PERWALIAN ANAK HASIL NIKAH SIRRI (Studi Kasus di Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah Disusun oleh: CHUSAENI RAFSANJANI ASSADAMI 211-10-010 FAKULTAS SYARI’AH JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016 PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Disampaikan dengan hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa: Nama : Chusaeni Rafsanjani Assadami NIM : 211-10-010 Judul :PERWALIAN ANAK HASIL NIKAH SIRRI(Studi Kasus di Desa Banyukuning Kecamatan BandunganKabupaten Semarang) dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah. Demikian nota pebimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salatiga, 1 Februari 2016 Pembimbing Farkhani, S.H., S.Hi., M.H NIP. 19760524 200604 1 002 ii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH Jl. Tentara Pelajar No.02 Telp.(0298) 323706 Fax 323433 Salatiga 50721 Website: www.iainsalatiga.ac.id E-mail: [email protected] PENGESAHAN Skripsi Berjudul: PERWALIAN ANAK HASIL NIKAH SIRRI (Studi Kasus di Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang) Oleh: Chusaeni Rafsanjani Assadami NIM : 211-10-010 telah dipertahankan di depan Sidang Munaqasyah Skripsi Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari , tanggal dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Pendidikan Agama Islam. Dewan Sidang Munaqasyah Ketua Sidang : ................................ Sekretaris Sidang : ................................ Penguji I : ................................ Penguji II : ................................ Salatiga, Dekan Fakultas Syariah Dra. Siti zumrotun, M.Ag. NIP. 19670115 199803 2 002 PERNYATAAN KEASLIAN iii Saya yang bertanda tangan dibawah ini: ` Nama : Chusaeni Rafsanjani Assadami NIM : 211-10-010 Jurusan : Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas : Syari‟ah Judul : PERWALIAN ANAK HASIL NIKAH SIRRI (Studi Kasus di Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang) menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Bandungan, 3 Februari 2016 Yang menyatakan, Chusaeni Rafsanjani Assadami iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO Sesuatu yang belum dikerjakan, sering kali mustahil. Kita baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik. Berdoa dan berusaha adalah kunci dari keberhasilan. PERSEMBAHAN Untuk kedua orang tuaku yang selalu mendo’akanku Untuk Kakek dan Nenekku yang saya hormati Untuk Adekku yang aku sayang Untuk saudara-saudaraku tercinta Untuk teman terbaikku yang memberikan semangat dan do’a Untuk dosen-dosen IAIN Salatiga yang telah membagi ilmunya Untuk teman-teman seperjuanganku yang telah berbagi Semangat v KATA PENGANTAR بسم اهلل الرمحن الرحيم Asslamualaikum wr. wb. Alhamdulillahirabbil‟alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafa‟atnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Dra. Siti zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga. 3. Ilya Muhsin,S.Hi., M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dalam perkuliahan. 4. Farkhani, S.H., S.Hi., M.H selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiranya guna membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terimakasih atas ilmu yang diberikan. vi 6. Orang tuaku dan adekku, Bapak Mudakir, Almarhumah Ibu Sukiyari dan Adek Farida tersayang yang selalu membantu, mendo‟akan dan memberi dukungan. 7. Kakek dan nenekku yang memberikan do‟a dan dukungan. 8. Teman-teman Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah angkatan 2010, yang telah memberikan semangat. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Akhirnya penulis menyadari atas keterbatasan yang dimiliki dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga masih banyak ditemui kekurangan dan ketidak sempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu yang berkah. Teriring do‟a dan harapan semoga amal baik dan jasa semua pihak tersebut di atas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT. Amin. Penulis vii ABSTRAK Assadami, Chusaeni, Rafsanjani. 2016.Perwalian Anak Hasil Nikah Sirri (Studi Kasus di Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang). Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pebimbing: Farkhani, S.H., S.Hi., M.H Kata Kunci:Perwalian, Anak Hasil Nikah Sirri Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan Pegawai Pencatat Nikah membedakan wali nikah dalam akta nikah dengan wali nikah dalam akad nikah, untuk mengetahui keabsahan sebuah pernikahan jika penulisan akta nikah berbeda dengan kenyataan. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Apa alasan Pegawai Pencatat nikah dalam membedakan pencatatan nikah dalam akta dengan yang sesungguhnya?, (2) Bagaimana keabsahan sebuah pernikahan yang berbeda dalam penulisan akta nikah dengan yang sesungguhnya?. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) yang dilakukan di Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Pelaksanaannya menggunakan metode pendekatan kualitatif diskriptif analisis yang umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: Prosedur pernikahan Mawar binti Totok dengan Kumbang yang terjadi di KUAKecamatan Bandungan Kabupaten Semarang telah sesuai dengan PMA No 11 Tahun 2007.Bahwa pernikahan antaraMawar binti Totok ialah pernikahan yang sah menurut hukum Islam maupun UU No 1 Tahun 1974. Bahwasanya dalam undang-undang perkawinan secara subtansial dikembalikan kepada ajaran agama masing-masing, atau setidak-tidaknya rumusan formalnya tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini nampak jelas jika kita baca pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Mengenai perbedaan fakta dan tulisan dalam akad nikah Mawar terjadi karena PPN menghindarimunculnya anggapan bahwa pejabat KUA kecamatan bandungan hanya ingin mempersulit pencatatan perkawinan. Masalah yang mucul dalam pernikahan anak anak hasil nikah sirri adalah, kurangnya pengetahuan, dan kesadaran orang tua mengenai pentingya sebuah pernikahan yang harusdicatan. Cara memecahkan masalah yang dilakukan Pegawai KUA sesalu mensosialisasai kepada seluruh warga kecamatan atas pentingya pectatan sebuah peristiwa seperti kelahira,pernikahan, dan kematian. viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi ABSTRAK ........................................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 5 D. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 6 E. Penegasan Istilah ..................................................................................... 7 F. Metode Penelitian ................................................................................... 8 G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 15 ix BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 17 A. Pernikahan............................................................................................... 17 1. Pengertian Nikah.............................................................................. 17 2. Syarat dan Rukun Nikah .................................................................. 18 3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ...................................................... 21 B. Perwalian................................................................................................. 24 1. Wali Dalam HukumIslam ................................................................ 24 2. Wali Menurut Undang-Undang ...................................................... 27 3. Macam-Macam Wali ...................................................................... 28 C. Peran Wali Dalam Pernikahan ................................................................ 34 D. Perpindahan Hak Wali Nikah ................................................................. 37 E. Status Pernikahan Sirri ............................................................................ 38 BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN .......................... 42 A. Gmbaran Umum Desa Banyukuning Kecamtan Bandungan Kabupaten Semarang................................................................................................. 42 1. Kondisi Geografis ............................................................................ 42 2. Kondidi Demografi .......................................................................... 43 B. Gambaran Kasus Penikahan Anak Hasil Nikah Sirri ............................. 47 C. Alasan PPN Kecamatan Bandungan Mencatatkan Wali Hakim............. 51 BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 53 A. Analisis Prosedur Pernikahan............................................................. 53 B. Analisis Keabsahan Pernikahan Terkait Dengan Perbedaan Wali Nikah Dalamakta Nikah Dengan Wali Nikah Dalam Akad Nikah .. 56 BAB V PENUTUP ............................................................................................... 64 x A. Kesimpulan......................................................................................... 64 B. Saran ................................................................................................... 65 xi DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin .......................................... 43 Tabel 3.2 Jumlah penduduk Menurut Mata Pencaharian ..................................... 43 Tabel 3.3 Sarana Pendidikan Formal .................................................................... 44 Tabel 3.4 Sarana Pendidikan Non Formal ........................................................... 44 xii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Daftar Nilai SKK Lampiran 3 Lembar Konsultasi Lampiran 4 Register Nikah Anak Hasil Nikah Sirri xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sehingga disebut sebagai pasangan suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawwaddah,warrahmahatau dengan ungkapan lain menuju rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Islam memandang perkawinan bukan hanya semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata biasa, akan tetapi lebih dari itu disamping kontrak perdata juga mempunyai dimensi aspek “ubudiyah”. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat (mitsaaqon ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Suma, 2004:375). Oleh karena itu perkawinan yang bernuansa syarat dengan nilai dan untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawwaddah,dan rahmahperlu dilaksanakan secara sempurna sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku agar tercapai maqashid asy-syari’ah. Prosesi suatu akad perkawinan haruslah memenuhi syarat dan rukun akad. Akad nikah adalah ikatan menurut cara yang sah dalam bentuk ijab yang diikrarkan oleh wali atau wakilnya dan qabul berupa kerelaan penerimaan ikrar wali oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. 1 Agar kuatnya akaddalam perjanjian menurut hukum perdata dapat dibuktikan dengan akta autentik. Dalam akad perkawinan akta nikah merupakan dokumen resmi yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagai alat bukti autentik tentang telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Namun realita dan kenyataannya terkadang pasangan calon pengantin sengaja tidak mencatatkan perkawinannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahkan sering melalaikannya, sehingga terjadilah perkawinan liar atau kawin dibawah tangan atau yang sering dikenal dengan nikah sirri.Hal ini terjadi karena kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih rendah. Selain itu faktor agama dan ekonomi juga ikut mempengaruhi terjadinya nikah sirri, ketika masyarakat indonesia yang mayoritas beragama Islam, banyak yang beranggapan bahwa pernikahan cukup dilakukan secara agama Islam saja, jadi pernikahan yang terjadi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan adanya faktor-faktor tersebutlah tindakan untuk melakukan nikah sirri makin marak dijumpai, baik dari kalangan kelas atas sampai kalangan kelas bawah. Hal tersebut dipengaruhi oleh keterbatasan pengetahuan mengenai hukum serta biaya. Sedangkan untuk kalangan atas mendalilkan takut akan dosa dan zina serta masih banyak alasan lain. Padahal jika mereka mengetahui akibat yang ditimbulkan dari melakukan 2 praktek nikah sirri, mereka akan enggan untuk melakukannya. Karena akibatnya akan merepotkan diri sendiri. Dalam pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, kemudian tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturanperundang-undangan yang berlaku (Tjittrosudibio, 2008:358). Dari bunyi undang-undang tersebut maka jelaslah bahwasanya pernikahan harus dicatat menurut undangundang, sebaliknya jika ada pernikahan yang tidak dicatatkan maka pernikahan tersebut tidak sah menurut undang-undang bahkan anak yang dilahirkan dari nikah sirri tersebut dianggap tidak sah pula. Akibat nikah sirri, salah satunyaanak akan menjadi korban, status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, sehingga dimata hukum tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya tetapi hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari ibunya saja (pasal 42 dan 43 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannya status anak tersebut dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumkannya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis anak dan ibunya. Hal tersebut jelas dapat mengakibatkan ketidak jelasan status anak dimata hukum. Dari pemaparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwasanya apabila dari pernikahan tersebut diperoleh anak perempuan 3 maka yang akan menjadi wali nikahnya di kemudian hari adalah Wali Hakim (Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam), karena anak tersebut dianggap oleh Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 sebagai anak tidak sah, dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari ibunya saja. Aturan perundang-undangan bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam hukum Islam, pernikahan dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukunnikah, antara lain syarat dan rukun tersebut ialah adanya wali nikah, adanya dua orang saksi, mahar, ijab dan qabul (Ramulyo, 1996:51-53). Apabila dari pernikahan tersebut diperoleh anak perempuan maka anak tersebut ialah anak sah dan yang akan menjadi wali nikahnya di kemudian hari adalah wali nasab. Menurut bapak Jalil seorang yang membantu melaksanakan pernikahan (mudin) di Desa Banyukuning dikarenakan adanya perbedaan aturan menurut undang-undang maupun menurut Hukum Islam, maka para pejabat dalam hal ini PPN (Pegawai Pencatat Nikah) mengambil kebijakan yaitu apabila ada anak perempuan yang lahir dari hasil nikah sirri, maka wali nikah dalam praktik akad nikah yaitu wali nasab, namun penulisan dalam akta nikah yaitu wali hakim. Dari kebijakan PPN inilah kemudian menimbulkan gap atau kesenjangan antara idealitas (seharusnya) dengan realitas (senyatanya). Yaitu apabila wali nikah mempelai wanita dalam akad tersebut ialah wali nasab, maka seharusnya PPN menulis atau mencatat dalam akta nikah 4 bahwa wali nikah mempelai perempuan tersebut ialah wali nasab pula, namun dalam kenyataanya Pegawai Pencatat Nikah(PPN) menulis atau mencatat dalam akta nikah bahwa pernikahan tersebut wali nikah mempelai wanita ialah wali hakim. Kemudian Berangkat dari latar belakang masalah inilah penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut ke dalam sebuah skripsi yang berjudul: Perwalian Anak Hasil Nikah Sirri(Studi Kasus Pencatatan Wali Nikah di Desa Banyukuning, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut: 1. Apa alasn PPN dalam pernikahan yang mencatatkan wali nikah wali hakim namum dalam akad nikah menggunakan wali nasab? 2. Bagaimana keabsahannya sebuah pernikahan apabilawali nikah dalam kenyataan dengan wali nikah yang dicatatkan oleh PPN berbeda? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah: 1. Untuk mengetahui alasn PPN dalam pernikahan yang mencatatkan wali nikah wali hakim namum dalam akad nikah menggunakan wali nasab. 5 2. Untuk mengetahui keabsahan sebuahpernikah apabila wali nikah yang senyatanya dan wali nikah yang tertera dalam akta nikah berbeda. D. Kegunaan Penelitian Manfaat atau kegunaan dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Penelitian ini sangat bermanfaat untukmemperkaya wacana keilmuan khususnya dalam bidang Hukum Islamdan juga menambahbahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 2. Secara Praktis a. Untuk PPPN(Pembantu Pegawai Pencatat Nikah) dan PPN (Pegawai Pencatat Nikah), agar dalam melaksanakan pernikahan harus melalui penelitian yang mendalam dalam memilih wali nikah. b. Untuk Jurusan Syari‟ah, sebagai tambahan referensi dan bahan kajian serta memperkaya wawasan di bidang pernikahan dan perwalian. 6 E. Penegasan Istilah 1. Perwalian Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Sedangkan wali dalam perkawinan adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah(Syarifuddin, 2006:69). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1989:1007), walidiartikan sebagai pengasuh pengantin perempuan ketika nikah, yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan laki-laki. Pengertian lain dari wali adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang (Muchtar, 1974:92). Dapat disimpulkan bahwa wali dalampernikahan adalah seseorang yang mempunyai hak untuk menikahkan. 2. Nikah Sirri Nikah sirri merupakan suatu istilah yang terbentuk dari dua kata, yaitu nikah dan sirri. Kata nikah merupakan kata serapan dari bahasa arab, yaitu nakaha, yankihu, nikaahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia nikah atau perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-istri. Dan kata sirri berasal dari bahasa arab yaitu sirran, dan sirriyyun. Secara etimologi kata sirran berarti secara diam-diam atau tertutup,secara 7 batin, atau di dalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius. kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua kata (nikah dan sirri) yang dalam kalangan umat Islamdi Indonesia sudah populer (Nurhaedi, 2003:56). Dalam pembahasan penulis hanya membahas konsep nikah sirri yang paling banyak dikenal yaitu suatu pernikahan yang dilakukan berdasarkan cara-cara agama Islam, tetapi tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak dipublikasikan. Jadi,yang membedakan nikah sirri dengan nikah umum lainya, terletak pada dua hal, yaitu tidak tercatat secara resmi oleh petugas pemerintah, dan tidak adanya publikasi. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian field research (penelitian lapangan) yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian apa objek yangdibahas yaitu bagaimana penerapan wali nikah bagianak hasil nikah sirri. Selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan gejala 8 secara menyeluruhmelalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivsi, tindakan, dan lainlain. secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiyah (Moleong, 2009:6). Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana proses pernikahan anakhasil nikah sirri di Desa Banyukuning, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Yang dimaksud denganpendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat fennomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat (Soekanto, 1986:4-5). a. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama dan peting karenaseorang peneliti secara langsung mengumpulkan data yang ada di lapangan. Sedangkan status peneliti dalam hal mengumpulkan data diketahui oleh subjek penelitian. 9 b. Lokasi Penelitian Penelitian Banyukuning, Semarang. ini dilakukan Kecamatan di wilayah Bandungan, Desa Kabupaten Karena wilayah ini mayoritas penduduknya beragama Islambahkan dapat dikatakan bahwa hampir 100% penduduk bergama Islamdan masih ada warga yang berstatus nikah sirri. 2. Sumber Data Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti. menurut Lofland dalam Moleong(2007:157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen lain (sumberdata tertulis, foto, dan statistik).Data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi: a. Data Primer Sumber dan data jenis penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan subjek serta gambaran expresi, sikap dan pemahaman dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. data atau informasi tersebut diperoleh secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji, dan bersedia memberi data atau informasi yang diperlukan. Sedangkan untuk pengambilan data dilakukan dengan bantuan catatan lapangan, bantuan foto atau apabila 10 memungkinkan dengan bantuan rekaman suara handphone. Sementara itu observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung di Desa Banyukuning, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. 1) Data Sekunder Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain data primer. Datanya buku-buku literatur, internet, majalah atau jurnal ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data tersebut diantaranya buku-buku referensi. Menurut Mestika Zed (2004:10) buku-buku referensi ialah koleksi buku yang memuat informasi yang spesifik, paling umum serta paling banyak dirujuk untuk keperluan cepat. 2) Prosedur Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, digunakam metode-metode sebagai berikut: a. Metode Wawancara Mendalam (depth interview) Dalam metode ini penulis menggunakan teknik interview guide yaitu cara pengumpulan data dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya guna memperoleh jawaban 11 yang langsung pula dari responden (Koentjaraningrat, 1986:138). Dalam penelitian ini wawancara dikakukan secara mendalam yang diarahkan pada masalah tertentu dengan cara informan yang sudah dipilih untuk mendapatkan data yang diperlukan. Teknik wawancara yang digunakan ini dilakukan secara tidak terstruktur, dimana peneliti tidak melakukan wawancara dengan struktur yang ketat kepada informan agar informasi yang diperoleh memiliki kapasitas yang cukup tentang berbagai asperk dalam penelitian ini. b. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalahmetode pengumpulan data dengan cara membaca dan mengtip dokumendokumen yang ada dan dipandang relevan. Dalam melaksanakan menyelidiki peraturan metode benda-benda rapat,catatan dokumentasi, tertulis harian, peneliti seperti dan buku, sebagainya (Arikunto, 1989:13). c. Metode Observasi atau Pengamatan Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad, 12 1994:164). Metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkungan di Desa Banyukuning, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Pengamatan ini termasuk juga di dalamnya peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun langsung diperoleh dari data (Moleong, 2007:174). d. Metode Analisis Data Metode analisis data adalah suatu cara penanganan terhadap objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan yag lain untuk mendapatkan pengertian yang baru. Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif dengan menerapkan metode berfikir induktif, yaitu suatu metode metode berfikir yang bertolak dari fenomena yang khusus dankemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum (Daymon, 2008:369). 3) Pengecekan Keabsahan Data Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin validitas data akan dilakukan triangulasi, yaitu teknik 13 pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2007:330). Validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada di lapangan atau tidak. a. Tahap-Tahap Penelitian 1) Penelitian pendahuluan Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan nikah dan buku lain yang berhubungan dengan pencatatan nikah. 2) Pengambangan Desain Setalah penulis mengetahuiberbagai hal tentang hukum nikah, kemudian penulis melakukan observasi ke objek penelitian untuk melihat secara langsung praktek nikah yang mana calon pengantin perempuan ialah anak hasil nikah sirri di Desa Banyukuning, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. b. Penelitian Sebenarnya Penulis melakukan penelitian dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian untuk meneliti 14 secara lebih mendalam tentang kasus yang sebenarnya terjadi mengenaipraktek nikah anak hasil nikah sirri di Desa Banyukuning, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. G. Sistematika Penulisan Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi ke dalam beberapa bab dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai berikut: a. BAB Imerupakan pendahuluan yang menjelaskan: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, dan metode penelitian yang terdiri dari;pendekatan dan jenis penelitian, waktu penelitian/kehadiran peneliti, tempat/lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, metode analisis data, pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian. Dan yang terakhir sistematika penulisan. b. BAB II kajian puataka menjelaskan pernikahan atau perkawinan yang meliputi:pengertian perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, rukun dan syarat perkawinan.Selain itu dalam bab ini menerangkan mengenai wali dan ruang lingkupnya yang meliputi;dasar Hukum Islam, wali menurut KHI, wali menurut Undang-Undang perkawinan.Kemudian terdapat penjelasan 15 mengenai peranan wali dalam perkawinan, syarat perkawinan dengan wali hakim, prosedur perkawinan dengan wali hakim. c. BAB III Hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum objek penelitian, gambaran kasus dan alasan KUA dalam pernikahan anak DesaBanyukuning hasil nikah Kecamatan sirri yang Bandungan terjadi di Kabupaten Semarang. d. BAB IV Pembahasan pokok permasalahan dari data hasil temuan-temuan mengenai: Analisis terhadap alasan KUA Kecamatan Bandungandalam dalam melaksanakan pernikahan anak hasil nikah sirri, analisis terhadap keabsahan nikahdi KUA Kecamatan Bandungan. e. BAB V Bab ini merupakan bab penutup atau bab akhir dari penyusunan skripsi yang penulis susun. Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian, saran-saran ataupun rekomendasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan Islamskhususnya hukum nikah. 16 tentang hukum-hukum BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan 1. Pengertian Nikah Pernikahan merupakan Sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, sebagai suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya (Abidin, 1999:9). Mengenai pengertian pernikahan terdapat beragam pendapat dari para ahli yang menjelaskan tentang pengertian pernikahan. Menurut Al-Mufarraj (2003:5) nikah menurut bahasa ialah AlJam’u dan Al- Dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdual-tazwij yang artinya akad nikah, juga bisa diartikan (wath’ual-zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmad Hakim (2000:11), bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab „nikahun’ yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’ilmadhi) „nakaha’, sinonimnya „tazawaja’ kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia. 17 Sedangkan menurut imam Syafi‟i, pengertian nikah ialah suatu akad yang denganya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi nikah ialah hubungan seksual (Ibrahim, 1971:65). Adapun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, “Nikah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Tjitrosudibio, 2008:357). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pernikahan ialah akad yang sangat kuat mitsaaqonghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Suma, 2004:375). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis mencoba membatasi pengertian pernikahan sebagai ikatan yang bersifat kontrol sosial antara pria dan wanita yang didalamnya diatur mengenai hak dan kewajiban, bersamaan emosional juga aktivitas seksual, ekonomi dengan tujuan untuk membentuk keluarga serta mendapatkan kebahagiaan dan kasih berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Syarat dan Rukun Pernikahan Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan 18 tersebut dari segi hukum. kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan (Syarifuddin, 2006:59). Dalam suatu acara pernikahan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti pernikahan tidak sah apabila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda bahwa rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atu tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut sedangkan syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atu tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) tetapi sesuatu itu tidak termasukdalam rankaian dalam pekerjaan tersebut (Hakim, 2000:9). Dalam hal menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedan dikalangan ulama yang berbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan diantara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus pernikahan tersebut. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah akad perkawinan, calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, dan mahar atau mas kawin (Abidin, 1999:68). Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Oleh karena itu yang menjadi rukun perkawinan oleh 19 golongan ini hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan (Syarifuddin, 2006:59). Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah yang dimaksud dengan perkawinan ialah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun perkawinan iu ialah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan yang di dalamnya terdapat kedua calon mempelai, akad nikah, wali, dua orang saksi. Sedangkan Mahar yang harus ada dalam setiap pernikahan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian mahar termasuk ke dalam syarat perkawinan (Syarifuddin, 2006:60). Undang-undang perkawinan dalam hal ini UU No 1 Tahun 1974 sama sekali tidak mencantumkan tentang rukun perkawinan. Undang-undang perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenan dengan unsur-unsur rukun perkawinan. Adapun syaratsyarat perkawinan yang terdapat dalam Undang-undang yaitu: a. Syarat-syarat materiil yaitu: 20 1) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. 2) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain. 3) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 8, pasal 9 dan pasal 10, yaitu larangan perkawinan. yaitu hubungan sedarah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, ke samping, semenda, dan susunan. 4) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun b. Syarat-syarat Formil yaitu: 1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan. 2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan. 3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masingmasing. 4) Pencatatan perkawinan perkawinan. 3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan 21 oleh pegawai pencatat Perkawinan merupakan syari‟at yang dibawa oleh Rasulullah Saw yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Nikah disyariatkan oleh Allah bukan tanpa tujuan dan hikmah. Nikah mempunyai beberapa tujuan dan hikmah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia sebagai perwujudan ajaran IslamRahmatanLilAlamin. berimplikasi pada kemaslahatan Ajaran bagi ini tentu kehidupan akan manusia sepanjang masa dan di manapun tempatnya (Mashalih Li AlNas Fi Kulli Al-Zaman Wa Al-Makan). Adapun tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, adalah : “Perkawinan Bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Sakinah, Mawaddah dan Rahmah”. Sementara Zakiyah Darajat (1985:64) mengemukakan bahwa tujuan pernikahan anara lain yaitu mendapatkan keturunan, menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih sayang, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, dan membangun rumah tangga untuk membenuk masyarakat yang tentram atas daasar cinta dan kasih sayang. Adapun hikmah nikah sangatlah banyak. Hikmah-hikmah tersebut sangat besar arti dan manfaatnya bagi kehidupan manusia yang diciptakan Allah secara fitrah terdiri dari lakilaki dan perempuan. Hanya dengan nikahlah maka keduanya 22 dapat disatukan dalam bahtera rumah tangga. Manusia juga makhluk sosial sehingga dengan mahligai rumah tangga kehidupan bermasyarakat akan terbangun dengan rapi dan teratur secara damai. Dalam hal ini menarik ungkapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhuss Sunnah (1990:18-21) mengenai hikmah nikah yakni: a. Sesungguhnya naluri sex merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Apabila jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka akan terjadi kegoncangan dan kekacauan yang mengakibatkan kejahatan. Pernikahan merupakan jalan yang terbaik dalam manyalurkan hasrat seksual. Dengan pernikahan tubuh menjadi lebih segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal. b. Meneruskan keturunan dan memeliharan nasab, karena dengan pernikahan akan diperoleh nasab secara halal dan terhormat. Ini merupakan kebanggaan bagi individu dan keluarga bersangkutan dan ini merupakan insting manusia untuk nasabnya. 23 berketurunan dan melestarikan c. Meningkatkan rasa tanggung jawab, karena dengan pernikahan berarti masing-masing pihak dibebani tanggung jawab sesuai dengan fungsi masing-masing. Suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas nafkah keluarganya, sedangkan istri bertanggung jawab atas pemeliharaan anak dan pengkondisian rumah tangga menjadi lebih nyaman dan tentram. d. Membuahkan tali kekeluargaan, kelanggengan rasa cinta antar memperkuat hubungan memperteguh keluarga kemasyarakatan, dan masyarakat yang saling mencintai dan saling menunjang merupakan masyarakat yang kuat dan bahagia. Dengan berbagai hikmah di atas jelaslah nikah disyariatkan oleh Allah membawa banyak faidah yang tiada terhingga. Karena terhindar dari hanya kerusakan dengan menikahlah manusia nafsu kebinatangan dapat dan dapat membangun budaya dan peradaban yang maju penuh dengan cinta dan kasih sayang. B. Perwalian 1. Wali Dalam Hukum Islam Kata "wali" berasal dari bahasa arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk jamak Awliya yang berarti pecinta, saudara, atau penolong 24 (Ma‟luf, 1975:919). Atau kata Al-Wilayah dan Al-Nasrah (pertolongan) artinya tempat berlindung sesuatu dan perlindungan terhadap sesuatu (Hudri, 1968:3). Dalam Bahasa Indonesia, perwalian adalah segala sesuatu yang menjadi urusan wali (Poerwadarminta, 1976:1147). Sedangkan menurut istilah dalam Kamus Beasar Bahasa Indonesia (1989:1007) "wali" mengandung pengertian orang yang diserahi mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa secara hukum agama, adat atau pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah (akad) dengan pengantin pria Abdurrahman Al-Jaziri (1992:54) mengatakan tentang wali dalam Al-Fiqh 'Ala Madhabi Al-Arba'ah bahwa Wali dalam nikah adalah yang menentukan sahnya akad nikah, dan tidak sah nikah tanpa adanya (wali). Oleh karena itu dapat difahami, perwalian adalah kekuasaan melakukan akad dan transaksi, baik akad nikah maupun akad lainnya, tanpa ketergantungan kepada orang lain. Subekti (1992:52) mengemukakan perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang tidak di bawah kekuasaan orang tua, serta pengawasan benda atau kekayaan anak yang diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, perwalian atau wilayah berarti suatu kekuasaan atau kewenangan yang 25 berasal dari Shara‟, untuk melakukan suatu tindakan atau akad pada orang yang dikuasai dan mempunyai akibat-akibat hukum (Mughniyah, 2000:345). Sayyid Sabiq (2004:10) mengatakan, "wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya". Al-Kahlani (1976:11) dalam kitab Subulu Al-Salam mengatakan, "wali ialah kerabat terdekat dari Asabah si calon mempelai perempuan, bukan keluarga Dhawil Arham (keluarga yang mendapat warisan atas nama keluarga). Para fuqaha membagi perwalian itu menjadi perwalian atas diri pribadi dan atas harta (kekayaan). Perwalian atas diri pribadi dimaksud adalah kekuasaan melakukan akad (perkawinan), tanpa ketergantungan kepada orang lain. Perwalian atas harta kekayaan ialah kekuasaan atau kewenangan mengurusi akad, berkaitan dengan harta atau kekayaan, yang dimiliki oleh seseorang di bawah perwaliannya, tanpa ketergantungan kepada orang lain. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat diambil suatu pengertian; bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita. Karena wali merupakan syarat sah nikah Sayyid Sabiq (2004:10) dalam bukunya Fikih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut: a. Merdeka 26 2. b. Berakal sehat c. Dewasa d. Beragama Islam Wali Menurut Undang Undang Masalah wali nikah di Indonesia yang terdapat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan dan PP No.9/1975 tentang pelaksanaan UU tersebut, ternyata belum didefinisikan secara eksplisit sebagai syarat dan rukun nikah. Akan tetapi hanya mengisyaratkan bahwa pernikahan yang tidak dihadiri wali atau tidak disetujui oleh wali, maka sebuah akad nikah akan menjadi gugur (Tjitrosudibio, 2008:545). Pernikahan bisa dicegah oleh wali nasab atau wali pernikahan atau orang yang memberikan pengasuhan baik kepada perempuan ataupun laki-laki. Jika salah satu pasangan berada di bawah perwalian umum dan perkawinan bisa menyebabkan akibat negatif baginya, maka wali bisa mencegah terjadinya perkawinan (Tjitrosudibio, 2008:542). Dalam kedua peraturan tersebut juga disinggung batas minimal usia nikah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, dan harus ada ijin dari orang tua bagi yang belum mencapai umur21 tahun (Tjitrosudibio, 2008:539). Istilah perwalian dalam UU ini bukan terkait dengan pernikahan, 27 melainkan lebih pada hubungan antara orang tua atau wali dengan anak ampuannya dalam urusan harta benda (Tjitrosudibio, 2008:551, 553). Adapun KHI dengan tegas memasukkan wali nikah sebagai salah satu rukun nikah yang dijelaskan dalam pasal 14: “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. b. Calon suami Calon istri c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab dan qabul. Selanjutnya, dalam pasal 19 disebutkan: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya” (Al- jazzili, 1992:116-119). Dalam masalah penentuan rukun nikah ini KHI masih terlihat sangat Syafi‟iyyah Oriented. Karenanya bentuk Eklektisme mazhab yang menjadi salah satu tujuan KHI belum nampak dalam pasal tersebut. 3. Macam Macam Wali Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakkam (seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali 28 dalam akad nikah). Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ketiga macam wali tersebut. a. Wali Nasab Yunus (1996:55) menguraikan wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya adalah: 1) Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas. 2) Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak). 3) Saudara laki-laki sebapak. 4) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung . 5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah. 6) Paman (saudara dari bapak) kandung. 7) Paman (saudara dari bapak) sebapak. 8) Anak laki-laki paman kandung. 9) Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah. Urutan di atas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak memenuhi persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan 29 bila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya ke atas. Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir. Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu dapat digantikan oleh wali yang lebih jauh. Yaitu apabila: Wali yang lebih berhak tidak ada, wali yang lebih berhak belum baligh, yang berhak menderita sakit gila, wali yang lebih berhak pikun karena tua, wali yang lebih berhak bisu tidak bisa diterima isyaratnya, wali yang lebih berhak tidak beragama Islam sedangkan wanita itu beragama Islam (Depag, 1987:1022).Jika wali yang lebih berhak tidak ada, maka yang menggantikannya adalah wali yang lebih jauh dengan memperhatikan urutan, seperti yang tercantudalam kutipan tersebut. Bila terjadi di luar ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain, yaitu wali sulthan atau hakim. Talib (1986:65) membagi wali nasab menjandi dua. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan itu mesti kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali 30 mujbir. Wali yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak perempuannya, dengan tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya, harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: 1) Tidak ada permusuhan antara wali mujbi dengan anak gadis tersebut. 2) Sekufu' antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya. 3) Calon suami itu mampu membayar maskawin. 4) Calon suami membahayakan tidak bercacat pergaulan dengan yang dia, seperti orang buta. Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa perkawinan dinyatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan tetapi bila salah satu persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka anak perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum dinikahkan. Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman yaitu 31 saudara laki-laki kandung atau sebapak dari bapak dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilineal (garis keturunan ayah). b. Wali hakim Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila: 1. Calon mempelai wanita tidak mempunyai walinasab sama sekali. 2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya. 3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada. 4. Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh masafah al-Qasri‟ (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km. 5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai. 6. Walinya adhal (membangkang, tidak mau menjadi wali) 7. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umrah. 32 8. Anak zina atau di luar nikah (dia hanya bernasab dengan ibunya). 9. Walinya gila atau fasiq (Depag. 1998:35) Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali nasab, kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 30 tahun 2005, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah kepala KUA Kecamatan. c. Wali Muhakkam Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fikihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki (Ramulyo, 1999:25). Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali 33 hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka. C. Peran Wali Dalam Pernikahan Terlepas dari perdebatan di kalangan ahli fiqh klasik dan kontemporer serta perundang undangan. Persoalan wali harus dikembalikan pada tujuan adanya wali dalam pernikahan (peran wali) itu sendiri. Tentang pentingnya peran wali, dengan merujuk pada Imam Malik dan Syafi‟i, Quraish menyatakan ”sekiranya wali tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan al-Baqarah (2): 232 tidak ada artinya”. Terhadap para wali ditujukan al-Baqarah (2): 221, sedang kepada kaum laki-laki juga dinyatakan dalam al-Baqarah (2): 221 (Shihab, 2003: 202203). Menurut Quraish Shihab, adanya larangan bagi wali atau bekas suami menghalang-halangi wanita yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah dengan laki-laki pilihannya bertujuan untuk menunjukkan pentingnya peran wali dalam sebuah perkawinan (Nasution, 2002:121122) Di samping itu, Quraish shihab juga berpandangan bahwa sangat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena “seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan”, maka ada sandaran yang dapat 34 dijadikan rujukan. Hal ini sejalan dengan jiwa perintah al-Qur‟an dalam surat an-Nisa‟ (4): 25 yang menyatakan “Nikahilah mereka atas izin keluarga (wali) mereka”. Walaupun ayat ini turun berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dinikahi (Shihab, 2003:203). Tujuan dan pentingnya peran wali dalam pernikahan Islam harus dikaitkan dengan tujuan dan prinsip pernikahan itu sendiri yaitu terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebelum mencapai tersebut maka tidak seharusnya perkawinan itu dipaksakan seorang wali kepada anaknya. Karena dengan adanya paksaan dan tanpa disertai musyawarah dalam menentukan calon pasangan anaknya, dikhawatirkan akan tumbuh benih-benih kebencian dan permusuhan antara anak dan orang tuanya yang bisa berimbas pada kandasnya bahtera rumah tangga. Sehingga tujuan pernikahan dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah akan gagal. Oleh sebab itu, musyawarah di antara anak dan wali dalam menentukan calon pasangan adalah jalan terbaik. Wali mempunyai pengalaman sangat dibutuhkan untuk memberikan saran-saran danpemikiran sesuai dengan pengalaman. Sementara perempuan yang akan menjalani kehidupan rumah tangga juga diberikan kebebasan dengan berdasarkan pada saran-saran dan pertimbangan wali (Nasution, 2002:126). Adapun nilai-nilai filosofis yang terkandung dari peran wali nikah, di antaranya: 35 a. Nilai Kemaslahatan, memelihara kemaslahatan dan menjaga hak-hak yang dimiliki oleh orang yang berada di bawah perwalian. b. Nilai Persamaan, tidak ada diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Laki laki dan perempuan berhak menjadi wali, begitu juga dengan laki-laki atau perempuan yang akan menikah mempunyai kesempatan yang sama untuk memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya. c. Nilai Musyawarah. Wali tidak berhak memaksakan kehendaknya untuk menentukan pasangan hidup bagi sang anak. Keduanya harus bermusyawarah untuk memilih yang terbaik bagi sang anak. d. Nilai Kebijaksanaan. Untuk menentukan pasangan hidup, amat bijaksana jika sang anak tetap menghadirkan walinya untuk dimintai pertimbangan. Karena perkawinan itu juga menyatukan dua keluarga. e. Nilai Kebebasan. Dengan memberi kebebasan pada anak untuk menentukan calon pasangan hidupnya. Sehingga anak tersebut bisa lebih menghargai dan menghormati walinya karena diberi kepercayaan untuk menentukan calon pasangannya. f. Nilai Keadilan. Dengan tidak adanya diskriminasi atas dasar jenis kelamin, strata sosial dalam memilih calon pasangan 36 hidup serta memandang bahwa wali dan anak punya hak dan kewajiban yang berimbang, maka keadilan akan tercapai. g. Nilai Kesejahteraan. Indonesia merupakan Negara hukum, segala sesuatu yang ada dalam masyarakat diatur dalam perundang-undangan. Dengan adanya aturan yang terkait dengan wali nikah diharapkan bisa melindungi hak-hak perempuan dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Dengan terpenuhinya nilai-nilai di atas dari peran wali, maka tujuan daripada perkawinan akan mudah terwujud yaitu keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. D. Perpindahan Hak Wali Nikah HakmenjadiWaliNikahterhadap perempuan adalah sedemikianberurutan,sehinggajika masihterdapatWaliNikahyang lebih dekat maka tidak dibenarkan Wali Nikah yang lebih jauh itu menikahkannya, jika masih terdapat Wali Nasab maka Wali Hakim tidakberhakmenjadiWaliNikah.Dalam urutanWaliNasab,Wali Nikah yang lebih dekat disebut Wali Aqrab, sedang yang lebih jauh disebutWaliAb'ad,misalnyaayah dankakek,ayahdisebutWali Aqrab sedang kakek disebut Wali Ab'ad. Demikian pula antara kakek danayahkakek,antaraayahkakekdansaudaralaki-laki sekandung, antara saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-lakiseayah dan seterusnya 37 (Junaedi, 2003:111). Hak Wali Nikah dari Wali Aqrab berpindah kepada Wali Ab'ad apabila: 1. Wali Aqrab tidak beragama Islamsedang calon mempelai perempuan beragama Islam. 2. Wali Aqrab orang yang fasiq. 3. Wali Aqrab belumbaligh. 4. Wali Aqrab tidak berakal (gila atau majnun). 5. Wali Aqrab rusak ingatannya sebab terlalu tua atau sebab lain. E. Status Pernikahan Sirri Nikah sirri secara etimologi berarti rahasia (Munawir, 1984:667) atau perbuatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nikah sirri juga disebut dengan nikah bawah tangan. Istilah pernikahan di bawah tangan ini lahir setelah UU Perkawinan berlaku, secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Pernikahan dibawah tangan pada dasarnya adalah kebalikan dari pernikahan yang dilakukan secara Undang-undang, dan pernikaha menurut Undang-undang. Dengan demikian, makna normatifnya adalah setiap pernikahan yang dilakukan tidak menurut hukum positif, berarti terkatagori pernikahan di bawah tangan (Gani, 1995:47).Sekalipun pernikahan di bawah tangan adalah wujud aplikatif dari ajaran Islam, harus dikaitkan secara langsung dengan kehidupan kenegaraan dimana masyarakat Islam itu berada. 38 Dalam rumusan ulama fikih, nikah sirri ada dua ; 1. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa pencatatan. Para ulama fikih sepakat melarang nikah sirri semacam ini. 2. Akad nikah yang dihadiri oleh para saksi, tetapi mereka diharuskan untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Para ahli fikih berbeda pendapat tentang keabsahan nikah sirri semacam ini. Sebagian ulama, seperti Hanafiyah dan Shafi‟iyah, berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah, sebab adanya saksi telah menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi. Sebagian ulama yang lain, seperti Imam Malik dan ulama yang sepakat dengannya, berpendapat; bahwa adanya pesan untuk merahasiakan pernikahan telah mencabut kesaksian dari ruh dan tujuan dishari‟atkannya pernikahan, yaitu publikasi. Oleh karena itu, maka pernikahan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum nikah sirri semacam ini adalah makruh (Zuhaili, 1997:69) Adapun fakta pernikahan sirri, adalah pernikahan yang sah menurut ketentuan shari‟at, namun tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama atau Lembaga Pencatatan Sipil. Sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni hukum pernikahannya dan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara. 39 Dari aspek pernikahannya, nikah sirri tetap sah menurut ketentuan shari‟at, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum, sebab suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh shari‟at. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatanperbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, seorang qadi (hakim) tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orangorang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah, atau mengerjakan perbuatan mubah ataupun makruh. Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan perbuatan haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara. 40 Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan Negara, tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal. sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia, karena pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah wali, mempelai dua orang saksi dan ijab dan qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara shari‟at, walaupun tidak dicatatkan pada kantor urusan agama atau pencatatan sipil. 41 BABIII PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang 1. Kodisi Geografis Desa Banyukuning ini letaknya di sebelah barat daya dari desa-desa yang ada di KecamatanBandunganKabupatenSemarang.Daridesa-desayangada di wilayah Kecamatan Bandungan, desa tersebut termasuk desa yang terbesar di Kecamatan Bandungan hal ini terjadikarena Desa Banyukuning mempunyai sebelas dusun dimana antara satu dusun dengan dusun yang lainya mempunyai jarak antara satu sampai satu setengah kilometer, di samping itu Desa Banyukuning juga mempunyai potensi lahan pertanian yang sangat luas. Letak Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang adalah dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Barat : Desa Sumowono Sebelah Utara : Desa Candi Sebelah Timur : Desa Kenteng Sebelah Selatan : Desa Genting 42 2. Kondisi Demografi Desa Banyukuningmemiliki wilayah yang cukup luas kirakira mencapai 754 Ha, sedangkan jumlah penduduknya 2.701 orang dengan perincian sebagai berikut: a. Menurut Jenis Kelamin Tabel 3.1 Laki laki Perempuan 1.507 1.191 (Sumber: Statistik Desa Banyukuning tahun 2012) b. Menurut Mata Pencaharian (Bagi Umur 10 Tahun ke Atas) Tabel 3.2 Jumlah Mata pencaharian Petani 421 Buruh tani 693 Pengusaha 12 Buruh industri/bangunan 432 Pedagang 132 43 PNS 89 Pensiun 50 Lain lain 325 (Sumber: Statistik Desa Banyukuning tahun 2012) c. Keadaan atau Kondisi Pendidikan DesaBanyukuningdalam pemerintahannyadidukungoleh berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang dapat menunjang kegiatanbelajarmengajardidesa tersebut.Adapunsarana pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut: Sarana pendidikan formal Tabel 3.3 No Lembaga pendidikan Jumlah 1 TK/RA 7 2 SD/MI 7 3 SMP/MTs 1 (Sumber: Statistik Desa Banyukuning tahun 2012) Sarana pendidikan non formal Tabel 3.4 No Lembaga pendidikan 44 Jumlah 1 Majlis Ta‟lim 3 2 TPQ 5 3 Madrasah Diniyah 2 (Sumber: Statistik Desa Banyukuning tahun 2012) d. Keadaan Sosial Keagamaan Penduduk Desa Banyukuning yang mayoritas beragama Islam setelah melakukan aktifitas sehari-hari dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk keluarga, juga ternyata mereka aktif melakukan kegiatan keagamaan, ini terbukti dengan banyaknya berdirinya Jam‟iyah atau pengajian baik itu pengajian ibu-ibu maupun bapak-bapak. Dalam rangka ikut menyemarakkan kegiatan keagamaan para pemuda juga berperan aktif dengan mendirikan kumpulan pengajian khusus remaja. Kegiatan seperti ini ditujukan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan jasmaniyah dengan rohaniyah karena pada kegiatan tersebut selalu diiringi dengan ceramah keagamaan oleh para tokoh agama yang sedikitbanyakkegiatansemacamitu dijadikansebagaisaranauntuk menambah pengetahuan ilmu agama. Dengan 45 seimbangnya kebutuhan jasmaniyahdenganrohaniyahdiharapkanketenangandalam hidup dapat tercapai. Berdasarkanobservasiyangpenulis lakukan, terdapat berbagai macam kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarangdan biasanya setiap orang hanya mengikuti satu kelompok pengajian. Berikut bentuk kegiatan keagamaan yang ada: 1. Barzanji Kegiatan ini dilakukan oleh para bapak dan ibu serta kelompok remaja yang masing-masing kelompok berasal dari berbagijenismajlista‟lim.Kegiatan ini rutin dilakukan seminggu sekali sesuai dengan hari yang telah ditentukan. Kegiatan ini di lakukan di rumah anggota masing-masing sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. 2. Tahlil Pembacaantahliliniumumnyadilakukan setiapmalam Jum‟at, syukuran, hajatan kemudian ketika ada pernikahan, khitanan dan kematian. 3. IstighotsahdanpembacaanManaqibSyaikhAbdulQodiral -Jilani serta pengajian pada malamJum‟at Kliwon 46 IstighotsahdanpembacaanManaqibSyaikhAbdulQ odir al-Jaelani ini dilakukan setiap Jum‟at Kliwon, kegiatan ini merupakanprogram rutinmasyarakatDesaBanyukuningKecamatan Bandungan KabupatenSemarang dalam rangkapengembangan Dakwah Islamiyah. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran pada setiapMasjidyangadadiDesa Banyukuning,kegiatannyaberupa istightosahdanpengajianumum yangdiisiolehulamasetempat, setelahistighotsahdanpembacaanManaqibSyaikhAbdul Qodir al-Jilani selesai maka dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh ulama setempat. B. Gambaran Kasus PernikahanWanita Hasil Nikah Sirri Penelitian ini dilakukan terhadap pasangan pelaku nikah sirri yang mempunyai anak perempuan dan telah menikah yang terdapat di beberapa wilayah di Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Beberapa responden yang ditemui tidak semuanya bersedia memberikan informasi. Responden yang bersedia memberikan informasi tidak semuanya memberi keterangan secara lengkap. Penjelasan yang diberikan sangat singkat dan terkesan tidak ingin orang mengetahui bahwa 47 pernikahannya adalah pernikahan sirri. Dari beberapa responden hanya ada 1 responden yang penulis anggap cukup memberikan data bagi penelitian ini. Untuk mendukung akurasi data, peneliti juga melakukan wawancara kepada sejumlah masyarakat, tokoh agama, hakim maupun akademisi. Kasuspernikahan sirri yang penulis teliti dilakukan oleh Totok (nama samaran) dengan Tatik (nama samaran) warga Desa Banyukuning Rt 03 Rw 01 Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Pernikahan antara keduanya terjadi akibat perjodohan kedua orang tuanya, totok dan tatik menikah ketika mereka masih menimba ilmu agama di pondok pesantren dan pernikahanya tidak dicatatkan di KUA, setelah mereka menikah Totokdan Tatikkembali ke pondok pesantren selama 3 tahun, kemudian mereka mukim atau pulang ke desanya, keduanya membangun rumah tangga yang harmonis sebagaimana keluarga pada umumnya. Namun sebelum Totok mencatatkan pernikahanya ternyata telah lahir seorang anak perempuan yang bernama Mawar (nama disamarkan), setelah beberapa waktu barulah totok mencatatkan pernikahanya di KUA setempat. Pada usia 24 tahunMawarmenikah dengan laki-laki bernamaKumbang (nama disamarkan)warga Pundung Putih Rt 02 Rw 03. Adapunakad nikah antara Mawar dengan Kumbangdilaksanakan dengan wali nasab namun dalam akta perkawinan ditulis wali hakim. Setelah penulis telusuri mendapat keterangan dari bapak Abdul Jalil, yang kedudukan posisi di desa tersebut sebagai modin, menurutnya Mawar 48 adalah anak hasil nikah sirri yang menurut kedudukanya dianggap sebagai anak luar nikah oleh pihak KUA, yang mana seharusnya anak tersebut dinikahkan oleh wali hakim. Di sisi lain dari pihak keluarga berpendapat bahwa Mawar adalah anak sah atau dalam kata lain anak yang dihasilkan dari pernikahan sah menurut Agama Islam yang telah memenuhi syarat rukun nikah menurut Agama Islam, hanya saja pernikahan antara kedua orang tua Mawarsaat itu tidak tercatat di KUA setempat, maka dari itu anggapan keluarga Mawar seharusnyadinikahkan oleh wali nasab yaitu bapak Totok (hasil wawancara dengan Abdul Jalil tanggal 15 September 2015). Berdasarkan keterangan yang didapat oleh penulis mengenai proses pendaftaran nikah antara saudara Mawardengan Kumbangdi KUA Kecamatan Bandungan, dapat diketahui bahwa proses pendaftaran nikah meliputi pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan penandatangan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah sesuai pendaftaran nikah pada umumnya(hasil wawancara dengan Abdul Jalil tanggal 15 September 2015). Dalam pemeriksaan nikah dalam hal ini memeriksa mengenai wali nikah, KUA Kecamatan Bandunganmencocokan data keterangan dari KTP Mawar dengan buku nikah orang tua Mawar, diketahui dari keterangan tersebut bahwasanya kelahiran anak tersebut kurang dari 6 bulan terhitung dari tanggal pernikahan orang tuanya yang tertulis pada buku nikah orang 49 tuanya, di sinilah pegawaiKUA menyimpulkan bahwasanyaMawar anak hasil luar nikah, kemudian wali nikah saudari Mawar tersebut ialah wali hakim. Kemudian dalam prosesi akad nikah penghulu atau PPN memeriksa ulang persyaratan nikah dan administrasi bagi kedua calon pengantin, wali, dan saksi. namun ketika PPN membacakan mengenai wali nikah saudari Mawar tersebut ialah wali hakim, ternyata salah seorang kerabat dari Mawar memprotes PPN mengenai wali nikah. Menurut kerabat Mawar seharusnya wali nikah Mawar ialah wali nasab yaitu bapak Totok yang mana pernikahan antara bapak Totokdengan istrinya ialah sebuah pernikahan yang sah menurut Agama Islam, maka seharusnya nasab dari anak yang dilahirkan ialah orang tua kandung yaitu bapak Totok, namun kerabat Mawarmengakui bahwa pernikahan Totok saat itu tidak dicatatkan di KUA atau dalam kata lain nikah sirri. Di sisi lain menurut pemeriksaan dari pihan PPN menyimpulkan bahwa wali nikah Mawar ialah wali hakim hal ini mengacu pada bukti outentik dari pencocokan atara KTP Mawar dengan buku nikah orang tuanya. Di sinilah kemudian timbul sedikit ketegangan dalam prosesi pernikahan Mawar. Dalam proses penyelesaian permasalahan di atas PPN meminta agar dihadirkan saksi-saksi yang menguatkan terhadap pernikahan orang tua Mawar. Setelah saksi-saksi dan orang yang menikahkan Totok dihadirkan oleh kerabat, kemudian PPN menyumpah para saksi dan menanyakan halhal yang bersangkutan dengan pernikahan orang tua Mawar.Dari sinilah 50 diketahui memang pernikahan yang dilakuakan orang tua Mawar ialah pernikahan sirri maka seharusnya wali nikah saudari Mawarialah wali nasab. Dari keterangan-keterangan yang didapat oleh PPN, kemudian PPN mengeluarkan kebijakan bahwasanya akad nikah Mawar secara riil atau senyatanya ialah wali nasab, namun dalam akta nikah wali nikah Mawar ialah wali hakim sesuai bukti outentik yang dikumpul di KUA dalam proses pendaftaran nikah antara Mawar dengan Kumbang. C. AlasanPPN Kecamatan Bandungan Mencatatkan Wali Hakim Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan menurut syariat Islam mengikat kepada setiap muslim, dan setiap muslim perlu menyadari bahwa di dalam perkawinan terkandung nilai-nilai ubudiyah, maka memperhatikan keabsahannya menjadi hal yang sangat prinsipil. Pernikahan yang disyariatkan oleh Islam mempunyai tujuan yang mulia baik untuk kehidupan umat muslim di dunia maupun di akhirat nanti, dan demi terwujudnya cita-cita mulia yang diharapkan dapat diraih umat muslim melalui pernikahan tidaklah luput dari aspek pemenuhan syarat-syarat dan rukun yang berdampak pada keabsahan pernikahan tersebut. Demikian pula halnya dengan pernikahan yang terjadi antara saudari Mawar dengan saudara Kumbangpada tanggal 22 Mei 2012 dengan wali nasab bapak kandung dari saudari Mawar yang bernama 51 Totokdan dicatatkan berdasarkan wali hakim di KUA Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Untuk mengetahui alasan-alasan PPN yang membuat kebijakan dalam pernikahan Mawarpenulis menggali informasi langsung dari PPN yang berhubungan langsung dengan pernikahan tersebut yaitu bapak Sutrisna S.H yang pada saat itu menjabat sebagai kepala KUA Kecamatan Bandungan. Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang mencatatkan pernikahan tersebut wali yang digunakan berbeda dengan bukti riil yakni akta-akta autentik yang mempunyai kekuatan hukum.Antara lain alasan-alasan PPN dalam menuliskan akta perkawinan dalam pernikahan Mawar: a. Bahwa pernikahan yang dilakukan oleh saudari Mawar telah didaftarkan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan telah memenuhi syarat- syarat dan rukun pernikahan. b. Tidak di dapati adanya halangan atau larangan untuk kedua calon mempelai melanjutkan niat baik mereka untuk pemenuhan Sunnah Nabi Muhammad SAW melalui pernikahan. c. KUA adalah pelayan masyarakat yang mengurusi bidang pernikahan, talak, rujuk. KUA tidak bisa memaksakan masyarakat untuk melaksanakan Peraturan-Peraturan yang diatur oleh pemerintah melainkan dibutuhkan proses dan sosialisasi yang 52 cukup waktu dan tempat agar Peraturan tersebut dapat diterima oleh masyarakat. d. Menghindari munculnya anggapan bahwa pejabat KUA Kecamatan Bandungan hanya ingin mempersulit pencatatan pernikahan. BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Prosedur Pernikahan Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa: “tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku”. Jadi agar pernikahan tersebut diakui oleh negara dan mendapatkan perlindungan maka pernikahan yang dilakukan harus didaftarkan dan dicatatkan kepada pegawai yang berwenang untuk mendapatkan alat bukti dan pengakuan yang sah dari negara. Setiap alat bukti autentik dari setiap peristiwa penting haruslah berdasarkan kenyataan yang sebenar-benarnya dan berdasarkan alat bukti lainnya. Alat bukti yang berkekuatan hukum tetap dalam hal pernikahan tertuang dalam kutipan akta nikah. Sehingga pernikahan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau 53 seseorang yang menikah tanpa adanya bukti akta nikah maka nikahnya dianggap tidak memiliki kekuatan hukum. Kesadaran masyarakat akan adanya pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan kutipan akta nikah pun semakin tinggi sebagai adanya bukti legalitas atas peristiwa penting. Dengan adanya buku kutipan akta nikah itu maka timbullah segala akibat hukum dari pernikahan antara kedua suami-istri bahkan antara dua keluarga. Sebagaimana penjelasan diatas, seseorang yang menikah tanpa dicatat oleh PPN atau tidak mempunyai akta nikah maka nikahnya tidak sah menurut UU yang berlaku di suatu negara. Hal ini adalah sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannyaitu. Kekuatan mengenai adanya peristiwa hukum seperti nikah, talak, rujukadalah penting, baik bagi yang berkepentingan maupun bagi masyarakat. Karena hal ini akan berimbas kepada beberapa hukum dan akibat hukum lainnya. Oleh karena itu perlu adanya pencatatan resmi dari pemerintah yang tertuang dalam suatu akta. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis mengenai proses pendaftaran nikah bagi anak hasil nikah sirri yang terjadi di KUA Kecamatan Bandungan antara saudari Mawar dengan Kumbang, dapat diketahui bahwa proses pendaftaran nikahnya di KUA Kecamatan 54 Bandunganadalah sama seperti proses pendaftaran nikah masyarakat Islam pada umumnya yang meliputi pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan penandatangan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah. Dalam melaksanakan tugasnya PPN harus selalu bertidak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pejabat yang diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan UndangUndang no. 22 tahun 1946 pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan. PPN mempunyai kedudukan yang jelas di depan hukum sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam dalam wilayahnya (Dirjen Bimas, 2007:5). Dalam PMA 11 tahun 2007 dijelaskan bahwa pejabat yang berwenang mengurus pernikahan bagi umat Islam bertempat di KUA dan catatan sipil bagi yang beragama non muslim.Berdasarkan cerita hasil wawancara dengan pelaku nikah, modin dan PPN dapat dikatakan bahwa prosedur pernikahan yang dilakukan Mawardengan Kumbangtelah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam PMA 11 Tahun 2007, sehingga tidak ada alasan bagi PPN untuk tidak melaksanakan pencatatan nikah. Lebih jelasnya sesui dengan PMA 11 Tahun 2007 yaitu: 1. Pasal 5 ayat 1 dan 2 tentang pemberitahuan kehendak nikah. 2. Pasal 9 ayat 1, 2 dan 4 tentang pemeriksaan nikah. 55 3. Pasal 13 ayat 1, 2, dan 3 tentang pengumuman kehendak nikah. 4. Pasal 26 dan 27 tentang pencatatan nikah. B. Analisis Keabsahan Pernikahan Terkait Dengan Perbedaan Wali Nikah Dalam Akta Nikah Dengan Wali Nikah Dalam Akad Nikah Mengenai keabsahan suatu pernikahan telah diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya itu”. Pada penjelasan pasal tersebut dinyatakan: “Dengan perumusan pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanyadan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945”.“Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undangini”. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islamyang berbunyi: “Perkawinan adalahsah,apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan”. 56 Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang perkawinan secara subtansial dikembalikan kepada ajaran agama masing-masing, atau setidak-tidaknya rumusan formalnya tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. maka dapat ditarik kaidah hukumbahwa sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh ajaran agama, bukan oleh undang-undang. Yang memiliki otoritas menentukan sah tidaknya perkawinan adalah Syari’ (pembuat syari‟at), bukan manusia atau kelompok manusia melalui legislasi ataupun yurisprudensi. Dengan demikian perkawinan yang sah menurut agama maka sah menurut peraturan perundang-undangan. Namun demikian perkawinan yang belum tercatat tersebut belum memenuhi hukum formil perkawinan karena belum dicatat pada Pegawai Pencatat yang berwenang/belum memiliki bukti Akta Nikah. Oleh sebab itu, meskipun secara materiil perkawinan itu sah tetapi secara formil belum sah, sehingga selamanya dianggap tidak pernah ada perkawinan kecuali jika dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh PegawaiPencatatNikah. Sebagaimana yang telah dipaparkan penulis dalam bab 2 nikah sirri dipahami sebagai nikah yang sah yang telah terpenuhi syarat rukun nikah sesui hukum Islam, maka bahwasanya kedudukan wali dalam pernikahan anak perempuan hasil nikah sirri mempunyai urutan yang harus dipatuhi oleh semua pihak dan tidak boleh dilanggar tanpa ada persetujuan dari wali sebelumnya yang lebih berhak. Dan dalam pelaksanaan pernikahan anak hasil nikah sirri yang menjadi objek penelitian oleh penulis didapati 57 bahwasanya wali nikah anak hasil nikah sirri ini sesuai dengan perwalian nikah menurut hukum Islam. Dalam pernikahan yang dilakukan antara Mawardengan Kumbang telah diketahui bahwa pernikahan tersebut telah sesuai dengan hukum Islam, telah terpenuhinya semua syarat dan rukun nikah.Maka pernikahan antara Mawardengan Kumbangtersebut adalah sebuah pernikahan yang sah. Mengenai Pencatatan Perkawinan diatur dalamPasal 2 ayat 2 UUNo. 1 Tahun 1974yang berbunyi:“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yangberlaku”. Pada penjelasan umum UU No 1 Tahun 1974 angka 4 huruf b, dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftarpencatatan”. Pasal 1 ayat 1UU No. 22 Tahun 1946menyatakan: “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah”.Pada penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa: “Maksud 58 pasal ini ialah supaya nikah, talak dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastianhukum”. Pasal 5 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI): “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harusdicatat”.Pasal 5 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI): “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No.32/1954”.Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI): “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai PencatatNikah”. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975Pasal 2 ayat 1: “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak danRujuk”. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975Pasal 11 ayat3: “Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secararesmi”. Dalam suatu negara yang teratur, segala hal bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti kelahiran, kematian, pernikahan dan sebagainya. sehingga perkawinan perlu dicatat untuk menjaga jangan sampai adakekacauan. 59 Atas dasar pemikiran ini maka kita dapat melihat betapa urgensinya percatatan perkawinan itu. Pencatatatn perkawinan bertujuan agar terwujud adanya kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan formil ini bersifat prosedural danadministratif. Menurut hukum perkawinan di Indonesia, Akta Nikah ini mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi formil dan fungsi materiil. Fungsi formil (Formalitas Causa), artinya untuk lengkapnya atau sempurnanya (dan bukan untuk sahnya) suatu perkawinan, haruslah dibuat Akta Otentik, yaitu Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1946 dan pasal 7 ayat (1) KHI). Disini Akta Nikah merupakan syarat formil untuk adanya perkawinan yang sah. Fungsi materiil (probationis causa) artinya, Akta Nikah mempunyai fungsi sebagai alat bukti bahwasanya telah terjadi sebuah peristiwa hukum yaitu sebuh pernikahan tersebut.Dengan demikian maka suatu perkawinan yang sah tidak akan sempurna jika tidak dicatat pada Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang (Zainuddin, 2006:28) Pegawai Pencatat Nikah mempunyai tugas dan wewenang untuk mengawasi, membantu dan mencatat perkawinan. Mengawasi artinya menjaga jangan sampai perkawinan itu melanggar ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga perkawinan yang terjadi merupakan perkawinan yang sah baik menurut hukum 60 materiil maupun hukum formil perkawinan. Dengan kata lain memenuhi ketentuan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2UU No. 1 Tahun 1974. Untuk itu maka Pegawai Pencatat Nikah diberikan wewenang untuk Memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi, Mencegah terjadinya perkawinan jika syarat-syarat belum terpenuhi, Menolak dilangsungkannya perkawinan apabila perkawinan itu melanggar ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Membantu artinya memberikan kemudahan dan hal-hal yang diperlukan demi lancarnya pelaksanaan perkawinan. Termasuk disini menjadi wali hakim, mewakili wali dalam akad nikah dansebagainya (Mardjono. 1995:33). Dengan adanya pencatatan perkawinan maka eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui. Dengan demikian maka suatu perkawinan dianggap sah apabia telah memenuhi dua syarat, yaitu: 1. Telah memenuhi hukum materiil, yaitu dilakukanmemenuhisyarat dan rukun menurut hukum Islam. 2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah yangberwenang. Perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan hukum materiil tetapi tidak memenuhi ketentuan hukum formil dianggap tidak pernah ada perkawinan atau wujuduhu ka’adamihi. Sedang perkawinan yang telah memenuhi hukum formil tetapi ternyata tidak memenuhi ketentuan secara hukum materiil dapatdibatalkan. 61 Diketahui bahwa wali nikah yang tercatat dalam buku kutipan akta nikah saudari Mawardengan Kumbang adalah tidak sesuai dengan fakta riil yang sebenarnya. Padahal yang bertindak sebagai wali nikah atas saudari Mawar adalah bapak Totok selaku bapak kandung. Namun dalam hal ini KUA mempunyai kewenangan untuk mengadakan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah yang diatur dalam pasal 2 PMA Nomor 11 Tahun 2007: “Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan”. Kemudian dalam hal pencatatan perkawinan anak yang terjadi dalam pernikahan Mawardalam buku kutipan akta nikah inipun berdasarkan bukti autentik sebagaimana yang tertulis dalam N-1 (Surat keterangan untuk nikah), N-2 (Surat keterangan tentang asal-usul calon pengantin), N-3 (Surat persetujuan mempelai), dan N-4 (Surat keterangan tentang orang tua) yang didapatkan dari Kantor Kelurahan berdasarkan Kartu Keluarga, KTP, dan buku nikah orang tuanya. Namun KUA memiliki kewenangan sendiri dalam pelaksanaan pernikahan dan pencatatannya agar pernikahan tersebut sesuai dengan Hukum Islam dan pencatatannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Dalam pernikahan yang terjadi antara Mawardengan Kumbang, PPN berusaha agar pernikahan tersebut dapat sejalan dengan Hukum Islam dan 62 undang-undang pernikahan dapat terlaksana.Akibatnya PPN memposisikan pencatatan nikah sebagai syarat administrasi yang dalam pencatatan nikah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sesuai pada bukti outentik, namun pernikahan tersebut juga sesuai dengan Hukum Islam.Maka dari situlah mengakibatkan perbedaan wali nikah dalam akta nikah dengan wali nikah dalam akad nikah. Mengenai perbedaan wali nikah yang tercatat dengan wali nikah dalam akad yang tejadi dalam pernikahan Mawardengan Kumbang terjadi tanpa adanya indikasi kelalaian atau faktor kesengajaan untuk meremehkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun dikarenakan faktor-faktor yang disebabkan oleh keterbatasan PPN, menghindari anggapan negatif terhadap KUA yang dianggap mempersulit pencatatan nikah, dan juga karena faktor orang tua Mawar yang menginginkan sebagai wali nikah dalam pernikahan anaknya. Dengan melihat bahwasanya pelaksanaan perkawinan atas saudari Mawar dengan saudara Kumbang Telah memenuhi hukum materiil, yaitu dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam,dan Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah yangberwenang maka pernikahan antara Mawardan Kumbang tersebut ialah pernikahan yang sah. 63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, maka pada bab ini penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang mencatatkan pernikahan tersebut wali yang digunakan berbeda dengan bukti riil yakni akta-akta autentik yang mempunyai kekuatan hukum. Antara lain alasan-alasan PPN dalam menuliskan akta perkawinan dalam pernikahan Mawar: a. Bahwa pernikahan yang dilakukan oleh saudari Mawar telah didaftarkan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan telah memenuhi syarat- syarat dan rukun pernikahan. 64 b. Tidak di dapati adanya halangan atau larangan untuk kedua calon mempelai melanjutkan niat baik mereka untuk pemenuhan Sunnah Nabi Muhammad SAW melalui pernikahan. c. KUA adalah pelayan masyarakat yang mengurusi bidang pernikahan, talak, rujuk. KUA tidak bisa memaksakan masyarakat untuk melaksanakan Peraturan-Peraturan yang diatur oleh pemerintah melainkan dibutuhkan proses dan sosialisasi yang cukup waktu dan tempat agar Peraturan tersebut dapat diterima oleh masyarakat. d. Menghindari munculnya anggapan bahwa pejabat KUA Kecamatan Bandungan hanya ingin mempersulit pencatatan pernikahan. 2. Bahwa pernikahan antaraMawar binti Totok ialah pernikahan yang sah menurut hukum Islam maupun UU No 1 Tahun 1974. Bahwasanya dalam undang-undang perkawinan secara subtansial dikembalikan kepada ajaran agama masing-masing, atau setidaktidaknya rumusan formalnya tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini nampak jelas jika kita baca pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Mengenai perbedaan fakta dan tulisan dalam akad nikah Mawar terjadi karena PPN menghindarimunculnya anggapan bahwa pejabat KUA 65 kecamatan bandungan hanya ingin mempersulit pencatatan perkawinan. B. Saran-saran Dengan terselesainya skripsi ini, ada beberapa hal yang menjadi harapan penulis, antara lain : 1. Perlu adanya penyuluhan hukum terhadap masyarakat tentang perkawinan (munakahat), sehingga masyarakat paham betul tentang seluk-beluk perkawinan. 2. Merekomendasikan kepada Kementerian Agama atau Kantor Urusan Agama (KUA) untuk melakukan fungsi pengawasan dengan menggerakkan tokoh agama maupun modin di desadesa, menganjurkan mengurus buku nikah dan menempuh prosedur sesuai perundang-undangan yang berlaku. 3. Menganjurkan Kementerian Agama (KUA) untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak guna mencegah atau memperkecil terjadinya nikah sirri. 66 67 DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesi. Jakarta: Akademika Pressindo. Arikunto, Suharsimi. 1992.Prosedur PenelitianSuatu Pendekatan Praktik. Jakarta:Bina Aksara. Abidin, Slamet, Aminuddin. 1999.Fiqh Munakahat. Bandung: Pusaka Setia. Daymon, Kristina. 2008.Metode-Metode Riset Kualitatif Dalam Publik Relation Dan Marketing Communication. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. Darajat, Zakiah. 1985.Ilmu Fiqh.Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Departemen Agama Ri. 1987.Ensiklopedia Islam, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam. . 1997.Pedoman Pegawai Pencatat Nikah Dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat Dan Wakaf. Gani, A. 1995. Perkawinan Dibawah Tangan. Mimbar Hukum. Hakim,Rahmad. 2000.Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hudri, Ahmad. 1968. Al-Ahwal Al-Shaksiyah. Mesir: Almaktabah Alarabiyyah Ibrahim, Hosen. 1971. Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak, Rujuk.Jakarta: Ihya Ulumuddin. Junaedi, Dedi.2003. Bimbingan Perkawinan.Jakarta:Akademika Pressindo. Koentjaraningrat. 1986.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Aksara Baru Kahlani. 1976.Subul Al-Salam. Bandung: PT. Al-Ma‟arif. Louis, Ma'luf. 1975. Al-Munjid. Beirut:Dar Al-Masyri. Mardjono, Hartono.1995. Syarat Manakah Yang Menentukan SahnyaPerkawinan. Mimbar Hukum. Mestika. Zed. 2004.Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moleong, J,Lexy.2007.Metode Penelitian Kualitatif. Bandunga; PT Remaja Rosdakarya. Muchtar, Kamal.1974. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang Mufarraj. 2003.Bekal Pernikahan. Jakarta: Mandiri Cipta Persada. Mughniyah, Muhammad, Jawwad. Jakarta:Terj.Masykur Ab.Lentera. 2000.Fikih Lima Mazhab. Nurhaedi, Dadi. 2003.Nikah Di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, Jogjakarta: Saujana. Nasution, Khoiruddin. 2002.Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia. Jakarta: Inis. Poerwadarminta. 1976.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ramulyo, Mohd, Idris. 1995.Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Ramulyo,Idris. 1999.Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:Bumi Aksara. Sabiq, Sayyid. 1990.Fiqhussunnah. Bandung: Al-Ma‟arif. __________2004.Fiqhussunnah. Bandung: Al-Ma‟arif. Soekanto,Soerjono. 1986.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ui-Press. Suma, Muhammad, Amin. 2004.Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Syarifiddin, Amir. 2006.Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kecana. Subekti. 1992.Pokok-Pokok Hukum Perdata.Jakarta: PT Intermasa. Shihab, Quraisy. 2003.Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. Tjitrosudibio. 2008.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Malta Printindo. Talib,Sayuti. 1986.Hukum Kekeluargaan Islam. Jakarta:Ui Press Yunus, M. 1996.Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Zainuddin, Ali.2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Zuhaili, Al Wahbah. 1997.Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Beirut:Dar Al-Fikr.