TINJAUAN SYARI`AH TERHADAP DEPOSITO

advertisement
TINJAUAN SYARI’AH TERHADAP DEPOSITO BERBASIS KOMODITI
MURABAHAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
FITOYO PAMBUDI
NIM: 107046101953
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/ 2011 M
LEMBAR PERNYATAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Juni 2011
Fitoyo Pambudi
‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ‬
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur Kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya, serta shalawat dan salam bagi Nabi
Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“TINJAUAN
SYARI’AH
TERHADAP
DEPOSITO
BERBASIS
KOMODITI
MURABAHAH” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan
strata satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini bukan hanya sematamata hasil jerih payah penulis sendiri, melainkan berkat bimbingan, bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak yang tak ternilai harganya.
Atas dasar itu penulis dengan tulus ikhlas mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan setiap masalah yang
dihadapi oleh penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Amin Suma, SH, MH, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Program Studi Muamalat Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag, Sekretaris Program Studi Bapak
iii
Mu’min Rauf, MA yang telah memberikan keluasan kesempatan untuk
penyelesaian skripsi ini.
3. Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido, MA. yang telah membimbing penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
serta Pimpinan
Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah menyediakan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.
5. Seluruh Staf pengajar beserta Asisten Dosen dan Karyawan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
6. Kedua orang tuaku tercinta dan tersayang Ayahanda Sulanjar dan Ibunda
Asmirah, serta kakanda Eko Sulistyo dan Dwi Fatimah yang dengan tulus selalu
mendoakan, memberi dorongan dan semangat tiada henti kepada penulis,
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini yang juga menjadi
amanah bagi penulis kepada orang tua. Semoga Allah selalu memberikan
perlindungan kepada semua di bawah payung kasih sayang-Nya. Amin
7. Keluarga besar PS C 2007, Didin, Fahmi, Fairuz, Dwi, Acha, rekan-rekan
LiSEnSi (Lingkar Studi Ekonomi Syari’ah) dan FoSSEI, Amel, Mawaddah, Jaja,
Bimo, Khaikal, Fikri, Wahyu, serta sahabat TaRAs (Ta’lim Remaja As-Syafa’at)
yang telah memberikan banyak pelajaran berharga selama masa studi penulis di
kampus, serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
iv
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan pihak-pihak yang telah
disebutkan atas bantuan yang telah diberikan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mempersembahkan skripsi
ini kepada semua pihak yang berkepentingan, dengan harapan skripsi ini dapat
bermanfaat.
8 Rajab 1432 H
Jakarta, --------------------10 Juni 2011 M
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul
No. Halaman
Surat Pernyataan .................................................................................................
ii
Persetujuan Pembimbing ....................................................................................
iii
Kata Pengantar ....................................................................................................
iv
Daftar Isi ..............................................................................................................
vi
BAB I
BAB II
:
:
PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………..
7
D. Review Studi Terdahulu ..…………………………………...
7
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan …………………...
9
F. Sistematika Penulisan ………………………………………
11
DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH ........... 12
A. Pengertian Bursa Komoditi Berjangka ……………………..
12
B. Hukum Bursa Komoditi Berjangka ..............................…….
18
C. Pengertian Deposito ......................………………………….
34
D. Pengertian Komoditi Murabahah ...........................................
35
E. Jenis-Jenis Komoditi Murabahah ...........................................
39
F. Tawarruq dan Implementasinya Pada Inovasi Keuangan
Syari’ah ..................................................................................
vi
40
BAB III
:
MEKANISME DAN PROBLEMATIKA DEPOSITO
BERBASIS KOMODITI MURABAHAH ................................
50
A. Mekanisme Deposito Berbasis Komoditi Murabahah ……….
50
B. Problematika Yang Ada Pada Transaksi Deposito Berbasis
Komoditi Murabahah ....................................................……..
BAB IV :
53
AKAD DAN ANALISA PROBLEMATIKA PADA
DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH ..........
56
A. Akad-Akad Yang Digunakan Pada Deposito Berbasis
Komoditi Murabahah ....................................................…….
56
B. Pemenuhan Rukun dan Syarat Akad-Akad Yang Digunakan
Pada Deposito Berbasis Komoditi Murabahah .…..………...
60
C. Analisa Terhadap Problematika Yang Ada Pada Deposito
Berbasis Komoditi Murabahah …...…………..…..…………
BAB V
:
73
PENUTUP
A. Kesimpulan ...……...…………..……………………………..
82
B. Saran ……...…….……………………………………………
84
DAFTAR PUSTAKA ………………..…………………………………………
85
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring perkembangan zaman, saat ini banyak sekali ditemukan berbagai jenis
transaksi keuangan Islam berkembang mulai dari yang paling sederhana hingga yang
konsepnya sangat kompleks. Mulai dari industri perbankan syari’ah, asuransi
syari’ah, pasar modal, bahkan bursa komoditi berjangka pun tidak mau ketinggalan
dalam mengikuti tren tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya commodity trading.
Produk future trading ini dikembangkan untuk memperluas instrument pasar uang
antar bank syariah yang lazim diterapkan pada Bank Syari’ah di luar negeri1, salah
satunya adalah komoditi murabahah.
Produk investasi berbasis komoditi murabahah memang telah dikenal cukup
lama di luar negeri. Namun untuk konteks di Indonesia, komoditi murabahah
merupakan hal baru, dan konsep produk yang ditawarkan adalah deposito fixed return
dimana bank syari’ah menjaring dana masyarakat untuk ditempatkan pada sejumlah
komoditas dengan menggunakan akad murabahah. Sehingga dengan murabahah
tersebut bank syariah bisa mendapatkan return tetap (marjin) dari pembiayaan
1
Soewardi Yusuf, Commodity Trading Sebagai Alternatif Instrument Solusi Likuiditas Pada
Perbankan Syariah, (Jakarta: Karim review, special edition January 2008), h.6.
1
2
komoditas. Selanjutnya, bank syariah dapat memberikan return tetap (marjin) bagi
nasabah deposito berbasis komoditi murabahah.
Dalam praktiknya konsep ini banyak mendapat kritikan dari para akademisi
karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan ekonomi Islam sebenarnya. Masalah yang
disoroti adalah akad yang dipakai dalam transaksi ini menggunakan akad tawarruq
atau bai’ inah, yang mana keduanya kontroversi dan masih dalam perdebatan di
kalangan ulama2.
Para ulama klasik dari Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali memandang
tawarruq sebagai transaksi yang diperbolehkan secara legal. Islamic Fiqh Academy,
yang beranggotakan negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI pada konferensi
tahunan sesi ke 15 di kota Mekkah, telah mengeluarkan resolusi yang mendukung
diperbolehkan transaksi tawarruq, dengan syarat pembeli tidak menjual kembali
barang yang telah dibelinya kepada penjual pertama dengan harga yang lebih rendah,
langsung atau tidak langsung, sebab kalau hal itu terjadi, maka bisa dikatakan masuk
dalam kategori transaksi yang mengandung riba. 3
Para ulama dari Mazhab Maliki tidak setuju dengan penjualan barang dengan
harga yang lebih tinggi dari harga pasar apabila dilakukan oleh seseorang yang
mengambil keuntungan pinjaman dengan cara yang masuk dalam kategori riba. Umar
Ibn Abdul ‘Aziz dan Muhammad Ibn al Hasan tidak setuju dengan tawarruq. Ibnu
2
Lukman Hakim Handoko, “Kritik Terhadap CMP” diakses pada 6 Desember 2010 dari
http://luqmannomic.wordpress.com/2008/09/08/kritik-terhadap-produk-commodity-murabahahproduct-cmp-bag-1/.
3
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
pada
7
Desember
2010
dari
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
3
Taimiyyah dari Mazhad Hanbali, dan muridnya Ibn al-Qayim sangat tidak setuju
dengan Tawarruq dan menyamakan dengan katagori ‘inah. Sebagian dari Ulama
Hanafi telah melarang transaksi ini dan menyamakannya dengan ‘inah, namun
sebagian lagi, seperti Ibn al-Humam mengatakan kalau tawarruq tidak terlalu di
senangi atau khilaf al –awla. 4
Selain permasalahan akad, karena produk ini berkaitan dengan futures, maka
perlu dipertanyakan juga objek transaksinya atau underlying asset-nya yang dikaitkan
dengan harga komoditas, misalnya metal di London Metal Exchange. Sehingga
terkesan hanya mem-benchmark tanpa disertai keberadaan metalnya secara fisik atau
underlying. Hal tersebut terjadi karena praktisi perbankan syari’ah hanya menitik
beratkan suatu transaksi pada pemenuhan rukun akad saja, yaitu adanya underlying
transaction. Sehingga pada akhirnya menyebabkan underlying trannsaction tidak
berfungsi sebagai hakikat atau tujuan transaksi tetapi sekedar menjadi justifikasi atas
hakikat atau tujuan sebenarnya dari transaksi itu, yaitu transaksi untuk mendapatkan
sejumlah uang (credit transaction). Padahal secara teori, murabahah harus jelas objek
transaksi atau underlying asset-nya.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, segala transaksi bisnis harus berbasis pada
sektor riil dan harus menunjukan penciptaan barang dan jasa yang merefleksikan
penciptaan kekayaan bukan transfer kekayaan. Karena penciptaan kekayaan memiliki
peranan yang sangat mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Hal tersebut sesuai
4
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
pada
7
Desember
2010
dari
4
dengan tujuan ekonomi Islam yaitu falah baik di dunia dan maupun di akhirat.
Aktivitas transfer kekayaan (non produktif) hanya akan memperkecil perputaran
barang dan jasa yang tentunya tidak sejalan dengan tujuan maqasid syariah,5 yang
menurut Al- Syatibi terdiri dari 5 kebutuhan dasar, yakni pemenuhan kebutuhan
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.6
Di sisi lain, market shared perbankan syariah hingga akhir Desember 2010
baru mencapai angka 3,2 persen. Dari November angka ini naik sekitar Rp 7 triliun,
dari angka Rp 66 triliun menjadi 100,8 triliun. 7 Tentu porsi tersebut masih sangat
kecil dari total market shared perbankan nasional.
Meski demikian upaya untuk menggenjot pangsa pasar perbankan syariah
tetap terus dilakukan. Salah satu upaya strategis adalah inovasi produk sesuai dengan
kebutuhan pasar tetapi tetap berada dalam koridor prinsip-prinsip syariah. Inovasi
produk perbankan syariah di Indonesia masih kurang dan masih .jauh tertinggal.
Produknya masih monoton dan bahkan terkesan kaku, kurang dinamis.
Berdasarkan kajian dari praktisi perbankan syariah dari Kuwaity Investment
Company., Baljeet Kaur Grewal,(2007) Indonesia menduduki kluster ketiga dalam
inovasi produk bank syariah dan pengembangan pasar. Sedangkan kluster keempat
5
Ali Sakti, “Commodity Murabahah dan Implikasinya Dalam Perekonomian”,diakses pada 5
Desember 2010 dari http://abiaqsa.blogspot.com/2007_08_01_archive.html
6
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, (Kairo: Mushtafa Muhammad, T.th), jilid 2,
h.374
7
“Market Shared Perbankan Syari’ah Diharapkan Naik 3,2 Persen ” diakses pada 25 Februari
2011
dari
http://www.republika.co.id/berita/bisnis-syariah/berita/11/02/09/163120-market-shareperbankan-syariah-diharapkan-naik-32-persen
5
yang merupakan kluster tertinggi adalah Malaysia, Uni Emirat Arab dan Bahrain.
Kluster keempat adalah negara yang paling inovatif dan variatif dalam
pengembangan produk.
Terdapat hubungan kuat antara inovasi produk dengan pengembangan pasar
bank syariah. Semakin inovatif bank syariah membuat produk, semakin cepat pula
pasar berkembang. Maka, lemahnya inovasi produk bank syariah, membuat
lambatnya pengembangan pasar (market expansion).
Inovasi produk diperlukan agar bank syari’ah bisa lebih optimal dalam
memanfaatkan fenomena global. Karena itu harus melakukan inisiatif akselerasi luar
biasa dalam pengembangan pasar dan pengembangan produk.
Oleh karenanya, beberapa tahun lalu tepatnya bulan April 2008 HSBC
Amanah Syariah bekerjasama dengan Danamon Syariah memperkenalkan produk
Komoditi Murabahah ini dengan nama Amanah Fixed Investment. Menurut Head of
HSBC Amanah Syariah Mahmoud Abushama, produk ini merupakan produk
pengelolaan dana pihak ketiga yang pertama di Indonesia yang menggunakan struktur
komoditi murabahah (commodity murabaha structure) yang tentunya memberikan
kesempatan diversifikasi portofolio investasi para nasabahnya dalam produk investasi
pendapatan tetap dan pastinya sudah disetujui oleh Bank Indonesia (BI) maupun
Dewan Syariah Nasional. 8
8
“HSBC Amanah Syariah Luncurkan Komoditi Murabahah”,diakses pada 3 November 2010
dari http://economy.okezone .com/index.php/ReadStory/2008/04/03/21/97305/hsbc-amanah-syariahluncurkan-komoditi murabahah
6
Bahkan perkembangan komoditi murabahah di Indonesia belakangan berbuah
respon positif dari Bursa Berjangka Jakarta. Karena pengembangan produk komoditi
syariah berlabel Murabahah Comodity dari Bursa Berjangka Jakarta atau Jakarta
Futures Exchange (JFX), diperkirakan akan terbit pada Juli 2011.9
Oleh karena permasalahan futures trading (bursa komoditi berjangka)
khususnya Komoditi Murabahah sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya,
merupakan persoalan yang baru muncul di abad modern, yang secara pasti tidak
ditemukan dalil yang rinci yang berbicara tentang ini. Bermula dari uraian di atas,
maka penulis tertarik melakukan pengkajian yang lebih mendalam tentang komoditi
murabahah dengan judul TINJAUAN SYARI’AH TERHADAP DEPOSITO
BERBASIS KOMODITI MURABAHAH.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Oleh karena dirasa terlalu luas pembahasan tentang komoditi murabahah ini,
maka penulis membatasi penelitian ini hanya dalam jenis komoditi murabahah
deposito dan perspektif fikih mu’amalahnya, dan agar penulisan ini lebih terarah serta
efisien dalam mencapai tujuan, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1.
Bagaimanakah konsep deposito berbasis komoditi murabahah yang dipraktekkan
dalam perbankan syari’ah?
9
“ Produk Komoditas Berjangka Syariah Siap Terbit Juli 2011”,diakses pada 5 April 2011
dari detikfinance.com
7
2.
Bagaimanakah pendapat para ulama terkait akad-akad yang digunakan dalam
deposito berbasis komoditi murabahah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui seperti apa konsep deposito berbasis komoditi murabahah
yang dipraktekkan dalam perbankan syari’ah.
2.
Untuk mengetahui pandangan para ulama terkait akad-akad yang digunakan
dalam deposito berbasis komoditi murabahah.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Bagi penulis pada khususnya dapat menambah khazanah keilmuan dan
mengembangkan daya analisis berupa gagasan atau pendapat yang direalisasikan
melalui karya ini, mengenai deposito berbasis komoditi murabahah.
2. Bagi para akademisi dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi kuliah.
3. Bagi para praktisi perbankan syariah, dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk meningkatkan sharia compliance demi menjaga produkproduknya agar tidak keluar dari prinsip-prinsip syari’at Islam
4. Bagi masyarakat, dapat dijadikan untuk menambah pengetahuan dan juga
sebagai bahan pembelajaran terhadap kompleksnya produk-produk perbankan
syari’ah.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Tinjauan studi terdahulu dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
8
1.
Artikel dengan judul “Commodity Murabahah Product (CMP) Dalam
Perspektif Hukum Ekonomi Islam” yang ditulis oleh Luqman Hakim
Handoko. Perbedaannya dengan skripsi penulis adalah artikel tersebut melihat
komoditi murabahah dari sudut pandang ekonomi Islam. Meskipun di dalamnya
terdapat penjelasan terkait akad-akad yang digunakan pada transaksi ini, namun
penjelasan tersebut masih sangat minim karena artikel ini tidak menjelaskan
tempat terjadi transaksi (bursa komoditas berjangka). Sedangkan skripsi ini fokus
pada komoditi murabahah dalam bentuk penghimpunan dana serta penjelasan
terkait bursa komoditi berjangka dari aspek fikih mu’amalah.
2.
Artikel yang ditulis oleh Muhammad Gunawan Yasni, SE.Ak., MM yang
berjudul “Kritik Syariah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity BankBank Asing”. Adapun perbedaannya dengan skripsi penulis adalah artikel ini
hanya melihat komoditi murabahah sebagai kontrak berjangka yang mengandung
unsur gharar tanpa menganalisa lebih dalam aspek-aspek syari’ah lainnya,
sebagaimana yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini.
3.
Artikel yang ditulis oleh Nibra Hosen yang berjudul “Tawarruq”. Adapun
perbedaannya dengan skripsi penulis adalah artikel ini hanya melihat komoditi
murabahah dari aspek tawarruqnya saja, tanpa melihat akad-akad lain yang
digunakan pada komoditi murabahah selain tawarruq sebagaimana yang ingin
diungkapkan penulis pada skripsi ini.
4.
Artikel dari Soewardi Yusuf yang dimuat dalam jurnal KARIM Review Special
Edition, January 2008 dengan judul “Commodity Trading Sebagai Alternatif
9
Instrument Solusi Likuiditas Pada Perbankan Syari’ah”. Tulisan ini lebih
mengarah kepada bagaimana perbankan syari’ah menjadikan commodity trading
sebagai solusi untuk manajemen likuiditasnya. Hal ini jelas sangat berbeda
dengan skripsi penulis yang akan membahas komoditi murabahah dari aspek
syari’ah.
5.
Skripsi tahun 2003 yang berjudul “Bursa berjangka komoditi : sebuah
tinjauan etika bisnis Islami” yang merupakan skripsi tahun 2003 dari Deny
Pribadi mahasiswa program studi Mu’amalat FSH UIN Jakarta. Adapun skripsi
ini hanya membahas tentang bursa berjangka komoditi tanpa menjelaskan
komoditi murabahah sebagaimana yang ingin penulis sampaikan.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam mendekati masalah
yang diangkat adalah pendekatan normatif atau empiris.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini dirancang untuk mengumpulkan
informasi tentang keadaan–keadaan nyata sekarang. Tujuan dari menggunakan
jenis penelitian deskriptif kualitatif adalah untuk menggambarkan sifat suatu
keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan. Jenis
penelitian deskriptif kualitatif adalah sebagai kegiatan yang meliputi
10
pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan yang menyangkut
keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok penelitian. Dari
penjelasan di atas maka penelitian yang dilakukan oleh penulis termasuk jenis
penelitian deskriptif kualitatif karena penulis menentukan dan melaporkan
keadaan sekarang yang sedang terjadi dengan mengumpulkan, menyusun dan
mendeskripsikan berbagai dokumen, data dan informasi yang aktual yang
bertujuan untuk menjelaskan permasalahan sampai menemukan jawaban yang
diharapkan.
c. Data Penelitian
Data Penelitian yang digunakan penulis bersumber dari data sekunder
dengan jenis data yang bersifat kualitatif.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan penelitian library
research (studi pustaka) yaitu kajian kepustakaan yang dilakukan untuk
mencapai pemahaman yang komprehensif tentang konsep yang akan dikaji.
Bahan yang digunakan untuk kajian pustaka adalah buku, majalah dan
beberapa makalah yang berkaitan dan relevan dengan kajian ini.
2. Teknik Penulisan
Sebagai buku pedoman penulisan proposal ini, penulis merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2007.
11
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review
Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, serta
Sistematika Penulisan.
BAB II
DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH terdiri dari:
Pengertian Bursa Komoditi Berjangka, Hukum Bursa Komoditi
Berjangka, Pengertian Deposito, Pengertian Komoditi Murabahah,
Jenis-Jenis
Komoditi
Murabahah,
serta
Tawarruq
dan
Implementasinya Pada Inovasi Keuangan Syari’ah.
BAB III
MEKANISME DAN PROBLEMATIKA DEPOSITO BERBASIS
KOMODITI MURABAHAH terdiri dari: Mekanisme Deposito
Berbasis Komoditi Murabahah, serta Problematika pada Deposito
Berbasis Komoditi Murabahah.
BAB IV
AKAD DAN ANALISA PROBLEMATIKA PADA DEPOSITO
BERBASIS KOMODITI MURABAHAH terdiri dari: Akad-Akad
Yang Digunakan Pada Deposito Berbasis Komoditi Murabahah,
Pemenuhan Rukun dan Syarat Akad-Akad Yang Digunakan Pada
Deposito Berbasis Komoditi Murabahah, serta Analisa Terhadap
Problematika Yang Ada Pada Deposito Berbasis Komoditi Murabahah.
BAB V
PENUTUP terdiri dari: Kesimpulan dan Saran.
12
BAB II
DEPOSITO BERBASIS KOMODITI MURABAHAH
A. Pengertian Bursa Komoditi Berjangka
Sebelum membahas lebih jauh tentang komoditi murabahah, kita harus
mengetahui terlebih dahulu tentang bursa komoditi berjangka, karena tempat ini
merupakan tempat berlangsungnya transaksi komoditi murabahah.
1. Pengertian Bursa
Bursa; Burshah adalah tempat untuk memperjualbelikan sekuritas, valuta
asing, atau barang yang dilakukan secara teratur (bourse).1 Bursa juga dapat
diartikan sebagai pasar yang di dalamnya berjalan usaha jual beli saham yang
berkaitan dengan hasil bumi dengan melibatkan para broker sebagai perantara
antara penjual dan pembeli saham. 2 Secara umum bursa merupakan tempat
transaksi produk-produk surat berharga di bawah pembinaan dan pengawasan
pemerintah.3
Jadi bursa merupakan tempat yang memperjualbelikan surat-surat
berharga seperti saham, sekuritas, obligasi, valuta asing, dan lain sebagainya.
Asal mula istilah “bursa” digunakan untuk menunjukkan tempat atau
transaksi yang berhubungan dengan surat-surat berharga yang merujuk kepada
1
Ahmad Ifham, “Definisi Bursa Berjangka”, diakses pada 22 Desember 2010 dari
http://sharianomics.wordpress.com/2010/12/15/definisi-bursa-berjangka/
2
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah
Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.291
3
Husein al-Syahatah dan Athiyyah Fayyadh, Bursa Efek: Tuntunan Islam Dalam Transaksi
di Pasar Modal. Penerjemah A. Syakur (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004), h.3.
12
13
julukan seorang pedagang Belgia yang bernama Van der Bourse. Pedagang
tersebut memiliki hotel di kota Bruges, Belgia yang menjadi tempat bertemunya
para pedagang di kota tersebut. Adapun aktivitas ini terjadi pada abad keenam
belas masehi. 4
2. Macam-Macam Transaksi Bursa Efek
a. Dari Sisi Waktu
Dilihat dari sisi waktu, transaksi bursa terbagi menjadi dua macam:
1) Transaksi Spot (tunai). Yakni transaksi dimana dua pihak yang
melakukan transaksi melakukan serah terima jual beli secara langsung
atau paling lambat dua kali 24 jam
2) Transaksi Forward (berjangka). Yakni transaksi yang diputuskan
setelah beberapa waktu kemudian yang ditentukan dan disepakati saat
transaksi. Bahkan terkadang harus diklarifikasi lagi pada hari-hari yang
telah ditetapkan oleh komite bursa dan ditentukan serah terimanya di
muka. 5
Adapun yang dimaksud dengan transaksi spot adalah serah terima barang
secara nyata bukan sekedar transaksi semu, atau bukan sekedar jual beli tanpa
disertai barang ril sebagai objek yang diperjualbelikan.
Sementara transaksi forward pada umumnya bertujuan untuk semacam
investasi terhadap berbagai jenis harga tanpa keinginan untuk melakukan jual
beli secara ril, dimana jual beli ini pada umumnya hanya transaksi pada naik
turun harga saja.
4
Husein al-Syahatah dan Athiyyah Fayyadh, Bursa Efek: Tuntunan Islam Dalam Transaksi
di Pasar Modal. Penerjemah A. Syakur (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004), h.3.
5
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah
Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.292.
14
Bahkan di antara transaksi forward ada yang bersifat permanen bagi
kedua pihak yang melakukan jual beli. Ada juga yang memberikan beberapa
bentuk hak pilih sesuai dengan bentuk transaksi. Transaksi yang memberikan hak
pilih ini memiliki perbedaan dengan transaksi lain, karena orang yang
mendapatkan hak pilih harus membayar biaya kompensasi bila ia menggunakan
hak pilih tersebut.
b. Dari Sisi Objek
Adapun jika dilihat dari sisi objek, transaksi bursa terbagi menjadi dua
macam:
1) Transaksi yang menggunakan kertas-kertas berharga (bursa efek)
Bursa efek sendiri objeknya adalah saham, obligasi, serta suratsurat berharga lainnya. Dimana saham merupakan jumlah satuan dari
modal koperatif yang sama jumlahnya bisa diputar dengan berbagai cara
transaksi dan harganya bisa berubah-ubah sewaktu-waktu tergantung
keuntungan dan kerugian berdasarkan kinerja perusahaan tersebut.
2) Transaksi
yang
menggunakan
barang-barang
komoditas
(bursa
komoditi)
Adapun objek jual beli pada bursa komoditi umumnya berasal dari
alam, namun komoditas tersebut tidak dihadirkan pada saat transaksi.
Jual beli dilakukan dengan menggunakan barang contoh atau
berdasarkan nama dari satu jenis komoditi yang disepakati dengan
penyerahan tertunda.
15
3. Bursa Komoditi Berjangka
Bursa komoditi merupakan tempat pertemuan antara permintaan dan
penawaran komoditas dan derivatifnya. Pihak penjual dan pihak pembeli barangbarang komoditas bertemu di bursa tersebut. Selain pembeli dan penjual, adapula
pedagang perantara yang dikenal dengan komisioner dan makelar. Komisioner
mengambil posisi sendiri, sedangkan makelar tidak dapat memegang posisi. 6
Komoditi yang umumnya ditransaksikan adalah kopi, kakao, gula,
kedelai, jagung, emas, tembaga, kapas, lada, gandum, dan CPO (crude palm oil,
minyak sawit mentah), katun, susu, logam (emas, perak, nikel) dan juga kontrak
berjangka yang menggunakan komoditi sebagai aset acuannya. Kontrak
berjangka ini mencakup harga spot, kontrak serah, kontrak berjangka dan opsi
berjangka ataupun suku bunga, instrumen lingkungan hidup, swap, ataupun
kontrak derivatif pengangkutan. 7
Bursa komoditi biasanya memperdagangkan kontrak berjangka atas
komoditi. Seorang petani yang menanam jagung dapat menjual kontrak
berjangka jagung yang baru akan dipanennya beberapa bulan kemudian dan
mendapatkan jaminan harga yang akan diterimanya kelak pada saat barang akan
diserahkan setelah panen dilakukan; dan seorang produsen makanan ringan
serealia membeli kontrak tersebut saat ini dan mendapatkan jaminan bahwa
harga tidak akan naik pada waktu barang dikirimkan kelak. Hal ini akan
6
7
“Bursa Komoditi”, diakses pada 9 Desember 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Komoditi
“Bursa Komoditi”, diakses pada 9 Desember 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Komoditi
16
melindungi petani dari kejatuhan harga dan melindungi pula pembeli dari
kenaikan harga.
Spekulator juga melakukan pembelian dan penjualan kontrak berjangka
untuk mendapatkan keuntungan dan menyediakan likuiditas terhadap sistem
perdagangan berjangka.
Bursa berjangka adalah tempat/fasilitas memperjual belikan kontrak atas
sejumlah komoditi atau instrumen keuangan dengan harga tertentu yang
penyerahan barangnya disepakati akan dilakukan pada saat yang akan datang.
Kontrak adalah mengikat pada saat terjadinya kesepakatan antara pembeli dan
penjual. Tidak ada pasar sekunder untuk kontrak dalam perdagangan berjangka.
Semua kontrak adalah kontrak primer dan setiap kontrak (dengan subjek kontrak
tertentu) yang terjadi (dibuka) harus didaftarkan pada otoritas bursa setempat,
jadi kontrak diciptakan di bursa. 8
Bursa berjangka menentukan suatu nilai minimum dimana harga komoditi
dapat bergerak naik maupun turun. Minimum fluktuasi ini dikenal sebagai
"kode" atau "tick" atau commodity tick. Setiap kontrak berjangka memiliki
ukuran yang berbeda-beda, jumlah, penilaian dan lain-lain, sehingga setiap
"ukuran kode" yang digunakan dalam kontrak berjangka amat tergantung pada
variabel tersebut. Ukuran ini amat penting oleh karena mencerminkan
kemungkinan harga yang tersedia.
8
“Bursa
Berjangka”,
diakses
http://id.wikipedia.org/wiki/Bursa_berjangka
pada
9
Desember
2010
dari
17
Kontrak berjangka atau juga dikenal dengan sebutan futures contract
dalam dunia keuangan merupakan suatu kontrak standar yang diperdagangkan
pada bursa berjangka, untuk membeli ataupun menjual aset acuan dari instrumen
keuangan pada suatu tanggal dimasa akan datang, dengan harga tertentu. Tanggal
di masa akan datang tersebut disebut dengan istilah tanggal penyerahan atau
dikenal juga dengan istilah delivery date atau tanggal penyelesaian akhir (final
settlement date). Harga tertentu disebut dengan istilah harga kontrak berjangka
(futures price). Harga dari aset acuan pada saat tanggal penyerahan disebut
dengan istilah harga penyelesaian (settlement price).9
Suatu kontrak berjangka menimbulkan "kewajiban" kepada pemegang
kontrak guna melaksanakan pembelian atau penjualan dimana berbeda dengan
kontrak opsi yang memberikan "hak" dan "bukan kewajiban". Pada kontrak
berjangka ini, kedua belah pihak "wajib" untuk melaksanakan kewajiban masingmasing pada tanggal penyelesaian, dimana si penjual akan menyerahkan
komoditi yang dijadikan aset acuan kepada pembeli dan pembeli wajib membeli
dengan harga penyelesaian yang telah disepakati.
Apabila kontrak berjangka dilakukan dengan cara penyelesaian tunai
(tanpa penyerahan barang) maka pelaku perdagangan berjangka yang mengalami
kerugian wajib untuk mentransfer sejumlah uang tunai kepada pelaku
perdagangan yang memperoleh keuntungan. Kontrak berjangka dengan
9
“Kontrak
Berjangka”,
diakses
http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak_berjangka
pada
9
Desember
2010
dari
18
penyerahan tunai hanya diperbolehkan kalau harga penyelesaian aset acuan
sudah dapat diterima umum seperti misalnya harga saham yang diperdagangkan
di bursa saham.
Untuk bebas dari kewajiban pada tanggal penyelesaian akhir maka
pemegang posisi pada kontrak berjangka harus melakukan perhitungan atas
posisinya baik dengan melakukan penjualan posisi "long" ataupun melakukan
pembelian kembali posisi "short" yang secara efektif akan menutup posisi
kontrak berjangka serta kewajibannya berdasarkan kontrak tersebut.
Kontrak berjangka, atau disingkat "berjangka" atau futures, adalah
merupakan suatu instrumen derivatif yang diperdagangkan di Bursa. Lembaga
kliring akan bertindak selaku mitra transaksi atas semua kontrak yang
diperdagangkan, dan menentukan aturan marjin yang dibutuhkan. 10
Jadi, dapat disimpulkan bahwa bursa komoditi berjangka adalah
tempat/fasilitas memperjualbelikan kontrak atas sejumlah komoditi dengan harga
tertentu yang penyerahan barangnya disepakati akan dilakukan pada saat yang
akan datang.
B. Hukum Bursa Komoditi Berjangka
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa transaksi bursa ada yang
bersifat tunai, pasti dan permanen, serta ada juga yang berjangka dengan syarat uang
10
“Kontrak
Berjangka”,
diakses
http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak_berjangka
pada
9
Desember
2010
dari
19
di muka. Sedangkan jika dilihat dari objeknya bisa berupa jual beli barang komoditi
biasa ataupun saham dan obligasi.
Oleh karena transaksi yang terdapat dalam bursa ini bermacam-macam, maka
tidak bisa ditetapkan hukum syari’atnya dalam skala umum, sehingga harus dirinci
terlebih dahulu jenis transaksinya sehingga bisa ditentukan hukumnya secara
terpisah. 11
Majma’ al-Fiqh al-Islami telah meneliti permasalahan pasar modal dan bursa
komoditas serta akad-akad jual beli yang terjadi di dalamnya atas mata uang kertas,
saham, obligasi, serta hal-hal yang terjadi dalam akad tersebut, baik tunai ataupun
tangguh.
Selain itu, Majma’ al-Fiqh al-Islami juga meneliti atas sisi-sisi positif yang
bermanfaat dari pasar tersebut dari kacamata ekonomi dan dari kacamata para pelaku
serta sisi-sisi negatif di dalamnya. Sehingga Majma’ al-Fiqh al-Islami pada
pertemuan ketujuh Rabithah al-Alam al-Islami di Mekkah 1404 H mengeluarkan
beberapa keputusan terkait pasar modal. 12
Keputusan pertama menyatakan bahwa tujuan utama pasar modal (bursa)
adalah menciptakan pasar tetap dan simultan dimana mekanisme pasar (supply and
demand) yang terjadi serta para pedagang dan pembeli dapat saling bertemu
melakukan transaksi jual beli. Ini merupakan suatu hal baik dan bermanfaat karena
11
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah
Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.25.
12
Husein al-Syahatah dan Athiyyah Fayyadh, Bursa Efek: Tuntunan Islam Dalam Transaksi
di Pasar Modal. Penerjemah A. Syakur (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004), h.44.
20
dapat mencegah para pengusaha yang mengambil kesempatan terhadap orang-orang
yang lengah atau lugu yang ingin melakukan jual beli tetapi ia tidak mengetahui
harga sesungguhnya, bahkan tidak
mengetahui siapa yang mau membeli atau
menjual sesuatu kepada mereka.
Akan tetapi kemashlahatan yang jelas ini dalam dunia bursa saham tersebut
tertutupi oleh berbagai macam transaksi yang sangat berbahaya menurut syari’at
seperti perjudian, memanfaatkan ketidaktahuan orang lain, bahkan memakan uang
orang dengan cara yang bathil. Oleh sebab itu tidak mungkin ditetapkan hukum
umum untuk bursa saham dalam skala besarnya. Namun yang harus dijelaskan adalah
segala jenis transaksi jual beli yang terdapat di dalamnya satu persatu secara terpisah.
Keputusan kedua menyatakan bahwa transaksi spot terhadap barang yang ada
dalam kepemilikan penjual dan bisa dilakukan serahterima (al-qabdh) bila
mensyaratkan harus ada serah terima langsung pada saat transaksi menurut syari’at
adalah transaksi yang dibolehkan. Tentunya selama objek transaksi tersebut bukan
barang yang diharamkan syari’at. Namun, jika barang yang diperjualbelikan tidak
dalam kepemilikan penjual, maka harus dipenuhi syarat-syarat jual beli Salam.
Setelah itu barulah pembeli boleh menjual barang tersebut meskipun belum dilakukan
serah terima barang.
Keputusan ketiga menyatakan bahwa transaksi spot terhadap saham
diperbolehkan jika saham tersebut memang telah berada dalam kepemilikan penjual.
Tentunya hal tersebut diperbolehkan selama jenis usaha perusahaan yang sahamnya
21
diperjualbelikan tidak bertentangan dengan syari’at seperti bank ribawi, perusahaan
miuman keras, dan sejenisnya.
Keputusan keempat menyebutkan bahwa transaksi spot maupun forward
terhadap obligasi berbunga dengan berbagai macam bentuk dan derivatifnya tidaklah
diperbolehkan menurut syari’at, karena semua itu adalah aktivitas jual beli yang
diharamkan karena mengandung riba.
Keputusan kelima menyatakan bahwa transaksi forward dengan segala
bentuknya terhadap saham dan barang yang tidak berada dalam kepemilikan penjual
(short sale) dengan cara yang berlaku dalam pasar bursa tidaklah diperbolehkan,
karena termasuk menjual barang yang tidak dimiliki, dengan dasar bahwa penjual
tersebut baru akan membeli dan menyerahkan barang tersebut di kemudian hari pada
saat transaksi dilakukan. Cara ini jelas dilarang oleh syari’at berdasarkan hadist
shahih Rasulullah SAW yang berbunyi:
َ‫ﻋَﻦْ ﺣَﻜِﯿﻢِ ﺑْﻦِ ﺣِﺰَامٍ ﻗَﺎلَ ﯾَﺎ رَﺳُﻮلَ اﻟﻠﱠﮫِ ﯾَﺄْﺗِﯿﻨِﻰ اﻟﺮﱠﺟُﻞُ ﻓَﯿُﺮِﯾﺪُ ﻣِﻨﱢﻰ اﻟْﺒَﯿْﻊَ ﻟَﯿْﺲَ ﻋِﻨْﺪِى أَﻓَﺄَﺑْﺘَﺎﻋُﮫُ ﻟَﮫُ ﻣِﻦ‬
13
(‫اﻟﺴﱡﻮقِ ﻓَﻘَﺎل ﻻ ﺗﺒﻊ ﻣﺎ ﻟﯿﺲ ﻋﻨﺪك )رواه ﺣﻜﯿﻢ ﺑﻦ ﺣﺰام‬
Dari Hakim bin Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada
orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli,
denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu
yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian,
Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.'" (HR. Hakim
bin Hizam)
13
Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nailu al-Authar syarh muntaqa al-Akhbar.
(Mathba’ah al-Babi al-Halbi, 1372), h.164.
22
Adapun keputusan keenam menyatakan bahwa transaksi forward dalam pasar
bursa bukanlah jual beli Salam yang diperbolehkan dalam syari’at Islam, karena
terdapat perbedaan antara keduanya.
Perbedaan pertama yakni dalam bursa saham, harga barang tidak dibayar
langsung saat transaksi. Melainkan ditangguhkan pembayarannya sampai penutupan
pasar bursa. Sementara dalam jual beli Salam harga barang harus dibayar terlebih
dahulu.
Perbedaan kedua yakni dalam pasar bursa, barang transaksi dijual beberapa
kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya tidak lain
hanyalah tetap memegang barang tersebut atau menjualnya dengan harga maksimal
kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara sungguhan (spekulatif) melihat
untung ruginya. Sehingga hal tersebut dapat diqiyaskan dengan perjudian. Padahal
dalam jual beli Salam tidaklah diperbolehkan menjual barang sebelum barang
tersebut diserahterimakan. Berikut ini akan dijelaskan berbagai jenis transaksi yang
tidak bisa dilepaskan dari bursa komoditi berjangka.
1. Menjual Sesuatu Untuk Masa Yang Akan Datang (future contract)
Menjual sesuatu untuk masa yang akan datang jika dikaitkan dengan fikih
Islam merupakan jual beli sesuatu yang ma’dum (tidak ada wujudnya). Adapun
mayoritas ulama fikih melarang untuk melakukan jual beli yang tidak ada
wujudnya (ma’dum) secara mutlak. Meskipun ada sebagian ulama fikih yang
melarang jual beli sesuatu yang tidak ada wujudnya tersebut dengan alasan
mengandung unsur gharar saja.
23
Dalam pandangan fikih, jual beli dengan keberadaan komoditi yang
belum jelas tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat. Namun dalam
hukum positif di berbagai negara Islam, hal tersebut tetap dibolehkan untuk
melakukan jual beli sesuatu yang dimungkinkan komoditinya ada dalam bentuk
apapun selama pihak penjual dan pembeli saling rido, dan tidak ada pengecualian
dalam hal ini kecuali jual beli harta warisan untuk masa yang akan datang. 14
Seluruh contoh transaksi seperti yang berkembang saat ini tersebut
dilarang dalam fikih, bahkan dalam sebagian transaksi tersebut tidak ada lagi
celah untuk melakukan ijtihad karena adanya nash yang secara spesifik
melarangnya dan ditambah dengan adanya dalil syar’i yang bersifat umum
tentang larangan jual beli sesuatu yang bersifat gharar.
Hal demikian karena adanya hadist yang melarang untuk menjual buah
yang belum layak panen, dan tidak ada perbedaan antara menjualnya dengan
ta’liq (bersyarat) jika panen berhasil ataupun secara munjizan (sudah terlaksana
dan panennya ada), karena unsur gharar ada dalam dua kondisi tersebut. Dalam
kondisi ta’liq, gharar muncul dari dua sisi, yaitu sisi jahalah (ketidaktahuan)
dalam wujud dari komoditi dan sisi jahalah (ketidaktahuan) dalam ukurannya
jika ada.
14
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis
Dalam Islam. Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005),
h.231-237.
24
Misalnya seseorang menjual buah yang akan dihasilkan dari kebunnya,
dengan harga tertentu, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya jual beli
dengan cara seperti ini sah menurut fikih, karena tidak ada unsur gharar di
dalamnya. Hal tersebut karena seorang pembeli akan membayar komoditi
seharga dengan buah yang dapat diambil. Dan seandainya kebun tersebut tidak
menghasilkan apapun maka sesungguhnya pembeli tidak memiliki kewajiban
untuk membayar apapun.15 Di bawah ini akan dijelaskan dalil yang
dimungkinkan dapat digunakan untuk pelarangan transaksi jual beli buah
sebelum layak panen (future contract).
Yang pertama yakni bahwa jual beli dengan harga keseluruhan sekaligus,
sekalipun tidak mengandung unsur gharar dan sisi ketidaktahuan terhadap wujud
komoditi, maka sesungguhnya dalam transaksi tersebut tetap dikatakan
mengandung unsur gharar dari sisi ketidaktahuan terhadap efek dari akad itu
sendiri. Karena sesungguhnya transaksi dalam kondisi tersebut menjadi mu’allaq
(bergantung) atas adanya buah, dan itu adalah perkara yang dapat dimungkinkan
akan keberadaanya.dan kita telah mengetahui bahwa para ulama fikih tidak
membolehkan transaksi jual beli dengan adanya ta’alluq (penggantungan
bersyarat) karena mengandung unsur gharar dan juga interpretasi lainnya.16 Dan
dalam transaksi tersebut juga mengandung unsur gharar dari sisi ketidaktahuan
15
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis
Dalam Islam, h.234.
16
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis
Dalam Islam., h.235.
25
dalam takaran komoditi ataupun harga, yaitu ketika seseorang tidak mengetahui
ukuran dari apa yang akan dihasilkan oleh kebun tersebut walaupun faktanya
memang menghasilkan buah.
Dalil yang kedua yakni bahwa jual beli semacam ini dapat dikategorikan
sebagai transaksi al-kali bi al-kali (jual beli hutang dengan hutang), atau juga
salam akan tetapi untuk buah tertentu dalam sebuah kebun, dan kedua transaksi
tersebut dilarang dalam fikih. Hal demikian karena jika pembeli tidak
membayarkan uangnya maka hal ini bisa disebut dengan transaksi al-kali bi alkali, dan jika pembeli membayarkan uangnya maka ini adalah akad salam untuk
komoditi tertentu.17
Para pendukung akad kedua membela akan sahnya transaksi tersebut
karena transaksi tersebut dianggap telah terlaksana. Dengan kondisi yang sama
bahwa jual beli yang diperdebatkan keabsahannya adalah jual beli mu’allaq
(menggantung/bersyarat) atas adanya buah. Dan telah diketahui, bahwa transaksi
bersyarat tidak akan terlaksana kecuali dengan terlaksananya sesuatu yang
disyaratkan. Dengan alasan ini, maka pendapat kedua dianggap batal.
Sekarang tinggal landasan argumentasi yang dipakai oleh pendapat
pertama yang mengatakan bahwa unsur ta’liq dalam jual beli tidak
diperbolehkan. Dan pendapat yang dipilih adalah tidak bolehnya memasukkan
unsur penggantungan (bersyarat) dalam jual beli, walaupun pendapat mayoritas
17
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis
Dalam Islam., h.235.
26
telah menolak sebagian pendapat para ulama fikih dengan membolehkan adanya
ta’liq.18
Adapun ta’liq dalam kondisi seperti itu tidak diperbolehkan karena tidak
adanya kebutuhan mendesak dan tidak adanya unsur maslahah yang terbangun,
bahkan terkadang dapat menimbulkan kemudharatan, yaitu ketika hasil panen
lebih banyak dari yang telah disepakati oleh pembeli, karena ia akan merasa tidak
mampu untuk membayarnya. Dan terkadang juga harganya berubah dari hasil
panen yang dihasilkan dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Maka
kemudharatan dapat dipastikan akan menimpa salah satu pihak yang berakad
dengan penuh penyesalan dan kerugian. Dan hal ini dapat menjadi alasan untuk
membatalkan transaksi jual beli atau tetap melanjutkan transaksi dengan tidak
adanya rasa saling ridho. Padahal saling ridho merupakan hal yang sangat
ditekankan
oleh
syari’at
dalam
transaksi
jual
beli.
Oleh
karenanya
kemashlahatan dapat terbangun ketika larangan jual beli hasil panen yang belum
layak panen untuk waktu yang akan datang itu tetap dilarang, sekalipun transaksi
tersebut dapat diharapkan hasilnya dan dijual dengan harga keseluruhan
sekaligus.
2. Jual Beli Sesuatu Yang Belum Dimiliki Secara Penuh Oleh Penjual
Transaksi ini merupakan jual beli yang bertentangan dengan aturan fikih.
Karena fikih tidak membolehkan seseorang menjual sesuatu yang belum
18
Al-Shidiq Muhammad al-Amin al-Dharir, Al-Gharar wa Atsaruhu fii al-Uqud fii al-Fiqh
al-Islami, h.140-142.
27
dimilikinya pada waktu transaksi berlangsung terhadap objek transaksinya yang
utama. Dalam hasyiyah (penjelasan) Ibnu Abidin yang dikutip oleh Hussein
Shahatah dikatakan:
Termasuk salah satu syarat dari jual beli adalah objek transaksinya harus
dimiliki secara penuh oleh penjual dari apa yang ia jual untuk dirinya sendiri.
Maka tidak diperkenankan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya,
walaupun pada akhirnya objek tersebut akan menjadi miliknya setelah transaksi
berlangsung, sebagai aplikasi dari sebuah hadis sahih tentang larangan seseorang
menjual sesuatu yang bukan miliknya. 19
Dalam masalah ini Ibnu Qudamah berkata bahwa tidak adanya perbedaan
pendapat ulama terkait hukum masalah ini. 20 Adapun ‘illat (penyebab) larangan
dari hal tersebut adalah adanya unsur gharar yang timbul akibat adanya
ketidakmampuan penyerahan komoditi. 21 Dalam permasalahan ini transaksi
salam dikatakan sebagai pengecualian dari larangan untuk menjual sesuatu yang
bukan miliknya, karena adanya hadist yang membolehkan akad salam. Maka
dikatakan hadis yang terkait dengan salam merupakan mukhasis (pengkhususan)
dari umumnya hadis tentang larangan untuk menjual sesuatu yang bukan
milknya.22
19
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis
Dalam Islam, h.237.
20
Abu Muhammad Abdillah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah al-Maqdasi, AlMughni. (T.t, Dar al-Manar, 1367), h.206.
21
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis
Dalam Islam, h.238.
22
Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nailu al-Authar syarh Muntaqa al-Akhbar, h.165.
28
Adapun transaksi salam yang terjadi di pasar keuangan yang dikenal
dengan future contract, maka sesungguhnya transaksi tersebut mengandung
banyak hal merugikan secara syar’i. Di antaranya adalah tidak disyaratkannya
transaksi tersebut kepemilikan penuh si penjual, akan tetapi cukup dengan
adanya komitmen untuk menyerahkan komoditi pada waktu tertentu jika pembeli
memintanya. Sebagaimana pula tidak disyaratkan adanya uang muka dalam
transaksinya, yang ada hanyalah syarat untuk membayar nisbah yang tidak lebih
dari 10%. Maka hal ini merupakan jual beli sesuatu yang bukan miliknya yang
dilarang dalam Islam dan tidak termasuk dalam transaksi salam yang telah
mendapat rukhsah untuk menjalankannya.
Transaksi- transaksi sebagaimana yang disebutkan di atas jelas dilarang
dalam syari’ah, walaupun si penjual memiliki suatu komoditi tertentu kemudian
diserahkan kepada sang pembeli. Akan tetapi kenyataannya yang ada tidaklah
seperti itu, karena transaksi ini hanya berakhir dengan pembayaran selisih dari
harga (agio), dan yang berakhir dengan serah terima komoditi tidak lebih dari
tiga persennya, sebagaimana dibatasi oleh para broker yang ada dalam pasar
tersebut. Dan inilah yang menjadikan transaksi ini lebih dekat kepada jenis
perjudian daripada transaksi jual beli. 23
Selanjutnya penulis ingin memaparkan sebuah permasalahan yang terkait
dengan jual beli sesuatu yang belum dimiliki secara penuh, sebagaimana tertuang
23
Muhammad al-Miqri ibn Abd al-Aswaq al-Maliyah. h. 23-24,makalah dipresentasikan pada
akademi fiqh Islam Jeddah dalam konferensi yang ketujuh.
29
dalam sebuah hadis yang melarang untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah larangan tersebut termasuk
setiap apa yang tidak dimiliki oleh seorang penjual pada waktu transaksi
berlangsung? Baik itu untuk komoditi tertentu atau komoditi yang dalam
tanggungan yang tersifati kadar dan karakternya (mausuf fii dzimmah), seperti
salam, atau juga apakah untuk komoditi yang bersifat mausuf fii dzimmah dapat
diserahkan pada waktu akad? Atau termasuk sesuatu yang diserahkan beberapa
saat setelah transaksi berlangsung? Atau hanya khusus untuk kondisi-kondisi
tertentu?
Adapun untuk menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis
berpendapat bahwa larangan hadist terhadap seseorang untuk menjual sesuatu
yang bukan miliknya itu jika yang dimaksud dalam transaksi yang penyerahan
objek transaksinya harus dilakukan pada waktu akad berlangsung, dan penjual
tersebut belum memilikinya secara penuh, dan jika disepakati atas penyerahan
komoditinya beberapa saat setelah akad berlangsung, maka hal demikian
diperbolehkan, karena ‘illat dari larangan hadis adalah adanya unsur gharar yang
timbul akibat ketidakmampuan dalam penyerahan komoditi, dan gharar tersebut
akan hilang atau berkurang ketika ada keyakinan dari pihak penjual untuk
mendapatkan komoditi dan kemudian diserahkan kepada pembeli. 24
24
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis
Dalam Islam., h.239-240.
30
Dalam pandangan syari’ah, suatu transaksi terlarang ketika paling tidak
mengandung salah satu dari riba, gharar (risiko) berlebihan dan maysir
(perjudian). Pembahasan yang dilakukan oleh ulama mengenai kontrak berjangka
dan instrumen turunan (derivative) lainnya umumnya terletak pada kandungan
gharar yang berlebihan di dalamnya. Gharar bisa didefinisikan sebagai
penjualan dari probable items yang eksistensi dan karakteristiknya tidak pasti,
karena mempunyai risiko berlebihan yang mana membuat perdagangan itu
menyerupai atau bahkan menjadi perjudian. Gharar timbul ketika adanya
ketidakpastian atau ketidakcukupan informasi (jahl) dalam persyaratanpersyaratan yang ada dalam suatu kontrak seperti harga, obyek transaksi, jumlah
obyek, waktu penyerahan, tempat penyerahan dan lainnya. 25
Dalam sejumlah hadis, Rasulullah Muhammad SAW telah melarang jual
beli yang mengandung gharar ini. Kontrak berjangka memiliki pengertian mirip
dengan kontrak forward, yaitu sebuah kontrak untuk membeli atau menjual suatu
komoditas atau sekuritas di masa datang pada harga yang telah ditetapkan
sekarang. Hanya tidak seperti forward, kontrak berjangka biasanya terstandard
dan diperjualbelikan di suatu bursa resmi. Contohnya dalam kontrak berjangka
komoditas tembaga, satu unit tembaga akan diperdagangkan pada harga x dan
akan diserahkan pada waktu penyerahan (delivery date), akhir bulan ketiga.
25
M.Gunawan Yasni, “Kritik Syari’ah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity BankBank Asing”,diakses pada 5 September 2010 dari http://cybersofyan.wordpress.com/2010/09/05/kritiksyariah-terhadap-transaksi-murabahah-commodity-bank-bank-asing/
31
Dari kontrak ini timbullah kewajiban dari kedua belah pihak yang
bertransaksi yang pemenuhannya ditunda sebagai waktu penyerahan. Kewajiban
dari pembeli (long position) adalah menyerahkan satu unit tembaga, sementara
kewajiban penjual (short position) adalah membayar x unit uang. Meskipun
dalam bursa berjangka, setiap trader wajib mendeposit sejumlah dana (margin)
kepada pengelola bursa (clearing house), tidak mengakibatkan kewajiban kedua
belah pihak tidak tertunda. Alasannya, jelas karena margin itu sendiri tidak
diserahkan kepada para pihak (counterparties) dari kontrak dan biasanya
mempunyai nilai jauh lebih kecil dibanding dengan besar nilai kontrak.
Mayoritas ulama sepakat bahwa transaksi dengan penyelesaian kewajiban dari
kedua belah pihak pada suatu waktu di masa datang secara syariah terlarang
karena adanya kandungan gharar yang berlebihan. Transaksi seperti ini dikenal
juga dengan nama bai’ al-mudaf. Ada beberapa justifikasi terhadap adanya
kandungan gharar dalam kontrak berjangka. 26
Pertama, timbulnya penundaan kewajiban kedua belah pihak dalam
kontrak berjangka membuat transaksi ini menjadi penjualan sesuatu yang belum
dimiliki atau dikuasai oleh penjual (short sale), sehingga secara syariah termasuk
dalam transaksi terlarang (kecuali untuk beberapa kontrak seperti salam dan
istishna yang mayoritas ulama menerimanya). Banyak bukti yang menunjukkan
26
M.Gunawan Yasni, “Kritik Syari’ah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity BankBank Asing”,diakses pada 5 September 2010 dari http://cybersofyan.wordpress.com/2010/09/05/kritiksyariah-terhadap-transaksi-murabahah-commodity-bank-bank-asing/
32
bahwa penjualan semacam ini telah mendorong prilaku spekulatif berlebihan
yang mengarah ke perjudian.
Kedua, berasal dari praktek yang terjadi pada kebanyakan bursa
berjangka dimana penyerahan fisik sebagai cara penyelesaian kontrak bukanlah
menjadi tujuan. Dalam banyak kasus di bursa berjangka, transaksi biasanya
berakhir dengan cash settlement (pembayaran kas) atau melalui offset/reversing
trade (pembalikan transaksi perdagangan) sebelum waktu penyerahan, tanpa
adanya penyerahan fisik. Malah terhadap kontrak berjangka yang memiliki dasar
transaksi seperti indeks, penyerahan fisik sama sekali tidak memungkinkan.
Ketidakpastian mengenai adanya penyerahan fisik ini membuat barang yang
diperjualbelikan dalam kontrak berjangka diragukan keberadaannya atau malah
sama sekali maya. Sehingga tidak diragukan lagi ke-gharar-annya.
Ketiga, sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang
untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini
terjerembab menjadi maysir ketika harga dari barang dasar ( underlying good)
kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) harganya dan sulit untuk ditebak
pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan
dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini
bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas
mendorong prilaku spekulatif. Selain gharar, kontrak berjangka juga membuka
ruang terjadi riba.
33
Mudahnya, ambil contoh dalam suatu kontrak berjangka atau forward
valuta asing. Seorang individu membeli $1000 dari suatu pihak spot pada rate
$1:Rp.8500. Beberapa waktu kemudian individu tersebut masuk ke suatu kontrak
berjangka/forward dengan counterpart yang sama untuk menjual $1000 pada
forward rate $1: Rp9.500 setelah satu bulan. Transaksi secara tidak langsung
menunjukkan bahwa si individu tersebut meminjamkan uang Rp.8,5 juta dan
menerima bunga sebesar satu juta rupiah setelah satu bulan. Ini mirip dengan
transaksi repo dalam keuangan konvensional dan jelas ditolak oleh mayoritas
ulama.Transaksi dalam kontrak berjangka dimana terjadi penundaan kewajiban
dari kedua belah memiliki nuansa pertukaran hutang dengan hutang (bai al-dayn
bi al-dayn) yang terlarang. Misalkan suatu kontrak berjangka tembaga. Si A
membeli tembaga satu ons seharga seribu satuan uang dari si B yang akan
diserahkan pada akhir bulan ke tiga. Dapat dilihat di sini bahwa hutang si A
kepada si B sejumlah seribu satuan uang setelah satu bulan akan ditukarkan
dengan hutang si B kepada si A sejumlah satu ons tembaga setelah satu bulan.
Dari kenyataan di atas, terlihat bahwa transaksi dalam kontrak berjangka
jelas mengandung unsur gharar, riba dan maysir. Hal ini membuat fungsi
instrumen ini (juga instrumen derivative lainnya) sebagai alat lindung (hedging)
nilai dipertanyakan. Tujuan bertransaksi apakah untuk hedging atau spekulasi
makin tidak jelas.Volatilitas pasar dan ketidakjelasan dari underlying good suatu
kontrak malah memancing lebih banyak prilaku spekulatif yang pada akhirnya
menuju pada volatilitas pasar yang lebih besar (resiko lebih tinggi).
34
Inovasi dalam kontrak berjangka (juga instrumen derivative) lainnya
justru meningkatkan unsur gharar dalam kontrak ini. Transaksi semacam kontrak
berjangka indeks jelas memperdagangkan sesuatu yang maya. Transaksi maya
yang digelembungkan oleh segelintir orang atau segelintir komunitas khusus di
beberapa kota bisnis terbesar di dunia telah mendatangkan malapetaka dalam
perekonomian. Jumlah uang yang beredar di bisnis ril menjadi terbatas karena
tersedot oleh transaksi maya. Padahal utamanya, perkembangan dari bisnis ril
memberikan kontribusi langsung terhadap tingkat perekonomian negara dan
tentunya kesejahteraan masyarakat.
C. Pengertian Deposito
Deposito adalah suatu bentuk investasi jangka pendek atau kurang dari satu
tahun dengan tingkat resiko yang sangat kecil. Investasi jenis ini dapat memberikan
jaminan kepada nasabah penyimpan dana bahwa nasabah akan mendapatkan kembali
uang yang didepositokan beserta bunganya. Pengaturan tentang Deposito terdapat
pada Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang
RI No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, serta Undang-Undang
RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.27
Pengertian deposito menurut Pasal 1 butir 22 Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syari’ah adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah yang penarikannya
27
Melissa Sianipar, “Perlidungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana Dalam Bentuk
Rekening
Deposito”,
diakses
pada
30
Mei
2011
dari
http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review&id=5488&task=view
35
hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah
penyimpan dan Bank Syari’ah dan/atau UUS.28
Sedangkan menurut pengertian umumnya, deposito dapat diartikan sebagai
simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang
bersangkutan.
Adapun pembagian deposito berdasarkan kebebasan pihak bank dalam
menggunakan dana deposito adalah:
1. Deposito kontan biasa. Yakni deposito yang bebas digunakan oleh pihak bank,
namun harus dikembalikan pada saat yang ditentukan.
2. Deposito Support (kontan dengan tujuan tertentu). Yakni deposito yang hanya
bisa digunakan oleh pihak bank untuk tujuan tertentu dan harus dikembalikan
pada saat yang ditentukan. 29
D. Pengertian Komoditi Murabahah
Komoditi dapat diartikan sebagai suatu benda nyata yang relatif mudah
diperdagangkan, dapat diserahkan secara fisik, dapat disimpan untuk suatu jangka
waktu tertentu dan dapat dipertukarkan dengan produk lainnya dengan jenis yang
sama, yang biasanya dapat dibeli atau dijual oleh investor melalui bursa berjangka.
Secara lebih umum, komoditi merupakan suatu produk yang diperdagangkan,
termasuk valuta asing, instrumen keuangan dan indeks. 30
28
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Perbankan Syari’ah 2008 (UU RI No.21 Tahun
2008) (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.6.
29
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah
Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2008), h.404.
30
“Komoditi”,diakses pada 8 Desember 210 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Komoditi
36
Dalam ilmu linguistik, kata "komoditi" ini mulai dikenal dan dipergunakan di
Inggris pada abad ke 15 yang berasal dari bahasa Perancis yaitu "commodité" yang
berarti "sesuatu yang menyenangkan" dalam kualitas dan layanan. Dalam akar bahasa
latin disebut commoditas yang merujuk pada berbagai cara untuk pengukuran yang
tepat dari sesuatu; keadaan waktu ataupun kondisi yang pas, kualitas yang baik;
kemampuan untuk menghasilkan sesuatu atau properti; dan nilai tambah atau
keuntungan. Di Jerman disebut die Ware, misalnya produk atau barang yang
ditawarkan untuk dijual. Di Perancis disebut "produit de base" seperti energi, barang,
atau bahan baku industri. Sedangkan di Indonesia, komoditi dapat diartikan sebagai :
barang dagangan, benda niaga, atau bahan mentah yang dapat digolongkan menurut
mutunya sesuai dengan standar perdagangan internasional, misalnya gandum, karet,
kopi.31
Jadi, komoditi merupakan suatu benda nyata yang relatif mudah
diperdagangkan dan dapat dipertukarkan dengan produk lainnya yang biasanya dapat
dibeli atau dijual oleh investor melalui bursa berjangka.
Sedangkan pengertian murabahah secara bahasa atau etimologis adalah
berasal dari kata "ribh" yang artinya keuntungan yaitu pertambahan nilai modal. Kata
murabahah merupakan bentuk mutual yang bermakna 'saling'. Jadi, murabahah
31
“Komoditi”,diakses pada 8 Desember 210 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Komoditi
37
artinya 'saling mendapatkan keuntungan'. Dalam ilmu fiqh, murabahah diartikan
'menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas'.32
Secara terminologis, yang dimaksud dengan murabahah adalah pembelian
barang dengan pembayaran yang ditangguhkan (1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan
seterusnya tergantung kesepakatan). Pembiayaan murabahah diberikan kepada
nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).33
Heri Sudarsono mendefinisikan murabahah sebagai jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan
nasabah. Dalam murabahah, penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada
pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu.34
Udovitch via Abdullah Saeed mendefinisikan murabahah sebagai suatu
bentuk jual beli dengan komisi, di mana si pembeli biasanya tidak dapat memperoleh
barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau ketika si pembeli
tidak mau susah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia mencari jasa seorang
perantara.35
32
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, terj. Abu Umar
Basyir, h.198.
33
Karanaen A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank
Islam (Yogyakarta: P.T. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), h.25.
34
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi
(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 62.
35
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum NeoRevivalis, terj. Arif Maftuhin (Jakarta: Paramadina, 2004), h.119.
38
Murabahah juga diartikan suatu kontrak usaha yang didasarkan atas kerelaan
antara kedua belah pihak atau lebih dimana keuntungan dari kontrak usaha tersebut
didapat dari mark up harga sebagaimana yang terjadi dalam akad jual beli biasa.36
Muhammad Syafi'i Antonio mengutip Ibnu Rusyd, mengatakan bahwa
murabahah adalah "jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati". Dalam akad ini, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia
beli dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya. 37
Jadi, murabahah adalah jual beli disertai marjin keuntungan yang disepakati
kedua belah pihak dimana pihak penjual memberitahukan harga pokok pembelian
serta keuntungan dari barang yang diperjualbelikan tersebut.
Islamic Finance Service Board (IFSB) mendefinisikan komoditi murabahah
sebagai tools untuk manajemen likuidtas LKS dengan cara jual beli komoditas di
pasar komoditas sesuai syariah berbasis murabahah, baik secara tunai atau
pembayaran ditangguhkan.38
Jadi Deposito Berbasis Komoditi Murabahah merupakan penghimpunan dana
pihak ketiga yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu dengan
cara jual beli komoditas di pasar komoditas sesuai syariah berbasis murabahah, baik
secara tunai atau pembayaran ditangguhkan.
36
Ivan Rahmawan A., Kamus Istilah Akuntansi Syari'ah (Yogyakarta: Pilar Media, 2005),
h.112-113.
37
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Islam: Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h.101.
38
Commodity Murabahah dan Transformasinya Manajemen Risiko, Edisi 40 (Mei 2010)
diakses dari http://go-sharing.com/?pg=articles&article=6635
39
E. Jenis-Jenis Komoditi Murabahah
Ada tiga jenis komoditi murabahah yang didefinisikan oleh IFSB, yaitu:
1. Komoditi murabahah berupa operasi antarbank untuk mengelola likuiditas yang
surplus atau defisit. Misalnya jual beli komoditas sesuai syariah dengan akad
murabahah atau ketika mitra transaksinya adalah bank sentral/ otoritas moneter
setempat yang menyediakan (SLOLR) dan atau fasilitas pengelolaan likuiditas
lainnya. Jenis komoditi murabahah ini disebut oleh IFSB sebagai Commodity
Murabahah for Liquid Funds (CMLF).
2. Komoditi murabahah berupa pembiayaan kepada nasabah (mitra transaksi) untuk
membeli komoditas secara tangguh dengan penambahan margin atas pokok dana
yang dibiayai bank tersebut. Saat itu juga, nasabah menjual komoditas yang
dibelinya secara tunai di pasar pada harga pasar yang berlaku. Jenis ini disebut
Commodity Murabahah Financing (CMF).
3. Komoditi murabahah dalam kasus bank menerima dana (funding) dari nasabah
sebagai kewajiban (liabilities) untuk pembelian komoditas secara tangguh/
kredit. Saat bersamaan komoditas tersebut dijual oleh bank ke pasar. Jenis ini
disebut Commodity Murabahah for Obtaining Funding (CMOF). Di berbagai
negara, CMOF disebut juga deposito murabahah atau reverse murabahah. Dan
jenis inilah yang akan menjadi fokus penulisan kali ini. 39
Komoditi murabahah dalam praktiknya bisa melibatkan dua pihak seperti
terlihat pada kontrak bai’ al-iInah (sell and buy back contract) atau tiga pihak seperti
terlihat pada kontrak tawarruq (tripartite sale). Kontrak bai’ al-inah biasanya
digunakan pada produk bai’ bitsaman ajil (BBA) home financing, personal financing,
dan kontrak tawarruq biasanya digunakan pada working capital financing, dan
Islamic hedge funds melalui komoditi murabahah. Beberapa bank syariah di luar
Indonesia yang mengaplikasikan komoditi murabahah adalah Am Islamic (Malaysia)
dengan produk bai’ al-inah, Stanchart (Uni Emirat Arab) dengan produk tawarruq
ijarah, HSBC Amanah (Uni Emirat Arab) dengan reversed tawarruq.
39
Commodity Murabahah dan Transformasinya Manajemen Risiko, Edisi 40 (Mei 2010)
diakses dari http://go-sharing.com/?pg=articles&article=6635
40
F. Tawarruq dan Implementasinya Pada Inovasi Keuangan Syari’ah
Dalam Bahasa Arab akar kata dari tawaruq adalah “wariq” yang artinya
simbol atau karakter dari perak (silver). Kata tawaruq ini digunakan untuk
mengartikan mencari perak, sama dengan kata ta’allum yang artinya mencari ilmu,
yaitu belajar atau sekolah. Kata tawarruq dapat diartikan dengan lebih luas yaitu
mencari uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas
atau koin yang lainnya. Secara literatur artinya adalah berbagai cara yang di
tempuh untuk mendapatkan uang tunai atau likuditas. Istilah tawarruq ini
diperkenalkan oleh Mazhab Hanbali. Mazhab Syafi’i mengenal tawarruq dengan
sebutan “zarnagah”, yang artinya bertambah atau berkembang. 40
Tawarruq terjadi dimana seseorang membeli barang dagangan dengan
pembayaran berjangka untuk dijual kepada pihak selain yang memberi hutang
dengan mengambil manfaat dari hasil penjualannya tersebut. Jika telah jatuh tempo,
maka ia harus melunasinya (sekaligus) sesuai dengan harga yang dibeli secara
berjangka sebelumnya. 41
Dalam Hukum Islam, tawarruq artinya adalah struktur yang dapat dilakukan
oleh seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuhkan likuditas.
Transaksi tawarruq adalah ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara
kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjualnya kembali kepada orang ketiga
40
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
pada
7
Desember
2010
dari
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
41
Ahmad bin Abdurrazaq ad- Duwaisy, Fatwa-Fatwa Jual Beli. Penerjemah M. Abdul
Ghoffar (Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2005), h.170.
41
yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang
lebih murah. Dalam artikelnya yang berjudul tawarruq, Nibra Hosen membagi
tawarruq menjadi tiga bentuk:
1. Seseorang yang membutuhkan likuiditas (uang tunai) membeli
produk/barang/komoditi dengan cara kredit dan menjualnya kepada pihak lain
dengan cara tunai, tanpa diketahui niat dibalik menjual barang tersebut.
2. Seseorang (mutawarriq) yang membutuhkan uang tunai memohon untuk di
berikan pinjaman uang dari penjual yang menolak untuk meminjamkan
uangnya, namun penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barangnya
dengan cara kredit dengan harga tunai. Lalu mutawarriq tersebut dapat menjual
kembali barang tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih rendah atau
lebih tinggi.
3. Hampir sama dengan bentuk pada nomor dua, kecuali si penjual menjual
barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq
sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. 42
Adapun bentuk transaksi tawarruq pertama dan kedua dapat diterima dan
diizinkan oleh para ulama tanpa adanya perdebatan. Sedangkan pada bentuk
transaksai tawarruq nomor tiga masih diperdebatkan oleh para pakar hukum
ekonomi syariah.
1. Perbedaan Tawarruq dengan ‘Inah
Perbedaan antara tawarruq dan ‘inah adalah pada transaksi bai’ al-inah
seseorang yang membutuhkan dana membeli barang dengan cara kredit lalu
menjualnya kembali kepada si penjual/pemilik barang dalam bentuk tunai
dengan harga lebih rendah dari harga kreditnya.
Akar kata dari ‘inah adalah ‘ayn (barang yang telah dibeli) dapat
menemukan jalannya kembali kepada pemilik asalnya. Jual beli ini disebut
42
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
pada
7
Desember
2010
dari
42
‘inah karena si pemilik barang tidak berniat menjual barangnya, melainkan
menginginkan sejumlah uang (‘ain) tertentu, atau karena si penjual kembali
memiliki benda (‘ain) yang dijualnya. Sedangkan ‘inah menurut terminologi
fikih adalah jual beli manipulasi untuk alasan peminjaman uang yang dibayar
lebih dari jumlah yang dipinjam dengan cara menjual barang dengan
pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga
lebih murah. 43 Menurut kebanyakan dari para pakar Hukum Islam, barang yang
digunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yaitu rekayasa untuk
menghindar dari hal-hal yang dilarang seperti riba.
Sedangkan tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuhkan dana
segar/uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjualnya kepada
pihak ketiga dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah struktur
transaksinya
tidak
mengindikasikan
hilah
(melegalkan
cara
untuk
mendapatkan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asalnya.
Dengan demikian para pakar Hukum Islam berpendapat bahwa tawarruq
adalah transaksi yang sah dan dapat diterima.
2. Hukum Tawarruq
Jual beli dengan cara tawarruq ini diperbolehkan karena tidak
ditemukannya dalil yang memperkuat pendapat yang melarang tawarruq
43
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah
Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2008), h.124.
43
tersebut. Sehingga menurut jumhur ulama pendapat yang shahih adalah yang
membolehkan. 44 Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjutnya.
Para ulama klasik dari Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali memandang
tawarruq sebagai transaksi yang diperbolehkan secara legal. Para ulama
kotemporer/modern juga memandang transaksi tawarruq diperbolehkan. Di
antara para ulama itu adalah Abdul Aziz Ibn Baz dan Muhammad ibn Salih al –
Uthaymin. Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari bank-bank syariah juga
mengizinkan transaksi tawarruq ini, termasuk DPS dari Al-Rajhi Bank dan
Kuwait Finance House. Islamic Fiqh Academy yang beranggotakan negara
negara Islam yang tergabung dalam OKI pada konferensi tahunannya sesi ke
15 di kota Mekkah telah
mengeluarkan resolusi yang
mendukung
diperbolehkannya transaksi tawarruq dengan syarat pembeli tidak menjual
kembali barang yang telah dibelinya kepada penjual pertama dengan harga
yang lebih rendah, langsung atau tidak langsung, karena jika itu terjadi, maka
akan menyebabkan transaksi tersebut mengandung unsur riba.45
Para ulama dari Mazhab Maliki tidak setuju dengan penjualan barang
dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, dan jika hal tersebut dilakukan
oleh seseorang yang mengambil keuntungan pinjaman, maka cara tersebut
termasuk dalam kategori riba. Sebagian dari para ulama Mazhab Maliki
44
Ahmad bin Abdurrazaq al- Duwaisy, Fatwa-Fatwa Jual Beli. Penerjemah M. Abdul Ghoffar
(Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2005), h.170.
45
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
pada
7
Desember
2010
dari
44
menyatakan tidak setuju apabila si penjual itu memperaktekan transaksi ‘inah.
Indikasi ini tampaknya membuat tawarruq adalah transaksi yang tidak
diperkenankan oleh Mazhab Maliki. Umar Ibn Abdul ‘Aziz and Muhammad
Ibn–al Hasan tidak setuju dengan tawarruq. Ibnu Taimiyah dari Mazhab
Hanbali dan murid nya Ibn al-Qayim sangat tidak setuju dengan tawarruq dan
menyamakan dengan katagori ‘inah. Sebagian dari ulama Hanafi telah
melarang transaksi ini dan menyamakannya dengan ‘inah, namun sebagian lagi
seperti Ibn al-Humam mengatakan kalau tawarruq tidak terlalu disenangi atau
khilaf al –awla.46
3. Tawarruq Munazam
Yang dimaksud dengan tawarruq munazam adalah seorang nasabah
membeli komoditi dari bank dengan prinsip murabahah, lalu pembayarannya di
lakukan dengan harga tangguh. Setelah komoditi tersebut pindah tangan,
nasabah menunjuk bank sebagai agennya untuk menjual kembali komoditi
tersebut kepada nasabah yang lain dengan harga yang lebih rendah dan dibayar
tunai.
Implementasi pada transaksi tawarruq munazam ini juga berlaku di
pasar internasional. Dimana bank syariah membeli komoditi dari pasar
international dengan cara tunai dan menjualnya kembali kepada nasabahnya
dengan prinsip murabahah dan harga yang lebih tinggi, lalu bank menjual
46
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
pada
7
Desember
2010
dari
45
kembali barang tersebut mewakili nasabahnya (prinsip wakalah) kepada pihak
ketiga. Lalu dana yang dibayarkan ke bank akan diserahkan ke nasabah yang
akan membayar transaksi murabahahnya dengan cicilan dengan harga yang
lebih tinggi sesuai dengan perjanjian di muka. Proses ini melibatkan broker
pasar komoditi internasional yang mendapat sejumlah komisi untuk jasanya.
Perbedaan antara Tawarruq Fiqhi dan Tawarruq Munazam47
Tawarruq Munazam
Tawarruq Fighi
Dilakukan oleh 4 Pihak
Dilakukan oleh 3 pihak
Ada perjanjian di muka untuk membeli
Tidak ada perjanjian untuk membeli
komoditi
Tidak ada perjanjian untuk membeli dari
Hanya ada 2 dasar jual beli
nasabah (mutawarriq)
Melibatkan perjanjian bersama/MoU yang
Tidak ada MoU
harus sesuai dengan prosedur.
Adanya penunjukan bank sebagai wakil
Nasabah menjual sendiri komoditinya.
dari nasabah untuk menjual komoditi
kepada pihak lainnya.
Tidak terjadinya pemindahan fisik dari
Pemindahan komoditi secara fisik terjadi ,
komoditi, hanya sebatas penanda tanganan
setiap kali terjadinya akad jual-beli.
akad jual beli.
47
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
pada
7
Desember
2010
dari
46
4. Argumentasi Yang Memperbolehkan Tawarruq Munazam
Para ulama yang mengizinkan implementasi dari tawarruq munazam ini
berpendapat bahwa setiap langkah dari prosedur yang dilalui dalam prosesnya
sesuai dengan prinsip syari’ah. Kalau setiap proses suatu akad yang terlibat di
dalamnya sah, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa semua
prosedurnya tidak sah, adapun proses tersebut meliputi:
a. Bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan secara konstruktif memiliki
komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam dokumen transaksi atas
dasar janji untuk membeli dari nasabahnya.
b. Bank menjual komoditi dengan prinsip murabahah dan hak kepemilikan
barang pindah kepada nasabah.
c. Nasabah menunjuk bank sebagai wakilnya untuk menjual kembali komoditi
tersebut.
d. Bank kemudian menjual kembali komoditi tersebut kepada pihak ketiga.
e. Bank memberikan dana hasil penjualan kepada nasabah. 48
Para ulama yang mendukung tawarruq munazam berpendapat bahwa
transaksinya sangat serupa dengan tawarruq fiqhi, hanya lebih well organized
(teratur) agar lebih lancar dan cepat prosesnya.
5. Argumentasi Yang Melarang Tawarruq Munazam
Perdebatan yang terjadi pada tawarruq munazam adalah untuk tidak
mengikutsertakan formasi tawarruq yang ketiga, yakni si penjual menjual
barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq,
sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Dengan begitu
artinya tawarruq munazam adalah indikasi dari kerjasama antara Bank dan
48
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
pada
7
Desember
2010
dari
47
nasabahnya yang bertujuan untuk menyediakan dana segar terhadap kewajiban
kredit untuk nasabahnya. Peran bank syariah dalam transaksi ini bukan hanya
sebatas sebagai perantara untuk pembelian komoditi seperti pada prinsip
murabahah, tetapi keterlibatan bank syariah disini juga untuk mendapatkan
keuntungan dari memberi fasililitas untuk mencari dana segar terhadap hutang
yang lebih tinggi dari jumlah uang tunai yang didapat nasabahnya. Bank
syariah tidak pernah bermaksud untuk menyediakan komoditi tersebut kepada
nasabahnya. Bank syariah mempunyai niat untuk mendapatkan keuntungan
dari harga komoditi dengan cara pembayaran cicilan di kemudian hari,
sementara nasabah berniat untuk mendapatkan uang tunai untuk menutupi
cicilannya dengan jumlah lebih besar dari uang tunai yang didapat olehnya. Jadi
sangat jelas disini adanya persamaan hilah atau rekayasa untuk melakukan halhal yang dilarang dan memiliki indikasi untuk mendapatkan riba yang sifatnya
permanen.
Melalui beberapa proses, bank syariah hanya berperan sebagai perantara
yang tidak sungguh-sungguh tertarik dengan jual beli komoditi atau memasuki
pasar komoditi internasional. Begitu juga nasabahnya, tidak berniat untuk
memiliki komoditi tersebut. Atau pada kasus kasus tertentu tidak tahu menahu
tentang adanya proses jual beli komoditi. Karena tujuan utamanya hanyalah
untuk mendapatkan uang tunai segera dari bank dengan berhutang yang akan
dibayar dengan cicilan. Oleh karena itu sebagian dari ulama menganggap
transaksi ini adalah transaksi ribawi.
48
Dari hasil observasi para Ulama, tawarruq munazam telah melanggar
beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis karena secara eksplisit sama
dengan formasi dalam ‘inah, dimana komoditinya kembali kepada penjual
asalnya ditambah dengan komisi yang diterimanya sehingga masuk dalam
kategori “dua transaksi dalam satu transaksi”. Salah satu hadis yang dilanggar
juga adalah al-bai’ yang tidak ada relevansi dengan kondisinya (bai’ wa syart),
yang sudah sangat jelas dilarang. Juga ada larangan mengenai jual beli dan
pinjaman (al-bai’ dan qardh) sangat relevan disini. Dimana pada transaksi ini
jual beli untuk mendapatkan keuntungan melalui pinjaman. Jadi tujuan dari
pada tawarruq munazam ini adalah pertukarana antara uang tunai dengan
hutang yang lebih besar nilainya. Itu sebabnya tawarruq munazam tidak dapat
memenuhi kualifikasi sebagai pembiayaan alternatif karena sama dengan
pembiayaan konvensional yang berbasis interest (bunga/riba).49
Islamic Figh Academy Jeddah, pada konferensi tahunannya yang ke 17
tidak membolehkan praktek tawarruq munazam yang berlaku di beberapa bank
syariah pada saat ini dikarenakan praktek tawarruq munazam hanyalah sebatas
di atas kertas untuk mendapatkan uang tunai.
Para ulama masih berdebat mengenai transaksi tawarruq. Pada transaksi
tawarruq fiqh transaksinya adalah murni jual beli, dimana ada pemindahan
kepemilikan barang, sementara
49
praktek dari tawarruq
Nibra
Hosen,”Tawarruq”
diakses
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
pada
7
munazam yang
Desember
2010
dari
49
dilakukan oleh beberapa bank syariah pada saat ini adalah sebuah proses untuk
mendapatkan uang tunai dimana transaksi jual belinya hanya di atas kertas dan
tidak ada perpindahan aset, yang artinya praktek tawarruq munazam sudah
melanggar prinsip syariah yang utama yaitu:” seseorang tidak dapat menjual
barang yang tidak dimiliki olehnya”.
Dalam hal ini poin utamanya adalah illat dan hilah. Dimana untuk
menghilangkan riba atau sebab-sebab yang mengharamkan transaksi yang
mengandung riba ulama yang pro tawarruq menggunakan hilah. Namun yang
kontra tidak hanya berhenti pada hilah saja mereka lebih mengedepankan
hikmah dibalik transaksi terselubung tersebut. Mereka lebih melihat moralitas
para pelakunya bukan pada formalitas transaksinya. Menurut penulis dalam
menetapkan sebuah hukum ‘illat saja tidak cukup namun juga perlu melihat
hikmahnya. Hal ini perlu karena kaitannya dengan hiyal50 yang digunakan
untuk melegalkan sebuah transaksi muamalah. Jadi, dalam masalah riba dalam
hukum Islam hanya sebatas legalitas semata yang terkait bentuk luarnya atau
formalitasnya saja, tidak ada tempat bagi moral untuk berbicara 51. Seharusnya
hukum fikih dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol formal legal
hukum dan juga pengontrol moral etika masyarakat.
50
Hiyal jamak dari hilah yang berarti “cara cara untuk mencapai beberapa keadaan secara
terselubung”. Lane. Arabic-English, I bagian 1 h.676. dikutip oleh Saeed. Abdullah. PhD. Menyoal
Bank Syariah; Kritik Atas Interpretasi bunga Bank Kaum Neo-revivalis. Terj. Cet 1. Paramadina.
Jakarta. 2004. h.59
51
Abdullah. Saeed,. Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum NeoRevivalis, terj. Arif Maftuhin. (Jakarta: Paramadina), 2004. h. 55
50
BAB III
MEKANISME DAN PROBLEMATIKA DEPOSITO BERBASIS KOMODITI
MURABAHAH
A. Mekanisme Deposito Berbasis Komoditi Murabahah
Sebelum menganalisa lebih jauh tentang deposito berbasis komoditi
murabahah, kita harus memahami terlebih dahulu alur transaksi yang terdapat di
dalamnya.
Produk ini merupakan produk penghimpunan dana berbentuk deposito jangka
pendek dengan margin tetap. Adapun inti dari transaksi yang diusung adalah
murabahah untuk mengklaim margin tetapnya (fixed return). Dalam konsep dan
prakteknya terdapat dua skema yang sedikit berbeda. Konsep pertama bank menjadi
agen ketika membeli dan menjual dan konsep kedua bank hanya menjadi wakil untuk
membeli saja. Di bawah ini adalah ketika bank pada posisi menjadi agen ketika
membeli dan menjual komoditi. 1
1
Luqman Hakim Handoko, “CMP Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam”, diakses pada 5
September 2010 dari http://lukmanomic.files.wordpress.com
51
Broker B
7. Dibayar tunai
Rp.103.000.000
6.Jual komoditas
+ margin (3%)
1. Deposito Rp.100.000.000
Bank
Nasabah
8. Rp.100.000.000 + Rp.3.000.000
5. Sertifikat
kepemilikan
2. Perintah beli
Broker A
4. Sertifikat
kepemilikan
3. Beli komoditas
LME
Alur Transaksi Deposito Berbasis Komoditi Murabahah
Dari gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Nasabah datang ke bank untuk membuka rekening deposito jangka pendek
sebesar Rp.100.000.000 dengan perjanjian return sebesar 3% dalam jangka
waktu tiga bulan misalnya. Penentuan return deposito sebesar 3%
merupakan marjin karena produk ini berbasis murabahah. Hal ini dapat
dilihat pada gambar di atas. Hubungan antara nasabah dan bank adalah
pada transaksi pertama bank sebagai agen, kemudian bank sebagai pembeli
52
komoditas. Konsekuensi dari wakalah ini adalah bank melakukan jual beli
harus disandarkan kepada nasabah baik menggunakan atas nama nasabah
ataupun atas nama bank.
2.
Selanjutnya pada proses kedua gambar diatas setelah terjadi kesepakatan
antara bank dan nasabah, maka bank memerintahkan broker A untuk
membeli sejumlah komoditas dengan dana Rp.100.000.000,- tunai2.
3.
Kemudian broker A melaksanakan perintah bank tersebut dengan membeli
sejumlah komoditas di bursa komoditi berjangka.
4.
Setelah itu broker A mendapatkan surat bukti transaksi (warrant) yang
diperoleh dari hasil transaksi di bursa komoditi berjangka.
5.
Kemudian surat bukti transaksi (warrant) tersebut diberikan oleh broker A
kepada bank. Setelah itu bank memberitahukan kepada nasabah kalau
komoditasnya telah dibeli. Dengan demikian nasabah telah memiliki
komoditas tersebut. Setelah itu nasabah memerintahkan bank untuk
menjual kembali dengan cost plus margin (murabahah).
6.
Setelah itu komoditas yang dibeli menjadi milik nasabah, kemudian
menjual
komoditas
tersebut
pada
harga
Rp.100.000.000
+3%
Rp.100.000.000 = Rp103.000.000 (murabahah) dengan mewakilkan
kepada bank untuk menjualnya kepada broker B. Sehingga nasabah dapat
2
Uang yang ditabungkan oleh nasabah dibelikan suatu komoditas, biasanya adalah metal di
LME london, di Malaysia ada yang pakai CPO.
53
margin sebesar 3% dari dana yang didepositokannya. Disinilah asal 3%
diperoleh dan menjadi fixed return.
7.
Selanjutnya broker B akan membayar secara tunai komoditas tersebut
dengan harga Rp 103.000.000 kepada bank selaku wakil dari nasabah.
8.
Terakhir ketika deposito telah jatuh tempo, bank akan memberikan hasil
dari transaksi komoditi murabahah yang terdiri dari pokok simpanan
nasabah beserta margin dari hasil penjualan komoditi murabahah tersebut.
Disini bank pada posisi sebagai agen lagi bukan principle. Jika bank
sebagai pembeli maka bank akan membelinya seharga Rp.103.000.000,
kemudian bank menjual ke broker dengan harga asal yaitu Rp.
100.000.000.
Dari semua alur di atas ada beberapa hal yang menjadi kritikan atas praktek
ini baik dari sisi substansi maupun motivasinya yang akan dibahas pada bab
selanjutnya.
B. Problematika Yang Ada Pada Transaksi Deposito Berbasis Komoditi
Murabahah
1. Motif Utama Transaksi Deposito Berbasis Komoditi Murabahah
Latar belakang munculnya produk ini adalah minimnya alat likuiditas yang
dimilki oleh bank dan keuangan syariah. Dan seiring berjalan waktu, latar
belakang tersebut berkembang tidak hanya untuk likuiditas saja tetapi juga untuk
pembiayaan dan deposito jangka pendek. Namun, tujuan utama dari semuanya ini
54
adalah untuk mendapatkan dana segar yang likuid tetapi juga menguntungkan bagi
orang yang berkepentingan.
2. Penentuan Marjin Tetap dan Jual Beli Yang Belum Pasti Terjadi
Pada dasarnya mengambil keuntungan dengan mengenakan margin tetap
dalam akad murabahah merupakan hal yang diperbolehkan, karena akad
murabahah termasuk dalam Natural Certain Contract (NCC). Namun terdapat
banyak kejanggalan yang ditemukan dalam penentuan margin tetap pada transaksi
komoditi murabahah tersebut seperti penentuan marjin tetap dilakukan ketika jual
beli murabahah yang belum pasti terjadi. Lantas dari mana asal penentuan marjin
tetap sementara jual beli murabahah itu sendiri belum pasti terjadi?
3. Ketidakpastian Pembeli Komoditas
Ketika bank berada pada posisi sebagai wakil nasabah untuk menjual
komoditasnya, maka perlu dipertanyakan pihak ketiga yang akan membeli
komoditas tersebut. Dalam konsep yang sebenarnya akad murabahah baru terjadi
ketika nasabah menjual komoditas yang dia beli itu dengan harga plus margin
kepada broker B. Namun apabila broker B itu tidak dapat dipastikan dan tidak
dapat ditemukan sampai batas waktunya, maka transaksi ini menjadi simpanan
yang memberikan keuntungan tetap (fixed return) sebesar 3 % selama 3 bulan
(atau 1% sebulan dan 12% setahun). Sehingga dapat disimpulkan keuntungan tetap
ini sama halnya dengan bunga bank yang diharamkan.
55
4. Konsekuensi Hukum Bentuk Simpanan Nasabah
Dalam konsep komoditi murabahah, jual beli yang terjadi hanya sekali
dalam tempo waktu tertentu. Kebalikan dari pertanyaan sebelumnya adalah
bagaimana jika jual beli itu terjadi dalam waktu beberapa hari saja berarti dana
yang disimpan di bank dalam bentuk deposito itu menganggur.
Praktek deposito jangka pendek atau commodity murabahah deposit ini
mirip dengan certificate of depsosit konvensional3. Artinya bahwa produk ini bisa
diperjualbelikan antar nasabah (bank/institusi). Jadi produk ini bisa termasuk
kategori produk derivatif yang dikeluarkan oleh bank. Dengan adanya produk ini
kemungkinan melakukan spekulasi akan bertambah besar bagi institusi keuangan
syariah, sehingga hal tersebut akan membiaskan perbedaan dengan pola transaksi
konvensional saat ini.
5. Menjual Komoditas Yang Belum Dimiliki
Jual beli yang dilakukan oleh bank kepada broker adalah jual beli di bursa
dimana transaksi yang dilakukan di bursa hanya merupakan janji untuk melakukan
jual beli yang tercatat, sehingga jual belinya belum terjadi. Jadi jual beli
murabahah ini sejatinya menjual janji untuk melakukan jual dan beli komoditas di
masa yang akan datang. Berarti menjual sesuatu yang belum dimiliki dan belum
berada ditangannya.
3
Hong Kong Bureau, Dow Jones Newswires.Hong Leong “Bank Launches HK's 1st Islamic
Banking Svc –Report”. http://www.scmp.com Monday, Aug 18, 2008
56
BAB IV
AKAD DAN ANALISA PROBLEMATIKA PADA DEPOSITO BERBASIS
KOMODITI MURABAHAH
A. Akad-Akad Yang Digunakan Pada Deposito Berbasis Komoditi Murabahah
Setelah penulis menjelaskan alur transaksi deposito berbasis komoditi
murabahah pada bab sebelumnya, sekarang penulis akan menganalisa akad-akad
apa saja yang digunakan pada transaksi tersebut.
Dari gambar alur transaksi deposito berbasis komoditi murabahah yang
telah dijelaskan pada bab II, jika seorang nasabah membuka rekening deposito
yang menggunakan sistem komoditi murabahah setidaknya melakukan tiga akad
kombinasi sebagai berikut;
1. Bai’ Musawamah Yang Dilakukan Oleh Bank Kepada Broker A
Bai’ musawamah merupakan jual beli dengan harga jual yang
disepakati oleh penjual dan pembeli dimana
pihak penjual biasanya
merahasiakan modal yang dikeluarkan untuk membeli barang yang dijualnya
tersebut.1 Jual beli ini lebih cenderung pada jual beli tawar menawar atau
musawamah kalau dilihat dari segi harga asalnya2.
1
Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.109.
2
Abdur-Rahman al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, Terj. (Jakarta: Darul Ulum. 2001). Cet
3. Jilid 6, h. 4.
56
57
Adapun pada posisi ini, bank bertindak sebagai wakil dari nasabahnya
untuk membeli suatu komoditas pada bursa komoditi berjangka. Jika
ditelusuri lebih jauh, sebenarnya pihak bank tidak langsung membeli
komoditas dari broker akan tetapi pihak bank kembali mewakilkan kepada
broker untuk membelikan suatu komoditas di bursa berjangka. Karena hanya
broker yang bisa melakukan transaksi di bursa.
2. Murabahah
Murabahah merupakan jual beli disertai marjin keuntungan yang
disepakati kedua belah pihak dimana pihak penjual memberitahukan harga
pokok pembelian serta keuntungan dari barang yang diperjualbelikan tersebut.
Adapun akad murabahah ini terjadi ketika komoditi yang telah dibeli nasabah
dari bursa dijual kepada bank secara tangguh (deffered) kepada nasabah sesuai
kesepakatan. Atau dalam kondisi lain pihak nasabah memberikan kuasa kepada
pihak bank untuk menjualkannya kembali kepada broker B dengan sistem
murabahah. Dan pada kondisi tersebut, kedudukan bank hanya sebagai agen
untuk kedua kalinya, sehingga bank hanya mendapatkan fee dari transaksi ini.
Dalam Islam jual beli dengan cara murabahah dibolehkan oleh
syariah dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki / hak
kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya bahwa keuntungan dan
risiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari
kepemilkan yang timbul dari akad yang sah.
b. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya harga perolehan yang
harus diketahui oleh pembeli karena hal ini merupakan salah satu syarat
sah murabahah.
58
c. Adanya informasi yang jelas tentang keuntungan baik nominal ataupun
persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah
murabahah.
d. Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, dan
jika tidak sah maka tidak boleh dilakukan jual beli murabahah kepada
pembeli kedua, karena murabahah merupakan jual beli dengan harga jual
beli pertama disertai tambahan keuntungan tertentu.3
3. Wakalah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa akad wakalah ini bisa
terjadi pada dua kondisi, pada kondisi pertama, akad wakalah terjadi ketika
nasabah membuka rekening depositonya di bank karena pada saat tersebut
pihak nasabah memberi kuasa kepada pihak bank untuk membeli komoditi
seharga uang yang didepositokan ke bank. Sedangkan pada kondisi kedua, akad
wakalah terjadi ketika nasabah memberi kuasa kepada pihak bank untuk
menjual kembali komoditi tersebut.
Dalam Hukum Islam wakalah adalah akad yang sah, yang dapat
dilakukan dengan upah atau komisi atau free of charge/gratis. Karena
Rasulullah SAW pernah memberi komisi kepada para petugas penarik zakat,
sebagaimana hadis menyebutkan dari Bisr ibn Said dari ibn al-Sa’idi berkata,
“Umar ra pernah mempekerjakan aku untuk menarik zakat. Setelah
pekerjaanku selesai, Umar memberiku upah, maka saya protes: “saya
melakukan ini hanya karena Allah”. Umar ra menjawab, “Ambil saja apa yang
3
Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat ,h. 119.
59
diberikan kepadamu. Sungguh aku pernah dipekerjakan Rasulullah SAW dan
beliau memberiku upah.4
Dan jika akad wakalah menggunakan upah, maka bagi orang yang
diberi kuasa (wakil) berlaku hukum pekerja pada ijarah. Sehingga ia wajib
melaksanakan tugas yang diwakalahkan kepadanya. Ia tidak boleh
meninggalkan pekerjaannya begitu saja tanpa ada uzur yang dapat dimaklumi.
Seperti halnya wakalah terhadap broker yang biasanya mendapat fee sesuai
kesepakatan setelah mereka melaksanakan tugas yang diwakalahkan
kepadanya dengan tuntas.5
4. Wa’ad
Selain akad- akad di atas, ternyata pada transaksi ini juga terdapat
unsur janji sepihak (wa’ad). Yaitu perjanjian sepihak oleh bank untuk
membeli komoditi dari nasabah, yang masih dalam perdebatan, apakah janji
tersebut mengikat secara agama dan legal formal. Adapun mayoritas fuqaha
berpendapat bahwa janji hanya mengikat secara agama, dan tidak mengikat
secara legal formal. Karena janji merupakan akad tabarru’, sedangkan akad
tabarru’ tidaklah mengikat secara legal formal. 6 Sedangkan pendapat terkuat
ulama mazhab Maliki menyatakan bahwa janji mengikat secara hukum
4
Abu Daud, Sunan Abu Daud (Mesir: Daar al- Fikr, Vol III, t.th), h. 134.
5
Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, h. 172-173.
6
Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, h. 62-63.
60
apabila janji tersebut dikaitkan dengan suatu sebab dan sebab tersebut
diungkapkan dalam pernyataan janji. Kalau kedua belah pihak membuat
perjanjian bersama untuk transaksi jual beli yang akan dilakukan kemudian,
Imam Syafi’i mengatakan kalau transaksi tersebut tidak sah. Namun demikian
kalau hanya salah satu pihak berjanji untuk membeli komoditi tersebut, hal ini
tidak akan terlalu berpengaruh banyak. Sebagian daripada para ulama
mengatakan kalau janji sepihak tidak dapat dipaksa untuk diimplementasikan,
sementara itu para ulama kontemporer yang pro konsep ini merasa demi
kepentingan kelancaran transaksi komersil pada saat ini, maka janji sepihak
haruslah mengikat7
B. Pemenuhan Rukun Dan Syarat Akad-Akad Yang Digunakan Pada Deposito
Berbasis Komoditi Murabahah
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konsep
komoditi murabahah ini terdiri dari beberapa akad baik akad utama dan akad
bawaan. Akad utamanya yaitu akad jual beli murabahah dan jual beli musawamah
dan akad bawaan yaitu wakalah. Akad-akad ini tidak bisa dipisah-pisahkan dalam
analisis, karena kesemuanya saling berhubungan. Jadi tidak bisa dilihat secara
parsial. 8 Berikut ini akan dijelaskan pemenuhan rukun dan syarat pada akad-akad
tersebut;
7
Nibra hosen. ”Tawarruq”. diakses pada
7 Desember 2010 dari
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21 http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21
8
Luqman Hakim Handoko, “CMP dalam perspektif hukum ekonomi Islam”, diakses pada
5 September 2010 dari http://lukmanomic.files.wordpress.com
61
1. Pemenuhan Rukun dan Syarat Akad wakalah
Kesesuaian
antara syarat
dan
rukun
dengan
Rukun
Syarat
Implementasi
konsep
komoditi
murabahah
T
Pemilik pekerjaan/barang
Nasabah
sebagai
yang akan diwakilkan
memiliki pekerjaan yaitu membeli
komoditas dan
orang
yang

bank dijadikan
Yang
wakilnya untuk membeli.
mewakilkan
Baligh /bisa membedakan
Deposito
diperuntukan
buat
suatu pilihan baik dan
korporate dan institusi keuangan
benar (mumayyiz)
lainnya. Jadi secara umum nasabah

(muwakkil)
sudah dewasa dan mumayyiz
Berakal
Yang menjadi wakil adalah bank.

Jadi bank sebagai badan i’tibari
dianggap berakal. Karena yang
Yang
menjadi karyawan adalah orangmewakili
orang yang berakal sehat
(wakil)
Dewasa/baligh
Sebagai badan i’tibari maka di
anggap dewasa dan baligh karena
personil
yang ada
didalamnya

TT
62
sudah pasti dewasa dan baligh.
Tidak termasuk hal hal
Pekerjaan yang diwakilkan kepada
yang mubah
bank adalah jual beli dan bukan hal

hal yang mubah
Pekerjaan
yang
Pekerjaan beli ini milik nasabah.
diwakilkan itu harus milik
Bisa
orang yang mewakilkan
membeli adalah milik nasabah.
Pekerjaan
yang
Dalam konsep ini pekerjaan yang
diwakilkan
harus
diwakilkan dirinci secara detail
diwakilkan
diketahui dari beberapa
harga, barang yang dibeli dan
(muwakkil
sisi, untuk menghindari
waktunya.
fih)
kecurangan dan spekulatif
Sesuatu yang
dilihat
dari
dana
untuk
Pekerjaan yang dilakukan
Transaksi yang diwakilkan kepada
bukan
bank adalah transaksi jual beli
berupa
permohonan



pinjaman
utang dari orang lain
Pekerjaan
itu
menurut
Transaksi
jual
syara’ bisa diganti oleh
transaksi
yang
orang lain
diganti oleh orang lain
Ucapan atau fungsi yang
Ketika nasabah datang ke bank
dapat
untuk
menggantinya
menabung
beli
termasuk
diperbolehkan
sighat
awal
seperti lewat utusan atau
berupa ucapan kemudian diikat
dengan
tulisan,
serah
dengan tulisan/ surat perjanjian
terima
yakni
dengan
yang ditandatangani oleh keduanya
Shighat
mengambil dan memberi


63
tanpa kata-kata
Ijab sesuai dengan qabul
Ijab qabul dalam hal ini bank dan
langsung
nasabah melalui surat perjanjian
atau
ditangguhkan
yang ditandatangani oleh keduanya
Ijab dan qabul terjadi
Ijab qobul antara kedua dilakukan
dalam satu majelis.
di atas surat persetujuan yang


ditandatangani oleh keduanya. Ini
menunjukan berada dalam satu
majelis.
Kedua belah pihak wakil
Kesepakatan antara kedua belah
dan muwakkil sama sama
pihak dapat diketahui melalui surat
mendengar
perjanjian yang ditandatangani.
perkataan

masing masing.
Keterangan:
T
= Terpenuhi
TT
= Tidak Terpenuhi
Sumber: Lukman Hakim Handoko. CMP dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam
Akad wakalah ini dilakukan ketika nasabah membuka rekening deposito
dan memberikan kuasa kepada pihak bank untuk membelikan komoditas. Adapun
kaitannya dengan pemenuhan rukun dan syarat akad, berdasarkan tabel di atas
dapat disimpulkan bahwa rukun dan syarat yang harus dipenuhi telah terpenuhi
secara keseluruhan, artinya secara teknis akad ini sah.
64
2. Pemenuhan Rukun dan Syarat akad jual beli musawamah
Kesesuaian
antara syarat
dan
rukun
dengan
Rukun
Syarat
Implementasi
konsep
komoditi
murabahah
T
Ucapan atau fungsi yang
Dalam bursa selain ucapan juga
dapat
diikat
menggantinya
dengan
tulisan
memperkuat perjanjian yang ada
dengan
tulisan,
dan
terima
yakni
dengan
untuk
mengantisipasi
perselisihan. Dan tercatat secara
mengambil dan memberi
elektronik.
tanpa kata-kata
mengetahuinya secara online
Adanya
Ijab sesuai dengan qabul
Dalam bursa semua keterangan
Shighat
dalam hal ukuran, sifat,
baik harga, ukuran, jenis barang,
jenis uang, langsung atau
tenggang waktu penyerahan ditulis
ditangguhkan
secara jelas dan dipublikasikan.
Ijab dan qabul terjadi
Transaksi
dalam
penjual
satu
majelis.

untuk
seperti lewat utusan atau
serah
TT
Keduanya
antara
tidak
pembeli
bertemu
dapat
dan
dalam
Artinya keduabelah pihak
majelis, dan tidak pernah tahu
yang melakukan jual beli
siapa lawan jual/belinya dalam
hadir dan membicarakan
transaksi.


65
topik yang sama
Kedua
belah
pihak
Keduanya belah pihak mengetahui
penjual dan pembeli sama
keinginan penjual atau pembeli
sama
karena terlisting dalam daftar dan
mendengar
perkataan masing-masing.
terpublikasikan.
Antara ijab dan qabul
Kesepakatan antara penjual dan
tidak ada tenggang waktu
pembeli tidak ada tenggang waktu.
yang
Ketika penutupan bursa tidak ada
mengesankan
penolakan
pembeli
atau
penjual


akan
terlikuidasi secara otomatis oleh
lembaga kliring
Mumayyiz
Orang
transaksi
yang
bisa
dengan
melakukan
dalam

bursa
adalah orang yang sudah muamyiz.
Kalau belum harus mendapatkan
izin dari walinya
Adanya
Dewasa
Orang
yang
bisa
melakukan
muta’aqidain
transaksi
dengan
bursa adalah
(pelaku
orang yang sudah dewasa. Kalau

akad)
belum harus mendapatkan izin dari
walinya
Dilakukan
atas
dasar
kemauan sendiri
Antara penjual dan pembeli tidak

ada paksaan untuk melakukan jual
beli
Adanya
Objek dan harganya suci
Objek transaksi dalam bursa tidak

66
Ma’qud alaih
ada. Yang ada adalah underlying
(barang dan
asset sebagai acuan penentuan
harga dan spesifikasi lainnya.
harga)
Dapat
dimanfaatkan
secara syara’
Barang dan
harga
tidak bisa

dimanfaatkan secara syara’ karena
keduanya tidak pernah mengalami
perpindahan kepemilikan dan tidak
pernah ada
Barang yang dijual itu
Barang yang dijual milik penjual
milik penjual ketika dijual
dan
kadang
penjual

tidak
memilikinya
Dapat diserah terimakan
Tidak pernah ada serah terima

barang ataupun harga. Kalaupun
ada hanya sekitar 2% saja.
Barang dan harga harus
Dalam perjanjian tertulis jelas
diketahui
spesifikasi harga dan barang.
dengan
untuk
jelas

mencegah
terjadinya perselisihan
Akadnya tidak dibatasi
Dalam jual beli dibursa tidak ada
dengan waktu
batasan waktu yang ada batasan
kapan akad akan dilaksanakan.
Keterangan:
T
= Terpenuhi
TT
= Tidak terpenuhi
Sumber: Lukman Hakim Handoko. CMP dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam

67
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, jual beli musawamah yang
dimaksud tabel di atas adalah jual beli antara pihak bank yang mewakili
nasabah dengan broker. Adapun berdasarkan tabel di atas terdapat syarat-syarat
yang tidak terpenuhi baik pada sighat, pelaku akad, dan objek akadnya. Pada
sighat, syarat yang tidak terpenuhi adalah syarat ijab dan qabul terjadi dalam
satu majelis. Artinya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan
membicarakan topik yang sama. Transaksi ini terjadi di bursa berjangka dimana
pembeli dan penjual tidak pernah tahu siapa lawan transaksinya. Mereka hanya
melihat list pada papan elektronik. Oleh karenanya diperlukan regulasi yang
lebih syar’i terkait mekanisme jual beli pada bursa komoditi berjangka,
sehingga orang-orang yang bertransaksi tahu siapa lawan transaksi mereka dan
hal tersebut bisa meminimalisir spekulasi yang terjadi.
Kemudian pada rukun ma’qud ‘alaih terdapat empat syarat yang tidak
terpenuhi yaitu pertama objek dan harganya suci, karena sesungguhnya dalam
bursa tidak pernah ada objek transaksi ataupun harga berdasarkan mata uang,
karena yang ada hanya underlying asset saja. Syarat kedua yang tidak terpenuhi
adalah objek transaksi dapat dimanfaatkan secara syara’. Secara teknis di
lapangan barang dan harga dalam bursa tidak dapat dimanfaatkan menurut
syara’ karena keduanya tersebut tidak pernah ada dan tidak pernah ada
perpindahan kepemilikan untuk dimanfaatkan oleh keduanya. Oleh karenanya
dibutuhkan jiwa-jiwa ekonom rabbani yang tidak hanya menjadikan barang
68
sebagai justifikasi tanpa ada niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan
transaksi.
Syarat ketiga adalah barang yang dijual adalah milik penjual. Di dalam
bursa, komoditas ada dalam suatu tempat dan tidak pernah pindah (terutama
emas di london) penjual lebih banyak tidak memiliki barang karena yang
mengeluarkan harga jual adalah lembaga kliring bukan penjual. Posisi jual atau
beli bisa dilakukan oleh siapa saja walaupun tidak punya barangnya. Terakhir
syarat yang tidak terpenuhi adalah dapat diserahterimakan baik barang atau
harganya. Menurut survey hanya sekitar 2% terjadi serah terima barang.
Kebanyakan adalah penyelesaian tunai layaknya judi (zero sum game). Karena
tujuan utama transaksi ini bukanlah penyerahan barang dan harga, jadi secara
umum tidak ada penyerahan barang dan harga. Padahal sebagaimana yang
penulis sampaikan sebelumnya bahwa Rasulullah SAW jelas melarang
seseorang menjual sesuatu yang bukan miliknya, sebab hal tersebut akan
menimbulkan gharar. Oleh karenanya diperlukan perubahan mekanisme pada
bursa komoditi berjangka, sehingga dapat meminimalisir gharar dan spekulasi
yang terjadi.
3. Pemenuhan Rukun dan Syarat akad jual beli murabahah
Kesesuaian
antara syarat
Rukun
Syarat
Implementasi
dan
dengan
rukun
69
konsep
komoditi
murabahah
T
Ucapan atau fungsi yang
Dalam perjanjian dengan bank
dapat
selain ucapan juga diikat dengan
menggantinya
seperti lewat utusan atau
tulisan
dengan
tulisan,
perjanjian yang ada dan untuk
terima
yakni
serah
dengan
untuk

memperkuat
mengantisipasi perselisihan.
mengambil dan memberi
tanpa kata-kata
ijab sesuai dengan qabul
Secara teknis semua persyaratan
dalam hal ukuran, sifat,
ini
jenis uang, langsung atau
perbankan
ditangguhkan
dengan detail. Dan dalam bursa
terpenuhi
karena
semuanya

dalam
ditulis
Adanya
Shighat
ketika akad jenis, waktu, ukuran,
harga disebutkan dengan jelas.
Ijab dan qabul terjadi
Nasabah mendatangi bank dan
dalam
melakukan
satu
majelis.
Artinya keduabelah pihak
akad
dalam

satu
majelis.
yang melakukan jual beli
hadir dan membicarakan
topik yang sama
Kedua
belah
pihak
Shighat dalam perbankan dalam
penjual dan pembeli sama
bentuk tulisan /surat perjanjian

TT
70
sama
mendengar
perkataan masing masing.
dimana antara nasabah dan bank
saling
mengetahui
dengan
membacanya
Antara ijab dan qabul
Pihak bank dan nasabah yang
tidak ada tenggang waktu
melakukan ijab dan qabul melalui
yang
penandatanganan surat perjanjian
mengesankan
penolakan

yang telah disetujui keduanya.
Dalam hal ini berarti keduabelah
pihak saling setuju dan tidak ada
unsur penolakan.
Mumayyiz
Syarat umum dari bank nasabah

yang dapat transaksi dengan bank
adalah sudah dewasa. Jika belum
harus ada izin /perwakilan dari
walinya
Adanya
Dewasa
Syarat umum dari bank nasabah

muta’aqidain
yang dapat transaksi dengan bank
(pelaku
adalah sudah dewasa. Jika belum
akad)
harus ada izin /perwakilan dari
walinya
Dilakukan
atas
dasar
kemauan sendiri
Nasabah yang datang
ke bank

tidak ada paksaan harus menabung
ke bank
Adanya
Ma’qud alaih
Objek dan harganya suci
Objeknya adalah komoditas yang
telah dibeli di bursa sebelumnya

71
(barang dan
harga)
Dapat
dimanfaatkan
secara syara’
Tidak dapat dimanfatkan secara
syara’
karena
barang

belum
diterima oleh nasabah
Barang yang dijual itu
Barang yang dijual belum dimiliki

Barang

milik penjual ketika dijual
Dapat diserahterimakan
tidak
dapat
diserahterimakan karena barangnya
tidak dimiliki dan berada jauh dari
jangkuannya
Barang dan harga harus
Barang secara spesifikasi tertulis
diketahui
jelas
dapat diketahui dan harga juga
mencegah
dapat diketahui harga asal dan
dengan
untuk
terjadinya perselisihan
tambahan marginnya
Akadnya tidak dibatasi
Akad tidak dibatasi oleh waktu
dengan waktu
dalam kepemilikan barang yang


dijual
Mengetahui
harga
Bank
mengetahui
harga
awal

pertama pembelian barang
barang
Mengetahui keuntungan
Jika bank yang membeli bank

mengetahui keuntungan. Dan jika
Syarat
bank
sebagai
agent
maka
tambahan
kemungkinan besar pembeli tidak
mengetahui..
Modal
hendaklah
dari
komoditi yang memiliki
Modal
yang
diapakai
tidak
memiliki jenis kesamaan karena

72
kesamaan dan jenis (bisa
transaksi ini antara barang dan
ditakar, ditimbang, atau
uang
dihitung)
Sistem murabahah dalam
Secara sistem bebas dari riba
harta
riba
karena harga+margin diketahui dan
tidak
dinisbatkan
hendaknya
riba

ditentukan di awal serta tidak
tersebut terhadap harga
mengalami
perubahan
selama
pertama
transaksi. Dan harga dinisbatkan
pada barang
Transaksi
haruslah sah
pertama
Transaksi pertama tidak sah karena

termasuk jual beli kali bil kali atau
bai’ dain bi dain.
Keterangan:
T
= Terpenuhi
TT
= Tidak terpenuhi
Sumber: Lukman Hakim Handoko. CMP dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam
Jual beli murabahah ini sesungguhnya merupakan lanjutan dari jual beli
pertama yang dilakukan bank dengan broker (musawamah). Berdasarkan tabel
diatas maka dapat disimpulkan bahwa kontrak ini tidak sah karena beberapa
syaratnya tidak terpenuhi dengan sempurna baik dari sisi shighat, ma’qud
’alaih dan syarat tambahan khusus untuk murabahah.
Syarat yang tidak terpenuhi dari sisi ma’qud alaih nya adalah sama
dengan jual beli sebelumnya, yaitu pada objek dan harga tidak suci, tidak dapat
dimanfaatkan secara syara’, tidak dapat diserahterimakan, barang yang dijual
73
tidak dimiliki oleh penjual. Khusus untuk syarat tambahan tentang murabahah
ada satu syarat yang tidak terpenuhi hal ini terjadi karena akibat dari transaksi
sebelumnya. Syarat tersebut yaitu transaksi sebelumnya harus sah, sedangkan
dalam transaksi murabahah ini transaksi sebelumnya (ba’i musawamah) tidak
sah karena transaksi pertama termasuk transaksi bai’ dain bi dain atau bai’ kali
bi kali yang dilarang oleh syari’ah.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep dan
mekanisme transaksi ini secara keseluruhan tidak sah dan dilarang oleh
syari’ah. Karena terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad-akad
utamanya yaitu pada akad bai’ musawamah dan bai’ murabahah.
C. Analisa Terhadap Problematika Yang Ada Pada Deposito Berbasis Komoditi
Murabahah
1. Motif Utama Transaksi Deposito Berbasis Komoditi Murabahah
Adapun fokus penulis saat ini adalah deposito berbasis komoditi
murabahah yang tujuan utamanya adalah bagaimana bank mendapat dana segar
dan murah sedangkan nasabah mendapatkan hasil yang tetap dari dana yang
dipinjamkan kepada bank. Konsep ini sebenarnya tidak berbeda dengan bunga
(fixed return) namun untuk menyiasati agar tidak dikatakan riba, transaksi ini
menggunakan hilah
yaitu diperantarai jual beli murabahah. Padahal jika
niatnya benar-benar melakukan jual beli, objeknya bisa saja diubah ke pasar
spot. Namun, jika objeknya diubah kepasar spot, maka hal ini menjadi sesuatu
yang tidak menarik lagi bagi para pelaku tranasksi ini karena dinilai tidak likuid
74
lagi seperti transaksi pada bursa berjangka. Jadi, pada dasarnya, tujuan utama
pihak bank adalah untuk mendapatkan uang tunai yang di kemudian hari akan
dibayarkan dengan sejumlah dana yang lebih besar dari yang dititipkan nasabah
dengan hilah melalui akad, penunjukan wakil dan kesepakatan sehingga sekilas
transaksi ini seakan-akan diperbolehkan oleh syariah, padahal sesungguhnya
motif transaksi ini tidaklah berbeda dengan yang biasa diaplikasikan pada
perbankan konvensional.
Adapun terkait transaksi yang menggunakan hilah, para ulama
berpendapat sah-sah saja sepanjang tidak merusak fundamental prinsip prinsip
syariah atau merusak manfaatnya. Namun, masalah yang patut disoroti secara
lebih dalam transaksi ini adalah niat.
Ketika niat seseorang baik, maka perbuatannya dapat diterima, namun
apabila niatnya salah, perbuatannya dapat dikatakan salah. 9 Para ulama
membuat sebuah kaidah;
10
‫اﻟﻌﺒﺮة ﻓﻰ اﻟﻌﻘﻮد ﺑﺎﻟﻤﻘﺎﺻﺪ واﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻻﺑﺎﻻﻟﻔﺎظ واﻟﻤﺒﺎﻧﻲ‬
“Yang menjadi patokan dalam setiap transaksi adalah makna makna
(yang dikandung) dan tujuan-tujuan(nya) bukan pada bentuk formal atau
lafal-lafalnya”
9
Nasrun. Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 30.
10
Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam 1989),
Cet II, h.55
75
Kaitannya dengan ini Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah sebagaimana yang
dikutip oleh Nasrun Haroen menyatakan;
Siapa yang memahami secara mendalam sumber-sumber syara’
akan jelas baginya bahwa asy-syari’ membatalkan lafal-lafal yang dituju
oleh pelaku (suatu akad) bukan hakikat makna sebenarnya dan barang
siapa yang tidak memperhatikan tujuan-tujuan yang terkandung berbagai
akad dan melaksanakan akad sesuai dengan bentuk formalnya akan
berakibat kepada membiarkan (tidak melaknat) orang orang yang
memeras anggur (untuk dijadikan khamar) dan membiarkan setiap orang
untuk melakukannya, sekalipun tujuannya jelas untuk membuat khamr.
Bahwa tujuan tujuan dan keyakinan-keyakinan bisa menjadi patokan
dalam berbagai bentuk tindakan hukum dan ungkapan-ungkapan,
sebagaimana halnya berlaku dalam persoalan yang berkaitan dengan
amalan-amalan taqarrub dan ibadah (kepada Allah). Tujuan, niat, dan
keyakinan membuat sesuatu menjadi halal, haram, sahih, fasid, taat,
maksiat, sebagaimana juga tujuan dalam ibadah menjadikannya wajib,
dianjurkan (sunnah), diharamkan, sahih atau fasid. 11
Bukanlah suatu perkara mudah untuk mengetahui niat seseorang dalam
melakukan sesuatu, tapi niat bisa diketahui jika hal yang dilakukan seseorang
tersebut sudah menjadi sebuah trend atau menjadi sebuah motif bersama
sehingga kecenderungan bersama ini mampu menunjukan sendiri niat terhadap
11
Nasrun. Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 23 -24.
76
hal yang dilakukannya tersebut. Adapun terkait masalah bursa berjangka ini
tidak bisa hanya dilihat dari aspek individu saja dalam meilhat apa motif dan
tujuannya, melainkan kita harus jeli melihat motif dan tujuan tersebut secara
keseluruhan. Selain itu, esensi dari konsep komoditi murabahah adalah
menggunakan akad tawarruq, dan tujuan utama dari konsep ini adalah
bagaimana mendapatkan likuiditas baik dari segi nasabah bank atau dari segi
bank itu sendiri. Penulis sependapat dengan M. Nejatullah Sidqi bahwa konsep
tawarruq ini lebih besar mafasdahnya daripada maslahahnya jika dilhat dari
segi kepentingan umum. 12 Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
mafsadah yang ditimbulkan dari transaksi ini lebih besar dari pada maslahah
yang diperoleh. Oleh karena itu, demi mencegah mafsadah yang lebih besar,
kita perlu melakukan tindakan preventif (saddu dzari’ah) terhadap transaksi ini
sebagaimana kaidah fiqhiyah dibawah ini;
13
ِ‫دَرْءُ اﻟﻤَﻔَﺎﺳَﺪِ ﻣُﻘَﺪﱠمٌ ﻋَﻠَﻰ ﺟَﻠْﺐِ اﻟﻤَﺼَﺎﻟِﺢ‬
”Menghindari kerusakan/resiko itu lebih didahulukan atas menarik
kemanfaatan”
14
ُ‫اﻟﻀﱠﺮَارُ ﯾُﺰَال‬
”Marabahaya itu dihilangkan”
12
Mohammad Nejatullah Siddiqi. “A Position Paper To Be Presented At The Workshop
On Tawarruq: A Methodological Issue In Shari`A-Compliant Finance”. Islamic Finance,
Tawarruq. February, 1, 2007, h.7
13
14
Abdul Hamid Hakim, al-Sulam,(Jakarta:Sa’adah Putra,t.th ), juz II, h.52.
ibid, h.52.
77
Maka demi menghindari mafsadah yang lebih besar lagi, praktek
transaksi ini tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan maqasid syari’ah
yaitu menjaga harta. Harta disini tidak sebatas harta pribadi tetapi juga dalam
arti harta sebuah negara.
2. Penentuan Margin Tetap dan Jual Beli Yang Belum Pasti Terjadi
Dalam transaksi komersial memang ada dua karakteristik yaitu Natural
Certain Contracts (NCC) dan Natural Uncertain Contracts (NUC)15. Dimana
pembeda dari kedua karakteristik tersebut adalah dari segi hasilnya. Dalam
NCC tingkat keuntungan boleh ditentukan pada awal transaksi, sedangkan
dalam NUC tingkat keuntungan tidak boleh ditentukan pada awal transaksi.
Adapun salah satu jenis dari kontrak NCC adalah jual beli murabahah dimana
tingkat keuntungannya sudah boleh ditentukan pada awal transaksi. Misalnya,
merujuk kepada alur transaksi yang telah dijelaskan pada bab III, seorang
nasabah menabung sebesar Rp.100.000.000 dengan returnnya 3% dalam jangka
waktu 3 bulan. Margin ini ditentukan di awal ketika akad pembukaan rekening
deposito. Kalau melihat dari alur di atas, hal ini memang masuk akal dari mana
hasil 3% itu diperoleh. Dan sekilas tidak ada salahnya atau transaksi ini sesuai
dengan syariah, karena ini adalah jual beli dengan keuntungan (murabahah).
Disinilah banyak orang yang keliru, dan perlu diingat bahwa keuntungan dapat
ditetapkan ketika akad jual beli itu terjadi. Sedang dalam transaksi komoditi
15
Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan keuangan (Jakarta: Raja Grafindo,
2007), h. 51.
78
murabahah ini, return ditentukan oleh bank. Padahal disini posisi bank bukan
sebagai penjual melainkan sebagai agen dengan persetujuan nasabah. Artinya
transaksi jual beli disini belum terjadi namun masih akan terjadi nanti. Jadi
masih ada potensi kegagalan dalam jual beli yang akan dilakukan.
Lantas dimana letak perbedaan transaksi ini dengan praktek riba yang
ada sekarang di bank-bank konvensional selain hanya memakai embel-embel
syariah? Karena bagaimana mungkin bank atau nasabah dapat menentukan
returnnya secara fixed dimuka sedang transaksi jual belinya belum terjadi.
Terlebih lagi, kalau kita cermati, posisi nasabah disini lebih mirip
disebut sebagai pedagang yang akan membeli suatu komoditas dan akan
menjual kembali komoditas yang dibelinya tersebut. Dan hal yang perlu diingat
bahwa orang berdagang adalah orang yang melakukan jual beli, keuntungan
yang mereka dapat tidak menentu tergantung kondisi pasar saat itu. Jadi, dalam
berdagang keuntungan tidak bisa ditentukan di awal, sehingga hal ini
bertentangan dengan kaidah al-khoroj bi dhoman (hasil usaha muncul bersama
dengan biaya) dan al ghunmu bil ghurmi (keuntungan muncul bersama resiko).
Dengan penentuan di awal dan adanya kepastian keuntungan yang didapat akan
menjadikan transaksi tersebut nantinya masuk dalam kategori riba nasi’ah16.
Adapun jual beli yang dilakukan oleh bank belum bisa dipastikan
hasilnya, bisa untung dan juga bisa rugi. Jadi keuntungannya belum bisa
ditentukan walaupun dia melakukan jual murabahah karena pada kesepakatan
16
Adiwarman karim. Bank Islam: analisis fiqh dan keuangan, h.37.
79
murabahah belum terjadi pembelian. Tetapnya keuntungan baru bisa dikatakan
fixed ketika telah terjadi. Hal ini sangat berbeda ketika murabahah sebagai
produk pembiayaan.
3. Ketidakpastian Pembeli Komoditas
Ketika bank berada pada posisi sebagai wakil nasabah untuk menjual
komoditasnya, permasalahan baru akan muncul ketika ternyata broker yang
akan membeli komoditas tidak ditemukan sampai batas waktunya maka pihak
bank yang akan membeli komoditas tersebut, sehingga jual beli ini bisa masuk
kategori jual beli terpaksa. Karena bank terpaksa membeli komoditas tersebut
untuk memenuhi janjinya demi memberikan prosentase yang telah disepakati.
Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah jual beli ini tidak sah karena tidak
disertai keridhaan dalam akad17.
4. Konsekuensi Hukum Bentuk Simpanan Nasabah
Dalam konsep komoditi murabahah, jual beli yang terjadi hanya sekali
dalam tempo waktu tertentu. Kalau dana tersebut dipakai lagi oleh bank untuk
melakukan jual beli keuntungan sudah pasti dinikmati oleh bank. Dan mungkin
inilah yang dicari oleh bank karena dengan demikian dia mendapatkan dana
segar dan likuid sangat murah. Jika hal ini tidak seizin pemiliknya makan jual
beli ini termasuk jual beli fudhuli. Dalam menyikapi hal ini, Ulama Hanafiyah
membedakan antara menjual dan membeli. Dalam menjual, jual beli fudhuli
17
Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah: Untuk UIN, STAIN, PTAIS, dan Umum (Bandung:
PT Pustaka Setia, 2006), h. 94.
80
dianggap
sah
jika
terdapat
kerelaan
dari
pihak
yang
berwenang
(pemilik/walinya). Adapun dalam hal membeli untuk dirinya sendiri dianggap
sah, kecuali jika ia membeli dengan mengatasnamakan orang lain, maka
akadnya dianggap sah jika terdapat kerelaan dari pihak yang berwenang
(pemilik/walinya). Sedangkan menurut Ulama Malikiyah, semua jenis akad
fudhuli baik menjual ataupun membeli harus mendapat kerelaan dari pihak
yang berwenang (pemilik/walinya). Adapun Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa akad jual beli ini mutlak tidak sah dan tidak perlu
digantungkan pada izin pihak lain yang berwenang.18
5. Menjual Komoditas Yang Belum Dimiliki
Sebagaimana yang penulis ungkapkan sebelumnya bahwa jual beli
murabahah ini sejatinya menjual janji untuk melakukan jual dan beli komoditas
di masa yang akan datang. Berarti menjual sesuatu yang belum dimiliki dan
belum berada di tangannya. Padahal Islam jelas melarang siapa pun untuk
menjual sesuatu yang belum dimilikinya. Termasuk Imam Syafi’i yang secara
mutlak yang juga diamini oleh Ibnu Hazm dan merujuk kepada hadis Nabi
SAW:
َ‫ﻋَﻦْ ﺣَﻜِﯿﻢِ ﺑْﻦِ ﺣِﺰَامٍ ﻗَﺎلَ ﯾَﺎ رَﺳُﻮلَ اﻟﻠﱠﮫِ ﯾَﺄْﺗِﯿﻨِﻰ اﻟﺮﱠﺟُﻞُ ﻓَﯿُﺮِﯾﺪُ ﻣِﻨﱢﻰ اﻟْ َﺒﯿْﻊَ ﻟَﯿْﺲَ ﻋِﻨْﺪِى أَﻓَﺄَﺑْﺘَﺎﻋُﮫُ ﻟَﮫُ ﻣِﻦ‬
18
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 127-128.
81
19
(‫اﻟﺴﱡﻮقِ ﻓَﻘَﺎل ﻻ ﺗﺒﻊ ﻣﺎ ﻟﯿﺲ ﻋﻨﺪك )رواه ﺣﻜﯿﻢ ﺑﻦ ﺣﺰام‬
Dari Hakim bin Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah,
ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual
beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang
tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?'
Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau
miliki.'" (HR. Hakim bin Hizam)
Rasionalisasi terhadap larangan pada hadis tersebut sangatlah jelas,
karena
kepemilikan
objek
transaksi
merupakan
syarat
memindahkan
kepemilikan objek transaksi kepada pihak pembeli. Secara konsep murabahah
memang dibolehkan oleh syariah. Namun dalam implementasi komoditi
murabahah, objek transaksinya bukan merupakan harta yang dimaksudkan oleh
syari’ah. Dalam konsepnya objek transaksi dianggap telah memenuhi syarat
dan rukunnya. Padahal kalau dilihat dari alur proses transaksi pada bursa
berjangka objek transaksinya tidak ada. Sehingga jual beli ini lebih cocok
disebut dengan jual beli al-dain bi al-dain yang dijual dengan murabahah.
Dari konsep ini ditemukan kesan memperturutkan hawa nafsu yaitu
mendapatkan keuntungan dengan cara apapun (hilah) walaupun itu sebenarnya
riba yang dilarang. Abdullah Saeed dalam bukunya menyoal bank syariah kritik
atas kaum neo-revivalis telah membahas dengan panjang bagaimana bahaya
riba jika tidak memperhatikan aspek moral dan etika, karena mementingkan
hilah untuk mencapai tujuannya.
19
Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nailu al-Authar syarh muntaqa al-Akhbar.
(Mathba’ah al-Babi al-Halbi, 1372), h.164.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menganalisa beberapa hal yang menjadi fokus kajian penulis di atas,
maka penulis menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut:
1. Produk ini merupakan produk penghimpunan dana pihak ketiga dalam bentuk
deposito jangka pendek dengan margin tetap. Adapun inti dari transaksi yang
diusung adalah murabahah untuk mengklaim margin tetapnya (fixed return).
Tujuan utama Komoditi Murabahah adalah bagaimana bank mendapat dana segar
dan murah sedang nasabah mendapatkan hasil yang tetap dari dana yang
dipinjamkan kepada bank. Konsep ini sebenarnya sama dengan bunga (fixed
return) namun untuk menghindari agar tidak dikatakan riba memakai hilah yaitu
diperantarai jual beli murabahah. Jadi tujuan bank dari awal berniat untuk
mendapatkan uang tunai, dengan membayar sejumlah dana yang lebih di
kemudian hari dengan hilah melalui akad, penunjukan wakil dalam transaksi ini
menjadikannya seakan-akan diperbolehkan oleh syari’ah. Jadi pada intinya motif
transaksi ini sama saja dengan konvensional.
2.
Komoditi murabahah ini terdiri dari beberapa akad baik akad utama dan akad
bawaan. Akad utamanya adalah sebagaimana namanya commodity murabahah
yaitu akad jual beli murabahah yang terjadi ketika komoditi yang dibeli nasabah
dari bursa dijual kepada bank dengan dengan sistem jual beli murabahah, dimana
komoditi tersebut akan dibayar secara tangguh (deffered) kepada nasabah sesuai
82
83
kesepakatan. Atau nasabah mewakilkan kepada bank untuk menjualkannya
kembali kepada broker B dengan sistem murabahah, akad utama lainnya adalah
jual beli musawamah yang terjadi antara pihak bank dan broker A ketika pihak
bank membelikan komoditas untuk nasabah dan terakhir akad bawaan yaitu
wakalah. Dimana akad ini bisa terjadi pada dua kondisi, pertama ketika nasabah
menabung di bank. Yaitu mewakilkan (memberi kuasa) kepada bank untuk
membeli komoditi seharga uang yng ditabungkan ke bank. Kedua ketika nasabah
menunjuk Bank sebagai wakilnya untuk menjual kembali komoditi tersebut.
Akad-akad ini tidak bisa dipisah-pisahkan dalam analisis, karena kesemuanya
saling berhubungan. Jadi tidak bisa dilihat secara parsial. Konsep dan mekanisme
transaksi ini secara keseluruhan tidak sah dan dilarang oleh syari’ah. Karena
terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad-akad utamanya yaitu pada
akad bai’ musawamah dan bai’ murabahah. Belum lagi tawarruq munazzam
yang tidak bisa dilepaskan dari produk ini. Dimana menurut hasil observasi para
ulama, tawarruq munazam telah melanggar beberapa larangan yang disebutkan
dalam hadis karena secara eksplisit sama dengan formasi dalam ‘inah, dimana
komoditinya kembali kepada penjual asalnya ditambah dengan komisi yang
diterimanya sehingga masuk dalam kategori “dua transaksi
dalam satu
transaksi”. Juga ada larangan mengenai jual beli dan pinjaman (al-bai’ dan
qardh) sangat relevan disini. Dimana pada transaksi ini jual beli untuk
mendapatkan keuntungan melalui pinjaman. Jadi tujuan dari pada tawarruq
84
munazam ini adalah pertukaran antara uang tunai dengan hutang yang lebih besar
nilainya.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi yang ingin melanjutkan studi tentang komoditi murabahah hendaknya
mengkaji dari sisi ekonomi makro Islam, karena uang-uang yang terkumpul pada
komoditi murabahah akan dibelikan komoditas di luar negeri sehingga akan
terjadi pergerakkan uang dari dalam ke luar negeri. Dan hal tersebut tentunya
akan berdampak terhadap sistem moneter di dalam negeri.
2. Bagi yang masih ingin melanjutkan studi selain tentang bentuk komoditi
murabahah dalam penghimpunan dana pihak ketiga, bisa juga mengkaji jenis
komoditi murabahah yang lain sebagaimana yang dijelaskan oleh IFSB seperti
commodity murabahah for liquid funds atau jenis lainnya seperti commodity
murabahah financing.
85
DAFTAR PUSTAKA
Daud, Abu. Sunan Abu Daud. Mesir: Daar al- Fikr, Vol III, t.th
Duwaisy, Ahmad bin Abdurrazaq. Fatwa-Fatwa Jual Beli. Terj. M. Abdul Ghoffar
Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2005.
Hakim, Abdul hamid, As-Sulam Juz 2. Sa’adah Putra. Jakarta. Tt.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Jaziri, Abdur Rahman. Fiqh Empat Madzab, Terj. Cet 3. Jilid 6. Jakarta: Darul Ulum.
2001.
Lathif,Ah. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Mas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
Miqri ibn Abd, Muhammad. Al-Aswaq al-Maliyah. Makalah dipresentasikan pada
akademi fiqh Islam Jeddah dalam konferensi yang ketujuh.
Mushlih, Abdullah dan Shawi, Shalah. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, terj. Abu
Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2008.
Perwataatmadja, Karanaen.A. dan Syafi'i Antonio, Muhammad. Apa dan Bagaimana
Bank Islam.. Yogyakarta: P.T. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999.
Qudamah al-Maqdasi , Abu Muhammad Abdillah ibn Ahmad ibn Muhammad. AlMughni. Tt: Dar al-Manar. 1367.
Rahmawan, Ivan.A. Kamus Istilah Akuntansi Syari'ah. Yogyakarta: Pilar Media,
2005.
Saeed, Abdullah. Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum
Neo-Revivalis, terj. Arif Maftuhin. Jakarta: Paramadina, 2004.
Sanhuri, Abdul Razak Mashadir al- haq fii al-Fiqh al-Islami. t.t, t.p, t.th.
Shahatah, Hussein dan al-Dharir, Siddiq Muhammad al-Amin, Transaksi dan Etika
Bisnis Dalam Islam. Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R. Jakarta:
Visi Insani Publishing, 2005.
85
86
Siddiqi, Mohammad Nejatullah. “A Position Paper To Be Presented At The
Workshop On Tawarruq: A Methodological Issue In Shari`A-Compliant
Finance”. Islamic Finance, Tawarruq. February, 1, 2007.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi.
Yogyakarta: Ekonisia, 2004.
Syafi'i, Antonio, Muhammad. Bank Islam: Dari Teori ke Praktek .Jakarta: Gema
Insani Press. 2001
Syafi’i, Rachmat. Fiqh Muamalah: Untuk UIN, STAIN, PTAIS, dan Umum. Bandung:
Pustaka Setia, 2006.
Syahatah,Husein dan Fayyadh, Athiyyah. Bursa Efek: Tuntunan Islam Dalam
Transaksi di Pasar Modal. Penerjemah A. Syakur. Surabaya:Pustaka
Progressif,2004.
Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jilid 2 Kairo: Mushtafa Muhammad, t.th
Syaukani, al-Imam Muhammad ibn Ali. Nailu al-Authar syarh muntaqa al-Akhbar.
Tt: Mathba’ah al-Babi al-Halbi. 1372.
Syirazi, al-Ibrahim ibn Yusuf. Al-Muhadzab. Mesir: Isa al-Babi al-Halbi, t.th.
Taimiyah, Ibn. Nadhariyatu al-Aqd. t.t, Ansharu al-Sunnah al-Muhammadiyah, t.th.
Undang-Undang Perbankan Syari’ah 2008 UU RI No.21 Tahun 2008. Jakarta: Sinar
Grafika. 2009
Yusuf, Soewardi. Comodity Trading Sebagai Alternatif Instrument Solusi Likuiditas
Pada Perbankan Syariah, Karim Review, special edition January 2008.
Zarqa, al-Muhammad. Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Damaskus: Dar al-Qalam.
1989.
Zuhaily, al-Wahbah. al-Fiqh al-Islam vol 4. Beirut: Dar al-Fikr,1989.
87
Internet
“Bursa
Berjangka”,
diakses
pada
9
http://id.wikipedia.org/wiki/Bursa_berjangka
Desember
2010
dari
“Bursa
Komoditi”,
diakses
pada
9
http://id.wikipedia.org/wiki/Bursa_komoditi
Desember
2010
dari
“Commodity Murabahah dan Transformasinya Manajemen Risiko”, Edisi 40 (Mei
2010) diakses dari http://go-sharing.com/?pg=articles&article=6635
Handoko, Luqman Hakim.“CMP dalam perspektif hukum ekonomi Islam”, diakses
pada 5 September 2010 dari http://lukmanomic.files.wordpress.com
-------.“Kritik Terhadap CMP” diakses pada 6 Desember 2010 dari
http://luqmannomic.wordpress.com/2008/09/08/kritik-terhadap-produkcommodity-murabahah-product-cmp-bag-1/
Hong Kong Bureau, Dow Jones Newswires.Hong Leong “Bank Launches HK's 1st
Islamic Banking Svc –Report”. http://www.scmp.com Monday, Aug 18,
2008
Hosen,
Nibra.”Tawarruq” diakses pada
7
http://nibrahosen.multiply.com/journal/item/21.
Desember
2010
dari
“HSBC Amanah Syariah Luncurkan Komoditi Murabahah”,diakses pada 3
November 2010 dari http:// www.Error! Hyperlink reference not
valid..com/economy
Ifham, Ahmad. “Definisi Bursa Berjangka”, diakses pada 22 Desember 2010 dari
http://sharianomics.wordpress.com/2010/12/15/definisi-bursa-berjangka/
“Komoditi”,diakses pada 8 Desember 210 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Komoditi
“Kontrak
Berjangka”,
diakses
pada
9
Desember
http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak_berjangka
2010
dari
“Market Shared Perbankan Syari’ah Diharapkan Naik 3,2 Persen ” diakses pada 25
Februari
2011
dari
http://www.republika.co.id/berita/bisnis-
88
syariah/berita/11/02/09/163120-market-share-perbankan-syariahdiharapkan-naik-32-persen
“ Produk Komoditas Berjangka Syariah Siap Terbit Juli 2011”,diakses pada 5 April
2011 dari detikfinance.com
Sakti, Ali. “Commodity Murabahah dan Implikasinya dalam Perekonomian”, artikel
diakses
pada
5
Desember
2010
dari
http://abiaqsa.blogspot.com/2007_08_01_archive.html
Sianipar, Melissa. “Perlidungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana Dalam
Bentuk Rekening
Deposito”, diakses pada 30 Mei 2011 dari
http://library.usu.ac.id/index.php?option=com_journal_review&id=5488&ta
sk=view
Yasni, M.Gunawan. “Kritik Syari’ah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity
Bank-Bank Asing”,
diakses
pada
5
September
2010
dari
http://cybersofyan.wordpress.com/2010/09/05/kritik-syariah-terhadaptransaksi-murabahah-commodity-bank-bank-asing/
Download