PERKAWINAN POLIGAMI YANG BERKEADILAN Rudi Nuruddin Ambary Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Kertamukti, Pisangan, Ciputat E-mail: [email protected] Abstract: A Fair Polygamy Marriage. Polygamy is still an attractive study to discuss. It is not only related to religious interpretation but also the rights and responsibilities of the polygamy marriages perpetrators. Although polygamy is legalized and has juridical base, but in reality there are people who are notequitable to do polygamous marriage. Polygamous marriage does not only have impact to the family (wife and children) but also social impact in society. For that reason, the rule of polygamy should be explored and transformed massively so that polygamous marriage does not make the wife and children as victims. Keywords: gender, monogamy, ta’arudh ‘adillah Abstrak: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan. Persoalan poligami hingga saat ini masih menjadi kajian yang menarik. Tidak hanya yang berkaitan dengan penafsiran keagamaan, namun juga hak dan tanggung jawab yang akan dipikul oleh pelaku perkawinan poligami. Meskipun poligami telah terlegislasi dan mempunyai payung yuridis, namun pada kenyataannya masih banyak pelaku perkawinan poligami yang tidak berkeadilan. Perkawinan poligami tidak hanya berdampak dalam keluarga baik bagi istri dan anak-anak yang dilahirkannya, namun juga dampak sosial bagi keluarga yang melakukan perkawinan poligami. Karena itu, formulasi poligami yang berkeadilan harus terus digali dan ditransformasi secara masif sehingga perkawinan poligami, tidak menjadikan istri dan anak-anak menjadi korban, namun mengangkat harkat dan martabat mereka. Kata Kunci: jender, monogami, ta’arudh ‘adillah Pendahuluan Islam menganjurkan manusia untuk mencari pasangan hidupnya (nikah) bagi yang telah mampu menegakkan tanggung jawab dalam perkawinan, baik fisik, mental, ekonomi, dan sosial. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. bersabda: Hadis di atas menunjukkan bahwa me­ nikah berarti telah menyempurnakan separuh agama. Karena menikah merupakan separuh dari agama, maka melaksanakan pernikahan merupakan suatu kesakralan dan agung. Perkawinan tidak hanya penting dalam rangka kebahagiaan hidup manusia, tetapi juga dalam rangka lestarinya kemakmuran bumi melalui keturunan yang harus ber­ langsung secara terus menerus. Dalam kaitan eksistensi perkawinan yang sakral dan agung itu, perlu dipertanya­­kan bagaimana sikap Islam mengenai poligami dan monogami? Manakah yang lebih 1 Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihâqî, lihat ‘Abd Adzîm bin ‘Abd Qawi al-Mundziri, al-Targhîb wa al-Tarhîb, Juz III, (Bayrut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1417 H), h. 29. 1 73 74| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 utama antara keduanya? Ayat Alquran yang dipandang berhubungan dengan per­ tanyaan tersebut adalah Q.s al-Nisa [4]: 3,2 yang merupakan satu-satunya ayat yang menerangkan poligami. Secara zahir ayat tersebut memerintahkan untuk berlaku adil, apabila tidak mampu, maka hendaklah tidak berpoligami, atau mengawini hamba sahaya saja agar terhindar dari berbuat zalim. Namun pada ayat yang lain disebutkan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya pada surat yang sama yakni al-Nisa [4]: 129.3 Pada ayat ini tidak menjadikan keadilan sebagai syarat utama berpoligami, poligami merupakan hal yang mustahab untuk dilakukan. Ayat tersebut hanya melarang suami untuk terlalu cenderung pada salah seorang istri tanpa memperhatikan hak-hak yang lain.4 Fenomena ini mengesankan ada ta’arudh ‘adillah dalam dalil. Dan faktanya, UU Perkawinan di Indonesia juga membolehkan praktek poligami. Hal ini sebagaimana dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 2 Ayat tersebut berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 3 Ayat tersebut berbunyi: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 4 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa alSyarî’ah wa al-Manhaj, Juz III, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1991), h. 240. 2 menyatakan, pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Lebih lanjut pasal 5 menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu adanya persetujuan dari istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka (material), serta adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial). Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada kontrol dan sangsi dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, poligami bisa dilaksanakan mesti belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya. 5 Norma lain yang cukup menyokong perilaku poligami adalah tradisi (adat) yang berlaku dalam masyarakat. Pada kelompok masyarakat tertentu dapat ditemukan bahwa perilaku poligami atau poligini menjadi suatu sistem perkawinan yang resmi, misalnya suku-suku masyarakat adat Irian Jaya. Selain dari pada itu, dalam masyarakat juga berkembang mitos-mitos seksualitas yang turut mendukung poligami. Sebagai contoh, ada kepercayaan nafsu seksuil laki-laki lebih besar ketimbang perempuan, sementara perempuan lebih cepat tua ketimbang lakilaki. Hal ini menjadi legitimasi bagi kaum laki-laki, untuk mengawini perempuan lebih dari satu. Semua hal di atas menjadi aturan yang membuat perempuan menyetujui poligami. Pada tingkat elit politik, poligami juga marak dibicarakan sejak muncul pernyataan kontroversial Khafifah Indar Parawansa yang pada saat pemerintahan Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Menurut Khafifah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 5 Kompas, 27 September 2000, h. 1. Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |75 No. 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang termasuk didalamnya tentang poligami harus dihapuskan. Penghapusan PP 10 di­ tujukan untuk mengembalikan hak asasi laki-laki untuk berpoligami yang dianggap sesuai ajaran Islam.6 Pada pihak lain Suryakusuma, seorang sosiolog memberikan data penelitian yang dilakukannya menyatakan bahwa fenomena perempuan simpanan yang terus me­ningkat serta berbagai kekerasan dalam bentuk perselingkuhan dan pernikahan sirri merupa­ kan dampak negatif dari keberadaan PP tersebut. PP 10 menurut Suryakusuma berusaha mencegah perilaku yang sah menurut UU perkawinan dan hukum Islam. Tujuan dirumuskannya PP dengan demikian tidak tercapai, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Perdebatan sekitar poligami terus ber­ gulir tidak saja pada tingkat elit politik, tetapi juga pada masyarakat umum. Di akhir tahun 2001 misalnya, muncul Puspo Wardoyo yang mengkampanyekan poligami yang diyakininya sebagai tuntunan Islam yang kaffah, melalui berbagai media dan berencana menerbitkan buku tentang kiat sukses berpoligami.7 Di sisi lain ada beberapa realita me­ nunjukkan bahwa kehidupan kaum pe­ rempuan yang dipoligami lebih banyak mengalami kekerasan daripada kebahagiaan. Jenis kekerasan yang terjadi memiliki beberapa konteks yakni kekerasan emosional, ekonomi, fisik, termasuk kekerasan seksual. 8 Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan yang hidup berumah tangga dengan suami yang memiliki istri lebih dari satu sangat rentan Kompas, 27 September 2000, h. 1. Puspo Wardoyo adalah bos Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo yang melakukan poligami. Praktek poligami dijadikannya sebagai sarana untuk mendidik dan melindungi kaum wanita. Lihat. Nurbowo dan Apiko Joko M., Indahnya Poligami, (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2003), h. iii-iv. 8 Litbang Rifka Annisa WCC, Laporan Data Kasus Tahun 2001, (Yogyakarta: Rifka Annisa, 2001), h. 5 dan 8. 6 7 terhadap tindak kekerasan. Sebenarnya dalam beberapa kasus poligami terjadi kekerasan yang beruntun, baik terhadap istri pertama maupun kedua. Di mana istri pertama tidak hanyamengalami pengingkaran komitmen perkawinan, tetapi juga terjadi tekanan psikologis, ekonomi, seksual hingga fisik. Belum lagi pandangan iba bahkan sikap sinis masyarakat yang makin merendahkan. Sementara bagi istri kedua, hal yang tak jauh berbeda juga terjadi.9 Satu hal yang seringkali dilupakan adalah pembahasan pelanggaran yang dilakukan laki-laki dalam berpoligami. Dalam hal ini masyarakat kadang bungkam dan taken for granted. Seorang laki-laki yang beristri banyak yang berlaku aniaya tidak mendapat sangsi moral dan sosial yang pantas. Bahkan hal itu seakan telah menjadijaminan untuk membuktikan kekuasaan dan kejantanan laki-laki. Beberapa anggota masyarakat bangga mengakui bahwa mereka beristri banyak dan berlaku sewenangwenang. Berangkat dari realitas di atas, penulis merasa penting untuk melihat dan mengkaji kembali wacana poligami dari berbagai aspek dan bidang keilmuan, terlebih dari perspektif perempuan. Salah satu bidang yang cukup signifikan untuk dikaji ialah bidang hukum. UU Perkawinan Poligami yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan PP 10 Tahun 1983, akan penulis jadikan sebagai objek tinjauan dalam penelitian ini. Meskipun dalam hal yudiriksi per­ undanga-undangan, perkawinan diper­ bolehkan dengan persyaratan yang begitu ketat, namun nyatanya belum menunjukkan keadilan. Masih banyak perkawinan poligami terkadang menimbulkan beberapa dampak negatif di antara anggota keluarga yang antara lain: Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Solidaritas Perempuan–Lembaga Kajian dan Jender, 1999), h. 50-58. 9 76| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Dominasi Laki-laki yang Berlebihan dalam Keluarga Dalam pandangan teologi yang dianut selama ini, kekuasaan hierarkis laki-laki atas perempuan adalah keputusan Tuhan yang tidak bisa diubah. Argumen yang diajukan untuk ini biasanya adalah pernyataan Tuhan dalam Alquran bahwa laki-laki adalah qawwâmûn atas perempuan. 10 Terhadap kata qawwâmûn, semua mufassir Alquran masa klasik maupun modern mengartikannya sebagai pemimpin, penanggung jawab, penguasa, pelindung dan sejenisnya. 11 Argumen yang dikemukakan untuk tugas kepemimpinan laki-laki atas perempuan ini, menurut ayat itu, adalah karena lakilaki mempunyai kelebihan dibandingkan perempuan.12 Dengan demikian, hierarki kekuasaan laki-laki atas perempuan telah mendapat legimitasi teologis. Dari sini selanjutnya dinyatakan bahwa pernyataan Tuhan tersebut merupakan ketentuan yang pasti dan tidak bisa diubah. Karena perspektif seperti ini, posisi suami menjadi lebih sangat dominan dalam perkawinan poligami karena merekalah yang menanggung segala kebutuhan para isteri. Hal ini menyebabkan suami akan merasa Lihat Q.s. al-Nisa [4]: 34. Untuk lebih dalamnya mengenai ini bisa dilihat dalam Hibah Ra’uf Izzat dalam alMar’ah wa al-’Amal al- Siyasi, Ru’yah Islamiyah, (Bayrut: alMa’had al-’Amaly li al-Fikr al-Islâmi, 1995), h. 101. 11 Makna qawwamah secara bahasa adalah penyangga dan tiang dari suatu urusan, di atasnya urusan tersebut tegak. Apabila dikatakan “fulân qawwâmu ‘ala baitihi” berarti fulan adalah penyangga urusan keluarganya. Lihat al-Râfî’i, al-Misbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarkh al-Kabîr, ditahqiq oleh Ahmad bin Muẖammad bin ‘Ali al-Maqqari al-Fayumi, Juz II, (Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 520. 12 Para penafsir pada umumnya mengajukan sejumlah argumen untuk mendukung ideology superioritas laki-laki itu atas perempuan. Dikatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan penalaran, kejernihan pikiran, matang dalam perencanaan, teguh, kuat dan sebagainya dibandingkan dengan perempuan. Pada tataran realitas sejarah terbukti bahwa para nabi, ulama, pemimpin, tentara dan sebagainya adalah laki-laki. Akan tetapi realitas sejarah ini tidak bisa langsung melegitimasi bahwa posisi perempuan di bawah laki-laki, hal ini dibuktikan dengan telah banyaknya perempuan yang menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan dewasa ini seperti presiden atau perdana menteri. Demikian juga jabatan-jabatan tinggi dan karier lain dengan prestasi yang gemilang. lihat Hibah Ra’uf Izzat, al-Mar’ah wa al-’Amal al- Siyasi, Ru’yah Islamiyah, h. 101 10 sangat berkuasa di antara isteri-isterinya sebab dialah yang menafkahi mereka. Perasaan berkuasa ini dapat menyebabkan kesewenang-wenangan suami terhadap isteriisterinya. Ia dapat saja mengucilkan kaum istrinya ketika ia merasa bahwa sang istri tidak dapat memenuhi atau melaksanakan apa yang diinginkannya.13 Akibat kesewenang-wenangan seperti ini akhirnya akan menjurus kepada suatu bentuk penganiayaan (abuse) baik secara fisik maupun emosional/psikologis. Penganiayaan semacam ini merupakan suatu cara pengontrolan ter­ hadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga.14 Dalam perkawinan poligami, bargaining position para isteri dalam keluarga lebih lemah dibandingkan jika tidak berpoligami (monogami). Mereka merasa takut jika diceraikan oleh suami dikarenakan melakukan kesalahan yang mungkin sebenarnya kecil. Sedangkan di sisi lain, bagi sang suami masih ada pilihan isteri yang lainnya. Sebab jika hal ini terjadi, baginya akan merasa sulit untuk mencari pasangan hidup lain, jika ia terpaksa bercerai, karena kedudukannya dalam masyarakat sebagai janda. Ketakutan seperti ini menjadikan kaum wanita yang berpoligami jarang melakukan aksi protes jika diperlakukan kurang adil. Keadaan ini menjadikan kaum laki-laki akan lebih berani untuk menekan dan memperlakukan para isteri, yang menurutnya membangkang, dengan perlakuan yang menjurus kepada kesewenang-wenangan, penindasan dan ketidak­adilan sehingga pada akhirnya meng­ hasilkan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini berbeda dengan posisi kaum wanita yang tidak dipoligami oleh kaum lakilaki. Dalam keadaan menjadi satu-satunya pasangan hidup bagi suami, kaum wanita dapat lebih berperan aktif dalam manajemen Mazhar al-Haq Khan, Wanita Islam Korban Patologi Sosial, Pent. Lukman Hakim, Cet.I, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 100. 14 Elli N. Hasbianto, Menakar “Harga” Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), h. 191. 13 Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |77 dan kebijakan keluarga. Kaum wanita, dalam keadaan seperti ini, juga akan lebih berani untuk menuntut haknya kepada suami ketika ia (sang isteri) merasa kalau haknya belum dipenuhi atau ia merasa bahwa sang suami melakukan suatu kesalahan. Di sisi lain sang suami juga akan berpikir kembali ketika akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dianggap merugikan isterinya karena jika hal itu terjadi, ia akan memikul tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan ketika ia bersama isterinya. Sebab ia akan melakukan segala hal sendirian, tanpa bantuan dan motifasi dari isteri. Kegelisahan Para Isteri dan Persaingan Antar Keluarga Allah SWT mensyari’atkan perkawinan dan menjadikannya sebagai aturan yang ditetapkan untuk kehidupan manusia serta untuk tujuan yang agung dan mulia. Di antara hikmah dan faedah pernikahan adalah untuk mempererat hubungan antara keluarga suami dan keluarga istri, dan pada gilirannya, mempererat hubungan kasih sayang serta menjalin persaudaraan antar anggota ma­ syarakat yang sebelumnya mungkin tidak atau belum saling mengenal. Selain itu, pernikahan juga dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab antara suami istri dalam pengelolaan rumah tangga,15 serta dalam pembagian tugas dan tanggung jawab masingmasing dalam mengupayakan kesejahteraan keluarga dan pemeliharaan anak-anak.16 Dengan sebuah perkawinan diharapkan akan tercipta suatu hubungan yang erat dan rasa tanggung jawab di antara anggota keluarga, termasuk dalam perkawinan poligami. Akan tetapi, diperbolehkannya poligami terkadang juga menyebabkan kegelisahan bagi para istri secara terusmenerus. Sebab, secara psikologis semuaistri Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahîh al-Bukhari, (Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), Bab Nikah, hadis nomor 4789 16 Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 2002), h. 2-3. 15 pada hakikatnya tidak akan menerima dan akan merasa sakit hati jika melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain walaupun perempuan itu adalah istri sah sang suaminya.17 Poligami akan berakibat pada adanya kekhawatiran yang terus-menerus kalaukalau suatu saat na nti suaminya melakukan perkawinan lagi yang-dengan demikian mem­ bawa masuk saingan-saingan baru dalam kelompok keluarga dan, sebagai akibatnya, persaingan dan pertengkaran antara istriistri yang sudah ada dapat berkobar.18 Rasa cemburu dan sikap berhati-hati akan senantiasa menghantui mereka, sebab memang sudah kodrat wanita kalau mereka sebenarnya tidak suka untuk dimadu ataupun diperlakukan berbeda dengan istri yang lainnya. Dengan demikian timbullah persaingan tidak sehat di antara para istri. Mereka akan selalu berusaha untuk sebisa mungkin menarik perhatian sang suami tanpa memperhatikan para istri lain yang notabene juga sebagai anggota keluarga. Selain itu, rasa cemburu itu tumbuh karena suami biasanya lebih memperhatikan istri muda ketimbang istri lainnya. Bahkan tidak jarang setelah menikah suami menelantarkan istri yang lain beserta anak-anaknya.19 Akibatnya perasaan cemburu, gelisah, serta adanya persaingan dan pertengkaran akan menjadikan suasana rumah tangga menjadi tidak nyaman. Belum lagi me­ nyangkut masalah keadilan dalam hal rasa cinta dan perasaansayang karena besar kemungkinan antara istri yang satu dengan istri yang lainnya terdapat perbedaan dimensi perasaan.20 17 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), h. 51. 18 Mazhar al-Haq Khan, Wanita Islam Korban Patologi Sosial, h. 99. 19 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, h. 52. 20 Banyak orang rancu atau merancukan antara makna adil dan sama-serupa. Keadilan, seperti dirumuskan oleh Rasulullah Saw. adalah terpenuhinya hak bagi yang memilikinya secara sah. Dan hak pada saat yang sama, jika dilihat dari sudut pandang orang lain, adalah kewajiban. Oleh sebab itu, siapa pun yang lebih banyak menunaikan kewajiban, atau yang memikul kewajib­an 78| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Persaingan juga dapat terjadi antara seorang istri dengan anak istri yang lainnya dan bahkan juga persaingan antara anakanak mereka dalam rangka memperebutkan kasih sayang dan perhatian dari suami/ bapak mereka. Untuk mendapatkan suatu perhatian, tidak jarang antara anak yang satu dengan anak yang lainnya saling men­jelekkan dan menjatuhkan di depan ayahnya dan keluarga lainnya. Akibatnya, pertengkaran dan perkelahian di antara mereka pun tidak dapat dielakkan. Konsidi seperti ini akan membuat suasana semakin runyam dan perasaan tidak nyaman akan selalu menghantui kalau-kalau di antara anggota keluarga yang ada akan berbuat jahat terhadap dirinya. Akhirnya, di antara mereka akan saling mencurigai satu sama lain. Keadaan seperti ini akan membawa kehancuran suatu kehidupan rumah tangga lebih cepat jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang timbul diakibatkan pernikahan onogamy. Pria/Suami Tidak Bijaksana Dalam suatu rumah tangga, hendaknya antara suami istri terjadi saling pengertian, saling memahami, dan saling mengetahui kebutuhan satu sama lain. Dengan adanya sikap-sikap tersebut, maka jika suatu saat sang istri atau sang suami melakukan halhal yang kurang berkenan di antara hati keduanya, maka mereka akan saling berusaha memahami kekurangan pasangannya dan berusaha memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan, baik untuk istri, suami maupun anak-anaknya. Dengan begitu keharmonisan rumah tangga akan selalu terjaga. Namun, harapan adanya saling pengertian, saling memahami dan saling megetahui kebutuhan satu sama lain akan lebih sulit tercapai lebih besar, dialah yang lebih memiliki hak lebih dibanding yang lain. Penulis mengemukakan perbedaan antara adil dan samaserupa, karena makna kedua istilah ini sering menjadi pemicu percekcokan keluarga. Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hakhak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan, 2001), h. 196197. Lihat juga Musfir aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 59. ketika suami melakukan poligami. Hal itu terjadi karena adanya tindak-tanduk lakilaki yang tidak bijaksana terhadap anak dan istri-istrinya. Karena laki-laki adalah kepala keluarga di dalam rumah tangganya dan dialah yang bertanggung jawab terhadap apa yang berada di bawah pengayomannya itu. Dan tindak-tanduk kepala keluarga ter­ hadap bawahannya merupakan batas yang membedakan antara kebijaksanaannya dan kebodohannya. Suksesnya politik laki-laki di kalangan keluarganya itu tergantung kepada sejauh mana kebaikan yang menjadi tujuannya dan seberapa lama ia tegak di atas kebenaran dan melaksanakan keadilan. Memang kadang-kadang laki-laki tidak melatar­belakangi tindakannya dengan maksud yang baik terhadap salah seorang dari istriistrinya atau anak-anaknya, maka pada waktu itu menanjaklah ekses-ekses yang timbul dari tindakannya yang tidak bijaksana itu.21 Akhirnya, terjadilah pertengkaran, rasa saling curiga dan tidak mempercayai satu sama lain. Hal ini akan berakibat pada hancurnya kehidupan rumah tangga dan tujuan mulia suatu perkawinan akan sulit tercapai. Pendeknya, ketidakbijaksanaan suami terhadap para istrinya mengakibatkan ketidakharmonisan keluarga. Suami yang bijaksana akan mendorong istri untuk berlaku menghargai segala tindak-tanduknya. Bahkan supremasi jati diri suami bisa di­ wujudkan ketika dia benar-benar menjaga segala kebijakannya. Meskipun harus diakui masih ada pelaku perkawinan poligami yang hidupnya bahagia seperti Puspo Wardoyo. Ia adalah bos Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Suatu hal yang menarik untuk dicermati adalah karena dia melakukan poligami dengan empat orang istri. Yang lebih menarik lagi, hampir tak pernah menyelinap keluar dari bilik-bilik rumah tangganya berita tak sedap tentang kehidupan poligaminya ini. Praktek poligami dijadikannya sebagai sarana untuk men­didik dan melindungi kaumwanita. Dia tidak ragu-ragu ataupun malu dalam berpoligami. Karena perilaku poligami dianggap­ nya sebagai sesuatu yang halal dan Islami sebagai sarana untuk beribadah. Lihat Nurbowo dan Apiko Joko M., Indahnya Poligami, (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2003), h. iii-iv. Lihat juga Abdul Nasir Taufiq al-’Attar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-Undangan, terj. Khadijah Nasution. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 51-52. 21 Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |79 Dampak Poligami dalam Kehidupan Sosial Dampak yang terjadi akibat perkawinan poligami antara lain bertambahnya pen­ duduk. Bertambah penduduk berdampak positif terhadap pertumbuhan statistic umat Islam, namun dampak negatifnya adalah membengkaknya jumlah penduduk tanpa diimbangi oleh dana dan kemampuan yang memadai. Hal ini terbukti bahwa ternyata pertambahan penduduk berakibat pada kesulitan ekonomi pada suatu negara.22 Poligami juga menyebabkan dampak kecemburuan sosial dalam hal kesetaraan jender. Mayoritas wanita yang berpendidikan sangat susah untuk menerima konsep per­ kawinan poligami. Berbagai jurnal wanita muncul untuk membela hak-hak wanita. Mereka memperjuangkan kesetaraan jender. Kesetaraan ini harus meliputi pelbagai lapangan dan level kehidupan. Sehubungan dengan ini, banyak orang yang masih mempertanyakan tolok ukur atau standar persamaan itu sendiri. Apakah mungkin menyamakan antara laki-laki dan perempuan? Bukankah laki-laki dan perempuan secara biologis memang tidak sama?.23 Adapun yang dimaksud dengan prinsip kesetaraan dalam hal ini bukanlah me­ nyamakan secara fisik antara laki-laki dan perempuan. Persamaan dan kesetaraan yang dimaksud adalah menyamakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di depan Allah. Sebab ketidaksetaraan lakilaki dan perempuan dalam agama banyak diciptakan oleh konstruksi sosial kultural, bukan oleh ajaran agama itu sendiri. Allah sendiri menyatakan bahwa semua hamba Allah adalah setara di hadapan-Nya. Yang me­ m­bedakan adalah nilai takwanya. Ketakwaan bukanlah istilah yang bias jender sebab semua orang diberi hak untuk men­capainya.24 Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa poligami akan menyebabkan kecemburuan sosial kesetaraan jender. Para aktifis jender akan terus menyerang kaum lelaki yang melakukan poligami, walaupun pada be­ berapa fenomena pola relasi jender banyak menguntungkan kaum laki-laki. Ini terbukti dengan merebaknya jurnal wanita yang mencoba memperjuangkan apa yang disebut sebagai hak kaum wanita. Problem sosial lainnya adalah muncul­ nya sifat superioritas pada kaum lakilaki. Akibat dari superioritas ini, banyak wanita yang menjadi korban, salah satunya pemberian beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat kepada perempuan, dan ini terutama dialami kaum perempuan yang bekerja di luar rumah. Sebab, perempuan selain dituntut untuk menyelesaikan tugastugas rumah tangga—yang di masyarakat selalu dipersepsikan sebagai kewajiban perempuan—ia juga harus menunjukkan prestasi kerja yang baik di tempat kerjanya. Beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat ini pun dialami oleh mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang pada umumnya perempuan.25 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 263. 25 Bentuk lain dari ketidakadilan jender adalah perlakuan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan di ranah public (luar rumah tangga) dan kekerasan di ranah domestic (dalam rumah tangga). Intensitas kekerasan pada pe­ rempu­an Indonesia—yang mayoritas beragama Islam— dinilai sangat tinggi. Buktinya, laporan Kantor Menteri Pem­berdayaan Perempuan tahun 2000 menjelaskan bahwa dari penduduk Indonesia yang berjumlah 217 juta, 11,4% di antara­nya atau sekitar 24 juta penduduk perempuan—terutama di pedesaan— mengaku pernah mengalami perlakuan kekerasan, dan sebagian besar berupa kekerasan di rumah tangga, tempat yang selama ini dianggap paling aman buat perempuan. Kekerasan domestik tersebut, antara lain berwujud penganiayaan fisik dan psikis, 24 Poligami dari sudut pandang ekonomi sepertinya me­ nimbulkan permasalahan sosial. Namun dari sudut pandang ke­ tidak­­seimbangan antara jumlah kaum laki-laki dan wanita justru menyelesaikan problem sosial. Lihat Saiful Islam Mubarak, Poligami Yang Didambakan Wanita, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2003), h. 17. 23 Prinsip-prinsip kesetaraan jender adalah; - Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba - Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah -Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial -Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi Adam dan Hawa sama-sama terlibat aktif dalam drama kosmis. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 247-263. 22 80| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Berdasar hal lain, dalam jurnal perempuan edisi 31 terdapat analisa data-data 3 tahun terakhir dari LBH APIK Jakarta. Tercatat 70 orang telah mengadukan suaminya menikah lagi dan melakukan kekerasan fisik dan psikis kepada pihak korban berupa tidak diberi nafkah, ditelantarkan bahkan sampai penganiayaan. Data-data ini menjadi penting untuk diperlihatkan kepada publik bahwa poligami tidak dapat ditolerir dan lebih banyak merugikan perempuan. Oleh sebab itu di negara-negara Islam seperti Turki, Siria, dan Tunisia, poligami dilarang. Mantan presiden Tunisia Habib Bu Ruqayba secara tegas menolak praktek perkawinan poligami sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima dalam abad ke-20 ini. Baginya, “keluarga adalah tonggak masyarakat, dan keluarga dapat berhasil dengan baik hanya dengan dasar saling menghormati danmenghargai antar pasangan. Salah satu bentuk untuk saling menghormati dan menghargai adalah dengan melaksanakan pernikahan monogami.” Ada hal yang menarik di sini yang mengkaitkan pernikahan monogami dengan pembinaan keluarga yang sehat, artinya berusaha me­ nyelamatkan masa depan anak-anak dengan cara membiarkan mereka tumbuh dalam rasa aman, percaya diri dan dari konflik-konflik keluarga yang menimbulkan trauma. Pada akhirnya, argumentasi kepentingan anak adalah argumentasi mutlak yang harus diterima karena anak adalah aset bangsa yang tidak ternilai.26 pemaksaan hubungan seksual dalam kehidupan suami istri, pe­ leceh­an, atau suami berselingkuh. Dapat di­pastikan bahwa data kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan. Sebab, tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan kasusnya. Bentuk lain lagi dari ketidakadilan jender adalah marginalisasi atau pemiskinan pe­ rempu­an dalam bidang ekonomi. Proses pemiskinan ini disebab­ kan banyak pekerjaan yang digolongkan sebagai pekerjaan perempuan dinilai lebih rendah daripada pekerjaan laki-laki, dan akibat­nya upah bagi pekerjaan perempuan lebih murah. Contoh kecil, pekerjaan memasang kancing di industri garmen dinilai lebih rendah daripada pekerjaan laki-laki mengangkat barang. Karenanya, perempuan diberi upah lebih murah, padahal, pekerja­ an mereka membutuhkan lebih banyak ketelitian dan konsentrasi jauh. Gadis Arivia, Jurnal Perempuan: Menimbang Poligami, h. x 26 Gadis Arivia, Jurnal Perempuan: Menimbang Poligami, Solusi dalam Mengatasi Problem Perkawinan Poligami Secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Setidaknya ada dua faktor. Pertama, didorong oleh rasa cinta setianya yang dalam kepada suaminya. Umumnya istri mempercayai dan mencintai suaminya sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang untuk cinta terhadap laki-laki lain. Istri selalu berharap suaminya berlaku sama terhadap dirinya. Karena itu, istri tidak dapat menerima suaminya membagi cinta pada perempuan lain, bahkan kalau mungkin, setelah mati pun dia tidak rela jika suaminya menikah lagi. Faktor kedua, istri merasa diri inferior seolah-olah suaminya berbuat demikian lantaran ia tidak mampu memenuhi kepuasan biologisnya. Perasaan inferior itu semakin lama meningkat menjadi problem psikologis, terutama kalau mendapat tekanan dari keluarga.27 Memang tidak mustahil ada perempuan yang rela dan bersedia menerima poligami, namun kerelaan atau kesediaan dari satu atau sejumlah perempuan tidak boleh dijadikan acuan untuk menggeneralisasi, apalagi untuk memaksakan seluruh perempuan dapat menerima hal yang sama. Kerelaan yang jarang dan langka terjadi itu muncul apabila perempuan memandang atau me­ nempatkan dirinya sebagai harta atau objek yang dimiliki suaminya, bukan melihat dirinya sebagai subyek atau individu yang merdeka yang memiliki seperangkat hak. Dengan demikian, penerimaan poligami oleh perempuan bergantung pada seperti apa dia memandang dirinya, apakah ia memandang dirinya sebagai harta atau objek Edisi XIII, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 5. 27 Menurut Penulis masalah inferior bisa ditangani dengan peningkatan peran perempuan dalam kehidupan ber­ masyarakat. Tentu saja sebelumnya harus dilakukan upaya meng­ubah paradigma kedudukan wanita baik di dalam hukum, ke­­sempatan berkarya, berpendapat, berekspresi, dan sebagainya. Lihat Wahid Zaini, Peningkatan Peran Perempuan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999), h. 133-144. Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |81 yang dimiliki ataukah ia melihat dirinya sebagai subjek atau individu yang memiliki hak sebagaimana layaknya seorang manusia. Problem psikologis lainnya adalah dalam bentuk konflik internal dalam keluarga, baik di antara sesama istri, antara istri dan anak tiri atau di antara anak-anak yang berlainan ibu. Ada rasa persaingan yang tidak sehat di antara istri. Hal itu terjadi karena suami biasanya lebih memperhatikan istri muda ketimbang istri lainnya. Bahkan, tidak jarang setelah menikah suami menelantarkan istri dan anak-anaknya. Suami putus hubungan dengan istri dan anak-anaknya. Untung kalau istrinya mempunyai penghasilan yang dapat menutupi kebutuhan hidupnya dan anakanaknya, kalau tidak, mereka akan menjadi beban keluarga atau masyarakatnya. Tentu ini akan menimbulkan problem sosial yang serius di masyarakat. Seseorang yang terdidik dan menghayati apa yang diwajibkan syara’ kepadanya tidak akan sampai hati melakukan poligami. Karenanya, semakin masyarakat itu terdidik dan beradab semakin sedikit dijumpai praktek poligami, demikian pula sebaliknya.28 Bentuk implikasi lain dari poligami adalah kekerasan terhadap perempuan. Definisi kekerasan terhadap perempuan menurut pasal 1 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan ke­ merdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam Apabila terjadi perselisihan antara suami istri yang mana tidak bisa diselesaikan secara intern maka kedua belah pihak hendaklah mengangkat juru penengah yang menjadi juru damai dari kedua belah pihak. Juru damai disyari’atkan dalam Islam dan diutamakan berasal dari keluarga dekat suami istri yang bersengketa. Lihat Zainab Hasan Syarqawi, Ahkam alMu’asyarah al-Zaujiyah, (diterjemahkan oleh Hawin Murtadho dengan judul Fiqih Seksual Suami Istri), (Solo: Media Insani Press, 2003), h. 239-250. 28 kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap pe­ rempuan justru lebih banyak terjadi di rumah tangga, dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Kekerasan terhadap istri biasanya sulit dan jarang diungkapkan karena dianggap sebagai masalah pribadi. Selain itu, istri juga selalu diajarkan untuk selalu merahasiakan persoalan keluarganya (persoalan dengan suaminya) kepada orang lain. Keyakinan ini membuat istri tetap diam, meskipun suaminya sudah memperlakukannya secara keras, seperti menampar, menendang, dan memukulinya dengan benda-benda tajam. Selain dalam bentuk penyiksaan fisik, istri juga mengalami kekerasan seksual dalam bentuk suami tidak memperhatikan kebutuhan dan kepuasan seksual istrinya. Dari hasil penelitian yang panjang, Khairuddin N.M. menyimpulkan bahwa poligami me­ rupakan faktor yang paling banyak memicu pelecehan hak-hak istri, termasuk hak-hak yang berkaitan dengan seksualitas.29 Hal itu terjadi karena dalam poligami suami biasanya tertarik melakukan hubungan seksual dengan istri muda. Sementara istri lain diabaikan dan tidak dipenuhi kebutuhan seksualnya. Kondisi yang demikian akan menimbulkan kecemburuan.30 Cemburu dibutuhkan dalam kehidupan berumah tangga guna menjaga kesucian masing-masing pasangan suami istri. Cemburu, bila proporsional, sangat dibutuhkan dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Namun jangan berlebihan atau kurang, sebab dapat menjadi desktruktif (merusak). Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn berkata, “Jauhilah cemburu yang bukan pada tempatnya, karena hal itu bisa membuat yang sehat menjadi sakit, 29 Khairuddin N.M., Pelecehan Seksual Terhadap Istri, (Yogyakarta: PPK Gajah Mada, 1998), h. 59. 30 Permasalahan kecemburuan bisa diatasi dengan adanya keadilan dari pihak suami terhadap istri-istrinya, dan pengertian dari pihak istri terhadap kebijakan suami. Dalam hal ini diper­ lukan tindakan mengedepankan penyelesaian persoalan dan bukan tuntutan. Lihat Wahiduddin Khan, Women Between Islam and Western Society, (diterjemahkan oleh Abdullah Ali dengan judul Antara Islam dan Barat; Perempuan di Tengah Pergumulan), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 239. 82| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 kepercayaan menjadi keragu-raguan.31 Poligami seringkali membuat suami memaksakan kehendak kepada istri. Dari mulut suami tidak jarang terdengar ancaman terhadap istri. Sebagian istri, karena malu dan berat kepada orang tua dan kepada keluarga atau karena alasan kasihan kepada anak, seringkali memilih tinggal bersama suami, biarpun dipukuli dan disiksa seperti hewan. Pada umumnya, sikap suami yang mulai melirik perempuan lain lebih sensitive dan emosional terhadap istrinya. Dia menjadi ringan tangan dan mudah menampar dan memukul istri. Bahkan, tidak sedikit suami membawa pulang istri muda kerumahnya dan tentu saja itu merupakan pelecehan yang luar biasa terhadap perempuan.32 Data-data dari sejumlah lembaga bantu­ an hukum menyebutkan tidak sedikit istri yang menuturkan pengalamannya mendapat perlakuan kekerasan dari suaminya yang berpoligami. Pada umumnya, laki-laki merasa puas dan berbahagia dengan poligami adalah laki-laki yang dalam prakteknya mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab yang ditentukan agama. Mereka mengambil perhatian dengan memenuhi hak-hak seorang istri, tetapi mengabaikan hak-hak istri yang lain. Dari sudut pandang ini, 31 Al-Ghazâli, Ihya’ Ulûm al-Dîn, Jilid II, (Bayrût:: Dâr al-Kitâb, 1957), h. 47. 32 Menurut penulis, suami memang berhak memukul istri yang melakukan nusyûz, tentu saja setelah upaya pemberian nasihat dan hijr (isolasi) di ranjang tidak berhasil. Bentuk pukulan tidak boleh melebihi batas hudûd yang paling rendah yaitu 40 kali pukulan (dera pada peminum khamr) sebagaimana pendapat al-Syâfi’i. Tujuan pukulan tersebut adalah untuk men­ didik bukan untuk menyiksa sehingga seorang suami tidak boleh memukuli istrinya sekeras-kerasnya yang bisa mencelakakannya. Lihat Zainab Hasan Syarqawi, Ahkâm alMu’asyarah al-Zaujiyah, (diterjemahkan oleh Hawin Murtadho dengan judul Fiqih Seksual Suami Istri), (Solo: Media Insani Press, 2003), h. 228-229. Namun apabila yang terjadi sebaliknya, yaitu suami yang ringan tangan dan kejam, maka istri berhak mengajukan perbuatan kriminal suami tersebut kepada pengadilan, atau bahkan bisa menuntut cerai karena Undang-undang telah mengaturnya dan mengingatkan hal tersebut kepada suami dalam ta’liq talak. Lihat A.E. Manihuruk, Undang-undang Perkawinan, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), Bab V, Tata Cara Perceraian, Pasal 19, h. 41. poligami pada hakikatnya adalah perkawinan monogami yang dinodai dengan kezaliman, ketidakadilan, dan keserakahan. Para suami yang melakukan tindak kekerasan terhadap istri dapat dihukum berdasarkan pasal 356 KUHP (Penganiayaan dengan Pemberatan Pidana). Penganiayaan ini dapat juga dijadikan alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan perceraian ber­dasarkan pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan dapat menyebabkan jatuhnya talak menurut sighat taklik talak yang diucapkan suami sesaat setelah akad nikah dilangsungkan. Hanya saja, dalam prakteknya perlindungan hukum yang ada ini tidak efektif karena berbagai alasan, di antaranya adalah kurang sensitifnya para penegak hukum terhadap kepentingan dan hakhak perempuan. Alasan lain adalah sikap masyarakat kita yang cenderung menyalahkan kaum perempuan sehingga banyak istri yang malu memperkarakan persoalannya ke pengadilan. Tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa keadilan masih jauh dari jangkauan kaum perempuan. Istri yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga memerlukan penyuluhan dan perlindungan. Mereka sebaiknya menghubungi lembagalembaga pelayanan yang khusus menangani kekerasan terhadap perempuan, seperti Lembaga Bantuan Hukum APIK, Rumah Ibu, Lembaga Kalyanamitra, Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan Fatayat NU, Komnas HAM Perempuan, dan Rifka Annisa di Yogyakarta. Sayangnya lembaga semacam ini masih sangat sedikit jumlahnya. Pada masa mendatang diharapka lebih banyak lagi lembaga serupa yang didirikan agar dapat memberikan sebanyak mungkin perlindungan dan pembelaan terhadap perempuan yang mengalami tindak kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Problem sosial lainnya yang sering muncul di masyarakat sebagai implikasi dari poligami adalah nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan di kantor pencatat nikah KUA Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |83 bagi umat Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang bukan muslim, walaupun menurut hukum agama, perkawinan itu dipandang sah, tetapi secara administratif tidak tercatat. Para suami yang berpoligami biasanya enggan mencatatkan perkawinannya karena mereka malu dan segan kalau perkawinannya itu diketahui banyak orang.33 Lagi pula, mereka tidak ingin direpotkan dengan segala urusan administratif negara. Mereka juga tidak perlu buku nikah karena mereka telah memilikinya melalui perkawinan dengan istrinya terdahulu. Persoalannya adalah para istri yang dinikahi dengan cara tersebut dengan sendirinya tidak dapat menuntut hak-haknya atas nafkah dan warisan, terutama jika suaminya meninggal, karena perkawinan mereka tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai ketentuan pasal 6 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan kenyataan di atas, muncul kasus-kasus yang membuat pihak istri menjadi terlantar setelah diceraikan atau ditinggal wafat oleh suaminya karena mereka tidak berhak mendapatkan warisan atau nafkah dari suami lantaran dia tidak memiliki buku catatan nikah dari KUA atau KCS. Berdasarkan faktor-faktor di atas, negara menjamin keberadaan perkawinan poligami secara hukum untuk melindungi hak-hak wanita.34 Di samping itu Undang-Undang poligami digunakan untuk mencegah perilaku menyimpang kaum laki-laki yang 33 Menurut penulis keengganan kaum laki-laki mencatatkan perkawinan poligaminya dikarenakan beberapa faktor, di antaranya; kurangnya tanggung jawab suami, pe­ nilaian negatif publik terhadap pelaku poligami dan karena permasalahan birokrasi administratif yang berbelit-belit. Faktor pertama adalah mutlak kesalahan kaum laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan faktor kedua dan ketiga tidak bisa dikategorikan demikian. 34 Sebagaimana dapat disaksikan dalam kehidupan nyata, kebutuhan akan poligami muncul di antaranya karena kondisikondisi sebagai berikut: Pertama, jumlah perempuan yang siap kawin jauh melampaui jumlah laki-laki yang siap kawin. Kedua, sebagian wanita secara suka rela bersedia menikah degnan pria yang telah beristri, dan memandang pernikahan tersebut sebagai kebutuhan mereka. Ketiga, usia kawin perempuan lebih muda dibandingkan dengan usia kawin laki-laki. Keempat, kemampuan reproduksi perempuan terbatas sampai usia tertentu, setelah melampaui batas itu perempuan akan sangat sulit memperoleh keturunan. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang kemampuan reproduksinya relatif tidak dibatasi usia. ingin menyeleweng dan melampiaskan nafsunya kepada PSK. Islam juga mengatur perkawinan poligami demi menjaga keutuhan rumah tangga dan hak-hak kaum wanita. Demikian juga hal yang tidak kurang penting­nya menjaga kebersihan hidup sesuai dengan ajaran Muhammad Saw.35 Dengan demikian, dalam poligami yang diajarkan Islam, terdapat beberapa kelebihan sebagai berikut: 1. Poligami merupakan rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya dan merupakan anugerah yang dapat menyelesaikan be­ berapa kesulitan. Tentu ini merupakan jalan yang tepat untuk menyalurkan rasa kasih sayang, supaya terhindar dari cengkeraman hawa nafsu. Hal ini disebabkan adanya fakta realitas ditemu­kannya seorang wanita yang me­ ncintai laki-laki yang sudah beristri. Mereka saling mencintai sehingga jalan yang terbaik bukanlah seks bebas atau perselingkuhan, akan tetapi perkawinan poligami yang sah sesuai dengan ajaran Islam. 2. Poligami dapat memberikan ketentram­ an terhadap keluarga muslim dan dapat memperkecil perceraian. Sebab seorang suami jika ingin beristri lagi, ia akan menambah perhatiannya terhadap istri— supaya mendapat restu darinya—yang pertama dan anak-anaknya. Dengan demikian, di bawah naungan sang suami, semua keluarga dapat terayomi dan terbina dengan baik. 3. Poligami dapat menjaga seorang untuk berhubungan gelap dengan wanita-wanita 35 Pembolehan poligami bukanlah digunakan sebagai justifikasi prilaku Nabi Muhammad yang melakukan poligami. Namun sebaliknya, poligami Nabi Muhammad merupakan justifikasi pembolehan poligami. Tuduhan Muhammad itu adalah manusia maniac seks tidak benar. Setiap pernikahan poligami yang dilakukannya mengandung hikmah ta’limiyah, tasyri’iyah, ijtima’iyah, dan siyasah. Lihat Muhammad ‘Ali alShâbuni, Subhat wa Abatil Haula Ta’addudi Zaujat al-Rasul, (diterjemahkan oleh Tahruddin Salam dan Abdurrahman alMardafi, (Solo: Pustaka Arafah, 2002), h. 17-54. 84| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 lacur.36 Sebab poligami memungkinkan seorang yang sudah beristri mengambil istri lagi, dua, tiga, atau empat dari kalangan wanita yang beragama dan berakhlak mulia, sehingga mereka dapat hidup bersama dalam kehidupan yang bersih dan berwibawa. Mereka dapat melahirkan keturunan yang bersih dan suci. Mereka dapat menjaga dan memelihara keturunan dengan baik. Seorang istri dapat memberikan kasih sayang terhadap anak-anak istri yang lain dan dapat berfungsi sebagai ibu seperti ibu mereka sendiri. 4. Poligami dapat menjaga kesehatan sang istri. Karena beberapa penyakit seperti sipilis yang ditimbulkan dari perbuatan zina dapat menular terhadap pasangan seksnya. Maka poligami harus dipandang sebagai anugerah Allah, sebagai suatu jalan yang dapat menjaga kesehatan sang suami, istri, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. 36 Sebelum abad ke-20, dalam pemikiran orang Nasrani di Barat, poligami itu dianggap sebagai kriminalitas moral kemasyarakatan, penzaliman terhadap wanita, pengabaian hak-hak wanita dan sarana bagi laki-laki untuk memuaskan hawa nafsunya, serta penyebab bertambahnya keturunan, ter­ abaikannya pendidikan anak, dan tumbuhnya pengangguran atau kemiskinan di kalangan masyarakat. Namun pada pertama abad ke-20, Eropa terlibat dalam dua peperangan dunia yang mengorbankan jutaan pemuda, padahal di sana terdapat jutaan wanita yang belum pernah kawin. Ada juga wanita-wanita yang sudah menikah akhirnya menjadi janda karena suamisuami mereka tidak ada kesempatan lagi untuk menikah karena jumlah laki-laki berkurang. Akhirnya wanita-wanita itu terjebak dalam dua pilihan pahit, yaitu matinya sifat kewanitaan mereka dan melupakannya sama sekali atau mereka mempertahankan kewanitaan mereka melalui pemuasan nafsu seksual yang mereka miliki dan itulah hakikat ukuran kewanitaan tersebut. Mereka memilih yang kedua lalu berkenalan dengan laki-laki yang telah beristri dan menjalin hubungan gelap dengan mereka. Akibatnya adalah istri-istri sah resah gelisah dan terhina karena suami-suami mereka lebih banyak mendekati para penjaja seks tersebut. Selain itu, di negara-negara Barat, khususnya Jerman, banyak berdiri organisasi kaum wanita yang menuntut diper­ bolehkannya poligami atau pembatasan terhadap laki-laki untuk memelihara seorang wanita saja di samping istrinya yang sah. Hal itu bertujuan untuk mencegah menjalarnya penyakit kelamin di samping kurangnya perhatian suami terhadap istri­ nya yang sah. Lihat Musfir al-Jahrani, Nadzratun fî Ta’addud alZaujat, (diterjemahkan oleh Muh. Suten Ritonga dengan judul Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 85-86. Dengan adanya peraturan poligami di atas, seharusnya akan timbul keserasian dan ketertiban antara semua pihak yang terkait. Poligami merupakan solusi menghadapi problem sosial ketidakseimbangan jumlah kuantitas laki-laki dan perempuan. Dan yang menjadi poin paling penting menurut penulis poligami merupakan solusi sosial untuk menanggulangi kerusakan moral dan etika menyalurkan seks. Tidak semua manusia mampu menahan nafsu seksnya. Maka Islam memberikan solusi sosial dengan penyaluran seks yang moralis dan bertanggung jawab yang dimanifestasikan dalam poligami. Perilaku seks bebas dan pelacuran jauh lebih berbahaya daripada poligami. Aturan ajaran Islam sangat aspiratif karena Allah Dzat Yang Maha mencipta mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dan yang dibutuhkan oleh mahluknya baik di masa sekarang ataupun mendatang.37 Berdasarkan uraian di atas, penulis ber­ harap kiranya dapat dimengerti dan dipahami serta diambil hikmahnya mengapa Islam tidak melarang poligami, tetapi ia hanya meluruskan dan membatasi serta memberikan jalan solusi terbaik bagi manusia.38 Syarat yang diajukan oleh ajaran Islam yakni adil bersifat mutlak dan tidak bersifat nisbi atau bahkan adimnistratif. Berbeda dengan syarat Undang-undang poligami di Indonesia yang lebih bersifat administratif. Dan menurut hemat penulis, syarat-syarat poligami yang diberikan Islam lebih realistis daripada agama lainnya. Sekilas seperti terfokus pada syarat kuantitas saja tanpa pertimbangan kualitas. Namun pada hakikatnya sedikit banyak me­ nuntut kualitas baik dalam kasih sayang, pembagian waktu dan nafkah, serta perhatian. Lihat Q.s. al-Mulk [67]: 14. Penulis menemukan bahwa ciri khas perkawinan poligami dalam Islam adalah pembatasan empat orang istri, karena agamaagama lain tidak membatasi jumlah poligami seperti Yahudi se­ bagai­mana yang dilakukan Nabi Daud yang menikahi 700 orang istri. Agama Nasrani tidak memberikan keterangan yang tegas tentang poligami dan batasannya. Sedangkan keadilan bukanlah ciri khas perkawinan poligami Islam karena semua agama meng­ ajarkan keadilan dalam segala hal. Lihat Maftuhin Asyharie, 11 Istri Rasulullah SAW, (Surabaya: Galaxy, 2002), h. 59. 37 38 Rudi Nuruddin Ambary: Perkawinan Poligami yang Berkeadilan |85 Penutup Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menganut kebolehan poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya sampai empat orang istri. Alasan berpoligami salah satunya adalah sistem birokrasi yang terlalu berbelit-belit (untuk memenuhi syarat poligami) yang dimaksudkan untuk melindungi hak-hak wanita justru pada sudut pandang lain merugikan kaum wanita. Banyak suami yang berpoligami (terutama PNS) enggan mencatatkan pernikahannya ke KUA dengan alasan tersebut. Kondisi ini tentu saja merugikan istri kedua karena pernikahannya tidak memperoleh legalitas hukum dan berimplikasi pada pembagian harta bersama dan hak waris. Demikianlah beberapa kebijakan dalam hukum nasional yang berkenaan dengan poligami. Pada dasarnya peraturan-peraturan yang ada terdapat beberapa peraturanperaturan yang kurang responsif terhadap kebutuhan hukum dan kepentingan pe­ rempuan. Hal ini karena peraturan tersebut lebih cenderung mengedepankan kepentingan kaum laki-laki, baik dalam artian jenis kelamin maupun struktur, masih sedikit perempuan yang terlibat dalam badan pengambilan keputusan. Dengan adanya peraturan poligami di atas, walaupun terkadang lebih mengedepankan kaum lakilaki, seharusnya akan timbul keserasian dan ketertiban antara semua pihak yang terkait. Poligami merupakan solusi menghadapi problem sosial ketidakseimbangan jumlah kuantitas laki-laki dan perempuan. Dan yang menjadi poin paling penting menurut penulis poligami merupakan solusi sosial untuk menanggulangi kerusakan moral dan etika menyalurkan seks. Perilaku seks bebas dan pelacuran jauh lebih berbahaya daripada poligami. Pustaka Acuan Arivia, Gadis, Jurnal Perempuan; Menimbang Poligami, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. ‘Attar, al-, Abdul Nasir Taufiq, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-Undangan, terj. Khadijah Nasution. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Asyharie, Maftuhin, 11 Istri Rasulullah SAW, Surabaya: Galaxy, 2002. Bukhâri, al-, Muhammad bin Isma’il, Shahîh al-Bukhari, Bayrût: Dâr al-Kutub alIlmiyah, t.t. Ghazâli, al-, Ihya’ Ulûm al-Ddin, Jilid II, Bayrût: Dâr al-Kitâb, 1957. Hasbianto, Elli N., Menakar “Harga” Perempuan, Bandung: Mizan, 1999. Habsyi, al-, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis, Bandung: Mizan, 2002. Hasyim, Syafiq, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan: Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001. Izzat, Hibah Ra’uf, al-Mar’ah wa al-’Amal al- Siyasi, Ru’yah Islamiyah, Bayrût: alMa’had al-’Amaly li al-Fikr al-Islami, 1995. Jahrani, al-, Musfir, Poligami dari Berbagai Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Khan, Mazhar al-Haq, Wanita Islam Korban Patologi Sosial, Pent. Lukman Hakim, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994. Khan, Wahiduddin, Women Between Islam and Western Society, (diterjemahkan oleh Abdullah Ali dengan judul Antara Islam dan Barat: Perempuan di Tengah Pergumulan), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001. Kompas, 27 September 2000. Litbang Rifka Annisa WCC, Laporan Data Kasus Tahun 2001, Yogyakarta: Rifka Annisa, 2001. 86| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 M, Khairuddin N., Pelecehan Seksual Terhadap Istri, Yogyakarta: PPK Gajah Mada, 1998. Manihuruk, A.E., Undang-undang Perkawinan, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986. Mas’udi, Masdar F., Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 2001. Mubarak, Saiful Islam, Poligami Yang Didambakan Wanita, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2003. Mulia, Musdah, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: Solidaritas Perempuan– Lembaga Kajian dan Jender, 1999. Mundziri, al-, Abdul Adzîm bin Abdul Qawi, al-Targhîb wa al-Tarhîb, Cet. I, Juz III, Bayrût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1417 H. Nurbowo dan Apiko Joko M., Indahnya Poligami, Cet. II, Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2003. Râfi’i, al-, al-Misbâh al-Munîr fî Gharîb alSyarkh al-Kabîr, ditahqiq oleh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Maqqari alFayumi, Juz II, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t. Shabuni, al-, Muhammad ‘Ali, Subhat wa Abatil Haula Ta’addudi Zaujat al-Rasul, (diterjemahkan oleh Tahruddin Salam dan Abdurrahman al-Mardafi, Solo: Pustaka Arafah, 2002. Syarqawi, Zainab Hasan, Ahkam alMu’asyarah al-Zaujiyah, (diterjemahkan oleh Hawin Murtadho dengan judul Fiqih Seksual Suami Istri), Solo: Media Insani Press, 2003. Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 2001. Zaini, Wahid, Peningkatan Peran Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1999. Zuhayli, al-, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Cet. I, Juz III, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1991.