BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kornea merupakan dinding depan bola mata yang transparan dan merupakan jaringan yang avaskular. Lapisan kornea dari luar ke dalam adalah epitel, membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Endotel kornea adalah lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri atas satu lapis endotel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak bisa membelah. Endotel kornea berperan penting dalam mengatur kadar air kornea dengan cara mengeluarkan air dari kornea ke kamera okuli anterior dengan enzim NaK ATP –ase dan mempertahankan transparansi kornea (AAO, 2011-2012). Densitas endotel kornea adalah jumlah sel endotel kornea per milimeter persegi. Densitas endotel kornea jumlahnya bervariasi dari masingmasing orang saat lahir. Pada usia dewasa densitas endotel kornea menurun sesuai umur. Kalau fungsi endotel kornea terganggu, humor aquos akan berdifusi ke dalam stroma kornea dan menyebabkan pembengkakan kornea ( Sheng , 2006) Sel endotel kornea tidak bisa mengalami regenerasi setelah terkena trauma tetapi dapat mengalami penyembuhan melalui hiperplasi dan mobilisasi. Penurunan fungsi endotel kornea berhubungan dengan penurunan atau kehilangan sel endotel. Faktor –faktor yang mempengaruhi kerusakan sel endotel kornea adalah usia , diabetes melitus, bedah intra okular , trauma 1 okular, fuch endothelial distrofi, pemakaian lensa kontak, uveitis anterior . Rata-rata densitas sel endotel kornea orang dewasa adalah 3000 sel/mm2 tetapi endotel kornea bisa turun sampai 1000sel/mm2 tanpa menunjukkan gangguan fungsi. Bedah katarak mempunyai risiko kehilangan sel endotel kornea. Walaupun teknik bedah katarak sudah berkembang dan menggunakan viscoelatik hialuronat yang bagus tetapi risiko kehilangan sel endotel kornea tidak bisa dihindarkan (Bourne et al., 1976). Pada diabetes melitus terjadi perubahan signifikan terhadap aspek klinik, fisiologi, morfologi dan metabolik pada kornea. Perubahan morfologi terjadi baik pada epitel, membran , stroma dan endotel. Pada penderita diabetes melitus terjadi penurunan sensasi dan defek epitel kornea. Saini dan Mittal (1996) juga menemukan adanya fungsi endotelium kornea lebih rendah secara bermakna pada kelompok diabetes dibandingkan kontrol dan sangat rentan terjadi dekompensasi apabila terjadi stress termasuk pada tindakan bedah katarak. Pasien diabetes melitus mempunyai risiko mengalami edema stroma persisten setelah tindakan bedah intraokular termasuk tindakan bedah katarak. Hal ini karena pada penderita diabetes melitus terjadi abnormalitas morfologi dan fungsi dari endotel kornea. Setelah terjadi penurunan fungsi sel endotel, terjadi gangguan hidrasi kornea dan peningkatan ketebalan kornea ( Inoue et al .,2002) 2 Manual Small Incision Cataract Surgery (Manual SICS) merupakan teknik bedah katarak modern yang memberikan perbaikan visual lebih cepat, astigmat yang rendah dan prediksi status refraksi setelah operasi lebih baik dibandingkan dengan teknik ekstraksi katarak ekstra kapsular. Dalam hal ini risiko kehilangan sel endotel pada kedua teknik tidak berbeda bermakna (Bjorn et al,2005 ). B. Perumusan Masalah Berdasar latar belakang di atas dapat disimpulkan: 1. Penurunan fungsi endotel berhubungan dengan penurunan jumlah atau kehilangan sel endotel. 2. Diabetes melitus dan tindakan bedah katarak merupakan faktor risiko terjadinya kehilangan sel endotel kornea. 3. Tindakan bedah intraokular termasuk manual SICS menyebabkan gangguan fungsi pompa endotel dan kehilangan sel endotel kornea. C. Pertanyaan penelitian Apakah ada perbedaan bermakna tindakan kehilangan sel endotel kornea setelah manual SICS antara pasien yang menderita diabetes melitus dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita diabetes melitus? 3 D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna kehilangan sel endotel kornea setelah tindakan manual SICS antara penderita diabetes melitus dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita diabetes melitus. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk klinisi sehingga dapat memberikan informasi kepada pasien tentang risiko atau komplikasi pasca manual SICS pada pasien diabetes melitus dan mendorong untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi dan teknik untuk memperkecil komplikasi kehilangan sel endotel kornea setelah tindakan bedah katarak pada penderita diabetes melitus. F. Keaslian Penelitian 1. Morikubo et al. ( 2004) menilai gangguan fungsi sel endotel kornea setelah operasi katarak teknik fakoemulsifikasi dan pemasangan lensa intraokular pada pasien diabetes melitus dibandingkan dengan yang tidak diabetes melitus dengan melakukan perhitungan tebal cornea sentral dan menghitung jumlah endotel kornea sebelum operasi dan setelah operasi 1 hari, 1 minggu,1 bulan . Penelitian dilakukan pada 93 mata pasien yang menderita diabetes 4 melitus tipe 2 (kelompok diabetik) dan 93 mata pasien yang tidak menderita diabetes melitus (kelompok non diabetik). Hasilnya pada pasien dengan diabetes melitus kerusakan sel endotel kornea lebih berat dan penyembuhan odem kornea lebih lambat dibandingkan dengan pasien yand tidak menderita diabetes melitus. 2. Leem et al. (2010) meneliti efek lensa kontak lunak terhadap sel endotel kornea pada pasien diabetes melitus dengan mengukur ketebalan cornea sentral dan menghitung densitas sel endotel kornea . Penelitian dilakukan pada 26 pasien diabetes melitus yang memakai lensa kontak lunak secara teratur ( kelompok 1), 27 pasien diabetes melitus yang tidak memakai lensa kontak ( kelompok 2 ) dan 30 orang subjek normal. Hasilnya ketebalan kornea sentral dan densitas endotel kornea lebih berat pada pasien diabetes melitus sedangkan perubahan morfologi kornea lebih berat terjadi pada pemakai lensa kontak dibandingkan subjek normal. 3. Inoue et al. (2002) membandingkan struktur endotel dan ketebalan kornea pada pasien diabetes melitus tipe II dan faktor sistemik yang berpengaruh terhadap kerusakan endotel kornea. Penelitian dilakukan pada 99 mata pasien diabetes melitus tipe 2 dan 97 mata dari pasien yang tidak menderita diabetes melitus dengan meneliti struktur selendotel kornea dan ketebalan kornea sentral. Pada penelitian ini juga dinilai adanya korelasi antara ketebaln kornea sentral dengan derajat retinopati diabetika. Kemudian dilakukan analisis regresi multivariat untuk menilai faktor sistemik yang meliputi usia, jenis kelamin, lama menderita diabetes melitus,hemoglobin A1c, glukosa dalam urin,ureum dan kreatinin darah serta faktor okular ( derajad retinopati 5 diabetika dan riwayat laser fotokoagulasi ) yang dihubungkan dengan densitas sel endotel kornea. Hasilnya endotel kornea pada pasien diabetes melitus mengalami penurunan secara bermakna dibandingkan pasien normal tetapi untuk ketebalan kornea sentral tidak ada perubahan bermakna dibandingkan pasien normal. 4. Patel et al. (2009) meneliti efek jangka panjang laser in situ keratomileusis (LASIK ) dan photorefractive keratectomy (PRK) terhadap sel endotel kornea. Penelitian dilakukan pada 29 mata ( 16 pasien ) yang menjalani operasi LASIK atau PRK. Dilakukan pengukuran jumlah sel endotel kornea setiap tahun dan dibandingkan dengan 42 mata dari 42 orang subjek normal. Hasil evaluasi selama 10 tahun setelah tindakan LASIK dan PRK tidak menimbulkan efek terhadap endotel kornea. 5. Lee et al. (2004) membandingkan perubahan morfologi sel endotel kornea pada pasien retinopati diabetika (NPDR dan PDR ) dengan yang tidak menderita diabetes melitus (normal) 6 bulan setelah operasi katarak fakoemulsifikasi dan implantasi IOL. Penelitian dilakukan dengan menilai jumlah dan morfologi selendotelkornea pada pasien yang menderita retinopati diabetika. Subjek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok yang tidak menderita diabetes melitus ( 30 mata ), kelompok yang menderita retinopati diabetika non proliferatif berat ( 30 mata ) dan kelompok yang menderita retinopati diabetika proliferatif risiko tinggi ( 30 mata). Hasil evaluasi 6 bulan setelah operasi persentasi sel heksagonal endotel kornea tidak berbeda bermakna antara pasien retinopati diabetika dan pasien normal. 6 6. Yang et al. (2001) membandingkan kerusakan endotel kornea setelah operasi katarak fakoemulsifikasi dan ekstraksi katarak ekstra kapsular. Penelitian dilakukan secara prospektif pada 118 pasien katarak senilis yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 38 mata dilakukan operasi katarak ekstra kapsular dan 83 pasien dilakukan operasi fakoemulsifikasi. Hasilnya pada evaluasi 3 bulan setelah operasi kehilangan sel endotel kornea tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Fisiologi Endotel Kornea Endotel kornea adalah lapisan paling dalam dari kornea yang merupakan satu lapis sel skuamosa poligonal yang tersusun teratur muncul dan tersebar merata di kornea. Kejernihan kornea dipertahankan oleh posisi lapisan sel endotel kornea dan kemampuannya memompa air dari stroma kornea melawan gradient osmotik. Endotel kornea berperan penting dalam mempertahankan hidrasi kornea normal, ketebalan dan kejernihan kornea. Endotel ini merupakan satu lapis sel yang sangat rapuh dengan kapasitas regenerasi yang terbatas (Wirbelauer, 1998). Gambar 1. Kornea normal ( AAO, 2011-2012) 8 Endotel kornea yang normal harus mempunyai sel yang sehat dan densitas sel endotel kornea harus diatas densitas minimal. Pada orang dewasa normal densitas sel endotel kornea bervariasi dari 3000 sel /mm2 di bagian sentral kornea dan 2000 sel /mm2 di bagian perifer. Densitas endotel kornea menurun karena usia, penyakit atau trauma. Sel endotel kornea tidak dapat mengalami regenerasi setelah trauma tetapi dapat mengalami penyembuhan melalui hiperplasi dan mobilisasi (Leem et al., 2010). Densitas sel endotel kornea bervariasi dari masing-masing individu saat lahir. Speedwell et al. (1988) melakukan penelitian terhadap 48 mata bayi usia 6 hari sampai 12 bulan menemukan bahwa densitas endotel kornea antara 2987 sampai 5624 sel/mm2dengan rata-rata 4252 sel/mm2. Setelah kelahiran jumlah sel endotel kornea menurun jumlahnya selama masa bayi, khususnya beberapa bulan pertama kehidupan dan penurunan berlanjut sampai usia dewasa. Penelitaan dari Nucci et al.(1990) terhadap 240 mata anak-anak usia 5 sampai 14 tahun melaporkan jumlah rata –rata sel endotel kornea 3591 sel/mm2 pada usia 5 tahun dan 2730 sel/mm2 pada usia 10 sampai 14 tahun. Pada orang dewasa penurunan endotel kornea sesuai usia. Hoffer et al.(1980) melakukan penelitian terhadap 3000 pasien yang akan operasi katarak dari usia 40-90 tahun dan melaporkan rata-rata densitas sel sel endotel 2400 sel/mm2. Keterbatasan mitosis dari sel endotel kornea dan meningkatnya luas permukaan kornea menyebabkan penurunan densitas 9 sel endotel kornea pada masa bayi. Pada tahun pertama setelah kelahiran, diameter kornea bertambah dari 10 mm menjadi 11.7 mm dan terjadi penyebaran endotel kornea menutupi area kornea sehingga densitas sel endotel menurun. Meskipun demikian, dengan bertambahnya usia dan terbatasnya kemampuan mitosis dari sel endotel kornea menyebabkan penurunan densitas sel endotel kornea (Marshall and Grindle, 1978). Endotel kornea berperan penting dalam mengatur hidrasi stroma dan mempertahankan transparansi kornea. Fungsi endotel ini dilakukan karena adanya pompa metabolik aktif . Sedikitnya ada tiga sistem transport ion yang bisa diidentifikasi antara lain, pompa potassium sodium yang menggerakkan ion sodium keluar dari sel dan tergantung pada enzim Na/K ATP ase, pompa sodium hidrogen yang menggerakkan ion sodium ke dalam sel, pompa bikarbonat yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea masuk ke cairan akuos. Pompa-pompa transport ion ini bekerja bersama untuk mempertahankan transparansi/kejernihan kornea. Ketika fungsi endotel kornea gagal, cairan akuos berdifusi masuk ke stroma dan menyebabkan kornea bengkak. B. Pengukuran Sel Endotel Kornea Morfologi endotel kornea biasanya digambarkan dalam tiga aspek yaitu a. Densitas sel endotel adalah jumlah sel endotel kornea per mm2 10 b. Koefisien Variasi (CoV) adalah rata-rata luas sel dibagi dengan standar deviasi luas sel. c. Persentasi dari sel heksagonal (% Hex) Morfologi endotel kornea dapat diukur dengan alat-alat yang berbeda meliputi mikroskop spikular kontak, mikroskop spikular non kontak, dan mikroskop konfokal. Mikroskop spikular masih mempunyai beberapa keterbatasan dalam menangkap gambar endotel kornea . Misalnya pada pasien dengan Fuchs’ distrofi tampak area hitam dimana tidak ada sel yang dikenali dengan mikroskop spikular, tetapi dengan mikroskop konfokal sel bisa diidentifikasi. Alat pengukur endotel kornea dan cara analisis dari gambar sudah dievaluasi secara luas. Mikroskop spikular merupakan alat yang reliabel dan produksibel dengan alat kalibrasi yang disesuaikan ( Sheng,2006 ). C. Perubahan Morfologi dan Fungsional Kornea Perubahan morfologi endotel kornea merupakan indikator pertama dari stres kornea. Hal yang mungkin terjadi ketika ada abnormalitas morfologi sel endotel kornea (penurunan densitas sel endotel, peningkatan koefisien area sel / polimegethism dan penurunan persentase sel heksagonal / pleomorfism) dapat diamati dan abnormalitas fungsi kornea (kornea bengkak) dapat diukur juga. Ada hubungan antara morfologi endotel dan fungsi endotel yaitu tingkat fungsi endotel yang tinggi berhubungan dengan densitas sel endotel yang tinggi dan tingkat fungsi endotel yang rendah berhubungan dengan densitas endotel yang rendah ( Aquavella et al., 1984). 11 D. Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Pembagian Diabetes melitus a. Diabetes melitus tipe 1 ditandai dengan adanya - Kerusakan fungsi sel beta di pankreas - Autoimun, idiopatik b. Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan adanya Menurunnya produksi insulin atau berkurangnya daya kerja insulin atau keduanya. c. Diabetes melitus tipe lain yaitu diabetes melitus yang disebabkan karena kelainan genetik, penyakit pankreas, obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain. d. Diabetes melitus yang terjadi pada masa kehamilan atau gestasional diabetes Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia yang pada kondisi kronis berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah gejala klasik diabetes melitus ditambah dengan kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau kadar gula darah puasa > 12 126 mg/dl atau kadar gula darah 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) > 200 mg/dl. Gula darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. TTGO dilakukan dengan Standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air (WHO ,2006). Prevalensi diabetes melitus pada orang dewasa di dunia diperkirakan 4.0% pada tahun 1995 dan meningkat menjadi 5.4 % pada tahun 2025. Diabetes melitus yang bermanifestasi pada mata merupakan respon akibat kondisi sistemik. Pertumbuhan penduduk, penuaan, urbanisasi, gaya hidup yang kurang aktivitas, dan meningkatnya kejadian obesitas meningkatkan jumlah penderita diabetes melitus. Prevalensi global diperkirakan 2.8% pada tahun 2000 dan meningkat mencapai 4.4% pada tahun 2030. Total penderita diabetes melitus di dunia dipoyeksikan meningkat dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Secara global katarak masih merupakan penyebab utama kebutaan , menyerang kira-kira 18 juta penduduk. Katarak terjadi pada usia yang lebih awal dan 2-5 kali lebih sering pada pasien dengan diabetes melitus serta menyebabkan kehilangan penglihatan yang bermakna pada populasi usia produktif (Javadi et al., 2008). Diabetes melitus yang bermanifestasi pada mata merupakan respon akibat kondisi sistemik. Pasien dengan diabetes melitus tidak hanya berkembang menjadi retinopati diabetika tetapi juga terjadi kerusakan endotel kornea dan keratoepiteliopati. Pada pasien diabetes melitus mempunyai risiko 13 terjadi odem kornea persistent setelah tindakan bedah intraokular karena pada diabetes melitus terjadi abnormalitas fungsi dan morfologi sel endotel kornea. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah sel heksagonal kornea. Sel endotel kornea menurun fungsinya dan terjadi hidrasi kornea akibatnya terjadi peningkatan ketebalan kornea sentral ( Inuoe et al.,2002). Diabetes melitus menyebabkan perubahan struktur dan fungsional endotel kornea dan ketebalan kornea. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa pada pasien diabetes mellitus mempunyai abnormalitas kornea , seperti sensitivitas kornea yang rendah, ketebalan kornea sentral yang lebih besar, densitas sel endotel kornea yang rendah dan peningkatan permeabilitas endotel. Ketebalan kornea sentral pada pasien diabetes melitus lebih tebal dari orang normal . Hasil serupa juga diperoleh dari penelitian pada tikus dan anjing diabetes melitus. Hal ini terjadi karena pada diabetes melitus terjadi pengurangan aktivitas Na + -K + ATPase dari endotel kornea yang menyebabkan perubahan morfologi dan fungsional kornea pasien diabetes ( Leem et al.,2010). Setelah fungsi endotel kornea menurun, hidrasi kornea dan ketebalan kornea sentral meningkat. Ketebalan kornea sentral (CCT) meningkat pada pasien diabetes melitus tipe 1, tipe 2 dan retinopati proliferatif telah dilaporkan pada beberapa penelitian, tetapi ada penelitian lain yang melaporkan bahwa ketebalan kornea sentral tidak meningkat pada diabetes mellitus tipe 1 ataupun tipe 2 ( Inoue et al., 2002). 14 Beberapa penelitian melaporkan tentang struktur endotel kornea pada pasien diabetes melitus. Schultz et al. (1984) melaporkan pada pasien diabetes melitus tipe 2 densitas sel endotel sama, koefisien variasi area sel meningkat dan persentasi sel heksagonal menurun jika dibandingkan dengan pasien yang normal. Matsuda et al. (1990) melaporkan pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Jepang densitas sel endotel sama, koefisien variasi area sel dan persentase sel heksagonal menurun dibanding pasien normal. Densitas sel endotel cenderung menurun sesuai dengan peningkatan usia. Tetapi Schultz et al. (1984) melaporkan densitas sel endotel pada pasien diabetes melitus tidak berhubungan dengan umur pasien dan disimpulkan bahwa kerusakan sel endotel dipicu oleh keadaan diabetes melitus dan derajatnya tidak dipengaruhi faktor usia. Dilaporkan ada korelasi antara usia, durasi dari diabetes melitus dan densitas sel endotel kornea (Inoue et al.,2002). E. Manual Small Incision Cataract Surgery ( Manual SICS ). Indikasi utama bedah pada katarak adalah pasien ingin meningkatkan tajam penglihatan sedangkan tujuan pembedahan katarak adalah perbaikan tajam penglihatan dan kepuasan pasien. Indikasi bedah katarak yang lain meliputi indikasi medik dan kosmetik. Indikasi medik dilakukan pada glaukoma fakolitik, uveitis fakoantigenik, dislokasi lensa ke bilik mata depan, dan beberapa indikasi tambahan yang sehubungan dengan katarak yang mengganggu tindakan medik di belakang lensa misalnya laser pada retina, diagnosis retina dan vitrektomi (AAO, 2011). 15 Bedah katarak yang saat ini dilakukan meliputi ekstraksi katarak ekstrakapsular, ekstraksi katarak dengan irisan kecil manual ( manual SICS ) dan irisan kecil fakoemulsifikasi. Indikator keberhasilan bedah katarak adalah tajam penglihatan dengan koreksi kaca mata terbaik 6/12. Standar jaminan mutu bedah katarak adak berbeda di beberapa tempat karena keterbatasan yang menyangkut alat dan sumberdaya manusia. Bedah katarak ekstrakapsular beserta pemasangan lensa intraokular mempunyai beberapa kelemahan antara lain tajam penglihatan optimal perlu waktu rerata 1-2 bulan dan terjadinya efek astigmatisme sehingga menimbulkan keluhan yang bermakna. Atas dasar keluhan tersebut dikembangkan ekstraksi katarak dengan irisan kecil secara manual yaitu manual small incision cataract surgery ( manual SICS ) yang memberikan keuntungan karena terjadinya kolaps bilik mata depan lebih sedikit, mengurangi risiko komplikasi yang berkaitan dengan penggunaan benang , luka lebih cepat sembuh, stabilitas refraksi lebih baik ( astigmatisme pasca bedah lebih sedikit), kepuasan pasien lebih tinggi dan waktu perawatan pasca bedah lebih pendek ( Natchiar, 2000). Bedah katarak terus berkembang ke metode irisan kecil secara fakoemulsifikasi. Dengan teknik ini lensa katarak dipecah dulu menjadi fragmen-fragmen kecil dan dihisap ke luar lewat pupil. Lebar irisan kornea dengan kemajuan teknologi mesin fakoemulsifikasi dengan teknik bimanual dimungkinkan irisan hanya 1,5 mm. Bahan lensa intraokular yang berasal dari akrilik dimungkinkan implantasi atau pemasangan lensa dalam bentuk terlipat. 16 Dengan demikian lebar insisi kornea minimal dan tidak diperlukan jahitan. Salah satu kelemahan bedah katarak dengan fakoemulsifikasi adalah timbulnya efek panas sehingga menimbulkan kekeruhan kornea ( Istiantoro & Hutahuruk, 2004). Manual SICS merupakan teknik operasi katarak modern yang bertujuan untuk mencapai tajam penglihatan yang lebih bagus dengan perbaikan setelah operasi lebih cepat dan komplikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi minimal. Perbaikan tajam penglihatan segera, tajam penglihatan yang lebih bagus dan teknik bedah yang aman diperoleh dengan mengurangi ukuran insisi. Ukuran insisi disesuaikan dengan besar nukleus yang akan dikeluarkan dan tipe lensa tanam yang akan digunakan. Insisi dibuat seperti terowongan (tunel) sklerokornea 5 – 6,5 mm. Beberapa langkah pada fakoemulsifikasi seperti teknik kapsulotomi dengan Continous Curveliniar Capsulorhexis (CCC), hidrodiseksi dan hidrodelinasi diterapkan pada teknik SICS. Nukleus lensa diluksasi ke bilik mata depan kemudian dikeluarkan secara manual tanpa menggunakan mesin bedah (Natchiar, 2000). Teknik operasi manual SICS memberikan keuntungan berupa prosedurnya praktis, rehabilitasi visual cepat, induksi astigmat hampir menyamai teknik fakoemulsifikasi. Penggunaan insisi kecil memberikan keuntungan kontrol yang baik terhadap kedalaman bilik mata depan sehingga tekanan intraokular dapat dipertahankan.Teknik ini dapat digunakan pada semua derajat kekerasan nukleus. Biaya yang diperlukan terjangkau oleh masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah (Burato,1996). Komplikasi operasi katarak secara umum relatif kecil yang meliputi endoptalmitis, keratopati bulosa, ablasio retina, dislokasi maupun malposisi 17