
Pada tataran realitas sejarah terbukti bahwa para nabi, ulama,
pemimpin, tentara dan sebagainya adalah laki-laki. Akan tetapi
realitas sejarah ini tidak bisa langsung melegitimasi bahwa posisi
perempuan di bawah laki-laki, hal ini dibuktikan dengan telah
banyaknya perempuan yang menduduki jabatan tertinggi dalam
pemerintahan dewasa ini seperti presiden atau perdana menteri.
Demikian juga jabatan-jabatan tinggi dan karier lain dengan
prestasi yang gemilang. lihat Hibah Ra’uf Izzat, al-Mar’ah wa
al-’Amal al- Siyasi, Ru’yah Islamiyah, h. 101
10
sangat berkuasa di antara isteri-isterinya
sebab dialah yang menafkahi mereka.
Perasaan berkuasa ini dapat menyebabkan
kesewenang-wenangan suami terhadap isteriisterinya. Ia dapat saja mengucilkan kaum
istrinya ketika ia merasa bahwa sang istri
tidak dapat memenuhi atau melaksanakan
apa yang diinginkannya.13
Akibat kesewenang-wenangan seperti ini
akhirnya akan menjurus kepada suatu bentuk
penganiayaan (abuse) baik secara fisik maupun
emosional/psikologis. Penganiayaan semacam
ini merupakan suatu cara pengontrolan ter­
hadap pasangan dalam kehidupan rumah
tangga.14
Dalam perkawinan poligami, bargaining
position para isteri dalam keluarga lebih
lemah dibandingkan jika tidak berpoligami
(monogami). Mereka merasa takut jika
diceraikan oleh suami dikarenakan melakukan
kesalahan yang mungkin sebenarnya kecil.
Sedangkan di sisi lain, bagi sang suami masih
ada pilihan isteri yang lainnya. Sebab jika
hal ini terjadi, baginya akan merasa sulit
untuk mencari pasangan hidup lain, jika
ia terpaksa bercerai, karena kedudukannya
dalam masyarakat sebagai janda. Ketakutan
seperti ini menjadikan kaum wanita yang
berpoligami jarang melakukan aksi protes
jika diperlakukan kurang adil. Keadaan ini
menjadikan kaum laki-laki akan lebih berani
untuk menekan dan memperlakukan para
isteri, yang menurutnya membangkang,
dengan perlakuan yang menjurus kepada
kesewenang-wenangan, penindasan dan
ketidak­adilan sehingga pada akhirnya meng­
hasilkan kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini berbeda dengan posisi kaum
wanita yang tidak dipoligami oleh kaum lakilaki. Dalam keadaan menjadi satu-satunya
pasangan hidup bagi suami, kaum wanita
dapat lebih berperan aktif dalam manajemen
Mazhar al-Haq Khan, Wanita Islam Korban Patologi
Sosial, Pent. Lukman Hakim, Cet.I, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1994), h. 100.
14
Elli N. Hasbianto, Menakar “Harga” Perempuan,
(Bandung: Mizan, 1999), h. 191.
13
Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |77
dan kebijakan keluarga. Kaum wanita, dalam
keadaan seperti ini, juga akan lebih berani
untuk menuntut haknya kepada suami ketika
ia (sang isteri) merasa kalau haknya belum
dipenuhi atau ia merasa bahwa sang suami
melakukan suatu kesalahan. Di sisi lain sang
suami juga akan berpikir kembali ketika akan
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
dianggap merugikan isterinya karena jika hal
itu terjadi, ia akan memikul tanggung jawab
yang lebih besar dibandingkan ketika ia
bersama isterinya. Sebab ia akan melakukan
segala hal sendirian, tanpa bantuan dan
motifasi dari isteri.
Kegelisahan Para Isteri dan Persaingan
Antar Keluarga
Allah SWT mensyari’atkan perkawinan
dan menjadikannya sebagai aturan yang
ditetapkan untuk kehidupan manusia serta
untuk tujuan yang agung dan mulia. Di
antara hikmah dan faedah pernikahan adalah
untuk mempererat hubungan antara keluarga
suami dan keluarga istri, dan pada gilirannya,
mempererat hubungan kasih sayang serta
menjalin persaudaraan antar anggota ma­
syarakat yang sebelumnya mungkin tidak
atau belum saling mengenal. Selain itu,
pernikahan juga dapat menumbuhkan rasa
tanggung jawab antara suami istri dalam
pengelolaan rumah tangga,15 serta dalam
pembagian tugas dan tanggung jawab masingmasing dalam mengupayakan kesejahteraan
keluarga dan pemeliharaan anak-anak.16
Dengan sebuah perkawinan diharapkan
akan tercipta suatu hubungan yang erat
dan rasa tanggung jawab di antara anggota
keluarga, termasuk dalam perkawinan
poligami. Akan tetapi, diperbolehkannya
poligami terkadang juga menyebabkan
kegelisahan bagi para istri secara terusmenerus. Sebab, secara psikologis semuaistri
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahîh al-Bukhari,
(Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), Bab Nikah, hadis nomor
4789
16
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung:
Mizan, 2002), h. 2-3.
15
pada hakikatnya tidak akan menerima
dan akan merasa sakit hati jika melihat
suaminya berhubungan dengan perempuan
lain walaupun perempuan itu adalah istri
sah sang suaminya.17
Poligami akan berakibat pada adanya
kekhawatiran yang terus-menerus kalaukalau suatu saat na nti suaminya melakukan
perkawinan lagi yang-dengan demikian mem­
bawa masuk saingan-saingan baru dalam
kelompok keluarga dan, sebagai akibatnya,
persaingan dan pertengkaran antara istriistri yang sudah ada dapat berkobar.18 Rasa
cemburu dan sikap berhati-hati akan senantiasa
menghantui mereka, sebab memang sudah
kodrat wanita kalau mereka sebenarnya tidak
suka untuk dimadu ataupun diperlakukan
berbeda dengan istri yang lainnya.
Dengan demikian timbullah persaingan
tidak sehat di antara para istri. Mereka akan
selalu berusaha untuk sebisa mungkin menarik
perhatian sang suami tanpa memperhatikan
para istri lain yang notabene juga sebagai
anggota keluarga. Selain itu, rasa cemburu
itu tumbuh karena suami biasanya lebih
memperhatikan istri muda ketimbang istri
lainnya. Bahkan tidak jarang setelah menikah
suami menelantarkan istri yang lain beserta
anak-anaknya.19
Akibatnya perasaan cemburu, gelisah,
serta adanya persaingan dan pertengkaran
akan menjadikan suasana rumah tangga
menjadi tidak nyaman. Belum lagi me­
nyangkut masalah keadilan dalam hal rasa
cinta dan perasaansayang karena besar
kemungkinan antara istri yang satu dengan
istri yang lainnya terdapat perbedaan dimensi
perasaan.20
17
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami,
(Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), h. 51.
18
Mazhar al-Haq Khan, Wanita Islam Korban Patologi
Sosial, h. 99.
19
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, h. 52.
20
Banyak orang rancu atau merancukan antara makna adil
dan sama-serupa. Keadilan, seperti dirumuskan oleh Rasulullah
Saw. adalah terpenuhinya hak bagi yang memilikinya secara sah.
Dan hak pada saat yang sama, jika dilihat dari sudut pandang
orang lain, adalah kewajiban. Oleh sebab itu, siapa pun yang lebih
banyak menunaikan kewajiban, atau yang memikul kewajib­an
78| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
Persaingan juga dapat terjadi antara
seorang istri dengan anak istri yang lainnya
dan bahkan juga persaingan antara anakanak mereka dalam rangka memperebutkan
kasih sayang dan perhatian dari suami/
bapak mereka. Untuk mendapatkan suatu
perhatian, tidak jarang antara anak yang
satu dengan anak yang lainnya saling
men­jelekkan dan menjatuhkan di depan
ayahnya dan keluarga lainnya. Akibatnya,
pertengkaran dan perkelahian di antara
mereka pun tidak dapat dielakkan. Konsidi
seperti ini akan membuat suasana semakin
runyam dan perasaan tidak nyaman akan
selalu menghantui kalau-kalau di antara
anggota keluarga yang ada akan berbuat
jahat terhadap dirinya. Akhirnya, di antara
mereka akan saling mencurigai satu sama
lain. Keadaan seperti ini akan membawa
kehancuran suatu kehidupan rumah tangga
lebih cepat jika dibandingkan dengan
masalah-masalah yang timbul diakibatkan
pernikahan onogamy.
Pria/Suami Tidak Bijaksana
Dalam suatu rumah tangga, hendaknya
antara suami istri terjadi saling pengertian,
saling memahami, dan saling mengetahui
kebutuhan satu sama lain. Dengan adanya
sikap-sikap tersebut, maka jika suatu saat
sang istri atau sang suami melakukan halhal yang kurang berkenan di antara hati
keduanya, maka mereka akan saling berusaha
memahami kekurangan pasangannya dan
berusaha memenuhi segala kebutuhan yang
diperlukan, baik untuk istri, suami maupun
anak-anaknya. Dengan begitu keharmonisan
rumah tangga akan selalu terjaga. Namun,
harapan adanya saling pengertian, saling
memahami dan saling megetahui kebutuhan
satu sama lain akan lebih sulit tercapai
lebih besar, dialah yang lebih memiliki hak lebih dibanding yang
lain. Penulis mengemukakan perbedaan antara adil dan samaserupa, karena makna kedua istilah ini sering menjadi pemicu
percekcokan keluarga. Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hakhak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan, 2001), h. 196197. Lihat juga Musfir aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 59.
ketika suami melakukan poligami. Hal itu
terjadi karena adanya tindak-tanduk lakilaki yang tidak bijaksana terhadap anak dan
istri-istrinya. Karena laki-laki adalah kepala
keluarga di dalam rumah tangganya dan
dialah yang bertanggung jawab terhadap
apa yang berada di bawah pengayomannya
itu. Dan tindak-tanduk kepala keluarga ter­
hadap bawahannya merupakan batas yang
membedakan antara kebijaksanaannya dan
kebodohannya. Suksesnya politik laki-laki
di kalangan keluarganya itu tergantung
kepada sejauh mana kebaikan yang menjadi
tujuannya dan seberapa lama ia tegak di
atas kebenaran dan melaksanakan keadilan.
Memang kadang-kadang laki-laki tidak
melatar­belakangi tindakannya dengan maksud
yang baik terhadap salah seorang dari istriistrinya atau anak-anaknya, maka pada waktu
itu menanjaklah ekses-ekses yang timbul dari
tindakannya yang tidak bijaksana itu.21
Akhirnya, terjadilah pertengkaran, rasa
saling curiga dan tidak mempercayai satu
sama lain. Hal ini akan berakibat pada
hancurnya kehidupan rumah tangga dan
tujuan mulia suatu perkawinan akan sulit
tercapai. Pendeknya, ketidakbijaksanaan
suami terhadap para istrinya mengakibatkan
ketidakharmonisan keluarga. Suami yang
bijaksana akan mendorong istri untuk
berlaku menghargai segala tindak-tanduknya.
Bahkan supremasi jati diri suami bisa di­
wujudkan ketika dia benar-benar menjaga
segala kebijakannya.
Meskipun harus diakui masih ada pelaku perkawinan
poligami yang hidupnya bahagia seperti Puspo Wardoyo. Ia
adalah bos Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Suatu hal
yang menarik untuk dicermati adalah karena dia melakukan
poligami dengan empat orang istri. Yang lebih menarik lagi,
hampir tak pernah menyelinap keluar dari bilik-bilik rumah
tangganya berita tak sedap tentang kehidupan poligaminya ini.
Praktek poligami dijadikannya sebagai sarana untuk men­didik
dan melindungi kaumwanita. Dia tidak ragu-ragu ataupun
malu dalam berpoligami. Karena perilaku poligami dianggap­
nya sebagai sesuatu yang halal dan Islami sebagai sarana untuk
beribadah. Lihat Nurbowo dan Apiko Joko M., Indahnya
Poligami, (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2003), h. iii-iv.
Lihat juga Abdul Nasir Taufiq al-’Attar, Poligami Ditinjau dari
Segi Agama, Sosial dan Perundang-Undangan, terj. Khadijah
Nasution. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 51-52.
21
Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |79
Dampak Poligami dalam Kehidupan
Sosial
Dampak yang terjadi akibat perkawinan
poligami antara lain bertambahnya pen­
duduk. Bertambah penduduk berdampak
positif terhadap pertumbuhan statistic umat
Islam, namun dampak negatifnya adalah
membengkaknya jumlah penduduk tanpa
diimbangi oleh dana dan kemampuan yang
memadai. Hal ini terbukti bahwa ternyata
pertambahan penduduk berakibat pada
kesulitan ekonomi pada suatu negara.22
Poligami juga menyebabkan dampak
kecemburuan sosial dalam hal kesetaraan
jender. Mayoritas wanita yang berpendidikan
sangat susah untuk menerima konsep per­
kawinan poligami. Berbagai jurnal wanita
muncul untuk membela hak-hak wanita.
Mereka memperjuangkan kesetaraan jender.
Kesetaraan ini harus meliputi pelbagai
lapangan dan level kehidupan. Sehubungan
dengan ini, banyak orang yang masih
mempertanyakan tolok ukur atau standar
persamaan itu sendiri. Apakah mungkin
menyamakan antara laki-laki dan perempuan?
Bukankah laki-laki dan perempuan secara
biologis memang tidak sama?.23
Adapun yang dimaksud dengan prinsip
kesetaraan dalam hal ini bukanlah me­
nyamakan secara fisik antara laki-laki dan
perempuan. Persamaan dan kesetaraan yang
dimaksud adalah menyamakan hak dan
kewajiban antara laki-laki dan perempuan
di depan Allah. Sebab ketidaksetaraan lakilaki dan perempuan dalam agama banyak
diciptakan oleh konstruksi sosial kultural,
bukan oleh ajaran agama itu sendiri. Allah
sendiri menyatakan bahwa semua hamba
Allah adalah setara di hadapan-Nya. Yang me­
m­bedakan adalah nilai takwanya. Ketakwaan
bukanlah istilah yang bias jender sebab semua
orang diberi hak untuk men­capainya.24
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa
poligami akan menyebabkan kecemburuan
sosial kesetaraan jender. Para aktifis jender
akan terus menyerang kaum lelaki yang
melakukan poligami, walaupun pada be­
berapa fenomena pola relasi jender banyak
menguntungkan kaum laki-laki. Ini terbukti
dengan merebaknya jurnal wanita yang
mencoba memperjuangkan apa yang disebut
sebagai hak kaum wanita.
Problem sosial lainnya adalah muncul­
nya sifat superioritas pada kaum lakilaki. Akibat dari superioritas ini, banyak
wanita yang menjadi korban, salah satunya
pemberian beban kerja yang lebih panjang
dan lebih berat kepada perempuan, dan ini
terutama dialami kaum perempuan yang
bekerja di luar rumah. Sebab, perempuan
selain dituntut untuk menyelesaikan tugastugas rumah tangga—yang di masyarakat
selalu dipersepsikan sebagai kewajiban
perempuan—ia juga harus menunjukkan
prestasi kerja yang baik di tempat kerjanya.
Beban kerja yang lebih panjang dan lebih
berat ini pun dialami oleh mereka yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga
yang pada umumnya perempuan.25
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang
Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001),
h. 263.
25
Bentuk lain dari ketidakadilan jender adalah perlakuan
kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan
di ranah public (luar rumah tangga) dan kekerasan di ranah
domestic (dalam rumah tangga). Intensitas kekerasan pada pe­
rempu­an Indonesia—yang mayoritas beragama Islam— dinilai
sangat tinggi. Buktinya, laporan Kantor Menteri Pem­berdayaan
Perempuan tahun 2000 menjelaskan bahwa dari penduduk
Indonesia yang berjumlah 217 juta, 11,4% di antara­nya atau
sekitar 24 juta penduduk perempuan—terutama di pedesaan—
mengaku pernah mengalami perlakuan kekerasan, dan sebagian
besar berupa kekerasan di rumah tangga, tempat yang selama
ini dianggap paling aman buat perempuan. Kekerasan domestik
tersebut, antara lain berwujud penganiayaan fisik dan psikis,
24
Poligami dari sudut pandang ekonomi sepertinya me­
nimbulkan permasalahan sosial. Namun dari sudut pandang ke­
tidak­­seimbangan antara jumlah kaum laki-laki dan wanita justru
menyelesaikan problem sosial. Lihat Saiful Islam Mubarak,
Poligami Yang Didambakan Wanita, (Bandung: Syaamil Cipta
Media, 2003), h. 17.
23
Prinsip-prinsip kesetaraan jender adalah;
- Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba
- Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah
-Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian
primordial
-Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih
prestasi Adam dan Hawa sama-sama terlibat aktif dalam
drama kosmis. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan
Jender, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 247-263.
22
80| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
Berdasar hal lain, dalam jurnal perempuan
edisi 31 terdapat analisa data-data 3 tahun
terakhir dari LBH APIK Jakarta. Tercatat 70
orang telah mengadukan suaminya menikah
lagi dan melakukan kekerasan fisik dan
psikis kepada pihak korban berupa tidak
diberi nafkah, ditelantarkan bahkan sampai
penganiayaan. Data-data ini menjadi penting
untuk diperlihatkan kepada publik bahwa
poligami tidak dapat ditolerir dan lebih
banyak merugikan perempuan. Oleh sebab
itu di negara-negara Islam seperti Turki,
Siria, dan Tunisia, poligami dilarang. Mantan
presiden Tunisia Habib Bu Ruqayba secara
tegas menolak praktek perkawinan poligami
sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima
dalam abad ke-20 ini. Baginya, “keluarga
adalah tonggak masyarakat, dan keluarga
dapat berhasil dengan baik hanya dengan
dasar saling menghormati danmenghargai
antar pasangan. Salah satu bentuk untuk saling
menghormati dan menghargai adalah dengan
melaksanakan pernikahan monogami.” Ada
hal yang menarik di sini yang mengkaitkan
pernikahan monogami dengan pembinaan
keluarga yang sehat, artinya berusaha me­
nyelamatkan masa depan anak-anak dengan
cara membiarkan mereka tumbuh dalam rasa
aman, percaya diri dan dari konflik-konflik
keluarga yang menimbulkan trauma. Pada
akhirnya, argumentasi kepentingan anak
adalah argumentasi mutlak yang harus
diterima karena anak adalah aset bangsa yang
tidak ternilai.26
pemaksaan hubungan seksual dalam kehidupan suami istri, pe­
leceh­an, atau suami berselingkuh. Dapat di­pastikan bahwa data
kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya
dilaporkan. Sebab, tidak semua perempuan yang mengalami
kekerasan bersedia melaporkan kasusnya. Bentuk lain lagi dari
ketidakadilan jender adalah marginalisasi atau pemiskinan pe­
rempu­an dalam bidang ekonomi. Proses pemiskinan ini disebab­
kan banyak pekerjaan yang digolongkan sebagai pekerjaan
perempuan dinilai lebih rendah daripada pekerjaan laki-laki, dan
akibat­nya upah bagi pekerjaan perempuan lebih murah. Contoh
kecil, pekerjaan memasang kancing di industri garmen dinilai
lebih rendah daripada pekerjaan laki-laki mengangkat barang.
Karenanya, perempuan diberi upah lebih murah, padahal,
pekerja­
an mereka membutuhkan lebih banyak ketelitian dan
konsentrasi jauh. Gadis Arivia, Jurnal Perempuan: Menimbang
Poligami, h. x
26
Gadis Arivia, Jurnal Perempuan: Menimbang Poligami,
Solusi dalam Mengatasi Problem
Perkawinan Poligami
Secara psikologis semua istri akan merasa
sakit hati bila melihat suaminya berhubungan
dengan perempuan lain. Setidaknya ada
dua faktor. Pertama, didorong oleh rasa
cinta setianya yang dalam kepada suaminya.
Umumnya istri mempercayai dan mencintai
suaminya sepenuh hati sehingga dalam
dirinya tidak ada lagi ruang untuk cinta
terhadap laki-laki lain. Istri selalu berharap
suaminya berlaku sama terhadap dirinya.
Karena itu, istri tidak dapat menerima
suaminya membagi cinta pada perempuan
lain, bahkan kalau mungkin, setelah mati
pun dia tidak rela jika suaminya menikah
lagi. Faktor kedua, istri merasa diri inferior
seolah-olah suaminya berbuat demikian
lantaran ia tidak mampu memenuhi
kepuasan biologisnya. Perasaan inferior itu
semakin lama meningkat menjadi problem
psikologis, terutama kalau mendapat tekanan
dari keluarga.27
Memang tidak mustahil ada perempuan
yang rela dan bersedia menerima poligami,
namun kerelaan atau kesediaan dari satu atau
sejumlah perempuan tidak boleh dijadikan
acuan untuk menggeneralisasi, apalagi
untuk memaksakan seluruh perempuan
dapat menerima hal yang sama. Kerelaan
yang jarang dan langka terjadi itu muncul
apabila perempuan memandang atau me­
nempatkan dirinya sebagai harta atau objek
yang dimiliki suaminya, bukan melihat
dirinya sebagai subyek atau individu yang
merdeka yang memiliki seperangkat hak.
Dengan demikian, penerimaan poligami
oleh perempuan bergantung pada seperti
apa dia memandang dirinya, apakah ia
memandang dirinya sebagai harta atau objek
Edisi XIII, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 5.
27
Menurut Penulis masalah inferior bisa ditangani
dengan peningkatan peran perempuan dalam kehidupan ber­
masyarakat. Tentu saja sebelumnya harus dilakukan upaya
meng­ubah paradigma kedudukan wanita baik di dalam hukum,
ke­­sempatan berkarya, berpendapat, berekspresi, dan sebagainya.
Lihat Wahid Zaini, Peningkatan Peran Perempuan dalam Islam,
(Bandung: Mizan, 1999), h. 133-144.
Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |81
yang dimiliki ataukah ia melihat dirinya
sebagai subjek atau individu yang memiliki
hak sebagaimana layaknya seorang manusia.
Problem psikologis lainnya adalah dalam
bentuk konflik internal dalam keluarga, baik
di antara sesama istri, antara istri dan anak
tiri atau di antara anak-anak yang berlainan
ibu. Ada rasa persaingan yang tidak sehat
di antara istri. Hal itu terjadi karena suami
biasanya lebih memperhatikan istri muda
ketimbang istri lainnya. Bahkan, tidak jarang
setelah menikah suami menelantarkan istri
dan anak-anaknya. Suami putus hubungan
dengan istri dan anak-anaknya. Untung kalau
istrinya mempunyai penghasilan yang dapat
menutupi kebutuhan hidupnya dan anakanaknya, kalau tidak, mereka akan menjadi
beban keluarga atau masyarakatnya. Tentu
ini akan menimbulkan problem sosial yang
serius di masyarakat. Seseorang yang terdidik
dan menghayati apa yang diwajibkan syara’
kepadanya tidak akan sampai hati melakukan
poligami. Karenanya, semakin masyarakat
itu terdidik dan beradab semakin sedikit
dijumpai praktek poligami, demikian pula
sebaliknya.28
Bentuk implikasi lain dari poligami
adalah kekerasan terhadap perempuan.
Definisi kekerasan terhadap perempuan
menurut pasal 1 Deklarasi PBB tentang
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual, atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan ke­
merdekaan secara sewenang-wenang, baik
yang terjadi di depan umum atau dalam
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri yang
mana tidak bisa diselesaikan secara intern maka kedua belah
pihak hendaklah mengangkat juru penengah yang menjadi juru
damai dari kedua belah pihak. Juru damai disyari’atkan dalam
Islam dan diutamakan berasal dari keluarga dekat suami istri
yang bersengketa. Lihat Zainab Hasan Syarqawi, Ahkam alMu’asyarah al-Zaujiyah, (diterjemahkan oleh Hawin Murtadho
dengan judul Fiqih Seksual Suami Istri), (Solo: Media Insani
Press, 2003), h. 239-250.
28
kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap pe­
rempuan justru lebih banyak terjadi di rumah
tangga, dan pelakunya adalah suaminya
sendiri. Kekerasan terhadap istri biasanya
sulit dan jarang diungkapkan karena dianggap
sebagai masalah pribadi. Selain itu, istri juga
selalu diajarkan untuk selalu merahasiakan
persoalan keluarganya (persoalan dengan
suaminya) kepada orang lain. Keyakinan
ini membuat istri tetap diam, meskipun
suaminya sudah memperlakukannya secara
keras, seperti menampar, menendang, dan
memukulinya dengan benda-benda tajam.
Selain dalam bentuk penyiksaan fisik,
istri juga mengalami kekerasan seksual
dalam bentuk suami tidak memperhatikan
kebutuhan dan kepuasan seksual istrinya. Dari
hasil penelitian yang panjang, Khairuddin
N.M. menyimpulkan bahwa poligami me­
rupakan faktor yang paling banyak memicu
pelecehan hak-hak istri, termasuk hak-hak
yang berkaitan dengan seksualitas.29 Hal itu
terjadi karena dalam poligami suami biasanya
tertarik melakukan hubungan seksual dengan
istri muda. Sementara istri lain diabaikan
dan tidak dipenuhi kebutuhan seksualnya.
Kondisi yang demikian akan menimbulkan
kecemburuan.30 Cemburu dibutuhkan dalam
kehidupan berumah tangga guna menjaga
kesucian masing-masing pasangan suami
istri. Cemburu, bila proporsional, sangat
dibutuhkan dalam menjaga keutuhan rumah
tangga. Namun jangan berlebihan atau
kurang, sebab dapat menjadi desktruktif
(merusak). Imam al-Ghazali dalam bukunya
Ihyâ’ Ulûm al-Dîn berkata, “Jauhilah cemburu
yang bukan pada tempatnya, karena hal itu
bisa membuat yang sehat menjadi sakit,
29
Khairuddin N.M., Pelecehan Seksual Terhadap Istri,
(Yogyakarta: PPK Gajah Mada, 1998), h. 59.
30
Permasalahan kecemburuan bisa diatasi dengan adanya
keadilan dari pihak suami terhadap istri-istrinya, dan pengertian
dari pihak istri terhadap kebijakan suami. Dalam hal ini diper­
lukan tindakan mengedepankan penyelesaian persoalan dan
bukan tuntutan. Lihat Wahiduddin Khan, Women Between
Islam and Western Society, (diterjemahkan oleh Abdullah Ali
dengan judul Antara Islam dan Barat; Perempuan di Tengah
Pergumulan), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 239.
82| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
kepercayaan menjadi keragu-raguan.31
Poligami seringkali membuat suami
memaksakan kehendak kepada istri. Dari
mulut suami tidak jarang terdengar ancaman
terhadap istri. Sebagian istri, karena malu
dan berat kepada orang tua dan kepada
keluarga atau karena alasan kasihan kepada
anak, seringkali memilih tinggal bersama
suami, biarpun dipukuli dan disiksa seperti
hewan.
Pada umumnya, sikap suami yang mulai
melirik perempuan lain lebih sensitive dan
emosional terhadap istrinya. Dia menjadi
ringan tangan dan mudah menampar dan
memukul istri. Bahkan, tidak sedikit suami
membawa pulang istri muda kerumahnya
dan tentu saja itu merupakan pelecehan
yang luar biasa terhadap perempuan.32
Data-data dari sejumlah lembaga bantu­
an hukum menyebutkan tidak sedikit istri
yang menuturkan pengalamannya mendapat
perlakuan kekerasan dari suaminya yang
berpoligami. Pada umumnya, laki-laki
merasa puas dan berbahagia dengan poligami
adalah laki-laki yang dalam prakteknya
mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab
yang ditentukan agama. Mereka mengambil
perhatian dengan memenuhi hak-hak
seorang istri, tetapi mengabaikan hak-hak
istri yang lain. Dari sudut pandang ini,
31
Al-Ghazâli, Ihya’ Ulûm al-Dîn, Jilid II, (Bayrût:: Dâr
al-Kitâb, 1957), h. 47.
32
Menurut penulis, suami memang berhak memukul istri
yang melakukan nusyûz, tentu saja setelah upaya pemberian
nasihat dan hijr (isolasi) di ranjang tidak berhasil. Bentuk
pukulan tidak boleh melebihi batas hudûd yang paling rendah
yaitu 40 kali pukulan (dera pada peminum khamr) sebagaimana
pendapat al-Syâfi’i. Tujuan pukulan tersebut adalah untuk
men­
didik bukan untuk menyiksa sehingga seorang suami
tidak boleh memukuli istrinya sekeras-kerasnya yang bisa
mencelakakannya. Lihat Zainab Hasan Syarqawi, Ahkâm alMu’asyarah al-Zaujiyah, (diterjemahkan oleh Hawin Murtadho
dengan judul Fiqih Seksual Suami Istri), (Solo: Media Insani
Press, 2003), h. 228-229.
Namun apabila yang terjadi sebaliknya, yaitu suami
yang ringan tangan dan kejam, maka istri berhak mengajukan
perbuatan kriminal suami tersebut kepada pengadilan, atau
bahkan bisa menuntut cerai karena Undang-undang telah
mengaturnya dan mengingatkan hal tersebut kepada suami
dalam ta’liq talak. Lihat A.E. Manihuruk, Undang-undang
Perkawinan, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), Bab V, Tata
Cara Perceraian, Pasal 19, h. 41.
poligami pada hakikatnya adalah perkawinan
monogami yang dinodai dengan kezaliman,
ketidakadilan, dan keserakahan.
Para suami yang melakukan tindak
kekerasan terhadap istri dapat dihukum
berdasarkan pasal 356 KUHP (Penganiayaan
dengan Pemberatan Pidana). Penganiayaan
ini dapat juga dijadikan alasan bagi istri
untuk mengajukan gugatan perceraian
ber­dasarkan pasal 19 PP Nomor 9 Tahun
1975 dan dapat menyebabkan jatuhnya
talak menurut sighat taklik talak yang
diucapkan suami sesaat setelah akad nikah
dilangsungkan. Hanya saja, dalam prakteknya
perlindungan hukum yang ada ini tidak
efektif karena berbagai alasan, di antaranya
adalah kurang sensitifnya para penegak
hukum terhadap kepentingan dan hakhak perempuan. Alasan lain adalah sikap
masyarakat kita yang cenderung menyalahkan
kaum perempuan sehingga banyak istri
yang malu memperkarakan persoalannya ke
pengadilan. Tidak terlalu salah jika dikatakan
bahwa keadilan masih jauh dari jangkauan
kaum perempuan. Istri yang mengalami
tindak kekerasan dalam rumah tangga
memerlukan penyuluhan dan perlindungan.
Mereka sebaiknya menghubungi lembagalembaga pelayanan yang khusus menangani
kekerasan terhadap perempuan, seperti
Lembaga Bantuan Hukum APIK, Rumah
Ibu, Lembaga Kalyanamitra, Lembaga
Konsultasi Pemberdayaan Perempuan Fatayat
NU, Komnas HAM Perempuan, dan Rifka
Annisa di Yogyakarta. Sayangnya lembaga
semacam ini masih sangat sedikit jumlahnya.
Pada masa mendatang diharapka lebih
banyak lagi lembaga serupa yang didirikan
agar dapat memberikan sebanyak mungkin
perlindungan dan pembelaan terhadap
perempuan yang mengalami tindak kekerasan,
khususnya kekerasan dalam rumah tangga.
Problem sosial lainnya yang sering muncul
di masyarakat sebagai implikasi dari poligami
adalah nikah di bawah tangan. Nikah di
bawah tangan adalah perkawinan yang tidak
dicatatkan di kantor pencatat nikah KUA
Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |83
bagi umat Islam dan Kantor Catatan Sipil
bagi yang bukan muslim, walaupun menurut
hukum agama, perkawinan itu dipandang
sah, tetapi secara administratif tidak tercatat.
Para suami yang berpoligami biasanya enggan
mencatatkan perkawinannya karena mereka
malu dan segan kalau perkawinannya itu
diketahui banyak orang.33 Lagi pula, mereka
tidak ingin direpotkan dengan segala urusan
administratif negara. Mereka juga tidak perlu
buku nikah karena mereka telah memilikinya
melalui perkawinan dengan istrinya terdahulu.
Persoalannya adalah para istri yang dinikahi
dengan cara tersebut dengan sendirinya tidak
dapat menuntut hak-haknya atas nafkah dan
warisan, terutama jika suaminya meninggal,
karena perkawinan mereka tidak mempunyai
kekuatan hukum sesuai ketentuan pasal 6
ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan
kenyataan di atas, muncul kasus-kasus yang
membuat pihak istri menjadi terlantar setelah
diceraikan atau ditinggal wafat oleh suaminya
karena mereka tidak berhak mendapatkan
warisan atau nafkah dari suami lantaran dia
tidak memiliki buku catatan nikah dari KUA
atau KCS.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, negara
menjamin keberadaan perkawinan poligami
secara hukum untuk melindungi hak-hak
wanita.34 Di samping itu Undang-Undang
poligami digunakan untuk mencegah
perilaku menyimpang kaum laki-laki yang
33
Menurut penulis keengganan kaum laki-laki
mencatatkan perkawinan poligaminya dikarenakan beberapa
faktor, di antaranya; kurangnya tanggung jawab suami, pe­
nilaian negatif publik terhadap pelaku poligami dan karena
permasalahan birokrasi administratif yang berbelit-belit. Faktor
pertama adalah mutlak kesalahan kaum laki-laki yang tidak
bertanggung jawab. Sedangkan faktor kedua dan ketiga tidak
bisa dikategorikan demikian.
34
Sebagaimana dapat disaksikan dalam kehidupan nyata,
kebutuhan akan poligami muncul di antaranya karena kondisikondisi sebagai berikut: Pertama, jumlah perempuan yang siap
kawin jauh melampaui jumlah laki-laki yang siap kawin. Kedua,
sebagian wanita secara suka rela bersedia menikah degnan
pria yang telah beristri, dan memandang pernikahan tersebut
sebagai kebutuhan mereka. Ketiga, usia kawin perempuan lebih
muda dibandingkan dengan usia kawin laki-laki. Keempat,
kemampuan reproduksi perempuan terbatas sampai usia
tertentu, setelah melampaui batas itu perempuan akan sangat
sulit memperoleh keturunan. Hal ini berbeda dengan laki-laki
yang kemampuan reproduksinya relatif tidak dibatasi usia.
ingin menyeleweng dan melampiaskan
nafsunya kepada PSK. Islam juga mengatur
perkawinan poligami demi menjaga keutuhan
rumah tangga dan hak-hak kaum wanita.
Demikian juga hal yang tidak kurang
penting­nya menjaga kebersihan hidup sesuai
dengan ajaran Muhammad Saw.35
Dengan demikian, dalam poligami yang
diajarkan Islam, terdapat beberapa kelebihan
sebagai berikut:
1. Poligami merupakan rahmat Allah atas
hamba-hamba-Nya dan merupakan
anugerah yang dapat menyelesaikan be­
berapa kesulitan. Tentu ini merupakan
jalan yang tepat untuk menyalurkan
rasa kasih sayang, supaya terhindar
dari cengkeraman hawa nafsu. Hal
ini disebabkan adanya fakta realitas
ditemu­kannya seorang wanita yang me­
ncintai laki-laki yang sudah beristri.
Mereka saling mencintai sehingga jalan
yang terbaik bukanlah seks bebas atau
perselingkuhan, akan tetapi perkawinan
poligami yang sah sesuai dengan ajaran
Islam.
2. Poligami dapat memberikan ketentram­
an terhadap keluarga muslim dan dapat
memperkecil perceraian. Sebab seorang
suami jika ingin beristri lagi, ia akan
menambah perhatiannya terhadap istri—
supaya mendapat restu darinya—yang
pertama dan anak-anaknya. Dengan
demikian, di bawah naungan sang
suami, semua keluarga dapat terayomi
dan terbina dengan baik.
3. Poligami dapat menjaga seorang untuk
berhubungan gelap dengan wanita-wanita
35
Pembolehan poligami bukanlah digunakan sebagai
justifikasi prilaku Nabi Muhammad yang melakukan poligami.
Namun sebaliknya, poligami Nabi Muhammad merupakan
justifikasi pembolehan poligami. Tuduhan Muhammad itu
adalah manusia maniac seks tidak benar. Setiap pernikahan
poligami yang dilakukannya mengandung hikmah ta’limiyah,
tasyri’iyah, ijtima’iyah, dan siyasah. Lihat Muhammad ‘Ali alShâbuni, Subhat wa Abatil Haula Ta’addudi Zaujat al-Rasul,
(diterjemahkan oleh Tahruddin Salam dan Abdurrahman alMardafi, (Solo: Pustaka Arafah, 2002), h. 17-54.
84| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
lacur.36 Sebab poligami memungkinkan
seorang yang sudah beristri mengambil
istri lagi, dua, tiga, atau empat dari
kalangan wanita yang beragama dan
berakhlak mulia, sehingga mereka dapat
hidup bersama dalam kehidupan yang
bersih dan berwibawa. Mereka dapat
melahirkan keturunan yang bersih
dan suci. Mereka dapat menjaga dan
memelihara keturunan dengan baik.
Seorang istri dapat memberikan kasih
sayang terhadap anak-anak istri yang
lain dan dapat berfungsi
sebagai ibu seperti ibu mereka sendiri.
4. Poligami dapat menjaga kesehatan sang
istri. Karena beberapa penyakit seperti
sipilis yang ditimbulkan dari perbuatan
zina dapat menular terhadap pasangan
seksnya. Maka poligami harus dipandang
sebagai anugerah Allah, sebagai suatu
jalan yang dapat menjaga kesehatan sang
suami, istri, keluarga, dan masyarakat
secara keseluruhan.
36
Sebelum abad ke-20, dalam pemikiran orang Nasrani
di Barat, poligami itu dianggap sebagai kriminalitas moral
kemasyarakatan, penzaliman terhadap wanita, pengabaian
hak-hak wanita dan sarana bagi laki-laki untuk memuaskan
hawa nafsunya, serta penyebab bertambahnya keturunan, ter­
abaikannya pendidikan anak, dan tumbuhnya pengangguran
atau kemiskinan di kalangan masyarakat. Namun pada pertama
abad ke-20, Eropa terlibat dalam dua peperangan dunia yang
mengorbankan jutaan pemuda, padahal di sana terdapat jutaan
wanita yang belum pernah kawin. Ada juga wanita-wanita
yang sudah menikah akhirnya menjadi janda karena suamisuami mereka tidak ada kesempatan lagi untuk menikah karena
jumlah laki-laki berkurang. Akhirnya wanita-wanita itu terjebak
dalam dua pilihan pahit, yaitu matinya sifat kewanitaan mereka
dan melupakannya sama sekali atau mereka mempertahankan
kewanitaan mereka melalui pemuasan nafsu seksual yang
mereka miliki dan itulah hakikat ukuran kewanitaan tersebut.
Mereka memilih yang kedua lalu berkenalan dengan laki-laki
yang telah beristri dan menjalin hubungan gelap dengan mereka.
Akibatnya adalah istri-istri sah resah gelisah dan terhina karena
suami-suami mereka lebih banyak mendekati para penjaja seks
tersebut. Selain itu, di negara-negara Barat, khususnya Jerman,
banyak berdiri organisasi kaum wanita yang menuntut diper­
bolehkannya poligami atau pembatasan terhadap laki-laki
untuk memelihara seorang wanita saja di samping istrinya yang
sah. Hal itu bertujuan untuk mencegah menjalarnya penyakit
kelamin di samping kurangnya perhatian suami terhadap istri­
nya yang sah. Lihat Musfir al-Jahrani, Nadzratun fî Ta’addud alZaujat, (diterjemahkan oleh Muh. Suten Ritonga dengan judul
Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), h. 85-86.
Dengan adanya peraturan poligami di
atas, seharusnya akan timbul keserasian dan
ketertiban antara semua pihak yang terkait.
Poligami merupakan solusi menghadapi
problem sosial ketidakseimbangan jumlah
kuantitas laki-laki dan perempuan. Dan yang
menjadi poin paling penting menurut penulis
poligami merupakan solusi sosial untuk
menanggulangi kerusakan moral dan etika
menyalurkan seks. Tidak semua manusia
mampu menahan nafsu seksnya. Maka Islam
memberikan solusi sosial dengan penyaluran
seks yang moralis dan bertanggung jawab
yang dimanifestasikan dalam poligami.
Perilaku seks bebas dan pelacuran jauh lebih
berbahaya daripada poligami. Aturan ajaran
Islam sangat aspiratif karena Allah Dzat Yang
Maha mencipta mengetahui segala sesuatu
yang berkaitan dan yang dibutuhkan oleh
mahluknya baik di masa sekarang ataupun
mendatang.37
Berdasarkan uraian di atas, penulis ber­
harap kiranya dapat dimengerti dan dipahami
serta diambil hikmahnya mengapa Islam
tidak melarang poligami, tetapi ia hanya
meluruskan dan membatasi serta memberikan
jalan solusi terbaik bagi manusia.38 Syarat
yang diajukan oleh ajaran Islam yakni adil
bersifat mutlak dan tidak bersifat nisbi atau
bahkan adimnistratif. Berbeda dengan syarat
Undang-undang poligami di Indonesia yang
lebih bersifat administratif. Dan menurut
hemat penulis, syarat-syarat poligami yang
diberikan Islam lebih realistis daripada agama
lainnya. Sekilas seperti terfokus pada syarat
kuantitas saja tanpa pertimbangan kualitas.
Namun pada hakikatnya sedikit banyak me­
nuntut kualitas baik dalam kasih sayang,
pembagian waktu dan nafkah, serta perhatian.
Lihat Q.s. al-Mulk [67]: 14.
Penulis menemukan bahwa ciri khas perkawinan poligami
dalam Islam adalah pembatasan empat orang istri, karena agamaagama lain tidak membatasi jumlah poligami seperti Yahudi se­
bagai­mana yang dilakukan Nabi Daud yang menikahi 700 orang
istri. Agama Nasrani tidak memberikan keterangan yang tegas
tentang poligami dan batasannya. Sedangkan keadilan bukanlah
ciri khas perkawinan poligami Islam karena semua agama meng­
ajarkan keadilan dalam segala hal. Lihat Maftuhin Asyharie, 11 Istri
Rasulullah SAW, (Surabaya: Galaxy, 2002), h. 59.
37
38
Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |85
Penutup
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam menganut
kebolehan poligami bagi suami, walaupun
terbatas hanya sampai empat orang istri.
Alasan berpoligami salah satunya adalah
sistem birokrasi yang terlalu berbelit-belit
(untuk memenuhi syarat poligami) yang
dimaksudkan untuk melindungi hak-hak
wanita justru pada sudut pandang lain
merugikan kaum wanita. Banyak suami
yang berpoligami (terutama PNS) enggan
mencatatkan pernikahannya ke KUA dengan
alasan tersebut. Kondisi ini tentu saja
merugikan istri kedua karena pernikahannya
tidak memperoleh legalitas hukum dan
berimplikasi pada pembagian harta bersama
dan hak waris.
Demikianlah beberapa kebijakan dalam
hukum nasional yang berkenaan dengan
poligami. Pada dasarnya peraturan-peraturan
yang ada terdapat beberapa peraturanperaturan yang kurang responsif terhadap
kebutuhan hukum dan kepentingan pe­
rempuan. Hal ini karena peraturan tersebut
lebih cenderung mengedepankan kepentingan
kaum laki-laki, baik dalam artian jenis
kelamin maupun struktur, masih sedikit
perempuan yang terlibat dalam badan
pengambilan keputusan. Dengan adanya
peraturan poligami di atas, walaupun
terkadang lebih mengedepankan kaum lakilaki, seharusnya akan timbul keserasian dan
ketertiban antara semua pihak yang terkait.
Poligami merupakan solusi menghadapi
problem sosial ketidakseimbangan jumlah
kuantitas laki-laki dan perempuan. Dan
yang menjadi poin paling penting menurut
penulis poligami merupakan solusi sosial
untuk menanggulangi kerusakan moral dan
etika menyalurkan seks. Perilaku seks bebas
dan pelacuran jauh lebih berbahaya daripada
poligami.
Pustaka Acuan
Arivia, Gadis, Jurnal Perempuan; Menimbang
Poligami, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2003.
‘Attar, al-, Abdul Nasir Taufiq, Poligami
Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang-Undangan, terj. Khadijah
Nasution. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Asyharie, Maftuhin, 11 Istri Rasulullah SAW,
Surabaya: Galaxy, 2002.
Bukhâri, al-, Muhammad bin Isma’il, Shahîh
al-Bukhari, Bayrût: Dâr al-Kutub alIlmiyah, t.t.
Ghazâli, al-, Ihya’ Ulûm al-Ddin, Jilid II,
Bayrût: Dâr al-Kitâb, 1957.
Hasbianto, Elli N., Menakar “Harga”
Perempuan, Bandung: Mizan, 1999.
Habsyi, al-, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis,
Bandung: Mizan, 2002.
Hasyim, Syafiq, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan:
Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam
Islam, Bandung: Mizan, 2001.
Izzat, Hibah Ra’uf, al-Mar’ah wa al-’Amal
al- Siyasi, Ru’yah Islamiyah, Bayrût: alMa’had al-’Amaly li al-Fikr al-Islami,
1995.
Jahrani, al-, Musfir, Poligami dari Berbagai
Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Khan, Mazhar al-Haq, Wanita Islam Korban
Patologi Sosial, Pent. Lukman Hakim,
Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.
Khan, Wahiduddin, Women Between Islam
and Western Society, (diterjemahkan
oleh Abdullah Ali dengan judul Antara
Islam dan Barat: Perempuan di Tengah
Pergumulan), Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2001.
Kompas, 27 September 2000.
Litbang Rifka Annisa WCC, Laporan Data
Kasus Tahun 2001, Yogyakarta: Rifka
Annisa, 2001.
86| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
M, Khairuddin N., Pelecehan Seksual
Terhadap Istri, Yogyakarta: PPK Gajah
Mada, 1998.
Manihuruk, A.E., Undang-undang Perkawinan,
Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986.
Mas’udi, Masdar F., Islam dan Hak-hak
Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan,
2001.
Mubarak, Saiful Islam, Poligami Yang
Didambakan Wanita, Bandung: Syaamil
Cipta Media, 2003.
Mulia, Musdah, Pandangan Islam Tentang
Poligami, Jakarta: Solidaritas Perempuan–
Lembaga Kajian dan Jender, 1999.
Mundziri, al-, Abdul Adzîm bin Abdul Qawi,
al-Targhîb wa al-Tarhîb, Cet. I, Juz III,
Bayrût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1417 H.
Nurbowo dan Apiko Joko M., Indahnya
Poligami, Cet. II, Jakarta: Senayan Abadi
Publising, 2003.
Râfi’i, al-, al-Misbâh al-Munîr fî Gharîb alSyarkh al-Kabîr, ditahqiq oleh Ahmad
bin Muhammad bin ‘Ali al-Maqqari alFayumi, Juz II, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.
Shabuni, al-, Muhammad ‘Ali, Subhat wa
Abatil Haula Ta’addudi Zaujat al-Rasul,
(diterjemahkan oleh Tahruddin Salam
dan Abdurrahman al-Mardafi, Solo:
Pustaka Arafah, 2002.
Syarqawi, Zainab Hasan, Ahkam alMu’asyarah al-Zaujiyah, (diterjemahkan
oleh Hawin Murtadho dengan judul
Fiqih Seksual Suami Istri), Solo: Media
Insani Press, 2003.
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan
Jender, Jakarta: Paramadina, 2001.
Zaini, Wahid, Peningkatan Peran Perempuan
dalam Islam, Bandung: Mizan, 1999.
Zuhayli, al-, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fî
al-Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj,
Cet. I, Juz III, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1991.
Download