Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

advertisement
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA
PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM ( Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish
Farm)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN
ATAU LEMBAGA LAIN MAUPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH
GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI
INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH
PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
BAHAN
RUJUKAN
YANG
RINGKASAN
INTAN DYAH MASTUTI. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm).
Dibimbing oleh NOVINDRA.
Tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi
sebagai salah satu langkah mengatasi krisis perikanan tahun 2002. Salah satu
komoditas yang menjadi unggulan yaitu ikan patin. Akan tetapi pada
kenyataannya, program revitalisasi tersebut belum mampu meningkatkan ekspor
patin. Indonesia masih kalah saing dengan Vietnam dalam hal kuantitas output
maupun efisiensi biaya produksi. Melihat dari kenyataan tersebut, maka
pemerintah memiliki target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk
kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Salah satu cara untuk mencapai target
tersebut yaitu dengan meningkatkan pengadaan benih patin sebagai upaya untuk
meningkatkan ekspor patin.
Deddy Fish Farm merupakan salah satu pihak yang berperan dalam
pengadaan benih ikan patin. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas,
muncul tantangan-tantangan yang dihadapi DFF. Tantangan itu antara lain
munculnya pesaing baru dan inflasi. Melihat kenyataan tersebut, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah DFF memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif sehingga layak untuk diusahakan serta menganalisis
pengaruh kebijakan pemerintah dan faktor eksternal lainnya terhadap usaha
pembenihan patin DFF. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis
keunggulan komparatif dan kompetitif usaha pembenihan patin DFF serta
menganalisis kebijakan pemerintah dan faktor eksternal lainnya terhadap
keunggulan komparatif dan kompetitif DFF.
Hasil analisis matriks kebijakan menunjukkan bahwa usaha pembenihan
ikan patin Deddy Fish Farm memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik
pada tahun 2008 maupun 2009. Hal ini dilihat dari nilai PP dan SP yang positif,
serta PCR dan DRC yang kurang dari satu. Akan tetapi, dalam kurun waktu
tersebut ditunjukkan bahwa baik keunggulan komparatif maupun kompetitif
mengalami penurunan. Selanjutnya dapat disimpulkan juga bahwa pada tahun
2008 usaha pembenihan ikan patin memiliki keunggulan kompetitif lebih tinggi
dibandingkan keunggulan komparatif, sedangkan tahun 2009 menunjukkan hal
sebaliknya. Hal ini ditunjukkan pada tahun 2008 nilai PCR lebih kecil
dibandingkan DRC karena biaya sosial produksi lebih besar dibandingkan biaya
finansialnya. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemeritah berjalan
efektif sehingga keunggulan kompetitif lebih tinggi daripada keunggulan
komparatif. Nilai PCR yang lebih besar dari nilai DRC pada tahun 2009
menunjukkan hal sebaliknya, bahwa kebijakan yang ada tidak berjalan efektif
sehingga pengorbanan untuk mendapatkan satu satuan output pada analisis privat
lebih besar dibandingkan analisis sosial.
Analisis sensitivitas yang dilakukan berupa naiknya UMR 7%, naiknya
harga input 4%, melemahnya nilai tukar 6%, menurunnya harga output 20%,
pengurangan subsidi BBM, penghapusan PPN pakan 10%, adanya kelembagaan,
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF
USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM
(Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm)
INTAN DYAH MASTUTI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
serta analisis gabungan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa naiknya
UMR 7%, naiknya harga input 4%, menurunnya harga output 20%, dan
pengurangan subsidi BBM akan menurunkan keunggulan kompetitif. Penurunan
keunggulan kompetitif terbesar ditunjukkan pada analisis sensitivitas jika harga
privat benih patin menurun sebesar 20%. Adapun hasil analisis sensitivitas dengan
melemahnya nilai tukar 6% membuat keunggulan komparatif mengalami
penurunan.
Hasil analisis gabungan menunjukkan bahwa penurunan keunggulan
kompetitif yang disebabkan oleh naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, dan
menurunnya harga output 20% dapat ditanggulangi dengan kebijakan pemerintah
berupa penghapusan PPN pakan sebesar 10% dan adanya kelembagaan yang
berfungsi sebagai penampung benih. Hal itu dapat dilihat dari penurunan nilai
PCR. Sedangkan penurunan keunggulan komparatif yang disebabkan melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dapat ditanggulangi dengan kebijakan
pemerintah yang berupa kelembagaan seperti koperasi.
Kata kunci: keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, sensitivitas, benih ikan
patin.
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF
USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM
(Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm)
INTAN DYAH MASTUTI
H44052122
Skripsi
Skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Skripsi : Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha
Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan
Deddy Fish Farm
Nama
: Intan Dyah Mastuti
NRP
: H44052122
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Novindra, SP.
NIP. 19811102 200701 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT.
NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di kota Purworejo, 19 Mei 1987, anak keenam dari enam
bersaudara dari pasangan Masum, BA. dan Marwiyah. Tahun 1999 penulis lulus
dari SD Negeri Kemiri dan pada tahun 2002 penulis lulus dari SMP Negeri 3
Purworejo. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Purworejo, dan tahun
yang sama melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB),
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian melalui jalur
Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Tahun 2006, penulis beralih
departemen yaitu Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Selama masa kuliah penulis pernah mengikuti PKM
Kewirausahaan.
Selain itu, selama kuliah penulis juga bekerja di sebuah
bimbingan belajar di wilayah Kabupaten Bogor.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini yang merupakan salah satu persyaratan kelulusan
pada Program Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tugas akhir ini mengambil judul
Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin
Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm).
Penelitian ini berisi analisis mengenai apakah suatu usaha memiliki
keunggulan komparatif maupun kompetitif. Penelitian ini juga memaparkan
bagaimana analisis dilakukan dengan metode-metode yang sudah ada. Penulis
berharap, isi penelitian ini bisa menjadi masukan bagi pembaca, pengambil
kebijakan, dan para pengusaha.
Sebagaimana manusia yang tidak luput dari kesalahan, penulis menyadari
bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, penulis berharap
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung termasuk penulis pribadi. Selain itu, penulis juga
mengharapkan masukan-masukan agar karya ilmiah ini dapat menjadi lebih baik.
Jazakumullah khairan katsiira.
Bogor,
Januari, 2011
Intan Dyah Mastuti
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian
ini, antara lain kepada:
1. Allah SWT, karena dengan rahmat dan bimbingan-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Orangtua tercinta, Ayahanda Masum B.A almarhum dan Ibunda Marwiyah atas
segala doa, kasih sayang, dan dukungan baik moral maupun spiritual yang telah
diberikan selama ini, serta kepada kelima kakak tercinta yang selalu memberi
semangat kepada penulis.
3. Bapak Novindra, SP. yang senantiasa dengan penuh ketekunan dan kesabaran
membimbing penulis hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini serta atas
kesediaan beliau menjadi moderator dan dosen penguji dalam sidang skripsi.
4. Bapak Ir. Ujang Sehabudin dan Bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si. atas kesediaan
beliau menjadi dosen penguji dalam sidang skripsi.
5. Bapak Deddy sebagai pemilik perusahaan Deddy Fish Farm dan kepada
seluruh pegawai Deddy Fish Farm atas izin dan bantuan kepada penulis selama
penelitian.
6. Adhieputra, Riyant, Ais, Novi, Pipit, Ira, Rista, dan teman-teman seperjuangan
lain yang yang selalu memberi dukungan kepada penulis selama penelitian ini.
7. Mi-Chan, Oreo, Maze, Onji, Titin, Mong-Mong, Lala, Tete, Tenina, Bon-Bon,
Oski, Candy, Edu, Momo, Plato, Oin, Oscar, Utu, Iti, dan Uthuk yang selalu
menemani penulis selama ini dan memberi keceriaan pada hari-hari penulis.
8. Tak lupa rasa terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar
ESL yang selama ini menjadi tempat afiliasi penulis serta kepada semua pihak
yang telah memberikan kontribusi besar selama pengerjaan penelitian ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Bogor, Januari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xvii
I. PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1.2. Perumusan Masalah .....................................................................
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................................
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
1
5
10
11
11
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
12
2.1. Gambaran Umum Ikan Patin .......................................................
2.1.1. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Ikan Patin .................................
2.1.2. Ciri Fisik ............................................................................
2.1.3. Kandungan Gizi dan Pemanfaaatan ...................................
2.1.4. Sentra Perikanan ................................................................
2.1.5. Persyaratan Lokasi .............................................................
2.1.6. Pedoman Teknis Budidaya ................................................
2.1.7. Pakan Patin .........................................................................
2.1.8. Hama dan Penyakit ............................................................
2.1.9. Pemasaran ..........................................................................
2.1.10. Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Ikan Patin ....
2.2. Kajian Penelititan terdahulu ...........................................................
12
12
13
13
14
14
15
15
16
18
19
20
III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................
22
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Kebijakan Pemerintah ........................................................
3.1.1.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output ................
3.1.1.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input ..................
3.1.2. Tinjauan Konseptual Keunggulan Komparatif dan
Kompetitif ..........................................................................
3.1.2.1. Keunggulan Komparatif .......................................
3.1.2.2. Keunggulan Kompetitif ........................................
3.1.2.3. Hubungan
Keunggulan
Komparatif
dan
Kompetitif dengan Analisis Kelayakan Finansial
dan Ekonomi .........................................................
3.1.3. Policy Analysis Matrix (Matriks Analisis Kebijakan) .......
3.1.4. Analisis Sensitivitas ...........................................................
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................
22
22
24
28
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................
39
4.1. Lokasi dan Waktu .........................................................................
4.2. Jenis dan Sumber Data ..................................................................
39
39
31
31
33
33
34
35
37
xi 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data .........................................
4.3.1. Metode Pengolahan Data ...................................................
4.3.2. Metode Analisis Data . ........................................................
4.4. Penentuan Input dan Output ..........................................................
4.4.1. Alokasi Biaya ke dalam Komponen Domestik dan Asing .
4.4.2. Penentuan Harga Bayangan Input Output ..........................
4.5. Policy Analysis Matrix (PAM) .....................................................
4.5.1. Perhitungan Analisis PAM ................................................
4.5.2. Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai
Ekonomi ............................................................................
4.6. Analisis Sensitivitas ......................................................................
40
40
40
41
42
45
52
53
V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ..........................................
64
5.1.
5.2.
5.3.
5.4.
5.5.
59
62
Sejarah Lokasi ..............................................................................
Struktur Organisasi .......................................................................
Deskripsi Produk, Konsumen, dan Rantai Pemasaran .................
Fasilitas Pembenihan ....................................................................
Manajemen Budidaya Ikan Patin ..................................................
5.5.1. Manajemen Induk ..............................................................
5.5.1.1. Umur dan Ukuran Induk .......................................
5.5.1.2. Manajemen Harian ...............................................
5.5.2. Pemijahan Buatan ..............................................................
5.5.2.1. Persiapan Pemijahan Buatan ................................
5.5.2.2. Seleksi Induk ........................................................
5.5.2.3. Penyuntikan Hormon ............................................
5.5.2.4. Striping .................................................................
5.5.2.5. Inseminasi (Pembuahan) ......................................
5.5.2.6. Pengamatan Perkembangan Telur dan Larva .......
5.5.3. Pemeliharaan Larva ............................................................
5.5.3.1. Persiapan Wadah Pemeliharaan ...........................
5.5.3.2. Pemberian Pakan ..................................................
5.5.3.3. Perawatan Larva ...................................................
5.5.3.4. Penyiponan ...........................................................
5.5.3.5. Penggantian Air ....................................................
5.5.4. Panen dan Pascapanen ........................................................
5.5.4.1. Panen Benih ..........................................................
5.5.4.2. Menghitung Benih ................................................
5.5.4.3. Transportasi Benih ................................................
64
65
67
68
70
70
70
71
71
71
72
73
74
75
75
76
76
76
77
77
77
78
78
78
80
VI. ANALISIS
KEUNGGULAN
KOMPARATIF
DAN
KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM
DEDDY FISH FARM ........................................................................
83
6.1. Analisis Keuntungan ....................................................................
6.1.1. Analisis Keuntungan Privat ...............................................
6.1.2. Analisis Keuntungan Sosial ...............................................
6.2. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ........................
6.2.1. Rasio Biaya Privat (PCR) ..................................................
6.2.2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) .......................
84
84
85
86
86
86
xii 6.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ......................................
6.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output ...............
6.3.1.1. Transfer Output (OT) ...........................................
6.3.1.2. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) .......
6.3.1.3. Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO) ..........
6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input .................
6.3.2.1. Transfer Input (IT) ................................................
6.3.2.2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) ...........
6.3.2.3. Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI) .....
6.3.2.4. Transfer Faktor (FT) .............................................
6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah pada Input dan Output .....
6.3.3.1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) .........................
6.3.3.2. Tingkat Proteksi Efektif (EPR) ............................
6.3.3.3. Koefisien Proteksi (PC) ........................................
6.3.3.4. Transfer Bersih (NT) ............................................
6.3.3.5. Rasio Subsidi Produsen (SRP) .............................
87
87
87
88
88
88
88
89
89
89
90
90
90
90
91
91
VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA
KOMODITAS BENIH IKAN PATIN ..........................................
92
7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output ...........
7.2. Analisis Sensitivitas pada Keunggulan Komparatif dan
Kompetitif ..................................................................................
7.2.1. Analisis Sensitivitas bila terjadi Kenaikan Upah Tenaga
Kerja ..............................................................................
7.2.2. Analisis Sensitivitas bila terjadi Kenaikan Harga Input
7.2.3. Analisis Sensitivitas bila Nilai Tukar terhadap Dollar
Amerika Melemah ........................................................
7.2.4. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Penurunan Harga
Privat Komoditas Benih Ikan Patin ...............................
7.2.5. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Kenaikan Harga BBM
.........................................................................................
7.2.6. Analisis Sensitivitas bila PPN Pakan Ikan sebesar 10%
Dihapuskan ....................................................................
7.2.7. Analisis Sensitivitas dengan Kebijakan Pemerintah
Berupa Kelembagaan .....................................................
7.2.8. Analisis Gabungan .........................................................
92
98
100
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
8.1. Kesimpulan ..............................................................................
8.2. Saran ........................................................................................
102
102
103
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
106
LAMPIRAN ..............................................................................................
108
92
92
93
94
95
96
97
xiii DAFTAR TABEL
Nomor
1.
Halaman
Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Menurut
Komoditas, 2002-2005 (Ton) .......................................................
2
2.
Rencana Pengembangan Patin 2006-2009 . ....................................
3
3.
Hasil Produksi Ikan Patin 2005-2009 (Ton) . .................................
4
4.
Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2005-2007 (Ton) . ..
4
5.
Hasil Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Jawa Tahun 20052007 (Ton) .....................................................................................
4
6.
Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia ..........................
5
7.
Hasil Produksi Benih Patin Kabupaten Bogor ...............................
7
8.
Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas ........................................
22
9.
Alokasi Biaya Produksi ke dalam Komponen Domestik dan Asing
pada Sistem Usahatani Pembenihan Ikan Patin di Lokasi
Penelitian, Tahun 2008 dan 2009 ...................................................
43
10. Perhitungan Standart Conversion Factor dan Shadow Price
Exchange Rate 2008-2009 (Milyar Rp) .........................................
52
11. Matriks Analisis Kebijakan ............................................................
53
12. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF tahun
2008 (Rp/Tahun) ............................................................................
83
13. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF tahun
2009 (Rp/Tahun) ..........................................................................
83
14. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix ............................
84
15. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Kenaikan UMR Sebesar 7% (Rp/Tahun) ........................................
93
16. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Kenaikan Harga Input Sebesar 4% (Rp/Tahun) ..............................
94
17. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin jika Nilai
Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Melemah Sebesar 6%
(Rp/Tahun) ......................................................................................
95
18. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Penurunan Harga Privat Benih Patin Sebesar 20% (Rp/Tahun) .....
96
19. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Kenaikan Harga Premium 40% dan Minyak Tanah 200%
(Rp/Tahun) ......................................................................................
97
20. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Penghapusan PPN Pakan Sebesar 10% (Rp/Tahun) .......................
97
xiv 21. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Peran
Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Privat Benih
(Rp/Tahun) ......................................................................................
98
22. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Peran
Kelembagaan - Pengaruhnya pada Harga Sosial Input Sebesar
10% (Rp/Tahun) ..............................................................................
99
23. Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruh pada Harga Privat
(Rp/Tahun) ......................................................................................
100
24. Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruh pada Harga Sosial
(Rp/Tahun) ......................................................................................
101
xv DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
Halaman
Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada
Barang Ekspor dan Impor ...............................................................
26
2.
Restriksi Perdagangan pada Barang Impor ......................................
27
3.
Subsidi dan Pajak pada Input .........................................................
30
4.
Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Nontradable ................
30
5.
Kerangka Pemikiran Sistem Komoditas Deddy Fish Farm ...........
37
6.
Bagan A. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan
Nilai Ekonomi : Langkah-langkah Utama ....................................
60
Bagan B. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan
Nilai Ekonomi : Pembayaran Transfer Langsung .........................
61
Bagan C. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan
Nilai Ekonomi : Komoditas yang Diperdagangkan. ........................
61
Bagan D. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan
Nilai Ekonomi : Komoditas yang Tidak Diperdagangkan. ..............
62
7.
Struktur Organisasi Deddy Fish Farm ...........................................
66
8.
Rantai Pemasaran Benih Ikan Produksi Deddy Fish Farm ............
68
xvi DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
Halaman
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas UMR Naik 7%) ..................................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas Harga Input Naik 4%) ........................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas Nilai Tukar Melemah 6%) ..................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas Harga Output Turun 20%) .................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas Harga Premium Naik 40% dan
Minyak Tanah naik 200%)...............................................................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas PPN Pakan Dihapuskan 10%) ...........
110
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas Kelembagaan – Pengaruhnya pada
Harga Privat Benih) .......................................................................
110
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Sosial
Input) ..............................................................................................
110
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruhnya pada Harga
Privat) .............................................................................................
110
10. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2009 (Analisis Sensitivitas Gabungan - Pengaruhnya pada Harga
Sosial) ............................................................................................
110
11. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix ............................
111
12. Struktur Biaya Produksi DFF Tahun 2008 (Rp) ............................
113
13. Struktur Biaya Produksi DFF Tahun 2009 (Rp) ............................
115
14. Struktur Biaya Finansial dan Ekonomi Deddy Fish Farm (Rp) ......
117
15. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Induk Patin ..................
119
16. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Artemia Tahun 2008 ...
119
17. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Artemia Tahun 2009 ...
119
18. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Garam Tahun 2008 .....
120
19. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Garam Tahun 2009 .....
120
20. Gambar Kegiatan Usaha Pembenihan Ikan Patin DFF ..................
121
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
xvii I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal
dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di
sejumlah negara dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data
FAO 2002 (DKP, 2005) menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan
penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan
lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di
perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan
berasal dari perikanan budidaya (akuakultur).
Akuakultur bermula dari penerapan teknologi yang sangat sederhana dan
hanya sebagai subsisten (sampingan). Akhir abad 20, akselerasi perkembangan
perikanan
budidaya
menunjukkan
kecenderungan
industrialisasi
dengan
penerapan teknologi maju. Perikanan budidaya bukan lagi budidaya konvensional,
tetapi kegiatan ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada
berbagai sektor. Produk akualkultur telah membawa perubahan besar bagi industri
pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat harga yang relatif
rendah, dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera konsumen baik dari segi
jumlah maupun mutu (DKP, 2005).
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati laut tertinggi di dunia yang mendukung akuakultur (Soegiarto dan Polunin,
1981 dalam DKP, 2005). Kelompok ikan yang ada di perairan Indonesia lebih dari
2000 spesies. Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan
sebesar 15,59 juta hektar, namun pada kenyataannya sampai tahun 2004
1 pemanfaatannya belum dilakukan secara maksimal. Masing-masing baru
mencapai 10,1% untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau, dan
0,01% untuk budidaya laut (DKP, 2005).
Melihat dari kenyataan tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah
merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi
salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan
khususnya berupa pengembangan akuakultur.
Salah satu komoditas yang menjadi sasaran revitalisasi tersebut yaitu ikan
patin. Komoditas tersebut menjadi salah satu unggulan dalam revitalisasi
perikanan budidaya karena merupakan jenis ikan yang teknologi budidayanya
sudah dikuasai dan sudah berkembang di masyarakat. Selain itu, komoditas patin
memiliki peluang pasar ekspor yang tinggi dan tingkat serapan pasar dalam negeri
yang cukup besar, tingkat permodalan yang relatif rendah, dan penyerapan tenaga
kerja yang cukup tinggi (DKP, 2005). Data produksi ikan patin dan ikan lainnya
di Indonesia dari tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas
2002-2005 (Ton)
No.
Jenis Budidaya
2002
2003
2004
2005
1
Udang
159.997
192.912
238.857
280.629
2
Kerapu
7.057
8.637
6.552
6.493
3
Nila
60.437
71.947
98.102
151.363
4
Ikan Mas
199.632
219.385
192.461
216.924
5
Bandeng
222.317
227.854
241.438
254.067
6
Kakap
30.984
5.508
4.663
2.935
7
Patin
10.264
12.904
23.962
32.575
8
Lele
39.193
58.614
55.691
69.386
9
Gurame
16.438
22.666
25.948
25.442
10
Rumput Laut
223.080
233.156
397.964
866.383
Total
969.399
1.053.583
1.285.638
1.906.197
Sumber: DKP (2007)
2 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi perikanan didominasi
oleh rumput laut, bandeng, dan udang. Hasil produksi ikan patin masih jauh lebih
rendah dari rumput laut, bandeng, udang maupun dari beberapa ikan lainnya. Oleh
karena itu, pemerintah bermaksud meningkatkan hasil produksi patin mulai dari
tahun 2006 hingga 2009. Rencana pemerintah dalam peningkatan produksi patin
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rencana Pengembangan Patin 2006-2009
Tahun
Parameter 2005
Produksi (ton)
2006
16.500
2007
20.000
2008
25.300
2009
30.300
· Lokal
14.850
18.000
20.240
24.240
· Ekspor
1.650
2.000
5.060
6.060
Kebutuhan Benih (x1000 ekor)
55.000
66.670
84.300
101.000
Kebutuhan Induk (ekor)
5.500
6.670
8.430
10.100
Sumber: DKP (2005)
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemerintah menginginkan agar
produksi ikan patin terus meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi
masyarakat (lokal) maupun ekspor. Caranya tentu saja melalui peran akuakultur
dalam meningkatkan jumlah produksi ikan. Peran akuakultur di sini termasuk
usaha budidaya pembenihan. Hal itu dapat dilihat dari target kebutuhan benih dari
tahun 2006 sampai 2009 yang semakin meningkat sejalan dengan target
peningkatan produksi ikan patin.
Berdasarkan target pemerintah yang digambarkan dalam Tabel 2, pada
kenyataannya menunjukkan kenaikan produksi patin sesuai dengan yang
diharapkan. Kenaikan produksi bahkan jauh lebih tinggi dari perkiraan. Hal ini
ditunjukkan pada Tabel 3.
3 Tabel 3. Hasil Produksi Ikan Patin 2005-2009 (Ton)
2005
2006
2007
2008
2009*)
Kenaikan Rata-rata
(%)
32.575
31.489
36.755
102.021
132.600
55,23
Tahun
Jenis Ikan
Patin - Catfish
* Data Sementara
Sumber : DKP (2009)
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan patin secara nasional
rata-rata menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil produksi
memperlihatkan bahwa program revitalisasi pemerintah untuk meningkatkan
produksi ikan patin tercapai. Tabel 4 menunjukkan kuantitas produksi tiap
wilayah di Indonesia.
Tabel 4. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2005-2007 (Ton)
Wilayah
2005
2006
2007
Sumatera
20.224
16.992
15.990
Jawa
5.503
7.808
11.532
2
-
3
6.840
6.687
9.231
6
3
-
32.575
31.489
36.755
Bali-Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Total
Sumber : DKP (2007)
Tabel 5. Hasil Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Jawa Tahun 20052007 (Ton)
Hasil Produksi
Wilayah
2005
2006
2007
Banten
242
252
271
DKI Jakarta
64
27
16
Jawa Barat
4.621
6.891
10.525
99
98
168
-
-
-
477
540
552
5.503
7.808
11.532
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Total
Sumber: DKP (2007)
Tabel 4 menunjukkan produksi terbesar dihasilkan di pulau Sumatera
diikuti oleh Kalimantan dan Jawa. Hasil produksi patin tiap wilayah rata-rata
mengalami peningkatan. Khusus untuk pulau Jawa, data hasil produksi
4 diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan patin
terbesar dihasilkan di Jawa Barat.
1.2.
Perumusan Masalah
Program
revitalisasi
pemerintah
dalam
bidang
perikanan
yang
menunjukkan peningkatan ternyata tidak menjamin ekspor patin meningkat.
Indonesia memang mengembangkan ekspor ke negara-negara lain seperti Timur
Tengah, tapi untuk ekspor ke Amerika dan Eropa lebih rendah dibandingkan
Vietnam. Kebutuhan di dalam negeri juga belum dapat dipenuhi oleh sistem
budidaya yang ada1.
Penyebab Indonesia kalah saing dengan Vietnam yaitu karena harga ikan
patin di dalam negeri cukup tinggi misalnya tahun 2008 sekitar Rp 11.000/kg
sedangkan dari Vietnam hanya Rp 9.000/kg. Mahalnya harga patin di Indonesia
karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan karena harga
pakan yang tinggi. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan
ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain2. Volume impor tepung ikan di
Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 6. Tabel 6. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
Total
Volume (Ton)
82.788
88.852
55.685
67.596
42.521
337.442
Nilai (US$)
54.953
76.527
49.923
42.401
24.732
248.536
Sumber : DKP (2009)
Tabel 6 menunjukkan bahwa volume impor terbesar terjadi pada tahun
2005 dan 2006. Mulai tahun 2007, Indonesia sudah mulai menurunkan impor
tepung ikan. Hal ini karena sepanjang 2007, sebanyak 70% dari kebutuhan tepung
ikan sudah bisa dipenuhi oleh tepung ikan lokal. Para pengolah tepung ikan lokal
1
2
http://www.beritadaerah.com/ diakses tanggal 20 Juli 2010 http//www.trobos.com/ diakses tanggal 15 Juli 2010 5 telah
mampu
meningkatkan
produksi
dan
kualitas
tepung
ikan
yang
dihasilkannya.
Indonesia juga kalah saing dengan Vietnam dalam hal kuantitas produksi
patin. Tahun 2008 Vietnam mampu menghasilkan 1,2 juta ton ikan patin dan
mengekspor 633.000 ton ke 107 negara di dunia3. Angka ini jauh lebih besar
dibandingkan hasil produksi patin Indonesia yang pada tahun 2008 hanya
mencapai 102.021 ton.
Melihat dari kenyataan tersebut, pemerintah memiliki target untuk
mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar
tahun 2015. Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan perikanan
budidaya sebagai ujung tombak penghasil produk perikanan untuk mewujudkan
target tersebut4. Salah satu produk ikan yang diandalkan yaitu ikan patin.
Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP DKP Saut Parulian Hutagalung
mengatakan, ikan patin merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk
dikembangkan, selain permintaannya tinggi di dalam negeri, patin juga
merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar yang
sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur Tengah5.
Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan menekan
ongkos produksi akibat mahalnya harga pakan. Pemerintah berencana
membangun pabrik baru untuk memproduksi pakan ikan. Pakan itu berbahan baku
maggot kelapa sawit, bukan tepung ikan yang saat ini digunakan. Pemerintah
mengharapkan dengan melakukan substitusi bahan baku itu, harga pakan ikan
dapat ditekan hingga 10-20% dari harga saat ini. Selain itu pemerintah akan
3
http:// www.globefish.org/ diakses tanggal 3 Mei 2010 http://www.indofisheries.org/ diakses tanggal 20 Juli 2010
5
http://www.foodreview.biz/ diakses tanggal 21 Juli 2010
4
6 meningkatkan inovasi teknologi sektor perikanan, khususnya teknologi pengadaan
bibit atau benih unggul dan teknik budidaya, guna mengejar target pertumbuhan
produksi perikanan6.
Berkaitan dengan pengadaan benih, salah satu sentra produksi benih ikan
patin yang potensial di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya pengusaha pembesaran ikan patin atau pengusaha ikan patin
konsumsi yang berasal dari luar daerah yang membeli benih ikan patin dari
Kabupaten Bogor karena kualitas benih yang relatif baik dibandingkan daerah lain
seperti Sumatera7. Tingkat mortalitas benih patin dari Bogor juga relatif rendah,
kurang dari 0,02%8. Hasil produksi benih patin Kabupaten Bogor ditunjukkan
pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil produksi benih di Kabupaten
Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Tabel 7. Hasil Produksi Benih Patin Kabupaten Bogor
Tahun
Hasil produksi (ekor)
2006
37.394.810
2007
58.126.000
2008
79.893.000
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2010)
Salah satu daerah pembenihan ikan patin di Kabupaten Bogor yaitu
Ciampea. Petani pembenihan di Ciampea salah satunya aitu Deddy Fish Farm
(DFF). Selain pembenihan patin, DFF juga menekuni pembenihan ikan lainnya
seperti ikan hias sebagai usaha sampingan. Usaha ini sudah berdiri sejak tahun
1999. Selama ini produk DFF sudah dipasarkan ke berbagai daerah baik Jawa
maupun luar Jawa seperti Solo, Palembang, dan Banjarmasin. Berdasarkan ratarata jumlah benih yang dihasilkan yang mencapai hampir 2 juta dan larva
6
http://www.indonesia.go.id/ diakses tanggal 17 Juli 2010
http:/www.trubus-online.com/ diakses tanggal 3 Juli 2010 8
http://www.bi.go.id / diakses tanggal 18 Juli 2010 7
7 mencapai 600.000 per tahun, DFF mengambil peran yang cukup besar dalam
peningkatan produksi patin di Indonesia.
Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas serta berkembangnya
isu-isu internasional akhir-akhir ini, muncul tantangan-tantangan yang dihadapi
dalam pengembangan usaha akuakultur, termasuk DFF sendiri. Tantangan itu
antara lain: (1) perdagangan global yang sangat kompetitif, (2) ketatnya syarat
mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, dan (3) iklim
usaha yang kurang kondusif terutama mengenai jaminan kepastian dan keamanan
usaha. Beberapa permasalahan lain juga dihadapi oleh DFF seperti munculnya
pesaing baru dan inflasi.
Awalnya daerah Bogor Barat merupakan sentra penampungan benih ikan
patin, kemudian muncul calon sentra baru yaitu Parung yang mengakibatkan
bertambahnya saingan bagi DFF. Produsen patin di Parung menggunakan tenaga
kerja berpengalaman (dulunya petani ikan lele), sedangkan DFF menggunakan
tenaga kerja belum berpengalaman. Dengan menggunakan tenaga kerja
berpengalaman, produksi benih patin di Parung lebih efisien daripada DFF.
Sebagai akibatnya, jika benih ikan dijual dengan harga yang sama, pengusaha ikan
patin di Parung mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan DFF.
Salah satu strategi DFF untuk menghadapi persaingan ini yaitu dengan
meningkatkan kualitas benih ikan yang dihasilkan. Hal itu dilakukan DFF dengan
cara memproduksi ikan dengan warna yang lebih jernih sehingga tingkat
mortalitas ikan lebih rendah dibandingkan dengan warna ikan yang kurang jernih.
Daya tumbuh benih ikan yang diproduksi DFF mencapai 90%, sedangkan yang di
Parung daya tumbuh benih ikan hanya 60-80% karena tingkat mortalitasnya
8 tinggi. Selain itu, DFF mampu menghasilkan benih dengan ukuran yang seragam
sedangkan petani di Parung masih menghasilkan benih dengan ukuran tidak
seragam.
DFF mampu menghadapi persaingan dengan petani ikan di parung dengan
keunggulan yang dimiliki. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, petani
pembenihan patin di Parung semakin mampu menghasilkan benih patin dengan
kualitas seperti benih patin hasil produksi DFF. Petani pembenihan di Parung
mampu menghasilkan benih dengan ukuran yang lebih seragam dan lebih besar
dibandingkan dengan ukuran benih yang dihasilkan DFF. Akibatnya, DFF
menghadapi persaingan yang semakin sulit.
Inflasi juga berpengaruh terhadap usaha DFF. Inflasi di Indonesia yang
berfluktuasi mengakibatkan harga-harga input cenderung meningkat tiap tahunnya
sedangkan harga jual benih ikan dari tahun ke tahun cenderung stabil bahkan saatsaat tertentu harga benih turun. Hal ini berdampak pada keuntungan riil yang
diperoleh tidak sebesar keuntungan riil saat inflasi sedang rendah.
Kebijakan pemerintah di bidang pertanian khususnya perikanan yang
diterapkan selama ini diharapkan bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi
usaha agribisnis perikanan terutama usaha pembenihan ikan patin. Akan tetapi,
kebijakan pemerintah tersebut seringkali mengakibatkan perbedaan harga input
maupun output yang diterima produsen dan konsumen yang berdampak pada
besar keuntungan yang diperoleh. Pemberlakuan PPN pada barang input misalnya,
akan membuat harga barang menjadi semakin mahal. PP Nomor 7 tahun 2007,
yang berisi mengenai penghapusan PPN pakan ternak termasuk pakan ikan
9 ternyata tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Pakan ikan masih dikenai PPN
sehingga harganya tetap mahal.
Keuntungan yang diperoleh suatu usaha agribisnis akan menentukan
apakah usaha tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang
berdampak pada kelangsungan usaha. Banyak bidang usaha yang memiliki
keunggulan kompetitif jika perhitungan biaya dan keuntungan didasarkan pada
harga pasar. Akan tetapi jika perhitungan didasarkan pada harga sosial, maka
belum tentu setiap perusahaan memiliki keunggulan komparatif. Misalnya, saat
inflasi sedang cukup tinggi, apakah DFF masih memiliki keunggulan kompetitif
maupun komparatif dibandingkan saat inflasi sedang rendah.
Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang dikaji dalam
penelitian ini yaitu:
1) Bagaimanakah keunggulan komparatif dan kompetitif dari pengusahaan benih
patin.
2) Bagaimanakah dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya
terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin.
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini yaitu:
1) Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan
patin Deddy Fish Farm.
2) Menganalisis dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya
terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin.
10 1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1) Bagi para peneliti, diharapkan penelitian ini dapat digunakan dalam
pengembangan ilmu pertanian khususnya perikanan.
2) Bagi perusahaan yang bersangkutan (DFF), penelitian ini dapat memberikan
informasi yang berguna dalam melakukan evaluasi dan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
3) Rujukan bagi peneliti yang ingin melakukan studi lainnya yang berhubungan
dengan perikanan, terutama perikanan budidaya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Deddy Fish Farm, sebuah perusahaan
agribisnis yang bergerak di bidang pembenihan ikan patin yang berlokasi di
Ciampea. Ciampea merupakan salah satu daerah yang banyak terdapat petani
pembenihan ikan patin dan DFF merupakan salah satu perusahaan yang cukup
baik dalam menghasilkan benih patin sehingga dapat mewakili perusahaanperusahaan pembenihan patin lainnya di daerah Bogor. Komoditas yang diteliti
yaitu benih ikan patin yang merupakan hasil produksi DFF. Kualitas benih patin
yang dihasilkan oleh DFF termasuk baik, dilihat dari rendahnya tingkat mortalitas
benih. Data yang dikumpulkan yaitu data dari tahun 2008-2009.
11 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Gambaran Umum Ikan Patin
Gambaran umum berisi mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan
ikan patin. Diantaranya klasifikasi ikan patin, jenis, ciri fisik, kandungan gizi, dan
pemanfaatan. Selain itu juga terdapat penjelasan mengenai sentra perikanan,
syarat lokasi dan pedoman budidaya, pakan, hama dan penyakit, serta pemasaran.
2.1.1. Klasifikasi dan Jenis-jenis Ikan Patin
Klasifikasi ikan patin yaitu sebagai berikut9:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Siluriformes
Famili
: Pangasiidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius sp.
Jenis ikan patin di Indonesia cukup banyak, diantaranya (Prahasta dan
Masturi, 2008) :
1) Patin lokal dengan nama ilmiah Pangasius sp. Terdapat beberapa jenis ikan
patin yang populer di Indonesia. Salah satu jenis populer yang berpeluang
menjadi komoditas ekspor adalah patin djambal (Pangasius djambal).
2) Patin siam (Pangasius hypopthalmus atau Pangasius sutchi) yaitu patin
bangkok karena asalnya dari Bangkok (Thailand). Patin jenis ini banyak
dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena ukurannya yang relatif lebih
9
http://id.m.wikipedia.org/ diakses tanggal 2 Februari 2010
12 besar, relatif mudah untuk dibudidayakan, dan memiliki laju perumbuhan
yang lebih cepat jika dibandingkan patin lokal.
3) Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rios, riu,
lancang), Pangasius micronemus (wakal, rius caring), Pangasius nasutus
(pedado) dan Pangasius nieuwenbuissii (ikan lawang) yang penyebarannya
hanya di Kalimantan Timur.
4) Patin bocourti yang terdapat di perairan umum di Vietnam dan merupakan
komoditas ekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan beberapa negara Asia.
2.1.2. Ciri Fisik
Ciri morfologi ikan patin yaitu memiliki kepala yang melebar ke arah
punggung. Mata berukuran sedang pada sisi kepala, lubang hidung relatif besar.
Mulut relatif kecil dan melebar ke samping serta memiliki gigi yang tajam. Ikan
patin berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang
tubuh bisa mencapai lebih dari satu meter. Kepala ikan patin relatif kecil, dengan
mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah (merupakan ciri khas
golongan catfish) dan memiliki dua pasang kumis atau antena pendek yang
berfungsi sebagai peraba (Prahasta dan Masturi, 2008).
2.1.3. Kandungan Gizi dan Pemanfaatan
Daging ikan patin memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi (protein
65%, lemak 2%, dan kalori 48%). Rasa dagingnya khas, enak, lezat dan gurih.
Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya lebih
rendah dibandingkan dengan daging ternak10. Produk olahan patin diantaranya
nugget, empek-empek, dan kerupuk kulit ikan patin.
10
http://www.samarinda.go.id/ diakses tanggal 1 Juli 2010
13 2.1.4. Sentra Perikanan
Daerah yang merupakan sentra perikanan ikan patin di Indonesia meliputi
Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Daerah Kalimantan yang menjadi sentra
produksi patin yaitu Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Daerah Sumatera
yang menjadi sentra produksi patin yaitu Riau, Jambi, Lampung, dan Sumatera
Selatan, sedangkan di Jawa yaitu Jawa Barat11.
2.1.5. Persyaratan Lokasi
Budidaya pembesaran ikan patin dapat dilakukan dengan sistem kolam,
sistem karamba/karamba jaring apung, dan sistem Fence. Jenis kolam yang biasa
digunakan yaitu kolam irigasi, kolam tadah hujan, dan kolam rawa. Lokasi
pemasangan karamba bisa di kolam, danau, waduk atau di pinggir sungai dengan
kedalaman tertentu. Pembesaran dengan sistem Fence dilakukan di pinggir sungai
atau rawa dengan membuat pagar-pagar keliling yang ditanam di dasar sungai
atau rawa dengan kedalaman tertentu. Perbedaan cara budidaya ini terkait dengan
skala usaha (Prahasta dan Masturi, 2008).
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika petani ingin melakukan
pemeliharaan di kolam yaitu12:
1) Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan yaitu jenis tanah liat/lempung dan
tidak berporos. Jenis tanah tersebut dapat menahan massa air yang besar dan
tidak bocor sehingga dapat dibuat pematang/dinding kolam.
2) Kemiringan tanah yang baik untuk pembuatan kolam berkisar antara 3-5%
untuk memudahkan pengairan kolam secara gravitasi.
11
12
http://www.dkp.go.id/ diakses tanggal 5 April 2010
http://www.bappenas.go.id/ diakses tanggal 5 April 2010
14 3) Untuk pemeliharaan larva, kualitas air untuk pemeliharaan ikan patin harus
bersih, tidak terlalu keruh, dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun
maupun minyak/limbah pabrik. Suhu air yang baik pada saat penetasan telur
menjadi larva di akuarium yaitu antara 260-280C. Pada daerah-daerah yang
suhu airnya relatif rendah diperlukan heater (pemanas) untuk mencapai suhu
optimal yang relatif stabil.
4) Keasaman air berkisar antara 6,5-7.
2.1.6. Pedoman Teknis Budidaya
Budidaya ikan patin meliputi beberapa kegiatan, secara garis besar dibagi
menjadi dua kegiatan yaitu pembenihan dan pembesaran13. Kegiatan pembenihan
merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Produk akhir
dari kegiatan pembenihan berupa benih berukuran tertentu, yang umumnya
merupakan benih selepas masa pendederan. Secara garis besar usaha pembenihan
ikan patin meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) pemilihan calon induk
siap pijah (2) persiapan hormon perangsang (3) kawin suntik (induced breeding)
(4) pengurutan (striping) (5) penetasan telur (6) perawatan larva (7) pendederan
dan (8) pemanenan. Sementara kegiatan pembesaran merupakan upaya
membesarkan benih sampai dewasa untuk kemudian dijual.
2.1.7. Pakan Patin
Pakan merupakan kebutuhan primer untuk mempercepat pertumbuhan
ikan. Ikan patin termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang lahap mengonsumsi
pakan. Pakan ikan patin terdiri dari dua macam yaitu pakan alami dan pakan
buatan (Prahasta dan Masturi, 2008).
13
http://www.bappenas.go.id/ diakses tanggal 5 April 2010
15 1) Pakan Alami
Pakan alami mengandung komposisi gizi yang baik diantaranya protein,
lemak, karbohidrat, dan mineral. Pakan alami seperti infori, dapnia, dan artemia,
dan cacing sutra (Tubifex) dibutuhkan dalam proses pembenihan karena pakan
dapat bergerak aktif dan merangsang larva ikan untuk memakannya. Selain itu,
ukurannya yang sangat kecil sesuai dengan ukuran mulut larva.
2) Pakan Buatan
Pakan buatan berbentuk pelet, bisa berupa pelet buatan pabrik maupun
buatan sendiri yang dibuat dari campuran ikan asin, dedak, ampas tahu, dan lainlain. Ada dua cara pembuatan pakan ramuan sendiri yaitu dengan direbus lebih
dahulu dan tanpa direbus.
2.1.8. Hama dan Penyakit
Salah satu kendala yang sering dihadapi dalam dunia agribisnis perikanan
adalah hama dan penyakit yang menyerang ikan. Hama dan penyakit tersebut bisa
diatasi tapi tidak jarang pula yang menyebabkan kematian ikan secara massal.
Berikut adalah beberapa hama dan penyakit yang sering terdapat pada ikan patin
(Prahasta dan Masturi,2008):
1) Hama
Hama yang mengganggu diantaranya yaitu predator dan kompetitor. Pada
pembesaran ikan patin di jaring apung, sistem sekat, dan karamba, hama yang
mungkin menyerang antara lain lingsang, kura-kura, biawak, ular air, dan burung.
Karamba yang ditanam di dasar perairan relatif aman dari serangan hama. Pada
pembesaran ikan patin di jala apung (sistem sangkar) ada hama berupa ikan buntal
(Tetraodon sp.) yang merusak jala dan memangsa ikan. Ikan-ikan kecil yang
16 masuk kedalam wadah budidaya akan menjadi pesaing ikan patin dalam hal
mencari makan dan memperoleh oksigen.
2) Penyakit
a) Penyakit Parasit
Penyakit white spot (bintik putih) disebabkan oleh parasit dari bangsa
protozoa dari jenis Ichthyoptirus Multifilis Foquet. Penyakit ini menyerang benih
berumur 1-6 minggu. Ciri-ciri : adanya bintik-bintik putih di lapisan lendir kulit,
sirip, dan lapisan insang. Penyakit ini menyebabkan kematian benih secara masal.
b) Penyakit Jamur
Penyakit jamur biasanya terjadi akibat adanya luka pada badan ikan.
Penyebab penyakit jamur adalah Saprolegnia sp. dan Achlya sp. Pada kondisi air
yang jelek, kemungkinan patin terserang jamur lebih besar. Ciri-ciri ikan patin
yang terserang jamur adalah luka di bagian tubuh, terutama pada tutup insang,
sirip, dan bagian punggung. Bagian-bagian tersebut ditumbuhi benang-benang
halus seperti kapas berwarna putih hingga kecoklatan.
c) Penyakit Bakteri
Bakteri yang sering menyerang patin yaitu Aeromonas sp. dan
Pseudomonas sp. Ikan yang terserang akan mengalami pendarahan pada bagian
tubuh terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip. Gejalanya lendir di tubuh
ikan berkurang dan terasa kasar saat diraba. Penyakit akibat bakteri mudah
menular, sehingga ikan yang terserang dan keadaannya cukup parah harus segera
dimusnahkan. Sementara yang terinfeksi tetapi belum parah dapat dicoba dengan
beberapa cara pengobatan.
17 d) Penyakit Noninfeksi (Keracunan dan Kurang Gizi)
Keracunan disebabkan oleh banyak faktor seperti pada pemberian pakan
yang berjamur dan berkuman atau karena pencemaran lingkungan perairan. Gejala
keracunan yaitu ikan akan lemah, berenang tersengal-sengal di permukaan air.
Pada kasus keracunan yang berbahaya, ikan berenang terbalik dan mati.
Penyakit noninfeksi lainnya disebabkan karena kurang gizi. Gejala yang
sering timbul adalah kurangnya nafsu makan terutama pada musim kemarau. Ikan
tampak kurus dan kepala terlihat lebih besar tidak seimbang dengan ukuran tubuh,
kurang lincah, dan berkembang tidak normal.
2.1.9. Pemasaran
Ikan patin dikenal sebagai komoditas yang berprospek cerah karena
memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin
mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya
(Prahasta dan Masturi, 2008). Walaupun permintaan di tingkal pasaran lokal akan
ikan patin dan ikan air tawar lainnya selalu mengalami pasang surut, namun
dilihat dari jumlah hasil penjualan secara rata-rata selalu mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun. Apabila pasaran lokal ikan patin mengalami kelesuan, maka akan
sangat berpengaruh terhadap harga jual baik di tingkat petani maupun di tingkat
grosir di pasar ikan. Di luar hal tersebut, penjualan benih ikan patin dapat
dikatakan hampir tak ada masalah, prospeknya cukup baik. Selain adanya potensi
pendukung dan faktor permintaan komoditas perikanan untuk pasaran lokal, maka
sektor perikanan merupakan salah satu peluang usaha bisnis yang cerah14.
14
http://www.bappenas.go.id/ diakses tanggal 5 April 2010
18 2.1.10. Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Ikan Patin
Industri akuakultur saat ini menjadi salah satu andalan masyarakat dunia,
karena selain bergizi tinggi, juga sebagai sumber ekonomi yang bernilai tinggi.
Kebutuhan pasar akan produk akuakultur pun meningkat sejalan dengan turunnya
produksi ikan hasil tangkapan dan meningkatnya jumlah populasi dunia yang
mulai sadar pentingnya makan ikan untuk menjaga kesehatan. Direktur Pemasaran
Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
(P2HP) Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) Saadullah Muhdi mengatakan
bahwa salah satu tantangan yang dihadapi yaitu banyaknya produk impor. Di
samping itu, kontinuitas pasokan ikan juga menjadi kendala tersendiri15.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketersediaan
pasokan baik untuk domestik maupun ekspor yaitu (1) pengadaan benih unggul
yang disertai ketersediaan pasar (2) menciptakan sinergitas yang erat antara
swasta, masyarakat, dan pemerintah, termasuk melalui kelembagaan lokal yang
berkewajiban memonitoring produksi kelompok pembudidaya, mengumpulkan
hasil produksi, dan mengatur transportasi produk, dan (3) ketersediaan pakan yang
murah. Ketersediaan pasar dan kelembagaan lokal terkait dengan pendapatan
petani ikan. Harga ikan berfluktuasi tergantung permintaan. Adanya pasar dan
kelembagaan lokal berperan dalam penciptaan harga yang stabil karena petani
ikan harus mendapatkan pendapatan yang pasti, salah satunya dengan kestabilan
harga16.
Kaitannya dengan pakan, harga pakan pabrik menjadi kendala yang lain.
Industri pakan ikan dan udang akan menurun akibat pemberlakuan pajak
15
16
http://www.foodreview.biz/ diakses tanggal 12 Oktober 2010
http://www.kpbptpn.co.id/ diakses tanggal 20 Oktober 2010
19 pertambahan nilai (PPN) atas bahan baku pakan maupun pakan itu sendiri. Bahan
baku pakan berupa bungkil dan kedelai serta tepung ikan masih impor. Kebutuhan
impor yang tinggi menyebabkan harga pakan tidak kompetitif. Karena itulah
diperlukan langkah untuk menurunkan harga pakan ikan sehingga bisa
menurunkan biaya produksi17.
2.2.
Kajian Penelitian terdahulu
Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang diperkenalkan
oleh Eric A. Monke dan Scott E. Pearson pada tahun 1989 yang merupakan
penyempurnaan dari metode-metode sebelumnya dalam menganalisis keunggulan
komparatif, kompetitif, dan dampak kebijakan pemerintah. Metode ini telah
banyak digunakan dalam penelitian-penelitian untuk menganalisis kebijakan
pemerintah terhadap suatu komoditas. Penelitian-penelitian terdahulu yang
menghitung
keunggulan
komparatif,
kompetitif,
dan
dampak
kebijakan
pemerintah terhadap suatu komoditas antara lain telah dilakukan oleh Rina
Oktaviani (1991), Eka Kaysmir (1994), dan Dewi Gustiani (2004).
Rina Oktaviani melakukan penelitian mengenai efisiensi ekonomi dan
dampak kebijakan insentif pertanian pada produksi komoditas pangan di
Indonesia yaitu padi (1984 dan 1989), jagung (1984 dan 1989), dan ubi kayu
(1984). Daerah penelitian meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan dengan pertimbangan
bahwa keenam daerah tersebut merupakan penghasil pangan utama. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara finansial, pada tahun 1984 padi lebih
efisien ditanam di Sulawesi Selatan, sedangkan pada tahun 1989 lebih efisien
17
http://www.indonesia.go.id/ diakses tanggal 12 Oktober 2010
20 ditanam di Lampung. Secara ekonomi, padi lebih efisien ditanam di Lampung
(1984) dan Sulawesi Selatan (1989). Komoditas jagung secara finansial dan
ekonomi memiliki efisiensi tertinggi di Lampung baik pada tahun 1984 maupun
1989. Demikian pula dengan ubi kayu, memiliki efisiensi finansial dan ekonomi
tertinggi di Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Eka Kasymir meneliti mengenai keunggulan komparatif dan dampak
kebijakan pada komoditas kopi dan lada pada tahun 1992 di wilayah Kabupaten
Lampung Barat, Provinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komoditas kopi dan lada (biji kering asalan di tingkat petani, kopi biji grade IV,
dan lada mutu ASTA di tingkat eksportir) berdasar harga tahun 1991, secara
finansial hanya komoditas kopi yang layak diusahakan. Secara ekonomi, kedua
komoditas tidak memiliki keunggulan komparatif terutama bagi komoditas lada.
Dewi Gustiani meneliti keunggulan kompetitif dan komparatif dari
komoditas kain tenun sutera alam hasil produksi Kabupaten Garut. Penelitiannya
menunjukkan bahwa komoditas kain tenun sutera alam tersebut memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif. Hal ini dilihat dari nilai PCR dan DCR
yang lebih kecil dari satu yaitu masing-masing sebesar 0,95 dan 0,53. Analisis
sensitivitas juga dilakukan dalam penelitian tersebut. Hasilnya menunjukkan
bahwa pengusahaan kain tenun sutera alam memiliki stabilitas yang cukup tinggi
terhadap perubahan harga output, upah tenaga kerja, harga BBM, nilai tukar
rupiah, dan gabungan dari keempatnya .
21 III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari dua hal. Pertama, kebijakan
pemerintah terhadap output dan input. Kedua, konsep keunggulan komparatif dan
kompetitif dalam hubungannya dengan perdagangan.
3.1.1. Kebijakan Pemerintah
Intervensi pemerintah terhadap suatu komoditas antara lain berupa
kebijakan harga dan kebijakan perdagangan. Kebijakan tersebut menimbulkan
perbedaan harga pada input dan output pada kondisi finansial dan ekonomi.
Pengaruh kebijakan pemerintah terhadap komoditas digambarkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas
Instrumen
Dampak terhadap produsen
Dampak terhadap konsumen
Kebijakan subsidi:
a. Tidak mengubah
harga pasar domestik
b. Mengubah harga
pasar domestik
Subsidi kepada produsen
a. Pada barang impor
(S+PI; S-PI)
b. Pada barang ekspor
(S+PE; S-PE)
Subsidi kepada konsumen
a. Pada barang impor (S+CI;
S-CI) pasar domestik
b. Pada barang ekspor (S+CE;
S-CE) pasar domestik
Kebijakan perdagangan
(semua mengubah harga
pasar domestik)
Hambatan pada barang-barang
impor (TPI)
Hambatan pada barang-barang
ekspor (TCE) mengubah harga
domestik
Keterangan:
S
: Kebijakan Subsidi
T
: Kebijakan Perdagangan
PE
: Produsen Barang Orientasi Ekspor
PI
: Produsen Barang Substitusi Impor
CE
: Konsumen Barang Orientasi Ekspor
CI
: Konsumen Barang Substitusi Impor
TCE
: Hambatan Barang Ekspor
TPI
: Hambatan Barang Impor
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Berdasarkan Tabel 8, kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria
yaitu tipe instrumen, penerimaan atau keuntungan yang diperoleh (produsen dan
konsumen), dan tipe komoditas (impor atau ekspor). Pelaksanaan dari kebijakan
tersebut dapat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan
peluang ekspor suatu komoditas.
22 1) Tipe Instrumen
Dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan dalam
tipe instrumen ini. Menurut Salvatore (1997), subsidi adalah pembayaran dari
atau untuk pemerintah. Pajak atau subsidi negatif merupakan pembayaran kepada
pemerintah, sedangkan pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif. Efek
dan tujuan subsidi yaitu menciptakan harga domestik yang berbeda dengan harga
dunia, kadang-kadang kebijakan menciptakan harga domestik yang terpisah antara
konsumen dan produsen.
Kebijakan perdagangan adalah suatu pembatasan terhadap barang impor
atau ekspor (Monke dan Pearson, 1989). Pembatasan dapat berupa pajak
perdagangan atau pun kuota perdagangan. Tujuannya yaitu untuk mengurangi
jumlah perdagangan internasional dan untuk menciptakan perbedaan harga di
pasar internasional dengan harga domestik. Kebijakan ekspor bertujuan untuk
melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah
dibandingkan harga dunia. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi
produsen karena harga di pasar dunia lebih murah dibandingkan harga domestik.
Pada subsidi terdapat delapan tipe yaitu S+PI, S-PI, S+PE, S-PE, S+CI, SCI, S+CE, dan S-CE, sedangkan pada kebijakan perdagangan hanya ada dua tipe
dasar yaitu TPI dan TPE. Subsidi positif yang diterapkan kepada produsen
maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih
tinggi dan pada konsumen menjadi lebih rendah. Kondisi ini lebih baik
dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi positif. Subsidi negatif akan
mengakibatkan harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dan pada
23 konsumen menjadi lebih tinggi. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan saat
sebelum adanya kebijakan subsidi negatif.
2) Kelompok Penerimaan
Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada
produsen dan konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan
terjadinya transfer di antara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran
pemerintah tidak dibayarkan seluruhnya untuk transfer, hal ini mengakibatkan
produsen mengalami keuntungan dan konsumen mengalami kerugian. Akan
tetapi, dengan adanya transfer yang diikuti efisiensi ekonomi yang hilang akan
menyebabkan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari kerugian yang diterima.
3) Tipe Komoditas
Klasifikasi ini bertujuan untuk membedakan harga barang impor dan
ekspor. Jika tidak ada kebijakan ini, maka harga domestik sama dengan harga
dunia, dimana untuk ekspor digunakan harga fob (free on board) dan untuk impor
digunakan harga cif (cost freight and insurance). Adanya kebijakan komoditas
menyebabkan harga domestik berbeda dengan harga fob dan cif.
3.1.1.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output
Kebijakan yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi
(subsidi positif dan negatif) dan kebijakan hambatan perdagangan. Kebijakan
subsidi produsen barang sustitusi impor (S+PI) akan menguntungkan bagi
produsen lokal barang substitusi impor karena dengan adanya kebijakan subsidi
bagi produsen barang substitusi impor, penerimaan produsen lokal akan
meningkat. Kebijakan subsidi konsumen barang substitusi impor (S+CI) akan
24 menguntungkan konsumen barang substitusi impor. Kebijakan subsidi positif baik
pada barang ekspor maupun impor ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 hanya untuk dampak subsidi positif, sedangkan untuk subsidi
negatif adalah kebalikannya. Gambar (a) menunjukkan subsidi positif untuk
produsen pada barang impor di mana harga yang diterima produsen lebih tinggi
dari harga dunia. Hal ini mengakibatkan output produksi dalam negeri meningkat
dari Q1 ke Q2 sedangkan konsumsi tetap di Q3. Subsidi ini mengakibatkan jumlah
impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q3 - Q2. Tingkat subsidi peroutput sebesar (Pd Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsen sebesar Q2
(Pd - Pw) atau PdABPw. Pembiayaan ini akan menghilangkan efisiensi ekonomi
karena pemerintah memilih untuk tidak mengalokasikan sumberdaya pada harga
dunia (Pw). Subsidi mengakibatkan barang yang sebelumnya diimpor menjadi
diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan Q1CAQ2, sedangkan
opportunity cost jika barang tersebut dimpor adalah sebesar Q1CBQ2 sehingga
efisiensi yang hilang sebesar CAB.
Gambar (c) menunjukkan subsidi positif pada konsumen untuk output
yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw - Pd mengakibatkan produksi turun
dari Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4 sehingga impor meningkat dari
Q3 - Q1 menjadi Q4 - Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua bagian yaitu transfer
dari pemerintah ke konsumen sebesar ADEB dan transfer dari produsen kepada
konsumen sebesar PwABPd. Dengan demikian kehilangan efisiensi ekonomi
terjadi baik pada produksi maupun konsumsi. Di sisi produksi turunnya output
dari Q1 ke Q2 mengakibatkan terjadinya kehilangan pendapatan sebesar Pw (Q1 Q2) atau Q2ACQ1. Dengan berkurangnya output, input dapat dihemat sebesar
25 Q2BCQ1 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ACB. Dilihat pada sisi
konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah Pw (Q4 - Q3) atau
Q3FDQ4, sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3FEQ4 sehingga
efisiensi yang hilang sebesar FDE.
P P S S E Pd F D Pw B C A A Pd Pw B C D Q1 D Q
Q2 Q2 Q3 (a) S+ PI
Q1 Q3 Q
Q4 (b) S+ PE
P P S S B Pw Pd Pw Pd A C F C A
D B E D D Q2 Q1 Q3
Q4 Q
(c) S+ CI
Q Q1 Q2 (d) S+ CE
Keterangan:
Pw
: Harga di pasar dunia
Pd
: Harga domestik
S+ PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor
S+ PE : Subsidi kepada produsen untuk barang ekspor
S+ CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor
S+ CE : Subsidi kepada konsumen untuk barang ekspor
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 1. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada
Barang Ekspor dan Impor
26 P P A S A
S B Pw Pd Pd Pw F D A E B Q2 Q3 F E G H J C D Q1 C D Q4 K D Q1 Q2 (a) TPI
Q3 Q4 Q
(b) TCE
Keterangan:
TPI
: Hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor
TCE
: Hambatan perdagangan pada konsumen untuk barang impor
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 2. Restriksi Perdagangan pada Barang Impor
Selain kebijakan subsidi pada output, pemerintah juga memberlakukan
kebijakan restriksi (hambatan) perdagangan pada barang-barang impor. Hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar (a) menunjukkan adanya hambatan
tarif pada barang impor di mana terdapat tarif sebesar Pd - Pw sehingga
menaikkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output
domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q4 ke Q3. Dengan
demikian impor turun dari Q4 - Q1 menjadi Q3 - Q2. Terdapat transfer penerimaan
dari konsumen sebesar PdABPw yaitu kepada produsen sebesar PdDEPw dan
kepada pemerintah sebesar EDAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari konsumen
adalah perbedaan antara opportunity cost konsumen dalam mengubah konsumsi
sebesar Q4BCQ3 dengan kemampuan membayar yang sama Q3ACQ4 sehingga
didapatkan efisiensi ekonomi yang hilang pada konsumen sebesar ABC dan pada
produsen sebesar DEF.
27 Gambar (b) menunjukkan pada situasi perdagangan bebas harga yang
diterima oleh produsen output dan konsumen dalam negeri sama dengan harga
dunia yaitu sebesar Pw. Dengan tingkat harga sebesar Pw, output yang dihasilkan
produsen adalah sebesar Q4 dan konsumsi sebesar Q1, sehingga terjadi ekses
suplai di dalam negeri sebesar segitiga BHJ. Terjadinya ekses suplai tersebut
membuat output yang dihasilkan harus diekspor ke luar negeri yaitu sebesar
Q4 - Q1. Besarnya surplus konsumen adalah ABPw, sedangkan surplus produsen
sebesar PwHK.
Adanya subsidi negatif pada produsen output (NPCO negatif),
mengakibatkan perubahan harga dalam negeri yaitu harga yang diterima produsen
dan konsumen (harga finansial) menjadi lebih rendah dari harga pasar dunia
(Pd < Pw). Dengan tingkat harga sebesar ini, mengakibatkan konsumsi dalam
negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2, penurunan produksi dari Q4 menjadi Q3,
penurunan ekspor dari Q4 – Q1 menjadi Q3 - Q2, terjadi perubahan surplus
produsen yaitu sebesar PwHGPd, perubahan surplus konsumen sebesar PdEBPw,
dan besarnya transfer output atau transfer pajak kepada pemerintah sebesar
DFGE. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar BDE dan FGH yang
merupakan kesempatan yang hilang dari produsen untuk memperoleh keuntungan
dan juga tidak ditransfer baik kepada konsumen maupun pemerintah.
3.1.1.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input
Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input
nontradable. Pada kedua input tersebut kebijakan dapat berupa subsidi positif
maupun negatif, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan
pada input domestik (nontradable) karena input domestik hanya untuk komoditas
28 yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah terhadap
input ditunjukkan pada Gambar 3.
Berdasarkan Gambar 3, Gambar (a) menunjukkan efek pajak terhadap
input tradable yang digunakan. Pajak pada input menyebabkan biaya produksi
meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun
dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai (S) bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang
adalah ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2
dengan ongkos produksi Q2BCQ1. Gambar (b) menunjukkan dampak subsidi
input mengakibatkan harga input dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva
suplai (S) bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Adanya
peningkatan
produksi
menyebabkan
terjadinya
peningkatan
penggunaan
sumberdaya yaitu sebesar Q1ACQ2 dan meningkatnya penerimaan menjadi
sebesar Q1ABQ2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah ABC yang
merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat
dengan nilai dari output yang meningkat.
Intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan pada input yang
nontradable tidak tampak karena input nontradable hanya diproduksi dan
dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan
subsidi negatif (pajak) yang dapat dijelaskan pada Gambar 4. Pada Gambar (a)
adanya pajak (Pc - Pp) mengakibatkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2.
Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar DBA dan dari
konsumen sebesar BCA. Gambar (b) menunjukkan adanya subsidi mengakibatkan
produk meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp
dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat
29 dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya
ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.
S’ P P
S S
S’ C
C A
Pw A
Pw
B
D B Q
Q2 Q
Q1
Q1 (a) S- II
Q2
(b) S+ II
Keterangan:
S- II
: Pajak untuk input impor
S+ II
: Subsidi untuk input impor
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 3. Subsidi dan Pajak pada Input
P P
Pc S
C B Pd Pp Pp C A A
D
D S Pp’ Pd B Pc D D
O Q3
Q2 Q1
Q
(a) S- N
Q Q1 Q2 (b) S+ N
Keterangan:
S- N
: Pajak untuk barang nontradable
S+ N
: Subsidi untuk barang nontradable
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Nontradable
30 3.1.2. Tinjauan Konseptual Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Terkait dengan konsep keunggulan komparatif yaitu kelayakan ekonomi,
dan terkait dengan keunggulan kompetitif yaitu kelayakan finansial. Kelayakan
finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau
individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Kelayakan ekonomi menilai suatu
aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan (Kadariah et al., 1978).
Secara umum komoditas pertanian memiliki keunggulan komparatif dan
sekaligus keunggulan kompetitif, namun parameter keunggulan komparatif lebih
rendah dibandingkan keunggulan kompetitifnya. Hal ini mengandung makna
bahwa petani membayar harga input produksi lebih tinggi dari yang seharusnya
dan atau menerima harga output lebih rendah dari yang seharusnya. Faktanya
dewasa ini produk pertanian tetap mengalami kesulitan untuk dapat bersaing dan
akses terhadap pasar internasional karena masalah kualitas, kontinuitas pasokan,
tingginya kerusakan dalam pengangkutan, serta kondisi sosial politik dalam negeri
yang belum kondusif (Saptana et al., 2001).
3.1.2.1.Keunggulan Komparatif
Konsep keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David
Ricardo. Konsep tersebut dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif
(the law of comparative advantage) atau Model Ricardian Ricardo. Menurut
beliau, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan
komparatif antar negara. Keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara
mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih
murah daripada negara lainnya. Akan tetapi, sekalipun suatu negara mengalami
kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditas jika
31 dibandingkan
dengan
negara
lain,
namun
perdagangan
yang
saling
menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan
berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai
keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditas
yang mempunyai kerugian komparatif (Salvatore, 1997).
Teori keunggulan komparatif Ricardian Ricardo kemudian disempurnakan
oleh Harberler (1936) yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif
berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Harberler
menyatakan bahwa biaya dari suatu komoditas adalah jumlah komoditas terbaik
yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk
memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama. Negara yang memiliki biaya
opportunitas lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditas akan memiliki
keunggulan komparatif dalam komoditas tersebut dan memiliki kerugian
komparatif dalam komoditas kedua (Salvatore, 1997).
Teori keunggulan yang lebih modern yaitu teori Heckschser dan Ohlin
(1933). Menurut teori H-O, basis terjadinya perdagangan yaitu perbedaan di
dalam pre trade relative commodity prices, yang dapat disebabkan oleh perbedaan
dari faktor endowment, technology, ataupun tastes dari kedua negara yang
bersangkutan. Akibat perbedaan tersebut, akan mendorong perbedaan atas biaya
produksi dan atau harganya. Suatu negara akan mengadakan spesialisasi produksi
yang mempunyai faktor produksi relatif melimpah yang berarti biayanya juga
akan murah dan dalam waktu bersamaan negara tersebut akan mengimpor
komoditas yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan
mahal di negara itu (Salvatore, 1997).
32 3.1.2.2. Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif pada awalnya dikembangkan oleh Porter pada
tahun 1980 sebagai perluasan dari teori keunggulan komparatif dengan bertitik
tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional. Menurut Porter (1991),
keunggulan perdagangan antar negara di dalam perdagangan internasional secara
spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya
yang ada yaitu persaingan antar kelompok kecil industri di suatu negara dengan
negara lainnya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara.
Porter juga mengemukakan tentang tidak adanya korelasi langsung antara dua
faktor produksi (sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia
yang murah) yang dimiliki suatu negara, yang dimanfaatkan menjadi keunggulan
daya saing dalam perdagangan internasional. Keunggulan kompetitif tidak
bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada
produktivitasnya. Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah sangat penting
dalan peningkatan daya saing selain faktor produksi.
Selain itu, menurut Porter, salah satu esensi dari keunggulan kompetitif
adalah bagaimana menciptakan produk atau layanan serta seluruh proses yang
menyertainya sedemikian sehingga sulit ditiru oleh pesaing. Untuk meraih
keunggulan kompetitif di dalam lingkungan persaingan yang ketat, suatu
perusahaan perlu mengadopsi strategi yang tepat. Ada dua jenis strategi yaitu
diferensiasi dan produksi biaya rendah (low cost production).
33 3.1.3. Policy Analysis Matrix (Matriks Analisis Kebijakan)
Policy Analysis Matrix merupakan suatu alat yang digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem
komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas
yaitu (Monke dan Pearson, 1989) : (1) tingkat usaha tani (farm production); (2)
penyampaian dari usaha tani ke pengolah; (3) pengolahan; dan (4) pemasaran.
Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk
menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan
dengan apakah sebuah sistem usahatani memiliki dayasaing pada tingkat harga
dan teknologi yang ada, yaitu apakah ada keuntungan pada tingkat harga aktual
(dengan menghitung perbedaan antara harga privat antara sebelum ada kebijakan
dengan sesudah ada kebijakan). Isu kedua yaitu dampak investasi publik (dalam
bentuk pembangunan infrastruktur baru) terhadap tingkat efisiensi sistem
usahatani. Efisiensi dihitung berdasarkan tingkat keuntungan sosial. Isu ke tiga
yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap
tingkat efisiensi sistem usaha tani (Pearson et al., 2005).
Tujuan utama dari metode PAM ada tiga, yaitu pertama memberikan
informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam
ketiga isu di atas. Kedua, menghitung tingkat keuntungan sosial dari sebuah
usahatani. Ketiga, menghitung efek transfer sebagai dampak dari sebuah
kebijakan (dengan membandingkan biaya dan pendapatan).
Input yang digunakan dalam proses produksi pada analisis PAM dapat
dipisahkan menjadi tradable goods dan nontradable goods (faktor domestik).
Barang tradable merupakan barang yang dapat diperdagangkan secara
34 internasional dimana produsen dalam negeri cukup efisien sehingga tidak ada
hambatan perdagangan (peraturan/kebijakan), oleh karena itu harga fob
memberikan rangsangan yang efektif untuk mengekspor. Barang nontradable
merupakan barang yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional (dapat
dipenuhi oleh produksi setempat pada harga di bawah nilai cif-nya, sedangkan
harga fob (yang selalu lebih rendah dari harga cif) terlalu rendah untuk
merangsang ekspor). Hasil Analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual
maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga
memberikan informasi dasar yang penting bagi Benefit-Cost Analysis untuk
kegiatan investasi di bidang pertanian (Pearson et al., 2005).
3.1.4. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat apa yang terjadi terhadap
hasil analisis proyek jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar
perhitungan biaya atau manfaat (Kadariah et al., 1978). Analisis sensitivitas
merupakan suatu teknik analisis untuk menguji perubahan kelayakan suatu
kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis jika terjadi kejadian-kejadian yang
berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan.
Dalam proyek-proyek pertanian ada empat masalah utama yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1) Perubahan harga yang menyebabkan perubahan penerimaan. Umumnya harga
produk pertanian berfluktuasi karena produksinya sesuai dengan musimnya.
Perubahan harga menyebabkan perubahan terutama pada harga output
(terutama pada proyek ukuran besar di mana harga relatif turun karena umur
ekonomisnya panjang).
35 2) Keterlambatan pelaksanaan yang biasanya terjadi karena berbagai sebab,
misalnya:
a. Terlambat dalam pemesanan/penerimaan alat baru
b. Masalah administrasi yang tidak terhindarkan
c. Teknik bercocok tanam/budidaya baru (memerlukan adaptasi terhadap
teknik baru tersebut)
3) Kenaikan biaya (cost overrun) yang sewaktu-waktu bisa terjadi dalam
pelaksanaan suatu proyek. Kenaikan biaya misalnya kenaikan harga peralatan
dan bahan bangunan.
4) Kesalahan dalam perkiraan hasil (produksi) dalam pelaksanaan proyek,
misalnya karena penggunaan mesin yang memiliki kapasitas lebih besar,
tenaga kerja lebih baik, dan serangan hama penyakit.
Kelemahan analisis sensitivitas yaitu:
1) Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena
merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu
saat tertentu.
2) Analisis sensitivitas hanya mencatat apa yang akan terjadi jika variabel
berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
36 3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional
Kebijakan Pemerintah dan Faktor Eksternal :
1. Nilai UMR
2. Nilai Mata Uang (Rp)
3. Harga BBM
4. Lain-lain
Biaya dan Harga Faktor Produksi:
1. Tenaga Kerja
2. Pakan/lahan
3. Input lainnya
Usaha Pembenihan Ikan Patin
Siam Deddy Fish Farm
Policy Analysis
Matrix (PAM)
Analisis Sensitivitas
Dampak Kebijakan:
1. Transfer Output
2. Transfer Input
3. Transfer Faktor
4. Transfer Bersih
5. Koefisien Proteksi
6. Koefisien Keuntungan
7. Rasio Subsidi Produsen
Keunggulan Komparatif:
1. Keuntungan
Ekonomi
2. Biaya Sumberdaya
Domestik
Keunggulan Kompetitif:
1. Keuntungan
Finansial
2. Rasio Biaya
Finansial
Alternatif Kebijakan
Keterangan :
: Hubungan Antar Variabel
: Alat Analisis
Sumber : Penulis (2009)
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Sistem Komoditas Deddy Fish Farm
Usaha pembenihan ikan dalam perkembangannya tidak terlepas dari
kebijakan pemerintah dan faktor eksternal lainnya seperti naik turunnya harga
BBM, nilai tukar, dan kebijakan lainnya. Kebijakan tersebut nantinya akan
37 menimbulkan perbedaan harga input dan output yang berpengaruh pada biaya
produksi dan harga jual. Peningkatan biaya produksi dan harga jual nantinya akan
mengakibatkan perubahan pada penerimaan (keuntungan) perusahaan.
Analisis tingkat efisiensi dan dampak kebijakan pemerintah dilakukan
dengan menggunakan model Policy Analysis Matrix. Dengan model ini akan
diperoleh nilai-nilai yang menunjukkan keunggulan komparatif dan kompetitif
serta alternatif kebijakan. Analisis keunggulan komparatif ditunjukkan oleh nilai
keuntungan sosial/ekonomi dan rasio biaya sumberdaya domestik, sedangkan
keunggulan kompetitif dapat ditunjukkan dengan nilai keuntungan finansial dan
nilai rasio biaya privat/finansial. Kita dapat mengetahui apakah suatu komoditas
dapat atau tidak
bersaing di pasar regional maupun internasional dari nilai
keuntungan tersebut.
Pemerintah
sering
memberlakukan
kebijakan-kebijakan
dalam
perdagangan yang dibuat dengan tujuan tertentu. Analisis sensitivitas digunakan
untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas jika
terjadi perubahan harga input dan output baik perubahan yang diakibatkan oleh
kebijakan pemerintah tersebut maupun lainnya. Analisis sensitivitas dapat
memengaruhi matriks PAM sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif yang
diperoleh akan mengalami perubahan.
38 IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Lokasi dan Waktu
Studi kasus penelitian mengenai “Analisis Keunggulan Komparatif dan
Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy
Fish Farm)” dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah
Cibanteng Sawah, Ciampea, Bogor. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive
dengan pertimbangan bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang
sudah lama bergerak di bidang pembenihan ikan patin dan sudah mengirimkan
produknya ke berbagai daerah diantaranya Solo, Palembang, dan Banjarmasin.
Pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus
2009 sampai dengan bulan Januari 2011.
4.2.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pemilik usaha dan data
sekunder berupa data cashflow perusahaan selama dua tahun (2008-2009). Selain
itu, data sekunder juga diperoleh dari beberapa lembaga baik nasional maupun
internasional seperti BPS, Kementerian Perikanan dan Kelautan, United Nation
Commodity Trade Statistic Database (UNComtrade), Globefish, serta informasi
lainnya yang diperoleh dari buku-buku literatur, dan media elektronik.
Data sekunder dari perusahaan berupa data-data yang digunakan dalam
analisis keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak divergensi
pemerintah. Data dan informasi yang diperlukan mencakup : asupan usaha tani
baik sarana produksi maupun tenaga kerja dan modal, tingkat produksi usaha tani,
harga-harga dari komoditas pertanian terkait, harga-harga sarana produksi, tingkat
39 upah tenaga kerja, dan tingkat bunga yang mencerminkan biaya atas modal yang
digunakan.
4.3.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode pengolahan data meliputi metode kuantitatif dan kualitatif. Metode
kuantitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mengolah data dari
perusahaan, sedangkan metode kualitatif berupa penyajian data dengan cara
mengintepretasikan dan mendeskripsikan data kuantitatif. Perhitungan metode
kuantitatif yaitu dengan mengolah data menggunakan komputer melalui program
Microsoft Excel. Tabel Input-Output tahun 2005 juga digunakan untuk
mengalokasikan biaya ke dalam komponen tradable dan nontradable. Selanjutnya
matriks PAM disusun dan dilakukan perhitungan untuk mendapatkan hasil
tertentu sebagai indikator pengaruh kebijakan pemerintah terhadap input dan
output.
Metode
analisis
data berupa
analisis
daya
saing
dan
dampak
kebijakan/divergensi pemerintah terhadap usaha agribisnis dengan menggunakan
alat analisis matriks kebijakan pemerintah (PAM) yang dikembangkan oleh
Monke dan Pearson (1989). Analisis kemampuan perusahaan dalam menghadapi
perubahan ekonomi yang berimbas pada proyek digunakan analisis sensitivitas.
Terdapat empat tahapan yang dilakukan dalam penyusunan PAM ini.
Keempat tahapan tersebut mengacu pada pendapat Monke dan Pearson (1989),
yakni :
1) Penentuan input output fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang
dianalisis.
40 2) Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing yang
didasarkan atas Tabel Input-Output tahun 2005.
3) Penentuan harga privat dan penafsiran harga bayangan input-output.
4) Tabulasi dan analisis berbagai indikator yang dihasilkan tabel PAM.
Beberapa asumsi yang mendasari penyusunan PAM ini antara lain :
1) Perhitungan berdasarkan harga privat (harga yang benar-benar terjadi dan
diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya
kebijakan.
2) Perhitungan berdasarkan harga sosial. Pada komoditas tradable, harga
bayangan yaitu harga yang terjadi di pasar internasional. Penentuan harga
bayangan komoditas nontradable yaitu harga yang terjadi pada kondisi Pasar
Persaingan Sempurna (PPS) atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan.
3) Masa produksi benih (output) dihitung dalam satu tahun.
4) Nilai tukar resmi yaitu nilai tukar rata-rata yang berlaku pada tahun 2008 dan
2009 yakni masing-masing sebesar Rp 9.771,67 dan Rp 10.356,17 per US
Dollar.
5) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.
4.4. Penentuan Input dan Output
Input yang dimaksud dalam penelitian ini adalah induk ikan patin, pakan,
obat-obatan, perlengkapan dan peralatan dalam pemeliharaan induk dan larva,
penyuntikan, penetasan, dan pemanenan larva, garam, BBM, tenaga kerja, lahan
(sewa lahan), dan input lainnya. Output yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah benih ikan patin ukuran larva, ¾ inchi, dan 1 inchi.
41 4.4.1. Alokasi Biaya ke dalam Komponen Domestik dan Asing
Menurut Pearson et al. (1976) dalam Saptana et al. (2001), ada dua
pendekatan yang digunakan untuk mengalokasikan biaya ke dalam komponen
domestik dan asing, yaitu pendekatan total dan pendekatan langsung. Pendekatan
langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik diimpor
maupun produksi domestik dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini
digunakan apabila tambahan permintaan input tradable baik barang yang diimpor
maupun produksi domestik dapat dipenuhi dari perdagangan internasional.
Pendekatan total mengasumsikan bahwa setiap biaya dari input tradable produksi
domestik dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan
input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input itu memiliki
kemungkinan untuk diproduksi dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat
digunakan dalam analisis dampak kebijakan pemerintah
atau untuk
memperkirakan biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang dilakukan
oleh pemerintah. Analisis daya saing atau keunggulan komparatif dan kompetitif
komoditas ikan patin pada penelitian ini mengggunakan pendekatan total.
1) Alokasi Biaya Produksi
Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan secara tunai
maupun yang diperhitungkan untuk menghasilkan komoditas akhir yang siap
dipasarkan atau dikonsumsi. Penentuan alokasi biaya produksi ke dalam
komponen asing (tradable) dan domestik (nontradable) didasarkan atas jenis
input dan penilaian biaya input tradable dan nontradable dalam total biaya input.
Alokasi biaya produksi ke dalam komponen domestik dan asing disajikan dalam
Tabel 9.
42 Tabel 9. Alokasi Biaya Produksi ke dalam Komponen Domestik dan Asing
pada Sistem Usahatani Pembenihan Ikan Patin di Lokasi Penelitian,
Tahun 2008 dan 2009.
Keterangan
Domestik (%)
Asing (%)
1. Pelet
7,6
92,4
2. Penyusutan Jaring Induk
100
0
a. Jaring Induk
100
0
b. Induk
93,5
6,5
3. TK Tetap
100
0
1. Ovaprim
39,5
60,5
2. Alat Suntik
42,3
57,7
3. Tenaga Kerja
100
0
1. Artemia
7,6
92,4
2. Cacing Tubifex
100
0
3. Pelet
7,6
92,4
4. Minyak Tanah
64,92
35,08
5. Bensin
64,92
35,08
6. Blitz ICH
39,5
60,5
7. Batu Aerasi
88,4
11,6
8. Corong
86,33
13,67
9. Serokan larva
100
0
10. TK Tukang
100
0
Biaya Pemeliharaan Induk
Biaya Penyuntikan
Pemeliharaan Larva
11. Penyusutan Peralatan
a. Akuarium
100
0
b. Blower
38
62
c. Selang
86,33
13,67
e. Genset
85
15
f. Hi Blow
38
62
g. Rak Kayu
100
0
h. Kompor
100
0
i. Terpal
100
0
j. Jet Pam
38
62
1. Garam
100
0
2. Penyusutan Ember
100
0
Penetasan Artemia
43 Tabel 9. Lanjutan
Pemanenan Larva
1. Serokan
100
0
a. Tabung gas
100
0
b. Baskom
100
0
c. Fiber
100
0
1. Telepon
100
0
2. Listrik
100
0
3. Sewa Rumah + lahan
100
0
BUNGA MODAL
100
0
100
0
2.. Penyusutan Peralatan
BIAYA OPERASIONAL
BIAYA TATANIAGA
Penanganan
Sumber : Tabel Input-Output (2005), diolah
Metode perhitungan komponen domestik-asing dengan Tabel Input Output
2005:
% komponen asing
% komponen asing
Keterangan:
Tabel 2
Tabel 4
Kolom
Baris
nilai komponen produk domestik
x 100%
nilai komponen total
nilai komponen produk asing
x 100%
nilai komponen total
: Transaksi Total Atas Dasar Produsen – mencari komponen asing
(nilai total - nilai domestik)
: Transaksi Domestik Atas Dasar produsen – mencari komponen domestik
: Input yang digunakan dalam usahatani
: Bidang usahatani
2) Alokasi Biaya Tataniaga
Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau
kegunaan suatu barang, yaitu kegunaan tempat, bentuk, dan waktu. Biaya
tataniaga terbagi atas biaya biaya pengangkutan (transportasi) dan penanganan.
Biaya pengangkutan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut
barang dari produsen atau petani sampai ke eksportir, dimana pihak perusahaan
tidak mengeluarkan biaya pengangkutan karena hasil produksi diambil oleh
broker langsung di perusahaan. Biaya penanganan meliputi kegiatan sortir benih
44 dan pengepakan. Alokasi biaya tataniaga (penanganan) dimasukkan ke dalam
komponen domestik 100% dan komponen asing 0% (Tabel Input Output, 2005).
4.4.2. Penentuan Harga Bayangan Input Output
Harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian
apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi
keseimbangan (Gittiger, 1986). Dalam pasar yang bersaing, biaya oportunitas
suatu barang akan menjadi harga bayangan barang tersebut. Akan tetapi sulit
menentukan harga oportunitas suatu barang. Oleh karena itu, untuk memperoleh
nilai yang mendekati biaya imbangan bayangan atau harga bayangan perlu
dilakukan penyesuaian terhadap harga yang berlaku di pasar, diantaranya dengan
mengurangkan pajak tidak langsung atau menambahkan subsidi dari harga yang
berlaku di pasar.
Menurut Monke dan Pearson (1989), cara untuk menentukan harga
internasional dari suatu barang yang tradable yaitu dengan menggunakan harga
paritas ekspor (fob) untuk barang yang exportable dan harga paritas impor (cif)
untuk barang yang importable. Fob merupakan syarat penyerahan barang dimana
penjual hanya menanggung biaya pengangkutan sampai dengan pelabuhan muat
penjual, sisanya ditanggung pembeli. Cif adalah syarat penyerahan barang dimana
penjual harus menanggung biaya pengangkutan dan asuransi atas suatu
komoditas.
Ada beberapa cara untuk menentukan harga paritas yaitu: (i) nilai fob atau
cif dari publikasi statistik atau statistik perdagangan internasional (ii) bila data
tidak dapat diperoleh dari pusat statistik dalam negeri, bisa diperoleh dari
publikasi statistik negara tetangga, kelompok industri, atau lembaga-lembaga
45 internasional seperti IMF, World Bank, ADB, dan lainnya (iii) bila diketahui
kegagalan pasar tidak terjadi dan semua kebijakan diketahui dengan jelas dan
dampaknya bisa diukur, maka harga sosial bisa dihitung dengan mengurangkan
dampak divergensi dari harga privat.
Penentuan harga bayangan barang-barang nontradable, menurut Monke
dan Pearson, 1989 berdasarkan langkah-langkah berikut: (i) menghitung
opprtunity cost dari barang nontradable tersebut, namun cara ini sulit dilakukan,
(ii) mengoreksi ada tidaknya divergensi baik yang disebabkan oleh adanya
kebijakan pemerintah yang distorsif, ada tidaknya kegagalan pasar seperti struktur
pasar monopoli, monopsoni, dan lain-lain; eksternalitas negatif atau positif, dan
ketidaksempurnaan kelembagaan, (ii) apabila dampak divergensi tidak dapat
diestimasi maka menggunakan harga barang substitusinya, (iii) jika langkah
tersebut juga sulit untuk dilakukan maka gunakan harga barang/substitusinya di
negara tetangga.
1) Menentukan Harga Bayangan Output
Pasar benih patin mendekati pasar persaingan sempurna. Hal ini karena
harga benih patin ditentukan oleh penawaran dan permintaan pasar, antar petani
benih patin saling bersaing dalam harga, banyaknya jumlah produsen maupun
konsumen benih patin. Oleh karena itu,harga sosial benih patin sama dengan
harga finansialnya.
46 2) Menentukan Harga Bayangan input
a) Induk
Harga bayangan induk patin didekati dengan fob Vietnam sebesar US$
830/ton18 ditambahkan dengan freight (biaya pengapalan) sebesar 10% dan
biaya transportasi 0,5%19 sehingga harga cif Indonesia atas ikan patin tersebut
yaitu US$ 917,57/ton. Selanjutnya nilai ini dikalikan dengan SER tahun 2008
sehingga nilai induk ikan masing-masing tahun yaitu Rp 8.997.798/ton dan
Rp 9.544.713/ton. Nilai-nilai tersebut ditambahkan dengan biaya tataniaga dan
penanganan sehingga menghasilkan harga bayangan induk sebesar Rp
9.249,45/kg. Bobot tiap induk ikan patin rata-rata 3 kg, sehingga tiap ekor
induk memiliki harga bayangan Rp 27.748 (Lampiran 15).
b) Harga Bayangan Pakan
Harga bayangan untuk komponen pakan berupa pelet berdasarkan
harga privat di lokasi penelitian. Hal ini didasari asumsi bahwa border price
hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan pelet yaitu tepung ikan
sehingga sulit menentukan harga bayangan berdasarkan border price bahan
baku. Oleh karena itu, harga bayangan pakan diperoleh dari harga finansial
dikurangkan dengan PPN sebesar 10%. Harga bayangan pakan cacing tubifex
juga didekati dengan harga finansial karena cacing tubifex diperoleh secara
domestik dan tidak terdapat border price.
Harga bayangan pakan berupa artemia berdasarkan border price.
Artemia merupakan produk impor sehingga digunakan harga cif. Patokan
harga artemia dengan daya tetas 80% adalah harga fob Beijing yaitu
18
19
http://www.fao.org/ diakses tanggal 4 Mei 2010
http://www.pajak.go.id/ diakses tanggal 4 Mei 2010
47 US$ 54.117,62/ton, ditambahkan dengan freight sebesar 10% dan biaya
transportasi 0,5% sehingga harga CIF Indonesia atas produk tersebut adalah
US$ 59.827,03/ton. Selanjutnya nilai ini dikalikan dengan SER tahun 2008
dan
2009
sehingga
nilai
artemia
masing-masing
tahun
yaitu
Rp
586.674.016/ton dan Rp 622.333.916/ton. Nilai-nilai tersebut ditambahkan
dengan biaya tataniaga dan penanganan sehingga menghasilkan harga
bayangan artemia sebesar Rp 586.926/kg dan Rp 622.586/kg. Berat artemia
perkaleng adalah 425 gram, sehingga setelah dikonversi, harga tiap kaleng
artemia masing-masing tahun yaitu Rp 249.443 dan Rp 264.599 (Lampiran 16
dan 17).
c) Harga Bayangan Garam
Indonesia merupakan negara pengimpor garam dalam jumlah besar20.
Oleh karena itu harga bayangan yang digunakan adalah border price yaitu
sebesar US$ 43,11/ton pada tahun 2008 dan US$ 53,52/ton pada tahun 2009.
Kemudian ditambahkan dengan freight 10% dan biaya transportasi 0,5%
menghasilkan cif 2008 sebesar US$ 49,79/ton dan cif 2009 sebesar US$
61,82/ton. Selanjutnya nilai ini dikalikan dengan SER tahun 2008 dan 2009
sehingga nilai garam masing-masing tahun yaitu Rp 488.262/ton dan Rp
643.026/ton. Nilai-nilai tersebut ditambahkan dengan biaya tataniaga dan
penanganan sehingga menghasilkan harga bayangan garam sebesar Rp 740/kg
dan Rp 895/kg. Tiap bungkus garam berbobot 2,5 kg sehingga harga
perbungkus yaitu Rp 1.850 dan Rp 2.237 (Lampiran 18 dan 19).
20
http://www.comtrade.un.org/ diakses tanggal 13 Juni 2010 48 d) Harga Bayangan Obat-obatan
Harga dunia untuk hormon dan obat-obatan dalam perikanan seperti
Ovaprim, Blitz Ich tidak ada. Oleh karena itu penentuan harga bayangan
hormon dan obat-obatan didekati dengan harga finansial. Perhitungannya yaitu
harga finansial dikurangkan dengan PPN sebesar 10%.
e) Harga Bayangan Perlengkapan dan Peralatan
Harga pasar peralatan dihitung berdasarkan harga penyusutan peralatan
selama satu tahun dengan Metode Garis Lurus dengan formulasi sebagai
berikut :
Penyusutan
Nilai Beli Nilai Sisa
Umur Ekonomis
Harga bayangan peralatan dan perlengkapan seperti generator set,
blower, jet pump, kompor, fiber, corong, serokan larva, selang, terpal, baskom,
batu aerasi, ember, jaring, rak kayu, dan lainnya ditentukan berdasarkan harga
finansial karena tidak ada harga dunia untuk barang-barang tersebut.
Perhitungan harga bayangan dilakukan dengan mengurangkan harga finansial
dengan PPN sebesar 10%.
f) Harga bayangan listrik dan telepon
Listrik dan telepon merupakan input nontradable. Menurut PP No. 7
tahun 2007, listrik dibebaskan dari PPN. Harga bayangan listrik dan telepon
didekati berdasarkan harga finansialnya.
g) Harga bayangan BBM
Harga bayangan BBM ditentukan dari harga di tingkat bunker yaitu
harga sebelum subsidi yang diperoleh dari Pertamina. Pada tahun 2008 harga
49 bensin adalah Rp 8.339/L dan harga minyak tanah adalah Rp 10.000/L,
sedangkan tahun 2009 harga bensin adalah Rp 4.413/L dan harga minyak
tanah adalah Rp 5.052/L21.
h) Harga Bayangan Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan input nontradable. Tenaga kerja yang
digunakan dalam usaha pembenihan ikan patin Deddy Fish Farm adalah
tenaga kerja pria tidak terdidik. Perhitungan harga sosial tenaga kerja dalam
penelitian ini berdasarkan upah tenaga kerja jika negara dalam keadaan full
employment (diasumsikan tidak terdapat pengangguran). Penentuan harga
sosial tenaga kerja yaitu menambahkan 100% dengan persentase tingkat
pengangguran di wilayah penelitian (Jawa Barat) dikalikan dengan harga
finansialnya. Tingkat angka pengangguran terbuka pada tahun 2008 dan 2009
masing-masing sebesar 11,85% dan 10,57%22. Oleh karena itu, harga
bayangan tenaga kerja tidak terdidik tahun 2008 dan 2009 ditetapkan sebesar
111,85% dan 110,57% dari upah finansialnya.
i) Harga Bayangan Lahan
Biaya oportunitas lahan adalah nilai neto dari produksi yang hilang
bila penggunaan tanah diubah dari penggunaan tanpa proyek menjadi
penggunaan dengan proyek (Gittinger, 1986). Akan tetapi, sulit menentukan
besarnya harga oprtunitas dari lahan. Salah satu pendekatan lain yang dipakai
yaitu menggunakan sewa lahan karena ada sewa pasaran yang agak tesebar
luas dan bersaing. Perhitungan harga bayangan lahan dalam penelitian ini
21
22
http://www.pertamina.go.id (harga sementara) diakses tanggal 16 Juli 2010 http://www.depnakertrans.go.id/ diakses tanggal 3 Mei 2010 50 menggunakan sewa tanah karena aktivitas sewa menyewa lahan di tempat
penelitian cukup banyak.
j) Harga Bayangan Suku Bunga Modal
Deddy Fish Farm menggunakan modal sendiri dalam melakukan
usahanya. Penentuan tingkat suku bunga modal kerja berdasarkan tingkat suku
bunga deposito yang berlaku di bank BRI. Bank BRI merupakan bank yang
lokasinya paling dekat dengan lokasi penelitian dengan bunga sebesar 6%.
Harga bayangan bunga modal kerja berdasarkan tingkat bunga deposito di
negara yang tingkat perkembangan perekonomiannya sama dengan Indonesia
yaitu negara Malaysia23 sebesar 3,47% pada tahun 2008 dan 2,09% pada tahun
200924. k) Harga Bayangan Nilai Tukar
Harga sosial nilai tukar rupiah adalah harga uang domestik kaitannya
dengan mata uang asing dalam kondisi pasar persaingan sempurna.
Keseimbangan nilai tukar terjadi bila semua pembatas dan subsidi terhadap
ekspor dan impor dihilangkan. Keseimbangan tersebut dapat didekati dengan
SCF (Standard Conversion Factor). Rumus yang digunakan menurut Squire
dan van der Tax (1975) dalam Gittinger (1986) yaitu:
OERt
= Nilai tukar resmi (Official Exchange Rate) pada tahun t
SERt
= Nilai tukar bayangan (Shadow Exchange Rate) pada tahun t
Keterangan : t dimaksud yaitu tahun 2008-2009
SCF dapat dihitung dengan rumus seperti yang telah digunakan oleh
para peneliti yang lain, yaitu dengan membandingkan semua nilai impor dan
23
24
http://www.bappenas.go.id/ diakses tanggal 19 Juli 2010 http:// www.tradingeconomics.com/ diakses tanggal 2 Agustus 2010 51 ekspor (berdasarkan harga batas) dengan nilai-nilai berdasarkan harga
domestik. Secara matematis formulasi untuk mencari nilai SCF tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut (Rosegrant, 1987 dalam Novianti, 2003):
Keterangan:
SCFt
Mt
Xt
Mxt
Txt
= Faktor konversi baku untuk tahun t
= Nilai impor pada tahun t
= Nilai ekspor pada tahun t
= Pajak impor pada tahun t
= Pajak ekspor pada tahun t
Tabel 10. Perhitungan Standart Conversion Factor dan Shadow Price
Exchange Rate 2008-2009 (Milyar Rp)
Tahun
Xt
Mt
Txt
Mxt
OER
SCFt
SER
2008
1.338.918,7
1.262.475,9
13578,3
22.763,8
9.771,67
0,996
9.806,17
2009
1.206.389,9
1.003.055,8
9335,6
19.160,4
10.356,17
0,996
10.402,218
Sumber : Departemen Perdagangan (2010)
Hasil perhitungan yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel
10menunjukkan bahwa nilai tukar bayangan pada tahun 2008 sebesar
Rp 9.806,70 dan pada tahun 2009 Rp 10.402,22. Nilai tukar bayangan lebih
besar daripada nilai tukar resmi karena SCF yang merupakan pembagi
besarnya kurang dari satu.
4.5.
Policy Analysis Matrix (PAM)
PAM
merupakan
matriks
informasi
mengenai
kebijakan
pertanian/sumberdaya alam dan ketidaksempurnaan pasar dari faktor domestik
terkait. Matriks ini disusun dengan membandingkan neraca sistem usahatani atau
penggunaan lahan yang dihitung dengan harga finansial (berdasarkan harga aktual
pasar lokal) di satu sisi dan neraca yang dihitung dengan estimasi harga
ekonomisnya atau harga sosial (yang mencerminkan efisiensi penggunaan
52 sumberdaya) di sisi yang lain. Secara sederhana kerangka Matriks Analisis
Kebijakan disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Matriks Analisis Kebijakan
Keterangan
Biaya
Penerimaan
Harga finansial/harga privat
A
Tradable Inputs
B
Harga ekonomi/harga sosial
E
I
F
J
Dampak kebijakan dan distorsi pasar
Keterangan:
A : Penerimaan Privat
B : Biaya Privat Input Tradable
C : Biaya Privat Input Nontradable
D : Keuntungan Privat
E
: Penerimaan Sosial
F
: Biaya Sosial Input Tradable
G
H
I
J
K
L
Profit
Nontradable
C
D
G
K
H
L
: Biaya Sosial Input Nontradable
: Keuntungan Sosial
: Transfer Output
: Transfer Input
: Transfer Faktor
: Transfer Bersih
Sumber: Monke dan Pearson (1989)
4.5.1. Perhitungan Analisis PAM
Dari Tabel PAM, dapat dilakukan analisis sebagai berikut (Pearson et al.,
2005):
1) Analisis Keuntungan
a) Keuntungan Privat (Privat Profitability - PP)
Keuntungan privat mengacu pada penerimaan dan pengeluaran aktual,
menunjukkan daya saing dari suatu sistem. Jika nilai PP > nol, berarti sistem
memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika nilai PP < nol, berarti sistem komoditas
tidak mendapatkan keuntungan. PP diperoleh dengan rumus:
Keuntungan Privat (D) = A – (B + C)
b) Keuntungan Sosial (Social Profitability – SP)
Keuntungan sosial adalah perhitungan untung-rugi dengan menggunakan
harga ekonomi/sosial yang mencerminkan tingkat efisiensi dari suatu sistem
usahatani atau penggunaan lahan. Sebuah negara akan mencapai pertumbuhan
ekonomi
yang
tinggi
dengan
mengedepankan
aktivitas-aktivitas
yang
53 menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi. Jika nilai SP > nol, maka sistem
memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika SP < nol, maka sistem komoditas tidak
memperoleh keuntungan. SP diperoleh dengan rumus:
Keuntungan Sosial (H) = E – (F + G)
2) Analisis Daya Saing melalui Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
a) Rasio Biaya Privat (Privat Cost Ratio – PCR)
PCR adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga
privat. Nilai PCR mencerminkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor
domestik pada harga privat. Nilai ini juga digunakan sebagai ukuran efisiensi
secara finansial dan menjadi satu indikator keunggulan kompetitif. Nilai PCR
diusahakan kurang dari satu karena untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu
satuan diharapkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu. Semakin
kecil nilai PCR maka semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki.
PCR dapat diperoleh dari rumus:
Rasio Biaya Privat (PCR) = C / (A - B)
b) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost - DRC)
DRC adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga
bayangan. Nilai ini digunakan sebagai ukuran efisiensi secara ekonomi dan
menjadi satu indikator keunggulan komparatif. Suatu kegiatan ekonomi juga
diharapkan memiliki nilai DRC yang kurang dari satu agar terjadi efisiensi secara
ekonomi
(menunjukkan
keunggulan
komparatif).
Apabila
nilai
DRC>1
menunjukkan semakin besar penggunaan sumberdaya atau terjadi pemborosan
sumberdaya domestik. DRC dapat diperoleh dari rumus:
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G / (E - F)
54 3) Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a) Kebijakan Output
i.
Transfer Output (Output Transfer – OT)
Analisis OT dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kebijakan
pemerintah mampu memberikan intensif kepada pelaku ekonomi. Nilai OT
positif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada output menyebabkan
harga privat output lebih besar dibandingkan harga bayangan output, yang
menunjukkan besarnya intensif masyarakat atau konsumen terhadap produsen,
dimana konsumen membayar lebih tinggi dari harga yang seharusnya
dibayarkan. Nilai OT yang negatif menunjukkan bahwa dengan adanya
distorsi kebijakan pemerintah, akan menyebabkan harga privat output menjadi
lebih rendah dibandingkan harga bayangan output. Nilai OT negatif juga
menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada harga output berupa subsidi
negatif. Formula dari OT:
Transfer Ouput (I) = A – E
ii. Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on
Tradable Output - NPCO)
NPCO merupakan rasio yang dibuat untuk mengukur transfer output.
Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik (privat) berbeda dengan
harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO<1) menunjukkan
adanya kebijakan pemerintah untuk menghambat ekspor komoditas dengan
pajak atau hambatan ekspor. Hal ini menyebabkan harga output domestik
lebih rendah dari harga dunia yang berarti harga output domestik
didisproteksi. Jika NPCO>1 berarti harga domestik lebih tinggi dari harga
dunia dan sistem usahatani menerima proteksi. Besarnya persentase NPCO
55 yang timbul akibat kebijakan pemerintah terhadap produsen output komoditas
benih ikan patin ditunjukkan oleh nilai NPRO . Formula untuk NPCO dan
NPRO: Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A / E
Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO) = (NPCO – 1) x 100%
b) Kebijakan Input
i. Transfer Input (Input Transfer – IT)
IT merupakan selisih antar input yang diperdagangkan pada harga
privat dan input yang diperdagangkan pada harga bayangan. Apabila nilai IT
positif berarti terdapat kebijakan subsidi negatif atau pajak pada input
produksi (menyebabkan transfer sumberdaya keluar dari sistem), sebaliknya
jika nilai IT negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input
(menyebabkan transfer sumberdaya ke dalam sistem). Formula untuk IT:
Transfer Input Asing = Transfer input tradable (J) = B – F
ii. Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Protection Coefficient in
Tradable Input – NPCI)
NPCI merupakan rasio untuk mengukur besarnya transfer input
tradable. NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan
pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Nilai NPCI yang lebih besar dari 1 (NPCI>1) berarti terdapat kebijakan
proteksi terhadap produsen input, sehingga biaya input domestik lebih mahal
daripada biaya input pada tingkat harga dunia, seolah-olah sistem dibebani
pajak oleh kebijakan yang ada. Sebaliknya jika nilai NPCI lebih kecil dari 1
(NPCI<1) berarti terdapat subsidi terhadap input tersebut yang menyebabkan
biaya input domestik lebih rendah daripada biaya input pada tingkat harga
56 dunia. Besarnya persentase NPCI yang timbul akibat kebijakan pemerintah
terhadap konsumen input ditunjukkan oleh nilai NPRI. Formula untuk NPCI
dan NPRI:
Koefisien Input Nominal (NPCI) = B / F
Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI) = (NPCI – 1) x 100%
iii. Trasfer Faktor (Factor Transfer – FT)
FT menunjukkan kebijakan pemerintah terhadap input domestik. FT
merupakan selisih antara biaya produksi privat nontradable dengan biaya
produksi nontradable yang dihitung pada harga bayangan. Jika nilai FT positif
menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input non tradable.
Sedangkan jika nilai FT negatif , berarti terdapat subsidi positif pada input
nontradable. Rumus dari FT:
Transfer Input Domestik = Transfer Faktor (K) = C – G
c) Kebijakan Input-Output
i. Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient - EPC)
EPC digunakan untuk menunjukkan dampak transfer gabungan yang
disebabkan oleh sebuah kebijakan (policy transfer), baik transfer output
tradable maupun transfer input tradable. Nilai EPC menggambarkan sejauh
mana kebijakan pemerintah mampu melindungi atau menghambat produksi
domestik secara efektif. EPC merupakan rasio antara selisih penerimaan dan
biaya input tradable yang dihitung pada harga privat (nilai tambah pada
tingkat harga domestik) dengan selisih penerimaan dan biaya input tradable
yang dihitung pada harga bayangan (nilai tambah pada tingkat harga dunia).
Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukkan berarti kebijakan yang
57 melindungi produsen domestik berjalan efektif, sedangkan jika nilai EPC lebih
kecil dari satu menunjukkan bahwa kebijakan yang melindungi produsen
domestik tidak berjalan efektif. EPR merupakan bentuk lain dari EPC,
menunjukkan distorsi perdagangan. Formulasi dari EPC dan EPR:
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A - B) / (E - F)
Tingkat Proteksi Efektif (EPR) = (EPC - 1) x 100%
ii. Transfer Bersih atau Net Transfer (NT)
NT digunakan untuk melihat besarnya tambahan surplus produsen atau
berkurangnya surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
NT merupakan penjumlahan dari semua dampak transfer (transfer output,
transfer input tradable, dan transfer faktor) baik positif maupun negatif.
Transfer bersih juga menunjukkan selisih antara keuntungan privat dan
keuntungan sosial. Nilai NT yang positif menjukkan bahwa adanya kebijakan
insentif membuat surplus produsen bertambah, sedangkan nilai NT yang
negatif mengakibatkan surplus produsen berkurang. Rumus dari NT:
Transfer Bersih (L) = I – (K + J) = D – H
iii. Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient - PC)
PC digunakan untuk mengukur dampak dari seluruh transfer atas
keuntungan privat. Nilai PC menunjukkan pengaruh gabungan pada output,
input tradable, dan input nontradable. Rasio PC digunakan untuk melihat
dampak kebijakan yang menunjukkan perbedaan tingkat keuntungan privat
dan keuntungan sosial. Nilai PC juga menunjukkan pengaruh keseluruhan dari
kebijakan yang menyebabkan keutungan privat berbeda dengan keuntungan
sosial. Formulasi dari PC:
58 Koefisien Keuntungan (PC) = D / H
iv. Rasio Subsidi Produsen (Subsidy Ratio to Producer – SRP)
SRP adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak
transfer. SRP merupakan ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas
output. SRP yang bernilai negatif artinya kebijakan pemerintah menyebabkan
produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial
(opportunity cost) untuk berproduksi. Formulasi dari SRP:
Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP) = L / (E)
4.5.2. Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi
Penggunaan harga pasar dan harga sosial dalam matriks PAM
menunjukkan bahwa matriks PAM mencakup baik analisis finansial maupun
analisis ekonomi. Selain perbedaan dalam penggunaan harga, perbedaan kedua
analisis tersebut yaitu (Gittinger, 1986):
1) Biaya, dalam analisis ekonomi, biaya input adalah manfaat yang hilang bagi
perekonomian karena input tersebut digunakan (opprtunity cost bagi input).
2) Pembayaran Transfer
a) Pajak, dalam analisis ekonomi pembayaran pajak tidak dikeluarkan dari
manfaat kegiatan karena merupakan bagian dari hasil neto proyek yang
diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan bagi kepentingan
masyarakat keseluruhan, oleh karena itu tidak dianggap biaya.
b) Subsidi, dalam analisis finansial subsidi mengurangi biaya proyek,
sedangkan pada analisis ekonomi subsidi menurunkan harga barangbarang sehingga besarnya subsidi harus ditambahkan pada harga pasar
untuk mendapatkan harga sosial.
59 c) Bunga, dalam analisis ekonomi bunga modal tidak dipisahkan atau
dikurangkan dari hasil bruto. Sedangkan pada analisis finansial dibedakan
antara (a) bunga yang dibayarkan kepada orang-orang dari luar yang
meminjamkan uangnya kepada proyek dianggap sebagai biaya, dan (b)
bunga atas modal proyek tidak dianggap sebagai biaya karena merupakan
bagian dari pengembalian yang diterima oleh modal proyek.
Penyesuaian harga-harga dari analisis finansial ke analisis ekonomi dapat
dilihat pada Gambar 6 (Gittinger, 1986). Diagram pengambilan keputusan
digunakan dengan cara mengambil paket komoditas untuk dinilai di dalam proyek
pertanian. Selanjutnya diikuti sepanjang diagram sampai akhir dari diagram
tersebut tercapai, dimana saran penilaian untuk paket komoditas tersebut
diperoleh.
Pembayaran transfer langsung Bagan B Berwujud Termasuk sumber nyata yang digunakan Komoditas yang dinilai Tidak berwujud Diperdagangkan
Bagan C Tidak diperdagangkan Bagan D Tidak dinilai Sumber : Gittinger, 1986
Gambar 6. Bagan A. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan
Nilai Ekonomi : Langkah-langkah Utama
60 Pembayaran kepada/dari pemerintah Pembayaran transfer langsung Transaksi kredit Diabaikan
Pajak
Subsidi
Diabaikan
Penerimaan pinjaman Diabaikan
Pembayaran kembali pokok Diabaikan
Pembayaran bunga Diabaikan
Hutang
Sumber : Gittinger, 1986
Gambar 6. Bagan B. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan
Nilai Ekonomi : Pembayaran Transfer Langsung
Input proyek Diimpor dengan proyek Harga varietas impor Diekspor tanpa proyek Harga varietas ekspor Diperdagangkan
Output proyek Substitusi impor Ekspor
Harga varietas impor Harga varietas ekspor Sumber : Gittinger, 1986
Gambar 6. Bagan C. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan
Nilai Ekonomi : Komoditas yang Diperdagangkan
61 Biaya oportunitas: - Sewa - Harga beli - Perkiraan langsung Tanah
Tidak diproduksi Bekerja penuh tanpa proyek Upah pasaran Tidak bekerja penuh tanpa proyek
NPM TK yang bekerja penuh tanpa proyek TK
Input proyek Diproduksi domestik Tidak diperdagangkan Output proyek Memenuhi permintaan industri yang beroperasi dengan kapasitas penuh Harga pasar dari input Memenuhi permintaan industri yang memiliki kelebihan kapasitas Biaya marjinal memproduksi input Mengganti posisi barang lain di pasar Memenuhi permintaan baru
Sumber‐sumber yang dihemat dari produksi lainnya Proyek besar dalam hubungannya dengan harga; harga jatuh Proyek kecil dalam hubungannya dengan pasar; harga tidak terpengaruh (Harga tanpa+harga dengan)/2 Harga pasar tanpa proyek Sumber : Gittinger, 1986
Gambar 6. Bagan D. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan
Nilai Ekonomi : Komoditas yang Tidak Diperdagangkan
4.6.
Analisis Sensitivitas
Menurut Kadariah et al. (1978), analisis sensitivitas dilakukan dengan:
1) Mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah
atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu presentase dan menentukan
seberapa peka hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut.
2) Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah sampai ke hasil
perhitungan yang membuat proyek tidak diterima.
62 Analisis proyek membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan
dalam menentukan hasil dan proyek. Analisis sensitivitas dilakukan dengan
mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari
perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Proyek cenderung sensitif terhadap
kenaikan biaya oleh karena itu analisis sensitivitas terhadap biaya paling sering
dilakukan.
Analisis sensitivitas yang akan dilakukan pada penelitian ini yaitu:
1. Kenaikan UMR sebesar 7% terhadap upah tenaga kerja
2. Kenaikan inflasi sebesar 4% terhadap harga input
3. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika sebesar 6%
4. Penurunan permintaan terhadap harga output sebesar 20%
5. Pengurangan subsidi BBM terhadap kenaikan harga premium sebesar 40%
dan minyak tanah sebesar 200%
6. Penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10%
7. Adanya kelembagaan pemerintah
8. Analisis gabungan
63 V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
5.1.
Sejarah Lokasi
Usaha pembenihan ikan patin Deddy Fish Farm (DFF) pada awalnya
bernama Deddy-Budi Fish Farm (DBFF). DBFF didirikan tahun 1999 oleh kakak
beradik Bapak Budi dan Bapak Deddy. Usaha ini dilakukan dengan menyewa
rumah yang terletak di jalan Matoa Blok C No. 10A Komplek BTN Darmaga
Permai, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Awalnya usaha DBFF masih
bersifat sebagai pengumpul telur dari petani ikan di sekitar Bogor yang kemudian
ditetaskan dan dipelihara hingga menjadi ukuran siap jual. Hal ini dikarenakan
pada saat itu DBFF masih belum memiliki modal yang cukup untuk membeli
sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan usaha pembenihan.
Tahun 2000, DBFF mampu memiliki sarana dan prasarana yang memadai
untuk untuk melaksanakan usaha pembenihan ikan patin, sehingga pada tahun
yang sama DBFF mengalihkan usahanya dari pengumpul telur menjadi pembenih
ikan. Alasan utama DBFF memilih ikan patin sebagai produk usahanya karena
pada saat itu ikan patin konsumsi merupakan komoditas yang banyak dicari oleh
masyarakat terutama dari Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, ikan patin
merupakan ikan yang baru bisa dibudidayakan secara intensif sehingga peluang
pasarnya memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Selain
ikan Patin, DBFF juga melakukan usaha sampingan yaitu beternak ikan hias
seperti Tiger Catfish, Sinodontis, Discus, Stenopoma, dan Agamycus.
Bulan Agustus 2003, DBFF pindah lokasi ke Jalan Matoa Blok D No. 8A
dan Blok A No. 10A Cihideung Hilir Komplek BTN Darmaga Permai,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan oleh naiknya
64 permintaan benih terhadap DBFF sehingga DBFF memilih untuk pindah ke kedua
lokasi tersebut untuk meningkatkan volume produksinya. Awalnya kedua lokasi
digunakan untuk seluruh kegiatan pembenihan mulai dari pemeliharaan induk
hingga pemeliharaan larva sampai siap jual. Akan tetapi pada tahun 2007, rumah
yang berlokasi di Blok A No. 10A hanya digunakan untuk pemeliharaan larva
hingga siap jual, sedangkan rumah yang berlokasi di Blok D No. 8A digunakan
sebagai tempat memelihara induk, pemijahan, pendederan benih yang tertunda
penjualannya, dan sebagai basecamp usaha.
Tahun 2006 akhir, Bapak Budi meninggalkan DBFF karena membuka
usaha yang sama di daerah Kalimantan sehingga DBFF dipegang sepenuhnya oleh
Bapak Deddy dan berganti nama menjadi Deddy Fish Farm. Tahun 2007 DFF
menghentikan kontrak rumah yang terletak di Blok D No. 8A dan berpindah ke
daerah Cibanteng Sawah, Cihideung Hilir. Di lokasi baru ini DFF melakukan
kegiatan mulai dari pemeliharaan induk hingga pemeliharaan larva sampai siap
jual, sedangkan rumah yang berlokasi di
Blok A No. 10A tetap digunakan
sebagai tempat pemeliharaan larva hingga siap jual. Di lokasi Cibanteng Sawah
ini DFF memiliki kolam yang khusus digunakan untuk pemeliharaan induk dan
pendederan. Di lokasi ini juga DFF mulai mengintensifkan pembenihan ikan
bawal yang sebelumnya juga sudah digeluti.
5.2.
Struktur Organisasi
Deddy Fish Farm merupakan badan usaha milik swasta yang dipimpin
oleh seorang manajer. Sebelumnya DBFF berbentuk firma, namun setelah
berganti menjadi DFF berubah menjadi perusahaan perseorangan. Struktur
organisasi DFF dapat dilihat pada Gambar 7.
65 Manajer
Tenaga Kerja
Hitung Benih
Tenaga Kerja I
Tenaga Kerja
Penyuntikan
Tenaga Kerja II
Tenaga Kerja III
Keterangan :
: Tenaga Kerja Tetap
: Tenaga Kerja Tidak Tetap
Sumber: Perusahaan DFF (2009)
Gambar 7. Struktur Organisasi Deddy Fish Farm
Struktur organisasi DFF terdiri dari manajer, tenaga kerja utama I, II, III,
dan tenaga kerja tambahan untuk penyuntikan dan hitung benih. Manajer
dipegang oeh Bapak Deddy sendiri sebagai pemilik. Tenaga kerja I, II, dan III
merupakan tenaga kerja tetap DFF. Tenaga kerja I dan II memegang bagian
pembenihan ikan patin dari tahap awal sampai akhir, sedangkan tenaga kerja III
memegang pembenihan ikan bawal. Saat penyuntikan induk maupun hitung benih
yang akan dijual, DFF mengambil tenaga kerja dari luar. Bagian penyuntikan
dipegang oleh satu orang, sedangkan bagian hitung benih dipegang oleh dua
sampai tiga orang. Adapun tugas dari masing-masing bagian yaitu sebagai berikut:
1) Manajer
Manajer bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan dari awal sampai akhir,
mengoordinasikan
masing-masing bawahan, memberikan petunjuk, serta
apabila terjadi penyimpangan dan kendala segera mengambil langkah-langkah
yang diperlukan.
66 2) Tenaga Kerja I, II, dan III
Tenaga kerja memegang peranan dalam keseluruhan kegiatan berupa
pemeliharaan induk dan pemeliharaan larva (pemberian pakan, penyiponan,
penggantian air, pemberian antibiotik, packing, dan lain-lain).
3) Tenaga Kerja Penyuntikan
Bertanggung jawab terhadap semua rangkaian kegiatan penyuntikan, mulai
dari pemeriksaan tingkat kematangan gonad induk patin, penyuntikan, hingga
proses stripping.
4) Bagian Hitung Benih
Bertugas untuk menghitung benih sebelum packing sesuai jumlah permintaan
konsumen.
5.3.
Deskripsi Produk, Konsumen, dan Rantai Pemasaran
Ukuran benih yang dihasilkan DFF bervariasi, yaitu ukuran larva, ½, ¾, 1,
1½, hingga 2 inchi. Akan tetapi, DFF lebih terfokus pada benih dengan ukuran
larva, ¾ inchi, dan 1 inchi. Benih dengan ukuran 1½ dan 2 inchi biasanya
merupakan benih yang tertunda penjualannya saat periode sebelumnya. Benih
tersebut dipindahkan ke kolam pendederan dan dipelihara sampai ukuran 1½-2
inchi untuk dijual kembali pada periode penjualan berikutnya.
Konsumen DFF terdiri dari pembesar, pengumpul, dan supplier ikan yang
berasal dari berbagai daerah mulai dari Palembang, Tulung Agung Solo, Jatiluhur,
Kalimantan, dan petani-petani pembesaran ikan di sekitar Bogor. Banyaknya
konsumen disebabkan karena benih ikan patin di Bogor relatif lebih berkualitas
dibandingkan benih ikan patin yang dihasilkan di daerah lain. Rantai pemasaran
produk DFF ditunjukkan pada Gambar 8:
67 DFF
Pedagang
Pengumpul
(Broker)
Pedagang
Besar
Pedagang
Pengecer
Petani Pembesaran Ikan
Konsumen
Sumber: Perusahaan DFF (2009)
Gambar 8. Rantai Pemasaran Benih Ikan Produksi Deddy Fish Farm
5.4.
Fasilitas Pembenihan
Deddy Fish Farm merupakan usaha pembenihan yang masih berskala
menengah sehingga peralatan yang digunakan masih sederhana. Fasilitas tersebut
terdiri dari:
1) Wadah
a) Kolam
Kolam yang dimiliki DFF berdiri dari dua kolam kecil dan tiga buah
kolam besar dan yang semuanya berbentuk persegi panjang dengan ukuran
masing-masing 2mx1x0,9m dan 4mx3mx1,8m. Kolam yang kecil digunakan
untuk induk jantan. Kolam besar dibagi menjadi dua bagian tidak sama besar
yang dibatasi dengan pagar bambu. Bagian yang besar untuk pemeliharaan
induk betina, sedangkan bagian yang kecil digunakan untuk menampung
induk betina yang siap ovulasi.
b) Tandon
Tandon berfungsi sebagai wadah penampungan dan treatment air
sebelum digunakan dalam kegiatan pembenihan. DFF memiliki dua buah
68 tandon air yaitu satu tandon untuk masing-masing unit farm. Tandon air
seperti kolam tetapi dibatasi dengan semen dan diberi aerasi. Aerasi berfungsi
untuk menaikkan pH air sampai netral sehingga ikan/larva tidak mati karena
kondisi air yang terlalu asam.
c) Fiber
Fiber merupakan wadah penampungan yang berfungsi seperti kolam.
Fiber yang digunakan berbentuk tabung dengan ukuran diameter 1 m dan
tinggi 70 cm. Fiber digunakan untuk penampungan sementara induk yang
akan diovulasikan serta penampungan benih yang akan dihitung untuk dijual.
d) Akuarium
Pada tahun 2006, DFF masih menggunakan akuarium dengan ukuran
90x50x35cm berjumlah 120 unit. Tahun 2007 semua akuarium diganti dengan
ukuran yang lebih besar yaitu (120x50x40cm) berjumlah 68 unit agar lebih
efisien. Akuarium-akuarium tersebut ditata rapi di atas rak kayu. Fungsi
akuarium yaitu sebagai tempat pemeliharaan larva dari menetas hingga siap
jual.
e) Wadah kultur pakan alami
Pakan alami yang digunakan DFF yaitu Artemia sp dan cacing sutra.
Pakan yang berupa artemia, tidak langsung diberikan kepada larva melainkan
dikulturkan lebih dahulu agar menetas. Wadah yang digunakan untuk
mengulturkan artemia adalah ember yang totalnya 16 buah.
f) Fasilitas lain
Selain fasilitas di atas, DFF juga memiliki fasilitas lain yang digunakan
dalam pembenihan. Fasilitas lain yang dimiliki DFF misalnya jaring (untuk
69 menangkap induk), corong, serokan, baskom, kompor, selang, pompa air, hi
blow, blower, dan generator set.
2) Pengairan
Air yang digunakan oleh DFF dalam proses pembenihan berasal dari dua
sumber yaitu sungai kecil di sekitar farm dan sumur bor. Air sungai digunakan
dalam pemeliharaan induk sedangkan air sumur digunakan untuk pemeliharaan
larva di akuarium. Distribusi air sumur tersebut menggunakan pompa listrik
standar (pompa hisap).
5.5.
Manajemen Budidaya Ikan Patin
Manajemen budidaya terdiri dari beberapa hal. Pertama manajemen induk.
Kedua, pemijahan buatan. Ketiga, pemeliharaan larva. Keempat, panen,
perhitungan, dan transportasi benih.
5.5.1. Manajemen Induk
Manajemen induk terdiri dari dua hal. Pertama menentukan umur dan
ukuran induk. Kedua, manajemen harian yang berupa manajemen kolam induk
dan pemberian pakan.
5.5.1.1. Umur dan Ukuran Induk
Induk patin yang digunakan dalam pemijahan yaitu induk dengan umur
> 3 tahun dan berat ± 2,5 kg. Induk ukuran ini mudah ditangani, memerlukan
sedikit hormon, dan tingkat ovulasinya relatif tinggi. Jika bobot ikan tidak
memenuhi syarat (terlalu ringan) maka ovum yang dihasilkan juga lebih sedikit
dibandingkan ikan dengan bobot normal.
70 5.5.1.2. Manajemen Harian
Manajemen Kolam Pemeliharaan Induk
Beberapa kegiatan manajemen harian yang dilakukan yaitu memperbaiki
saluran inlet jika terjadi masalah. Misalnya mengencerkan air jika kualitas air
menurun (penggantian air), memasang saringan di inlet dan outlet, dan untuk
meningkatkan kadar oksigen, dipasang kincir air dan aerasi dari blower.
Pemberian Pakan
Pakan yang diberikan yaitu pelet komersial. Pakan sebaiknya diberikan
dalam dosis yang tepat. Jika pakan terlalu banyak akan mengakibatkan turunnya
kualitas air dan menimbulkan stres pada induk ikan.
5.5.2. Pemijahan Buatan
Pemijahan buatan terdiri dari beberapa hal. Sebelum pemijahan perlu
persiapan berupa estimasi jumlah induk dan persiapan bahan serta peralatan.
Selanjutnya dilakukan seleksi induk, penyuntikan hormon, striping, inseminasi,
serta pengamatan perkembangan telur dan larva.
5.5.2.1. Persiapan Pemijahan Buatan
Estimasi Jumlah Induk
Estimasi jumlah induk yang akan disuntik harus dilakukan. Membuat
target pada kegiatan pemijahan sangat penting untuk menjaga produksi yang
stabil dan efektif. Faktor utama yang membatasi jumlah induk yang disuntik yaitu
jumlah larva yang diinginkan dan kapasitas akuarium sebagai tempat
pemeliharaan larva. Selain itu, faktor yang menentukan apakah induk boleh
diovulasikan yaitu kematangan gonad. Kematangan gonad dilihat dari letak oosit
yang berada di pinggir ovum. Ovum yang matang akan cenderung berwarna
71 bening yang berarti ovum memasuki fase sempurna untuk dibuahi. Kondisi induk
juga menentukan siap atau tidaknya induk diovulasi. Misalnya induk yang baru
dipindahkan dari daerah lain cenderung stres. Induk tersebut belum boleh
diovulasikan karena ikan yang stres tidak akan berovulasi, kalaupun berovulasi
telur yang keluar cenderung berwarna putih (kurang baik untuk dibuahi). Jumlah
induk jantan lebih sedikit daripada induk betina karena sperma yang dihasilkan
satu induk jantan cukup untuk membuahi ovum dari beberapa induk betina.
Persiapan Bahan dan Peralatan
Setelah diketahui berapa induk yang akan disuntik, maka empat hari
sebelum diseleksi induk dipuasakan (minimal 24 jam sebelum seleksi). Pemberian
pakan pada induk dapat menyebabkan induk stres. Langkah-langkah dalam
persiapan meliputi perencanaan, pengecekan kondisi peralatan, dan inkubasi
induk.
5.5.2.2. Seleksi Induk
Seleksi induk betina harus dilakukan lebih dahulu daripada induk jantan,
sebab biasanya induk betina lebih sulit mencapai kematangan dibandingkan induk
jantan. Seleksi induk dilakukan dengan menangkap induk terlebih dahulu
menggunakan jaring. Kegiatan penangkapan induk harus dilakukan dengan hatihati untuk meminimalisir stres pada induk. Induk yang tertangkap dengan jaring
harus diangkat dan dimasukkan ke wadah penanganan yang lebih kecil (kolam
pemberokan). Saat diangkat maupun dipindahkan, induk ditutupi dengan kain
agar induk tidak berontak. Induk ditempatkan di kolam pemberokan selama satu
hari dan tidak diberi pakan.
72 Setelah satu hari, induk diperiksa apakah sudah siap ovulasi atau belum.
Siap atau tidaknya induk untuk diovulasikan bisa dilihat melalui pengamatan
visual. Ciri-ciri induk yang baik yaitu bagian perut besar dan mengembang, alat
kelaminnya berwarna merah, apabila bagian bawah perut diraba maka terasa
lembut dan apabila ditekan maka akan kembali seperti semula. Cara lainnya yaitu
dengan kanulasi. Ovum (telur) dicek menggunakan selang (kateter). Kateter
dimasukkan ke dalam alat kelamin induk untuk diambil telurnya, kemudian
kateter dihisap dan ditarik secara perlahan. Telur yang diperoleh dicek apakah
bentuk dan ukurannya sudah seragam atau belum. Jika sudah, berarti induk siap
diovulasikan. Induk tersebut dipindahkan ke dalam fiber untuk selanjutnya
dilakukan penyuntikan.
5.5.2.3. Penyuntikan Hormon
Ovulasi tidak bisa terjadi tanpa stimulasi hormon buatan, sehingga
penyuntikan hormon pada induk betina harus dilakukan. Bahan untuk merangsang
ovulasi pada ikan patin yaitu pada awalnya menggunakan hipofisa ikan mas
(sebagai donor). Kemudian DFF beralih ke hormon buatan yaitu ovaprim karena
lebih murah dibandingkan hipofisa ikan mas. Tetapi karena ovaprim bukan
hormon alami maka memiliki kelemahan yaitu dosis yang disuntikkan harus
dibatasi karena bisa mengakibatkan overegg. Hormon disuntikkan pada punggung
atas kanan/kiri (intramuscular) atau di bawah sirip dada (intrapheriptonial).
Penyuntikan dilakukan dua kali dengan jarak antar penyuntikan yaitu jika
musim penghujan 20 jam, jika musim kemarau 24 jam (bila kondisi tidak bagus
bisa lebih dari itu). Penyuntikan pertama dilakukan sore hari menjelang malam
dengan tujuan agar penetasan larva terjadi pada pagi hari yang akan
73 mempermudah proses pemeliharaan larva ke depan. Setelah penyuntikan pertama,
induk betina diletakkan di kolam kecil bersama dengan induk jantan sampai tahap
penyuntikan berikutnya. Jika induk siap ovulasi sebelum waktu yang telah
ditentukan maka penyuntikan kedua tidak perlu dilakukan.
5.5.2.4. Striping
Striping merupakan pengecekan ovulasi, dilakukan dengan cara mengurut
perut induk dengan pijatan yang lembut pada bagian abdomen dari arah kepala ke
lubang genital. Jika tidak bisa diovulasikan dengan striping yang lembut atau
dengan kata lain membutuhkan pijatan yang kuat pada abdomen, berarti ovulasi
belum terjadi. Proses striping harus dihentikan dan induk harus dikembalikan ke
wadah inkubasi induk dan ditunggu sekitar satu jam lagi. Striping yang
dipaksakan menyebabkan sel telur yang diovulasikan tidak total atau parsial, lebih
lanjut menyebabkan ikan sangat stres dan akhirnya mati. Jika waktu striping
optimum (tepat), maka sel telur keluar dengan lancar sehingga waktu striping dan
handling menjadi lebih singkat dan induk segar kembali dengan stres yang
minimal.
Selanjutnya dilakukan striping pada induk jantan. Ciri induk jantan yang
siap membuahi yaitu mengeluarkan cairan sperma putih kental dengan mudah.
Setelah diketahui kualitas sperma bagus maka dilakukan striping pada induk
jantan untuk mengambil spermanya. Striping dilakukan dengan pijatan tangan
sepanjang posisi testis pada abdomen jantan. Spema yang keluar langsung
ditampung pada wadah yang sudah berisi sel telur.
74 5.5.2.5. Inseminasi (Pembuahan)
Sel telur dan sperma yang sudah terkumpul dicampur dengan NaCl dan
diaduk secara perlahan menggunakan sendok. Tujuannya untuk mengencerkan
sperma agar sperma dan sel telur tercampur lebih merata. Setelah diaduk secara
merata, maka langkah selanjutnya adalah pembuahan. Sel telur yang telah dibuahi
sperma akan menjadi telur yang berwarna putih. Telur-telur tersebut kemudian
dipindahkan ke akuarium yang telah disiapkan. Telur yang baik akan menempel
di dasar akuarium, sedangkan telur yang jelek akan melayang di dalam air.
Selanjutnya ke dalam akuarium yang telah berisi telur-telur tadi dimasukkan
antibiotik dengan tujuan untuk mencegah telur
terserang jamur yang bisa
menyebabkan telur gagal menetas.
5.5.2.6. Pengamatan Perkembangan Telur dan Larva
Setelah pembuahan, perubahan bentuk (transfomasi) drastis terjadi pada
telur dan akhirnya didapatkan larva menetas setelah 20-24 jam dari pembuahan.
Selama proses transformasi, beberapa telur atau larva tidak dapat berkembang
secara normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyebab internal dan atau eksternal
yang mengakibatkan rendahnya derajat pembuahan atau kelangsungan hidup
larva. Oleh karena itu sangat penting untuk mengamati telur dan larva secara hatihati selama proses transformasi. Hal itu bertujuan untuk mengevaluasi kualitas
larva/telur dan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan teknik pemeliharaan
larva. Telur yang akan menetas berwarna bening/transparan sedangkan telur yang
gagal menetas berwarna putih. Telur menetas tidak bersamaan tetapi secara
bertahap.
75 5.5.3. Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva terdiri dari beberapa hal. Pertama persiapan wadah.
Kedua, pemberian pakan dan perawatan larva. Ketiga, penyiponan dan
penggantian air untuk menjaga kualitas air.
5.5.3.1. Persiapan Wadah Pemeliharaan
Pemeliharaan larva patin dilakukan dalam ruangan tertutup. Larva yang
baru menetas dipindahkan ke akuarium lain yang berisi air bersih. Padat
penebaran yaitu 10.000-15.000 ekor/akuarium. Akuarium dipasangi aerator untuk
memberikan suplai oksigen. Suhu optimum untuk pemeliharaan yaitu 29-32ºC. Di
dalam ruangan diberi kompor minyak atau heater untuk menaikkan suhu.
5.5.3.2. Pemberian Pakan
Larva patin yang baru menetas memiliki tubuh yang transparan dan
panjang total sekitar 4 mm. Fungsi-fungsi untuk menangkap makanan, seperti
mata dan sirip belum berkembang. Oleh karena itu larva belum mampu
memanfaatkan pakan dari luar. Larva yang baru menetas menggunakan kuning
telur yang terletak di bagian abdomen sebagai pakan internal untuk
mempertahankan hidupnya.
Selama proses penyerapan kuning telur, beberapa fungsi tubuh untuk
menangkap pakan terbentuk. Jika larva tidak dapat menangkap pakan setelah
kuning telur habis, maka larva tidak bisa tumbuh dan berkembang lebih lanjut dan
akhirnya mati. Pemberian pakan pertama pada waktu yang tepat merupakan hal
yang sangat mendasar dalam pemeliharaan larva. Pemberian makan pertama
sekitar 36 jam setelah menetas, larva mulai diberi pakan artemia sampai umur 3
hari. Frekuensi pemberian pakan yaitu 3 kali sehari. Jika sudah memungkinkan,
76 larva umur 4 hari mulai diberi pakan cacing sutra (Tubifex). Cacing yang
diberikan harus dicincang sampai halus. Cacing terebut diberikan secara bertahap,
awalnya masih dicampur dengan artemia, lama-kelamaan baru diberikan cacing
murni. Frekuensi pemberian pakan cacing yaitu 3 kali sehari.
Setelah ikan berukuran ¾" (kira-kira umur 15 hari), pemberian pakan
beralih ke pelet. Awalnya pelet yang diberikan dicampur dengan cacing. Transisi
2-3 hari baru diberikan murni pelet. Pelet diberikan secara bertahap menurut
ukuran pelet. Pelet berbentuk butiran berukuran 0,5 mm diberikan selama 1
minggu, kemudian beralih ke pelet yang berukuran 2 mm.
5.5.3.3. Perawatan Larva
Selama pemeliharaan, ke dalam akuarium diberikan antibiotik. Antibiotik
yang biasa digunakan adalah Blitz ICH. Tujuannya yaitu untuk mencegah larva
maupun benih terkena penyakit misalnya jamur.
5.5.3.4. Penyiponan
Penyiponan bertujuan untuk membuang kotoran, pakan yang tidak
dimakan, dan larva yang mati. Penyiponan dilakukan menggunakan selang sipon.
Penyiponan dilakukan setelah pemberian pakan. Caranya yaitu ujung selang
dimasukkan ke dalam air, ujung yang lain dihisap agar kotoran dan sisa pakan
tertarik keluar.
5.5.3.5. Penggantian Air
Penggantian air dilakukan 1-2 hari sekali. Biasanya penggantian air
dilakukan pada siang hari. Caranya yaitu menggunakan selang yang diberi corong
dengan ujung corong diberi jaring. Air disedot dengan menggunakan selang
tersebut. Fungsi jaring yaitu mencegah larva ikut tersedot (ukuran lubang jaring
77 disesuaikan dengan ukuran larva). Air di akuarium disisakan 1/3-1/2nya
tergantung ukuran ikan dan kebutuhan. Setelah air dikurangi, dinding akuarium
dibersihkan dengan kain lap. Penggantian air harus dilakukan dengan hati-hati.
Suhu air lama dengan air baru tidak boleh berbeda ≥ 1º karena bisa menyebabkan
larva menjadi stres.
5.5.4. Panen dan Pascapanen
Tahap panen merupakan tahap ketika larva atau benih sudah cukup umur
dan siap dijual. Tahap pascapanen terdiri dari dua hal. Pertama, perhitungan larva
atau benih. Kedua, transportasi larva atau benih.
5.5.4.1. Panen Benih
Setelah benih berumur 15 hari, ukurannya sekitar ¾ inchi, jika dipelihara
sampai umur 30 hari ukurannya sudah mencapai 1 inchi. Dua ukuran inilah yang
umumnya DFF panen untuk dijual. Cara panen: benih dipindahkan ke dalam
fiber, kemudian diayak dengan baskom yang berlubang-lubang dengan diameter
tertentu. Benih yang ukurannya terlalu kecil akan lolos dari lubang sehingga yang
tersisa dalam baskom hanya benih yang berukuran besar.
5.5.4.2. Menghitung Benih
Sistem penghitungan benih pada DDF ada dua macam yang masingmasing disesuaikan dengan kondisi benih. Sistem penghitungan yang dilakukan
yaitu menghitung secara manual dan menghitung dengan sistem takar.
Menghitung Satu-persatu (Manual)
Cara ini digunakan bila ukuran benih kurang seragam, misalnya jika
terdapat 3 atau lebih tipe ukuran benih atau bila warna benih tidak seragam karena
ada benih yang sebelum dipanen terkena penyakit. Caranya yaitu benih yang
78 sudah disaring memakai baskom berlubang tadi dipindahkan ke baskom berisi air
yang telah dipasangi jaring di bagian atasnya. Jaring tersebut sebagian
dimasukkan ke dalam air baskom sehingga benih masih bisa berenang di atas
jaring. Benih-benih tersebut diambili dengan menggunakan centong dan dihitung
lalu dipindahkan ke baskom lain yang berisi air. Benih yang ukurannya terlalu
besar maupun terlalu kecil namun belum terseleksi oleh baskom berlubang
dimasukkan ke ember terpisah. Benih yang terlalu besar akan dikembalikan lagi
ke akuarium atau dimasukkan ke kolam pendederan, sedangkan benih yang terlalu
kecil akan dimasukkan kembali ke akuarium untuk dipelihara sampai ukurannya
memenuhi syarat.
Cara ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cara ini yaitu
jumlah benih dapat dihitung secara tepat. Kelemahannya yaitu tidak efisien
karena harus menghitung satu persatu, membutuhkan tenaga kerja lebih banyak
dibandingkan menghitung dengan cara takar yaitu sekitar 2-3 orang serta
memakan waktu lama.
Menghitung dengan Sistem Takar
Cara ini digunakan bila ukuran dan warna benih cenderung seragam
(±80%). Caranya yaitu benih dipindahkan dari akuarium ke fiber. Tiap fiber berisi
kira-kira 30.000-50.000 benih. Benih diayak dan dimasukkan ke dalam takaran.
Dalam tiap takaran dengan tinggi tertentu dihitung berapa ekor benih yang ada.
Misalnya 500 ekor per takaran dengan tinggi yang sudah ditetapkan. Ulangi
sampling sampai 3 kali. Setelah diperoleh rata-rata jumlah benih per takaran (A),
maka jumlah semua benih adalah A x jumlah takaran.
79 Penghitungan larva umur 1 hari juga menggunakan sistem takar. Caranya
yaitu menggunakan tutup botol air minum 1,5 liter. Larva dimasukkan ke dalam
tutup botol (tanpa air), 1 tutup botol diperkirakan berisi 10.000 larva.
Menghitung dengan sistem takar juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan cara ini yaitu lebih efisien, lebih sedikit tenaga kerja yang diperlukan,
dan menghemat waktu. Kelemahannya yaitu jumlah benih tidak bisa dipastikan
secara tepat karena hanya menggunakan perkiraan.
5.5.4.3. Transportasi Benih
Persiapan Benih
Benih yang akan dipacking harus dipuasakan terlebih dahulu. Bila tidak
dipuasakan, benih akan muntah dan mengeluarkan kotoran sehingga dapat
menurunkan kualitas air. Benih tersebut dipuasakan selama 48 jam. Benih yang
akan dipacking juga harus dalam keadaan sehat agar tetap hidup sampai tujuan.
Transportasi Benih
1) Cara Terbuka
Cara ini biasanya digunakan untuk jarak dekat atau jalan yang ditempuh
adalah jalan darat. Wadah yang digunakan biasanya drum plastik (gentong
plastik) atau fiber glass. Benih yang diangkut menggunakan drum jauh-jauh hari
sebelum pengangkutan sudah dihitung dan dimasukkan ke dalam drum, sehingga
ketika hari pengangkutan tiba, drum tinggal dipindahkan ke mobil pengangkut.
Tiap mobil dapat mengangkut 8 buah drum. Kelebihan cara ini yaitu bila
pengangkutan tertunda satu hari, namun aerasi masih berjalan maka benih masih
dalam kondisi baik.
80 Tahapan:
a) Isi drum palstik atau fiber glass dengan air bersih sampai penuh sehingga pada
saat pengangkutan tidak terjadi goncangan yang dapat menyebabkan ikan
stres. Tiap satu drum berisi sekitar 30.000 ekor benih (untuk ikan patin siam
harus ada rongga disekitar tutup wadah pengangkutan karena ikan patin siam
perlu mengambil oksigen dari udara).
b) Larutkan antibiotik (untuk mencegah terjadinya infeksi oleh bakteri).
Antibiotik yang sering digunakan adalah tetracycline dengan dosis 5-10 ppm.
c) Pasang aerasi oksigen murni pada wadah pengangkutan. Alirkan oksigen
murni ke dalam wadah tersebut.
d) Masukkan ikan yang akan diangkut.
e) Masukkan es yang sudah dibungkus dengan plastik (untuk menurunkan suhu
selama pengangkutan).
2) Cara Tertutup
Cara ini paling sering dilakukan karena mudah dan aman untuk jarak
dekat maupun jauh. Ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 40x60
cm yang diisi air dan oksigen murni.
Tahapan:
a) Kantong plastik yang digunakan harus dua lapis.
b) Tampung ikan ke dalam ember sebelum dipacking.
c) Masukkan ikan ke dalam plastik, untuk larva umur 1 hari per plastik berisi
10.000 ekor, untuk
benih ukuran ¾” dan 1” per plastik diisi 1000
ekor/kantong atau jika pengangkutan jarak jauh 500 ekor/kantong.
81 d) Tambahkan air bersih ke dalam kantong plastik sampai volumenya 1/3 dari
volume kantong plastik.
e) Buang udara yang ada di dalam kantong plastik tersebut.
f) Isi kantong plastik tersebut dengan oksigen murni sampai kantong
menggelembung dengan perbandingan volume air dan oksigen murni 1:2.
g) Simpulkan ujung kantong plastik tesebut dan ikat dengan karet.
h) Masukkan kantong plastik tersebur ke dalam styrofoam lalu diberi 1 atau 2
bungkus es.
i) Tutup styrofoam dan lakban sambungan antara tutup dengan bagian bawah
styrofoam dengan rapat.
Langkah h dan i digunakan untuk pengangkutan jarak jauh menggunakan
pesawat terbang. Packing cara ini dilakukan beberapa jam sebelum pengangkutan.
Ketika akan diangkut, plastik packing tersebut diganti airnya, diberi elbazu untuk
mencegah ikan stres, dan diberi oksigen murni. Pemberian oksigen kedua ini
bertujuan agar ikan tidak kekurangan oksigen.
3) Transportasi Larva Satu Hari
Prinsip dasar transportasi larva satu hari sama dengan transportasi benih
dengan cara tertutup, yaitu minimal 2/3 bagian plastik diisi oksigen murni. Larva
satu hari yang sudah diketahui jumlahnya dikemas dengan menggunakan plastik
ukuran yang sama seperti pengemasan benih. Tiap kantong berisi 10.000 larva. Di
dalam kantong dimasukkan elbazu untuk mencegah larva stres.
82 VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF
USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM
DEDDY FISH FARM
Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk
mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan usaha pembenihan ikan
patin dalam bersaing dan memanfaatkan peluang pasar internasional. Alat analisis
yang digunakan adalah Matriks Analisis Kebijakan (PAM) yang disusun
berdasarkan data penerimaan, biaya produksi, dan biaya tataniaga yang dibagi
dalam dua bagian yaitu harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial).
Masing-masing biaya produksi pada harga finansial dan ekonomi dibagi menjadi
tradable (asing) dan nontradable. Hasil perhitungan dari penerimaan, biaya
produksi, dan tataniaga dapat dilihat pada Lampiran 14. Setelah perhitunganperhitungan tersebut dilakukan, maka disusunlah matriks PAM yang dapat dilihat
pada Tabel 12 dan Tabel 13.
Tabel 12. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun
2008 (Rp/Tahun)
Keterangan
Harga finansial
Harga ekonomi
Dampak kebijakan
Penerimaan
166.500.000
166.500.000
0
Biaya
Tradable Inputs
Nontradable
23.899.010
78.106.910
23.331.944
81.176.567
567.067
-3.069.657
Profit
64.494.080
61.991.489
2.502.591
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Tabel 13. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF tahun
2009 (Rp/Tahun)
Keterangan
Harga finansial
Harga ekonomi
Dampak kebijakan
Penerimaan
156.750.000
156.750.000
0
Biaya
Tradable Inputs
Nontradable
24.426.140
79.059.180
22.158.616
76.958.262
2.267.524
2.100.918
Profit
53.264.680
57.633.122
-4.368.442
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Setelah tabel PAM disusun, maka dilakukan perhitungan untuk
mendapatkan nilai-nilai yang akan menjadi indikator tingkat keuntungan yang
83 diperoleh dari ekspor komoditas benih ikan patin pada kondisi finansial dan
ekonomi, nilai keunggulan komparatif dan kompetitif, serta nilai untuk mengukur
pengaruh kebijakan pemerintah pada output dan input. Berdasarkan Tabel 12 dan
Tabel 13, diperoleh indikator-indikator Policy Analysis Matrix yang disajikan
pada Tabel 14.
Tabel 14. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix
Indikator
Keuntungan Privat - PP (Rp)
Rasio Biaya Privat – PCR
Keuntungan Sosial - SP (Rp)
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Transfer Output - OT (Rp)
Koefisien Proteksi Output Nominal – NPCO
Tingkat Proteksi Ouput Nominal - NPRO (%)
Transfer Input - IT (Rp)
Koefisien Proteksi Input Nominal – NPCI
Tingkat Proteksi Input Nominal - NPRI (%)
Transfer Faktor - FT (Rp)
Koefisien Proteksi Efektif - EPC
Persentase EPC - EPR (%)
Transfer Bersih - NT (Rp)
Koefisien Keuntungan – PC
Rasio Subsidi Produsen – SRP
2008
64.494.080
0,548
61.991.489
0,567
0
1
0
567.067
1,024
2,4
-3.069.657
0,996
-0,4
2.502.591
1,04
0,015
2009
53.264.680
0,597
57.633.122
0,572
0
1
0
2.267.524
1,102
10,2
2.100.918
0,983
-1,7
-4.368.442
0,924
-0,028
Sumber : Pengolahan Data (2010)
6.1.
Analisis Keuntungan
Analisis keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial.
Keuntungan privat dilihat berdasarkan harga yang terjadi di pasaran. Keuntungan
sosial dilihat berdasarkan harga bayangan.
6.1.1. Analisis Keuntungan Privat
Tabel PAM menunjukkan besarnya keuntungan privat yang diperoleh
tahun
2008
dan
2009
yaitu
sebesar
Rp
64.494.080/tahun
dan
Rp 53.264.680/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin
memiliki keuntungan privat. Tingkat keuntungan privat yang positif disebabkan
karena hasil penerimaan perusahaan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang
84 dikeluarkan dalam proses produksi komoditas benih ikan patin. Keuntungan privat
tahun 2008 lebih besar dibandingkan tahun 2009. Hal ini disebabkan harga benih
patin tahun 2008 lebih tinggi dibandingkan 2009 sehingga penerimaan tahun 2008
lebih besar daripada tahun 2009 walaupun kuantitas antara kedua tahun sama.
Penurunan harga benih patin pada 2009 disebabkan karena permintaan konsumen
terhadap benih patin berkurang sehingga petani harus menurunkan harga. Selain
itu biaya tahun 2009 lebih tinggi daripada 2008 karena harga-harga input tahun
2009 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya akibat adanya inflasi.
6.1.2. Analisis Keuntungan Sosial
Tabel 12 dan 13 menunjukkan keuntungan sosial yang diperoleh tahun
2008 dan 2009 sebesar Rp 61.991.489/tahun dan Rp 57.633.122/tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin memiliki keuntungan sosial.
Keuntungan sosial yang bernilai positif tersebut karena penerimaan sosial lebih
besar dibandingkan dengan biaya produksi sosial. Selisih keuntungan sosial antara
kedua tahun tidak besar karena walaupun penerimaan tahun 2008 lebih besar
dibandingkan 2009, biaya sosial produksi tahun 2008 seperti bunga modal, garam,
obat-obatan, dan pakan juga lebih besar daripada 2009.
Tingkat keuntungan sosial pada tahun 2008 lebih kecil dibandingkan
tingkat keuntungan finansial tahun 2008. Hal ini disebabkan lebih tingginya harga
sosial beberapa input seperti BBM dan upah tenaga kerja. Hal sebaliknya terjadi
pada tahun 2009, tingkat keuntungan sosial pada tahun 2009 lebih besar
dibandingkan tingkat keuntungan finansial tahun 2009. Hal ini disebabkan harga
sosial beberapa input seperti induk patin, obat-obatan, pakan, peralatan, dan
perlengkapan lebih rendah dibandingkan harga finansialnya.
85 6.2.
Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Analisis keunggulan kompetitif dilihat dari Rasio Biaya Privat (PCR).
Analisis keunggulan komparatif dilihat dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik
(BSD). Suatu usahatani diharapkan memiliki nilai PCR maupun DRC kurang dari
satu agar memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif.
6.2.1. Rasio Biaya Privat (PCR)
Tabel 14 memperlihatkan bahwa nilai PCR yaitu sebesar 0,548 dan 0,597.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah benih patin
sebesar 100% diperlukan biaya faktor domestik sebesar 54,8% dan 59,7%. Nilai
PCR kurang dari satu mencerminkan bahwa usaha pembenihan ikan patin DFF
efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR tahun 2008
lebih rendah dibandingkan 2009 karena biaya finansial produksi tahun 2008 lebih
kecil dibandingkan 2009 dan penerimaan privat 2008 lebih besar daripada 2009.
6.2.2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)
Tabel 14 memperlihatkan nilai DRC tahun 2008 sebesar 0,567 dan tahun
2009 sebesar 0,572. Ini berarti untuk meningkatkan nilai benih patin sebesar
100% diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 56,7% pada 2008 dan
57,2% pada 2009. Berdasarkan nilai DRC tersebut, maka usaha pembenihan ikan
patin efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC
tahun 2008 lebih rendah dibandingkan 2009. Hal ini disebabkan faktor penyebut
(penerimaan sosial dikurangkan dengan biaya sosial input tradable) pada tahun
2008 lebih besar dibandingkan 2009.
Tahun 2008 nilai PCR lebih kecil dibandingkan DRC karena biaya sosial
produksi lebih besar dibandingkan biaya finansialnya. Artinya tahun 2008
86 keunggulan kompetitif lebih tinggi daripada keunggulan komparatif (kebijakan
pemerintah berjalan efektif). Nilai PCR yang lebih besar dari nilai DRC pada
2009 disebabkan biaya sosial produksi lebih kecil dibandingkan biaya finansial
produksi. Artinya keunggulan kompetitif lebih rendah dibandingkan keunggulan
komparatif yang menggambarkan bahwa kebijakan yang ada tidak berjalan
efektif. Hal ini mengakibatkan pengorbanan untuk mendapatkan tambahan satu
satuan output pada analisis privat lebih besar dibandingkan analisis sosial.
6.3.
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Analisis dampak kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap beberapa
hal. Pertama kebijakan yang memengaruhi harga output. Kedua, kebijakan yang
memengaruhi harga input. Ketiga, kebijakan yang memengaruhi baik harga input
maupun output.
6.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output
Kebijakan pemerintah terhadap output dilihat dari beberapa hal. Pertama
dari Transfer Output (OT). Kedua, dari Koefisien Proteksi Output Nominal
(NPCO). Ketiga, dari Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO)
6.3.1.1.Transfer Output (OT)
Tabel 14 menunjukkan nilai OT yaitu sebesar 0. Nilai nol diperoleh karena
tidak terdapat perbedaan antara penerimaan sosial dengan penerimaan privat.
Nilai ini menunjukkan tidak terdapat kebijakan pemerintah yang memengaruhi
harga benih patin agar harganya lebih tinggi sehingga petani bisa mendapatkan
keuntungan yang lebih besar.
87 6.3.1.2.Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)
Berdasarkan Tabel 14, nilai NPCO sebesar 1 menunjukkan bahwa tidak
terdapat kebijakan pemerintah yang memengaruhi
harga benih patin. Petani
mendapatkan penerimaan yang sama dengan yang seharusnya diterima bila tidak
ada kebijakan. Kondisi ini mengakibatkan petani tidak mendapatkan insentif
untuk meningkatkan produksinya karena tidak ada kebijakan pemerintah yang
bertujuan untuk meningkatkan penerimaan.
6.3.1.3.Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO)
Nilai NPRO masing-masing tahun yaitu 0%. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan harga yang diterima sama dengan
yang seharusnya diterima tanpa ada kebijakan. Hal ini mengindikasikan tidak ada
kebijakan pemerintah yang menguntungkan maupun merugikan petani.
6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dilihat dari beberapa
indikator. Pertama, dilihat dari transfer input (IT). Kedua, dari Koefisien Proteksi
Input Nominal (NPCI). Ketiga, dilihat dari Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal
(NPRI). Keempat, dari Transfer Faktor (FT).
6.3.2.1. Transfer Input (IT)
Berdasarkan Tabel 14 diperlihatkan bahwa nilai IT adalah sebesar
Rp 567.067/tahun pada 2008 dan Rp 2.267.524/tahun pada 2009. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat subsidi negatif/pajak pada input yang menyebabkan
biaya privat input tradable seperti pakan dan induk patin lebih tinggi dari biaya
sosial input tradable. Artinya kebijakan pemerintah merugikan petani karena
harus mengeluarkan biaya lebih tinggi dibandingkan saat tidak ada kebijakan.
88 6.3.2.2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)
Berdasarkan Tabel 14, dapat dilihat bahwa besarnya NPCI yang diperoleh
masing-masing tahun yaitu 1,024 dan 1,102. Nilai yang lebih besar dari 1
menunjukkan bahwa pemerintah melindungi produsen input. Biaya privat input
tradable yang dibayarkan oleh petani lebih tinggi 2,4% pada 2008 dan 10,2%
pada 2009 dibandingkan biaya sosial input tradable.
6.3.2.3. Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI)
Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI) dihitung berdasarkan nilai
NPCI. Nilai yang diperoleh yaitu tahun 2008 sebesar 2,4% dan tahun 2009
sebesar 10,2%. Nilai NPRI yang positif menunjukkan bahwa dengan adanya
kebijakan pemerintah maka petani pembenihan ikan patin akan membayar input
tradable sebesar 2,4% dan 10,2% lebih tinggi dibandingkan input tradable secara
sosial.
6.3.2.4. Transfer Faktor (FT)
Berdasarkan Tabel 12 dan 13, nilai TF sebesar negatif Rp 3.069.657/tahun
pada 2008 dan positif Rp 2.100.918/tahun pada 2009. Hasil negatif menunjukkan
bahwa biaya input nontradable yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih
rendah dibandingkan dengan biaya input nontradable pada harga bayangan.
Petani membayar input nontradable lebih rendah
dari yang seharusnya
dibayarkan, sehingga petani mendapatkan keuntungan sebesar Rp 3.069.657/tahun
pada 2008. Pada 2009 terjadi sebaliknya, nilai TF yang positif mengindikasikan
bahwa terdapat pajak atau transfer dari petani kepada pemerintah dan produsen
input domestik, sehingga petani harus membayar input domestik lebih tinggi dari
harga sosialnya.
89 6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah pada Input dan Output
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dilihat dari beberapa
indikator. Pertama, Koefisien Proteksi Efektif (EPC). Kedua, Tingkat Proteksi
Efektif (EPR). Ketiga, Koefisien Proteksi (PC). Keempat, Transfer Bersih (NT).
Kelima, Rasio Subsidi Produsen (SRP).
6.3.3.1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC)
Berdasarkan Tabel 14 diperoleh nilai EPC tahun 2008 dan 2009 masingmasing sebesar 0,996 dan 0,983. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa nilai
tambah yang diperoleh petani (privat) sedikit lebih rendah daripada nilai tambah
yang seharusnya diterima (sosial), yaitu sekitar 99,6% dan 98,3%. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa kebijakan yang ada tidak/kurang berpengaruh terhadap
petani. Kebijakan proteksi yang diterapkan tidak berjalan efektif sehingga biaya
privat input tradable sedikit lebih besar dibandingkan biaya sosial input tradable
(sementara nilai penerimaan privat sama dengan penerimaan sosial).
6.3.3.2. Tingkat Proteksi Efektif (EPR)
EPR yang dihitung berdasarkan nilai EPC yang diperoleh masing-masing
tahun 2008 dan 2009 yaitu -0,4% dan -1,7%. Nilai negatif menunjukkan terdapat
ketidakefektifan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradabel
maupun output yaitu sebesar -0,4% dan -1,7%. Petani mengalami kerugian 0,4%
dan 1,7% lebih besar dibandingkan jika tidak ada kebijakan.
6.3.3.3. Koefisien Proteksi (PC)
Nilai PC yang diperoleh tahun 2008 dan 2009 masing-masing sebesar 1,04
dan 0,924. Artinya keuntungan produsen bila ada intervensi dari pemerintah
sebesar 1,04 kali dan 0,924 kali atau petani menerima keuntungan sebesar 4%
90 lebih tinggi pada tahun 2008 dan 7,6% lebih rendah pada 2009 dibandingkan
keuntungan yang diterima petani tanpa adanya campur tangan pemerintah. Tahun
2008 kebijakan pemerintah berjalan dengan efektif karena dapat memberikan
keuntungan yang benar-benar diterima petani lebih tinggi dibandingkan
keuntungan sosial sedangkan pada 2009 terjadi hal sebaliknya.
6.3.3.4. Transfer Bersih (NT)
Berdasarkan Tabel 14, nilai NT berturut-turut yaitu Rp 2.502.591/tahun
dan negatif Rp 4.368.442/tahun. Nilai positif diperoleh karena keuntungan privat
lebih besar dibandingkan keuntungan sosial yang menunjukkan bahwa petani
diuntungkan. Hal itu terjadi karena dengan adanya kebijakan pemerintah, surplus
produsen/petani menjadi bertambah. Sebaliknya nilai negatif diperoleh karena
keuntungan privat lebih kecil dibandingkan keuntungan sosial. Petani mengalami
kerugian karena dengan adanya kebijakan pemerintah, surplus petani menjadi
berkurang.
6.3.3.5. Rasio Subsidi Produsen (SRP)
Nilai SRP yang diperoleh yaitu 0,015 dan -0,028. Nilai 0,015
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku menyebabkan petani
mengeluarkan biaya produksi 1,5% lebih kecil daripada biaya imbangan untuk
berproduksi. Jadi kebijakan pemerintah secara keseluruhan menguntungkan
produsen pembenihan ikan patin. Sedangkan nilai -0,028 ini menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani pembenihan
ikan patin mengeluarkan biaya produksi 2,8% lebih besar daripada biaya
imbangan untuk berproduksi. Jadi kebijakan pemerintah merugikan petani
pembenihan ikan patin.
91 VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA
PEMBENIHAN IKAN PATIN
7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output
Perubahan-perubahan
dalam
faktor
eksternal
maupun
kebijakan
pemerintah dapat menyebabkan perubahan struktur biaya maupun keuntungan
yang diterima petani. Analisis sensitivitas perlu dilakukan untuk melihat dampak
dari perubahan-perubahan tersebut. PAM mempunyai keterbatasan yaitu
merupakan analisis yang bersifat statis sehingga memerlukan simulasi kebijakan
untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi di dalam sistem perekonomian
yang dinamis. Analisis sensitivitas yang dilakukan pada penelitian meliputi
kenaikan upah tenaga kerja, kenaikan harga input, melemahnya nilai tukar,
penurunan harga output, pengurangan subsidi BBM, penghapusan PPN pakan,
adanya kelembagaan, serta analisis gabungan. Sensitivitas ini didasarkan pada
analisis PAM tahun 2009 dengan pertimbangan tahun terakhir sebagai acuan.
7.2.
Analisis Sensitivitas pada Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Analisis sensitivitas memperlihatkan bila terjadi perubahan, suatu
usahatani akan mengalami penurunan atau kenaikan keunggulan komparatif
maupun kompetitif. Dalam beberapa perubahan yang terjadi, bisa menyebabkan
usahatani tidak lagi memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif.
Diharapkan, hasil analisis sensitivitas memperlihatkan bahwa suatu usahatani
memiliki kestabilan yang tinggi dalam menghadapi perubahan yang terjadi.
7.2.1. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Kenaikan Upah Tenaga Kerja
Analisis sensitivitas dilakukan bila terjadi perubahan pada upah tenaga
kerja dengan asumsi faktor yang lain tetap. Skenario peningkatan UMR yang
terjadi yaitu UMR naik 7%. Hal ini sesuai dengan kenaikan UMR Jawa Barat dari
92 tahun 2008 ke 2009 sebesar 7%. Tabel 15 memperlihatkan hasil dari analisis
kenaikan UMR sebesar 7%.
Tabel 15. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Kenaikan UMR Sebesar 7% (Rp/Tahun)
Nilai
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
Sebelum
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
Setelah
52.285.240
57.633.122
0,605
0,572
0,907
Perubahan (%)
-1,84
1,24
-1,86
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Kenaikan UMR sebesar 7% menyebabkan keuntungan privat menurun
sebesar 1,84%. Nilai PCR yang meningkat menjadi 0,605 menunjukkan bahwa
keunggulan kompetitif usaha pembenihan ikan patin menurun. Keuntungan sosial
maupun keunggulan komparatif tidak berubah karena kebijakan UMR hanya
memengaruhi harga privat. Perbandingan antara keuntungan privat dengan
keuntungan sosial (PC) mengalami penurunan sebesar 1,86% . Hal ini disebabkan
biaya privat meningkat sehingga keuntungan privat semakin lebih rendah
dibandingkan keuntungan sosial. 7.2.2. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Kenaikan Harga Input
Analisis sensitivitas dilakukan bila terjadi kenaikan harga input yang
disebabkan oleh inflasi sebesar 4% dengan asumsi faktor lain tidak berubah.
Kenaikan 4% dilakukan atas dasar pertimbangan tingkat inflasi di Indonesia
sebesar 4% selama tahun 2008 dan 2009. Tabel 16 memperlihatkan hasil dari
analisis kenaikan harga input sebesar 4%
93 Tabel 16. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Kenaikan Harga Input Sebesar 4% (Rp/Tahun)
Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
50.249.267
57.633.122
0,617
0,572
0,872
-5,66
3,34
-5,65
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Kenaikan harga input sebesar 4% menyebabkan keuntungan privat
menurun sebesar 5,66%. Nilai PCR menjadi 0,617 menunjukkan bahwa
keunggulan kompetitif usaha pembenihan ikan patin menurun. Keuntungan sosial
maupun keunggulan komparatif tidak berubah karena kenaikan harga yang
disebabkan oleh inflasi hanya akan memengaruhi harga di pasar domestik (privat)
dan tidak memengaruhi harga di tingkat internasional. Perbandingan antara
keuntungan privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami penurunan sebesar
5,65% karena biaya privat yang semakin meningkat.
7.2.3. Analisis Sensitivitas bila Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar
Amerika Melemah
Analisis sensitivitas dilakukan bila nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika melemah dengan asumsi faktor lain tidak berubah. Skenario yang dibuat
yaitu bila nilai tukar rupiah melemah sebesar 6% dari nilai tukar sebelumnya.
Perubahan ini dilakukan karena nilai tukar rupiah yang melemah 6% dari 2008 ke
2009. Tabel 17 memperlihatkan hasil dari analisis melemahnya nilai tukar rupiah
terhada dollar Amerika sebesar 6%.
94 Tabel 17. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin jika Nilai
Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Melemah Sebesar 6%
(Rp/Tahun)
Nilai
Sebelum
Setelah
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
53.264.680
51.999.855
0,597
0,601
1,024
Perubahan (%)
-9,77
5,03
10,83
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika hanya menaikkan harga sosial input tradable seperti
induk patin, artemia, dan garam. Hal itu menyebabkan biaya sosial produksi
mengalami kenaikan. Kenaikan biaya sosial produksi menyebabkan keuntungan
sosial menurun sebesar 9,77%, sedangkan keuntungan privat tetap karena harga
privat tidak terpengaruh oleh nilai tukar. Keunggulan komparatif menurun dilihat
dari nilai DRC yang semakin besar akibat kenaikan harga input sosial tradable
yang tidak dimbangi dengan harga sosial benih ikan patin yang merupakan output
nontradable. Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial
(PC) mengalami kenaikan sebesar 10,83%. Nilai PC yang meningkat
menunjukkan bahwa rasio keuntungan yang diterima petani terhadap keuntungan
sosialnya meningkat. 7.2.4. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Penurunan Harga Privat Komoditas
Benih Ikan Patin
Analisis ini dilakukan bila terjadi penurunan harga privat benih ikan patin
dengan asumsi faktor lain tidak berubah. Harga benih ikan patin produksi DFF
dari tahun-tahun sebelumnya rata-rata terjadi penurunan sebesar 20% yang
disebabkan menurunnya permintaan konsumen terhadap benih patin. Skenario
yang dilakukan yaitu bila harga benih tahun 2010 juga mengalami penurunan
95 20%. Tabel 18 memperlihatkan hasil dari analisis penurunan harga benih patin
sebesar 20%.
Tabel 18. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Penurunan Harga Privat Benih Patin Sebesar 20% (Rp/Tahun)
Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
21.914.680
57.633.122
0,783
0,572
0,380
-58,86
31,05
-58,88
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, menurunnya harga benih patin
menyebabkan keuntungan privat menurun sebesar 58,86%. Keunggulan
kompetitif juga menurun ditunjukkan dengan nilai PCR yang meningkat menjadi
0,783. Menurunnya nilai PP dan PCR disebabkan oleh menurunnya penerimaan
privat. Nilai SP dan DRC tidak mengalami perubahan karena harga sosial benih
tidak ikut terpengaruh. Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan
sosial (PC) mengalami penurunan sebesar 58,88%.
7.2.5. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Kenaikan Harga BBM
Analisis ini dilakukan bila subsidi premium dikurangi sebesar 40% dan
harga minyak tanah naik 200% dengan asumsi faktor lain tidak berubah. Skenario
yang dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah untuk menghapuskan subsidi
premium sebesar 40% tahun 2005 dan kenaikan harga minyak tanah sebesar 200%
pada tahun 2010. Tabel 19 memperlihatkan hasil dari analisis akibat kenaikan
harga BBM.
96 Tabel 19. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Kenaikan Harga Premium 40% dan Minyak Tanah 200%
(Rp/Tahun)
Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
4.7186.640
57.633.122
0,638
0,572
0,819
-11,41
6,77
-11,41
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Pengurangan subsidi BBM menyebabkan keuntungan privat menurun
sebesar 11,41%. Nilai PCR menjadi 0,638 menunjukkan bahwa keunggulan
kompetitif usaha pembenihan ikan patin menurun. Keuntungan sosial maupun
keunggulan komparatif tidak berubah karena kenaikan harga BBM hanya akan
memengaruhi harga di pasar domestik (privat). Perbandingan antara keuntungan
privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami penurunan sebesar 11,41%
karena biaya privat yang semakin meningkat.
7.2.6. Analisis Sensitivitas bila PPN Pakan Ikan Sebesar 10% Dihapuskan
PP Nomor 7 tahun 2007 berisi mengenai penghapusan PPN untuk
beberapa beberapa produk salah satunya pakan ikan. Akan tetapi pada
kenyataannya pemerintah masih memberlakukan PPN sebesar 10% untuk pakan
ikan. Dalam simulasi ini, akan dilihat dampak dari penghapusan PPN pakan
sebesar 10%. Tabel 20 memperlihatkan hasil dari analisis penghapusan PPN
pakan sebesar 10%.
Tabel 20. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan
Penghapusan PPN Pakan Sebesar 10% (Rp/Tahun)
Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
54.314.080
57.633.122
0,592
0,572
0,942
1,97
-0,86
1,97
Sumber : Pengolahan Data (2010)
97 Berdasarkan hasil analisis, jika penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10%
diberlakukan, maka keuntungan privat dan keunggulan kompetitif akan
meningkat.
Akan tetapi tidak ada perbedaan dalam keuntungan sosial dan
keunggulan komparatif karena penghapusan PPN pakan ikan hanya berlaku untuk
analisis privat. Dilihat dari nilai PC, penghapusan PPN 10% ternyata
menyebabkan perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial
(PC) mengalami kenaikan sebesar 1,97%.
7.2.7. Analisis Sensitivitas
Kelembagaan
dengan
Kebijakan
Pemerintah
Berupa
Pemerintah bermaksud untuk meningkatkan sektor perikanan salah
satunya dengan kelembagaan. Selama ini, harga benih patin berfluktuasi sesuai
dengan permintaan konsumen. Selama 2008 dan 2009 harga benih terus
mengalami penurunan karena permintaan konsumen juga menurun. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, diperlukan kelembagaan yang berperan untuk
menampung/membeli benih dari petani sehingga harga benih bisa stabil.
Diharapkan, dengan adanya kelembagaan, harga privat benih patin bisa meningkat
sebesar 36% seperti pada tahun 2007.
Tabel 21. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Peran
Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Privat Benih
(Rp/Tahun)
Nilai
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
Sebelum
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
Setelah
97.139.680
57.633.122
0,449
0,572
1,685
Perubahan (%)
82,37
-24,90
82,32
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Berdasarkan hasil analisis, peran kelembagaan pada harga privat benih
patin yaitu meningkatkan keuntungan privat sebesar 82,37% dan keunggulan
98 kompetitif menjadi 0,449. Akan tetapi tidak ada perbedaan dalam keuntungan
sosial dan keunggulan komparatif karena harga sosial benih patin tidak berubah.
Dilihat dari nilai PC, adanya kelembagaan ternyata menyebabkan perbandingan
antara keuntungan yang diterima petani dengan keuntungan sosial meningkat
sebesar 82,32%.
Peran kelembagaan yang lain, seperti misalnya penyedia kredit usaha
maupun penyedia input-input perikanan misalnya koperasi, diharapkan bisa
menurunkan harga sosial input sehingga bisa mengurangi biaya produksi. Analisis
sensitivitas ini dilakukan bila terjadi penurunan harga sosial input sebesar 10%.
Hasil analisis kelembagaan terhadap harga sosial input ditunjukkan pada Tabel 22.
Tabel 22. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Peran
Kelembagaan - Pengaruhnya pada Harga Sosial Input Sebesar
10% (Rp/Tahun)
Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
53.264.680
62.172.478
0,597
0,542
0,857
7,88
-5,21
-7,27
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, peran kelembagaan dalam
pengaruhnya terhadap harga sosial input akan meningkatkan keuntungan sosial
sebesar 7,88%, sedangkan keuntungan privat tetap karena harga privat tidak
terpengaruh.
Keunggulan komparatif meningkat dilihat dari nilai DRC yang
semakin kecil. Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial
(PC) mengalami penurunan sebesar 7,27% . Nilai PC yang menurun menunjukkan
bahwa rasio keuntungan yang diterima petani terhadap keuntungan sosialnya
menurun.
99 7.2.8. Analisis Gabungan
Analisis sensitivitas gabungan merupakan penggabungan beberapa analisis
sensitivitas di atas antara faktor-faktor yang berdampak negatif terhadap
keunggulan kompetitif dan komparatif dari usaha pembenihan ikan patin dengan
kebijakan pemerintah atau faktor lainnya yang mampu mengatasi dampak negatif
tersebut. Sensitivitas yang digabungkan yaitu kenaikan UMR, kenaikan harga
input, penurunan harga output, penghapusan PPN pakan, dan adanya
kelembagaan. Analisis sensitivitas gabungan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu
analisis yang bertujuan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan analisis
yang bertujuan untuk meningkatkan keunggulan komparatif. Hasil analisis
sensitivitas gabungan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dapat dilihat
pada Tabel 23.
Tabel 23. Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruh pada Harga Privat
(Rp/Tahun)
Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
71.018.987
57.633.122
0,536
0,572
1,232
33,33
-10,36
33,33
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Tabel 22 menunjukkan penurunan keunggulan kompetitif akibat kenaikan
UMR dan kenaikan harga input dapat diimbangi dengan kebijakan berupa
penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10%, sedangkan penurunan harga output
sebesar 20% dapat diimbangi dengan peran kelembagaan yang menstabilkan
harga (peningkatan harga sebesar 36%) sehingga terjadi peningkatan harga benih
patin sebesar 16%. Apabila keadaan tersebut terjadi, maka petani akan
memperoleh keuntungan sebesar Rp 71.018.987. Hal ini juga berdampak pada
100 peningkatan keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai PCR yang
semakin kecil. Petani juga memperoleh keuntungan privat yang lebih besar dilihat
dari nilai PC yang semakin besar.
Analisis sensitivitas gabungan lainnya yang berpengaruh terhadap analisis
sosial merupakan gabungan antara melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat yang menurunkan keunggulan komparatif dengan adanya
kelembagaan yang bisa menurunkan harga sosial input sebesar 10%. Hasil dari
sensitivitas gabungan kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruh pada Harga Sosial
(Rp/Tahun)
Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp)
Keuntungan Sosial – SP (Rp)
Rasio Biaya Privat - PCR
Biaya Sumberdaya Domestik - DRC
Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680
57.633.122
0,597
0,572
0,924
53.264.680
106.047.478
0,597
0,41
0,502
84
-28,34
-45,65
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Berdasarkan hasil analisis, keuntungan sosial mengalami peningkatan
sebesar 84%. Begitu juga dengan keunggulan komparatif meningkat dengan
menurunnya nilai DRC menjadi sebesar 0,41. Dilihat dari nilai PC, analisis ini
menyebabkan perbandingan keuntungan yang diterima petani dengan keuntungan
sosial menurun sebesar 45,65%. 101 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, dapat
ditarik kesimpulan:
1) Hasil analisis matriks kebijakan menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan
patin Deddy Fish Farm memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik
pada tahun 2008 maupun 2009. Hal ini dilihat dari nilai PP dan SP yang
positif, serta PCR dan DRC yang kurang dari satu. Namun dalam kurun waktu
tersebut ditunjukkan bahwa baik keunggulan komparatif maupun kompetitif
mengalami penurunan. Selanjutnya dapat disimpulkan juga bahwa pada tahun
2008 usaha pembenihan ikan patin memiliki keunggulan kompetitif lebih
tinggi
dibandingkan
keunggulan
komparatif,
sedangkan
tahun
2009
menunjukkan hal sebaliknya. Hal ini ditunjukkan pada tahun 2008 nilai PCR
lebih kecil dibandingkan DRC karena biaya sosial produksi lebih besar
dibandingkan biaya finansialnya. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
kebijakan pemeritah berjalan efektif sehingga keunggulan kompetitif lebih
tinggi daripada keunggulan komparatif. Nilai PCR yang lebih besar dari nilai
DRC pada tahun 2009 menunjukkan hal sebaliknya, bahwa kebijakan yang
ada tidak berjalan efektif sehingga pengorbanan untuk mendapatkan satu
satuan output pada analisis privat lebih besar dibandingkan analisis sosial.
2) Analisis sensitivitas yang dilakukan berupa naiknya UMR 7%, naiknya harga
input 4%, melemahnya nilai tukar 6%, menurunnya harga output 20%,
pengurangan subsidi BBM, penghapusan PPN pakan 10%, adanya
kelembagaan, serta analisis gabungan yang disertai dengan simulasi kebijakan.
102 Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa naiknya UMR 7%, naiknya
harga input 4%, menurunnya harga output 20%, dan pengurangan subsidi
BBM akan menurunkan keunggulan kompetitif. Penurunan keunggulan
kompetitif terbesar ditunjukkan pada analisis sensitivitas jika harga privat
benih patin menurun sebesar 20%. Adapun hasil analisis sensitivitas dengan
melemahnya nilai tukar 6% membuat keunggulan komparatif mengalami
penurunan.
Hasil analisis gabungan menunjukkan bahwa penurunan keunggulan
kompetitif yang disebabkan oleh naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%,
dan menurunnya harga output 20% dapat ditanggulangi dengan kebijakan
pemerintah berupa penghapusan PPN pakan sebesar 10% dan adanya
kelembagaan yang berfungsi sebagai penampung benih. Hal ini dapat dilihat
dari penurunan nilai PCR. Sedangkan penurunan keunggulan komparatif yang
disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dapat
ditanggulangi dengan kebijakan pemerintah yang berupa kelembagaan seperti
koperasi.
8.2.
Saran
1) Produksi, produktivitas, dan kualitas benih ikan patin produksi DFF harus
ditingkatkan agar dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Selain itu,
peningkatan produksi benih juga diharapkan akan meningkatkan produksi
patin dewasa untuk memperbesar peluang ekspor. Untuk meningkatkan atau
memperkuat dayasaing, dapat dilakukan melalui peningkatan kompetensi
lokal maupun membangun usaha melalui pendekatan sistem agribisnis
misalnya pola kemitraan usaha.
103 2) Kebijakan pemerintah yang telah ada dapat terus dipertahankan, karena usaha
pembenihan ikan patin menguntungkan baik secara finansial maupun
ekonomi. Akan tetapi, melihat dari kondisi perekonomian Indonesia yang
belum stabil, seperti nilai tukar yang merosot dan inflasi yang tinggi,
pemerintah diharapkan mampu untuk menciptakan kondisi yang stabil baik
dalam bidang ekonomi maupun politik agar harga input output tetap stabil.
Selain itu, walaupun sudah menguntungkan baik dari segi keunggulan
komparatif maupun kompetitif, pemerintah perlu memberikan kebijakan yang
bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi agribisnis perikanan.
Misalnya dari segi harga input, pakan merupakan faktor yang banyak
memakan biaya. Menurut PP Nomor 7 Tahun 2007 tentang perikanan, pakan
ikan dibebaskan dari PPN, namun pada kenyataannya, PPN masih
diberlakukan untuk pakan ikan sehingga harga pakan menjadi mahal.
Hendaknya pemerintah benar-benas menghapus PPN untuk pakan agar biaya
produksi bisa berkurang.
3) Pemerintah juga perlu meningkatkan produksi barang-barang input agar
Indonesia tidak tergantung pada impor sehingga diharapkan biaya yang
dikeluarkan untuk input dapat diperkecil. Hal ini akan berdampak pada
efisiensi usaha yang akan membuat harga output lebih rendah sehingga bisa
bersaing di pasaran internasional. Seperti misalnya, artemia merupakan
produk impor dari negara Cina dan Kanada, sekarang Indonesia sudah mampu
menghasilkan artemia sendiri. Input lainnya seperti pakan, hendaknya
pemerintah memberikan insentif agar pakan berbahan baku alternatif seperti
104 magot kelapa sawit dan bungkil bisa diproduksi secara massal karena
harganya lebih murah.
4) Dilihat dari sisi harga output, petani ikan, dalam hal ini DFF, masih
menghadapi kendala berhubungan dengan harga output. Mengingat ikan
merupakan produk pertanian yang harganya fluktuatif, wajar jika harga output
turun naik. Akan tetapi pemerintah bisa memberikan insentif agar harga benih
patin bisa dinaikkan sehingga penerimaan petani lebih besar. Misalnya dengan
adanya kelembagaan lokal, sehingga stabilitas harga akan tercapai. Selain itu,
diperlukan kelembagaan yang menyediakan kredit usaha, penyedia barangbarang input, dan lainnya agar biaya produksi dapat diperkecil.
105 DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2005. Tabel Input Output Indonesia. Volume III. Jakarta.
Departemen Perdagangan. 2010. Perkembangan Ekspor Impor Indonesia, Jakarta.
Departemen Perdagangan. 2007. Produksi Perikanan Budidaya Menurut
komoditas Utama 2007, Jakarta.
Departemen Perikanan dan Kelautan. 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya
2006-2009, Jakarta.
_____________________________. 2007. Data Potensi,
Ekspor/Impor Kelautan dan Perikanan 2007, Jakarta.
Produksi
dan
Departemen Perikanan dan Kelautan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka
2009, Jakarta.
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2010. Perkembangan Produksi
Benih Ikan di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2008, Jakarta.
Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Diterjemahkan
oleh Sutomo dan Mangiri. Edisi II. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Gustiani, D. 2004. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Kain Tenun
Sutera Alam Produksi Kabupaten Garut. Skripsi. Faperta IPB, Bogor.
Kadariah, L., Karlina, dan C. Gray. 1978. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi.
Edisi 1. FE UI Press, Jakarta.
Kasymir, E. 1994. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijaksanaan pada
Komoditas Kopi dan Lada dalam Pengembangan Wilayah Kab. Lampung
Barat, Prop. Lampung. Tesis Magister Sains. Program Pasca Sarjana IPB,
Bogor.
Monke, E.A., and S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agriculture
Development. Cornell University Press, Italia and London.
Novianti, T. 2003. Analisis dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing
Komoditas Unggulan Sayuran. Tesis. IPB, Bogor.
Pearson, S., C. Gotsch, dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada
Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Porter, M.E. 1991. Strategi Bersaing. Agus M, penerjemah. Erlangga, Jakarta.
Terjemahan dari Competitive Strategy.
Prahasta, A., dan H. Masturi. 2008. Budidaya – Usaha – Pengolahan Agribisnis
Ikan Patin. CV Pustaka Grafika, Bandung.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi V. Munandar H, penerjemah.
Prentice Hall-Erlangga, Jakarta. Terjemahan dari International Economic.
Saptana, Sumaryanto, dan S. Friyatno. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif
dan Kompetitif Komoditas Kentang dan Kubis di Wonosobo Jawa Tengah.
Jurnal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Bogor.
106 Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi
Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa
Penghematan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Tesis. IPB, Bogor.
107 LAMPIRAN
108 Lampiran 1. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Sensitivitas UMR Naik 7%)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
156.750.000
24.426.140
80.038.620
52.285.240
Harga ekonomi
156.750.000
22.158.616
76.958.262
57.633.122
Dampak kebijakan
0
2.267.524
3.080.358
-5.347.882
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 2. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Sensitivitas Harga Input Naik 4%)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
156.750.000
25.403.185
81.097.547
50.249.267
Harga ekonomi
156.750.000
22.158.616
76.958.262
57.633.122
Dampak kebijakan
0
3.244.570
4.139.285
-7.383.855
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 3. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Sensitivitas Nilai Tukar Melemah 6%)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
156.750.000
24.426.140
79.059.180
53.264.680
Harga ekonomi
156.750.000
26.572.681
78.177.463
51.999.855
Dampak kebijakan
0
-2.146.542
881.717
1.264.825
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 4. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Sensitivitas Harga Output Turun 20%)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
125.400.000
24.426.140
79.059.180
21.914.680
Harga ekonomi
156.750.000
22.158.616
76.958.262
57.633.122
Dampak kebijakan
-31.350.000
2.267.524
2.100.918
-35.718.442
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 5. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Sensitivitas Harga Premium Naik 40% dan Minyak Tanah naik 200%)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
156.750.000
26.437.627
83.125.733
47.186.640
Harga ekonomi
156.750.000
22.158.616
76.958.262
57.633.122
Dampak kebijakan
0
4.279.011
6.167.471
-10.446.482
Sumber : Pengolahan Data (2010)
109 Lampiran 6. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Sensitivitas PPN Pakan Dihapuskan 10%)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
156.750.000
23.511.380
78.924.540
54.314.080
Harga ekonomi
156.750.000
22.158.616
76.958.262
57.633.122
Dampak kebijakan
0
1.352.764
1.966.278
-3.319.042
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 7. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Sensitivitas Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Privat Benih)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
200.625.000
24.426.140
79.059.180
97.139.680
Harga ekonomi
156.750.000
22.158.616
76.958.262
57.633.122
Dampak kebijakan
43.875.000
2.267.524
2.100.918
39.506.558
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 8. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Sosial Input)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
156.750.000
24.426.140
79.059.180
53.264.680
Harga ekonomi
156.750.000
20.960.831
73.616.692
62.172.478
Dampak kebijakan
0
3.465.309
5.442.489
-8.907.798
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 9. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis
Sensitivitas Gabungan – Pengaruhnya pada Harga Privat)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
177.030.000
24.122.521
81.888.491
71.018.987
Harga ekonomi
156.750.000
22.158.616
76.958.262
57.633.122
Dampak kebijakan
20.280.000
1.963.906
4.930.229
13.385.865
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 10. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009
(Analisis Sensitivitas Gabungan - Pengaruhnya pada Harga Sosial)
Biaya
Keterangan
Penerimaan
Profit
Tradable Inputs
Nontradable
Harga finansial
156.750.000
24.426.140
79.059.180
53.264.680
Harga ekonomi
200.625.000
20.960.831
73.616.692
106.047.478
Dampak kebijakan
-43.875.000
3.465.309
5.442.489
-52.782.798
Sumber : Pengolahan Data (2010)
110 Lampiran 11. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix
Indikator
PP (Rp)
PCR
Sebelum Perubahan
UMR Naik 7%
Biaya Input Naik 4%
Nilai Tukar Melemah 6%
2008
2009
2009
2009
2009
64.494.080
53.264.680
52.285.240
50.249.267
53.264.680
0,548
0,597
0,605
0,617
0,597
61.991.489
57.633.122
57.633.122
57.633.122
51.999.855
0,567
0,572
0,572
0,572
0,601
OT (Rp)
0
0
0
0
0
NPCO
1
1
1
1
1
NPRO (%)
0
0
0
0
0
567.067
2.267.524
2.267.524
3.244.570
-2.146.542
1,024
1,102
1,102
1,146
0,919
2,4
10,2
10,2
14,6
-8,1
-3.069.657
2.100.918
3.080.358
4.139.285
881.717
0,996
0,983
0,983
0,976
1,016
EPR (%)
-0,4
-1,7
-1,7
-2,4
1,6
NT (Rp)
2.502.591
-4.368.442
-5.347.882
-7.383.855
1.264.825
SP (Rp)
DRC
IT (Rp)
NPCI
NPRI (%)
FT (Rp)
EPC
PC
1,04
0,924
0,907
0,872
1,024
SRP
0,015
-0,028
-0,034
-0,047
0,008
Lampiran 11. Lanjutan
Harga Output Turun
20%
Harga Premium Naik 40%
dan Minyak Tanah 200%
PPN Pakan 10%
Dihapuskan
Kelembagaan
(Privat)
2009
2009
2009
2009
21.914.680
47186640
0,638
54.314.080
97.139.680
0,783
0,592
0,449
57.633.122
57633122
57.633.122
57.633.122
0,572
0,572
0,572
0,572
-31.350.000
0
0
43.875.000
NPCO
0,8
1,000
1
1,28
NPRO (%)
-20
0
0
28
2.267.524
4279011
1.352.764
2.267.524
1,102
1,193
1,061
1,102
10,2
19,300
6,1
10,2
2.100.918
6167471
1.966.278
2.100.918
0,750
0,968
0,990
1,309
EPR (%)
-25
-3,200
-1
30,9
NT (Rp)
-35.718.442
-10446482
-3.319.042
39.506.558
0,380
0,819
0,942
1,685
-0,228
-0,067
-0,021
0,252
Indikator
PP (Rp)
PCR
SP (Rp)
DRC
OT (Rp)
IT (Rp)
NPCI
NPRI (%)
FT (Rp)
EPC
PC
SRP
111 Lampiran 11. Lanjutan
Indikator
PP (Rp)
PCR
SP (Rp)
Kelembagaan (Sosial)
Gabungan (Privat)
Gabungan (Sosial)
2009
2009
53.264.680
71.018.987
2009
53.264.680
0,597
0,536
0,597
57.633.122
106.047.478
62.172.478
0,542
0,572
0,41
OT (Rp)
0
20.280.000
-43.875.000
NPCO
1
1,129
0,781
DRC
NPRO (%)
IT (Rp)
NPCI
-21,9
12,9
-21,9
3.465.309
1.963.906
3.465.309
1,165
1,089
1,165
16,5
8,9
16,5
5.442.489
4.930.229
5.442.489
0,974
1,136
0,737
EPR (%)
-2,6
13,6
-26,3
NT (Rp)
-8.907.798
13.385.865
-52.782.798
0,857
1,232
0,502
0,085
-0,263
NPRI (%)
FT (Rp)
EPC
PC
SRP
-0,057
Sumber : Pengolahan Data (2010)
112 Lampiran 12. Struktur Biaya Produksi DFF Tahun 2008 (Rp)
Keterangan
A.
Satuan
Banyak
Harga Privat
Total
Harga Sosial
Total
Benih Ikan Patin (3/4")
975000
62,5
60937500
62,5
60937500
Benih Ikan Patin (1")
975000
77,5
75562500
77,5
75562500
Larva
6000000
5
30000000
5
30000000
PENERIMAAN OUTPUT
TOTAL
B.
166500000
166500000
PENGELUARAN
BIAYA PRODUKSI (INPUT)
Biaya Pemeliharaan Induk
1. Pelet
kg
800
5500
4400000
4950
3960000
a. Jaring Induk
unit
2
60000
120000
54000
108000
b. Induk
ekor
100
8600
860000
3964,5
396450
4. TK Tetap
orang
2
6000000
12000000
5289000
10578000
1. Ovaprim
botol
20
200000
4000000
180000
3600000
2. Alat Suntik
unit
16
1000
16000
900
14400
3. Tenaga Kerja
hari
4
50000
200000
44075
176300
kaleng
30
330000
9900000
249443,4081
7483302,24
takar
3500
7000
24500000
7000
24500000
kg
400
12500
5000000
11250
4500000
4. Minyak Tanah
liter
1100
2500
2750000
10000
11000000
5. Bensin
liter
130
5000
650000
8339
1084070
6. Blitz ICH
botol
270
7000
1890000
6300
1701000
7. Batu Aerasi
unit
100
4000
400000
3600
360000
8. Corong
unit
6
7000
42000
6300
37800
9. serokan larva
unit
4
2000
8000
1800
7200
10. TK Tukang
hari
20
50000
1000000
44075
881500
a. Akuarium
unit
68
25000
1700000
22500
1530000
b. Blower
unit
2
120000
240000
108000
216000
c. Selang
unit
2
5000
10000
4500
9000
e Genset
unit
2
250000
500000
225000
450000
f. Hi Blow
unit
3
120000
360000
108000
324000
2
300000
600000
270000
540000
4
12500
50000
11250
45000
2
750000
1500000
675000
1350000
2
600000
1200000
540000
1080000
2. Penyusutan
Biaya Penyuntikan
Pemeliharaan Larva
1. Artemia
2. Cacing Tubifex
3. Pelet
11. Penyusutan Peralatan
g. Rak Kayu
h. Kompor
unit
j. Terpal
k. Jet Pam
unit
113 Lampiran 12. Lanjutan
Penetasan Artemia
1. Garam
bungkus
550
3000
1650000
1849,779107
1017378,51
unit
32
5000
160000
4500
144000
unit
4
1500
6000
1350
5400
a. Tabung gas
unit
2
120000
240000
108000
216000
b. Baskom
unit
20
5000
100000
4500
90000
c. Fiber
unit
5
60000
300000
54000
270000
1. Telepon
bulan
12
75000
900000
75000
900000
2. Listrik
bulan
12
700000
8400000
700000
8400000
unit
1
4250000
4250000
4250000
4250000
2. Penyusutan Ember
Pemanenan Larva
1. Serokan
2.. Penyusutan Peralatan
BIAYA OPERASIONAL
3. Sewa Rumah + lahan
BUNGA MODAL
4104720
9437635,29
7020000
7020000
BIAYA TATANIAGA
penanganan
Sumber : Pengolahan Data (2010)
114 Lampiran 13. Struktur Biaya Produksi DFF Tahun 2009 (Rp)
Keterangan
A.
Satuan
Banyak
Harga pasar
Total
harga sosial
Total
Benih Ikan Patin (3/4")
975000
55
53625000
55
53625000
Benih Ikan Patin (1")
975000
75
73125000
75
73125000
Larva
6000000
5
30000000
5
30000000
PENERIMAAN OUTPUT
TOTAL
B.
156750000
156750000
PENGELUARAN
BIAYA PRODUKSI (INPUT)
Biaya Pemeliharaan Induk
1. Pelet
kg
750
6000
4500000
5400
4050000
a. Jaring Induk
unit
2
60000
120000
54000
108000
b. Induk
ekor
100
8600
860000
3964,5
396450
4. TK Tetap
orang
2
6000000
12000000
5365800
10731600
1. Ovaprim
botol
20
200000
4000000
180000
3600000
2. Alat Suntik
unit
16
1500
24000
1350
21600
3. Tenaga Kerja
hari
4
50000
200000
44715
178860
kaleng
30
330000
9900000
264598,87
7937966
takar
3500
7000
24500000
7000
24500000
3. Pelet
kg
400
13500
5400000
12150
4860000
4. Minyak Tanah
liter
1100
2500
2750000
5052
5557200
5. Bensin
liter
130
4500
585000
4413
573690
6. Blitz ICH
botol
270
7500
2025000
6750
1822500
7. Batu Aerasi
buah
100
4000
400000
3600
360000
8. Corong
buah
6
8000
48000
7200
43200
9. serokan larva
unit
4
3000
12000
2700
10800
10. TK Tukang
hari
20
50000
1000000
44715
894300
a. Akuarium
unit
68
25000
1700000
22500
1530000
b. Blower
unit
2
120000
240000
108000
216000
c. Selang
unit
2
8000
16000
7200
14400
2. Penyusutan
Biaya Penyuntikan
Pemeliharaan Larva
1. Artemia
2. Cacing Tubifex
11. Penyusutan Peralatan
e Genset
unit
2
250000
500000
225000
450000
f. Hi Blow
unit
3
120000
360000
108000
324000
2
300000
600000
270000
540000
4
12500
50000
11250
45000
2
750000
1500000
675000
1350000
2
600000
1200000
540000
1080000
g. Rak Kayu
h. Kompor
unit
j. Terpal
k. Jet Pam
unit
115 Lampiran 13. Lanjutan
Penetasan Artemia
1. Garam
bungkus
550
3000
1650000
2236,6903
1230179,6
unit
32
5000
160000
4500
144000
unit
4
2000
8000
1800
7200
a. Tabung gas
unit
2
120000
240000
108000
216000
b. Baskom
unit
20
5000
100000
4500
90000
c. Fiber
unit
5
60000
300000
54000
270000
2. Penyusutan Ember
Pemanenan Larva
1. Serokan
2.. Penyusutan Peralatan
BIAYA OPERASIONAL
1. Telepon
bulan
12
75000
900000
75000
900000
2. Listrik
bulan
12
700000
8400000
700000
8400000
unit
1
4250000
4250000
4250000
4250000
3. Sewa Rumah + lahan
BUNGA MODAL
4095000
5212171,6
7820000
7820000
BIAYA TATANIAGA (Penanganan)
penanganan
Sumber : Pengolahan Data (2010)
116 117
Lampiran 14. Struktur Biaya Finansial dan Ekonomi Deddy Fish Farm (Rp)
ANALISIS FINANSIAL 2008
Keterangan
A.
Domestik
Asing
Domestik
Asing
Keterangan
A.
Domestik
Asing
Total
ANALISIS EKONOMI 2009
Domestik
Asing
Total
PENERIMAAN OUTPUT
Benih Ikan Patin (3/4")
60937500
96037500
Benih Ikan Patin (3/4")
53625000
91162500
Benih Ikan Patin (1")
75562500
115537500
Benih Ikan Patin (1")
73125000
110662500
Larva
30000000
30000000
Larva
30000000
30000000
166500000
241575000
156750000
231825000
PENGELUARAN
TOTAL
B.
PENGELUARAN
BIAYA PRODUKSI
BIAYA PRODUKSI
Biaya Pemeliharaan Induk
Biaya Pemeliharaan Induk
1. Pelet
334400
4065600
4400000
300960
3659040
3960000
2. Penyusutan
a. Jaring Induk
b. Induk
3. TK Tetap
1. Ovaprim
2. Alat Suntik
3. Tenaga Kerja
120000
0
120000
108000
0
804100
12000000
108000
a. Jaring Induk
55900
860000
370680,75
0
12000000
10578000
25769,25
396450
b. Induk
0
10578000
2. Cacing Tubifex
342000
4158000
4500000
307800
3742200
4050000
120000
0
120000
108000
0
108000
3. TK Tetap
804100
55900
860000
370680,75
25769,25
396450
12000000
0
12000000
10731600
0
10731600
1580000
2420000
4000000
1422000
2178000
3600000
Biaya Penyuntikan
1580000
2420000
4000000
1422000
2178000
3600000
6768
9232
16000
6091,2
8308,8
14400
2. Alat Suntik
10152
13848
24000
9136,8
12463,2
21600
200000
0
200000
176300
0
176300
3. Tenaga Kerja
200000
0
200000
178860
0
178860
752400
9147600
9900000
603285,414
7334681
7937965,98
Pemeliharaan Larva
1. Artemia
1. Pelet
2. Penyusutan
Biaya Penyuntikan
ANALISIS FINANSIAL 2009
Total
PENERIMAAN OUTPUT
TOTAL
B.
Total
ANALISIS EKONOMI 2008
1. Ovaprim
Pemeliharaan Larva
752400
9147600
9900000
568730,97
6914571,3
7483302,24
1. Artemia
24500000
0
24500000
24500000
0
24500000
2. Cacing Tubifex
24500000
0
24500000
24500000
0
24500000
3. Pelet
380000
4620000
5000000
342000
4158000
4500000
3. Pelet
410400
4989600
5400000
369360
4490640
4860000
4. Minyak Tanah
1785300
964700
2750000
7141200
3858800
11000000
4. Minyak Tanah
1785300
964700
2750000
3607734,24
1949466
5557200
5. Bensin
421980
228020
650000
703778,24
380291,76
1084070
5. Bensin
379782
205218
585000
372439,548
201250,5
573690
6. Blitz ICH
746550
1143450
1890000
671895
1029105
1701000
6. Blitz ICH
799875
1225125
2025000
719887,5
1102613
1822500
7. Batu Aerasi
353600
46400
400000
318240
41760
360000
7. Batu Aerasi
353600
46400
400000
318240
41760
360000
8. Corong
36258,6
5741,4
42000
32632,74
5167,26
37800
8. Corong
41438,4
6561,6
48000
37294,56
5905,44
43200
9. Serokan larva
8000
0
8000
7200
0
7200
9. Serokan larva
12000
0
12000
10800
0
10800
10. TK Tukang
1000000
0
1000000
881500
0
881500
10. TK Tukang
1000000
0
1000000
894300
0
894300
118
Lampiran 14. Lanjutan
11. Penyusutan Peralatan
a. Akuarium
11. Penyusutan Peralatan
1700000
0
1700000
1530000
0
1530000
a. Akuarium
1700000
0
1700000
1530000
0
1530000
b. Blower
91200
148800
240000
82080
133920
216000
b. Blower
91200
148800
240000
82080
133920
216000
c. Selang
8633
1367
10000
7769,7
1230,3
9000
c. Selang
13812,8
2187,2
16000
12431,52
1968,48
14400
e. Genset
425000
75000
500000
382500
67500
450000
e. Genset
425000
75000
500000
382500
67500
450000
f. Hi Blow
136800
223200
360000
123120
200880
324000
f. Hi Blow
136800
223200
360000
123120
200880
324000
g. Rak Kayu
600000
0
600000
540000
0
540000
g. Rak Kayu
600000
0
600000
540000
0
540000
h. Kompor
50000
0
50000
45000
0
45000
h. Kompor
50000
0
50000
45000
0
45000
i. Terpal
1500000
0
1500000
1350000
0
1350000
i. Terpal
1500000
0
1500000
1350000
0
1350000
j. Jet Pam
456000
744000
1200000
410400
669600
1080000
j. Jet Pam
456000
744000
1200000
410400
669600
1080000
1. Garam
1650000
0
1650000
1230179,7
0
1230179,7
2. Penyusutan Ember
160000
0
160000
144000
0
144000
8000
0
8000
7200
0
7200
Penetasan Artemia
Penetasan Artemia
1. Garam
1650000
0
1650000
1017378,5
0
1017378,5
2. Penyusutan Ember
160000
0
160000
144000
0
144000
Pemanenan Larva
1. Serokan
Pemanenan Larva
6000
0
6000
5400
0
5400
1. Serokan
2.. Penyusutan Peralatan
2.. Penyusutan Peralatan
a. Tabung gas
240000
0
240000
216000
0
216000
a. Tabung gas
240000
0
240000
216000
0
216000
b. Baskom
100000
0
100000
90000
0
90000
b. Baskom
100000
0
100000
90000
0
90000
c. Fiber
300000
0
300000
270000
0
270000
c. Fiber
300000
0
300000
270000
0
270000
BIAYA OPERASIONAL
C.
BIAYA OPERASIONAL
1. Telepon
900000
0
900000
900000
0
900000
1. Telepon
900000
0
900000
900000
0
900000
2. Listrik
8400000
0
8400000
8400000
0
8400000
2. Listrik
8400000
0
8400000
8400000
0
8400000
3. Sewa Rumah + lahan
4250000
0
4250000
4250000
0
4250000
3. Sewa Rumah + lahan
4250000
0
4250000
4250000
0
4250000
BUNGA MODAL
4104720
0
4104720
9437635,3
0
9437635,3
BUNGA MODAL
4140120
0
4140120
5243948,6
0
5243948,6
7820000
0
7820000
7820000
0
7820000
24426140
102458120
77608279
22158616
99766894
BIAYA TATANIAGA
penanganan
TOTAL
C.
7020000
0
7020000
7020000
0
7020000
77127710
23899010
101026720
84350492
23331944
107682436
Sumber : Pengolahan Data (2010)
BIAYA TATANIAGA
penanganan
TOTAL
78031980
117
Lampiran 14. Struktur Biaya Finansial dan Ekonomi Deddy Fish Farm (Rp)
ANALISIS FINANSIAL 2008
Keterangan
A.
Domestik
Asing
Domestik
Asing
Keterangan
A.
Domestik
Asing
Total
ANALISIS EKONOMI 2009
Domestik
Asing
Total
PENERIMAAN OUTPUT
Benih Ikan Patin (3/4")
60937500
96037500
Benih Ikan Patin (3/4")
53625000
91162500
Benih Ikan Patin (1")
75562500
115537500
Benih Ikan Patin (1")
73125000
110662500
Larva
30000000
30000000
Larva
30000000
30000000
166500000
241575000
156750000
231825000
PENGELUARAN
TOTAL
B.
PENGELUARAN
BIAYA PRODUKSI
BIAYA PRODUKSI
Biaya Pemeliharaan Induk
Biaya Pemeliharaan Induk
1. Pelet
334400
4065600
4400000
300960
3659040
3960000
2. Penyusutan
a. Jaring Induk
b. Induk
3. TK Tetap
1. Ovaprim
2. Alat Suntik
3. Tenaga Kerja
120000
0
120000
108000
0
804100
12000000
108000
a. Jaring Induk
55900
860000
370680,75
0
12000000
10578000
25769,25
396450
b. Induk
0
10578000
2. Cacing Tubifex
342000
4158000
4500000
307800
3742200
4050000
120000
0
120000
108000
0
108000
3. TK Tetap
804100
55900
860000
370680,75
25769,25
396450
12000000
0
12000000
10731600
0
10731600
1580000
2420000
4000000
1422000
2178000
3600000
Biaya Penyuntikan
1580000
2420000
4000000
1422000
2178000
3600000
6768
9232
16000
6091,2
8308,8
14400
2. Alat Suntik
10152
13848
24000
9136,8
12463,2
21600
200000
0
200000
176300
0
176300
3. Tenaga Kerja
200000
0
200000
178860
0
178860
752400
9147600
9900000
603285,414
7334681
7937965,98
Pemeliharaan Larva
1. Artemia
1. Pelet
2. Penyusutan
Biaya Penyuntikan
ANALISIS FINANSIAL 2009
Total
PENERIMAAN OUTPUT
TOTAL
B.
Total
ANALISIS EKONOMI 2008
1. Ovaprim
Pemeliharaan Larva
752400
9147600
9900000
568730,97
6914571,3
7483302,24
1. Artemia
24500000
0
24500000
24500000
0
24500000
2. Cacing Tubifex
24500000
0
24500000
24500000
0
24500000
3. Pelet
380000
4620000
5000000
342000
4158000
4500000
3. Pelet
410400
4989600
5400000
369360
4490640
4860000
4. Minyak Tanah
1785300
964700
2750000
7141200
3858800
11000000
4. Minyak Tanah
1785300
964700
2750000
3607734,24
1949466
5557200
5. Bensin
421980
228020
650000
703778,24
380291,76
1084070
5. Bensin
379782
205218
585000
372439,548
201250,5
573690
6. Blitz ICH
746550
1143450
1890000
671895
1029105
1701000
6. Blitz ICH
799875
1225125
2025000
719887,5
1102613
1822500
7. Batu Aerasi
353600
46400
400000
318240
41760
360000
7. Batu Aerasi
353600
46400
400000
318240
41760
360000
8. Corong
36258,6
5741,4
42000
32632,74
5167,26
37800
8. Corong
41438,4
6561,6
48000
37294,56
5905,44
43200
9. Serokan larva
8000
0
8000
7200
0
7200
9. Serokan larva
12000
0
12000
10800
0
10800
10. TK Tukang
1000000
0
1000000
881500
0
881500
10. TK Tukang
1000000
0
1000000
894300
0
894300
118
Lampiran 14. Lanjutan
11. Penyusutan Peralatan
a. Akuarium
11. Penyusutan Peralatan
1700000
0
1700000
1530000
0
1530000
a. Akuarium
1700000
0
1700000
1530000
0
1530000
b. Blower
91200
148800
240000
82080
133920
216000
b. Blower
91200
148800
240000
82080
133920
216000
c. Selang
8633
1367
10000
7769,7
1230,3
9000
c. Selang
13812,8
2187,2
16000
12431,52
1968,48
14400
e. Genset
425000
75000
500000
382500
67500
450000
e. Genset
425000
75000
500000
382500
67500
450000
f. Hi Blow
136800
223200
360000
123120
200880
324000
f. Hi Blow
136800
223200
360000
123120
200880
324000
g. Rak Kayu
600000
0
600000
540000
0
540000
g. Rak Kayu
600000
0
600000
540000
0
540000
h. Kompor
50000
0
50000
45000
0
45000
h. Kompor
50000
0
50000
45000
0
45000
i. Terpal
1500000
0
1500000
1350000
0
1350000
i. Terpal
1500000
0
1500000
1350000
0
1350000
j. Jet Pam
456000
744000
1200000
410400
669600
1080000
j. Jet Pam
456000
744000
1200000
410400
669600
1080000
1. Garam
1650000
0
1650000
1230179,7
0
1230179,7
2. Penyusutan Ember
160000
0
160000
144000
0
144000
8000
0
8000
7200
0
7200
Penetasan Artemia
Penetasan Artemia
1. Garam
1650000
0
1650000
1017378,5
0
1017378,5
2. Penyusutan Ember
160000
0
160000
144000
0
144000
Pemanenan Larva
1. Serokan
Pemanenan Larva
6000
0
6000
5400
0
5400
1. Serokan
2.. Penyusutan Peralatan
2.. Penyusutan Peralatan
a. Tabung gas
240000
0
240000
216000
0
216000
a. Tabung gas
240000
0
240000
216000
0
216000
b. Baskom
100000
0
100000
90000
0
90000
b. Baskom
100000
0
100000
90000
0
90000
c. Fiber
300000
0
300000
270000
0
270000
c. Fiber
300000
0
300000
270000
0
270000
BIAYA OPERASIONAL
C.
BIAYA OPERASIONAL
1. Telepon
900000
0
900000
900000
0
900000
1. Telepon
900000
0
900000
900000
0
900000
2. Listrik
8400000
0
8400000
8400000
0
8400000
2. Listrik
8400000
0
8400000
8400000
0
8400000
3. Sewa Rumah + lahan
4250000
0
4250000
4250000
0
4250000
3. Sewa Rumah + lahan
4250000
0
4250000
4250000
0
4250000
BUNGA MODAL
4104720
0
4104720
9437635,3
0
9437635,3
BUNGA MODAL
4140120
0
4140120
5243948,6
0
5243948,6
7820000
0
7820000
7820000
0
7820000
24426140
102458120
77608279
22158616
99766894
BIAYA TATANIAGA
penanganan
TOTAL
C.
7020000
0
7020000
7020000
0
7020000
77127710
23899010
101026720
84350492
23331944
107682436
Sumber : Pengolahan Data (2010)
BIAYA TATANIAGA
penanganan
TOTAL
78031980
Lampiran 15. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Induk Patin
Fob Vietnam ($/ton)
freight & Insurance ($/ton)
Cif Indonesia ($/ton)
Nilai Tukar (Rp/$)
Premium Nilai tukar
Nilai tukar keseimbangan (Rp/$)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton)
Faktor konversi berat (kg/ton)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)
Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg)
Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg)
Harga paritas di tingkat petani (rp/kg)
830
87,565
917,565
9.771,67
0,996
9.806,17
8.997.798,376
1.000
8.997,798
1,65
250
9.249,448
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 16. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Artemia
Tahun 2008
Fob Cina ($/ton)
freight & Insurance ($/ton)
Cif Indonesia ($/ton)
Nilai Tukar (Rp/$)
Premium Nilai tukar
Nilai tukar keseimbangan (Rp/$)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton)
Faktor konversi berat (kg/ton)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)
Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg)
Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg)
Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg)
54.117,62
5.709,409
59.827,03
9.771,67
0,996
9.806,17
586.674.016,1
1.000
586.674,016
1,65
250
586.925,666
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 17. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Artemia
Tahun 2009
Fob Cina ($/ton)
freight & Insurance ($/ton)
Cif Indonesia ($/ton)
Nilai Tukar (Rp/$)
Premium Nilai tukar
Nilai tukar keseimbangan (Rp/$)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton)
Faktor konversi berat (kg/ton)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)
Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg)
Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg)
Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg)
54.117,62
5.709,409
59.827,03
10.356,17
0,996
10.402,22
622.333.916,7
1.000
622.333,917
1,65
250
622.585,567
Sumber : Pengolahan Data (2010)
119 Lampiran 18. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Garam
Tahun 2008
Fob ($/ton)
freight & Insurance ($/ton)
Cif Indonesia ($/ton)
Nilai Tukar (Rp/$)
Premium Nilai tukar
Nilai tukar keseimbangan (Rp/$)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton)
Faktor konversi berat (kg/ton)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)
Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg)
Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg)
Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg)
43,11
6,681
49,79
9.771,67
0,996
9.806,17
488.261,643
1.000
488,262
1,65
250
739,912
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 19. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Garam
Tahun 2009
Fob ($/ton)
freight & Insurance ($/ton)
Cif Indonesia ($/ton)
Nilai Tukar (Rp/$)
Premium Nilai tukar
Nilai tukar keseimbangan (Rp/$)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton)
Faktor konversi berat (kg/ton)
Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)
Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg)
Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg)
Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg)
53,52
8,296237905
61,82
10.356,17
0,996
10.402,22
643.026,106
1.000
643,026
1,65
250
894,676
Sumber : Pengolahan Data (2010)
120 Lampiran 20. Gambar Kegiatan Usaha Pembenihan Ikan Patin DFF
a.
c.
e.
Kolam Induk
b.
Pengecekan Kematangan Induk
Penyuntikan Induk Betina
d.
Pengambilan Benih
Memindahkan Benih
f.
Penghitungan Benih
121 Lampiran 20. Lanjutan
g.
i.
Benih yang Sudah Dihitung
Pemberian Oksigen untuk Benih
k.
Induk Ikan Patin
h.
Memasukkan Benih ke Plastik
j.
Artemia Kultur
l.
Benih Ikan Patin
Sumber : Survey Lapangan (2009)
122 
Download