I. PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak dan remaja adalah generasi penerus yang merupakan sumber daya utama penentu kualitas suatu bangsa. Sumber daya yang berkualitas harus dibentuk sejak awal karena merupakan modal dasar untuk pertumbuhan dan perkembanngan selanjutnya.Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah ukuran fisik penduduk yang dapat dilakukan melalui pengukuran tinggi badan anak baru masuk sekolah (Depkes,2004). Pertumbuhan tinggi badan ditentukan oleh beberapa faktor penting yaitu internal (genetic), eksternal (nutrisi dan lingkungan) serta faktor endokrin yang berlanjut sampai terjadi penutupan epifisis dan maturasi tulang.Hormon utama yang mempengaruhi pertumbuhan pada masa kanak-kanak adalah hormon tiroid(T3), hormon pertumbuhan (Growth Hormon), Insuline like growth faktor (IGF) dan glucokortikoid(Clayton,2005). Berdasarkan data pengukuran TBABS di Yogyakarta tahun 2010 yang dilaksanakan di 5 kabupaten,prevalensi pendek terbanyakditemukan di Kabupaten Gunung Kidul, terutama di Kecamatan Saptosari yaitu sebesar 15,83% dan 1,29% sangat pendek (Dinkes,2005). Masih banyaknya kejadian pendek/stunted pada anak sekolah menjadi masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya karena konsekwensi stunted pada masa anak adalah ketidakmampuan mencapai 1 pertumbuhan dan perkembangan optimal sehingga menurunnya produktivitas ekonomi pada masa dewasanya kelak. Keterbatasan dalam bidang pendidikan tertentu yang secara langsung menyebabkan ketidakmampuan mendapatkan peluang kerja yang potensial,yang dapat direfleksikan dengan penurunan produktivitas ekonomi masa dewasa sebesar 20%, sehingga keterbatasan ini menyebabkan gangguan perkembangan sosial yang dapat berlanjut ke generasi selanjutnya.Untuk itu apabila terdapat kelainan pertumbuhan sangat penting dilakukan intervensi segera.Dengan dilakukannya intervensi segera diharapkan berkurangnya kejadian stunted terutama pada wanita akan menyebabkan berkurangnya risiko obstetrik sehingga efek pada anak dengan segala akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak serta dampak ekonomi yang diakibatkan dari persalinan risiko tinggi dapat berkurang,yang pada akhirnya dapat memperbaiki kualitas generasi penerus bangsa ini(WHO,2010). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), merupakan sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Organ tubuh yang bertanggungjawab mengelola yodium adalah kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid yang cukup, terutama 3,5,3’,5’- tetraiodotironin/tiroksin (T4) dan dalam jumlah yang lebih kecil 3,5,3’triiodotironin (T3). Hormontiroid memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tulang normal serta menjaga massa tulang pada orang dewasa. Anak-anak yang mengalami defisiensi hormon tiroid (T3) menyebabkan retardasi perkembangan tulang.Efek utama hormon tiroid pada pertumbuhan skeletal dapat 2 langsung maupun tidak langsung.Efek langsung terlihat dengan ditemukannya ekspresi reseptor T3 pada osteoblast dan chondrosit. Sedangkan efek tidak langsung melalui interaksi dengan hormon lain terutama GH dan IGF.Bila terjadi gangguan fungsi tiroid baik kekurangan hormon tiroid(hipotiroidisme) maupun tirotoksikosis maka laju pertumbuhan akanterganggu dan bahkan berhenti sehingga tubuh terlihat pendek/stunteddan bahkan menimbulkan kretinisme(Hetzel,1996). Kretin merupakan suatu kondisi dengan retardasi pertumbuhan yang ditandai tubuh yang terlihat pendek, gangguan pertumbuhan kelenjar tiroid kongenital dan adanya tanda tanda retardasi mental akibat hipotiroid yang berat. Adanya suatu kretin di daerah defisiensi yodium mengakibatkan timbulnya hipotiroid pada sejumlah besar penduduk(Dunn,et al, 1990). Di dunia sekitar 30% populasi penduduknya tinggal di daerah defisiensi yodium, dimana angka tertinggi terdapat di negara berkembang (Zimmerman, 2007). Dari survey pemetaan terakhir tahun 1998 diketahui 87 juta penduduk masih tinggal di daerah rawan GAKY, 20 juta masih menderita gondok dan 290 ribu menderita kretin dan setiap tahun diperkirakan sebanyak 9000 kretin baru ditemukan di Indonesia (Depkes, 2005).Mengatasi masalah tersebut pemerintah telah melakukan upaya penanggulangan GAKY melalui 2 cara, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Upaya jangka pendek meliputi pendistribusian kapsul minyak beryodium kepada seluruh wanita usia subur (termasuk ibu hamil dan menyusui) serta anak sekolah dasar di kecamatan-kecamatan endemik berat dan 3 sedang. Untuk upaya jangka panjang pemerintah menetapkan penggunaan garam beryodium dalam makanan sehari-hari (Zimmerman, 2007). Namun sampai saat ini GAKY masih menjadi masalah kesehatan yang belum dapat ditanggulangi secara tuntas di Indonesia. Pada survey GAKY yang dilakukan pada ibu hamil tahun 2005 di enam kecamatan diKabupaten Gunung Kidul, ditemukanprevalensi GAKY mencapai 20-70% (berdasarkan kandungan yodium urin) dan prevalensi gondok sebesar 55,2% sehingga masih termasuk dalam kategori endemik GAKY. Pedoman WHO mengenai eliminasi GAKY mengatakan bahwa masalah kekurangan yodium di anggap sebagai masalah kesehatan masyarakat bila ditemukan prevalensi gondok > 5% (WHO,UNICEF, ICCIDD, 2001). Namun setelah tahun 2005 belum dilakukan survey kembali, sehingga belum ada data terbaru tentang status GAKY di daerah ini. Masih banyaknya dijumpai anak dengan tinggi badan yang pendek, sehingga dipikirkan penyebabnya apakah masih berhubungandengan status GAKY daerah tempat tinggalnya karena telah dilalukan program penanggulangan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sepanjang penelusuran referensi oleh penulis, sampai saat ini data yang menunjukkan hubungan kadar tiroksin terhadap tinggi badan anak baru masuk sekolah(TBABS) di Indonesia belum didapatkan, terutama di daearah endemis GAKY di Kabupaten Gunung Kidul. Dipilihnya anak baru masuk sekolah pada umumnya berumur sekitar enam dan tujuh tahun dengan harapan apabila dari penelitian ditemukan adanya kelainan, akan lebih mudah untuk dilakukan intervensi dengan cepat dan tepat untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan 4 sebelum masa pacu tumbuh atau growth spurt pertumbuhan linier anaksehingga intervensi dini sangat penting dilakukan sebelum terjadi penutupan epifisis yang mengakibatkan berakhirnya proses pertumbuhan (Granner, 2003).Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian tentang hal tersebut di atas sehingga anak-anak Indonesia terselamatkan dari loss of generation. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, dirumuskan masalah bagaimana hubungan antara TBABS dan kadar tiroksin serum di daerah endemis GAKY Kabupaten Gunung Kidul? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) dengan kadar tiroksin serum di daerah endemis GAKY Kabupaten Gunung Kidul,DIYogyakarta. 2. Tujuan khusus : a. Mengetahui rerata tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) di Kabupaten Gunung Kidul. b. Melakukan deteksi dini kelainan pertumbuhan tinggi badan berupa stuntedatau severely stunted c. Mengetahui status tiroid anak SD di Kabupaten Gunung Kidul. 5 D. Manfaat Penelitian a. Bidang akademis Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan referensi yang berkaitan dengan hubungan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) dengan kadartiroksin serum di wilayah endemisGAKY, sehingga mengetahui faal tiroid yang sebenarnya. b. Bagi pelayanan dan pengabdian masyarakat Meningkatkan upaya deteksi sedini mungkin status faal tiroid anak dan mencegah adanya kelainan pertumbuhan pada anak sekolah dasar sehingga dapat dilakukan intervensi dengan cepat dan tepat untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan sebelum masa growth spurt pertumbuhan linier anak. c. Bagi penelitian Memberikan masukan informasi bagi pemerintah daerah mengenai permasalahan kesehatan yang berhubungan dengan faal tiroid sebagai dasar pengambilan kebijakan penting penanggulangan GAKY selanjutnya di Kabupaten Gunung Kidul sehingga keadaan yang lebih buruk dapat dicegah. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) di daerah endemis GAKY cukup banyak dilakukan, namun belum pernah dilakukan penelitian TBABS dan hubungannya dengan status tiroidberdasarkan kadar tiroksin serum pada anak sekolah di Kabupaten Gunung Kidul. Perbedaan 6 penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah variabel yang diteliti yaitu kadar tiroksin serum sebagai variabel bebasdan tinggi badan anak sekolah sebagai variabel tergantung.Rancangan penelitian yang digunakan adalahpotong lintang (cross sectional), dengan subyek anak baru masuk sekolah di daerah replete (8 tahun yang lalu merupakan daerah endemik berat GAKY) diKabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Tabel 1.Penelitian-penelitian yang digunakan sebagai acuan No Penelitian 1. Rinang Mariko Desain Penelitian Kesimpulan Cross TB anak laki-laki umur > 9 tahun di Tinggi badan rata-rata sectional daerah NGE lebih tinggi daripada anak daerah GE (131,9 ± 7,3 vs 127,7 ± 6,9 perempuan cm: p < 0,05) dan TB anak wanita di gondok endemik lebih daerah tinggi pendek daripada daerah GE (130,5 ± 8,5 vs daerah 123 ± 7,9 cm; p < 0,005) endemik. (2003) 2. Berlin Hasil Cross Ada NGE hubungan juga lebih TBABS dengan laki-laki di dan daerah dibandingkan non gondok Semakin berat suatu Sitanggang sectional endemisitas GAKY (p = 0,035 < 0,05) endemisitas (2006) dan ada hubungan TBABS dengan TB daerah di Dairi Sumatra orang tua di daerah Dairi Sumatra utara Utara semakin pendek 3. Norliani (2005) Case control TBABS berhubungan secara maka TBABS TBABS yang pendek bermakna antara tingkat pendapatan dipengaruhi oleh keluarga (OR = 3,0; CI = 1,69-5,38), pendapatan keluarga pendidikan ayah (OR = 2,15; CI = yang rendah, pendidikan 1,29-3,54), pendidikan ibu ayah (OR = 3,4; CI = 2,04-5,68), tinggi badan rendah, ayah (OR = 2,1; CI = 1,28-3,61), ayah dan ibu tinggi dan ibu yang badan yang 7 No Penelitian Desain Penelitian Hasil Kesimpulan tinggi badan ibu (OR = 2,2; CI = rendah 1,33-3,76), panjang lahir (OR = 2,35; badan lahir yang pendek CI= 0,96-5,76) dengan serta panjang kejadian stunted. 4. Gunawan (2008) Cross Terdapat hubungan yang bermakna Gangguan sectional antara gangguan akibat kekurangan kekurangan yodium di yodium di daerah pegunungan kapur daerah pegunungan dengan anemia (p=0,001) dan tinggi kapur berhubungan badan/ status gizi (p=0,001) dan tidak dengan kejadian anemia berhubungan dengan EYU(p= 0,653), dan stunted namun tidak asupan yodium (p=0,409), asupan berhungan dengan protein asupan yodium (p=0,272), infeksi (p=0,112) dan makanan, protein, semua faktor tersebut berpengaruh goitrogenik dan infeksi. (p=0,887), gitrogenik akibat secara bersama sama terhadap GAKY (r=0,69, r2=0,483,koefisien regeresi utuk status gizi 58,14, koefisien regresi untuk anemia 15,92) 8