BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Ayam Pedaging Ayam pedaging atau yang lebih dikenal dengan broiler adalah galur ayam yang dihasilkan dari rekayasa genetik yang mempunyai karakteristik ekonomis dengan ciri yang sangat khas yaitu pertumbuhan cepat, masa pemeliharaan pendek, menghasilkan daging berserat lunak, memiliki ukuran badan yang terbilang besar dan kokoh, memiliki banyak daging dan lemak, produksi telur minim dan bedanya memiliki bobot yang berat (AAK, 1981). Broiler merupakan salah satu ayam pedaging yang memiliki pertumbuhan sangat pesat kisaran umur 1-5 minggu. Broiler yang berumur 6 minggu sama besarnya dengan ayam kampung yang telah dipelihara selama 8 bulan. Keunggulan dari broiler ini didukung dengan sifat genetik dan keadaan lingkungan yang meliputi temperatur lingkungan, cara pemeliharaan dan makanan. Pada dasarnya ada 3 hal penting yang sangat menentukan dalam beternak ayam pedaging yaitu, Kualitas Day Old Chick (DOC), pakan dan manajemenya. Selain ketiga factor yang disebutkan diatas masih ada factor lain yang sangat menentukan berhasilnya ternak ayam pedaging ini yaitu ; jaminan pemasaran daging, usaha pencegahan penyakit termasuk sanitasi dan biosecurity, serta diagnose dan pengobatan penyakit secara tepat dan benar (Bur, 2000). Menurut Ardana (2009), ayam pedaging termasuk hewan berdarah panas atau homeothermis yang memiliki kemampuan terbatas dalam menyesuaikan diri dengan suhu lingkunganya. Kondisi cuaca yang selalu berubah-ubah membuat ayam pedaging sangat rentan terserang penyakit yang mampu menyebabkan para peternak gagal panen. Pemberian pakan yang baik pada ayam pedaging saja tidak cukup, ayam pedaging juga perlu diberi vitamin. Pemberian vaksin, antibiotik dan obat antipiretik dapat digunakan sebagai terapi dan pencegahan terhadap penyakit infeksius agar ayam mampu bertahan sampai usia panen. 2.2 Darah Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sedangkan sel darah itu sendiri terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit,leukosit dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan, 55% plasma darah dan 45% terdiri dari sel darah (Pearce, 2006). Menurut Colville dan Basert (2002), darah memiliki tiga fungsi yang sangat penting yaitu; sebagai system transportasi, system regulasi, dan system pertahanan. Darah sebagai system transportasi memiliki peran dalam mengangkut oksigen yang berasal dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan mengangkut karbondioksida dari jaringan tubuh menuju ke paru-paru. Darah membawa cairan dari setiap jaringan ke jaringan lain, hal tersebut agar keseimbangan cairan di dalam tubuh tetab terjaga stbilitasnya, darah memiliki ph rata-rata 7,4. Selain itu juga darah membawa suplai makanan berupa nutrisi dari system pencernaan ke sel- sel atau jaringan tubuh serta mengangkut produk yang terbuang ke jaringan yang ada di ginjal dan usus besar untuk ekskresi dan mencegah terjadinya akumulasi. Pada saat terjadinya trauma dan infeksi, sel darah dan antibodi berperan untuk melindungi tempat melawan agen penyebab penyakit atau proses pembekuan darah pada luka yang disebabkan oleh pendarahan atau hemoragi. Darah juga berperan penting dalam pengendalian suhu tubuh (termoregulasi) yaitu dengan cara mengangkut panas dari bagian dalam tubuh ke permukaan kulit dimana panas nantinya akan menghilang ke udara. Dan fungsi darah yang terakhir yaitu menjaga keseimbangan asam basa di dalam tubuh (homeostatis) . Fungsi darah sebagai system pertahanan berperan dalam fagositosis dan memberikan respon imunitas. Cairan tubuh memenuhi sekitar 68% bobot pada ayam dewasa dan 12% pada anak ayam yang baru menetas (Bell,2002). Kandungan yang terdapat di dalam cairan darah yaitu 91% air, 3% protein yang terdiri dari (albumin, globulin, protombin dan fibrinogen 0,9% mineral yang terdiri dari (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam fosfat, magnesium, kalsium, zat besi) dan 0,15 bahan organic yang terdiri dari ( glukosa, lemak,asam urat, kolesterol dan asam amino) (ITBI, 2011). 2.3 Packed Cell Volume ( PCV ) Nilai PCV yaitu suatu istilah yang menunjukan persen volume sel darah merah dalam darah. Keadaan hematokrit itu sendiri sangat dipengaruhi oleh jumlah sel darah merah. Berkurangnya jumlah sel darah merah akan mempengaruhi persen volume sel darah merah dalam darah. Nilai hematokrit ini sangat berhubungan dengan sel darah merah, nilai dapat berubah-ubah tergantung dengan factor yang mempengaruhi yaituras,jenis kelamin, nutrisi dan umur. Penentuan nilai hematokrit ini dilakukan dengan cara mengisi tabung mikrohematokrit dengan darah yang terlebih dahulu telah diberi zat antikoagulan agar tidak menggumpal, kemudian darah disentrifuse sampai sel-sel mengumpul di dasar ( Frandson,1996). Sel-sel yang mengumpul di dasar tersebut merupakan sesuatu yang memiliki berat lebih daripada plasma. Hasil sentrifugasi dalam satu paket dari sel darah di bagian bawah tabung tersebut yang disebut dengan Packed Cell Volume (PCV) atau hematokrit (Cunningham, 2000). Menurut Indrawati (2011) nilai PCV merupakan petunjuk yang sangat baik dalam menentukan volume total eritrosit dalam sirkulasi darah. Dengan teknik pemusingan yang cepat eritrosit yang memiliki berat jenis tinggi dapat dipisahkan dari unsur-unsur lainya, adapun urutan lapisan pada mikrohematokrit dari atas ke bawah yaitu; 1) Plasma darah yang berwarna kuning; 2) Bufi coat yang berwarna abu-abu sampai abu-abu kemerahan yang tersusun dari leukosit dan trombosit; 3) Eritrosit yang merupakan lapisan darah yang memiliki warna merah gelap (Dharmawan, 2002). Nilai hematokrit pada sebagian besar hewan piaraan berkisar 38-40% dengan rata-rata 40% (Cholacha, 2010). 2.4 Hemoglobin Hemoglobin merupakan senyawa organik komplek yang tersusun atas empat pigmen porfirin merah ( heme) yang merupakan suatu derivate porfirin yang mengandung besi ditambah globin yang merupaka protein grobular yang tersususn dari empat asam amino ( Frandson,1992). Hemoglobin berperan penting dalam mengangkut oksigen dari paru-paru menuju ke semua jaringan tubuh hewan. Pada hewan invertebrata yang memiliki ukuran tubuh kecil ,oksigen langsung meresap ke dalam plasma darah karena protein pembawa oksigenya terlarut secara bebas. Produksi hemoglobin dipengaruhi oleh kadar besi (fe) dalam tubuh karena besi merupakan komponen penting dalam pembentukan molekul heme. Molekul hemoglobin tersusun atas dua cincin haem dan globin yang disintesis sendiri-sendiri. Rantai haem mengandung besi dan merupakan tempat pengikatan oksigen. Molekul ini mempunyai kemampuan untuk mengambil dan menggantikan oksigen dengan tekanan yang relative tipis (Guyton,1997). Konsentrasi hemoglobin dipengaruhi oleh umur, kedewasaan dan jenis kelamin. Menurut Cholacha (2010), dalam keadaan normal 100ml drah mengandung 15 gram hemoglobin yang mampu mengangkut 0,03 gram oksigen. Pada sebagian besar darah hewan normal nilai hemoglobinya antara 13-15 gram/100ml. 2.5 Eritrosit Sel darah merah (erotrosit) memiliki bentuk seperti cakram/ bikonkaf dan tidak memiliki inti. Kecuali pada unggas eritrosit berbentuk oval, berinti dan berukuran lebih besar daripada darah mamalia (Smith et al., 2000). Sel darah merah atau eritrosit memiliki garis tengah 5,0-7,34 mikron yang berfungsi untuk transportasi oksigen. Eritrosit memiliki warna kuning kemerahan, karena mengandung zat yang disebut hemoglobin, warna ini akan bertambah merah jika oksigen banyak terkandung di dalamnya (ITBI, 2011). Sel darah merah atau eritrosit berfungsi mengikat oksigen (oksihemoglobin) dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh kemudian mengikat karbondioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru-paru. Sel darah merah tersusun atas 65% air, 33% Hb, dan sisanya terdiri dari sel stroma, lemak mineral, vitamin, ion K, dan bahan organic lainya.Sebagian besar eritrosit bersikulasi dalam waktu yang relatif terbatas kisaran dari 2-5 bulan pada hewan domestikasi dan tergantung spesies. Umumnya masa hidup eritrosit ungggas lebih pendek dibandingkan dengan masa hidup eritrosit pada mamalia yaitu berumur 28-45 hari dan pada hewan umumnya kira-kira 25-140 hari (Guyton, 1986). Pada hewan dewasa pembentukan eritrosit terjadi di sum-sum tulang belakang sedangkan pada waktu masih janin dihasilkan oleh limpa, hati dan nodus limfatikus (Frandson, 1992). Sel darah merah yang sudah tua akan dihancurkan dalam sel Retikulo Endoplasmik System dalam hati,limpa dan sum-sum tulang belakang (Breazile, 1971). Proses pembentukan eritrosit di dalam sum-sum tulang memiliki beberapa tahapan , mula-mula besar bernukleus dan tidak berisi hemoglobin lalu dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya kemudian siap diedarkan dalam sirkulasi darah yang kemudian akan beredar di dalam tubuh selama 25-140 hari (Guyton, 1986). Menurut Mehta dan Hoffbrand (2008), faktor yang mampu mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi diantaranya yaitu hormon eritroprotein yang memiliki fungsi untuk merangsang eritropoesis dengan memicu produksi proeritroblas dari sel-sel homopoietik dalam sumsum tulang. 2.6 Paracetamol 2.6.1 Struktur Kimia Parasetamol Paracetamol memiliki bentuk menyerupai Kristal berwarna putih,tidak berbau dan memiliki rasa yang sedikit pahit. Paracetamol sangat mudah larut di dalam natrium hidroksida dan di air mendidih. Berat molekul dari paracetamol yaitu 151,16 dalton ( DITJEN POM, 1995). Pada dosis terapi paracetamol aman untuk dikonsumsi, meskipun demikian overdosis akut dari penggunaan paracetamol dapat menyebabkan perubahan struktur dan nilai hematokrit dari sel darah merah. Paracetamol memiliki beberapa nama generic paracetamol antara lain N-asetil-paminofenol N-hidroksi asetanilida dan asetaminofen. Selama ini paracetamol digunakan sebagai obat analgesic dan antipiretik di seluruh dunia. Paracetamol berawal dari asetanilid yang merupakan anggota pertama golongan obat paminofenol.Pada tahun 1886 asetanilid diperkenalkan di bidang kedokteran dengan nama antifebrin oleh Chan dan Hepp, yang kebetulan menemukan kerja antipiretiknya. Dalam usaha menemukan senyawa yang dianggap kurang toksik, p-aminofenol diuji dengan keyakinan bahwa tubuh akan mengoksidasi asetanilid menjadi senyawa. Namun, toksisitasnya tidak berkurang,dan sejumlah turunan kimiawi p-aminofenol selanjutnya dilakukan pengujian. Fenasitin atau asetofenetidin merupakan salah satu turunan yang lebih memuaskan (Goodman dan Gilman,2007 ). Pada tahun 1887 fenasitin diperkenalkan di dalam terapi dan banyak digunakan dalam campuran analgesic sampai akhirnya diketahui dampak dari fenasitin yang mampu menyebabkan gangguan terhadap gambaran darah akibat penyalahgunaan analgesic, maka dari itu fenasitin saat ini tidak lagi tersedia. Pada tahun 1949 ditemukan metabolit aktif dari asetanilid dan fenasitin yaitu paracetamol yang relative lebih aman penggunaanya (Goodman dan Gilman, 2007) 2.6.2 Farmakokinetik Paracetamol Di dalam saluran pencernaan paracetamol diabsorbsi dengan cepat dan hampir sempurna. Paracetamol memiliki waktu paruh 2 jam dan konsentrasi dalam plasma mencapai puncak dalam waktu 30 sampai 60 menit. Indeks terapi dari paracetamol berada diantara 5-20 mg/ml. Sebagian paracetamol dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainya dengan asam sulfat, yang secara farmakologi tidak aktif (Katzung,1997). Kurang dari 5% paracetamol yang diekskresikan dalam bentuk tidak berubah. 2.6.3 Farmakodinamik Paracetamol Selama ini paracetamol digunakan sebagai obat antipiretik dan analgesic, walaupun efek analgesic dan antipiretiknya setara dengan aspirin, paracetamol berbeda karena efek anti inflamasinya bisa dikatakan sangat minim sekali atau tidak ada ( Katzung,1997). Pada pasien yang dikontraindikasikan menggunakan aspirin (misalnya pasien ulcer lambung) paracetamol dapat digunakan sebagai analgesic atau antipiretiknya. Efek analgesic yang dihasilkan oleh paracetamol yaitu mampu menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang, namun bagaimana mekanismenya sampai saat ini belum diketahui. Paracetamol juga mampu mengurangi produksi prostaglandin yaitu senyawa proinflamasi, namun paracetamol tidak mempunyai sifat antiinflamasi seperti halnya aspirin (Goodman dan Gilman,2007). Sebagai antipiretik, paracetamol bekerja mengembalikan suhu tubuh dalam keadaan demam menjadi normal dengan cara menghambat produksi prostaglandin di susunan saraf pusat. 2.6.4 Hubungan Paracetamol Terhadap Profil Hematologi Pemberian paracetamol ini diduga mampu mempengaruhi total eritrosit, PCV dan Hb pada ayam pedaging. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang membuktikan bahwa parasetamol dapat merusak ginjal (Mazer and Perrone, 2008; Pathan et al, 2013). Ginjal merupakan salah satu organ yang berperan dalam regulasi hematopoiesis dengan mensekresikan eritropoietin (Polenakovic and Sikole, 1996). Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang mendapati terjadinya perubahan yang signifikan terhadap gambaran darah hewan coba, terutama PCV, Hb dan RBC. Pada sel darah merah terdapat perubahan tetapi tidak terlalu signifikan. Akibat dari pemberian paracetamol ini juga berpengaruh terhadap Hb, karena dapat menurunkan konsentrasi Hb, yang artinya juga menurunkan kapasitas oksigen yang dibawa dari darah serta oksigen yang dibawa dari darah ke jaringan (Oyedeji, 2013). 2.7 Kerangka Konsep Paracetamol merupakan obat antipiretik dan analgesic derivate para amino fenol yang sering digunakan dalam obat manusia. Paracetamol di Indonesia tersedia sebagai obat bebas dan telah menggantikan penggunaan silsilat sebagai antipiretik dan analgesik. Paracetamol merupakan metabolit fanasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak 1893. Pemberian paracetamol ini diduga mampu menurunkan total eritrosit,PCV dan Hb terhadap ayam pedaging. Pemberian paracetamol pada hewan mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap gambaran darah hewan coba, terutama mengakibatkan penurunan yang signifikan terhadap PCV,Hb dan RBC. Pada sel darah merah terdapat perubahan tetapi tidak terlalu signifikan. Akibat dari pemberian paracetamol ini juga berpengaruh terhadap Hb, karena dapat menurunkan konsentrasi Hb, yang artinya juga menurunkan kapasitas oksigen yang dibawa dari darah serta oksigenyang dibawa dari darah ke jaringan (Oyedeji, 2013). 2.8 Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep diatas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut; 1. Pemberian paracetamol menurunkan Packed Cell Volume (PCV) pada ayam pedaging. 2. Pemberian paracertamol menurunkan kadar hemoglobin pada ayam pedaging. 3. Pemberian paracetamol menurunkan total eritrosit pada ayam pedanging.