4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara geografis berada di bagian barat Indonesia pada 20 LU-60 LU dan 950 BT-980 BT. Wilayah ini terletak di antara Teluk Benggal di bagian utara, Selat Malaka di bagian timur, Samudera Hindia di bagian barat dan Provinsi Sumatera Utara di bagian selatan. Provinsi NAD memilki luas daratan 57.365,57 km2 (http://bisnisinvestasi.acehprov.go.id/profile.php). Wilayah pantai barat-selatan NAD terdiri dari beberapa kabupaten dimulai dari Kabupaten Aceh Singkil yang berbatasan langsung dengan provinsi Sumatera Utara hingga Kotamadya Banda Aceh yang berbatasan langsung dengan teluk Benggal. Beberapa kabupaten di pantai Barat-Selatan yaitu Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Simeulu, Aceh Jaya dan sebagian pantai kota Banda Aceh. Pantai Aceh barat-selatan merupakan daerah laut dalam karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Ada beberapa sungai besar yang bermuara di daerah tersebut seperti Krueng Woyla, Krueng Teunom, Krueng Meureubo (Aceh Barat), Krueng Singkil/Alas (Aceh Singkil) yang mengalir ke Samudera Hindia. Selain itu, terdapat banyak pulau di pantai barat-selatan seperti Kepulauan Simeulu (Kabupaten Simeulu), Kepulauan Banyak (Kabupaten Aceh Singkil), Pulau Rusa (Kabupaten Aceh Jaya), Pulau Dua (Aceh Selatan), Pulau Mansalar (Aceh Singkil) dan lain-lain.Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut berpenghuni seperti Kepulauan Simeulu dan Kepulauan Banyak (http://bisnisinvestasi.acehprov.go.id/profile.php). 4 5 2.2 Potensi Perikanan di Perairan Barat-Selatan NAD Potensi perikanan di wilayah barat-selatan NAD sangat besar khususnya dibidang budidaya laut seperti jenis komoditi rumput laut, kerapu, kakap, dan kerang mutiara dengan potensi sebaran luas ±12.014 ha seperti di Sabang, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Pulau Banyak (Aceh Singkil). Potensi perikanan karang dengan didukung oleh adanya terumbu karang di Nanggroe Aceh Darussalam dengan luas ±274.841 ha, tersebar mulai dari Sabang, Aceh Besar, dan Pantai Barat Selatan Aceh (http://hamdani75.wordpress.com/2011/06/21/peluang-dan-tantangan-kelautandan-perikanan-aceh). Hal ini berbeda untuk perikanan tangkap yang belum tereksplorasi sepenuhnya karena setelah tsunami pada tahun 2004 banyak alat penunjang perikanan tangkap yang hancur dan setelah tsunami penunjang perikanan tangkap juga belum maksimal. Sedikitnya terdapat 2 (dua) kendala dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, yaitu : (1) kerusakan lingkungan fisik pesisir, (2) permasalahan sosial dan kelembagaan. Kedua persoalan tersebut selama ini menjadi kendala yang signifikan dalam mewujudkan pengelolaan laut dan perikanan yang berkelanjutan. Permasalahan yang berkenaan dengan pemanfaatan pesisir dan laut di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diantaranya sebagai berikut : • Terjadinya kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang. • Terjadinya sedimentasi dan abrasi pantai. • Pencemaran laut akibat limbah rumah tangga dan kapal. • Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti trawl (pukat harimau) 6 • Rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan kelautan dan perikanan. • Pada umumnya nelayan tradisional tumbuh dan berkembang secara alami dan melakukan kegiatan penangkapan ikan berdasarkan naluri dan pengalaman yang diperoleh secara turun-temurun. • Kurangnya pembinaan terhadap nelayan. • Tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan pesisir dan laut. • Terjadinya tumpang tindih perizinan eksploitasi di wilayah pesisir dan laut. • Belum adanya pengaturan tata ruang untuk kegiatan budidaya. • Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai jumlah maupun alokasi mangrove yang boleh dikonversi untuk pengembangan pertambakan. • Terjadinya konflik pemanfaatan dan kewenangan (konflik antar sektor, antar tingkat pemerintahan, dan antar daerah otonom). • Terjadinya konflik antar nelayan (antara nelayan tradisional dan nelayan modern). • Rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah dan penegakan hukum (law enforcement). • Belum adanya lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman permodalan usaha kepada nelayan, terutama nelayan tradisional sehingga nelayan identik dengan kemiskinan. • Belum terdapat kelembagaan pengelolaan bersama antara pemerintah dan pihak lain dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. (http://www.wetlands.or.id/PDF/Aceh_doct_Ind_version_final.pdf) 7 Dengan terjadinya peristiwa tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, kondisi pesisir dan laut Aceh yang sudah mengalami kerusakan menjadi semakin parah kerusakannya. Kementrian Negara Lingkungan Hidup menyatakan, dampak tsunami terhadap wilayah pesisir dan laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai berikut: • Tercemarnya laut, air darat dan air tanah; terjadi perubahan garis pantai. • Hilangnya proteksi alam (mangrove) yang berfungsi sebagai pelindung pemukiman dari gelombang dan angin serta sebagai daerah pemijahah (spawning ground), daerah 8 asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) bermacam biota laut termasuk ikan. • Tercemar dan rusaknya terumbu karang yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan pemijahan ikan. • Berkurangnya/hilangnya sumber daya ikan dan spesies pesisir (potensi biodiversity). • Rusaknya ekosistem lahan basah; dan rusaknya ekosistem buatan (budidaya, pelabuhan dan kampung nelayan yang memberikan dampak yang signifikan bagi kegiatan perekonomian). (http://www.wetlands.or.id/PDF/Aceh_doct_Ind_version_final.pdf) Menurut nelayan yang tinggal di kecamatan Bakongan Aceh Selatan, mereka tidak melaut berdasarkan bulan terang (purnama) atau cahaya bulan yang menerangi bumi lebih banyak karena tidak ada ikan, biasanya terjadi pada pertengahan bulan sekitar tanggal 13-20 setiap, hari besar keagamaan karena dilarang oleh adat setempat, dan pada saat angin badai yang tidak memungkinkan untuk melaut, namun hal ini sangat jarang terjadi sekitar 2-5 hari dalam setahun, 8 sehingga nelayan disana libur bukan berdasarkan musim tetapi menurut kebiasaan dan pengalaman yang telah dilakukan secara turun temurun. 2.3 Faktor-faktor Kesuburan Perairan Sebaran kesuburan perairan dapat diketahui dengan memetakan sebaran konsentrasi klorofil-a yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui pola keberadaan sumberdaya perairan. Hal ini akan membantu dalam memperkirakan waktu dan lokasi yang tepat untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan (Hasyim, 2004). 2.3.1 Fitoplankton Fitoplankton adalah tumbuhan sangat kecil dan hidupnya terapung atau melayang-layang dalam kolom perairan, sehingga pergerakannya dipengaruhi gerakan air (Odum, 1971). Sedangkan menurut Nontji (2006) fitoplankton merupakan tumbuhan yang berukuran mikroskopis yang hidup melayang di laut dan tidak dapat terlihat oleh mata telanjang. Kedudukan fitoplankton sebagai rantai pertama dalam jaring makanan, mengindikasi pentingnya fitoplankton sebagai penyokong kehidupan di lautan karena mampu mengubah senyawasenyawa anorganik menjadi senyawa-senyawa organik yang berupa glukosa melalui proses fotosintesis (Basmi, 1999). Menurut Davis (1955), seluruh kehidupan di perairan secara langsung atau tidak langsung tergantung pada hasil fotosintesis fitoplankton (mikrofita) dan tumbuhan air (makrofita). Tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan dapat digunakan sebagai petunjuk kelimpahan sel fitoplankton dan juga potensi organik di perairan tertentu (Arinardi, 1996). Pola sebaran fitoplankton lebih banyak di sebabkan oleh pergantian arah angin bukan karena perubahan gradient suhu. Hal ini 9 menyebabkan variasi kelimpahan fitoplankton di daerah subtropis sangat nyata tetapi kurang untuk daerah tropis, karena pergantian musimnya tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan parameter fisika dan kimia perairan (Raymont, 1981). 2.3.2 Klorofil-a Klorofil adalah pigmen fotosintetik utama yang terkandung di dalam semua tanaman berfotosintesis, tumbuhan tingkat tinggi dan alga hijau (Dring,1990), dan klorofil-a merupakan bagian terpenting dalam proses fotosintesis dan dikandung oleh sebagian besar dari jenis fitoplankton yang hidup di laut (Nontji, 1977). Stirling (1985) dalam Rachmawati (1999) menyatakan bahwa, nilai klorofil (biomassa) merupakan indikator yang baik dalam menilai produktivitas primer suatu perairan. Sementara itu, menurut Parsons et al., (1977) dalam Prihartato (2009), konsentrasi klorofil-a dapat digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton di suatu perairan, sehingga klorofil-a menjadi perhatian khusus dalam studi produktivitas primer perairan. Semakin banyak kandungan klorofil-a di perairan menunjukkan semakin banyaknya biomassa fitoplankton di perairan tersebut. Oleh karena itu, pengukuran kandungan klorofil-a dari fitoplankton merupakan salah satu alat pengukuran kesuburan suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk produktivitas primer (Uno, 1982 dalam Sediadi dan Edward, 2000). Kandungan klorofil-a dihasilkan dari fitoplankton yang berada di perairan. Fitoplakton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melakukan proses fotosintesis dimana air dengan karbondioksida dan bantuan sinar matahari serta garam-garam hara dikonversi sehingga menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Karena kemampuannya membentuk zat 10 organik dari zat anorganik maka fitoplakton disebut sebagai produsen primer (primary producer) (Nontji, 2005). Konsentrasi klorofil-a biasa disebut dengan pigmen fotosintetik dari fitoplankton. Pigmen ini dianggap sebagai indeks terhadap tingkat produktivitas biologis. Di perairan laut, indeks klorofil ini dapat dihubungkan dengan produksi ikan atau lebih tepatnya dapat menggambarkan tingkat produktivitas daerah penangkapan ikan (fishing ground) (Safruddin dan Zainuddin, 2008). Fotosintesis merupakan proses kimiawi yang sangat rumit dan kompleks (Devlin, 1969), namun secara sederhana reaksi fotosintesis dapat ditulis sebagai berikut : Sinar Matahari 6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2 Klorofil-a Menurut Cullen (1982) dalam Geider dan Osborne (1992), klorofil-a adalah satu-satunya pigmen yang dapat ditemukan di semua organisme photoautotroph yang melibatkan oksigen dan konsentrasi atau kandungan dari pigmen ini biasanya dapat digunakan sebagai ukuran untuk menduga jumlah materi (produksi primer) dari tanaman di dalam suatu contoh. Menurut Romauli (2009) sifat klorofil dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya tertentu dimanfaatkan untuk mendeteksi sebaran fitoplankton di permukaan laut dari satelit. Apabila fitoplankton dalam jumlah yang banyak atau satu komunitas maka ciri khasnya (pigmen) yang berwarna hijau akan sangat mudah dideteksi satelit tetapi secara individu akan sangat sulit karena ukurannya yang sangat kecil. Klorofil cenderung menyerap warna biru dan merah serta memantulkan warna hijau (Nontji, 2008). 11 2.3.3 Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu adalah ukuran energi kinetik gerakan molekul yang terkandung dalam suatu benda (Nybakken, 1988). Daerah yang paling banyak menerima radiasi dari sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada lintang 10o LU–10o LS. Oleh karena itu, suhu air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah ekuator. Jumlah bahang yang diserap oleh air laut pada suatu lokasi semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Sverdrup et al., 1961 dalam Hatta, 2001). Selain faktor sinar matahari, suhu di daerah tropik juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi antara lain ialah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, dan kecepatan angin sehingga suhu air di permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman (Nontji, 2005). Hela dan Laevestu, 1970 dalam Muklis 2008 menyatakan bahwa suhu optimum berbagai jenis hewan air berbeda-beda tergantung pada spesies daerah tempat hidup yang dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi. Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya. Dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, maka akan dapat diduga keberadaan suatu schooling ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan. Perubahan intensitas cahaya akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut baik secara horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan. Selanjutnya dikatakan bahwa ikan dapat merasakan terjadinya perubahan suhu yang lebih kecil dari 0,1 0C. menurut Hutabarat dan Evans (1984), suhu permukaan laut rata-rata di perairan Indonesia akan mengalami penurunan satu hingga dua derajat setiap kedalam 80 meter. Kasus tertentu seperti upwellingi, nilai suhu permukaan laut dapat turun menjadi 12 25 0C. Hal ini disebabkan naiknya massa air yang berada di bawah (bersuhu rendah) ke permukaan laut. Parameter SPL sangat penting untuk diketahui karena dapat memberikan informasi mengenai front, upwelling, arus, daerah tangkapan ikan, cuaca/iklim, pencemaran minyak, dan pemanasan global. Menurut Hutabarat dan Evans (1985) dalam Nontji (2005), upwelling di lautan dapat diidentifikasi dari sebaran SPL, di daerah SPL yang lebih rendah akan terjadi upwelling di sekitarnya, hal ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas. Upwelling juga mengangkat unsur hara ke permukaan perairan sebagai makanan pokok bagi fitoplankton, sehingga SPL yang rendah akan mengundang ikan herbivora karena terjadinya upwelling yang mengakibatkan kesuburan perairan. 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktifitas Fitoplankton 2.4.1 Cahaya Matahari Cahaya matahari diperlukan dalam proses fotosintesis oleh fitoplankton. Umumnya permukaan perairan merupakan tempat fitoplankton dengan produktifitas tinggi, berkaitan dengan intensitas cahaya yang optimal bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya yang diperlukan agar produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, lintang geografik dan musim (Nybakken, 1992). Spektrum sinar tampak yang dibutuhkan fitoplankton untuk berfotosintesis atau disebut sebagai Photosynthetically Available Radiation (PAR) berkisar antara 300 nm – 720 nm. Spektrum tersebut hampir sama dengan spektrum sinar tampak yaitu 360 nm – 780 nm, yang dapat melakukan penetrasi ke dalam laut sehingga 13 dapat diserap oleh klorofil untuk reaksi fotosintesis ( Parsons et al.,1977 dalam Prihartato 2009). 2.4.2 Suhu Suhu merupakan salah satu variable lingkungan yang mempengaruhi laju fotosintesis dan pertumbuhan algae di perairan secara alami. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu. Nilai maksimum terjadi antara selang 25-400C (Reynolds, 1990). Suhu air terutama di lapisan permukaan sangat dipengaruhi oleh jumlah sinar matahari yang jatuh ke permukaan air, yang sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian masuk ke perairan dan disimpan dalam bentuk energi (Welch, 1952). Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis, sedangkan secara tidak langsung suhu merubah struktur hidrologi kolom perairan dalam hal kerapatan air yang mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997). 2.4.3 Arus Arus merupakan pergerakan secara vertikal atau horizontal massa air karena adanya perbedaan densitas air, pasang surut dan tiupan angin (Nontji, 2005). Arus permukaan air laut mempengaruhi perpindahan fitoplankton dari suatu tempat ke tempat yang lain karena fitoplankton memiliki kemampuan gerak yang terbatas. Hal tersebut mengakibatkan pergerakan fitoplankton mengikuti pola arus yang terbentuk di sekitarnya (Sujoko et al., 2002). 14 2.4.4 Nutrien Nutrien merupakan zat hara yang sangat penting bagi produktivitas primer fitoplankton dalam air. Nutrien dapat mempengaruhi tinggi rendahnya konsentrasi dari klorofil-a. Nilai konsentrasi klorofil-a di daerah pesisir lebih tinggi dibandingkan di daerah laut lepas. Hal ini diakibatkan oleh adanya pasokan suplai nutrien melalui run-off sungai dari daratan ke daerah pesisir, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak ada suplai nutrien dari daratan secara langsung (Nybakken,1992). Nutrien utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak adalah fosfor dan nitrogen. Kebutuhan fosfor fitoplankton berasal dari batuan fosfat. Cadangan fosfor terbesar bukan di udara tetapi terdapat pada batu karang atau endapan-endapan batuan fosfat. Pada proses pemanfaatan nitrogen, fitoplankton memiliki kecendrungan untuk secara berturut-turut mengambil nitrat, nitrit dan amonium (Nontji, 1984). Nitrogen terdapat pada bentuk-bentuk molekul protein dalam organik yang telah mati kemudian diuraikan menjadi bentuk-bentuk inorganik oleh serangkaian organisme pengurai, terutama bakteri pembentuk nitrat, hasil selanjutnya adalah zat hara nitrat yang merupakan bentuk yang siap digunakan oleh fitoplankton (Odum, 1971). 2.5 Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground) Pada kegiatan penangkapan ikan di laut, pertanyaan klasik yang sering dilontarkan nelayan adalah dimana ikan berada dan kapan bisa ditangkap dalam jumlah yang berlimpah. Meskipun sulit mencari jawabannya, pertanyaan penting itu perlu dicari solusinya. Hal ini antara lain karena usaha penangkapan dengan mencari daerah habitat ikan tidak menentu akan mempunyai konsekuensi yang 15 besar yaitu memerlukan biaya BBM yang besar, waktu dan tenaga nelayan. Apabila mengetahui dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar tentu saja akan menghemat biaya operasi penangkapan, waktu dan tenaga ( Zainuddin, 2006 dalam Muklis, 2008). Menurut Mukhtar (2010), daerah penangkapan ikan (fishing ground) adalah suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal, alat tangkap dapat dioperasikan, dan ekonomis. Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan. Apabila wilayah tersebut terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Apabila pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan karena berbagai faktor, seperti keadaan cuaca. Maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya karena tidak terjadinya interaksi antara ikan sebagai target dan teknologi penangkapan. Sebab-sebab utama suatu jenis ikan berkumpul disuatu daerah perairan adalah: (a) Perairan yang cocok untuk hidupnya baik dari segi suhu maupun salinitas. (b) Sebagai tempat mencari makanan. (c) Sebagai tempat yang sesuai untuk pemijahannya maupun untuk perkembangan larvanya. Faktor lingkungan yang membantu nelayan untuk mengetahui daerah penangkapan ikan antara lain konsentrasi klorofil-a, SPL, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus, dan tingkat produktivitas primer. Ikan dengan mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah dilacak disuatu area melalui teknologi. Hal ini karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan 16 tertentu seperti adanya peristiwa upwelling, dimana arus pusaran (eddy) dan daerah front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik itu salinitas, suhu atau klorofil-a (Zainuddin, 2006 dalam Muklis, 2008). Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dan faktor lingkungan disekelilingnya. Hasil dari analisa ini akan diperoleh indikator oseanografi yang cocok untuk ikan tertentu. Sebagai contoh ikan albacore tuna di laut utara Pasifik cenderung terkonsentrasi pada kisaran suhu 18,5-21,5 0C dan berasosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0,4 mg/m3. Dengan kombinasi SIG, inderaja dan data lapangan akan memberikan banyak informasi spasial misalnya dimana posisi ikan banyak tertangkap, berapa jaraknya antara fishing base dan fishing ground yang produktif serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini akan memberikan gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan dimana bisa mendapatkan banyak ikan (Zainuddin, 2006 dalam Muklis, 2008). 2.6 Karakteristik Satelit Aqua MODIS dan Terra MODIS Maccherone (2005) menjelaskan bahwa Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) adalah salah satu instrumen penting dalam satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM). Garis edar satelit Terra di sekitar bumi diatur waktu sedemikian sehingga melintasi dari utara ke selatan dan melewati garis khatulistiwa pada pagi hari, sedangkan satelit Aqua melintas dari selatan ke utara dan berada di garis khatulistiwa di sore hari. Terra MODIS dan Aqua MODIS mengamati keseluruhan permukaan bumi setiap 1 hingga 2 hari. Sensor MODIS dilengkapi dengan sensitifitas radiometrik tinggi (12 bit) dengan memiliki 36 spektral kanal yang berkisar pada panjang gelombang 0.4-14.4 µm. 17 Pada kanal 1 dan 2 memiliki resolusi spasial 250 m, kanal 3-7 sebesar 500 m dan kanal 8-36 sebesar 1 km. Aqua yang berarti air merupakan satelit sistem observasi bumi National Aeronautics and Space Administration (NASA) yang mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi mencakup penguapan samudera, uap air di atmosfer, awan, daerah kutub serta lapisan es. Variabel yang juga diukur oleh aqua antara lain aerosol, vegetasi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air (Graham, 2005). Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit polar sun-synchronus, yang artinya satelit akan melewati tempat-tempat pada lintang dan waktu lokal yang sama pada ketinggian 705 km (Tabel 1). Satelit Terra pada descending node mempunyai orbit sun-synchronous, near polar. Areal yang diliputi (swatdh width) oleh sensor ini mencakup luasan 2330 km. Satelit ini dilengkapi dengan 36 buah sensor diskrit dengan panjang gelombang 10 nm hanya terdapat pada saluran 8-16. Karakteristik temporal dari satelit ini baik digunakan untuk mengamati perubahan yang terjadi di alam. Perubahan alam mencakup pengamatan di daerah terestrial dan fenomena oseanografi seperti mengenai perubahan tutupan tanah dan produktivitas global, variabilitas dan perubahan iklim, bencana/bahaya alam, dan lapisan ozon . hal ini karena suatu daerah pengamatan dapat diamati setiap harinya secara berkesinambungan (time series), juga dapat melakukan pemantauan yang cukup luas (Graham, 2005). Penentuan SPL menggunakan spektral infra merah jauh yang berkisar antara 10,780 µm hingga 12,270 µm dengan kanal 31 dan 32. Pemilihan kanal tersebut dilakukan dengan alasan emisivitas radiasi bumi sebagai 18 black body radiation akan maksimum pada suhu 300 0K (suatu pendekatan ratarata suhu permukaan bumi). Spesifikasi teknis satelit Aqua dan Terra MODIS disajikan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Spesifikasi Teknis dari satelit Aqua MODIS dan Terra MODIS Orbit 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular Luas Liputan 2330 km (cross track) dengan10 km (sepanjang nadir) Ukuran 1.0 x 1.6 x 1.0 m Berat 228.7 kg Tenaga 162.5 W Kuantisasi Data 12 bit Resolusi spasial 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36) Umur Desain 6 tahun Sumber : Maccherone, 2005 2.7 Karakteristik Spektral Klorofil-a dan SPL dari Citra Satelit Kirk (1994) dalam Prihartato (2009), klorofil-a memiliki karakteristik spektral yang spesifik karena dapat mengabsorbsi sinar biru (400-515 nm) secara kuat dan merefleksikan sinar hijau (515-600 nm) sehingga mempengaruhi warna air laut. O’Reilly (1998) mengemukakan bahwa algoritma untuk ekstraksi konsentrasi klorofil diturunkan dari dua panjang gelombang adalah 443 nm dan 551 nm. Alasan digunakannya kedua panjang gelombang ini adalah karena tingkat absorbsi klorofil pada panjang gelombang 443 nm tinggi yang menyebabkan tingkat reflektansi pada panjang gelombang tersebut rendah. Oleh karena itu, jika rasio antara reflektansi pada panjang gelombang 443 nm dengan 19 551 nm rendah, maka konsentarasi klorofilnya akan tinggi. Sebaliknya rasio akan memiliki nilai tinggi jika konsentrasi klorofilnya rendah. Menurut penelitian Safruddin dan Zainuddin (2008) yang menggunakan citra dari satelit AQUA dan sensor MODIS, indeks klorofil-a di perairan laut dapat dihubungkan tingkat produktivitas daerah penangkapan ikan (fishing ground). Keberadaan konsentrasi klorofil-a di atas 0.2 mg/m3 mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikanikan ekonomis penting. Jadi parameter klorofil-a ini dapat dihubungkan dengan pola distribusi dan kelimpahan ikan, khususnya ikan pelagis. Menurut Priyanti dan Hasyim (1999), citra SPL dari suatu perairan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan karena SPL dapat menentukan adanya interaksi perairan lain seperti upwelling dan front. Penentuan SPL dari satelit dilakukan dengan radiasi infra merah pada panjang gelombang 3 µm – 14 µm. Radiasi spektrum infra merah yang dipancarkan oleh permukaan laut berasal dari kedalaman 0.1 mm. 2.8 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Klorofil-a dan SPL Penginderaan jauh warna air laut adalah salah satu cara untuk mengetahui keadaan laut dan proses-proses yang terjadi di dalamnya berdasarkan nilai konsentrasi dari water-leaving radiance, yang merupakan hasil interaksi antara radiasi sinar matahari dan perairan yang diterima oleh satelit (Hendiarti, 2003). Sensor pada satelit menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Pada sistem penginderaan jauh warna air laut terjadi transfer radiasi dalam sistem sinar matahari-perairan-sensor satelit. Radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh atmosfer, dimana 20 sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul udara dan aerosol. Kemudian, sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Pada perairan yang dangkal, pantulan dari dasar perairan juga berpengaruh terhadap pantulan pada permukaan perairan (Hendiarti, 2003). Spektrum sinar yang penting untuk tumbuhan laut adalah sinar tampak yang memiliki panjang gelombang 400 nm – 720 nm atau disebut juga sebagai Photosynthetically Available Radiation (PAR). Spektrum ini hampir sama dengan spectrum cahaya tampak (visible light) yaitu 360 nm – 780 nm (Parson et al, 1977 dalam Gaol, 1997). Fitoplankton mengandung klorofil-a, pigmen fotosintesis dominan yang mengabsorbsi kuat energi pada panjang gelombang biru dan merah sinar tampak (Lo, 1996). Menurut Curran (1985), klorofil-a menyerap cahaya dengan baik pada panjang gelombang 430 nm – 660 nm. Pantulan maksimum terjadi pada kanal hijau, karena klorofil-a sangat sedikit radiasi gelombang elektromagnetik pada kanal ini. Penelitian tentang sebaran SPL pada awalnya menggunakan kanal infra merah jauh dari satelit National Oceanic Athmosphere and Administration – Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR) yang terdiri dari 5 kanal. Data MODIS terdiri dari 36 kanal/band spektral dengan kanal 1-19 dan 26 berada pada kisaran gelombang visible dan infra merah dekat, sedangkan kanalkanal selebihnya berada pada kisaran gelombang thermal. Banyaknya kanal yang dipunyai oleh data tersebut yang mencakup kanal dari satelit NOAA, SeaWiFS, 21 landsat dan sebagainya. Maka data tersebut dapat digunakan untuk menentukan/mengukur parameter dari permukaan laut hingga ke atmosfer seperti mengukur SPL, konsentrasi klorofil, kandungan uap air dan sebagainya (Mustafa, 2004). Amri (2002) dalam penelitiannya menggunakan citra satelit SeaWiFS untuk menentukan sebaran klorofil-a di perairan selat sunda pada musim barat, peralihan barat-timur, musim timur, dan peralihan timur-barat. Sebaran klorofil-a pada musim barat sangat rendah berkisar antara 0,1 mg/m3 - 1 mg/m3. Pada musim peralihan barat-timur sebaran klorofil-a lebih besar dari pada musim barat yaitu antara 0,8 mg/m3 – 2 mg/m3. Sebaran klorofil-a semakin tinggi pada musim timur yaitu berkisar antara 0,8 mg/m3 – 4,5 mg/m3. Pada musim peralihan timur-barat besarnya konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,8 mg/m3 – 3 mg/m3.