BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi Menurut Effendy6 Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Menurut Carl I. Hovland dalam Effendi7, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland tersebut menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals). Menurut Harold Laswell dalam Effendi8 cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who says What in Which Channel to Whom with What Effect? Paradigma Laswell menunjukkan bahwa 6 Effendi, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006 hal 9. 7 Effendi, op.cit., hal 10. 8 Effendi, loc.cit., 7 komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni: 1. Komunikator (communicator, source, sender) 2. Pesan (message) 3. Media (channel, media) 4. Komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient) 5. Efek (effect, impact, influence) Laswell menghendaki agar komunikasi dijadikan objek studi ilmiah, bahkan setiap unsur diteliti secara khusus. Studi mengenai komunikator dinamakan control analysis; penelitian mengenai pers, radio, televisi, film, dan media lainnya disebut media analysis; penyelidikan mengenai pesan dinamakan content analysis; audience analysis adalah studi khusus tentang komunikan; sedangkan effect analysis merupakan penelitian mengenai efek atau dampak yang ditimbulkan oleh komunikasi. 2.2. Media Baru Menurut Holmes dalam Littlejohn dan Foss9, Era media yang pertama digambarkan oleh (1) sentralisasi produksi (satu menjadi banyak); (2) komunikasi satu arah; (3) kendali situasi, untuk sebagian besar; (4) reproduksi stratifikasi sosial dan perbedaan melalui media; (5) audiens massa yang terpecah; dan (6) pembentukan kesadaran sosial. Era media kedua, sebaliknya, dapat digambarkan sebagai: (1) desentralisasi; (2) dua arah; (3) di luar kendali situasi; (demokratisasi); (5) mengangkat kesadaran individu; dan (6) orientasi individu. 9 Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009, hal 413. 8 Masih menurut Holmes10 mungkin ada dua pandangan yang dominan tentang perbedaan antara era media pertama, dengan penekanannya pada penyiaran, dan era media kedua, dengan penekanannya pada jaringan. Kedua pandangan tersebut adalah pendekatan interaksi sosial (social interaction) dan pendekatan integrasi sosial (social integration). Pendekatan interaksi sosial membedakan media menurut seberapa dekat media denga model interaksi tatap muka. Bentuk media penyiaran yang lebih lama dikatakan lebih menekankan pada penyebaran informasi yang mengurangi peluang adanya interaksi. Media tersebut dianggap sebagai media informasional dan karenanya menjadi mediasi realitas bagi konsumen. Sebaliknya, media baru lebih interaktif dan menciptakan sebuah pemahaman baru tentang komunikasi pribadi. Pendukung pandangan ini yang paling terkemuka adalah Pierre Levy yang menulis buku terkenal berjudul Cyberculture. Levy memandang World Wide Web sebagai sebuah lingkungan informasi yang terbuka, fleksibel dan dinamis, yang memungkinkan manusia mengembangkan orientasi pengetahuan yang baru dan juga terlibat dalam dunia demokratis tentang pembagian mutual dan pemberian kuasa yang lebih interaktif dan berdasarkan pada masyarakat. Dunia maya memberikan tempat pertemuan semu yang memperluas dunia sosial, menciptakan peluang pengetahuan baru, dan menyediakan tempat untuk berbagi pandangan secara luas (Charles Soukup dalam Littlejohn dan Foss)11. 10 11 Littlejohn, op.cit., hal 413. Littlejohn, op.cit., hal 414. 9 Menurut Littlejohn dan Foss12, tentu saja, media baru tidak seperti interaksi tatap muka, tetapi memberikan bentuk interaksi baru yang membawa kita kembali pada hubungan pribadi dalam cara yang tidak bisa dilakukan oleh media sebelumnya. Ada beberapa masalah dalam membuat perbandingan ini, dan beberapa orang yakin bahwa media yang baru lebih ‘termediasi’ daripada yang akan diyakini oleh para pendukungnya. Media baru juga mengandung kekuasaan dan batasan, kerugian dan keuntungan, dan kebimbangan. Sebagai contoh, media baru mungkin memberikan penggunaan yang terbuka dan fleksibel, tetapi dapat juga menyebabkan terjadinya kebingungan dan kekacauan. Media yang baru memang pilihan yang sangat luas, tetapi pilihan tidak selalu tepat ketika kita membutuhkan panduan dan susunan. Perbedaan adalah salah satu nilai besar dalam media baru, tetapi perbedaan juga dapat menyebabkan adanya perpecahan dan pemisahan. Media baru mungkin memberikan keluwesan waktu dalam penggunaan, tetapi juga menciptakan tuntutan waktu yang baru. Menurut McLuhan dalam Nova13 media massa adalah perpanjangan alat indra kita. Melalui media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi. Untuk khalayak informasi itu dapat membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra. 12 Ibid. Nova, Firsan. Crisis Public Relations; Bagaimana PR Menangani Krisis Perusahaan. Jakarta: Grasindo, 2009 hal 204. 13 10 Menurut Loew14 fungsi media adalah perekat sosial, mengkonstruksi dan mempertahankan opini publik. Publik dapat disatukan dan dibimbing melalui media untuk melakukan suatu hal bersama-sama. Wasesa15 menyatakan bahwa secara umum, sebetulnya media massa di Indonesia cukup dibagi dalam media konvensional dan media cyber. Media konvensional adalah media cetak dan media elektronik, sementara media cyber adalah media-media yang digunakan di komunitas dunia maya alias pengguna internet. Kita harus mampu memosisikan media massa secara proporsional dalam penyampaian pesan politis. Secara cerdas, kita harus mengombinasikannya dengan media-media komunikasi lain yang sifatnya tidak massal, tapi segmented. 2.3. Public Relations 2.0 Menurut LaQuey dalam Soemirat dan Ardianto16, internet merupakan jaringan longgar dari ribuan jaringan komputer yang menjangkau jutaan orang di seluruh dunia. Misi awalnya adalah menyediakan sarana bagi para peneliti untuk mengakses data dari sejumlah komputer. Namun, sekarang internet telah berkembang menjadi ajang komunikasi yang sangat cepat dan efektif, sehingga telah menyimpang jauh dari misi awalnya. Dewasa ini, internet telah menjadi sedemikian besar dan berdaya sebagai alat informasi dan komunikasi yang tak dapat kita abaikan. 14 Loew, Eric. The Media and Political Process. London: SAGE Publications, 2005 hal 31. Wasesa, Silih Agung. Political Branding & Public Relations: Saatnya Kampanye Sehat, Hemat, dan Bermartabat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011 hal 240-241. 16 Soemirat, Soleh., dan Elvinaro Ardianto. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002 hal 188. 15 11 Breakenridge dan DeLoughry dalam Wasesa dan Macnamara17, dimana di era 2.0 komunitas begitu interaktif, kita tidak lagi sekedar bertemu dengan jurnalis tradisional yang menulis untuk media mereka, kita juga bertemu dengan para influencer baru dengan gaya baru, dan tatanan di media-media yang baru. Sebuah pembalikan keadaan yang cukup signifikan, di mana saat 1.0 di internet masih bersifat statis dan searah, dan kita mencari media konvensional sebagai sarana untuk memenuhi audiensi target, maka dengan 2.0 justru audiensi target kita sendiri yang menjadi influencer baru di dunia mereka. Breakenridge dan DeLoughry18 juga menyebut audiens masa kini sebagai ‘The 21st Century Audience’ dimana material PR dituntut untuk tersedia 24 jam dalam 7 hari. Wasesa dan Macnamara19 menyebutkan bahwa dengan bergulirnya era Web 2.0, akses pelanggan untuk melontarkan keluhan tidak lagi dibatasi oleh seleksi redaktur media massa. Maraknya social media, dan semakin dominannya peran milis, membuat pelanggan memiliki banyak alternatif media untuk mengungkapkan keluhannya. Breakenridge20 menulis bahwa PR 2.0 is the greatest means to provide different groups with the communications they need. It gives you the ability to use new social media applications, including blogs, wikis, social networking, RSS technology, streaming video and podcasts, to reach consumers in ways PR pros 17 Wasesa, Silih Agung., dan Jim Macnamara. Strategi Public Relations: Membangun Pencitraan Berbiaya Minimal dengan Hasil Maksimal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010 hal 5. 18 Breakenridge, Deirdre., and Thomas J. DeLoughry. The New PR Toolkit: Strategies for Successful Media Relations. New Jersey: FT Press, 2003 hal 3. 19 Wasesa, op.cit., hal 65. 20 Breakenridge, Deirdre. PR 2.0: New Media, New Tools, New Audiences. New Jersey: FT Press, 2008 hal 15. 12 have not experienced before. Social media applications enable you to go directly to the consumer. PR 2.0 adalah sarana terbesar untuk memberikan kelompok yang berbeda dengan komunikasi yang mereka butuhkan. Ini memberi Anda kemampuan untuk menggunakan aplikasi baru social media, termasuk blog, wiki, jaringan sosial, teknologi RSS, streaming video dan podcast, untuk menjangkau konsumen dengan cara yang PR profesional tidak pernah alami sebelumnya. Aplikasi social media memungkinkan Anda untuk langsung menuju ke konsumen. 2.4. CMC (Computer Mediated Communication) Menurut Holmes21 pada masyarakat informasi setiap individu mengalami peningkatan dalam berinteraksi dengan layar komputer, membangun relasi faceto-screen dibandingkan face-to-face. Trevor Barr membuat beberapa tipe interaksi di internet, yakni: 1. one-to-one messaging 2. one-to-many messaging 3. distributed message database 4. real-time communication 5. real-time remote computer utilization 6. remote information retrieval Inilah yang menurut Holmes dinyatakan sebagai era komunikasi dengan perspektif CMC atau Computer Mediated 21 Communication yang lebih Holmes, David. Communication Theory: Media, Technology and Society. SAGE Publications, London: 2005, hal 33. 13 menekankan bagaimana komouter memediasi proses komunikasi. Holmes menegaskan bahwa ada empat poin penting mengenai perspektif CMC22, yaitu: 1. Memfokuskan pada keunikan komunikasi yang terjadi di cyberspace. 2. Lebih mengkhususkan diri pada term ‘interaksi’ dibanding ‘integrasi’, yang lebih mengangkat beragam bentuk interaksi individu dibandingkan semua konteks serta ritual sosial dimana interaksi tersebut memiliki makna. 3. Tidak seperti ‘media studies’ beberapa pembahasan CMC mengungkap bagaimana faktor-faktor eksternal memengaruhi kegiatan komunikasi. Dengan menganalisis broadcast, kenyataannya sangat sedikit yang mengeksplorasi bagaimana faktor-faktor eksternal tersebut memengaruhi konten media sementara media konten itu sendiri dinilai dari bagaimana ia merefleksikan segala sesuatunya diluar media atau realitas non-media. 4. Dengan sedikit mengabaikan beragam bentuk interaksi sosial yang mungkin mendukung perspektif CMC, bahwa perspektif ini memfokuskan pada integrasi informasi dimana komunikasi yang terjadi melalui medium komputer berdasarkan pada proses informasi yang dapat dijumpai dalam beragam bentuk. Jordan 23 mengatakan bahwa CMC pada dasarnya anti hirarki sebab identitas individu di cyberspace tidaklah menggambarkan secara utuh hirarki yang terjadi secaca offline. Juga, kapasitas internet yang bisa mencakup dari banyak ke banyak menciptakan inklusifitas dan lingkungan partisipan dimana terdapat kultur 22 Holmes, Op.cit., hal 55. Jordan, Tim. Cyberpower: The Culture and Politics of Cyberspace and The Internet. Routledge, Ney York; 1999. 23 14 pengecualian yang sulit mendukung bahwa inilah gambaran individu yang sebenarnya di dunia nyata atau offline life. 2.5. Social Media dan Twitter Safko24 dalam bukunya The Social Media Bible menuliskan bahwa ‘social media is the media we use to be social’ (social media adalah media yang kita gunakan untuk menjadi sosial). Sedangkan menurut Solis dan Breakenridge25 social media is the democratization of content and the shift in the role people play in the process of reading and disseminating information (and thus crating and sharing content), (sosial media adalah demokratisasi konten dan merupakan pergeseran peran dimana orang berperan dalam proses membaca dan menyebarluaskan informasi (sekaligus membuat dan berbagi konten). Menurut Safko26 social media melakukan apa yang dapat dilakukan telepon, direct mail, iklan cetak, radio, televisi ataupun papan reklame hingga sekarang, namun social media dapat menjadi lebih efektif. Masih menurut Safko27 (2010: 258) Twitter adalah layanan microblogging dan jejaring sosial yang memungkinkan penggunanya untuk mengirim serta menerima pesan singkat berbasis teks (140 karakter atau kurang), yang disebut sebagai Tweets. Pesan teks tersebut ditampilkan pada teknologi yang dipilih pengguna seperti telepon seluler, web site, PDA, web site Twitter, RSS (Really 24 Safko, Lon. The Social Media Bible: Tactics, Tools & Strategies for Business Success. John Wiley & Sons, 2010 hal 3. 25 Solis, Brian., and Deirdre Breakenridge. Putting the Public Back in Public Relations: How Social Media is Reinventing the Aging Business of PR. New Jersey: FT Press, 2009 hal xvii. 26 Safko, op.cit., hal 5. 27 Safko, op.cit., hal 258. 15 Simple Syndication), SMS, e-mail, maupun aplikasi lainnya seperti Facebook, Hootsuit, Tweetdeck atau web page aggregator. Menurut Fauzi28 Twitter merupakan layanan microblogging dan jejaring sosial yang bertumbuh paling cepat pada saat ini. Firma riset media The Nielsen Co. mengungkapkan, Twitter merupakan satu-satunya layanan online di dunia yang jumlah penggunanya sanggup bertumbuh lebih dari 1.000% per bulan. Nielsen mengemukakan, jumlah pengguna Twitter rata-rata bertumbuh 1.382% per bulan. Winfield dalam Safko29 menyebut Twitter sebagai ‘word of mouth engine’, sebuah statistik menyebutkan bahwa ‘konsumen yang marah akan menceritakan pada 20 orang tentang pengalaman buruk mereka, secara tatap muka’. Namun, dengan adanya social media seperti blogs, Twitter dan facebook, jumlah 20 orang tersebut akan secara cepat menjadi 20 ribu atau bahkan 200 ribu. Jantsch dalam Fauzi30 menyebutkan 6 alasan perusahaan dunia wajib memiliki akun Twitter, diantaranya: 1. Twitter merupakan media untuk berkomunikasi dan membangun jejaring sosial dengan orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan. 2. Twitter mampu menyajikan informasi secara instan dan seketika tentang apa yang dikatakan orang tentang sebuah perusahaan, produk, ataupun merek. 28 Fauzi, Ahmad. All About Twitter: Bongkar Rahasia Sukses Men-Tweets. Depok: Yureka, 2009, hal 3. 29 Safko, op.cit., hal 538. 30 Fauzi, op.cit., hal 25. 16 3. Twitter merupakan sumber stabil dan tidak terbatas untuk mencari ide, content, link, sumber daya, dan tips tentang minat dan keahlian tertentu. 4. Twitter merupakan alat monitoring yang kuat untuk memantau penilaian pelanggan dan konsumen terhadap merek-merek tertentu. 5. Twitter merupakan media yang efektif untuk menyampaikan ide-ide seseorang kepada jutaan orang di dunia. 6. Twitter merupakan media yang efektif untuk mempromosikan produk dan jasa secara langsung kepada audiens-audiens yang dituju. Menurut Jantsch, salah satu manfaat paling penting dari Twitter, namun jarang diperhatikan adalah fungsi monitoring terhadap merek dan reputasi. ‘Di Twitter anda dapat segera merespons ketika ada pernyataan tentang anda, ini tentu sangat penting untuk menjaga citra anda’ Menurut Fauzi31 (2009: 69-71) Twitter adalah pendukung potensial eGovernment, pemerintahan-pemerintahan berkuasa di sejumlah negara pun turut memanfaatkan Twitter untuk mengampanyekan kebijakan, menggelar propaganda, dan mendukung diplomasi. Juru bicara militer Amerika Serikat di Afghanistan Kolonel Greg Julian menyatakan “Di dunia ada segmen audiens yang mencari berita dari sumber-sumber alternatif, termasuk Twitter. Karena itu kami melayani mereka”. Sedangkan menurut Cheryl Mills, Kepala Staf Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, “Media baru seperti Twitter sangat penting dalam era baru diplomasi, yang sangat menuntut kecerdasan dan dialog untuk mencapai tujuan”. 31 Fauzi, op.cit., hal 69-71. 17 2.6. Konsep Analisis Framing Menurut Sudibyo dalam Sobur32 gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas. Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi. Konsep tentang framing atau frame sendiri bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melingkupinya33. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang 32 33 Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya, Bandung; 2006, hal 161. Sobur, Loc.cit., hal 162 18 digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis dalam Sobur34). Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan (Imawan dalam Sobur35). Gamson dan Modigliani dalam Sobur36 menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya, dan dibuangnya37. Menurut Sobur38, penonjolan merupakan proses membuat informasi menjadi lebih bermakna. Realitas yang disajikan secara meninjol atau mencolok sudah barang tentu punya peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Karena itu dalam praktiknya, framing 34 Ibid. Ibid. 36 Ibid 37 Sobur, op.cit., hal 163. 35 38 Ibid. 19 dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain; serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan pelbagai strategi wacana –penempatan mencolok (menempatkan di headline, halaman depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan. Pan dan Kosicki mendefinisikan framing sebagai strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa dan dihubungkan dengan rutinitas dan konversi pembentukan berita39. Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki (1993) melalui tulisan mereka “Framing Analysis: An Approach to News Disclosure” mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita –kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu- ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks40. 39 Eriyanto. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LkiS, Yogyakarta: 2002, hal 68. 40 Sobur. Op.cit., hal 175-176. 20