POTENSI MAHKOTA DEWA Phaleria macrocarpa

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paci-paci (Leucas lavandulaefolia)
Tanaman Leucas lavandulaefolia mempunyai nama lokal yang berbeda di
setiap daerah seperti paci-paci di Sunda (Jawa Barat), sarap nornor di Madura, gofu
hairan di Ternate, laranga di daerah Tidore sedangkan nama daun setan, lenglengan,
lingko-lingkoan, nienglengan atau plengan di Jawa (Anonimous, 2005a).
Gambar 1. Tanaman paci-paci (Leucas lavandulaefolia Smith)
Klasifikasi tanaman paci-paci menurut Germplasm Resources Information
Network Taxonomi (2004) dan Brown (2007) adalah sebagai berikut :
Dunia
: Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Lamiales
Famili
: Lamiaceae (alt. Labiatae)
Sub famili
Genus
Species
: Lamioideae
: Leucas
: Leucas lavandulaefolia Smith.
Leucas lavandulaefolia Smith tumbuh liar di sawah, kebun, tanah kering
sepanjang tepi jalan, tanah terlantar dan kadang ditanam di pekarangan sebagai
4
tanaman obat. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian kurang
dari 1.500 m di atas permukaan laut. Batang berkayu, tinggi 20-60 cm, berbuku-buku,
bercabang, berambut halus, berwarna hijau. Daun tunggal, letak berhadapan dan
bertangkai. Helaian daun bentuknya lanset, ujung dan pangkalnya runcing, tepi
bergerigi, panjang 1,5-10 cm, lebar 2-10 mm, warnanya hijau tua pada bagian atas
dan berwarna hijau muda pada bagian bawah (Anonimous, 2005a).
Memiliki bunga kecil-kecil, berwarna putih dan berbentuk seperti lidah,
tumbuh tersusun dalam karangan semu yang padat. Buahnya buah batu berwarna
coklat. Biji bulat kecil berwarna hitam, perbanyakannya dengan biji. Tanaman herbal
ini mempunyai khasiat yang sama dengan Leucas zeylanica (Anonimous, 2005a),
terdapat biji sebelum bunga seperti biji padi terbuka. Bunga ada sepanjang tahun.
Distribusi tanaman ini dari India sampai Cina, dekat Malaysia dan tumbuh secara liar
(Soerjani et al., 1987 dalam Sopiana 2005; Anonimous, 2006a).
Sebagai obat herbal alami, paci-paci dapat mengobati gangguan seperti susah
tidur, rasa gelisah, batuk, batuk rejan, sakit kepala, difteri, cacing kremi, gangguan
pencernaan, jantung berdebar, tidak datang haid, kejang panas pada anak, influenza,
diabetes melitus, ayan (epilepsi), luka, koreng, kudis, sebagai penambah nafsu makan
(Anonimous, 2005a), sebagai obat katimumul dan antiseptik (Soesilo et al., 1989
dalam Sopiana, 2005).
Penduduk semenanjung Malaya antara Cina dan Malaysia menggunakan pacipaci untuk mengobati luka yang sakit dan meradang, daun paci-paci ditumbuk sampai
halus dan diberikan sebagai tapal di atas luka atau pada daerah yang radang. Paci-paci
juga sebagai obat tradisional untuk pengobatan sakit kepala, flu, demam, digosokkan
pada perut yang sakit, pengobatan setelah melahirkan, sebagai imunostimulan yang
mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menambah vitalitas, sebagai obat
rematik karena bersifat antirheumatic (Anonimous, 2006a), pengobatan diabetes
melitus karena bersifat antidiabetic activity (Mukherjee et al., 1998; Anonimous,
2005a). Akar serta daunnya pahit dan berbau tajam dapat untuk mengobati jerawat,
mengobati penyakit kulit seperti kudis dan sebagai insektisida pembasmi serangga
(Anonimous, 2006a). Daun paci-paci yang dimemarkan dapat untuk mengobati puru
5
kaki yang menahun. Air dari seduhan akar paci-paci digunakan untuk merendam kaki
yang luka dan kulit kaki yang mengeras (Heyne, 1987 dalam Sopiana, 2005).
Tanaman Paci-paci juga digunakan untuk mengobati hewan ternak yang sakit.
Paci-paci ditumbuk dan diberikan sebagai tapal di atas perut kuda untuk mengobati
infeksi serangan cacing (Heyne, 1987 dalam Sopiana, 2005). Dapat pula daun ini
dimemarkan lalu dicampur dengan kapur sirih dan tembakau sebagai pembersih luka
dan untuk mengobati luka yang berbau busuk pada hewan ternak. Seduhan daun pacipaci digunakan sebagai obat luar dan dalam untuk menyembuhkan penyakit mikosis
sakharomukosa pada kuda yaitu penyakit kulit yang meradang berisi cendawan
Saccharomyces (Heyne, 1987 dalam Suparman, 2005).
Komposisi sifat kimiawi dan efek farmakologis daun paci-paci yaitu pahit,
pedas, hangat, penenang, antiseptik. Senyawa tanaman ini juga memiliki sifat sebagai
antidiabetic activity (Mukherjee et al., 1998; Anonimous 2005a), antimikroba (Naim,
2004), antiperadangan (antiinflamasi), sebagai analgesic, antioksidan (Anonimous,
2007a), sebagai wound healing activity sehingga mampu mempercepat penyembuhan
luka (Mukherjee et al., 1997b), antirhematic (Anonimous, 2006a), hepatoprotective
activity terhadap racun dalam tubuh (Chandrashekar et al., 2007). Kandungan
kimiawi dalam daun dan akar tanaman Leucas lavandulaefolia yaitu minyak atsiri,
flavonoid, tannin, saponin (Anonimous, 2005a), alkaloid (Anonimous, 2006a) dan
metanol (Mukherjee et al., 1997a).
Minyak atsiri memiliki daya antibakteri disebabkan adanya senyawa fenol dan
turunannya yang mampu mendenaturasi protein sel bakteri (Hasim, 2003). Senyawa
fenolik memiliki daya antiseptik dan sudah dipakai dalam aplikasi kesehatan sejak
PD II (Pelczar, 1986 dalam Rahman, 2003). Substansi fenolik dari minyak atsiri telah
diketahui dapat menstimulasi makrofag yang memiliki efek negatif tidak langsung
terhadap infeksi bakteri dan mencegah infeksi virus. Senyawa fenol memiliki efek
inhibtori terhadap bakteri gram positif dan ditemukan memiliki aktivitas antifungi.
Senyawa fenolik minyak atsiri memiliki efek antiviral, antikoagulan, rodentisida dan
secara in vitro menghambat Candida albicans (Naim, 2004). Menurut Heyne (1987)
dalam Hasim (2003) komponen utama minyak atsiri terdiri dari fenol dan senyawa
6
turunannya. Salah satu senyawa turunan itu adalah kavikol yang memiliki daya
bakterisidal lima kali lebih kuat dibandingkan dengan fenol. Menurut Naim (2004)
selain kavikol terdapat pula fenol sederhana dan asam-asam seperti fenolat, sinnamat
dan kaffeat merupakan contoh umum senyawa turunan fenilpropan. Asam kaffeat
bersifat toksik terhadap virus, bakteri dan fungi. Selanjutnya menurut Naim (2004)
senyawa turunan minyak atsiri lainnya adalah katekol dan pirogalol merupakan fenol
terhidroksilasi yang bersifat toksik terhadap mikroorganisme. Hasil dari uji in vitro
(Hasim, 2003) menunjukkan aktivitas minyak atsiri sebagai antibakteri ditandai
dengan zona hambatan yang tidak lagi ditumbuhi bakteri. Menurut Hasim (2003)
daya antibakteri minyak atsiri lebih efektif karena memiliki zona hambatan lebih
besar dan bersifat bakterisidal. Senyawa turunan seperti katekol yang memiliki dua
grup hidroksil dan pirogalol yang memiliki tiga grup hidroksil adalah fenol
terhidroksilasi yang bersifat toksik terhadap mikroorganisme (Naim, 2004). Sisi dan
jumlah grup hidroksil pada fenol diduga memiliki hubungan dengan toksisitas relatif
terhadap mikroorganisme dengan bukti bahwa hidroksilasi yang meningkat juga
menyebabkan tingginya toksisitas zat ini (Naim, 2004). Kepolaran gugus hidroksil
fenol dari minyak atsiri mampu membentuk ikatan hidrogen yang larut dalam air
sehingga efektif sebagai desinfektan (Nogrady, 1992)
Fenol dapat merusak membran sel bakteri dan menyebabkan lisis (terlarutnya)
sel bakteri (Nogrady, 1992). Sifat toksik fenol mengakibatkan struktur tiga dimensi
protein bakteri terganggu dan terbuka sehingga menjadi struktur acak tanpa adanya
kerusakan struktur kerangka kovalen, sehingga protein terdenaturasi. Deret asam
amino protein tetap utuh setelah denaturasi namun aktivitas biologisnya rusak
sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya (Hasim, 2003). Menurut Naim
(2004) mekanisme toksisitas senyawa fenolik pada mikroorganisme meliputi inhibitor
enzim oleh senyawa yang teroksidasi, kemungkinan melalui reaksi dengan grup
sulfhidril atau melalui interaksi nonspesifik dengan protein. Minyak atsiri dari Leucas
lavandulaefolia juga diketahui mengandung komponen utama sitronelol (Lestari 1989
dalam Widowati et al., 1995) dan geraniol (Anonimous 2008) menghasilkan aroma
harum yang tajam namun tidak disukai serangga, bersifat antiseptik dan antibakteri
7
(Anonimous, 2005b). Komponen geraniol dan sitronelol merupakan senyawa kimia
alami yang efektif untuk mengusir nyamuk, lalat dan semut (Anonimous, 2007b).
Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta
membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada
luka (Anonimous, 2007a), bersifat antibakteri dan antioksidan (Angka et al., 2004b;
Anonimous, 2007a), mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai
pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan sistem limfa lebih cepat diaktifkan
(Angka et al., 2004b). Flavonoid diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang
bersifat lipofilik sehingga mampu merusak membran mikroba, mereduksi infektivitas
serta memperlihatkan efek inhibitori terhadap berbagai virus (Naim, 2004). Flavonoid
juga bersifat sebagai zat insektisidal dan fungisidal (Robinson, 1991 dalam Rahman,
2003). Selanjutnya menurut Robinson (1991) dalam Rahman (2003), flavonoid
merupakan metabolit sekunder tanaman yang juga berfungsi sebagai kontrol hormon
pada pertumbuhan (tiroid dan somatotropin). Selanjutnya Zairin (2003) menyatakan
bahwa hormon tiroid berperan pada proses pertumbuhan, meningkatkan pengaruh
hormon anabolik terutama memfasilitasi pelepasan somatotropin dari sel-sel hipofisis,
meningkatkan food intake (respon makan) ikan dan memberi aksi imunomodulatori.
Hormon pertumbuhan (somatotropin) berperanan dalam merangsang pertumbuhan
dan metabolisme pada ikan, meningkatkan respon makan dan mencegah kerusakan
hati, meningkatkan aktivitas makrofag dan aktivitas hemolitik pada serum ikan.
Senyawa tanin yang memiliki kadar tinggi pada suatu tanaman lebih bersifat
sebagai zat pertahanan dari serangan hama (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003).
Seluruh tannin nabati adalah jenis senyawa fenolik yang memiliki daya antiseptik
(Pelczar, 1986 dalam Rahman, 2003). Menurut Naim (2004) banyak aktivitas
fisiologik manusia seperti stimulasi sel-sel fagositik, host mediated tumor activity dan
sejumlah aktivitas antiinfektif telah ditetapkan untuk tannin. Tannin diketahui mampu
membentuk ikatan yang kuat dengan protein dan senyawa lainnya dalam kondisi
tertentu. Salah satu aksi molekul tannin yaitu mampu membentuk kompleks dengan
protein melalui kekuatan nonspesifik ikatan hidrogen dan memiliki efek hidrofobik
sebagaimana pembentukan ikatan kovalen. Selanjutnya Naim (2004) menyatakan
8
bahwa mekanisme antimikrobial tannin mungkin berhubungan dengan kemampuan
menginaktivasi adhesin mikroba, enzim, protein transport cell envelope dan mampu
membentuk kompleks dengan polisakarida. Konsumsi minuman yang mengandung
tannin diketahui mampu mencegah dan mengobati sejumlah penyakit (Naim, 2004).
Senyawa saponin yang dihasilkan tanaman paci-paci diketahui memiliki
aktivitas antibakteri dan antivirus, mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan
penambah vitalitas karena mampu memperbaiki struktur maupun fungsi sel-sel tubuh
(Anonimous, 2007a). Saponin sering dimanfaatkan untuk desinfeksi media budidaya
sehingga peranannya sebagai antimikroba sudah teruji (Lesmanawati, 2006).
Alkaloid bersifat toksik terhadap mikroba sehingga efektif membunuh bakteri
dan virus, sebagai antiprotozoa dan antidiare (Naim, 2004), bersifat detoksifikasi
yang mampu menetralisir racun (Anonimous, 2007a). Alkaloid diketahui mampu
meningkatkan daya tahan tubuh. Zat ini akan dibawa aliran darah menuju sel-sel
tubuh. Hasilnya, sel-sel itu menjadi lebih aktif, sehat dan terjadi perbaikan-perbaikan
struktur maupun fungsi (Anonimous, 2006b).
Kandungan metanol tanaman paci-paci (Mukherjee et al., 1997a) diketahui
bersifat sebagai antioksidan, antiinflamasi, analgesik dan insektisida (Fachriyah et al.,
2007). Metanol adalah salah satu senyawa umum terpenoid yang diketahui bersifat
aktif membunuh bakteri, fungi, virus, dan protozoa (Naim, 2004). Menurut Naim
(2004) mekanisme antimikroba metanol diduga terlibat dalam merusak membran sel
mikroba oleh senyawa lipofilik.
2.2 Senyawa Antimikroba dari Tanaman
Fitokemikal antimikroba dari tanaman menurut Naim (2004) dapat dibagi ke
dalam kategori fenolik dan polifenol (minyak atsiri berupa fenol serta turunannya,
flavon,
flavonoid, falavonol, tannin, quinon, coumarin), senyawa terpenoid (metanol,
camphor, famesol, artemisin) dan minyak esensial (alkaloid, lektin dan polipeptida),
campuran (komponen kimiawi aktif yang heterogen, berbagai macam alkaloid) dan
senyawa lain (poliamin, isotiosianat dan glikosida).
9
Menurut Naim (2004) tanaman memiliki suatu kemampuan yang hampir tidak
terbatas untuk mensintesis substansi aromatik yang kebanyakan adalah minyak atsiri.
Substansi ini adalah metabolit sekunder dan yang telah diisolasi berjumlah paling
sedikit 12.000 jenis (diperkirakan kurang dari 10 persen dari jumlah totalnya).
Minyak atsiri tersebut berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tanaman terhadap
mikroorganisme, insekta dan herbivora. Substansi seperti terpenoid memberi aroma
pada tanaman, sedangkan quinon dan tanin berfungsi sebagai pigmen tanaman.
Minyak atsiri adalah cairan lembut, bersifat aromatik, dan mudah menguap
pada suhu kamar. Minyak atsiri diperoleh dari ekstrak bunga, biji, daun, kulit batang,
kayu dan akar pada tumbuh-tumbuhan tertentu. Satu jenis minyak atsiri umumnya
memiliki beberapa khasiat berbeda misalnya sebagai antiseptik dan antibakteri.
Minyak atsiri yang disemprotkan ke udara membantu menghilangkan bakteri, jamur,
menghilangkan bau pengap dan bau yang tidak mengenakkan. Minyak atsiri murni
merupakan substansi yang amat kuat dengan efek 75 sampai 100 kali lebih potensial
sebagai antimikroba jika dibandingkan bahan asalnya (Anonimous, 2003).
Flavonoid berasal dari kata flavon yang merupakan nama dari salah satu jenis
flavonoid yang terbesar jumlahnya dan sering ditemukan pada tanaman. Menurut
perkiraan sekitar 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis tumbuhan-tumbuhan
(sekitar 1x109 ton/tahun) diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat
dengannya. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom
karbon sebagai inti dasarnya dan membentuk dua cincin aromatik (C 6) yang terikat
pada rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6. Flavon, flavonoid
dan falavonol disintesis tanaman dalam responsnya terhadap infeksi mikroba
sehingga secara in vitro efektif terhadap mikroorganisme. Antimikroba senyawa ini
mungkin disebabkan oleh kemampuannya membentuk kompleks dengan protein
ekstraseluler dan terlarut serta dengan dinding sel. Flavonoid yang bersifat lipofilik
mungkin juga akan merusak membran mikroba. Uji secara in vitro menunjukkan
senyawa flavonoid memiliki aktivitas antimikroba yang mampu menghambat Vibrio
cholerae, Streptococcus mutans, Shigella dan jenis bakteri lainnya (Naim, 2004).
Flavonoid diketahui bersifat antiinflamasi (antiradang) yang mengurangi rasa sakit
10
jika terjadi pendarahan pada luka atau pembengkakan akibat infeksi dan sebagai
antioksidan (Anonimous, 2007a). Senyawa flavonoid menurut Naim (2004) juga
memiliki efek inhibitori terhadap berbagai virus.
Tannin adalah senyawa fenol yang larut dalam air dan mampu mengendapkan
protein (Utami, 2007), memiliki bobot molekul besar dan memiliki gugus hidroksil
ataupun karboksil (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003). Tannin merupakan grup
substansi fenolik polimer yang diketahui mampu mempresipitasi gelatin dari cairan,
suatu sifat yang dikenal sebagai astringensi. Senyawa tannin ditemukan hampir di
setiap bagian tanaman yaitu kulit kayu, daun, buah dan akar. Tannin dibagi ke dalam
dua kelompok yaitu tannin yang dapat dihidrolisis dan tannin kondensasi. Senyawa
ini mungkin dibentuk melalui kondensasi derivatif flavan yang ditransportasikan ke
jaringan kayu dari tanaman, mungkin juga dibentuk dengan polimerisasi unit quinon.
Senyawa quinon menurut Naim (2004), menyebabkan reaksi kecoklatan pada
batang, buah dan daun yang terluka atau terpotong. Senyawa berwarna ini bersifat
reaktif tinggi dan memiliki kisaran potensial efek antimikroba cukup luas. Quinon
diketahui membentuk kompleks bersifat irreversible dengan asam amino nukleofilik
dalam protein yang menyebabkan inaktivasi protein sehingga sel kehilangan fungsi.
Target yang mungkin pada sel mikroba adalah adhesin (molekul untuk menempel
pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel, polipeptida dinding sel dan enzim
yang terikat pada membran sel. Anthraquinon merupakan pigmen yang menyebabkan
reaksi kecoklatan diketahui bersifat bakterisidal terhadap Pseudomonas pseudomallei
dan bersifat bakteriostatik terhadap bakteri Bacillus anthracis, Corynebacterium
pseudodiphthericum serta Pseudomonas aeruginosa.
Menurut Naim (2004) sebagai suatu grup substansi fenolik, coumarin yang
dihasilkan tanaman telah diketahui memiliki aktivitas antitrombotik, antiinflamatori
dan vasodilatori, sebagai antikoagulan dan rodentisida, memiliki efek antiviral, secara
in vitro menghambat Candida albicans, mampu menstimulasi makrofag, memiliki
efek inhibtori terhadap bakteri gram positif dan memiliki aktivitas antifungi.
Daun paci-paci menghasilkan aroma harum yang tajam (Anonimous, 2005a).
Harum dari tanaman menurut Naim (2004) disebabkan kandungan fraksi minyak
11
esensial, merupakan metabolit sekunder yang kaya senyawa dengan struktur isopren.
Minyak esensial dengan elemen tambahan oksigen disebut terpen atau terpenoid.
Terpenoid aktif terhadap bakteri, fungi, virus dan protozoa. Tanaman paci-paci
mengandung senyawa terpenoid salah satunya dalam bentuk metanol (Mukherjee et
al., 1997a). Menurut Naim (2004) bahwa senyawa umum terpenoid adalah metanol,
camphor (monoterpen), famesol dan artemisin (sesquiterpenoid). Artemisin dan
derivatifnya alpha arteether juga dikenal dengan nama qinghaosu sebagai antimalaria
sehingga pada tahun 1985 WHO memutuskan untuk mengembangkannya sebagai
obat untuk malaria serebral. Triterpenoid betulinic acid merupakan salah satu
terpenoid yang memperlihatkan efek menghambat HIV. Mekanisme kerja terpen
menurut Naim (2004) belum diketahui dengan baik dan dispekulasi terlibat dalam
perusakan membran sel mikroba oleh senyawa lipofilik. Kandungan terpenoid dari
minyak esensial tanaman bermanfaat mengontrol Listeria monocytogenes pada
makanan. Kandungan terpenoid seperti capsaicin memiliki aktivitas biologik pada
manusia yang dapat merangsang sistem syaraf, cardiovaskuler dan degestif. Capsaicin
bersifat bakterisidal terhadap Helicobacter pylori. Senyawa terpenoid yang disebut
petalostemumol memperlihatkan aktivitas antibakteri terhadap Bacillus subtilis,
Staphylococcus aureus, bakteri gram negatif dan Candida albicans (Naim, 2004).
Alkaloid adalah senyawa nitrogen heterosiklik. Salah satu contoh alkaloid
yang bermanfaat di bidang medis adalah morfin yang diisolasi tahun 1805. Alkaloid
diterpenoid yang diisolasi dari tanaman memiliki sifat antimikroba dan inhibitor
terhadap proliferasi virus sehingga mungkin bermanfaat menekan infeksi HIV dan
infeksi intestinal yang berhubungan dengan AIDS (Naim, 2004). Alkaloid diketahui
memiliki sifat sebagai antimikroba (termasuk terhadap Giardia dan Entamoeba). Efek
antidiare utama alkaloid kemungkinan disebabkan oleh efek pada usus kecil. Alkaloid
ditemukan potensial efektif terhadap trypanosoma dan plasmodia. Mekanisme kerja
dari alkaloid dihubungkan dengan kemampuan berinteraksi dengan DNA (Naim,
2004). Alkaloid juga bersifat sebagai detoksifikasi yang mampu menetralisir racun
dalam tubuh (Anonimous, 2007a).
12
Peptida bersifat inhibitor terhadap mikroorganisme pertama kali dilaporkan
pada tahun 1942. Peptida sering bermuatan positif dan mengandung ikatan disulfida.
Mekanisme kerja mungkin dengan pembentukan ion channel pada membran sel atau
hambatan kompetitif adhesi protein mikroba ke respetor polisakarida inang. Hal yang
menarik adalah fokus pada studi peptida dan lektin anti-HIV. Inhibisi bakteri dan
fungi oleh makromolekul peptida telah lama diketahui (Naim, 2004). Menurut Naim
(2004), thionin merupakan peptida umum mengandung 47 residu asam amino bersifat
toksik terhadap khamir, bakteri gram negatif dan gram positif. Sedangkan molekul
lektin merupakan inhibtor terhadap proliferasi virus (HIV, cytomegalovirus) dan
kemungkinan berhubungan dengan hambatan interaksi virus dengan komponen sel
inang. Senyawa lain yang dihasilkan tumbuhan yaitu saponin, diketahui bermanfaat
sebagai antibakteri dan antivirus, mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh,
meningkatkan vitalitas, mampu mengurangi kadar gula darah dan mengurangi
penggumpalan darah (Anonimous, 2007a).
2.3 Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.)
Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Saanin (1984), Suyanto (1992) dan Apjii
(2006) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Sub kingdom : Metazoa
Phyllum
: Chordata
Sub phyllum : Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub ordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias sp.
13
Gambar 2. Ikan lele dumbo (Clarias sp.)
Jenis ikan Clarias sp. ini bukan asli dari Indonesia, tetapi merupakan suatu
hibrida dari jenis Clarias fuscus induk betina yang merupakan lele asal Taiwan
dengan jenis Clarias mosambicus sebagai induk jantannya yang merupakan lele asal
Afrika (Suyanto, 1992; Rustidja, 1999).
Ikan lele dumbo memiliki morfologi tubuh memanjang, warna tubuh bagian
atas gelap, daerah perut dan sisi bawah kepala terang, kadang-kadang terdapat garis
bintik-bintik terang pada sisi badan (Najiyati, 1992; Murniarti et al., 2004), jika
terkena sinar matahari, warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan jika terkejut atau
stres warna tubuhnya menjadi loreng seperti mozaik hitam putih (Djatmika dan
Rusdi, 1986; Viveen et al., 1987; Suyanto, 1995). Memiliki kulit licin tidak bersisik
dan mengeluarkan mucus, kepala pipih berbentuk segitiga atau setengah lingkaran,
dilindungi lempengan tulang kepala yang keras. Bagian badan silindris sedangkan
bagian ekor pipih, memiliki mata yang kecil sehingga indra penglihatan kurang baik.
Sebagai gantinya, ikan lele mempunyai alat peraba berupa empat pasang sungut, yaitu
satu pasang sungut hidung, satu pasang sungut maksilar dan dua pasang sungut
mandibula (Viveen et al., 1987; Najiyati, 1992). Menurut Handojo et al. (1986)
dalam Utomo (2006), ikan lele mempunyai dua buah alat olfaktori yang terletak dekat
sungut hidung berfungsi untuk mengenali mangsa melalui perabaan dan penciuman.
Pada bagian depan sirip dada terdapat jari-jari sirip yang mengeras disebut
patil. Patil ini tidak begitu kuat dan tidak mengandung racun, selain sebagai alat
pergerakan di dalam air, juga dipakai untuk merayap di tempat yang tidak berair dan
sebagai senjata untuk melindungi diri bila ada gangguan (Viveen et al., 1987;
Najiyati, 1992). Pada beberapa jenis lele memiliki patil yang mengeras, tajam dan
14
berbisa terutama pada lele berusia dewasa (Djatmika dan Rusdi, 1986; Murhananto,
2002). Patil ini juga digunakan untuk melompat dari kolam dan berjalan di atas tanah,
sehingga lele mempunyai nama tambahan sebagai walking catfish (Djatmika dan
Rusdi, 1986).
Insang ikan lele berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang
(Najiyati, 1992) dan terdiri dari dua dinding berkantung tipis yang disatukan oleh
tabung melintang (Jayaram, 1981 dalam Utomo, 2006), hal ini menyebabkan ikan lele
kadang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen di perairan
sehingga kekurangan ini dilengkapi oleh alat pernapasan tambahan pada lembar
insang kedua dan keempat, merupakan modifikasi insang berbentuk seperti bunga
karang disebut arborescent organ yang penuh dengan pembuluh darah kapiler.
Arborescent organ memungkinkan ikan lele dapat mengambil oksigen langsung dari
udara sehingga mampu hidup diperairan yang kandungan oksigennya rendah
(Susanto, 1989; Angka et al., 1990; Suyanto, 1992) maupun perairan yang kadar CO2
tinggi (Puspowardoyo dan Djarijah, 2002). Organ pernapasan tambahan ini hanya
berfungsi saat insang tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen (Handojo et al., 1986
dalam Utomo, 2006). Pada kondisi lembab, ikan lele dapat tetap hidup di luar
perairan (Susanto, 1989; Murhananto, 2002). Alat genital dekat anus tampak sebagai
tonjolan. Pada ikan jantan tonjolan berbentuk lancip sedangkan pada ikan betina
tonjolan relatif membundar (Angka et al., 1990).
Habitat ikan lele adalah semua perairan tawar. Di sungai yang airnya tidak
terlalu deras atau di perairan yang tenang seperti danau, waduk, telaga, rawa serta
genangan-genangan kecil seperti kolam. Ikan ini tidak membutuhkan perairan yang
mengalir untuk mendukung pertumbuhannya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya
kemampuan ikan tersebut untuk mengambil oksigen langsung dari udara melalui
organ arborescent yang dimilikinya, sehingga pada perairan yang tidak mengalir,
perairan yang kotor dan berlumpur dengan kandungan oksigen rendah, ikan lele
masih bisa hidup (Soetomo, 1989; Suyanto, 1992).
Ikan lele bersifat nokturnal yaitu aktif mencari makan pada malam hari. Pada
siang hari ikan ini memilih berdiam diri dan berlindung di tempat gelap. Ikan lele ini
15
memiliki kebiasaan membuat atau menempati lubang-lubang di tepi sungai atau
kolam sebagai sarangnya dan mengaduk-ngaduk lumpur di dasar air untuk mencari
makanan (Angka et al., 1990). Ikan lele termasuk ikan omnivora, juga cenderung
bersifat karnivora. Di alam bebas, makanan alami ikan lele terdiri fitoplankton dari
jenis alga dan zooplankton yang berupa jasad-jasad renik seperti kutu air, cacing
rambut, rotifera, jentik-jentik nyamuk, ikan kecil serta sisa bahan organik yang masih
segar (Simanjuntak, 1989; Najiyati, 1992). Ikan lele juga senang makanan yang
membusuk sehingga termasuk golongan pemakan bangkai dan bersifat kanibal saat
jumlah makanan kurang tersedia (Simanjuntak, 1989).
2.4 Bakteri Aeromonas hydrophila
Klasifikasi dan identifikasi A. hydrophila menurut Holt et al. (1994) sebagai
berikut :
Filum : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Pseudomonadales
Famili : Vibrionaceae
Genus : Aeromonas
Spesies: Aeromonas hydrophila
Penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) yang juga dikenal dengan
nama penyakit bercak merah (red spot disease) adalah penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Aeromonas hydrophila (Angka et al., 2004b). Sedangkan beberapa peneliti
lain menurut Angka (2001) menamakannya EUS (Epizootik Ulcerative Syndrome).
Morfologi A. hydrophila dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Bakteri Aeromonas hydrophila
16
Nama sinonim dari bakteri Aeromonas hydrophila adalah A. formicans dan A.
liquefaciens (Cipriano et al., 1984; Austin dan Austin, 1993). Bakteri A. hydrophila
termasuk golongan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek dengan ukuran
1,0-1,5 x 0,7-0,8 µm, bergerak dengan sebuah polar flagel dan bersifat oksidatif
fermentatif (Kabata, 1985). Aeromonas hydrophila juga bersifat fakultatif aerob,
yaitu dapat memanfaatkan nutrisi yang terdapat di air dan dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu yang lama tanpa adanya inang (Kabata, 1985; Camus et al., 1998).
Bakteri ini berkembang dengan baik pada perairan yang mengandung bahan organik
tinggi dan tumbuh optimum pada suhu 20-30 oC (Kabata, 1985). Austin dan Austin
(1993) menyatakan bahwa bakteri ini mampu tumbuh pada suhu 37 oC.
Kabata (1985) menyatakan bahwa A. hydrophila merupakan penyebab umum
dari penyakit bacterial haemorrhagic septicaemia yaitu penyakit yang merusak
jaringan dan organ pembuat sel darah. Serangan penyakit ini cenderung bersifat
musiman dan meningkat selama musim panas. Penyakit ini mempunyai gejala-gejala
sebagai berikut :
1. Busung perut, ditandai dengan membengkaknya rongga visceral oleh cairan.
2. Tukak atau borok, ditandai dengan luka pada kulit dan otot.
3. Haemorrhagic septicaemia yang disebut juga infectious abdominal dropsi atau
red mouth disease atau red pest dengan tanda-tanda kulit kering, kasar dan
melepuh.
Menurut Amlachler (1961) dalam Snieszko dan Axelrod (1971), serangan
bakteri A. hydrophila menyebabkan haemorrhagic septicaemia yang terjadi dalam 4
tingkatan berbeda, sebagai berikut:
1. Akut, merupakan septicaemia yang fatal, infeksi cepat dengan sedikit tanda-tanda
penyakit yang terlihat, ditandai dengan pembengkakan organ dalam.
2. Sub akut, terlihat gejala dropsi, lepuh, abses, dan pendarahan pada sisik.
3. Kronis, terlihat gejala tukak, bisul-bisul, dan abses yang perkembangannya
berlangsung lama.
4. Laten, tidak memperlihatkan gejala penyakit, namun pada organ dalam terdapat
bakteri penyebab penyakit.
17
A. hydrophila mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1980, karena bakteri ini
merupakan penyebab wabah penyakit bercak merah pada ikan air tawar yang pertama
kali terjadi di Jawa Barat (Angka et al., 1981). Menurut Angka et al. (1981), penyakit
bercak merah ini menyerang beberapa jenis ikan yaitu ikan mas, gurame, nila, tawes,
tambakan, mola, mujair dan lele. Peradangan kulit yang disertai gejala perdarahan
dan nekrose (haemorrhagic necrotic dermatitis) terjadi kebanyakan pada ikan mas
berukuran kurang dari 500 g, peradangan kulit disertai perdarahan, nekrose dan borok
(ulcerative necrotic haemorrhagic dermatitis) banyak ditemui pada ikan gurame dan
mas berukuran lebih dari 500 g sedangkan pada ikan lele peradangan kulit dengan
borok (ulcerative dermatitis) yang didahului lepuh yang menonjol.
Adanya kepadatan parasit dan densitas ikan yang tinggi, beban bahan organik
di air tinggi, aktifitas pemijahan, penanganan dan transportasi yang kasar juga dapat
memicu timbulnya penyakit (Camus et al., 1998). Bakteri Aeromonas hydrophila
dapat menimbulkan penyakit pada populasi ikan yang lemah atau sebagai infeksi
sekunder saat ikan terinfeksi penyakit lain. Stressor lingkungan seperti memburuknya
kualitas air dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Faktor-faktor tersebut
diantaranya fluktuasi suhu air tinggi, kadar amonia dan nitrit tinggi, gangguan pH
dari kondisi normal, dan kelarutan oksigen rendah. Menurut Kabata (1985), penyakit
ini bersifat musiman dan meningkat selama musim panas serta berhubungan dengan
populasi ikan yang mengalami stres. Motil aeromonads merupakan bakteri yang
sangat melimpah yang terdapat di lingkungan air tawar. Dapat juga hidup di perairan
payau, tapi jumlahnya semakin berkurang saat salinitas di atas 15 ppt.
Ikan yang telah terinfeksi A. hydrophila memperlihatkan tingkah laku yang
abnormal seperti respon renang lambat, megap-megap di permukaan air, dan nafsu
makan menurun. Gejala lainnya sirip rusak, kulit kering dan kasar, lesi pada kulit
yang berkembang menjadi tukak dan mata menonjol (exophthalmus), serta terkadang
perut menggembung berisi cairan kemerahan (Kabata, 1985)
Bakteri A. hydrophila menghasilkan zat beracun yang dikenal sebagai toksin.
Kemampuan A. hydrophila untuk menghasilkan suatu toksin yang mempunyai efek
buruk terhadap inang dan sifat racun toksin tersebut merupakan faktor penting untuk
18
menyebabkan penyakit (Angka, 2001). Menurut Thune et al. (1982) dalam Angka
(2000) dan Angka (2001) menyatakan bahwa A. hydrophila menghasilkan eksotoksin
(ECP) dan endotoksin. Produk toksin yang dihasilkan akan diekskresikan ke medium
sekitarnya (eksotoksin) atau disimpan di dalam selnya (endotoksin) sebagai bagian
dari sel tersebut (Pelczar dan Chan, 1988). Karakteristik bakteri A. hydrophila di
perairan sangat beragam yang disebabkan oleh perbedaan produksi endotoksin dan
eksotoksin yang tidak sama untuk setiap galurnya (Angka, 2004a).
Menurut Angka (2001) penelitian tentang bakteri A. hydrophila telah banyak
dilakukan dan diketahui bahwa bakteri ini mampu menghasilkan produk eksotoksin.
Eksotoksin adalah protein yang dapat berdifusi dan diekskresikan dari sel bakteri ke
dalam sistem peredaran darah dan jaringan inang. Selanjutnya menurut Angka (2001)
A. hydrophila menghasilkan berbagai toksin ekstraseluler atau enzim ekstraseluler
yang merupakan faktor virulen. Produk ekstraseluler dari A. hydrophila terdiri atas
hemolisin α dan β , protease, elastase, lipase, cytotoksin, enterotoksin, gelatinase,
caseinase, lecithinase dan leucocidin. Pertumbuhan bakteri A. hydrophila yang cepat
dan produksi ekstraseluler yang dihasilkannya adalah penyebab terjadinya gangguan
fisiologis dan kematian ikan yang terinfeksi (Brenden dan Huizinga, 1986). Menurut
Angka (2001), karena bakteri ini dapat memanfaatkan albumin, casein, fibrinogen
dan gelatin sebagai substrat protein sehingga dapat diketahui galur A. hydrophila
bersifat proteolitik sehingga patogen pada ikan. Aktifitas hemolitik dan proteolitik
adalah faktor paling penting dalam patogenesis dan virulensi dari bakteri (Austin dan
Austin, 1993). Protease berfungsi untuk berkembangnya penyakit dengan melawan
pertahanan tubuh inang dan mengambil penyediaan nutrien sehingga bakteri
berkembang biak (Angka, 2001). Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisis
sel-sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya. Menurut Pelczar dan Chan
(1988) hemolisin α dan β menghasilkan zona hemolisis yang bening di sekeliling
koloni A. hydrophila yang tumbuh pada agar darah. Lecithinase adalah enzim yang
menghancurkan berbagai sel jaringan dan terutama aktif melisis sel-sel darah merah
sedangkan leucocidin adalah enzim yang dapat membunuh sel-sel darah putih
(Pelczar dan Chan, 1988).
19
Bakteri Aeromonas hydrophila adalah bakteri gram negatif dengan struktur
dinding sel yang terdiri atas fosfolipid dan karbohidrat (lipopolysaccharide), dikenal
sebagai endotoksin. Endotoksin ini dapat menyebabkan radang, demam dan renjatan
(shock) pada hewan inang (Pelczar dan Chan, 1988; Angka, 2001). Endotoksin
dilepaskan hanya bila sel dari bakteri tersebut hancur sehingga adanya substansi
toksin di dalam populasi bakteri Aeromonas hydrophila disebabkan karena terlisisnya
beberapa dari sel tersebut. Endotoksin pada umumnya memegang peranan pembantu
dalam menimbulkan penyakit (Pelczar dan Chan, 1988).
Bakteri ini dapat ditemukan pada air dengan bahan organik yang melimpah,
seperti pada kolam dan sistem akuakultur yang lain, dapat diisolasi dari perairan
payau, muara sungai, air PAM, tanah kulit, saluran pencernaan dari ikan sehat, dari
lumpur kolam, tanaman air dan parasit protozoa tertentu (Camus et al., 1998; Angka,
2001). Faktor-faktor tersebut membuat pemusnahan A. hydrophila pada sistem
pemeliharaan ikan menjadi hal yang tidak mungkin (Camus et al., 1998).
A. hydrophila merupakan patogen oportunis dan hanya dapat menimbulkan
penyakit pada populasi ikan yang lemah atau sebagai infeksi sekunder saat ikan
terinfeksi penyakit lain. Faktor stres lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan
kualitas air yang buruk, mempertinggi perkembangan penyakit. Faktor-faktor tersebut
diantaranya suhu air tinggi, kadar amonia dan nitrit tinggi, gangguan pH, dan oksigen
terlarut rendah. Kepadatan parasit dan ikan yang tinggi, beban bahan organik di air
yang tinggi, aktifitas pemijahan, penanganan dan transportasi yang kasar juga dapat
memicu timbulnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila (Camus et
al., 1998).
Aeromonas sp. selain menjadi penyebab penyakit pada ikan-ikan air tawar
(Angka et al., 2004a) juga patogen dan dapat menular pada amphibi, reptil, burung,
mamalia, serta manusia (Popoff 1984 dalam Angka et al. 2004a) melalui luka terbuka
atau tertelan bersama air atau makanan. Orang yang tertular A. hydrophila dengan
daya tahan tubuh yang menurun akan mengalami diare atau septicaemia (Angka,
2001).
20
2.5 Hematologi Ikan
Darah ikan tersusun atas cairan plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari selsel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah
(Randal, 1970 dalam Affandi dan Tang, 2002). Menurut Fujaya (2002), darah terdiri
atas dua kelompok besar, yaitu sel dan plasma. Sel terdiri atas sel-sel diskret yang
memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda terdiri dari eritrosis dan leukosit
(limfosit, monosit,neutrofil dan trombosis) sedangkan komponen dari plasma yaitu
fibrinogen, ion-ion anorganik dan organik. Menurut Affandi dan Tang (2002) plasma
darah mengandung ion anorganik seperti Na+, Cl-, Mg2+, Ca2+ dan senyawa organik
seperti hormon, vitamin, enzim, protein plasma (albumin, globulin, transferin dan
fibrinogen), lemak dan nutrien.
T
E
Keterangan : L = Limfosit
M = Monosit
N = Netrofil
Chinabut et al., 1991
T = trombosit E = Eritrosit
Gambar 4. Eritrosit dan jenis - jenis lekosit dalam darah ikan
Darah ikan berfungsi mengedarkan nutrien yang berasal dari pencernaan
makanan ke sel-sel tubuh, membawa oksigen ke sel-sel tubuh (jaringan) dan
membawa hormon dan enzim ke organ tubuh yang memerlukannya (Lagler et al.,
1977). Fujaya (2002) menyatakan bahwa fungsi darah sebagai pembawa oksigen,
karbondioksida, sari-sari makanan maupun hasil metabolisme. Pada ikan, darah
mengalir dengan membawa oksigen dari insang ke jaringan, karbondioksida ke kulit
dan insang, produk pencernaan dari hati ke jaringan dan ion seperti Na+ dan Cl- yang
berperan dalam osmoregulasi. Darah juga membawa hormon dan vitamin, terutama
dalam plasma. Sedangkan bahan-bahan asing atau yang tidak dibutuhkan oleh tubuh
diangkut ke ginjal dan dikeluarkan melalui urin atau dipagositasi. Selain itu, menurut
21
Affandi dan Tang (2002) komponen-komponen leukosit mempunyai fungsi yang
khusus. Secara fungsional, sel monosit berperan sebagai makrofag, limfosit berfungsi
sebagai antibodi untuk melawan antigen, neutrofil diyakini mempunyai fungsi
fagositik dan trombosit berperan dalam proses pembekuan darah. Menurut Fujaya
(2002), komponen yang juga berperan dalam pembekuan darah yang berasal dari
plasma yaitu fibrinogen.
Organ pembentuk respon imun dan darah pada ikan dikenal sebagai organ
limfomieloid disebut demikian karena jaringan limfoid (organ yang merespon antigen)
dan mieloid (organ penghasil darah) bergabung menjadi satu (Affandi dan Tang,
2002). Jaringan tersebut terbentuk dari jaringan granulopoietik yang kaya dengan
enzim lisozim yang diduga mempunyai peran penting dalam reaksi kekebalan tubuh
(Fange, 1982). Pada ikan, jaringan pembentuk darah terdapat dalam stroma limpa dan
intersitium ginjal. Selain itu juga dibagian tepi hati dan submukosa usus (Angka,
1990). Menurut Affandi dan Tang (2002) organ limfomieloid ikan teleostei adalah
limpa, timus dan ginjal anterior.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies,
perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur (Dellman dan
Brown, 1989). Volume darah dalam tubuh ikan lebih sedikit dibandingkan vertebrata
yang lain, yaitu sekitar 5 % dari berat tubuh ikan (Angka, 1990). Sedangkan menurut
Affandi dan Tang (2002), volume darah dalam tubuh ikan teleostei adalah sekitar 3 %
dari bobot tubuh.
Parameter darah menjadi salah satu indikator adanya perubahan kondisi pada
kesehatan ikan, baik karena faktor infeksi akibat mikroorganisme atau karena faktor
non infeksi oleh lingkungan, nutrisi dan genetik. Menurut Amlacher (1970), darah
mengalami perubahan-perubahan yang sangat serius khususnya bila terkena infeksi
oleh bakteri, dalam hal ini Bacterial Haemorragic Septicemia. Selain itu, kelebihan
dan kekurangan makanan juga mempengaruhi komposisi darah (perubahan pada level
protein total, hemoglobin, dan total eritrosit).
Eritrosit pada ikan merupakan sel yang terbanyak jumlahnya. Bentuknya
hampir sama untuk semua jenis ikan, berinti seperti burung dan reptil. Eritrosit muda
22
disebut polikromatosit ditemukan sekitar 1 % dari total eritrosit. Eritrosit dewasa
berbentuk bulat telur dengan inti bulat telur dan sitoplasma merah muda. Ukuran
rataan sel darah merah ikan lele dewasa adalah 9,3 x 8,2 µm (Angka, 1990). Eritrosis
yang matang berbentuk oval hingga bundar, inti kecil dengan sitoplasma dalam
jumlah yang besar. Ukuran eritrosit ikan lele Clarias batrachus adalah 10 × 11 µm
hingga 12 × 11 µm, dengan diameter inti 4-5 µm. Jumlah eritrosis dalam darah ikan
lele adalah 3,18 × 106 sel/ml (Chinabut et al., 1991). Rendahnya jumlah eritrosit
menandakan ikan menderita anemia dan kerusakan organ ginjal. Sedangkan tingginya
jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer dan Yasutake,
1977; Nabib dan Pasaribu, 1989).
Hematokrit adalah perbandingan antara padatan sel-sel darah (eritrosit) di
dalam darah yang dinyatakan dalam persen (Hesser, 1960 dalam Angka et al., 1985;
Affandi dan Tang, 2002). Menurut Bond (1979) dan Sastradipraja et al. (1989)
hematokrit merupakan perbandingan antara volume sel darah dengan plasma darah.
Bond (1979) menyatakan bahwa plasma darah adalah cairan yang jernih berisikan
mineral terlarut, hasil buangan jaringan, enzim, antibodi dan gas terlarut. Menurut
Angka et al. (1990), hematokrit ikan bervariasi tergantung pada faktor nutrisi dan
umur ikan. Anak ikan dengan nutrisi baik mempunyai kadar hematokrit lebih tinggi
daripada ikan dewasa atau anak ikan dengan nutrisi rendah. Tidak ada perbedaan
kadar hematokrit didapatkan pada waktu/musim berbeda dan jenis kelamin berbeda.
Menurut Bond (1979) kisaran kadar hematokrit darah ikan adalah sebesar 20-30 %.
Angka et al. (1985) menyatakan bahwa kisaran nilai hematokrit ikan lele (Clarias
batrachus) pada kondisi normal sebesar 30,8-45,5 %, sedangkan ikan lele yang
terserang ulser mempunyai nilai hematokrit sebesar 34,4-48,2 %. Nabib dan Pasaribu
(1989) menyatakan bahwa nilai hematokrit di bawah 30 % menunjukkan defisiensi
eritrosis. Gallaugher et al. (1995) menyatakan nilai hematokrit yang lebih kecil dari
22 % menunjukkan ikan mengalami anemia.
Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui
apakah pakan memiliki kandungan protein yang rendah, defisiensi vitamin atau ikan
mendapat infeksi sehingga nafsu makan menurun. Sedangkan meningkatnya kadar
23
hematokrit dalam darah menunjukkan bahwa ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer
dan Yasutake, 1977; Anderson dan Siwicki, 1993). Alifuddin (1999) mengemukakan
bahwa hasil pemeriksaan kadar hematokrit dapat digunakan sebagai patokan kondisi
kesehatan ikan. Kadar hematokrit juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh
dari pemakaian imunostimulan sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
mengetahui kondisi ikan setelah pemberian imunostimulan.
Sel darah merah mengandung hemoglobin. Molekul hemoglobin adalah suatu
protein dalam eritrosit yang terdiri atas protoporfirin, globin dan besi (Fe) bervalensi
dua (Affandi dan Tang, 2002). Kadar hemoglobin dalam darah ikan berkaitan dengan
jumlah eritrosit (Lagler et al., 1977). Hemoglobin darah merupakan alat transportasi
oksigen dan karbondioksida. Di dalam kapiler-kapiler insang, hemoglobin bergabung
dengan oksigen membentuk oksihemoglobin. Ketika bergabung dengan oksigen, 1 gr
Hb dapat membawa 1.36 ml oksigen (Hartini, 1982). Hemoglobin membawa oksigen
dalam ikatan dengan Fe dari darah (Lagler et al., 1977). Menurut Angka et al. (1985)
kisaran kadar hemoglobin dalam darah ikan lele Clarias batrachus normal adalah
10,3-13,5 g/100 ml, sedangkan ikan yang terserang penyakit mempunyai kadar
hemoglobin 10,9-13,0 g/100 ml. Menurut Blaxhall (1972) bahwa kadar hemoglobin
merupakan indikator anemia. Meningkatnya kadar hemoglobin menunjukkan bahwa
ikan ada dalam kondisi stres (Anderson dan Siwicki, 1993).
Leukosit dikelompokkan menjadi 2 golongan berdasarkan ada tidaknya butirbutir (granula) dalam sel, yaitu agranulosit dan granulosit. Agranulosit dibagi menjadi
limfosit, trombosis dan monosit, sedangkan granulosit berupa neutrofil (Chinabut et
al., 1991; Affandi dan Tang, 2002). Dalam darah ikan tidak ditemukan adanya basofil
maupun eosinofil, namun Williams and Warner (1976) dalam Chinabut et al. (1991)
juga menemukan keberadaan basofil dan eosinofil dalam darah ikan. Lekosit pada
ikan berbentuk lonjong sampai bulat, tidak berwarna dan jumlahnya berkisar antara
20.000-150.000 butir per mm3. Pada chanel catfish, total lekosit sekitar 64,75 x 103
sel/mm3 (Chinabut et al., 1991). Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan
normal mempunyai arti klinis penting untuk evaluasi proses penyakit (Dellman dan
Brown, 1989). Menurut Roberts dan Richards (1978) sel-sel leukosit bergerak secara
24
aktif melalui dinding kapiler untuk memasuki jaringan yang terkena infeksi. Sel-sel
leukosit yang dapat meninggalkan pembuluh darah tersebut antara lain neutrofil
(leukosit berinti polimorf), monosit (makrofag mononuklear), limfosit dan trombosit.
Limfosit merupakan sel darah putih berbentuk bola berukuran 7-10 µm. Inti
berbentuk bola terletak tidak di tengah-tengah, kadang-kadang mempunyai sedikit
lekuk, mempunyai kromatin yang kompak dan berwarna ungu kemerah-merahan
(Affandi dan Tang, 2002). Limfosit berdasarkan ukurannya dibedakan menjadi
limfosit besar dan kecil. Keduanya mempunyai fungsi yang sama. Sebagian besar
limfosit yang berada dalam peredaran darah adalah limfosit kecil dan tidak aktif.
Setelah ada antigen spesifik, limfosit menjadi aktif bereaksi dengan antigen dan
dinamakan limfosit dewasa (Angka et al., 1990). Limfosit berukuran lebih kecil dari
eritrosit dan ukurannya bervariasi antara 6-11 µm. Sel limfosit ditandai dengan
bentuknya yang bundar dengan sejumlah kecil sitoplasma non granula berwarna biru
cerah atau ungu pucat dalam pewarnaan Wright dan Giemsa (Chinabut et al. 1991).
Secara umum sel-sel limfosit menunjukkan heterogenesis yang sangat tinggi dalam
bentuk dan fungsinya. Sel limfosit mampu menerobos jaringan organ tubuh lunak dan
mempunyai peranan dalam pembentukan antibodi (Dellman dan Brown, 1989).
Jumlah limfosit pada ikan lebih banyak daripada mamalia dengan kepadatan 48.000
per mm3, sedangkan pada mamalia hanya 2.000 per mm3 (Nabib dan Pasaribu, 1989).
Monosit pada ikan berbentuk oval atau bundar, berdiameter 8-15 µm dengan
nukleus oval berdekatan tepi sel dan mengisi sebagian isi sel dan kadang-kadang inti
juga terletak di tengah (Hoffman, 1977), secara morfologi bentuknya hampir sama
dengan monosit pada mamalia (Affandi dan Tang, 2002). Monosit ikan berasal dari
jaringan hematopoietik ginjal dan dari populasi lekosit, 0.1 % adalah monosit walau
dalam waktu cepat (± 48 jam) dapat bertambah setelah ikan disuntik benda asing
seperti karbon (Angka, 1990). Menurut Affandi dan Tang (2002), monosit selain
dihasilkan dari organ ginjal anterior juga dihasilkan oleh organ timus dan limpa.
Menurut Irianto (2002), monosit merupakan prekursor-prekursor makrofag. Monosit
mengalami sirkulasi dan makrofag terikat pada jaringan. Affandi dan Tang (2002)
menyatakan monosit mampu menembus dinding pembuluh darah kapiler lalu masuk
25
ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Monosit mempunyai masa
beredar yang singkat di dalam darah sebelum mengalir melalui membran-membran
kapiler ke dalam jaringan. Monosit mampu bermigrasi ke dalam jaringan dan menjadi
ekstravaskuler. Sekali sel-sel monosit ini bermigrasi ke dalam berbagai jaringan, sel
monosit ini tidak dapat dibedakan dari makrofag dan berperan dalam fagositosis
dengan membunuh atau melisis sel bakteri.
Netrofil merupakan satu-satunya leukosit bergranula (Chinabut et al., 1991;
Affandi dan Tang, 2002). Neutrofil berbentuk bundar dan berukuran besar (diameter
9-13 µm), bergranula halus dengan jumlah sitoplasma yang besar berwarna biru cerah
atau merah muda pucat sedangkan inti berwarna biru gelap (Chinabut et al., 1991).
Jumlah neutrofil ikan dalam darah hampir sama dengan mamalia (3-6 ribu per mm 3),
namun proporsinya dalam leukosit lebih kecil kira-kira 6-8 % dibanding mamalia
sebesar 60-70 % (Nabib dan Pasaribu, 1989). Menurut Anderson (1974) bahwa limpa
merupakan organ utama dalam proses pembentukan, penyimpanan dan pendewasaan
eritrosit, neutrofil dan granulosit.
Ciri khusus dari trombosit menurut Chinabut et al. (1991) adalah lingkaran
sitoplasma tipis di sekeliling inti, yang berwarna cerah dengan pewarnaan Wright dan
Giemsa. Kisaran ukuran rata-rata trombosit adalah 4x7 µm–5x13 µm. Menurut
Roberts (1978) trombosit mengeluarkan thromboplastin, yakni enzim yang membuat
polimer dan fibrinogen yang berperan penting dalam pembekuan darah.
Hemostasis berarti pencegahan kehilangan darah bila pembuluh darah luka.
Mekanisme pencegahan dilakukan dengan cara kontraksi pembuluh darah untuk
mengurangi aliran darah pada luka, pembentukan sumbat trombosit, pembekuan
darah dan pertumbuhan jaringan fibrosa ke dalam bekuan darah untuk menutupi
lubang pada pembuluh darah secara permanen (Fujaya, 2002).
Sampai sekarang studi hematologi masih dianggap kriteria penting untuk
diagnosa dan penentuan kesehatan ikan (Angka, 2001). Dalam penelitian hematologis
ikan, parameter darah yang diukur meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan
kadar hematokrit, jumlah dan jenis leukosit (Wedemeyer dan Yasutake, 1977).
26
Parameter lain yang sering diukur antara lain protein plasma total, titer antibodi,
aktivitas fagosit, dan kadar kortisol plasma (Anderson dan Siwicki, 1993).
27
Download